Dibiayai oleh Kopertis Wilayah VII Jawa Timur, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Penelitian bagi Dosen Perguruan Tinggi Swasta No: 050/SP2H/P/K7/KM/2016
Brand destinasi adalah:
Sebuah nama, simbol, logo, olah kata atau grafis lainnya yang berfungsi untuk mengidentifikasi dan juga membedakan suatu tempat; lebih daripada itu, brand juga menyampaikan janji akan suatu pengalaman perjalanan yang tidak terlupakan yang secara khusus terkait dengan suatu tempat; brand juga berfungsi untuk mengkonsolidasikan dan memperkuat kenangan akan pengalaman yang menyenangkan di tempat tersebut.” (Ritchie dan Ritchie, 1998)
Daftar isi:
Kata pengantar Pendahuluan Model yang diusulkan Tahap #1 Tahap #2 Tahap #3 Tahap #4
i iii 1 4 8 10 14
Citra destinasi adalah:
Kesimpulan dari kepercayaan, ide, dan impresi yang dimiliki seseorang terhadap sebuah destinasi.” (Crompton, 1979) “Sebuah realita bersama yang dibangun secara dinamis melalui interaksi-interaksi sosial.” (Aitken dan Campelo, 2011)
Kata pengantar:
Situs
Trowulan merupakan catatan besar sejarah Indonesia masa lalu dan sekaligus mempunyai peran penting untuk perjalanan bangsa Indonesia ke depan. Salah satu lokasi kebesaran kerajaan Majapahit terekam di wilayah ini, Trowulan. Menjadi penting bagi generasi sekarang untuk menjadi bagian dari upaya pelestariannya, serta mengembangkan dengan semangat kekinian. Buku Panduan Model Pengembangan Destinasi Budaya Berbasis Entrepreneurship ini akan menjadi sebuah realitas hasil sebuah penelitian. Nantinya akan menjadi panduan tidak hanya berlaku di Kawasan Budaya Trowulan saja, tetapi juga diharapkan mampu menjadi dasar-dasar panduan yang berlaku di berbagai kawasan di Indonesia. Terima kasih utamanya kepada Kopertis Wilayah VII Jawa Timur Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Universitas Ciputra, Komunitas dan insan-insan Budaya Trowulan dan seluruh pihak yang telah menjadi bagian dari perjalanan mewujudkan salah satu produk hasil Penelitian ini.
Freddy H. Istanto Ketua Tim Penelitian Dekan Fakultas Industri Kreatif Universitas Ciputra
Salam budaya, Freddy H. Istanto Yohannes Somawiharja Christian Herdinata Michael Nathaniel Kurniawan
Buku Panduan model pengembangan brand destinasi budaya berbasis entrepreneurship
i
Buku Panduan model pengembangan brand destinasi budaya berbasis entrepreneurship
ii
Pendahuluan:
Model
Pengembangan Brand Destinasi Berbasis Identitas (Budaya) Dengan Pendekatan Entrepreneurial co-creation dalam buku panduan ini merupakan salah satu luaran tahun pertama penelitian Hibah Unggulan Perguruan Tinggi yang berjudul “PENGEMBANGAN POTENSI TROWULAN SEBAGAI DESTINASI WISATA BUDAYA BERBASIS ENTREPRENEURSHIP.” Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membantu daerah/ destinasi wisata yang memiliki potensi budaya untuk dapat membangun brand destinasi yang sesuai untuk daerah tersebut secara utuh dan menyeluruh. Dalam hal ini, brand destinasi perlu dipahami sebagai sebuah strategi pengembangan potensi suatu daerah yang didalamnya meliputi sinergi dan koordinasi dari berbagai pemangku kepentingan dalam rangka menciptakan berbagai produk dan jasa yang kreatif dan bernilai jual namun tetap berpegang pada nilai-nilai identitas lokal dari suatu daerah. Brand destinasi lebih dari sekedar logo suatu daerah dan berbagai desain komunikasi visual untuk mendukung tujuan promosi dari suatu daerah. Kasus re-branding Jogjakarta di tahun 2015 merupakan sebuah contoh evolusi brand destinasi yang menawarkan beberapa pelajaran menarik terkait brand destinasi. Perubahan slogan atau tagline dari “Jogja; Never Ending Asia” menjadi Jogja; Istimewa” yang menggunakan
bahasa Indonesia membantu membangun citra yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat umum karena secara langsung mengacu pada akar Istimewa budaya/ status Daerah Jogjakarta. Warna merah merupakan warna yang telah lama diasosiasikan dengan warna Keraton Jogja. Penggunaan bentuk tipografi yang dekat dengan ciri huruf Jawa Honocoroko dengan huruf kecil pada logo yang baru menunjukkan sifat yang non-egaliter. Proses re-branding Jogja telah berusaha melibatkan masyarakat sedini mungkin, namun hanya melalui program kompetisi logo. Mengacu pada buku panduan manual aplikasi brand (GSM), penggunaan positioning “istimewa/ beyond special” ternyata memiliki peran yang lebih dari sekedar pernyataan status Jogjakarta sebagai salah satu dari dua “Daerah Istimewa” di indonesia dimana seorang Raja berperan sebagai Gubernur, namun juga untuk mengekspresikan jiwa/ semangat dari para penduduknya dalam konteks penetapan dan penerapan 9 program pembaharuan standar norma sosial. Dengan kata lain, “istimewa” diharapkan dapat menjadi tujuan peningkatan kualitas dan standar perilaku kehidupan sosial masyarakat. Dengan menyadari bahwa brand yang baru harus dimiliki oleh para pemangku kepentingan, pemerintah dan tim desainer brand menciptakan sebuah
