Vol. 1, No. 1, Oktober 2016 // Buletin Tiga Bulanan
Editorial
Upaya memajukan pendidikan merupakan tanggung jawab se ap anak bangsa. Tak terkecuali lembaga PUNDI hadir dalam rangka mengambil peran terhadap masalah pendidikan. Hingga kini upaya meningkatkan kualitas pendidikan terus dilakukan. Pen ngnya prinsip Adil, Berkualitas dan Terjangkau menjadi k poin meningkatkan sumber daya manusia Indonesia. Mengingat geografis wilayah Indonesia yang begitu luas dan terdiri dari pulau pulau memerlukan treatmen khusus memajukan pendidikan agar lebih adil, berkualitas dan terjangkau. Hasil pembacaan PUNDI terkini, terhadap isu terkait pendidikan merekomendasikan perlunya penguatan peran masyarakat luas memberikan kontribusi langsung. Misalnya, pada tahun ajaran baru kembali mencuat pungutan di luar sumbangan. PUNDI mendapatkan aduan pungutan pembelian Buku Teks Pelajaran (BTP) yang menyalahi Permendikubud Nomor 8 tahun 2016. Dalam Permendikbud tersebut dijelaskan bahwa sekolah bisa memperoleh BTP melalui sistem daring. Untuk memenuhi standar nasional telah diatur pula wajib mencantumkan logo mendikbud RI pada sampul depan, mencantumkan Harga Eceran ter nggi (HET), dan sejumlah aturan memnuhi Badan Standarisasi Nasional Pendidikan. Dengan demikian diharapkan dak ada lagi konten yang rasis, porno, dan menebarkan permusuhan. Masalah pendidikan di Indonesia dari hulu hingga hilir tak habis-habisnya untuk diungkap dan diselesaikan. Bule n PUNDI hadir ibarat pelepas dahaga di tengah minimnya perha an pelbagai pihak terutama masyarakat untuk menjadi dog watch atau agen kontrol penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Iman Sumarlan Direktur Pendidikan untuk Indonesia (PUNDI)
Penanggungjawab: Iman Sumarlan, Pimpinan Redaksi: Hatib Rahmawan, Redaktur Pelaksana: Agus Budiarta, Sekretaris Redaksi: Ari Susanto, Reporter: Nuniek Rahmatika, Nuzul Purwandana, Reppa, Dian, Sofa, Disain dan Layout: Dwi Setyawan, Distributor: Neri Yulianto. Alamat: Jl. Kebun Raya, Rt.18 Rw.06, Gg. Melati, Rejosari GK.I Yogyakarta 55171 Website: pundi.or.id E-mail:
[email protected] HP/WA: 082-134-311-311 Kirim naskah:
[email protected]
“pemerintah sangat concern terhadap pengadaan BTP. Jangan sampai masyarakat merasa terbebani dengan mahalnya buku. Masyarakat dapat mengakses langsung harga buku yang telah ditetapkan pemerintah melalui http://lkpp.go.id. Di dalam website tersebut harga sangat terjangkau.” Siang itu Diah (bukan nama asli) salah seorang siswi SMP favorit di Surakarta pulang membawa slip tagihan buku. Jumlahnya sangat fantas s mencapai 920 ribu rupiah. Sang ibu hanya tertegun sejenak. Ke ka ditanya mengenai hal tersebut si ibu hanya mengatakan: “Inilah resiko menyekolahkan anak di SMP Unggulan.” Ujarnya dengan nada terpaksa dan berat. Apa yang dialami Ibu dari siswi di atas sebenarnya terjadi di sekolah-sekolah negeri maupun swasta lainnya. Mereka harus menghabiskan uang yang agak fantas s untuk memenuhi kebutuhan Buku Teks Pelajaran (selanjutnya disingkat BTP) anak-anaknya. Mereka dak mungkin menolak kebijakan tersebut karena khawa r mendapatkan bullying dari pihak sekolah. Sebagian yang lain juga dak mau menolak karena alasan gengsi kalau dianggap dak mampu. Apakah BTP memang harus dibayar mahal? Pertanyaan inilah yang patut direnungkan. Ke ka dikonfirmasi melalui telepon, Staf Ahli Kemendikbud, Fajar Rizaul Haq, menyatakan bahwa pemerintah sangat concern terhadap pengadaan BTP, “Jangan sampai masyarakat merasa terbebani dengan mahalnya buku. Masyarakat dapat mengakses langsung harga buku yang telah ditetapkan pemerintah melalui h p://lkpp.go.id. Di dalam website tersebut harga sangat terjangkau.” Ujarnya dengan tegas. Mungkin masyarakat banyak dak mengetahui kebijakan pemerintah tersebut. Sehingga ke ka sekolah mematok biaya buku cukup nggi, wali murid dak ada yang protes. Begitu juga di sekolah-sekolah swasta.
