www.cefil.info | Edisi-I | JULI | 2014
CEFIL Newsletter Bridging, Building and Strengthening Democracy
Potret Demokrasi : Review dan Reposisi Studi Observasi Tipologi Alumni CEFIL Panjang Nunung Qomariah
Pilpres 2014 - Berkelahinya Tiga Faksi Borjuasi AE Priyono
Demokrasi Insan Kamil
Pilpres 9 Juli 2014 "Politics of Hope" Demokratisasi DR. AAGN Ari Dwipayana
Forum Kita Potret Demokrasi Review dan Reposisi Studi Observasi Tipologi Alumni CEFIL Panjang Nunung Qomariah Alumni CEFIL cenderung mengedapankan sentimen kewarganegaraaan mereka sebagai penduduk Indonesia dan penduduk kota/kabupaten ketika berhadapan dengan situasi pemilihan demokratis. Bukan dalam kewarganegaraan primordial, kelas sosial dan identitas tertentu. Demikian gambaran kualitas ke-civic-an yang menjadi salah satu temuan penting dari Studi Observasional Tipologi Alumni CEFIL Panjang. Hasil studi telah dipaparkan dan didiskusikan dalam workshop pada tanggal 15-16 Maret 2014 di SATUNAMA. Hadir sebagai narasumber dalam workshop tersebut adalah Willy Purna Samadhi (Supervisor Studi Observasional), AE. Priyono (analisis hasil studi), Prof. Max Lane dari Victoria University Melbourne serta Methodius Kusumahadi (Ketua Dewan Pembina SATUNAMA). Workshop juga menghadirkan 26 alumni CEFIL Panjang dari delapan provinsi di Indonesia. Civic Education for Future Indonesian Leaders (CEFIL) adalah program pendidikan demokrasi dan kepemimpinan bagi aktivis organisasi masyarakat sipil di Indonesia. Program pendidikan ini telah dilaksanakan sejak tahun 1998 hinga sekarang. Lima belas tahun setelah CEFIL dilaksanakan, SATUNAMA merasa penting melihat bagaimana kualitas ke-civic-an alumni. Dalam konteks inilah Studi Observasional tipologi alumni CEFIL Panjang 1998-2008 dilakukan. Studi juga dimaksudkan untuk mengetahui tipologi dan pilihan arena alumni, menelusuri dinamika dan identifikasi sosial, politik, dan budaya, menganalisis konteks demokrasi masing-masing lokus alumni CEFIL, serta menemukan basis sosial dan kultural bagi pengembangan demokrasi di Indonesia. Bagi SATUNAMA sendiri, studi ini penting sebagai dasar untuk merumuskan agenda pengembangan demokrasi di Indonesia. Temuan penting dari studi ini adalah, bahwa sebagian alumni CEFIL masih konsisten menjalani aktivitas di organisasi-organisasi masyarakat sipil. Secara bersamaan pilihan pada arena politik dan negara mereka rendah, meskipun struktur kesempatan politik telah membuka lebar bagi keterlibatan yang lebih intens di dunia politik dan pemerintahan (hal.25). Dengan situasi ini, bisa dipastikan alumni CEFIL jarang menyentuh sektor perubahan kebijakan, meskipun sesunguhnya pilihan mereka berada pada arena masyarakat sipil memungkinkannya memiliki basis sosial dan kultural yang cukup kuat. Hal lain adalah bahwa, salah satu kekuatan alumni CEFIL adalah jejaring sosial. Dalam jejaring sosial ini, mereka mengakumulasi basis massa dan kultural serta kegiatan-kegiatan diskursif untuk unjuk kekuatan mereka bernegosiasi dengan aktor negara. Ini merupakan kekuatan sosial yang tidak bisa diabaikan. Catatan lainnya adalah muncul dan menguatnya kekuatan elitis dan oligarkis di tataran lokal. Sayangnya, alumni CEFIL belum juga memiliki akses dan kapasitas yang memadai untuk menyambungkan isu dan kepentingan masyarakat ke dalam arena-arena politik pengambilan keputusan. Munculnya alumni CEFIL sebagai pemimpin-pemimpin masyarakat sipil di sini harus CEFIL Newsletter | Edisi-I | JULI | 2014 | www.cefil.info
1
diakui tidak serta merta memperkuat gerakan masyarakat sipil itu sendiri. Proses-proses politik yang dikuasai dan dimonopoli kekuatan elitis dan oligarkis masih menjadi tantangan yang harus terus menerus dihadapi dan dilawan oleh alumni CEFIL di masa mendatang. Temuan di atas didasarkan pada hasil survei yang dilakukan pada 199 alumni CEFIL yang tersebar di 60 kota/kabupaten dan 16 provinsi. Dari 199 tersebut, 35 persen atau 69 diantaranya adalah perempuan. Studi ini juga telah telah dipublikasikan lewat booklet “Potret Demokrasi: Review dan Reposisi Studi Observasi Tipologi Alumni CEFIL Panjang”. Berpijak pada temuan di atas, studi merekomendasikan salah satunya agar SATUNAMA memberikan perhatian yang cukup untuk menggalang kader-kader baru yang memiliki pemahaman dan keterampilan politik yang memadai untuk ikut mendorong kemajuan proses demokrasi di Indonesia.