Buku Panduan model pengembangan brand destinasi budaya berbasis entrepreneurship
iii
Tim peneliti ingin menegaskan bahwa kunci keberhasilan dari proses pengembangan brand destinasi adalah keterlibatan para pemangku kepentingan dalam setiap tahapan. Proses pengembangan brand destinasi merupakan sebuah proses berulang/ siklus yang dinamis dan bukan statis yang sangat mirip dengan proses pembentukan identitas individu ataupun suatu organisasi. Oleh karena itu, model pengembangan brand destinasi yang diusulkan menggunakan kerangka teori proses pembentukan identitas dari Kavaratzis dan Hatch (2013). Mengacu pada model pengembangan identitas
tersebut, model yang diusulkan oleh tim peneliti berusaha mengintegrasikan pendekatan entrepreneurship yang juga dinamis dan bersifat siklus dengan mempertimbangkan keseimbangan antara sisi internal (pola pikir dan tindakan seorang entrepreneur) dan sisi eksternal (penciptaan bisnis yang inovatif berdasarkan keinginan dan kebutuhan pasar) sehingga keseimbangan prinsip “supply and demand/ ”Market push dan pull” secara alami dapat terwujud.
INTERNAL
EKSTERNAL
Mengekspresikan:
Branding destinasi yang efektif mengekspresikan pemahaman akan budaya lokal.
Budaya lokal
Berefleksi:
Berkaca:
Branding destinasi yang efektif memahami citra yang ditawarkan oleh destinasi lain dengan selalu berkaca pada impresi dan ekspektasi pengunjung.
Identitas destinasi
Branding destinasi yang efektif berubah identitas seiring dengan penanaman nilai-nilai/ makna dan simbol-simbol baru ke dalam budaya lokal.
Citra destinasi
Memberi impresi:
Branding destinasi yang efektif memberikan impresi/ kesan yang kuat dan unik kepada para pengunjung.
Bagan 1. Bagaimana brand destinasi menyerupai proses pembentukan identitas
Buku Panduan model pengembangan brand destinasi budaya berbasis entrepreneurship
iv
Model yang diusulkan: Model yang dikembangkan oleh tim peneliti mengintegrasikan dua pendekatan entrepreneurship ke dalam kerangka proses pembentukan identitas (lihat bagan 2). Pendekatan entrepreneurship yang pertama berangkat dari sisi internal ke eksternal menggunakan teori entrepreneurship yang disebut “Effectuation”. Untuk lebih jelasnya silakan pelajari: www.youtube.com/watch?v=TIXVe4nEDEE Sedangkan pendekatan yang kedua dari sisi eksternal ke internal merupakan pendekatan yang fokus pada proses penciptaan inovasi dengan mengerti kebutuhan dan keinginan pasar berdasarkan teori “Human-centered design/ design thinking”. Untuk lebih jelasnya silakan pelajari: www.youtube.com/watch?v=taJOV-YCieI Model yang diusulkan memiliki 4 kuadran yang menggambarkan siklus berlawanan dengan arah jarum jam dengan beberapa bagan lain di dalamnya yang akan menjelaskan berbagai aktivitas yang ada di dalam tiap tahapnya. Kuadran pertama fokus pada pembentukan sebuah komite brand yang akan mewadahi sinergi antar pemangku kepentingan. Komite ini bertugas merumusan visi dan strategi brand destinasi berdasarkan komitmen dan sumberdaya yang ada. Perpindahan dari kuadran pertama ke kuadran kedua merupakan berbagai tindakan entrepreneurial yang mencoba untuk berinteraksi langsung dengan pasar. Kuadran kedua fokus pada upaya membangun nilai brand/ “Brand Equity” dengan fleksibilitas dalam beradaptasi dan melakukan penyesuaian terhadap visi dan strategi berdasarkan hasil interaksi dengan pasar. Kuadran ketiga fokus pada analisa internal dan eksternal guna mengukur dan mengevaluasi visi dan strategi yang telah dijalankan. Hasil dari proses tersebut dapat berupa identifikasi masalah yang perlu solusi inovatif, atau sebuah inspirasi yang dapat dianalisa lebih dalam dengan kerangka “Design thinking” di kuadran keempat. Hasil dari kuadran keempat dapat memperkuat atau bahkan mengubah visi dan strategi brand destinasi dan kembali diolah di kuadran pertama sebagai sumberdaya yang baru atau tujuan yang baru.