Karena dianggap lebih otonom, wali murid menganggap hal tersebut adalah kewajaran. Kondisi seper itu seper nya membudaya dan menjadi kelaziman yang dak perlu dipertanyakan lagi. Bahkan ada sebuah anggapan jika buku itu murah pas kualitasnya dak baik. Jika mahal, buku itu pas bermutu. Adagium ini menjadi angin segar tumbuh suburnya pungutan liar. Kondisi inilah yang membuat orang tua terkadang dak berdaya jika disodorkan pada list buku yang harus dibeli anaknya di sekolah. Pemerintah sesungguhnya mencanangkan buku murah untuk rakyat. Pemerintah menghendaki pendidikan dapat diakses semua lapisan masyarakat, termasuk salah satunya BTP. Jangan sampai ada anak didik yang dak mampu membeli buku pelajaran lantaran biaya yang nggi. Hal ini diatur dalam Permendikbud No 8 Tahun 2016. P ro g ra m b u ku m u ra h ya n g d i ca n a n g ka n pemerintah tersebut sebenarnya melalui proses seleksi naskah yang sangat ketat. Sehingga masalah kualitas dapat dipertanggungjawabkan. Jadi anggapan nega f sebagaimana disebutkan di atas sebenarnya harus ditepis. Pendidikan untuk Indonesia (PUNDI), melalui riset dan hasil inves gasi di lapangan mencoba mengulas masalah ini secara lebih dalam. Laporan khusus yang ada di tangan pembaca ini harapannya dapat memberikan perspek f baru terkait masalah perbukuan. (HR)
Di zaman Orde Baru, BTP dipegang sepenuhnya oleh pemerintah. Pihak swasta dak dilibatkan dalam pengadaan BTP. Oleh sebab itu muncul is lah Buku Resmi dan Buku Pendamping. Buku resmi adalah BTP yang dikeluarkan oleh pemerintah, sementara Buku Pendamping adalah BTP yang dikeluarkan oleh pihak Swasta. Pada periode ini isi BTP sarat akan kepen ngan kekuasaan, terutama yang ada hubungannya dengan sejarah. Pasca-reformasi, perubahan kebijakan pengadaan BTP barulah terjadi. Pemerintah kemudian meng gaet pihak swasta untuk membantu memenuhi kebutuhan BTP, itupun
setelah Balai Pustaka (BP), BUMN milik negara ini mengalami keruntuhan managerial yang hingga saat ini performanya dak dapat kembali lagi. Sejak saat itulah kemitraan antara pemerintah dengan pihak swasta —dalam hal ini penerbit swasta terjalin hubungan yang sangat harmonis. Tahun 2008, di bawah Mendiknas Bambang Sudibyo, regulasi buku yang digunakan satuan pendidikan mulai ditata. Pada waktu itu keluarlah Permendiknas No 2 Tahun 2008 tentang buku. Dalam peraturan tersebut pemerintah membagi buku yang digunakan pada satuan pendidikan menjadi empat jenis, yaitu: 1) Buku Teks, 2) Buku Panduan Pendidik, 3) Buku Pengayaan, dan 4) Buku Referensi.
Berdasarkan Permendiknas Nomor 2 Tahun 2008 tersebut semua naskah buku yang ada harus dinilaikan terlebih dahulu oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Naskah buku yang lulus seleksi dapat dibeli hak ciptanya oleh pemerintah yang kemudian pengadaannya dan penggandaannya dilakukan dan dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah. Buku yang telah dibeli hak ciptanya oleh pemerintah boleh digandakan dan dialihmediakan serta dapat diperdagangkan oleh siapapun dengan ketentuan harga yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Maksimal keuntungan yang dapat diambil adalah 15 % dari harga produksi yang dianggap layak. Dari sekian naskah yang diajukan penerbit, tentunya dak semua dibeli hak ciptanya oleh pemerintah. Sebagian besar naskah yang telah dinyatakan layak oleh BSNP diterbitkan dan digandakan oleh penerbit dengan modal sendiri. Melalui Permendiknas Nomor 2 Tahun 2008, khususnya Pasal 11, Pemerintah melarang pihak sekolah, guru, dan dinas, menjadi distributor ataupun pengecer, atau bekerjasama dengan pihak distributor atau pengecer menjual buku kepada siswa, kecuali buku-buku yang telah resmi dibeli hak ciptanya oleh pemerintah. Permendiknas tersebut terbilang sangat baik sebab membatasi harga buku yang resmi dibeli pemerintah. Permendiknas ini juga menjaga jangan sampai sekolah menjadi ajang bisnis dan meraup untung. Meskipun begitu Permendiknas ini masih memiliki kelemahan karena masih menggunakan standar ganda khsusunya pada Pasal 5 dan 7. Pada Pasal 5 bu r 1 dijelaskan bahwa “buku teks yang digunakan pada satuan pendidikan dasar dan menengah dipilih oleh rapat pendidik pada satuan pendidikan dari buku-buku teks pelajaran yang telah ditetapkan kelayak-pakaiannya oleh Menteri”. Sumber: Istimewa