Respublica Pilpres 2014 : Berkelahinya Tiga Faksi Borjuasi AE Priyono Banyak orang berpikir dan membayangkan bahwa momentum politik 9 Juli yang akan datang merupakan peristiwa yang menandai terjadinya perubahan episodik dalam politik Indonesia. Orang lupa atau pura-pura lupa bahwa momentum itu sebenarnya hanyalah sebuah ritual dari siklus pergantian kepemimpinan pemerintahan melalui proses politik minimalis demokrasi elektoral. Perubahan yang berlangsung melalui proses politik elektoral itu sendiri hanyalah sebuah perubahan politik periodik, berlangsung lima tahun sekali. Sudah lama para pemikir politik kontemporer membedakan antara perubahan politik yang bersifat episodik dan periodik. Jika perubahan politik periodik terbatas pada apa yang berlangsung pada tingkat policy dan hanya menyangkut aspek-aspek administratif dan distributif penyelenggaraan kekuasaan, perubahan episodik lebih menyangkut transformasi pada tingkat polity dan berkaitan dengan pergeseran-pergeseran relasi kekuasaan. Dilihat dari perspektif ini perubahan politik lima tahun sekali yang bersifat periodik tidak akan serta merta mengubah basis struktural kekuasaan yang selama ini bertahan dalam sistem demokrasi elektoral kita. Saya termasuk yang skeptis membayangkan pemilihan Presiden sekarang bisa mengantarkan terjadinya perubahan politik yang bersifat transformasional, apalagi yang punya dampak pada perubahan relasi-relasi kekuasaan secara struktural. Selama 15 tahun terakhir ini, demokrasi elektoral hanya mengantarkan munculnya kekuatankekuatan elite yang menguasai seluruh medan permainan politik; kemudian yang juga didukung oleh golongan modal yang mengalami transformasi menjadi oligarki ketika mereka akhirnya juga masuk ke kompetisi politik kepartaian. Dengan kata lain, politik elektoral akhirnya hanya menjadi ajang perebutan pengaruh di kalangan faksi-faksi politik kaum borjuasi. Setidaknya ada tiga faksi borjuis yang sedang bersaing melalui pemilihan presiden sekarang ini. Pertama adalah faksi borjuis peninggalan tradisi kapitalisme otoritarian sultanistik yang dulu CEFIL Newsletter | Edisi-I | JULI | 2014 | www.cefil.info
2
berpusat di Cendana. Kekuatan ini praktis sudah rapuh secara politik dan tidak terepresentasi dalam partai manapun – meski masih punya kekuatan ekonomi yang amat besar. Kedua adalah para kroninya yang sekarang dalam keadaan paling powerful dan berpencar ke dalam berbagai partai – sebagian besar adalah partai-partai korup – dan menjadi inti kekuatan oligarki pasca Orde Baru. Mereka ini adalah kekuatan kekuatan konservatif yang selalu menghambat agenda-agenda reformasi. Ketiga, adalah faksi borjuasi yang berbasis pada jaringan-jaringan kekuatan bisnis lokal yang selama ini menanggung beban biaya korupsi birokratik dari rezim jenis yang pertama maupun kedua; dan karena itu ingin melakukan perubahan terbatas untuk gerakan “reform from within.” Baru-baru ini Max Lane, dalam status Facebook-nya menyebut faksi terakhir ini sebagai sejenis berjuasi lokal yang lahir akibat kapitalisme neoliberal yang terdesentralisasi, dan yang tumbuh melalui politik demokrasi elektoral. Dengan melihat konfigurasi politik berbasis faksionalisme borjuasi itu, kita bisa melihat bahwa dalam kompetisi pilpres sekarang ini faksi pertama diwakili oleh Prabowo Subiyanto; faksi kedua diwakili oleh hampir seluruh anggota partai koalisinya yang bersama-sama mengusung Prabowo karena memang tidak punya tokoh populer; dan faksi ketiga oleh Jokowi. Dengan bergabungnya faksi pertama dan faksi kedua, maka faksi terakhir ini sesungguhnya sedang berada dalam situasi dikroyok. Alasan pengeroyokan tak lain adalah karena gebrakan “reform from within” ala Jokowi – termasuk revolusi mental yang dicanangkannya – akan secara langsung mengancam basis kekuasaan kedua faksi sebelumnya. Basis kekuasaan yang terancam itu adalah korupsi birokratik, kolusi nepotistik, dan elitisme patronalistik. Pertanyaannya, seberapa besar kekuatan yang terancam oleh desakan perubahan itu akan melakukan pukulan balik? Inilah persoalan urgen sesungguhnya, bahkan di tengah-tengah ketidakpastian mengenai sikap tentara terhadap Jokowi. ***