Kuadran 1 Kuadran 4
Kuadran 2 Kuadran 3
Buku Panduan model pengembangan brand destinasi budaya berbasis entrepreneurship
1
INTERNAL Analisa sumberdaya internal untuk merumuskan visi dan strategi
Adaptasi dan penyesuaian visi dan strategi berdasarkan interaksi dengan pasar
Memperkuat atau mengubah visi dan strategi berdasarkan keinginan dan kebutuhan pasar
Mengukur dan mengevaluasi visi dan strategi dengan studi komparasi terhadap destinasi lain
EKSTERNAL Bagan 2. Bagaimana pendekatan entrepreneurship diintegrasikan dalan proses pembentukan identitas
Buku Panduan model pengembangan brand destinasi budaya berbasis entrepreneurship
2
INTERNAL Analisa sumberdaya internal untuk merumuskan visi dan strategi Sumber daya baru dan tujuan baru
Memperkuat atau mengubah visi dan strategi berdasarkan keinginan dan kebutuhan pasar Siklus “Design Thinking”
Ide-ide bisnis baru terkait produk, jasa, proses, dan pengalaman interaktif
Adaptasi dan penyesuaian visi dan strategi berdasarkan interaksi dengan pasar
Pemahaman akan problem/ kebutuhan dan keinginan pasar serta para pemangku
SAY
THINK
DO
FEEL
Manfaatkan kejutan yang muncul dari interaksi dengan pasar
Mengukur dan mengevaluasi visi dan strategi dengan studi komparasi terhadap destinasi lain
EKSTERNAL Bagan 3. Model pengembangan brand destinasi budaya berbasis entrepreneurship dan aktivitas di dalamnya
Buku Panduan model pengembangan brand destinasi budaya berbasis entrepreneurship
3
#1. “Crazy Quilt” yang tersinergi antar pemangku kepentingan: D
alam pengembangan brand destinasi yang melibatkan para pemangku kepentingan yang beragam, perlu ditanamkan sikap kolaboratif dan empati. Orang yang memiliki empati yang kuat akan mampu untuk memahami situasi dan kondisi yang dialami oleh orang lain, termasuk keinginan dan kebutuhan pengunjung. Pemahaman ini akan mempermudah terciptanya kolaborasi antar individu atau institusi dan mendorong terciptanya ide-ide bisnis. Sinergi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan diharapkan akan dapat melahirkan berbagai bisnis yang tetap sesuai dengan budaya, dan identitas lokal. Budaya dan identitas lokal inilah yang akan menjadi titik awal perumusan visi dan misi dari strategi brand destinasi suatu daerah. Studi literatur juga menyarankan agar proses pengembangan brand destinasi dimulai dengan menganalisa sumberdaya internal yang dimiliki oleh suatu daerah, baik sumber daya alam maupun budaya. Hal ini sangatlah sesuai dengan prinsip pertama dari pola pikir entrepreneur dalam teori Effectuation yang menyatakan bahwa seorang entrepreneur menciptakan peluang dengan terlebih dahulu memahami sumberdaya yang dimilikinya. Sumber daya yang dimaksud meliputi pengenalan akan potensi diri, pengetahuan yang dimiliki, dan juga orang lain yang dikenal/ jejaring sosial yang dimiliki. Kolaborasi antar individu yang mau berinisiatifdan berkomitmen untuk masuk dalam suatu usaha bersama sebelum ada timbal balik yang jelas inilah yang disebut dengan sinergi“Crazy quilt”. Brand destinasi adalah hal yang sangat kompleks karena harus mensinergikan berbagai pihak dengan kepentingan yang berbeda-beda dan dengan lemahnya kontrol. Untuk itu tim peneliti menyarankan dibentuknya suatu komite brand daerah yang terdiri dari para tokoh“Crazy quilt” . Komite inilah yang akan terlebih dahulu merumuskan visi dan strategi brand destinasi, mendorong, mengorganisasi, dan mengawasi segala sinergi yang akan terjadi.
Buku Panduan model pengembangan brand destinasi budaya berbasis entrepreneurship
4
Penduduk lokal
Akademisi dan pakar lokal
Entrepreneur lokal
Sinergi “Crazy Quilt” Pemerintah lokal
Pengunjung
Praktisi industri pariwisata
Bagan 4. Sinergi antar pemangku kepentingan
Dalam diagram ini, tim peneliti menyarankan adanya sinergi dan kolaborasi atas dasar kesepahaman antara akademisi, masyarakat lokal, entrepreneur lokal, pengunjung, praktisi industri pariwisata, dan pemerintah lokal. Dalam konteks pengembangan potensi wisata budaya, akademisi dan para pakar budaya lokal hendaknya menjembatani sinergi dan komunikasi antara pemerintah dan penduduk lokal dalam hal pembentukan kebijakan daerah serta mendukung program-program pemberdayaan masyarakat yang dapat melahirkan para pengusaha lokal yang memiliki identitas lokal yang kuat. Para pengusaha lokal inilah yang akan mengelola sumberdaya daerah, baik alam maupun budaya dan
mewadahi terjadinya interaksi antara penduduk dengan para pengunjung. Disinilah para penduduk sebagai penyedia jasa maupun produk kreatif dapat menciptakan bersama/ co-create pengalaman wisata yang unik melalui interaksi dengan para pengunjung, seperti yang tergambar dalam foto pernikahan yang “istimewa” di Jogja pada halaman pendahuluan. Para praktisi industri pariwisata diharapkan dapat mendukung terjadinya interaksi sosial yang beragam dengan memahami peta keinginan dan kebutuhan berbagai konsumen dan mengkomunikasikannya kepada pemerintah guna menjadi pertimbangan dalam pembentukan kebijakan dan juga mendukung dalam hal pemasaran global.
