Bedah Buku
Buku yang berjudul “Masyarakat Ekonomi ASEAN: Proses Harmonisasi di Tengah Persaingan” merupakan hasil kajian & mendalam yang bersifat multi years dalam periode 2009–2011 dan bersifat lintas sektor di internal Bank Indonesia.
Oleh:
Dr. Ir. Saptana, MSi Peneliti Utama Pusat Analisis Sosek dan Kebijakan Pertanian
MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015: Proses Harmonisasi di Tengah Persaingan
B
uku yang tersajikan dalam lima bab yang diawali dengan bab bertajuk “Ayunan Langkah Bersama Tingkatkan Daya saing Hadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”. Bab I ini merupakan pengantar bagi pembaca untuk memahami apa yang menjadi latar belakang dan alasan mengapa para pemimpin ASEAN memiliki komitmen kuat untuk membentuk MEA 2015. Penekanan penguatan daya saing secara makro menjadi fokus utama dan telah diulas secara mendalam, namun masih kurang dari perspektif penguatan daya saing pada aras mikro dan peran pemerintah daerah sebagai jembatan untuk membawa daya saing pada aras mikro ke daya saing bangsa. Pada bagian ini juga dipaparkan langkah awal menuju pasar tunggal ASEAN, bagaimana memperkuat sinergi optimum ASEAN dalam menghadapi China dan India, manfaat apa yang akan diperoleh bagi kemakmuran, stabilitas dan pengembangan ekonomi yang berimbang di dalam kawasan ASEAN. Kehadiran MEA akan mendorong persaingan di pasar tunggal pada level ASEAN dan pasar domestik masing-masing negara anggota ASEAN akan semakin kompetitif. Namun perlu disadari keberhasilan membangun ekonomi sebuah bangsa atau kawasan tidak semata-mata ditentukan kompetisi, tetapi juga ditentukan dalam membangun kebersamaan. Di sinilah pentingnya dukungan segenap pemangku
56
Volume 18 No. 1 Juni 2013
kepentingan (stakeholder) ini terutama Bank Indonesia sebagai lembaga otoritas moneter nasional, industri perbankan, pemerintah pusat dan daerah, dan pelaku usaha swasta dalam penguatan daya saing nasional melalui sinergitas agar Indonesia dapat memanfaatkan seoptimal mungkin dari komitmen MEA 2015. Dalam buku ini dipelengkapi dengan tiga books dalam bab ini yang menjabarkan karakteristik integrasi ASEAN sebagai integrasi ekonomi yang bersifat terbuka dengan karakter bersifat outward-oriented yang berarti berorientasi prosprktif ekspor, market-driven integration process yang berarti bahwa pemerintah negara-negara di kawasan tidak akan mengembangkan perusahaan nasional atau multinasional yang bertindak monopoli tetapi lebih menekankan keterpaduan proses dan antar pelaku usaha, dan private sector involment berarti bahwa mekanisme pasar harus dapat bekerja dengan baik. Kondisi historis dan karakteristik ekonomi ASEAN yang unik membuat tujuan yang ingin dicapai dan tahapan integrasi ASEAN berbeda dengan Uni Eropa. Sejalan dengan perbedaan tahapan pembangunan ekonomi dan orientasinya yang outward looking, ASEAN tidak bertujuan mencapai mata uang tunggal bersama seperti halnya Euro. ASEAN terutama menuju pembentukan pasar tunggal dan basis produksi
Agrimedia
yang diyakini dapat menekan biaya produksi melalui efisiensi dan ekonomi skala usaha, meningkatkan kapasitas produksi serta memaksimalkan manfaat perdagangan melalui trade creation baik bagi produsen maupun konsumen. Bab II mencoba memaparkan gambaran komprehensip dan holistik tentang “Tantangan Bagi Daya Saing dan Stabilitas Makro Ekonomi Indonesia Menyongsong Pasar Tunggal ASEAN 2015”. Pebentukan pasar tunggal dan basis produksi melalui MEA 2015 mendatangkan harapan sekaligus tantangan berat bagi Indonesia. Pasar tunggal ASEAN yang semakin terintegrasi