Insight Demokrasi Insan Kamil Demokrasi timbul tenggelam dalam lipatan sejarah politik dunia. Di tanah asalnya demokrasi menunjuk pada pembaruan sistem politik kota Athena yang dilakukan oleh Kliestenes, yang oleh sejarawan Herodot disebut democratia atau democratos, kebalikan dari aristocratos. Pada bagian tanah yang lain, di Roma, muncul sistem politik yang sama dengan democratia, yaitu yang disebut respublica. Democratia Yunani dan Respublica Romawi merupakan bentuk awal demokrasi yang muncul dalam sejarah politik dunia, lalu pernah hilang berabad-abad lamanya, dan kini digunakan oleh hampir seluruh negara-negara bangsa sebagai sistem politiknya. Tapi tulisan pendek ini tidak bermaksud memaparkan sejarah awal dan berkembangnya demokrasi, apalagi menilainya, yang jika mungkin akan diulas pada bagian lain. Tulisan ini hanya ingin menunjukkan basis filosofis kenapa kita membutuhkan dan meyakini demokrasi, meskipun CEFIL Newsletter | Edisi-I | JULI | 2014 | www.cefil.info
3
Aristoteles menyebutnya bukan sistem politik terbaik, tapi setidaknya demokrasi adalah pilihan terbaik dari yang terburuk. Terdapat alasan mendasar kenapa demokrasi lebih baik dari sistem politik yang lain karena di dalam demokrasi terdapat nilai-nilai fondasional pada bagian mana nilainilai tersebut tidak dimiliki oleh sistem politik lain di luar demokrasi, yaitu: Pertama, kesetaraan (equality). Kesetaraan adalah nilai etis yang secara intrinsik benar merupakan sesuatu yang tak tertolak. Tak ada seorangpun saya kira yang menolak jika diperlakukan setara dengan yang lain. Nilai kesetaraan didasarkan kepada bagaimana kita memandang manusia sebagai citra Tuhan yang memiliki martabat yang harus dihormati. Pertimbangan moral, etika dan agama mendasari bahwa manusia harus diperlakukan setara. Jika mempertimbangkan ini, rasanya terlalu berlebihan dan tentu jelas keliru, jika ada yang mempertentangkan demokrasi dengan agama tertentu karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama tersebut, dengan diikuti tuduhan bahwa demokrasi berasal dari ajaran agama yang lain. Tuduhan bahkan penolakan terhadapnya karena demokrasi dianggap sebagai paham yang antroposentris yang bertentangan dengan paham theosentris. Kira-kira di mata para penentangnya demokrasi akan menyaingi Tuhan. Demokrasi menjamin kesetaraan bagi setiap warga untuk diperlakukan sama terlepas dari atribut sosial yang dimilikinya. Demokrasi tidak membeda-bedakan seseorang berdasarkan asal-usul sosialnya. Dalam bidang politik dan pemerintahan misalnya, yang pada mulanya menjadi privilege dan domain kalangan aristokrat (patricia) dan laki-laki, melalui demokrasi rakyat biasa, kaum melarat (pleb), dan perempuan dapat memiliki hak yang sama dan dapat memerankan diri di dalamnya. Kedua, kebebasan (liberty). Demokrasi memberikan peluang bagi manusia terbebas dari segala bentuk perbudakan, penindasan, penyiksaan dan kemiskinan. Demokrasi memberikan kesempatan kepada manusia untuk secara bebas menentukan hidup, menentukan nasib sendiri, memilih kewarganegaraan, pekerjaan dan lain sebagainya. Jelas sekali bahwa demokrasi membuka kesempatan kepada siapapun untuk mencapai