Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 2, Nomor 1, Januari 2014
Bounded Rationality Studi Deskriptif Tentang Konflik Kepentingan dalam Perumusan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Gresik Betty Wahyuningtyas Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Airlangga
Abstract Policy of wage which is central goverment authority before, now becoming regional authority which listed on governoor policy. Various stakeholder involved on this policy formulation causes conflict of interest happened. Each part try to give the most rational reason for getting integrative solution. This research aim to describe various of interest based on bounded rationality perspective, then mapping conflict which happen at all. This research use qualitative descriptive method. The result showed that bounded rationality appear from the difference of satisficing from a policy, incomplete knowledge which is bounding the rationality, and bureaucracy values which is bounding goverment behavior. Furthermore, the conflict of interest which happened in formulation of minimum wage policy can be analyzed by conflict pattern analisys with “win-lose” situation.
Keywords: conflict of interest, bounded rationality, stakeholder, interest of each side
Pendahuluan Pengambilan keputusan merupakan hal yang terpenting dalam sebuah negara, karena keputusan berkaitan dengan hal-hal yang dapat mengatur perilaku entitas maupun reaksi terhadap sebuah permasalahan. Hingga saat ini masih banyak kebijakan pemerintah yang menuai banyak kontroversi akibat sistem perumusan yang tidak melibatkan semua pihak. Kalaupun telah melibatkan semua pihak, setiap kepentingan mungkin mengalami porsi ketercapaian yang berbeda. Tergantung pada seberapa besar pembuat kebijakan mengakomodasi kepentingan stakeholder yang terlibat di dalamnya. Menurut Simon (2000: 25-39), pembuat kebijakan mempunyai potensi untuk mengoptimalisasikan pilihannya sampai menemukan solusi untuk memenuhi kepuasannya. Jika dalam melakukan pengambilan keputusan dilakukan pada level negara, akan ada banyak aktor yang bermain didalamnya. Pengambil keputusan yang optimal adalah rasional. Artinya, dia membuat pilihan memaksimalkan nilai yang konsisten dalam batas-batas tertentu (Robbins, 2010: 175). Kemudian upaya memaksimalkan nilai untuk diwujudkan menjadi sebuah kebijakan oleh beberapa pihak, memicu adanya kepentingan yang overlapping, sehingga memungkinkan terjadinya konflik. Definisi konflik menurut Susan (2009) adalah terbangunnya hubungan-hubungan beberapa pihak dalam arena dan struktur sosial tertentu akibat adanya perbedaan kepentingan dan tujuan sebagai bentuk penerjemahan kebutuhan yang diperjuangkan secara individual maupun kolektif. Terbangunnya konflik ini
terjadi dalam kasus perumusan upah minimum kabupaten/kota yang melibatkan multistakeholder. Konflik kepentingan ini terjadi antara pemerintah, buruh, dan pengusaha dalam merumuskan kebijakan penetapan Upah Minimum Kota/Kabupaten. Kepentingan yang dimiliki ketiganya memang berbeda dan harus menghasilkan sebuah kesepakatan. Buruh memperjuangkan haknya untuk memperoleh upah yang layak untuk memperbaiki kualitas hidup. Sementara tidak demikian yang menjadi pertimbangan pengusaha. Karena yang dipertimbangkan pengusaha dan perusahannya adalah profit, biaya produksi, dan lain-lain untuk keberlangsungan usahanya. Berbeda dengan pemerintah, secara normatif pemerintah dalam hal ini memiliki peran untuk menjaga agar iklim investasi tetap kondusif dan mengakomodasi kepentingan keduanya kemudian diwujudkan dalam bentuk undang-undang. Undang-undang yang dipergunakan sebagai pedoman dalam penetapan Upah Minimum Kota/Kabupaten adalah UU ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003. Dalam UU nomor 13 tahun 2003 telah dijelaskan tentang hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha. Termasuk tentang pengupahan. Semenjak desentralisasi, kewenangan untuk menetapkan pengupahan ditetapkan oleh daerah. Menurut Pratomo dan Saputra (2011: 269-285) penetapan harga UMK ini dimaksudkan untuk menjamin penghasilan pekerja sehingga tidak lebih rendah dari satu tingkat tertentu, meningkatkan produktivitas pekerja, mengembangkan dan meningkatkan perusahaan dengan cara-cara produksi yang lebih efisien. Semenjak upah minimum mulai dirintis untuk mulai diimplementasikan, Departemen Industri dan Perdagangan yang dicatat dalam laporan SMERU tahun 2001 menyebutkan bahwa pada tahun 1998-2001 usaha mikro mengalami pertumbuhan pesat dalam 1998-2001 dengan angka 11%.