Buku Panduan model pengembangan brand destinasi budaya berbasis entrepreneurship
5
#1. (cont.) Co-create“Entrpreneurial actions” berdasarkan prinsip “Affordable loss”, “Leverage contigencies”, dan “Pilot in the plane”: Dalam sinergi dan kolaborasi diharapkan lahir ide-ide bisnis dari para pemangku kepentingan. Seorang entrepreneur dapat memiliki banyak ide bisnis, namun salah satu pola pikir yang penting untuk dipahami adalah dalam hal pengambilan keputusan mengenai ide bisnis mana yang akan dijalankan. Seorang entrepreneur ternyata memperhitungkan risiko bukan berdasarkan besarnya keuntungan yang dapat diraih, namun berdasarkan kerugian yang dapat ditanggung/ “Affordable loss.” Kerugian yang dimaksud meliputi kerugian materi, tenaga, waktu, dan relasi. Sebuah ide bisnis mungkin dapat terlihat logis dan sangat menguntungkan, akan tetapi ide bisnis tersebut akan percuma jika kita tidak memiliki sumber daya yang dibutuhkan. Kesalahan yang umum terjadi terkait pengambilan keputusan dalam menciptakan bisnis adalah bahwa kita sebaiknya fokus pada satu ide bisnis dengan tujuan akhir yang jelas dan wajib untuk mengumpulkan semua sumberdaya yang dibutuhkan seorang diri dengan segala cara yang dapat kita lakukan. Pada kenyataannnya seorang entrepreneur yang ahli tidak melakukan hal demikian. Seorang entrepreneur yang ahli memiliki empati dan sikap kolaboratif sehingga dapat melihat sumberdaya yang dimiliki oleh pihak lain dan bahkan membantu pihak lain untuk maju. Hal kedua yang juga penting namun juga seringkali salah dimengerti adalah dalam hal tindakan atau interaksi dengan pasar. Paradigma yang umum diajarkan adalah dalam menciptakan bisnis, seorang entrepreneur pastilah memiliki perencanaan bisnis yang matang dan kebal terhadap kejutan ataupun kesalahan, sehingga apapun kejutan yang mungkin terjadi saat bisnis dijalankan pasti sudah dapat dipetakan dan dihindari sejak awal. Dalam kenyataannya, seorang entrepreneur belajar untuk menerima dan memanfaatkan kejutan-kejutan yang Buku Panduan model pengembangan brand destinasi budaya berbasis entrepreneurship
6
Bagan 5. Siklus penciptaan bisnis baru berdasarkan teori Effectuation
muncul dari proses memulai bisnis dan berinteraksi dengan pasar. Proses penciptaan bisnis baru menuntut kedinamisan/ fleksibilitas dimana pengambilan keputusan diambil berdasarkan sumber daya yang dimiliki dan kerugian yang dapat ditanggung. Seringkali kegagalan proses pengembangan brand destinasi terletak pada pendekatan yang bersifat statis dan “Top-down”, dimana brand destinasi silihat sebagai sebuah usaha untuk mengkomunikasikan identitas suatu tempat, namun hanya memperhitungkan identitas sebagai hasil akhir dari sebuah proses pengambilan keputusan yang dibuat oleh seseorang atau suatu entitas yang seakan mampu menggambarkan identitas tempat tersebut, memilah-milah elemen-elemen terkait, dan merangkainya sedemikian rupa sehingga dapat dikomunikasikan dengan mudah dan terorganisir. Pendekatan co-creation dalam pengembangan brand destinasi yang berbasis identitas (budaya) harus dipahami secara menyeluruh sebagai sebuah proses yang dinamis, natural, dan
merupakan gerakan ‘bottom-up’. Untuk itu tim peneliti harus memberdayakan masyarakat beserta para pemangku kepentingan yang terlibat dengan pola pikir entrepreneurial, inovasi, dan kepemimpinan, agar brand destinasi dikembangkan oleh masyarakat dengan sendirinya, dan bersifat berkelanjutantanpa bergantung pada peran dan keberadaan tim peneliti. Hal inilah yang dimaksud dengan prinsip “Pilot in the plane.” Model pengembangan brand destinasi budaya berbasis entrepreneur ini berharap agar pemberdayaan entrepreneurship dapat mewujudkan masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab terhadap sumberdaya alam dan budaya yang dimiliki. Setiap elemen masyarakat memiliki kepentingan dan potensi yang berbeda, sehingga dapat pula menciptakan beragam bisnis untuk segmentasi pasar yang spesifik dan beragam, namun hendaknya memiliki kesepahaman dalam visi dan strategi brand destinasi.