kebebasannya sebagaimana Berlin sebutkan ada dua macam, yaitu kebebasan dari (freedom from-negatif) dan kebebasan untuk (freedom for-positif). Nilai kebebasan demokrasi tidak jarang dipertentangkan oleh para penentang demokrasi bahkan pula oleh oponen-oponen demokrasi maupun filsuf-filsuf politik. Fokus perdebatannya seputar seberapa “bebas” si manusia sebagai subjek yang secara sosial terikat dengan kebiasaan-kebiasaan, norma-norma dan kebudayaan-kebudayaan tertentu. Perdebatan ini menghasilkan “penanda atas kebebasan sebagai sebuah konsep”, yaitu tentang (a) liberty, dan (b) license. Jika didalami secara sederhana dan seksama kebebasan yang dimaksudkan adalah si manusia, atau lebih konkretnya, orang per orang memiliki keleluasaan untuk CHOICE apapun bagi hidupnya. Ketiga, ke-publik-an. Di dalam demokrasi publik adalah sebuah arena di mana kebutuhan, nalar dan kehendak publik dirumuskan sebagai bentuk aktual kepentingan bersama. Karena publik adalah aktualisasi kepentingan bersama maka ia bersifat politis. Jadi, dalam pengertian ini ruang publik selalu dikontestasikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan atasnya, dan karenanya menghendaki kontrol rakyat (popular control) berdasarkan kebebasan dan kesetaraan politik. Demokrasi memungkinkan publik untuk memformulasi isu-isu dan kepentingan-kepentingan mereka melalui ruang publik (public sphere) yang bebas dan terbuka. Oleh sebab itu ruang publik sebagai arena kontestasi harus dimenangkan oleh kalangan aktivis Prodem karena ia sangat menentukan bagi nalar dan imaji publik tentang diri, masyarakat dan negara-bangsa.
CEFIL Newsletter | Edisi-I | JULI | 2014 | www.cefil.info
4
Interview AAGN Ari Dwipayana:
Pilpres 9 Juli 2014 "Politics of Hope" Demokratisasi Pemilu legislatif sudah kita lalui pada 9 April 2014 lalu, kini kita semakin mendekati rangkaian berikutnya; Pemilihan Umum Presiden-Wakil Presiden, yang akan dilaksanakan pada 9 Juli 2014 mendatang. Dalam hangatnya situasi politik (election) ini, redaksi tertarik untuk mengangkat isu tentang Pemilu dan Demokrasi. Pada hari selasa lalu, tepatnya tanggal 01 Juli 2014, tim redaksi (Afifudin Toha dan Nunung Qomariyah) berhasil menemui Dr. AAGN Ari Dwipayana, Dosen Fisipol UGM yang kerap diundang sebagai narasumber pelatihan CEFIL. Berikut adalah petikan wawancaranya: Pemilu dipercaya sebagai indispensable root of democracy yang (hampir) bersifat universal dan powerful cataliyst bagi terciptanya pemerintahan yang baik. Pemilu juga disebut sebagai bagian dari accountability mechanism yang diperlukan untuk melakukan check and balance dalam sistem demokrasi. Menurut anda, apakah andaian tentang Pemilu di atas sudah terjadi di Indonesia, khususnya pasca reformasi? Ini pertanyaan sulit. Proses pemilu memang sudah dilakukan secara reguler, 5 tahunan dan ada perbaikan dalam sistem pemilunya. Tetapi ada beberapa persoalan mendasar dalam elektroal itu, sehingga tujuan popular control tidak tercapai. Pertama, soal budaya politik masyarakat. Pemilu adalah moment di mana warga negara dapat memilih sekaligus menghukum. Namun demikian, budaya politik masyarakat kita cenderung transaksional. Hari ini kita melihat fenomena komersialisasi hak-hak warga. Masyarakat tidak menggunakan suaranya dengan pertimbanganpertimbangan politik rasional, melainkan transaksi. Dimana suara diperjual belikan. Kedua, ongkos politik (cost of politic) yang besar. Ongkos politik yang besar dengan sendirinya akan menyeleksi siapa saja yang bisa bersaing dalam ruang politik yang bebas itu. Dana kampanye tidak berasal dari partai, melainkan dari kandidat sendiri atau hasil kolaborasinya dengan korporasi. Pemilu