1
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 2, Nomor 1, Januari 2014
Tabel I.1 Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2011-2012
Sumber: Laporan BPS tahun 2011-2012 (bps.go.id , 2012) Hal ini dinilai positif, namun asumsinya adalah ketika kebijakan upah minimum diberlakukan, perusahaan makro yang sebagian besar adalah perusahaan formal merasa keberatan dengan kebijakan ini sehingga banyak terjadi pemutusan hubungan kerja, kemudian tenaga kerja akan beralih ke sektor informal yang sebagian besar adalah usaha mikro dan menerima upah yang rendah. Penetapan upah minimum didasarkan pada beberapa kriteria dibawah ini. Antara lain: a. Biaya Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) b. Indeks Harga Konsumen (IHK) c. Tingkat upah minimum antar daerah d. Kemampuan, pertumbuhan, dan keberlangsungan perusahaan e. Kondisi pasar kerja f. Pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita Berdasarkan pertimbangan diatas, secara nasional diperoleh rata-rata seperti yang ditunjukkan tabel dibawah ini. Tabel I.2 Perkembangan Upah Minimum Rata-Rata Nasional Tahun 2004-2010 Upah Minimum RataTahun rata Nasional Pertumbuhan (%) (Rupiah) 2005 506.952 9,99 2006 608.828 11,95 2007 683.451 18,55 2008 756.612 12,97 2009 841.316 10,99 2010 1.068.399 26,99 Sumber: Direktorat pengupahan, Jamsos, dan Kesejahteraan, Depnakertrans (2010) Dengan mempertimbangkan indikator tersebut ratarata nasional kenaikan upah minimum secara nasional sampai tahun 2012 adalah sebesar 10,27%, jauh diatas inflasi. Prosentase tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan ratarata pada tahun 2011 yang hanya sebesar 8,69%. Dalam penetapan UMP pada tahun 2012, tidak terdapat persoalan signifikan antara pengusaha dan tenaga kerja baik di tingkat provinsi maupun kabupaten (bi.go.id). Menurut Muhaimin (infopublik.org), hasil evaluasi penetapan upah minimum tahun 2013, kenaikan upah minimum provinsi rata-rata nasional sebesar 19,10 %, mengalami kenikan sebesar 8,98 % dari rata-rata nasional upah minimum tahun 2012 sebesar 10,12 %. Pertanyaannya apakah dengan rata-rata nasional
yang meningkat dampaknya membawa kepuasan terhadap ketiga komponen pembuat kebijakan tersebut. Dinamika yang terjadi tahun 2013 belum terselesaikan, namun pada bulan november lalu terdapat aksi buruh di Jawa Timur dan daerah lain untuk menuntut kenaikan upah di tahun 2014. Di Jawa Timur, usulan empat daerah tentang upah minimum ditolak untuk ditetapkan dalam peraturan gubernur. Daerah tersebut antara lain Kabupaten Gresik dengan usulan Rp 2.376.918 yang kemudian diubah menjadi Rp 2.195.000, Kabupaten Sidoarjo 2.348.000 diubah menjadi 2.426.00 dan Pasuruan dengan usulan Rp 2.348.000 juga diturunkan menjadi 2.050.000. alasan keempat daerah tersebut diturunkan adalah karena usulan yang diajukan lebih tinggi dari UMK Surabaya yang senilai Rp 2.200.000. Keempat daerah tersebut sebelumnya menempati ring 1 dalam jumlah upah minimum di Jawa Timur. Ketetapan tersebut berlaku per 1 januari 2014. Tabel I.3 Peraturan Gubernur no. 78 tahun 2013 tentang Ketetapan UMK di Wilayah Jawa Timur UMK NO KABUPATEN/KOTA TAHUN 2013 1 Kota Surabaya Rp 2.200.000 2 Kabupaten Gresik Rp 2.195.000 3 Kabupaten Pasuruan Rp 2.190.000 4 Kabupaten Sidoarjo Rp 2.190.000 5 Kabupaten Mojokerto Rp 2.050.000 6 Kabupaten Malang Rp 1.635.000 7 Kota Malang Rp 1.587.000 8 Kota Batu Rp 1.580.037 9 Kabupaten Jombang Rp 1.500.000 10 Kabupaten Probolinggo Rp. 1.353.750 11 Kota Pasuruan Rp. 1.360.000 12 Kabupaten Tuban Rp. 1.370.000 13 Kota Kediri Rp. 1.165.000 14 Kabupaten Sampang Rp. 1.120.000 15 Kota Probolinggo Rp. 1.250.000 16 Kabupaten Jember Rp. 1.270.000 17 Kabupaten Kediri Rp. 1.135.000 18 Kabupaten Banyuwangi Rp. 1.240.000 19 Kabupaten Lamongan Rp. 1.220.000 20 Kabupaten Pamekasan Rp. 1.090.000 21 Kota Situbondo Rp. 1.071.000 22 Kota Mojokerto Rp. 1.140.000 23 Kabupaten Bojonegoro Rp. 1.120.000 24 Kabupaten Lumajang Rp. 1.120.000 25 Kabupaten Tulungagung Rp. 1.107.000 26 Kabupaten Bangkalan Rp. 1.102.000 27 Kabupaten Sumenep Rp. 1.090.000 28 Kabupaten Madiun Rp. 1.045.000 29 Kabupaten Nganjuk Rp. 1.131.000 30 Kota Madiun Rp. 1.105.000 31 Kabupaten Blitar Rp. 1.000.000 32 Kabupaten Bondowoso Rp. 1.105.000 33 Kota Blitar Rp. 1.000.000 34 Kabupaten Ponorogo Rp. 1.000.000 35 Kabupaten Trenggalek Rp. 1.000.000 36 Kabupaten Ngawi Rp. 1.040.000 37 Kabupaten Pacitan Rp. 1.000.000 38 Kabupaten Magetan Rp. 1.000.000 Jawa Timur menetapkan 5 daerah berada dalam range tertinggi dalam pengupahan Provinsi Jawa Timur. Hal tersebut mempertimbangkan kondisi geografis serta biaya hidup yang diperlukan di satu daerah yang berbeda dengan daerah lain. Survey tersebut dilakukan oleh dewan
2
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 2, Nomor 1, Januari 2014 pengupahan, seperti yang dilakukan oleh Dewan Pengupahan, yaitu melakukan survey di beberapa pasar tradisional untuk menentukan harga kebutuhan pangan. Selain indikator yang telah ditetapkan, penetapan kebijakan upah minimum provinsi mendapat pertimbangan dari Dewan Pengupahan Provinsi yang berkedudukan di provinsi. Dewan Pengupahan Provinsi memperoleh angka tersebut berdasarkan survey kehidupan, mempertimbangkan kondisi pasar, dan sebagainya. Kebijakan tersebut berlaku selama setahun, dan dilakukan peninjauan setahun berikutnya. Masa pemberlakuan undang-undang ini tertera dalam Pasal 4 ayat 7 Permenakertrans No: PER-01/MEN/1999 jo. Kepmernakertrans Nomor KEP. 226/MEN/2000 Kebijakan ini merupakan transformasi dari peraturan menteri tenaga kerja nomor 13 tahun 2012. Kasus menarik terjadi di Surabaya dan Gresik. Nilai UMK di Surabaya dan Gresik lebih besar dari usulan awal dari Pemkot Surabaya dan Pemkab Gresik sebesar Rp 1.567.000, tetapi lebih rendah dari tuntutan buruh yang meminta Rp 2,2 juta (kompas.com). Disinilah proses yang belum jelas, bagaimana mekanisme yang menyebabkan ditetapkannya angka tersebut, apakah angka tersebut merupakan jalan tengah bagi ketiganya? Padahal, servey penetapan upah minimum dilakukan di tingkat kabupaten, sementara hasil akhir yang diputuskan di tingkat provinsi seringkali berbeda dengan hasil survey yang telah dilakukan. Menurut Asep dan Rita (2005:20) diungkapkan dalam data yang diperoleh dari World investment report, 2004 bahwa negara dengan tujuan investasi tertinggi justru negara yang memiliki kebijakan upah minimum yang dikategorikan mahal. Hasil tersebut mengungkapkan bahwa upah yang murah tidak menjadi daya tarik investasi, seperti alasan yang diungkapkan oleh pengusaha dan pemerintah untuk tidak menaikkan upah. Sebuah riset yang dipublikasikan dalam Journal of Labour Research (2012) mengatakan bahwa berdasarkan konvensi ILO nomor 131 menyatakan bahwa perumusan upah minimal harus melibatkan pemerintah, social partners, dan para ahli yang independen. Keterlibatan berbagai pihak tersebut diperlukan untuk membentuk sebuah dialog yang nentinya menghasilkan solusi yang integratif bagi pihak yang terlibat. Dialog sosial tentang upah minimum akan membantu untuk membangun konsensus keterlibatan antara stakeholder utama dalam rangka good governance. Hal ini juga mencegah perubahan sistem yang tak terduga. Dalam dialog sosial, social partners dan pembuat kebijakan membutuhkan waktu untuk memperoleh data yang relevan dan analisa dari statistika nasional atau dari sumber akademik lainnya. Analisa ILO dalam Working Conditions laws report 2010 (ILO, 2010) menyebutkan bahwa hanya 13 % negara yang merumuskan kebijakan pengupahannya dilakukan oleh pemerintahnya sendiri tanpa konsultasi. Secara keseluruhan, pemerintah mengambil keputusan berdasarkan konsultasi dan rekomendasi kebijakan dari ahli kebijakan seperti Low Pay Commission di Inggris atau Minimum Wage Council di Korea Selatan, (45 %) setelah berkonsultasi langsung dengan social partners, seperti ysng terjadi di Brazil sebanyak 11 %. Dan hanya 16 % kasus minoritas, kebijakan penetapan upah minimum diserahkan pada badan khusus. Pondasi yang ditetapkan dinegosiasikan dengan cara tawar-menawar secara kolektif tanpa intervensi dari negara, tetapi mengikat otoritas publik (seperti 14% persen negara dalam data), meskipun terkadag mereka gagal untuk mengcover pekerja yang rentan atau industri yang rentan bangkrut (Belser, 2012:4).