Pasal 5 di atas memberikan celah pada satuan pendidikan untuk memilih buku selain yang telah dibeli hak ciptanya oleh pemerintah. Jadi agak aneh, satu sisi pemerintah telah membeli hak cipta buku—baik buku teks, pegangan, pengayaan, maupun referensi—, namun pemerintah dak mewajibkan buku tersebut untuk digunakan di satuan pendidikan. Sehingga satuan pendidikan dapat memilih buku yang diterbitkan sebuah penerbit atau lebih asalkan buku tersebut telah dinyatakan layak oleh BSNP. Pada Pasal 7 dinyatakan, bahwa pendidik dapat menganjurkan kepada peserta didik yang mampu untuk memiliki buku. Meskipun pada bu r selanjutnya anjuran itu sifatnya dak memaksa, dan peserta didik harus membelinya di pengecer, namun pasal ini didukung pasal sebelumnya membuka peluang terjadinya bisnis buku di sekolah. Penerbit yang naskah bukunya dinyatakan layak, tentunya menggunakan berbagai macam cara agar dapat memasok bukunya ke sekolah-sekolah. Mulai dari memberikan rabat (fee) kepada pihak sekolah yang menggunakan buku-buku terbitannya. Sekolah yang diwakili para pendidik dapat menganjurkan siswa untuk membeli buku tertentu di toko tertentu. Memberikan anjuran atau informasi buku terbitan tertentu yang harus dibeli semua siswa merupakan proses bisnis buku yang terselubung. Untuk mengelabui pengawas, terkadang sekolah membagikan buku tertentu yang pembayarannya dilakukan di akhir semester. Sekolah juga membuat kontrak dengan sekolah dengan kompensasi yang sangat menggiurkan. Seper pemberian bantuan mobil namun sekolah tersebut harus membeli buku dalam kurun waktu tertentu, ga, empat, hingga lima tahun. Dari proses-proses seper itulah harga buku teks pelajaran di sekolah-sekolah harganya menjadi sangat fantas s. Konflik antar penerbitpun dak dapat
dihindari karena berebut pasar. Akibatnya yang dirugikan adalah wali murid, yang se ap semester harus merogoh kocek lebih dalam lagi. Kualitas buku jadi dak diper mbangkan, sebab yang diperhitungkan adalah sejauhmana rabat yang diberikan penerbit kepada sekolah, atau pihak-pihak tertentu. Di tengah pasar buku yang sangat terbuka seper itu, di bawah kepemimpinan Mendikbud Anis Baswedan, lahirlah Permendikbud No 8 Tahun 2016. Perubahan kebijakan mengenai pengadaan BTP dilaksanakan secara lebih masif dan berani. Jika pada era-era sebelumnya, tender pengadaan BTP dilelang secara terbuka, dimana semua penerbit dapat mengajukan penawaran naskah secara langsung dan bertatap muka dengan sesama pesaing bisnis, kini dirubah dengan model daring (dalam jaringan). Perusahaan Penerbitan yang ingin terlibat dalam proses pengadaan buku harus mengiku tender yang dibuka secara online. Mereka harus mengajukan naskah BTP yang telah disusun berdasarkan ketentuan yang diberikan pemerintah. Pemerintah kemudian menseleksi naskah-naskah yang masuk. Bagi penerbit yang naskahnya lulus seleksi dibeli pemerintah dan penerbit yang bersangkutan diberikan wewenang untuk ikut menggandakan dan mendistribusikan. Namun pemerintah mengatur regulasi atau pejualan di pasar. Diantaranya, harga jual ditetapkan pemerintah yang kemudian diberi nama HET (Harga Eceran Ter nggi). Selain itu penjualannya harus melalui lapak online yang dibuat pemerintah. Tidak bertemunya antara pelaku bisnis penerbitan dengan pemerintah secara langsung dalam tender merupakan terobosan yang sangat baik. Sehingga pemerintah lebih objek f menilai naskah yang masuk, dan dalam transaksi bisnisnya terhindar dari upaya sogok menyogok. Penjualan buku dengan model online yang diatur pemerintah juga menyebabkan pelaku bisnis penerbitan dak dapat memainkan harga, apalagi pemerintah telah menetapkan HET. Dengan peraturan tersebut, siklus peredaran BTP yang begitu panjang, yang menyebabkan biaya menjadi nggi dipangkas. Dengan demikian sekolah dapat membeli BTP yang sudah ditetapkan pemerintah langsung ke lapak online yang disebut dengan ecatalogue. Dengan begitu pungli atau mark up harga BTP dapat dihindari. Buku murah untuk rakyat kian nyata di depan mata. Jenis dan harga BTP resmi atau disebut dengan HET (Harga Eceran Ter nggi) yang sudah memenuhi standar kualitas dapat dilihat di: h p://e-katalog.lkpp.go.id yang resmi dikeluarkan LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Pemerintah). Masyarakat dapat