kemudian dapat menjadi ruang tarung yang tidak adil. Karena figur-figur baik tanpa modal besar kesulitan untuk bersaing. Jika kita perhatikan, jumlah politisi dengan latarbelakang interpreneur dan artis semakin menguat. Baik di tahun 2009, maupun di 2014. Ini tidak berarti semua politisi yang berlatar belakang pengusaha buruk dan tidak memiliki idealisme politik. Keadaan semacam ini akan berimplikasi pada problem ketiga, yaitu representasi politik, ada gap antara wakil dengan konstituen yang diwakilinya. Wakil rakyat yang dilahirkan dari politik transaksional akan mengabaikan ikatan politik dengan konstituennya. Ketika ia memenangi pemilu, agenda utamanya adalah kepentingan diri dan partainya. Inilah problem representasi kita. Wakil rakyat tidak dilahirkan melalui basis konstituen yang kuat, melainkan mobilitas uang dan popularitas. Masyarakat hanya menjadi voters yang menjual suaranya pada partai atau calon-calon tertentu. Demokrasi kita dibajak oleh para pemilik modal yang masuk ke dalam arena politik. Kini ada politico bisnis, yakni pebisnis masuk CEFIL Newsletter | Edisi-I | JULI | 2014 | www.cefil.info
5
partai. Mereka bisa menang dengan mudah, karena pembiayaan dimungkinkan. Mereka relatif mudah untuk memenangkan kompetisi karena proses pembiayaan politik diinternal partai itu mereka bisa biayai. Itulah sebabnya mengapa kemudian para pengusaha bisa mengontrol ketua partai. Ketika ini terjadi, maka mereka punya akses pada rekrutmen; seperti pencalonan anggota legislatif, pencalonan eksekutif. Lebih-lebih ketika proses pencalonan itu mereka juga bersaing dengan cara-cara yang sangat liberal dan pada pasar politik yang sangat terbuka. Mengapa dalam kurun waktu 15 tahun itu budaya politik masyarakat tidak terbentuk? Saya rasa ini merupakan warisan budaya patron-klien di masa lalu. Jika dahulu ada patronase dan tekanan penguasa demikian kuat sehingga masyarakat nyaris tak punya pilihan, kini problemnya adalah politik transaksional. Kedua-duanya sama berbahaya. Ini juga akibat distrust yang muncul di tengah-tengah masyarakat kita akibat wakil-wakil yang terpilih tidak mewakili kepentingan mereka. Kalau politiknya transaksional dengan cost of politic yang tinggi, bagaimana dengan kelompok-kelompok marginal yang tak memili modal besar? Dengan kecenderungan konstruksi sistem politik yang seperti itu, maka kelompok-kelompok yang anda sebut sebagai kelompok yang tidak memiliki basis finansial yang kuat relatif sulit untuk berkompetisi. Meskipun juga ada pengecualian-pengecualian. Yang mampu menandingi kelompok berbasis finansial kuat adalah politisi yang punya akar atau basis sosial yang kuat. Cerita tentang ini cukup banyak sebetulnya, kemenangan dari kalangan yang punya basis sosial kuat memenangkan pemilu. Dengan sistem semacam ini, dengan mudah kita tahu siapa yang bisa bersaing dan tersingkir, lalu apa yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya? Perlu ada pembenahan dalam beberapa level. Pertama, pembenahan partai. Kita tidak punya partai yang punya sistem kaderisasi yang kuat. Kaderasi partai selalu instan dan sangat bersifat elektoral. Idealnya partai menata dulu, menginstitusionalisasi ideologi partai melalui kaderisasi. Karena kaderisasi itu sebenarnya institusionalisasi nilai dan ideologi yang dianut oleh partai. Sehingga tidak bisa pengusaha yang instan, kuat secara finansial begitu saja masuk dalam partai, tanpa terlibat dalam proses kaderisasi. Nah sekarang kan tidak, kadang-kadang kalau calonnya secara finansial kuat dicalonkan saja tanpa ikut kaderisasi. Bukan soal pengusahanya, tapi pada apakah partai itu punya sistem kaderisasi dan rekrutmen. Karena