Dengan adanya dialog sosial mengenai penetapan upah, maka dapat diketahui daftar alternatif serta seberapa besar level kepentingan yang dimiliki oleh ketiga pihak, dan mengetahui sejauh mana dinamika yang terjadi dalam penetapan upah. Berdasarkan hal tersebut, sangatlah penting bagi peneliti untuk melakukan penelitian mengenai bounded rationality sebagai nilai yang membatasi perilaku administratif, untuk mengetahui seberapa besar masingmasing pihak menurunkan derajat kepentingannya untuk memperoleh solusi integratif. Terutama dalam pengambilan keputusan dalam penetapan angka UMK. Sehingga perlu adanya penelitian yang yang mengangkat tentang Konflik Kepentingan Antar Stakeholder dalam Perumusan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Gresik menggunakan perspektif Bounded Rationality. Kemudian permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu kepentingan apa sajakah yang dimiliki oleh ketiga stakeholder (pemerintah, pekerja dan pengusaha) dalam perumusan kebijakan UMK, dan bagaimana bentukbentuk konflik kepentingan yang terjadi antara ketiga stakeholder tesebut dalam perumusan kebijakan UMK? Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah mengidentifikasi berbagai kepentingan yang dimiliki oleh masing-masing stakeholder yaitu pemerintah, pengusaha, dan pekerja dalam penetapan kebijakan UMK di Kabupaten Gresik. Kemudian mendeskripsikan bentuk-bentuk konflik kepentingan yang terjadi antara ketiga stakeholder dalam penetapan kebijakan UMK. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Teknik penentuan informan dilakukan secara purposive untuk menentukan key informan. Dasar penentuan key informan adalah orang-orang yang berperan langsung dalam penentuan kebijakan UMK. Key informan tersebut antara lain: Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gresik yang mempunyai pengetahuan tentang kondisi pekerja di Kabupaten Gresik. Yang kedua adalah Ketua Dewan Pengupahan Kabupaten Gresik, yang mengerti tentang mekanisme penetapan indikator KHL dan melakukan survey KHL untuk penetapan UMK. Yang ketiga adalah ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kabupaten Gresik, dan yang keempat adalah Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kabupaten Gresik. Kemudian berkembang dengan teknik snowball, pada informan di pihak APINDO. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik pemeriksaan data dilakukan dengan cara reduksi data, penyajian data, dan membuat kesimpulan. Sementara teknik pemeriksaan keabsahan data dilakukan dengan metode triangulasi. Kepentingan-Kepentingan Yang Dimiliki Oleh Ketiga Stakeholder (Pemerintah, Pengusaha, dan Pekerja) Dalam Perpektif Bounded Rationality Bounded rationality merupakan studi dalam pengambilan keputusan. Dalam bounded rationality dikemukakan bahwa rasionalitas bergantung pada pemikiran yang dimiliki masing-masing individu. Menurut Simon, 1957 (dalam Simon, 2007) bounded rationality merupakan ide yang menemukakan bahwa pilihan-pilihan yang dimiliki manusia sangat menentukan, tidak hanya oleh konsistensi tujuan secara keseluruhan dan sifat-sifat dunia luar, tetapi juga oleh pengetahuan apa saja yang boleh dilakukan dan tidak dilakukan oleh pembuat keputusan, kemampuan atau ketidakmampuannya untuk membangkitkan pengetahuan
3
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 2, Nomor 1, Januari 2014 ketika hal tersebut relevan, untuk bekerja di luar konsekuensi dari tindakannya, untuk menimbulkan kemungkinan dalam tindakan, untuk menanggulangi ketidakpastian (termasuk ketidakpastian yang disebabkan dari respon aktor yang lain), dan untuk memutuskan diantara apa yang diinginkan pesaing. Setiap keputusan harus berdasar pada rasionalitas yang dapat diperhitungkan, seperti cost and benefit yang merupakan bagian dari pertimbangan. Salah satu model yang juga populer digunakan dalam pengambilan keputusan adalah model rasionalitas. Model rasionalitas adalah berorientasi pada tujuan-tujuan indivisu, atau dengan kata lain rasionalitas (Simon, 1957:116) diterjemahkan sebagai keputusan yang obyektif maupun subyektif, sengaja, dan organisasional. Lebih lanjut cara formulasi keputusan yang rasional (Robbins, 2007) adalah dengan cara mengetahui preferensi publik dan kecenderungannya, menemukan pilihan-pilihan, mengetahui konsekuensi masing-masing pilihan, menilai rasio nilai sosial yang dikorbankan, dan memilih alternatif kebijakan yang paling efisien. Keputusan yang rasional menitikberatkan pada penilaian terhadap alternatif kebijakan tentang konsekuensikonsekuensi dibalik alternatif tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, keputusan yang rasional tidaklah ada sebab menurut Simon, 1957 mengatakan bahwa dibalik rasionalitas terdapat irrasionalitas yang dibelakangnya. Cara formulasi kebijakan perspektif bounded rationality yang membedakan dengan tipe rasionalitas terletak pada standar minimum kebijakan. Perspektif ini dianggap perlu untuk dimunculkan sebab bounded rationality dapat mengetahui seberapa besar level kepentingan yang yang dimiliki antar stakeholder. Sehingga perspektif ini sangat sesuai untuk mengidentifikasi konflik kepentingan yang terjadi melibatkan lebih dari satu stakeholder. Dalam penelitian ini, terdapat tiga hal yang ingin diamati dalam membentuk perspektif bounded rationality, antara lain kepuasan (satisficing), ketidaklengkapan pengetahuan, dan nilai-nilai birokrasi yang membatasi. 