melaporkan kepada pemerintah melalui
[email protected], jika ada penyimpangan di lapangan dalam pengadaannya. Sekolah negeri maupun swasta yang mendapatkan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) akan mendapatkan password dan username untuk mengakses lapak BTP online yang disebut dengan e-catalogue di h p://ekatalog.lkpp.go.id yang resmi dikeluarkan LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Pemerintah). Dengan begitu, Pemerintah sangat mudah mendeteksi sekolah-sekolah yang dak menggunakan sistem ini. Sekolah dapat langsung memesan BTP yang diinginkan dengan harga yang telah tercantum dengan kualitas isi buku dijamin oleh BSNP. Buku yang telah dipesan akan sampai di sekolah dalam waktu yang rela f singkat, dua hari untuk wilayah Jawa. Berdasarkan Permendikbud No. 8 Tahun 2016, sekolah yang dak menggunakan BTP yang telah ditetapkan pemerintah akan dikenai sanksi berupa: 1. Rekomendasi penurunan peringkat akreditasi 2. Penangguhan bantuan pendidikan 3. Pemberhen an bantuan pendidikan 4. Rekomendasi atau pencabutan ijin operasional Satuan Pendidikan sesuai dengan kewenangan. Untuk mengetahui apakah buku tersebut resmi atau dak maka perlu diketahui dua hal; 1. Untuk BTP milik pemerintah di kover depat terdapat logo Kemendikbud (Tut Wuri Handayani) dan dicantumkan HET.
2.
Untuk BTP milik penerbit swasta di kover belakang terdapat pernyataan kelayakan dari pemerintah. (HR) Buku teks pelajaran ini telah dinyatakan layak berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 148/P/2016 Tahun 2016 Tanggal 1 Juli 2016 tentang “Penetapan Judul Buku Teks Pelajaran Kelompok Peminatan untuk SMA/MA”.
Mafia Buku dan Ketidakadilan Bagi Si Miskin Bahwa maksud pedidikan adalah mempertajam kecerdasan dan memeperkokoh kemauan, meperhalus perasaan, seperti di maksudkan dengan anak bangsa apapun dan golongan apapun juga...(Tan Malaka) Pendidikan itu membebaskan, bukan membelenggu. In sari dari pemikiran filsuf pendidikan Paulo Freire ini menggambarkan esensi pendidikan itu sendiri. Pendidikan seharusnya menjadi tempat mendidik manusia Indonesia menjadi manusia pembebas. Bebas dari belenggu aturan, bebas dari kurikulum yang berat, bebas dari mata pelajaran yang membosankan, bebas dari biaya yang mahal, bebas dari biaya buku yang mahal, bebas dari mafia pendidikan (mafia buku, alat peraga, seragam dll). in nya adalah bagaimana pendidikan itu memanusiakan manusia. Berbagai persoalan yang disebutkan diatas menunjukan bahwa pendidikan kita masih berada di persimpangan jalan. Ibarat mengurai benang kusut, semakin diurai semakin tak jelas ujung dan pangkalnya. Sulit rasanya mencari akar permasalahan dalam dunia pendidikan kita. Hal tersebut dak terlepas dari maraknya mafia dalam dunia pendidikan. Dalam diskusi PUNDI dan Lembaga Ombudsmen (LO DIY), Sabtu (6/8) problem mafia yang menggurita dalam dunia pendidikan sudah menjadi hal ya n g b i a s a . B a h ka n ke t u a LO D I Y Sutrisnowa , menyampaikan secara gamblang terkait persoalan ini. Prakteknya dalam berbagai cara dan modus, bahkan dak jarang melibatkan kepala dinas, kepala sekolah, guru, dan komite sekolah. Praktek dan modus mafia dalam bidang pendidikan sebagaimana temuan LO DIY dilakukan dalam berbagai cara. Dalam kasus pengadaan seragam sekolah misalnya, sekolah melakukan kerja sama
pihak ke ga (toko kain atau pakaian), untuk menggelar dagangannya di sekolah atau hanya lewat informasi informal kepada orang tua agar membelikan seragam atau kain di toko tertentu. Atau modus lainnya adalah guru menjual seragam di sekolah layaknya pasar dan siswa diwajibkan mengumpulkan sejumlah uang guna membayar seragam tersebut. Menurut LO DIY, praktek yang sama diatas juga dilakukan untuk pengadaan barang lainnya di sekolah seper buku dan alat peraga. Praktek mafia pengadaan seragam dan buku di sekolah juga disoro oleh Persatuan Orang Tua Peduli Pendidikan (Sarang Lidi). Yuliani ak fis Sarang Lidi Yogyakakrta juga mengungkapkan adanya praktek