ada juga pengusaha yang ideologis. Tapi belum mainstream. Pembenahan harus pada reformasi partai khususnya sistem rekrutmen. Kedua, pembenahan Pemilu. Pada saat ini Pemilu kita menggunakan sistem proporsional terbuka, ini pada titik tertentu menyebabkan persaingan yang tidak sehat baik antar partai maupun di dalam partai. Ditambah dengan biaya politik yang tinggi. Idealnya untuk mencegah cost politik yang tinggi ini, harus ada mekanisme untuk mencegah biaya kampanye yang jor-joran. Nah dengan cara seperti itu maka faktor uang tidak terlalu penting. Ini sebenarnya bisa menyelesaikan problem kompetisi yang tidak sehat itu. Kompetisi tidak sehat ini karena faktor uang itu. Jadi kompetisi akan sehat jika sama-sama bersaing dalam partai tapi basisnya adalah dukungan terhadap visi dan program ditambah dengan rekrutmen partai yang benar. Sekarang ini yang terjadi adalah rekrutmen calegnya tidak benar, kompetisinya juga tidak sehat. Perlu ada reformasi elektoral, termasuk pengaturan keuangan atau belanja partai saat kampanye. Ketiga, perlu kita pikirkan adalah kampanye anti money politic. Jadi masyarakat ini sedang berhadapan dengan satu moment strategis, karena uang menjadi instrumen utama. Bahkan ada spanduk di beberapa kampung yang menyatakan bersedia menerima money politics. Ini adalah budaya politik yang harus dibenahi. CEFIL Newsletter | Edisi-I | JULI | 2014 | www.cefil.info
6
Keempat, lembaga representasi. Lembaga representasi kita ini problem seriusnya adalah pada; 1) Problem akuntabilitas. Dia tidak punya instrumen untuk mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada konstituen. Semestinya Dapil (Daerah Pemilihan) itu difungsikan sebagai salah satu mekanisme untuk menyampaikan apa yang sudah dia kerjakan, yang sekarang ini, justru dirusak dengan model penganggaran Bansos (Bantuan Sosial). Jadi istilah reses oleh mereka disempitkan maknanya menjadi kegiatan turun ke bawah untuk bagi-bagi Bansos, bukan sebagai instrumen untuk mempertanggungjawabkan apa yang sudah ia lakukan, menampung aspirasi rakyat dan melaporkannya lagi di tahun mendatang. Dengan demikian hingga saat ini, pemilu belum bisa menyelesaikan problem representasi? Pemilu belum sepenuhnya bisa menghasilkan satu institusi representasi yang menjalankan fungsinya. Pemilu moment lima tahunan, anggota DPR-nya juga berganti tapi belum sepenuhnya secara kualitatif mampu melakukan perubahan dan menjalankan fungsi popular control itu. Sebelum pemilu legislatif, sejumlah survey melihat turunnya tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik. Apakah Mas Ari melihat hal ini juga akan berefek pada partisipasi warga saat Pilpres 9 Juli mendatang? Saya melihat Pemilu Presiden berbeda dengan pemilu legislatif, saya justru melihat euforia masyarakat untuk memilih pada Pilpres ini akan lebih besar. Dan, ada satu fenomena voluntarism yang kuat. Ini bisa dilihat dari munculnya relawan untuk memperjuangkan seorang kandidat tanpa ia harus masuk partai tertentu. Jadi, voluntarism bangkit kembali. Kenapa dapat bangkit? karena ada politik harapan. Harapan yang mereka miliki, mereka titipkan dan mereka anggap bisa diperjuangkan oleh kandidat. Jadi, menurut saya ini adalah titik balik yang menarik. Tadi kita bicara soal distrust, hampir semua tidak percaya pada partai, tapi pada titik tertentu orang mau terlibat dalam politik. Nah, mengapa orang mau terlibat dalam politik? Apa yang sedang mereka perjuangkan? Kalau termobilisasi saya rasa tidak. Mereka memperjuangkan sesuatu, dan dari perjuangan itu lahir voluntarism. Ini yang menurut saya yang agak membalik suatu perkembangan yang telah terjadi selama 15 tahun. Karena