Buku Panduan model pengembangan brand destinasi budaya berbasis entrepreneurship
7
#2. Kesepahaman dalam interaksi dengan pasar guna membangun brand destinasi: Kesepahaman dalam brand destinasi sangatlah penting dalam mendukung terciptanya sebuah pengalaman wisata yang unik dan berkesan. Brand destinasi berfungsi untuk menyampaikan sebuah janji akan sebuah pengalaman dan mensinergikan berbagai upaya untuk mewujudkan janji tersebut. Dalam upaya tersebut, perlu adanya sebuah kesepahaman antara para penduduk lokal, entrepreneur lokal, dan pengunjung yang terbentuk secara alami. Saat para penduduk lokal yang memiliki identitas lokal yang kuat dan paham benar akan kekayaan sumberdaya alam dan budayanya dapat dimampukan untuk menjadi para entrepreneur-entrepreneur lokal, para entrepreneur inilah yang diharapkan sanggup untuk mengupayakan keseimbangan antara mengelola dan menawarkan sumber daya yang dimiliki oleh daerah tersebut dengan kebutuhan dan permintaan dari para pengunjung yang beragam. Dalam berinteraksi dengan pasar, kesepahaman antara pemangku kepentingan akan mewujudkan brand destinasi sesuai dengan tahapan yang divisualkan dalam bagan 6. “Presented Brand” (PB) adalah pesan brand (nama merek, logo, dan presentasi visualnya) yang dikonseptualisasikan dan dipromosikan oleh suatu perusahaan. ‘PB’ adalah adalah salah satu cara untuk menyuarakan pesan brand yang diinginkan disamping iklan. ‘PB’ haruslah didesain secara menarik. “Brand Awareness” (BA) adalah kemampuan untuk mengenali dan mengingat sebuah brand yang tercermin sebagai makna yang penting di dalam benak konsumen. ‘BA’ merupakan elemen utama dari pengaruh brand terhadap pariwisata. Sebuah ‘BA’ dapat memiliki dua sudut pandang yang ekstrem, mulai dari ketidakpedulian terhadap suatu brand atau brand yang sangat dominan, dan di antaranya terdapat beberapa level ‘BA’ yang dapat diidentifikasi: “Brand Recognition”/ mengakui adanya suatu brand, “Brand Recall”/mengingat suatu brand, dan “Top of Mind”/ suatu brand yang telah menjadi preferensi utama.
Buku Panduan model pengembangan brand destinasi budaya berbasis entrepreneurship
8
Bagan 6. Kesepahaman antar pemangku kepentingan dalam membentuk brand destinasi
“Brand Meaning” (BM) mengacu pada persepsi dominan terhadap suatu brand yang ada di benak para pemangku kepentingan. Hal ini merupakan konsep sebuah impresi yang pertama kali muncul dalam benak stakeholder saat memikirkan suatu brand dan membentuk suatu sikap atau perasaan dalam diri stakeholder, serta terkait dengan citra atau reputasi suatu organisasi atau destinasi. Ada tiga kategori ‘BM’: 1) Attributes; adalah elemen-elemen yang secara deskriptif membentuk karakteristik dari suatu produk atau jasa, 2) Benefits; adalah nilai-nilai intrinsik yang melekat pada atribut-atribut suatu produk atau jasa, 3) Attitudes; adalah evaluasi menyeluruh dari konsumen terkait dengan nilai-nilai/ idealisme intrinsik konsumen Asosiasi brand adalah segala sesuatu yang terkait/ berhubungan dengan ingatan akan suatu brand sehingga suatu brand memerlukan kredibilitas agar dapat dipercaya. ‘BM’ haruslah kuat, disukai, dan
unik. Kepribadian brand dan brand asosiasi adalah dua komponen utama dalam membentuk ‘BM’. “Brand Equity” (BE) adalah kewajiban dan aset riil dan atau aset tidak berwujud yang terkait dengan brand. Untuk mendukung kesuksesan proses brand destinasi, ‘BE’ harus memiliki tiga elemen: 1) Perceived quality/ kualitas yang dipersepsikan 2) Loyalty/ kesetiaan, 3) Word of mouth Kesetiaan yang dimaksud adalah komitmen untuk membeli lagi atau merekomendasikan sebuah produk atau jasa. Kesetiaan terhadap suatu brand adalah inti dari ‘BE’. Kualitas yang dipersepsikan juga merupakan hal yang penting karena hal ini bukan saja menggambarkan aspek tujuan kualitas tetapi juga evaluasi subjektif dari stakeholder. “Word of mouth” sangat relevan dalam brand destinasi dan jasa karena kesamaan wujud intinya yang bersifat tidak berwujud.