mafia dalam pengadaan buku di sekolah-sekolah. Hal di sampaikan Yuliani saat hadir dalam diskusi PUNDI Sabtu (20/8). Menurut Yuliani kepala sekolah dan guru berperan besar dalam pengadaan buku dengan melobi para penerbit agar bisa memasarkan bukunya di sekolah. Modus yang dilakukan biasanya lewat komite sekolah. Komite sekolah didorong untuk memutuskan kebijakan agar orang tua murid bisa mengumpulkan uang guna membeli buku dari penerbit tertentu. Atau menyampaikan secara informal kepada orang tua agar bisa membeli buku penunjang dari penerbit tertentu agar digunakan siswa di sekolahnya. “Caranya agak halus, tapi in nya sama, yaitu mencari keuntungan dari penjualan buku tersebut, uang hasil keuntungan penjualan buku tersebut akan dibagikan untuk kepala sekolah, guru dan komite”. Demikian Yuliani ak vis Sarang Lidi menjelaskan. Maraknya aduan masyarakat atas praktek pungli di sekolah termasuk pungli untuk pembelian buku, menyebabkan pemerintah dalam hal ini Mendikbud mengeluarkan kebijakan yang mengatur secara khusus pungutan dan sumbangan biaya pendidikan. Hal tersebut tertuang dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 Tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar. Substansi dari Permendikbud tersebut adalah, sekolah dilarang melakukan pungutan dalam bentuk apapun terhadap siswa didik, termasuk pungutan dalam membeli buku. Meskipun sudah diatur sedemikian rupa, tapi toh
nyatanya di lapangan, masih banyak sekolah yang melakukan pungutan guna membeli buku yang akan digunakan. Kalau pun dak buku, siswa dibebankan untuk membeli modul atau LKS yang juga sifatnya memaksa dan mengikat. (Gusbud)
Lemahnya Sosialisasi dari Pemerintah Dari 10 orang wali murid di sebuah sekolah negeri, ke ka ditanya mengenai Permendikbud No 8 Tahun 2016, semuanya dak mengetahui. Salah seorang Ibu, ke ka ditanya mengaku dak tau menahu mengenai kebijakan tersebut. “Mendengar saja belum pernah apalagi isinya,” ungkapnya demikian. Di kalangan guru pun Permendikbud ini dak populer. Salah seorang guru di Inderamayu ke ka dikonfirmasi PUNDI, dak tau-menahu mengenai kebijakan tentang buku tersebut. Bahkan ia mengaku di sekolahnya susah sekali mencari referensi yang resmi dari pemerintah. Beberapa guru di sekolah Swasta ke ka ditanya mengenai kebijakan inipun dak memahaminya. Ia m e n gata ka n , “ m u n g k i n i nfo r m a s i i n i b e l u m disosialisasikan oleh pimpinan”, ujarnya singkat. Fakta-fakta ini merupakan buk bahwa sosialisasi Permendikbud No 8 Tahun 2016 di lapangan daklah masif. Ke ka dikonfirmasi ke Drs. Suraya, Kepala Bidang Perencanaan dan Standarisasi Dikpora Provinsi DIY, beliau mengatakan “bahwa sosialisasi sudah diselenggarakan melalui smartphone, internet (blog, html dikpora) dan lain-lain. Selain itu juga kami mengumpulkan dari se ap kepala sekolah di Yogyakarta”, demikian ungkapnya. Ar nya peraturan ini sudah disebarkan, namun masing-masing kepala sekolah dak mensosialisasikan kepada semua guru. Sehingga kebijakan ini diketahui di ngkat elit satuan pendidikan saja. Dari pengakuan di atas juga terlihat, bahwa sosialisasi ini dak menyentuh
masyarakat sama sekali sehingga wajar, jika masyarakat acuh dan dak melaporkan masalah ini kepada pihak yang berwenang. Dalam hal ini pemerintah harus lebih intensif dan menemukan pola baru program sosialisasi agar Permendikbud ini menjadi kesadaran masyarakat. Jika masyarakat sadar akan muncul kontrol, dan jika fungsi kontrol berjalan, keinginan pemerintah untuk memberikan buku murah akan tercapai. Kesadaran Masyarakat Mengenai BTP Masih Sangat Minim Konsekwensi dari masalah di atas adalah sistem kontrol dari masyarakat dak terjadi. Komite Sekolah yang semes nya menjadi lembaga kontrol terhadap berbagai pungutan sekolah, karena dak memahami Permendikbud ini, di beberapa tempat justru menyetujui pembelian buku yang dak lulus seleksi BSNP. Hal seper ini terjadi di sekolah swasta secara masif. Padahal peraturan tersebut berlaku baik di negeri maupun di swasta. Peraturan ini berlaku selama sekolah menerima dana BOS. Sayangnya, anggaran BOS dak diprioritaskan untuk membeli buku, namun untuk memenuhi kebutuhan sekolah lainnya. Di beberapa sekolah swasta, pembelian buku dibebankan pada wali murid. Namun sayangnya, pihak sekolah memilih buku yang dak lulus seleksi BSNP. Padahal semes nya pihak sekolah sangat paham mengenai Permendikbud tersebut. Jadi di sinilah letak kejanggalannnya, karena ada unsur kesengajaan dari