1. Satisficing Menurut Simon, 1957 (dalam Na’im, 2010) menjelaskan bahwa manusia menggunakan pendekatan satisficing sebagai alternatif dari teori expected untility (yang mendasarkan pada prinsip rasionalitas (optimizing). Satisficing dalam konsep bounded rationality merupakan unsur yang mengkonstruksi rasionalitas. Ketiga stakeholder memiliki pijakan yang berbeda dalam memandang upah minimum. Upah minimum merupakan standar minimal penggajian di suatu daerah. Namun perspektif lain (Tjandra dkk, 2007:13) memandang upah minimum merupakan bagian dari hak asasi manusia. Sebab melalui upah minimum merupakan instrumen untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera. Amanat perundangundangan pasal 27 ayat 2 mengatakan bahwa setiap orang berhak atas pengupahan yang layak. Menurut Konvenan PBB (dalam Tjandra dkk, 2007:13) disebutkan bahwa upah buruh harus digunakan untuk mencukupi kebutuhan buruh dan keluarganya secara layak dan menjadi tanggungjawab negara untuk menjaminnya. Berangkat dari hal ini, perjuangan kelompok pekerja/buruh adalah menegakkan upah yang dapat memenuhi kebutuhan mereka. Kemudian peran Kepala Daerah adalah sebagai pihak yang dapat menjamin bahwa kebijakan upah minimum yang dutetapkan dapat mensejahterakan buruh. Kebijakan yang tidak dirumuskan secara normatif menimbulkan tingkat kepuasan yang berbeda diantara stakeholder yang terlibat. Alternatif yang ditawarkan oleh masing-masing stakeholder adalah mengenai banyak hal terutama alternatif
mengenai mekanisme survey yang banyak mengalami perselisihan. Seharusnya survey dilakukan secara transparan dan akuntabel, sehingga tidak menimbulkan selisih harga yang terlampau tinggi. Standar komponen kehidupan layak yang tertuang dalam permen nomor 17 tahun 2005 tidak disertakan sehingga seringkali menimbulkan pemahaman yang berbeda saat melakukan survey. 2. Ketidaklengkapan Pengetahuan Rasionalitas adalah sebuah pengetahuan yang lengkap, yang tak tercapai, mengenai konsekuensi dari masing-masing pilihan (Simon, 1957). Ketidaklengkapan pengetahuan merupakan unsur kedua yang membatasi rasionalitas. Ketidaklengkapan pengetahuan yang dimaksudkan merupakan motif dari adanya tindakan yang diambil. Dalam perumusan kebijakan UMK Kabupaten Gresik, secara garis besar ketiga stakeholder yang terlibat memiliki keterbatasan penilaian alternatif terhadap hal-hal yang berbeda, sehingga mempengaruhi aspirasi dan tindakan yang dilakukan. Kelompok pengusaha tidak memiliki perkiraan yang sempurna tentang kenaikan harga, sehingga mempengaruhi ongkos produksi dan berimplikasi pada perencanaan neraca keuangan perusahaan dalam menyusun rencana kenaikan upah bagi pekerjanya. Kelompok pekerja tidak memiliki pengetahuan yang lengkap tentang inflasi, sehingga kenaikan upah yang tinggi memicu tingginya kenaikan harga. Maka dari itu, kenaikan upah akan diimbangi dengan kenaikan harga kebutuhan yang tinggi, kemudian upah yang diterima dirasa belum cukup untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera. Sementara pemerintah tidak memiliki pengetahuan yang lengkap terhadap perubahan peraturan terutama dari pusat. Sehingga proses formulasi upah minimum yang dijadwalkan selama setahun, yang terbagi dalam beberapa tahap, mengalami kendala dalam mensosialisasikan peraturan baru tersebut kepada stakeholder di luar pemerintah. 3. Nilai Birokrasi yang Membatasi Menurut Laville, 2000 (dalam Sahakyan, 2013), dia menjelaskan perilaku bounded rationality mengacu pada teori optimasi sebagai nilai formal dalam pengambilan keputusan, menunjukkan bahwa hal ini mengabaikan kedua proses pengambilan keputusan dan keterbatasan kognitif. Birokrasi merupakan kesatuan garis komando, hirarki, serta peraturanperaturan. Dalam bounded rationality, rasionalitas tidak dapat dimaksimalkan sebab terdapat nilai yang membatasi. Salah satunya adalah nilai birokrasi, yang membentuk perilaku administrasi. Setiap keputusan yang dihasilkan bukan terjadi secara spontan, namun terdapat pertimbangan. Diantara yang menjadi pertimbangan adalah hirarki keputusan dan peraturan yang berlaku. Bounded rationality akan berupa nilai birokrasi membatasi perilaku dalam administrasi, tidak seluruhnya membawa kekakuan dalam penetapan keputusan (Simon, 1957). Hal lain yang diungkapkan oleh Rubin dan Pruitt, 1986 (dalam Soetjipto, 2009:42) mengatakan bahwa terdapat norma-norma yang sangat jelas yang mengatur berbagai bentuk hubungan antar pribadi/golongan yang paling rentan terhadap konflik, misalnya hubungan-hubungan yang berkaitan dengan otoritas dan status. Sebagai otoritas berkaitan dengan adanya hirarki dalam birokrasi, sementara status di dalamnya melekat tanggungjawab dan peran. Kedua hal ini sangat rentan untuk menimbulkan konflik. Norma-norma dalam hal ini adalah nilai birokrasi, berfungsi untuk memastikan semua berjalan dengan baik, termasuk proses formulasi UMK Gresik. Namun untuk mencapai tujuan upah minimum yang memuaskan semua pihak, masing-masing stakeholder harus
4