Buku Panduan model pengembangan brand destinasi budaya berbasis entrepreneurship
9
#3. Kemampuan dasar untuk analisa internal dan eksternal: Brand destinasi biasanya dimulai dengan analisa internal dan eksternal. Akan tetapi, dalam model yang diusulkan tim peneliti, analisa internal dan eksternal diletakkan dalam tahap ke-3 dari siklus pengembangan brand destinasi. Sesuai dengan proses pembentukan identitas, tahap ke-3 merupakan “Mirroring”/ berkaca. dimana pada tahap ini, visi, strategi, dan semua tindakan yang telah dilakukan dibandingkan dengan brand destinasi dari daerah lain sehingga para pemangku kepentingan yang tergabung dalam suatu komite brand dapat mengukur dan mempelajari kelebihan, keberhasilan, kekurangan, dan kegagalan dari brand destinasinya. Dalam tahap ini pendekatan “Human-centered design” (HCD) mulai digunakan. Dalam ‘HCD’, ada beberapa kemampuan dan pola pikir yang harus dimiliki dan terus dikembangkan: 1. Empati/ kemampuan untuk memposisikan diri di posisi orang lain 2. Pola pikir yang selalu penasaran/ ingin tahu segala hal, tidak mudah menghakimi, dan tidak mengandalkan asumsi 3. Kebiasaan untuk mempertanyakan segala sesuatu dan tidak takut salah bertanya 4. Kemampuan sebagai pengamat dan pendengar yang baik sehingga mampu menemukan pola terkait perilaku para pemangku kepentingan. Tujuan utama dalam tahap analisa ini adalah menemukan problem/ peluang terkait kebutuhan/ keingin para pemangku kepentingan, terutama konsumen, baik yang disampaikan secara langsung maupun tidak langsung/ implicit. Untuk itu penting bagi setiap orang yang langsung berinteraksi dengan pengunjung untuk mengerti beberapa teknik dasar dalam bertanya sehingga dapat menggali dan mengenali keinginan/ kebutuhan tersebut, antara lain: 1. Jangan menggunakan kata “biasanya” dalam bertanya,
Buku Panduan model pengembangan brand destinasi budaya berbasis entrepreneurship
10
SAY
THINK
DO
FEEL
Bagan 7. Peta empati
2.
3. 4.
5.
mis. untuk mengetahui kebiasaan pengunjung dalam berwisata sebaiknya tidak bertanya dengan kalimat, “Biasanya bapak/ ibu berwisata kemana?” Gunakan kata “paling/ ter..”. Mis, “dimanakah bapak/ ibu TERakhir kali berlibur?” atau “Apa yang paling ibu sukai dari produk ini?” Pertanyaan yang spesifik akan memberikan jawaban yang tidak ambigu. Galilah cerita dan emosi, misal, “Bagaimana perasaan bapak/ ibu setelah mengikuti acara ...?” Ubahlah kalimat negatif menjadi saran yang positif menggunakan kata “bagaimana seandainya/ jika ...” atau “apa yang Anda harap dapat diperbaiki dari ..?” Jangan membuat pertanyaan yang terlalu panjang dan berbelit.
6. Jangan mengarahkan atau menawarkan jawaban. Peta empati dalam ‘HCD’ dapat digunakan untuk memetakan dan mengkategorikan hasil temuan, seperti yang divisualkan di atas dengan kertas yang berwarna-warni, dimana tiap warna yang sama dapat dikelompokkan di dalam kategori yang sama. Kuadran “Say” dalam peta empati diisi dengan kutipan komentar ataupun jawaban para pengunjung. Kuadran “Do” diisi dengan hasil observasi terhadap tindakan dan perilaku pengunjung. Kuadran “Feel” berisi perasaan yang dialami oleh pengunjung. Hal ini dapat diketahui dengan mengamati bahasa tubuh, nada suara, dan pemilihan kata-kata. Kuadran “Think” berisi hasil analisa kita terhadap apa yang ada di benak pengunjung atau konsumen.
Buku Panduan model pengembangan brand destinasi budaya berbasis entrepreneurship
11
#3. (Cont.) Analisa internal dan eksternal guna mengukur visi dan strategi brand destinasi: Analisa internal dilakukan untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut: 1. Analisa performa yang meliputi, antara lain: a) Jumlah pengunjung b) Keuntungan daerah c) Jumlah penjualan d) Tingkat kepuasan pengunjung/ konsumen e) Asosiasi brand di benak pengunjung f ) Standar kualitas produk g) Komitmen para pemangku kepentingan h) Biaya tetap dan biaya tidak tetap yang muncul dari suatu kegiatan 2. Analisa strategi yang meliputi, antara lain: a) Problem strategis yang dihadapi b) Hambatan atau batasan yang dihadapi c) Kelemahan dan kekurangan yang dimiliki d) Kekuatan yang dimiliki 3. Analisa dampak ekonomi, sosial, bdaya, dan lingkungan yang meliputi, antara lain: a) Mempelajari dampak visi dan strategi brand destinasi terhadap tingkat ekonomi masyarakat b) Mempelajari dampak visi dan strategi brand destinasi terkait perubahan perilaku sosial dan budaya masyarakat c) Mempelajari dampak visi dan strategi brand destinasi terhadap lingkungan hidup sekitar dan artefak/ situs-situs budaya Analisa eksternal dilakukan untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut: 1. Analisa konsumen yang meliputi, antara lain: a) Segmentasi konsumen b) Motivasi dan perilaku konsumen c) Keinginan/ kebutuhan konsumen yang belum terwadahi
Buku Panduan model pengembangan brand destinasi budaya berbasis entrepreneurship
12