pihak sekolah mendiamkan kebijakan ini. Meskipun biaya buku dibebankan kepada wali murid, mes nya pihak sekolah memilih buku yang resmi dikeluarkan oleh pemerintah sehingga biaya buku dapat ditekan dan wali murid dak terbebani. Lemahnya Kontrol dari Pemerintah Lembaga yang paling berwenang melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintah ini adalah BSNP. Menurut Permendikbud No 96 Tahun 2013 tentang Badan Standar Nasional Pendidikan pada Pasal 8 dinyatakan bahwa lembaga ini “bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi Standar Nasional Pendidikan.” Namun sayangnya sampai saat ini belum pernah ada kontrol yang dilakukan, terutama melakukan sidak langsung ke lapangan. Pemerintah sebenarnya sangat mudah sekali melakukan kontrol, karena semua implementasi kebijakan ini diatur melalui jaringan internet. BSNP dapat dengan mudah melacak satuan pendidikan mana saja yang dak mengakses buku teks pelajaran yang telah ditetapkan pemerintah. Namun data online dengan data lapangan harus disingkronkan. Sebab ada kasus sebuah sekolah memang melakukan pembelian buku yang resmi secara online. Namun buku-buku tersebut untuk memenuhi koleksi di perpustakaan saja. Sementara yang digunakan dalam proses belajar mengajar adalah buku-buku yang dibeli dari salah satu penerbit yang mana buku tersebut dak lulus seleksi BSNP. Sehingga ke ka dilacak melalui data online, sekolah ini tentu akan selamat. Namun, jika dilihat langsung, mereka melanggar kebijakan pemerintah ini. Dengan pola seper itu, lagi-lagi yang dikorbankan adalah wali murid. Sanksi yang dak Mengikat Dari beberapa kasus yang ditemui di lapangan, sebagaimana yang diungkap Sutrisnowa , Ketua LO DIY, kepala sekolah yang melanggar, seper melakukan pungli, hanya mengalami disposisi dari satu sekolah ke sekolah baru. Pola seper ini dak membuat oknum di sekolah jera. Ombudsment hanya dapat memberikan rekomendasi terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di lapangan, selanjutnya sanksi sepenuhnya di tangan dinas, demikian paparnya. Kondisi seper ini akhirnya dak menjawab persoalan. Kejadian-kejadian yang diungkap di atas dak berlebihan jika diindikasikan ada mafia di dalamnya. Mafia dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat didefinisikan sebagai perkumpulan rahasia yang
bergerak di bidang kejahatan (kriminal). Fenomena buku di sini bisa dikatakan mafia karena mereka (oknum tertentu) bergerak terselubung dan terstruktur untuk memonopoli regulasi buku. Bahkan mungkin mereka meregulasi kebijakan pemerintah dalam hal kebijakan perbukuan atau bahkan mereka melawan kebijakan yang dak mendukung kelompoknya. Masifnya penjualan buku yang dak resmi di sekolah swasta dan sekolah negeri sebenarnya bukan hanya disebabkan karena ke daktahuan. Namun ada persoalan lain, yakni mafia buku yang dak diketahui oleh masyarakat. Dalam hal ini PUNDI mendapatkan fakta bahwa kebanyakan dari sekolah terjerat perjanjian (kontrak) dengan penerbit swasta selama beberapa tahun dengan kompensasi rabat (fee) ataupun berupa barang seper mobil. Jadi sekolah mendapatkan bantuan mobil operasional ataupun hal lainnya asalkan menggunakan buku penerbit swasta tersebut, meskipun buku yang digunakan ternyata dak l u l u s s e l e ks i B S N P. Po l a s e p e r i n i l a h ya n g menyebabkan peraturan pemerintah dilanggar. Langkah Strategis Pemerintah Berdasarkan uraian dan fakta di atas, agar cita-cita mewujudkan buku murah untuk rakyat dapat tercapai, maka pemerintah perlu melakukan hal-hal berikut: 1. Pemerintah harus memperkuat mekanisme kontrol. B S N P s e b a ga i l e m b a ga y a n g b e r w e n a n g menjalankan tugas ini perlu melakukan kontrol dari dua sisi, melihat data faktual secara real me di sistem yang dibuat, juga harus melakukan kontrol langsung di lapangan agar data yang didapat akurat. 