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 2, Nomor 1, Januari 2014 menurunkan level kepentingan terutama pekerja dan pengusaha. Agar semua kepentingan selaran dengan peraturan perundang-perundangan sebagai nilai yang membatasi dan otoritas pemerintah, sebagai bentuk kongkrit untuk mengawal kebijakan upah minimum. Hal ini disebut konsensus normatif, yang berfungsi untuk menjaga stabilitas dan menekan konflik. Kepentingan-Kepentingan yang Dimiliki Oleh Ketiga Stakeholder (Pemerintah, Pengusaha, dan Pekerja) dalam Penetapan Kebijakan UMK Gresik Kepentingan didasarkan atas persepsi yang dimiliki. Menurut Tjandra, 2006 (Tjandra dan Yasmin, 2006:13-14) upah buruh harus dapat digunakan untuk mencukupi kehidupan buruh dan keluarganya secara layak dan menjadi tanggungjawab negara untuk menjaminnya. Lebih lanjut Tjandra mengungkapkan bahwa penetapan upah minimum sendiri oleh kepala daerah merupakan salah satu bentuk kebijakan konkret yang merupakan tanggungjawab negara untuk mensejahterakan buruh. Namun, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Islam dan Nazara, 2005 (dalam Tjandra dan Yasmin, 2006:11) menyebutkan bahwa tidak ada bukti yang menyebutkan bahwa kenaikan upah minimum mendorong biaya buruh domestik dan mengurangi keuntungan bisnis pada industri manufaktur besar dan menengah. Dengan kata lain, menaikkan upah bagi pekerja tidak akan mengganggu stabilitas perusahaan. Kepentingan pemerintah selain berorientasi mengamankan jalannya pengupahan, seharusnya pemerintah juga dapat memenuhi akses pembentuk kehidupan yang sejahtera. Hal tersebut antara lain akses terhadap kesehatan dan pendidikan. Dengan menyediakan akses yang baik bagi pekerja maka dapat mewujudkan kehidupan yang sejahtera bagi pekerja, tidak tertumpu pada kenaikan upah. Bentuk Konflik Kepentingan Yang Terjadi Diantara 3 Stakeholder Kepentingan adalah perasaan orang mengenai sesungguhnya ia inginkan (Pruitt dan Rubin, 2004). Lebih dalam, Pruitt dan Rubin (2004:28) menyatakan bahwa aspirasi bangkit dan kemudian menghasilkan konflik karena salah satu dari dua alasan, yaitu masing-masing pihak memiliki alasan untuk percaya bahwa mereka mampu mendapatkan sebuah objek bernilai untuk diri mereka sendiri atau mereka percaya bahwa mereka berhak memiliki objek tersebut. 1. Sumber Konflik Rubin dan Pruitt (2004:21) menyebutkan bahwa konflik kepentingan merupakan persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest). a. Tingkat Aspirasi Menurut Rubin dan Pruitt (2004:28) aspirasi bangkit dan kemudian menghasilkan konflik karena salah satu dari dua alasan, yaitu masing-masing pihak memiliki alasan untuk percaya bahwa mereka mampu mendapatkan sebuah obyek bernilai untuk diri mereka sendiri atau mereka percaya bahwa mereka berhak memiliki obyek tersebut. Kemudian, sebagaimana yang diungkapkan oleh Rubin dan Pruitt (2004:30) yang menekankan pada pendapat bahwa ketika aspirasi semakin meningkat, maka mereka juga tampak semakin berlawanan dengan aspirasi pihak lain, sehingga menciptakan situasi konflik.
b.
2.
Perbedaan konsep mengenai komponen hidup layak (KHL) dalam kebijakan pengupahan bisa dimaknai sebagai hal-hal yang mempengaruhi kelancaran dalam menciptakan rekomendasi upah yang harmonis. Dewan Pengupahan yang terdiri dari SPSI, APINDO dan pemerintah merupakan stakeholder yang berperan penting dalam melakukan survey selama pembahasan kebijakan UMK. Dua komponen penting seperti APINDO dan SPSI seringkali berseberangan dalam pembahasan kebijakan UMK. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Fisher, 2001 (dalam Susan, 2008:88) bahwa ketika masyarakat yang memiliki berbagai sudut pandang berbeda, mereka saling mempelajari pengalaman dan pandangan masingmasing Persepsi Tentang Pihak Lain Sebagaimana yang diungkapkan oleh Rubin dan Pruitt (2004:35) bahwa suatu pihak harus percaya bahwa pihak lain juga memiliki aspirasi yang tinggi, sehingga tidak memungkinkan kedua belah pihak mencapai aspirasi masing-masing.
Ketidak puasan terhadap kebijakan yang dihasilkan membuat semua pihak melakukan upaya untuk memaksimalkan pencapaian tujuannya melalui aspirasi-aspirasi dalam negosisasi. Aspirasi merupakan imput dari sebuah kebijakan. Aspirasi yang disampaikan oleh ketiga stakeholder memiliki substansi yang sama, yakni mengkritisi tentang mekanisme survey yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Perbedaan tingkat kepuasan maupun asumsi yang timbul karena lahirnya kebijakan mendorong setiap stakeholder untuk lebih agresif dalam melakukan tindakan untuk menjadikan aspirasinya sebagai alternatif kebijakan. Lahirnya kebijakan UMK 2014 menimbulkan konflik sebab ada satu pihak yang tercapai aspirasinya sementara stakeholder lain dinilai mengancam eksistensi kebijakan tersebut. Dalam pembahasan UMK selanjutnya, masing-masing pihak akan menjadikan aspirasi saat ini sebagai acuan kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan di masa mendatang. c. Tidak Adanya Alternatif Yang Dapat Diterima Pihak Lain Konflik kepentingan menurut Rubin dan Pruitt (2004:38) timbul karena suatu pihak memiliki persepsi bahwa aspirasi kedua belah pihak tidak kompatibel satu sama lain. Solusi integratif yang diupayakan untuk meminimalisasi konflik dalam penetapan kebijakan UMK adalah dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor Per17/Men/VIII/2005 tentang komponen dan pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak. Namun yang seringkali justru memicu konflik adalah kepatuhan dewan pengupahan dalam melaksanakan kebijakan tersebut. Jenis dan Tipe Konflik Menurut Sauer, 2008 Conflict Pattern Analysis (CPA) adalah cara pragmatis untuk menganalisis konstelasi aktor sebelum proses partisipatif, CPA memiliki potensi untuk menginformasikan pilihan partisipatif. Untuk itu CPA membahas aktor termasuk alasan tindakan dan sumber daya yang dimilikinyaJenis konflik menurut Conflict Pattern Analysis, terdiri dari aktor, sumber daya yang dimilikinya, bidang kebijakan
5
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 2, Nomor 1, Januari 2014
3.