2. Analisa kompetitor yang meliputi, antara lain: a) Mengetahui kualitas desain identitas dan media komunikasi serta promosi dari brand destinasi kompetitor b) Mempelajari strategi brand destinasi dari daerah lain/ negara lain c) Mempelajari janji yang ditawarkan dan citra destinasi kompetitor d) Mempelajari performa dari brand destinasi kompetitor e) Mempelajari tujuan atau rencana dari brand destinasi kompetitor f ) Mempelajari kekuatan dan kelemahan dari brand destinasi kompetitor g) Mempelajari keunikan pengalaman wisata yang dialami oleh pengunjung dari brand destinasi kompetitor 3. Analisa pasar yang meliputi, antara lain: a) Mempelajari trend wisata yang sedang berkembang b) Mempelajari ukuran potensi pasar c) Mempelajari pertumbuhan ekonomi industri pariwisata d) Mempelajari tantangan pasar di masa depan e) Mempelajari faktor-faktor kunci keberhasilan dari industri wisata budaya f ) Mempelajari sistem distribusi
terkait industri wisata budaya 4. Analisa lingkungan yang meliputi, antara lain: a) Perkembangan teknologi yang dapat dimanfaatkan b) Kebijakan pemerintah yang akan mempengaruhi visi dan strategi dari daerah destinasi c) Keadaan ekonomi d) Skenario-skenario yang dapat dilakukan e) Area-area yang membutuhkan informasi lebih Diharapkan beberapa pertanyaan yang telah dipaparkan di atas dan peta empati dapat memberikan arahan dalam melakukan analisa. Dalam tahap ini ada beberapa “tools” lain yang dapat dipakai, baik sebai tambahan ataupun sebagai metode pengganti dari pertanyaan di atas, misalnya pemetaan faktor kunci keberhasilan dalam “Blue Ocean Strategy” atau “Ten types of Innvation”. Sekali lagi tim peneliti menekankan bahwa tujuan tahap ini adalah untuk mengukur kinerja visi, strategi, dan implementasinya, “berkaca” terhadap brand destinasi lainnya, baik lokal, nasional, maupun global, menemukan masalah spesifik atau kebutuhan dan keinginan konsumen yang belum terjawab, dan mencari inspirasi untuk nantinya memperkaya visi dan strategi brand destinasi di tahap keempat.
Buku Panduan model pengembangan brand destinasi budaya berbasis entrepreneurship
13
#4. “Human-centered design/ Design thinking” untuk berinovasi: Empati adalah kunci untuk memprediksi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran dibalik “Human-centered design/ Design thinking”. “Human-centered design/ Design thinking” adalah suatu kemampuan berpikir layaknya seorang desainer dalam menciptakan solusi-solusi inovatif untuk menghadapi problema/ tantangan apapun dengan mengacu pada interaksi manusia dengan suatu keadaan/ produk atau interaksi antar manusia. Dengan memahami keinginan dan kebutuhan para pemangku kepentingan, maka kita dapat menciptakan solusi inovasi untuk tantangan masa depan. Tim peneliti percaya bahwa seringkali program pemberdayaan masyarakat tidak/ kurang berhasil karena terlalu berfokus pada pengembangan skill atau penguasaan suatu teknologi baru, dimana hasil akhir sudah dapat dipastikan sejak tahap awal. Hal ini sangat bergantung pada asumsi yang dimiliki oleh beberapa orang terhadap pasar dan keadaan di masa depan. “Human-centered design/ Design thinking” saat ini banyak diajarkan di berbagai program studi di berbagai universitas tingkat dunia karena mengajarkan pola pikir universal yang dapat digunakan dalam keadaan apapun, tidak terbatas oleh tempat dan waktu. Kemampuan seorang desainer untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda dan melihat batasan bukan sebagai penghalang melainkan titik ungkit untuk menciptakan inovasi dapat diterapkan di berbagai bidang. “Design Thinking” merupakan siklus berulang dengan tiga bagian utama, yakni identifikasi masalah, ideasi, dan implementasi. Hasil dari tahap ke-3 menjadi titik awal dari siklus proses ‘HCD’ untuk menciptakan inovasi di tahap keempat ini. Inovasi yang dimaksud dapat berupa perbaikan baik sebagian ataupun menyeluruh terhadap materi promosi, produk/ jasa/ pengalaman wisata yang ditawarkan atau penciptaan produk, jasa, bisnis baru yang dapat memperkuat visi dan strategi brand destinasi suatu daerah.
Buku Panduan model pengembangan brand destinasi budaya berbasis entrepreneurship
14
Bagan 7. Siklus “Human-centered design/ Design Thinking”
Proses ‘HCD’ membutuhkan kolaborasi antar orang yang memiliki kemampuan yang berbeda/ beragam. Dalam konteks brand destinasi keberagaman ini dipandang sebagai tantangan dalam menciptakan sinergi, akan tetapi dalam proses ‘HCD’, keberagaman ini dibutuhkan. Hal ini diwadahi dalam “Crazy Quilt” sinergi dalam bentuk komite brand destinasi daerah. Setiap anggota dalam komite sebaiknya memiliki beberapa hal dasar sebagai berikut agar metode ‘HCD’ dapat diterapkan secara tepat dan efektif: 1. Empati untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda. 2. Kemampuan untuk berpikir sinergis dan kolaboratif untuk mengembangkan ide orang lain 3. Sikap optimis dan berpikiran positif/ terbuka, karena ide yang inovatif terkadang berlawanan dengan asumsi/ ide yang dimiliki atau ide yang telah dipikirkan oleh orang lain. 4. Suka bereksperimen/ mencoba hal yang baru dimana kesalahan adalah
pelajaran yang berharga merupakan hal yang wajar.