menawarkan akses pasar yang lebih besar, peningkatan skala usaha dan efisiensi produksi, dan peluang penyerapan tenaga kerja secara ekstensif lintas batas negara. Pertanyaannya adalah “Dapatkah Indonesia Memenangkan Persaingan Pasar Tunggal ASEAN?. Hal ini adalah sebuah pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Implikasi dari keterbukaan pasar yang luas dan dalam tersebut adalah meningkatkan persaingan di antara negara-negara anggota dalam pasar tunggal ASEAN yang 50% volume pasarnya adalah pasar Indonesia. Status daya saing ekonomi baik pada level makro maupun pada aras mikro yang relatif belum sejajar dengan negara-negara tetangga terutama Singapura, Malaysia dan Thailand, pasar tunggal ASEAN memberikan tantangan berat bagi bangsa Indonesia. Dari sisi fundamental ekonomi, lemahnya daya saing Indonesia ditunjukkan oleh tingkat inflasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan inflasi di kawasan ASEAN. Selain itu, neraca perdagangan pada dekade terakhir mengalami defisit yang dapat menggerus cadangan devisa nasional. Belum lagi kesiapan pelaku usaha UMKM dan dukungan pemerintah daerah di era otonomi daerah yang belum optimal menyebabkan daya saing pada aras mikro dan makro masih rendah. Oleh karena itu, komitmen pembentukan pasar tunggal dan basis produksi kawasan memiliki implikasi yang luas terhadap kesiapan kondisi makro ekonomi nasional dan mikro ekonomi UMKM dalam rangka penguatan daya saing nasional.
Singapura, malaysia, dan Thailand. Untuk dapat mengatasi kesenjangan daya saing Indonesia tersebut, diperlukan sinergi berbagai upaya peningkatan daya saing berbagai sektor maupun antara pusat dan daerah. Esensi dari perdagangan dalam pasar tunggal ASEAN adalah daya saing. Esensi daya saing adalah efisiensi dan produktivitas dari hulu hingga hilir. Terdapat tiga sumber peningkatan produktivitas, yaitu perubahan teknologi yang lebih maju, peningkatan efisiensi teknis, dan skala usaha. Salah satu upaya peningkatan daya saing produk-produk prioritas adalah melalui hilirisasi. Untuk tindak lanjut ke depan, diperlukan penelitianpenelitian yang lebih bersifat sektoral khususnya daya saing 12 produk prioritas MEA 2015, antara lain electronics, healthcare, agro-based products, rubber based products, wood based products, automotives, textiles and apparels, e-ASEAN, fisheries, air travel, tourism, dan logistics. Hal ini diperlukan untuk dapat melihat peluang dan menetapkan strategi pengembangan produk-produk unggulan Indonesia dalam memasuki pasar tunggal dan basis produksi ASEAN. Dalam buku ini strategi untuk mendongkrak daya saing perekonomian nasional dari perspektif makro telah banyak diungkapkan, namun strategi dari perspektif mikro terkait UMKM masih terbatas. Strategi peningkatan daya saing dari perspektif makro dapat dilakukan dengan memakai mata uang regional dalam perdagangan intra-ASEAN. Pemikiran ini dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan ekonomi terhadap mata uang dolar AS yang memiliki resiko pergerakan nilai tukar yang rentan terhadap gejojak pasar global. Strategi lain yang ditawarkan adalah upaya mendorong konvergensi inflasi mengingat secara teoritis integrasi ekonomi akan menuju one low price. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian yang paling efisien dapat tercermin dari rendahnya tingkat inflasi sehingga mampu bersaing dan memperoleh keuntungan. Pada bagian ini juga disorot perihal pemetaan tinggirendahnya tingkat hambatan aliran modal di ASEAN dan pentingnya safeguard measures untuk menjaga stabilitas pasar keuangan.