4.
5.
yang menjadi penyebab konflik, interaksi, dan jaringan yang dibangun (dalam Dwijosusilo, 2010:47) Kehadiran kepentingan yang berbeda yang dimiliki oleh ketiganya, dipicu oleh nilai yang berbeda. Orientasi profit yang dimiliki oleh kelompok pengusaha mendasari kepentingan kelompok pengusaha untuk memperjuagkan bahwa kenaikan upah tidak melebihi angka 9% , dan mentolerasi kenaikan upah sampai pada 12%. Begitu pula dengan orientasi yang dimiliki oleh kelompok pekerja/buruh. Persepsi yang dimiliki oleh buruh yaitu mewujudkan kehidupan yang sejahtera dengan upah yang tinggi, sehingga dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun tidak demikian dengan pemerintah. Pemerintah berperan agar jalannya formulasi kebijakan UMK dilakukan secara normatif. Situasi Konflik Stakeholder pekerja dan pengusaha mengalami kekecewaan terhadap keputusan yang dihasilkan. Sebab kepentingan masing-masing yaitu pengajuan angka penetapan UMK dengan masing-masing alasan, ternyata tidak berhasil diakomodir oleh pemerintah sebagai sebuah kebijakan. Dengan demikian, pengusaha ataupun pekerja tidak dapat mengintegrasikan masing-masing tujuannya, serta tidak ada satu dari kepentingan keduanya yang berhasil diselenggarakan oleh pemerintah. Namun pada hasil akhir upah minimum yang ditetapkan dalam peraturan gubernur, menyebutkan bahwa kenaikan upah minimum adalah sebesar 26,1% dari tahun sebelumnya. Hal ini melebihi standar upah minimum yang dimaksud oleh kelompok pekerja. Dengan kata lain, situasi konflik antar kelompok pada perumusan kebijakan UMK ini disebut sebagai situasi konflik “menang-kalah”. Jika dilihat pada perspektif bounded rationality kebijakan upah minimum kabupaten ini seharusnya melahirkan hasil win-win solution. Sebab masingmasing pihak telah menurunkan level kepentingan untuk memperoleh solusi yang integratif. Hal ini bisa berbeda disebebkankan karena porsi kepentingan yang diakomodasi berbeda bagi masing-masing stakeholder sehingga ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan. Kedua pihak ini adalah pekerja dan pengusaha Dinamika Konflik Menurut Wehr dan Bartos, 2003 (dalam Susan, 2009: 94-96) dinamika konflik bisa dilihat dari tingkat kekerasan atau coercive action. Ekskalasi konflik semakin tinggi ketika intensitas tindak koersif semakin tinggi dan mematikan. Konflik mengalami deskalasi ketika tingkat kekerasan mengalami penurunan. Situasi dimana konflik tampak terbuka ditunjukkan pada tahap konfrontasi. Dalam Tjandra, 2006 (Tjandra dan Yasmin, 2006:76) menyebautkan bahwa perilaku konfrontasi ditunjukkan dengan banyaknya asosiasi pekerja/buruh yang berkoalisi dan merencanakan aksi unjuk rasa pada tanggal 16 januari 2006. Hasilnya, kelompok ini berhasil mendesak. Pemetaan Konflik Analisis pemetaan konflik yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis pemetaan konflik menurut Amr Abdalla, yaitu model SIPABIO (2002). Model ini terdiri dari tujuh unsur yang meliputi sumber konflik (source), isu-isu (issues), pihak (parties), sikap (attitudes/feelings), perilaku/tindakan (behavior), campur tangan pihak lain (intervention), dan hasil akhir
(outcome). Namun sumber konflik telah dijabarkan dalam sub pembahasan sebelumnya. isu yang terbangun dari kelompok pekerja tentang adanya kebijakan ini yaitu adanya anggapan bahwa UMK yang ditetapkan pada peraturan gubernur nomor 38 tahun 2013 bukan diperoleh dari hasil survey. Hasil survey menyebutkan angka riil yang diperoleh adalah Rp 2.367.000, sementara yang ditetapkan sebesar Rp 2.197.000. Gambar I.1 Peta Konflik Kepentingan dalam Pembahasan Kebijakan UMK
Keterangan:
6.
Pedoman Manajemen Konflik Dalam penelitian kali ini, yang menjadi fokus dalam penyelesaian konflik kepentingan dalam penetapan kebijakan UMK Gresik adalah konflik yang bersifat eksternal. Konflik eksternal yang dimaksud adalah konflik yang terjadi akibat tumpang-tindih (overlapping) kepentingan antar kelompok yang berbeda, yaitu pekerja dan pengusaha. Sehingga, yang relevan dengan pembahasan kali ini adalah perselisihan hubungan industrial, perselisihan hak, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja bersama. Ketiga bentuk perselisihan ini memiliki implikasi langsung terhadap adanya kebijakan UMK. Dalam undang-undang nomor 2 tahun 2004, prosedur yang dijalankan dalam menyelesaikan perselisihan ini melalui mediasi hubungan industrial. 7. Metode-Metode untuk Menyelesaikan Konflik Didalam teknik penyelesaian permasalahan melalui negosiasi, menurut Schermerhorn, 2000 terdapat dua tujuan yang ingin dicapai, antara lain tujuan pokok yang lebih mengarah pada tujuan inti (substance goals) yang ingin dicapai, serta bagaimana hasil akhir (outcome) yang dihasilkan pada sebuah perundingan. Sementara tujuan kedua adalah tujuan hubungan (relationship goals) yang banyak memberi perhatian pada proses perundingan, terkait pada cara-cara yang ditempuh
6