2. Sosialisasi dak hanya kepada pihak dinas di kabupaten dan provinsi dan satuan pendidikan, melainkan juga langsung kepada masyarakat. Pemerintah perlu membuat iklan layanan masyarakat di televisi agar masyarakat semakin sadar akan haknya. Jika informasi ini tersebar luas mekanisme kontrol akan berjalan dengan sendirinya. 3. Sanksi perlu ditegakan. Sebuah kebijakan tanpa sebuah sanksi tentu akan diremehkan. Oleh karena itu sanksi sebagaimana yang tercantum di Permendikbud perlu ditegakkan dan hal ini harus dikoordinasikan dengan dinas di daerah dan kabupaten agar berjalan masif dan selaras dengan kebijakan lokal. 4. Perlu ada reward bagi sekolah yang berprestasi mentaa peraturan. Dengan adanya reward sekolah-sekolah akan berpacu meningkatkan kualitas pelayanan. (TIM PUNDI)
Pendidikan merupakan isu prioritas untuk diselesaikan. Negara maju selalu serius menempatkan masalah pendidikan pada kelas pertama, sebab siapapun yang ingin menjadi negara kuat dan maju (strong and leading state) dalam pelbagai aspek harus dimulai dari pendidikan. Selaras dengan pernyataan mantan mendikbud yang menyatakan bahwa “perubahan dimulai dari dunia pendidikan” (Dr. Anies Baswedan, 2014). Sementara di Indonesia masih m e n j a d i p r i o r i ta s ke d u a s ete l a h e ko n o m i pembangunan. Tahun ajaran baru kali ini menjadi momentum tepat untuk menggelorakan kembali gerakan pembangunan bangsa melalui jalur pendidikan sebagai investasi jangka panjang menghadapi era persaingan bebas. Ditandai dengan era MEA yang sudah berjalan satu tahun, banyak sekali tantangan yang harus di respon oleh dunia pendidikan. Penulis melihat terdapat ga persoalan utama dalam dunia pendidikan di Tanah Air. Pertama, pendidikan hendaklah mengedepankan prinsip adil (educa on for all atau pendidikan untuk semua). Kedua, pendidikan berorientasi kualitas. Ke ga, pendidikan terjangkau dalam pembiayaan untuk masyarakat. Ke ga aspek pendidikan tersebut menjadi trilogi pendidikan yang saling berkaitan. Antara pendidikan adil, berkualitas dan terjangkau merupakan satu kesatuan tak terpisahkan. Pendidikan Adil Nampaknya perlu juga diingatkan bunyi UUD 1945 Pasal 31 menyatakan bahwa : a) Ayat 1 : se ap warga negara berhak mendapat pendidikan b) Ayat 2 : se ap warga negara wajib mengiku pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya c) Ayat 3 : pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang. d) Ayat 4 : negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. e) Ayat 5 : pemerintah memajukan
ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung nggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Kons tusi kita dak kurang kurang mengamanatkan supaya siapapun dapat mengakses pendidikan tanpa kecuali. Masalahnya ada pada lemahnya implementasi dari pasal-pasal indah yang tercantum dalam kons tusi. Pada taraf pelaksanaan masih terdapat dua kendala untuk mewujudkan pendidikan adil dengan prinsip educa on for all. Pertama, minimnya kehendak baik (good will) dari para pemangku kepen ngan pendidikan, terutama pemerintah sebagai pelayan masyarakat. Kedua, masyarakat luas sebagai pihak yang dilayani. Tanpa bermaksud menjadikan keduanya berhadap-hadapan (vis a vis) secara destruk f tanpa disertai solusi. Sebaliknya kedua pihak ini perlu bersinergi secara konstruk f melakukan monitoring dan evaluasi atas jalannya segala rancangan program pendidikan. Di lapangan diakui masih terdapat kesenjangan dari segi infrastruktur pendidikan antara kota besar dengan kota kecil, kota kecil dengan desa, serta antara desa dengan daerah 3 T (ter nggal, terdepan, terluar). Sebagai contoh standar evaluasi pendidikan nasional menggunakan UN hemat penulis dak adil karena infrastruktur dan fasilitas pendidikan di tanah air belum standar. Contoh lain Juga layanan pendidikan berkualitas dak bisa diakses oleh kalangan masyarakat bawah karena layanan pendidikan berkualitas masih iden k dengan biaya nggi.