Pada bagian ini para pembaca diajak untuk melihat peta dan mengetahui posisi relatif Indonesia terhadap negara-negara ASEAN lainnya dengan menggunakan berbagai indikator daya saing makroekonomi. Hasil pemetaan tersebut menunjukkan bahwa ada senjang daya saing yang cukup lebar antara Indonesia dengan
Agrimedia
Volume 18 No. 1 Juni 2013
57
Bedah Buku
Hal lain yang belum tersentuh adalah upaya peningkatan daya saing sektor riil. Mengacu pada perspektif makro peningkatan daya saing sektor riil terutama pada produk primer dan produk industri pengolahan dapat dilakukan melalui beberapa strategi yang mengfokuskan pada lima faktor, yaitu factor conditions, demand conditions, related and supporting industries, firm strategy, structure and rivalry, dan regional governance. Peningkatkan daya saing produksi primer dan industri pengolahan dari perspektif mikro dapat dilakukan dengan peningkatan efisiensi dan produktivitas, mendorong investasi, mendorong transformasi sektor produksi primer yang bersifat subsistem tradisional ke arah pola industrial komersial. Dukungan industri perbankan nasional sangat menentukan keberhasilan upaya peningkatan daya saing baik pada aras makroekonomi maupun mikroekonomi. Bab III dalam bukui ni mengangkat upaya mendongkrak daya saing dan mengidentifikasi berbagai permasalahan berkaitan dengan liberalisasi dan daya saing perbankan nasional menuju MEA 2015. Upaya peningkatan daya saing perbankan nasional dilakukan untuk industri perbankan pemerintah maupun swasta dan industri perbankan konvensional maupun industri perbankan syariah, serta Bank Perkreditan rakyat (BPR). Selain resiko sistemik liberalisasi jasa perbankan, yang berpotensi mengganggu stabilitas di sektor moneter maupun sektor riil, liberalisasi perbankan merupakan isu yang kompleks karena menyangkut isu nasionalisme suatu bangsa dan kewibawaan suatu negara. Liberalisasi industri perbankan harus dilakukan secara hati-hati untuk dapat menjamin manfaat ekonomi yang lebih besar bagi pengembangan industri perbankan dan secara silmultan dapat memenuhi kebutuhan dunia usaha maupun rumah tangga yang tercermin dari rendahnya biaya bunga. Oleh karena itu, kesiapan infrastruktur kelembagaan, infrastruktur perbankan nasional, penerapan teknologi IT, serta sumber daya manusia (SDM)/Sumberdaya Insani yang profesional untuk menjadi tuan rumah di negara sendiri merupakan faktor krusial yang tidak dapat ditawar lagi.
58
Volume 18 No. 1 Juni 2013
Pada bagian ini, pembaca disuguhkan hasil pemetaan daya saing perbankan nasional di antara negara-negara ASEAN. Tingkat kesiapan infrastruktur keuangan dan tingkat kemajuan industri perbankan perbankan di antara negara anggota ASEAN masih ada senjang yang cukup besar. Di satu sisi, liberalisasi perbankan akan memberi peluang bagi negara yang industri perbankannya sudah siap, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand, di sisi lain menjadi tantangan bagi negaranegara anggota yang belum siap dan masih tertinggal. Posisi industri perbankan Indonesia dapat dikatakan pada level rendah, namun sudah tergolong sangat terbuka. Hal itu merupakan konsekuensi dari kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan sektor perbankan di masa krisis Asia pada akhir era 1990-an. Ketika itu memang tidak ada pilihan lain selain memperkenankan asing masuk ke sektor perbankan di tengah minimnya kemampuan pemodal dalam negeri. Keterbukaan sektor perbankan Indonesia membawa konsekuensi makin tingginya persaingan industri perbankan di Indonesia, hanya industri perbankan nasional dan asing yang memiliki efisiensi tinggi yang didukung oleh manajemen keuangan, teknologi IT, SDM yang profesional yang akan mampu bertahan. Oleh karena itu, adanya dukungan kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia yang kondusif dapat membantu industri perbankan nasional dalam memenangkan persaingan baik di pasar domestik maupun di kawasan ASEAN. Dapat diduga, pasca-MEA arus investasi asing di sektor perbankan diperkirakan akan semakin deras mengalir. Sebagai sebuah peluang usaha, industri perbankan di Indonesia sangat menguntungkan yang ditunjukkan tingkat perolehan profit yang tertinggi dan tingkat tunggakan kredit yang rendah di ASEAN. Di samping itu, masih rendahnya persentase masyarakat Indonesia dan sektor-sektor ekonomi yang dilayani oleh jasa perbakan, Indonesia akan menjadi pasar jasa perbankan terbesar di ASEAN. Pasar perbankan nasional akan menjadi incaran layanan jasa perbakan ASEAN lainnya baik secara langsung dengan kehadiran perbankan asing di Indonesia maupun tidak langsung melalui penjualan produk-produk perbankan dari