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 2, Nomor 1, Januari 2014 orang-orang yang terlibat selama perundingan agar mampu bekerjasama kembali di masa mendatang. Dengan adanya tujuan yang berbeda, maka dilakukan teknik negosiasi, merupakan kerjasama membuat keputusan-keputusan apabila kelompok yang terlibat memiliki perbedaan referensi (Schermerhorn, 2000). Dengan begitu maka negosiasi berfungsi sebagai wadah untuk memperoleh kesepakatan bersama yang dapat ditaati oleh semua pihak yang menjadi obyek kebijakan. Tujuan negosiasi selain memuat cara-cara yang digunakan dalam proses negosiasi, juga memuat bagaimana mereka mampu bekerjasama lagi di masa mendatang (Schermerhorn, 2000). Cara-cara yang dilakukan dalam melakukan negosiasi dapat dikatakan efektif jika memenuhi tiga syarat (Schermerhorn, 2000). Syarat tersebut antara lain (1) kualitas, perundingan tersebut harus menghasilkan kesepakatan yang bijaksana, (2) biaya perundingan yang harus memenuhi prinsip-prinsip efisiensi, yakni menggunakan sumber daya dan waktu yang minimum dan (3) keharmonisan, yaitu perundingan menggunakan cara-cara yang etis sehingga tidak menghalangi keharmonisan hubungan interpersonal dalam organisasi. Kemudian, teknik negosiasi yang digunakan dalam perumusan kebijakan UMK Gresik ini adalah teknik distributifMenurut Schermerhorn, 2000 perundingan distributif menitikberatkan pada “tuntutan-tuntutan” yang dibuat yang dibuat oleh setiap kelompok terhadap berbagai hasil yang diinginkan. Dalam hal ini kelompok tersebut adalah kelompok pekerja/buruh. Kelompok ini memenangkan negosiasi dengan memperoleh kenaikan upah sesuai dengan kenaikan upah ideal menurut asumsi pekerja. Namun terdapat kelompok lain sebagai pihak yang kalah. Hopmann, 1995 (dalam Susan, 2008:127) menyatakan bahwa negosiasi berdasar pada pendekatan bargaining dicirikan oleh dominasi kekuasaan seperti ancaman dan tekanan politis (threat and pressure). Pada dimensi ini, pendekatan bargaining adalah salah satu ciri utama conflict management yang mungkin membuka kesempatan kelompok-kelompok dominan untuk menentukan bentuk resolusi konflik. 1) Tujuan utama (substance goals) Tujuan bersama yang ingin dicapai melalui negosiasi dalam penetapan UMK adalah UMK 2014 yang adil bagi semua pihak, yaitu mengakomodasi tujuan yang ingin dicapai oleh pekerja, pengusaha, maupun pemerintah. 2) Hasil Akhir (Outcome) Hasil yang diinginkan dari adanya kebijakan ini adalah upah minimum yang mengakomodasi seluruh kepentingan stakeholder yang terlibat di dalamnya. Lebih jelasnya, dalam penyajian data telah dijelaskan secara spesifik tentang prosentase kenaikan upah yang ideal menurut masing-masing stakeholder.
3)
Namun, upah ideal seperti yang diungkapkan masingmasing stakeholder tersebut masih bersifat subyektif. Sebab tidak diketahui secara pasti bagaimana perhitungannya sehingga menghasilkan angka tersebut. Upah dikatakan ideal jika memperhatikan hal-hal berikut, antara lain: kebutuhan, indeks harga konsumen (IHK), kemampuan, perkembangan dan kelangsunganperusahaan, upah pada umumnya yang berlaku di daerah tertentu dan antar-daerah, kondisi pasar kerja, tingkat perkembangan perekonomian dan pendapatan per kapita, serta mempertimbangkan kemampuan perusahaan secara sektoral. Tujuan Hubungan (Relationship Goals)
Tujuan hubungan ini meliputi peluang untuk melakukan kerjasama di lain kesempatan. Walaupun ketiganya berkonflik, namun banyak kerjasama yang dilakukan oleh tripartit pemerintah, pengusaha dan pekerja.
8.
Analisis Stakeholder
Tabel I.4 Analisis Stakeholder dalam Konflik Kepentingan Kebijakan UMK Gresik Stakeholder Karakteristik Pemerintah
Pengusaha
Pekerja/Buruh
Pengetahuan tentang kebijakan UMK
Tinggi
Tinggi
Rendah
Potensi aliansi
Tinggi
Rendah
Rendah
Kemampuan mempengaruh Tinggi Rendah Tinggi i kebijakan Kepentingan atas kebijakan Rendah Tinggi Tinggi UMK Analisis stakeholder menurut Shcmeer, 1979 menyatakan bahwa analisis stakeholder adalah proses sitematis mengumpulkan dan menganalisis informasi kualitatif untuk menentukan kepentingan yang harus dipertimbangkan ketika mengembangkan atau menerapkan kebijakan atau program. Analisa stakeholder diukur dari beberapa indikator dibawah ini. a. Pengetahuan Tentang Kebijakan UMK Tingkat pengetahuan yang dimiliki ketiganya berbeda. Tingkat pengetahuan ini mempengaruhi sikap serta kemampuan untuk bernegosiasi dalam memperjuangkan kepentingan masing-masing untuk mewujudkan upah minimum yang ideal. Tingkat pengetahuan tentang kebijakan UMK ini secara keseluruhan dikuasai oleh pemerintah sebab pemerintah berperan dalam mengamankan jalannya perumusan kebijakan UMK.. b. Potensi Aliansi Sebagaimana yang telah digambarkan dalam pemetaan konflik, bahwa yang memungkinkan untuk melakukan aliansi adalah pemerintah dan pengusaha. Sebab menurut Irianto, 2013 mengatakan bahwa besarnya potensi aliansi yang terjalin di tubuh pemerintah dan pengusaha, sebab sebagian besar kegiatan pemerintah mendapatkan kontribusi yang berasal dari sektor privat atau pengusaha. Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh Asep dan Rita, 2007 (dalam S Asep dan Rita, 2007:20) mengatakan bahwa kenaikan upah terbesar tidak disebabkan karena ongkos produksi yang meningkat setiap tahunnya, namun lebih disebabkan karena mahalnya biaya birokrasi yang harus dibayar untuk kelancaran usaha. Dalam perpektif governance, pemerintah tidak hanya bekerja sendiri namun melibatkan masyarakat dan sektor privat dalam menjalanlan roda pemerintahan. Sektor
7