Pendidikan Berkualitas Kualitas menurut kamus besar bahasa Indonesia ar nya ngkat baik buruknya sesuatu; kadar: derajat atau taraf (kepandaian, kecakapan, dan sebagainya); mutu. sedangkan berkualitas ar nya mempunyai kualitas; bermutu (baik). Secara umum kualitas atau mutu adalah gambaran dan karakteris k menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau tersirat (depdiknas, 2002:7). Dalam kaitannya dengan konsep pendidikan yang bermutu, Sallis (1993:280) memberikan gambaran
bahwa pendidikan adalah jasa yang berupa proses kebudayaan. Penger an ini mempunyai implikasi pada faktor masukan (input) dan keluaran (output). Masukan bisa berupa peserta didik, sarana prasarana fisik non fisik (pendidik) maupun fasilitas belajar lainnya termasuk lingkungan. Sedangkan keluarannya adalah lulusan atau alumni, yang kemudian menjadi alat ukur mutu. Produk pendidikan merupakan jasa pelayanan, maka mutu jasa pelayanan pendidikan sangat tergantung sikap pemberi layanan di lapangan serta harapan pemakai jasa pendidikan. Secara kualita f, mutu jasa pendidikan dapat dilihat dari indikator terpenuhinya harapan dan kepuasan orang tua wali, siswa dan pasar kerja. Sebagai contoh pendidikan berkualitas dukur dari terpenuhinya harapan orang tua wali karena anak mereka bisa cakap, mandiri dan terserap dunia kerja. Pendidikan Terjangkau Siapapun mendambakan pendidikan dengan biaya terjangkau. Masyarakat, pemerha dan prak si pendidikan seringkali merekomendasikan perlu upaya lebih keras untuk membangun dan mengembangkan sistem pendidikan yang mengacu pada karakteris k sosial ekonomi masyarakat. Tentu saja membangun sistem pendidikan yang mengacu pada karakteris k masyarakat diperlukan kesetaraan akses, penyebaran pelayanan serta keberpihakan kepada warga miskin. Selain itu perlu upaya terobosan untuk mendorong adanya transparansi dan par sipasi dalam perumusan kebijakan, rencana dan penganggarannya. Dengan terobosan itu maka sistem pendidikan akan mengarah pada pelayanan pendidikan yang semakin terjangkau (rela f murah), mudah, dan berkualitas. Lapisan pertama yang mempunyai posisi strategis tentu berada pada pihak pemerintah. Sejauh mana pemerintah baik pusat maupun daerah mempunyai poli cal will menopang pendidikan yang terjangkau. Tentu saja kehendak baik dak cukup, perlu diteruskan dengan implementasi yang mewujud pada poli k anggaran (poli cal budget) yang dirasakan langsung oleh peserta didik. Undang undang misalnya mengamanahkan alokasi anggaran 20% dari total APBN untuk penyelengaraan pendidikan. Harapannya bisa
diiku oleh pemerintah daerah melalui poli k anggaran APBD. Lapisan kedua yang memainkan posisi strategis mewujudkan pendidikan terjangkau yakni penyelenggara pendidikan ngkat lembaga kedinasan dan sekolah. Keduanya diharapkan memperkuat komitmen khususnya mensukseskan wajib belajar 9 tahun. Pada taraf ini, sudah menjadi perha an bersama jika pendidikan wajar 9 tahun masih dianggap berbiaya nggi. Penulis menyoro hal yang masih perlu penataan misalnya pungutan yang dikemas dengan penjualan buku ajar yang melanggar PP no 2 tahun 2008 pasal 11. Beberapa kejadian yang ditemukan menyangkut pungutan diluar ketentuan antara lain pungutan bagi siswa yang hendak pindah dari sekolah ke sekolah lain atau bahkan saat pembagian hasil akhir pembelajaran (rapor) terpaksa di tahan pihak sekolah karena belum bisa membayar biaya. Pihak berikutnya yang berkepen ngan mewujudkan pendidikan terjangkau tentu saja masyarakat. Sebagai pihak yang menerima pelayanan publik, mendesak sekali diberikan pemahaman bahwa terdapat hak masyarakat yang perlu diambil dari pemerintah sebagai penyedia layanan publik. Saat ini kebanyakan masyarakat masih menganggap wajar apabila ingin menerima layanan pendidikan berkualitas iden k dengan mengeluarkan biaya nggi. Upaya penyadaran merubah “mind set” perlu terus dilakukan agar mekanisme check and balance juga tercipta. Pada level inilah selanjutnya diperlukan advokasi agar masyarakat (orang tua wali dan siswa) sadar bahwa pendidikan adalah hak warga serta kewajiban pemerintah untuk menyediakannya secara lebih adil, berkualitas dan terjangkau berbagai lapisan masyarakat. Penutup Terakhir, melalui mimbar media massa ini mengajak se ap elemen bangsa giat menggelorakan pen ngnya isu pendidikan. Kabar baik prestasi peserta didik dan potret cerah dunia pendidikan lebih sering di tayangkan dari pada kriminalitas, pembunuhan, narkoba dan isu korupsi. Sehingga menepis anggapan pendidikan hanya isu kelas dua.