Agrimedia
perbankan negara-negara ASEAN lainnya secara lintas batas negara. Di sisi lain, tingkat efisiensi perbankan nasional relatif terendah di ASEAN yang tercermin dari tingginya rasio biaya operasional dibandingkan pendapatan di ASEAN. Kondisi yang paradoxal tersebut harus dilakukan upaya peningkatan efisiensi melalui peningkatan keterampilan teknis dan kapabilitas manajerial SDM industri perbankan nasional. Proses harmonisasi di tengah persaingan juga perlu dilakukan antara pelaku usaha sebagai pengguna jasa perbankan, industri perbankan nasional, serta Bank Indonesia dan pemerintah sebagai otoritas pengambil kebijakan di bidang moneter dan sektor riil. Selain itu, dari sisi penguasaan aset kekuatan perbankan Indonesia juga masih kalah dibandingkan dengan perbankan dari Singapura, Malaysia dan Thailand. Oleh karena itu, rekapitalisasi secara internal industri perbankan dan dukungan kucuran dana pemerintah melaui BI sangat diperlukan bagi industri perbankan Indonesia. Selayang pandang gambaran di atas menimbulkan kekawatiran atas kemampuan industri perbankan nasional menghadapi MEA 2015. Beberapa pertanyaan yang perlu dijawab adalah: (1) mampukah industri perbankan Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri, (2) apa sasaran/manfaat yang ingin diperoleh dari keberadaan perbankan asing bagi perekonomian nasional, dan (3) apakah keberadaan perbankan asing secara langsung maupun tidak langsung telah mendorong efisiensi dan pengembangan industri perbankan nasional atau sebaliknya justru meningkatkan ketergantungan pada pihak asing. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus menciptakan situasi yang kondusif terhadap perkembangan industri perbankan nasional. Kebijakan Bank Indonesia dan pemerintah ditujukan untuk menciptakan kondisi lingkungan yang memungkinkan (enable environment) untuk meningkatan efisiensi dan profitabilitas industri perbankan nasional, yang mencakup (1) kebijakan ekonomi yang mendukung (economic enable), melalui kebijakan moneter dan kebijakan fiskal yang harmoni; (2) kebijakan pendukung yang penting (important enable) melalui kegiatan penelitian dan pengembangan peningkatan efisiensi industri perbankan, pelayanan terhadap UMKM melalui lembaga keuangan mikro, pengembangan produk-
Agrimedia
produk pembiyaan, standarisasi produk, dan regulasi yang mendukung; dan (3) kebijakan bisnis yang sehat (useful enable), seperti lingkungan bisnis yang kondusif, fasilitas pelayanan, dan kemudahan dalam berbisnis yang difokuskan pada 12 produk prioritas. Sebelum Indonesia menggabungkan diri dalam komitmen liberalisasi sektor perbankan ASEAN pada tahn 2020, Bank Indonesia telah menyiapkan sejumlah kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan daya saing perbankan melalui perbaikan efisiensi dan menjaga stabilitas sektor keuangan. Upaya untuk menyusun kebijakan tersebut dilakukan dengan terlebih dahulu memetakan daya saing perbankan melalui hasil penelitian serta analisis dan sintesis kebijakan. Dari hasil penelitian diketahui kinerja industri perbankan nasional dan upaya apa untuk memperkuat daya saing industri perbankan di tengah meningkatnya persaingan antarnegara, baik intra ASEAN maupun dengan negara-negara (China, India, Brasil, dan Argentina) atau kawasan-kawasan lain (APEC, Uni Eropa). Selain memperkuat daya saing industri perbankan, Bank Indonesia juga memperjuangkan agar negara lain juga membuka pasarnya. Dengan demikian bukan hanya bank asing yang masuk ke Indonesia tetapi juga bank nasional dapat memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses pasar industri perbankan ke negara-negara ASEAN lain dalam kawasan. Pada Bab IV memaparkan berbagai isu antispasi pengembangan sistem pembayaran dan settelment baik secara nasional maupun ASEAN. Arah pengembangan sistem pembayaran dan settlement nasional sudah sejalan dengan sistem pembayaran dan settlement negara-negara anggota ASEAN lainnya. Hal ini ditujukan dalam pencapaian interlinkage dan interoperability sebagai sistem pendukung terintegrasinya perekonomian dalam kawasan MEA 2015 khususnya dalam memfasilitasi mobilitas modal lintas batas yang lebih bebas. Sistem pembayaran dan settelment (SPS) lintas batas negara yang aman dan efisien merupakan infrastruktur yang sangat esensial dalam pencapaian integrasi keuangan dan pasar modal. Selain itu, transaksi keuangan yang semakin meningkat seiring dengan aliran bebas barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja menuju MEA 2015 perlu dukungan SPS yang aman dan biaya yang rendah.