orang mau memperjuangkan itu secara suka rela dan melakukan kampanye dengan biaya sendiri dan itu merupakan satu kekuatan besar yang sedang muncul. Sama seperti fenomena “cicak vs buaya”, jika orang mulai muak dengan situasi tertentu, maka ia membela sesuatu yang lain dengan sukarela. Itu saya kira satu trend yang menarik, sebuah titik balik penting yang perlu dimanfaatkan dengan baik. Kalau tidak, harapan akan turun lagi. Problem yang dihadapi bangsa ini berat, sosok presiden seperti apa yang menurut mas Ari tepat untuk memimpin Indonesia ke depan? Pertama, tidak punya beban masa lalu, itu penting karena beban masa lalu akan membuat ia tidak bisa melangkah, ia harus selalu menutup rapat. Kedua, tidak tersandera oleh kepentingankepentingan partai politik, terutama koalisi. Karena pengalaman sistem presidensial kita selama 10 tahun ini menunjukkan ada masalah serius, presiden tidak bisa bekerja efektif karena tersandera oleh koalisi yang dibangun. Apalagi koalisi ini ditandai dengan politik akomodatif-transaksional. Wilayah-wilayah presiden akan terbatas, karena menteri-menteri dianggap sebagai bagian dari kesepakatan yang harus ditaati. Istilahnya ada kapling-kapling sendiri yang tidak bisa disentuh atau dimasuki oleh presiden. Presiden kita harusnya mampu melepas itu. Ketiga, dia harus punya kemampuan menggerakkan, kita sedang berhadapan dengan problem budaya politik kita yang CEFIL Newsletter | Edisi-I | JULI | 2014 | www.cefil.info
7
transaksional, maka kita harus punya pemimpin yang bisa menjadi motor yang menggerakkan untuk melawan hal itu. Kalau dia tidak bisa menggerakkan, tentu kondisinya akan sulit. Lalu, masih mungkinkah kita membayangkan politik yang tidak tersandera oleh kepentingan transaksional? Mungkin. Karena sistem presidensial itu sangat berorientasi pada figur, bukan koalisi. Sistem presidensial kita sudah terlalu lama dibangun dengan mitos multipartai. Bahwa, seorang presiden harus punya dukungan kuat di parlemen. Itu artinya dia harus menguasai partai yang banyak, belum tentu itu. Sistem presidensial yang sekarang ini cukup memberi kekuasaan presiden untuk menentukan. Dia tidak tergantung di parlemen. Oleh karena itu presiden harus punya kekuasaan atau mandat yang kuat untuk tidak menjalankan, atau berkompromi atau bertransaksi dengan parlemen/kekuatan partai. Dia punya mandat/kekuasaan yang kuat untuk digunakan. Dan, jika mandat itu digunakan sebenarnya akan menyulitkan bagi terjadinya pola-pola transaksional. Apalagi presiden punya kekuasan untuk menentukan kabinet. Memang, belum tentu orang yang ahli itu selalu berasal dari luar partai, bisa jadi dari partai. Hanya saja, basis yang digunakan untuk menentukan itu adalah keahlian, bukan perjanjian. Ini prinsinya beda, kalau transaksi itu ditentukan dulu kuotanya untuk membangun koalisi, sementara zaken cabinet berbasis pada kabinet ahli baru dicari orangnya, dengan demikian bukan transaksional. Kalau ada partai yang mendukung sistem presidential yang semacam ini, pasti didukung oleh masyarakat. Bagaimana mungkin kalau dia bekerja baik dalam pemerintahan tidak dipilih lagi, ya pasti didukung lagi. Jadi, eksekutif ini memang dipilih rakyat dari seorang figur yang punya dukungan elektoral yang kuat dan memang diberi mandat untuk melakukan itu. Apakah akan ada perubahan-perubahan signifikan pada wajah demokrasi kita pasca Pilpres 2014 ini? Ya, tentu akan ada perubahan, siapapun yang akan menang. Misalnya, jika Jokowi (yang menang) jauh lebih ada harapan. Karena itu tadi, ada prinsip-prinsip dasar yang terkait dengan volunterisme, tanpa transaksional, dan zaken cabinet, itu menjadi basis awal dari pemerintahan