dan
Secara riil, metode ‘HCD’ sering dipakai dalam konteks entrepreneurship untuk: 1. Mengidentifikasi problem dan mengubahnya menjadi peluang. 2. Menemukan keinginan dan kebutuhan yang belum terjawab dan mendukung proses penciptaan solusi untuk menjawab kebutuhan/ keinginan tersebut. 3. Dipakai sebagai metode untuk memecahkan masalah 4. Menemukan titik temu antara apa yang diinginkan, apa yang bisa ditawarkan, dan apakah menguntungkan secara perhitungan keuangan dan sumberdaya. 5. Empati memampukan kita untuk menemukan sesuatu yang baru yang dapat diterima oleh pasar, daripada terjebak dalam proses penciptaan sesuatu yang baru dan kemudian bingung mencari pasarnya.
Buku Panduan model pengembangan brand destinasi budaya berbasis entrepreneurship
15
#4. (Cont.) Tahapan“Human-centered design/ Design thinking”: 6. ‘HCD’ mengembangkan kreativitas, analisa, dan sintesa yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan masa depan. 7. Empati adalah salah satu pola pikir entrepreneur yang perlu terus diasah. Berikut adalah tahapan ‘HCD’ secara spesifik: 1. Identifikasi masalah, dimana semakin spesifik rumusan masalah yang dimiliki akan lebih baik dalam proses ideasi selanjutnya, contoh: “Bagaimana mendesain souvenir kawasan budaya yang lebih baik untuk wisatawan?” adalah rumusan masalah yang masih terlalu umum dibandingkan dengan “Bagaimana mendesain souvenir khas Majapahit yang dapat dibeli dengan biaya sekian Dollar oleh wisatawan dari negara .... dan mudah untuk dibawa/ dipakai saat berpergian? Rumusan masalah di awal tahapan seringkali masih terlalu umum atau bersifat hanya di permukaan, belum sampai ke akar masalah yang sebenarnya. Oleh karena itu seringkali diperlukan proses mendefinisikan ulang suatu identifikasi masalah. 2. Akui semua asumsi dan pengetahuan yang dimiliki lalu lakukan riset untuk membuktikan apakah asumsi dan pengetahuan yang dimilki tersebut salah atau benar. 3. Dalam riset, tentukan siapa saja para pemangku kepentingan yang terlibat dan temukan para ”Pakar”, yakni konsumen yang ekstrim dan pakar di bidang terkait. Para “Pakar” dapat mewakili suara dan pendapat dari pasar. Dlam konteks destinasi wisata budaya, konsumen yang ekstrim mungkin adalah seorang konsumen yang begitu mencintai suatu budaya sehingga dia membentuk suatu komunitas dan aktif mengajak orang untuk pergi dan beraktivitas di suatu daerah. Seorang pakar di bidang budaya juga dapat memberikan wawasan dan pengetahuan lebih mengenai potensi sejarah seni dan budaya suatu daerah.
Buku Panduan model pengembangan brand destinasi budaya berbasis entrepreneurship
16
4. Petakan dan kategorikan akar masalah tau kategori kebutuhan dan keinginan pengunjung dengan menggunakan empati map. 5. Cari solusi kreatif untuk tiap kategori akar masalah atau kategori kebutuhan/ keinginan yang ada. 6. Kembangkan ide solusi hingga menjadi prototipe dan uji cobakan kepada pengunjung. 7. Lakukan uji coba yang diobservasi dan dapatkan kritik dan saran dari pengguna. 8. Lihat kembali secara objektif, apakah solusi yang dihasilkan sudah siap untuk diimplementasikan atau masih perlu penyempurnaan, atau bahkan solusi tersebut salah sehingga proses identifikasi masalah perlu dilakukan lagi atau diperbaiki. Hasil dari ‘HCD’ di tahap ini seharusnya dapat memperkaya visi dan strategi atau bahkan memberikan arahan dan strategi baru bagi pembentukan brand destinasi. Yang penting untuk dipahami adalah proses pengembangan brand destinasi ini merupakan sebuah dialog interaktif yang terjadi secara natural antara sisi internal dan eksternal. Logo sebuah brand destinasi bukanlah suatu hasil akhir yang pasti, karena brand destinasi akan terus berkembang dan berevolusi layaknya suatu organisme yang hidup.
Semoga model ini dapat berguna bagi pengembangan brand destinasi berbagai daerah di Indonesia. Buku panduan ini disusun oleh tim peneliti yang terdiri dari: Ketua Peneliti: Freddy H. Istanto, IAI, Ir., MT. Ars., Dekan Fakultas Industri Kreatif Universitas Ciputra E-mail:
[email protected] d Anggota Peneliti: Dr. Christian Herdinata, SE., M.M., Yohanes Somawiharja, M.Sc., Michael N. Kurniawan, S.Sn. Desain dan layout oleh: C24designstudio
Buku Panduan model pengembangan brand destinasi budaya berbasis entrepreneurship
17