Volume 18 No. 1 Juni 2013
59
Bedah Buku
Menyadari pentingnya isu ini, Bank Indonesia terlibat secara aktif dalam menyusun Working Comittee on Payment and Settlement System (WC-PSS) dalam forum kerjasama bank sentral ASEAN. WC-PSS telah melakukan kajian di lima bidang, yaitu (i) cross border trade settlemen, (ii) cross border retail payments, (iii) cross border money remittance, (iv) cross border capital market settlement, dan (v) standardization. Di tingkat nasional, Bank Indonesia juga mengembangkan dan menyempurnakan Cetak Biru SPS dengan memasukkan upaya antisipasi pengembangan SPS menuju MEA 2015. Hal ini dilakukan agar sejalan dengan manfaat nasional yang akan diperoleh dari liberalisasi perbankan dan pasar modal dalam kerangka MEA 2015. Dalam bab ini diuraikan hasil kajian mulai dari pemetaan SPS antarnegara anggota ASEAN yang berlandaskan pemenuhan standar internasional yang dikeluarkan oleh BIS, analisa kebutuhan industri SPS Nasional dan konsumen domestik, analisa kesenjangan antara kondisi saat ini dengan target yang ingin dicapai secara nasional dan ASEAN, serta rekomendasi tindak lanjut untuk mengatasi kesenjangan yang terjadi. Arah dan tahapan integrasi sistem pembayaran dan setlemen di ASEAN merupakan inti dari WC-PSS. Gubernur Bank Sentral negara-negara ASEAN Payment and Settlement System memiliki visi sebagai berikut : “ASEAN Payment aim to foster integrated, safe, and efficient payment and settlement system in the region that enable business and individuals to make or receive electronic payment
60
Volume 18 No. 1 Juni 2013
with greater convenience”. Pencapaian visi tersebut didasarkan pada tahapan pengembangan infrastruktur SPS di setiap negara anggota yang akan mendukung integrasi SPS ASEAN. Ditingkat nasional penyempurnaan Cetak Biru SPS telah mempertimbangkan Visi Sistem Pembayaran ASEAN yang mengarah pada sistem yang terintegrasi. Penyempurnaan Cetak Biru SPS Nasional bertujuan untuk menciptakan SPS Nasional yang aman dan handal, efisien, serta peningkatan perlindungan konsumen. Peningkatan keamanan dan kehandalan SPS Nasional dilakukan melalui penguatan kerangka hukum, peningkatan peranan industri SPS domestik, optimalisasi pemanfaatan teknologi informatika (TI). Kebijakan terkait dengan peningkatan efisiensi dilakukan dengan mendorong terciptanya interoperabilitas, interkoneksi, dan kesetaraan akses bagi bank dan non bank, serta inovasi dengan memanfaatkan teknologi yang lebih maju. Sementara itu, kebijakan perlindungan konsumen dilakukan melalui penguatan tranparansi operasional SPS Nasional. Kebijakan Nasional SPS yang mengintegrasikan seluruh komponen dalam industri SPS tersebut akan mendukung proses integrasi SPS secara kawasan untuk membentuk interlinkage dan interoperability SPS antarnegara. Tahapan SPS nasional ini akan sangat tergantung pada kebutuhan industri dan konsumen sejalan dengan (1) pertumbuhan aktivitas ekonomi domestik, dan (2) peningkatan transaksi perdagangan dan keuangan lintas batas
Agrimedia