kita. Itu jauh lebih besar peluangnya untuk membangun bangsa. Berbeda jika bagian dari pemerintahan lama yang terpilih, tidak akan ada perubahan berarti. Belum lagi soal track record dari kelompok lain yang punya problem soal HAM dan kebebasan beragama. Bagaimana mungkin kita berharap akan ada penegakan HAM dan penegakan hukum yang tegas jika yang bersangkutan punya problem dengan itu. Kasus century, misalnya, jika ia mengarah ke SBY berani tidak. Ini kan sepertinya SBY mencari soft landing supaya pasca 2014 dapat jauh lebih aman dari turbulensi politik. Dari sisi koalisi juga cukup complicated dan kontradiktif satu sama lain terkait dengan faham mereka mengenai kebebasan beragama, ada FPI di situ, juga ada PKS. Akan susah menghandle persoalan kebebasan beragama dalam koalisi yang notabene memiliki pandangan yang kontradiktif. Lalu, peran-peran apa yang dapat dimainkan oleh OMS? Ya, saya kira OMS sangat strategis dalam konteks politik saat ini. Pertama, karena OMS atau CSO itu pasti menjadi katup pengaman, di dalam sebuah model politik dengan problem serius; macetnya demokrasi. CSO memainkan peran penting untuk membangun popular control, tetapi OMS bisa melakukan popular control hanya jika ia berada dalam ruang politik yang bebas. Media yang bebas, CEFIL Newsletter | Edisi-I | JULI | 2014 | www.cefil.info
8
bebas berserikat, bebas juga berkumpul, tanpa ada ketakutan untuk diculik, diintimidasi atau dibredel. Bayangkan nanti kalau presidennya sangat anti kritik dan memasung kebebasan berekspresi dan berorganisasi, akibatnya adalah ruang ruang yang sekarang ini sudah terbangun oleh masyarakat sipil itu itu tertekan lagi atau tertutup lagi dengan karakter sistem politik baru, yang kalau itu terjadi akan sangat anti kritik dan memiliki kecenderungan untuk mengontrol society. Sebelum itu terjadi, OMS/CSO harus bergerak.
Agenda 2014 Juli
:
Rekrutmen CEFIL level I Lampung dan CEFIL Level II
Agustus
:
CEFEL Level Idi Lampung
September
:
1. CEFIL Level II di Yogyakarta 2. Regional Meeting 1: Medan dan Pontianak
Oktober
:
1. Workshop on Citizenship Democracy 2. Regional Meeting2: Jawa dan Makassar
November
:
1. CEFIL Level III at SATUNAMA 2. Workshop Regional (i) : 3. Workshop Regional (ii) :
Yogyakarta Pontianak
1. Workshop Regional (iii) 2. Workshop Regional (iv)
Medan Makassar
Desember
:
CEFIL Newsletter | Edisi-I | JULI | 2014 | www.cefil.info
: :
9
CEFIL Newsletter adalah media informasi dua bulanan dalam bahasa indonesia yang diterbitkan oleh program CEFIL, SATUNAMA. Newsletter ini dimaksudkan sebagai media informasi tentang isu demokrasi dan kepemimpinan di Indonesia. Selain itu, Newsletter juga ditujukan sebagai wadah bertukar informasi kegiatan dan advokasi yang dilakukan oleh jaringan alumni CEFIL serta sebagai ruang perjumpaan berbagai individu yang memiliki kepedulian pada keberlangsungan demokrasi di Indonesia. CEFIL Newsletter terdiri dari 5 rubrik: Forum Kita, Respublica, Insight, Interview dan Agenda. Forum Kita berisi laporan jurnalistik (advokasi, pengalaman lapangan, kegiatan), penggalangan dukungan dan agenda; Respublica mengupas isu-isu yang menjadi perhatian publik; Insight mengulas istilah dan konteks keindonesiaan; Interview berisi Wawancara scholar dan aktivis dan Agenda memuat kegiatan CEFIL yang akan datang. Redaksi: Insan Kamil, Afifuddin Toha, Nunung Qomariyah. Grafis: Bima Sakti.
Sekretariat CEFIL d/a. Yayasan SATUNAMA Jln.Sambisari No.99 Duwet, Sendangadi, Mlati Sleman, DIY 55285 Telp : +62 274 867745 – 47, +62 274 868922 Fax : +62 274 869044 Email :
[email protected] Website : www.CEFIL.info
CEFIL Newsletter | Edisi-I | JULI | 2014 | www.cefil.info
10