negara termasuk intra-kawasan ASEAN. Berkaitan dengan faktor ke dua, pengembangan SPS Nasional akan sangat tergantung kebutuhan industri SPS dan konsumen domestik dalam memperoleh manfaat dari liberalisasi perbankan dan pasar modal nasional menuju MEA 2015. Bab V menyoroti topik khusus mengenai peningkatan akses pembiayaan UMKM ke perbankan melalui pendirian lembaga pemeringkat kredit. Pengembangan usaha ekonomi produktif khususnya agroindustri di perdesaan China melalui Rural Industrial Enterprises (TVEs) telah menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi yang menghasilkan lebih dari separuh output nasional. Usaha ini merupakan ¾ dari UMKM. Sementara itu, telah terjadi paradoks atau puzzle pertumbuhanpengangguran dalam perekonomian Indonesia. Puzzle tersebut dimungkinkan terjadi karena pertumbuhan ekonomi yang dialami Indonesia bukan bersumber dari sektor-sektor utama. Oleh karena itu, pengembangan UMKM yang juga merupakan tulang punggung perekonomian ASEAN telah mendapatkan perhatian tersendiri dalam Cetak Biru MEA 2015. Peningkatan kualitas dan kemampuan serta pengembangan bisnis UMKM merupakan elemen utama dalam mewujudkan “Pembangunan ekonomi ASEAN yang Berimbang”. Dari berbagai program kerja pengembangan UMKM ASEAN, Bank Indonesia bekerjasama dengan Kantor Kementerian Koperasi dan UKM mengusulkan program kerja studi kelayakan “Pendirian Lembaga Pemeringkat Kredit UMKM” dalam rangka peningkatan akses pembiayaan bagi UMKM. Pendirian lembaga tersebut dipandang sangat penting untuk menjembatani adanya asimetri informasi kelayakan bisnis antara UMKM dan industri perbankan. Bisnis UMKM pada umumnya dilakukan secara informal dengan sedikit sentuhan aspek manajemen dan administrasi keuangan sehingga kurang dapat dinilai kelayakan usahanya oleh lembaga perbankan. Rencana bisnis UMKM juga cenderung didasarkan pada penilaian atas pengalaman yang telah dijalani dan perkiraan masa depan yang sangat subyektif, sehingga sulit untuk dapat mengakses lembaga perbankan.
Agrimedia Agrimedia
Pada bagian ini pembaca disuguhkan hasil studi kelayakan “Pendirian Lembaga Pemeringkat Kredit UMKM” yang membahas mengenai prasyarat yang diperlukan, bentuk kelembagaan pemeringkat kredit yang efektif, prioritas UMKM yang diperingkat, aspek hukum, aspek pembiayaan, aspek operasional, dan metode peringkat kredit yang sesuai bagi UMKM. Berdasarkan hasil kajian diperoleh: pertama, prakondisi pembentukan lembaga pemeringkat kredit UMKM memerlukan dukungan dari perbankan sebagai pengguna dan dukungan pemerintah yang dapat memberikan subsidi atau insentif berkaitan dengan biaya pelaksanaan pemeringkat kredit. Kedua, sebaiknya pemeringkatan kredit dimulai dari sektor kecil dan menengah, sedangkan untuk usaha mikro dapat dilakukan pada tahap berikutnya. Ketiga, UMKM juga memerlukan sokongan teknologi komputerisasi terutama untuk pengembangan database profil dan kelayakan kredit UMKM, dukungan pemangku kepentingan terkait terutama kementerian yang bertanggung jawab atas pengembangan UMKM, kemampuan bisnis, dan teknis serta bantuan pendanaan bagi UMKM. Keempat, sejauhmana bank-bank sebagai pengguna bersedia memanfaatkan hasil rating dalam pengambilan keputusannya. Kelima, pembentukan kelembagaan pemeringkat disarankan memanfaatkan kelembagaan yang telah ada (Pefindo, Fitch, dan ICRA) melalui penambahan struktur baru berupa pemeringkatan UMKM. Dari pengalaman beberapa negara (India, Singapura, dan Malaysia), bentukbentuk kelembagaan pemeringkat kredit beragam menggambarkan sinergi antara pemerintah, sektor swasta dan perbankan, yang disesuaiakan dengan pranata sosial, kemampuan pemerintah, dan goodwill perbankan. Sementara itu, metode pemeringkatan yang perlu dikembangkan untuk UMKM harus disesuaiakan dengan kondisi UMKM yang meliputi parameter keuangan dan non-keuangan.
Volume Volume1818No. No.1 1Juni Juni2013 2013
6161