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 2, Nomor 1, Januari 2014 privat memiliki kontribusi yang besar terhadap pembiayaan kegiatan pemerintah untuk masyarakat. Dalam hal ini berperan penting untuk merealisasikan anggaran belanja daerah melalui pajak dan investasi. c. Kemampuan Mempengaruhi Kebijakan Meskipun potensi aliansi pemerintah dan pengusaha lebih besar, namun pada praktek mempengaruhi kebijakan, kelompok pekerja/buruh lebih dapat mempengaruhi kebijakan pengupahan. Pada momen pemilihan kepala daerah, penetapan upah merupakan instrumen untuk menjaring suara kelompok buruh yang sangat besar. Maka dari itu, penetapan upah pada tahiun 2013 mengalami presentase yang tinggi dibanding tanhun sebelumnya. Hal ini dinilai sebagai kenaikan yang mengandung unsur politis, namun merugikan bagi perusahaan. d. Kepentigan Atas Kebijakan UMK Ketiganya memiliki kepentingan yang besar atas lahirnya kebijakan ini. Sehingga masing-masing stakeholder berusaha memaksimalkan kepentingannya. Maka dari itu, terjadi konflik kepentingan diantara stakeholder yang terlibat dalam formulasi kebijakan UMK. Kesimpulan Dari hasil penelitian tentang analisis bounded rationality dalam konflik kepentingan perumusan kebijakan UMK Gresik dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kepentingan yang dimiliki oleh ketiga stakeholder dalam penetapan kebijakan UMK antara lain pekerja menghendaki kenaikan upah yang besar untuk mencapai kehidupan layak, sementara pengusaha menghendaki kenaikan yang tidak signifikan. Sebab kenaikan yang terlampau besar akan mengganggu stabilitas perusahaan. Kepentingan yang ingin disampaikan oleh para pihak yang terlibat dalam kebijakan UMK ini yang terpenting adalah penggunaan mekanisme survey yang fair sehingga memuaskan semua pihak. Mengenai standar barang yang disurvey, sehingga menimbulkan multiinterpretasi mengenai hasil survey yang dilakukan di tiga pasar. Yang kedua, pengusaha maupun pekerja memiliki kepentingan yang berbeda atas presentase kenaikan upah. Kepentingan yang diusung oleh kelompok pekerja adalah kepentingan akan kesejahteraan melalui kenaikan upah. Sementara pengusaha menginginkan kenaikan upah yang tidak signifikan sebab dapat mempengaruhi stabilitas perusahaan dan mengurangi presentase laba perusahaan. Selain kepentingan dalam pembahasan upah, pekerja maupun pengusaha mempunyai hubungan lain di luar Dewan pengupahan. Antara lain, gagasan pekerja untuk kerjasama dengan pengusaha dan pemerintah dalam pengadaan rumah susun bagi pekerja untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja. Selain itu pengusaha juga melibatkan pekerja dalam Dewan tenaga Kerja, pengusaha memberikan informai tentang kebutuhan tenaga kerja dan menyelesaikan permasalahan internal perusahaan dan pekerja. 2. Situasi konflik yang terjadi dalam konflik kepentingan kebijakan UMK adalah situasi konflik menang-kalah. Kenaikan upah sesuai dengan kenaikan uoah berdasarkan asumsi pekerja yaitu lebih dari 25%. Sementara asumsi pengusaha adalah upah yang sesuai dengan kemampuan perusahaan adalah dengan kenaikan sebesar 7%-9%. Dinamika konflik yang terjadi di dalamnya diawali dari situasi perbedaan persepsi dan diakhiri dengan keluarnya pergub nomor 13 tahun 2013 tentang UMK Jawa Timur 2014. Hubungan akademisi
sebatas mengintervensi proses pembahasan UMK dengan memberikan perimbangan ilmiah mengenai mekanisme survey. Hubungan pemerintah cenderung berafiliasi dengan pengusaha. Sebab pengusaha jarang melakukan tindakan frontal yang menekan pemerintah apabila terjadi dinamika dalam pembahasan UMK. Sementara pemerintah cenderung tidak menyukai tindakan kelompok buruh. Konflik ini diselesaikan melalui mekanisme negosiasi. Pemerintah mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mempengaruhi kebijakan, sebab pemerintah mempunyai fungsi birokrasi dan administratif. Pekerja/buruh juga memiliki kemampuan yang tinggi dalam mempengaruhi kebijakan. Dilihat dari kepentingan atas kebijakan UMK, pemerintah sebagai pihak yang netral mempunyai kepentingan yang rendah dalam hal ini. Namun pengusaha dan pekerja keduanya memiliki kepentingan yang tinggi atas kebijakan ini sebab menyangkut kesejahteraan dan eksistensi perusahaan. Saran Berdasarkan penelitian tentang analisis bounded rationality dalam konflik kepentingan perumusan kebijakan UMK Gresik dapat diajukan saran sebagai berikut: 1. Dalam pembahasan kebijakan UMK Gresik, menanggapi kepantingan yang berbeda dari berbagai perspektif, pemerintah selaku pihak yang netral seharusnya tetap mempunyai sikap tegas dalam mengawal jalannya pembahasan kebijakan UMK. Sebab apabila pemerintah hanya mengikuti kekuatan besar, maka kepentingan di luar itu tidak dapat diakomodasi. 2. Metode evaluasi dalam implementasi kebijakan ini seharusnya lebih konprehensif, yakni mengevaluasi kemampuan perusahaan dan mendata ulang pekerja dengan masa kerja lebih dari satu tahun namun masih menperoleh upah UMK. 3. Penelitian ini yaitu mendeskripsikan tentang bounded rationality yang terjadi dalam penetapan kebijakan UMK, sehingga untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk mengambil penelitian mengenai nilai birokrasi yang seperti apa yang dapat membatasi perilaku birokrat tentang kecenderungan dalam pengambilan keputusan. 4. Penelitian ini mengambil lokus di Dewan Pengupahan Kabupaten Gresik. Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk mengambil lokus yang lebih luas tetapi masih berkaitan dengan konflik kepentingan kebijakan UMK, agar diperoleh gambaran yang lebih luas mengenai konflik kepentingan kebijakan UMK berdasarkan perspektif bounded rationality. Daftar Pustaka Belser, Patrick and Kristen Sobeck,”At What Level Sould Countries Set Their Minimum Wages?” “Journal Of Labour Research” (4)1 Bryson, John M. 2004. What To Do When Stakeholder Matter. Routledge, vol 6 Issue 1. 22-23 Claxton, LD. 2007. A Review of Conflict Interest, Competing Interest, and Bias Toxicologist. Toxicologi and Industrial Health 2007 23:557 Dwijosusilo, Kristyan. 2010. Konflik Pembangunan Tol Tengah Kota Surabaya. Tesis: Universitas Airlangga Harian Ekonomi Neraca, 13 Juli 2004 dalam S Asep dan Rita olivia. 2007. Upah Murah dan Kebijakan Ekonomi Neoliberal: Analisis Terhadap
8
Kebijakan dan Manajemen Publik
ISSN 2303 - 341X
Volume 2, Nomor 1, Januari 2014 Kebijakan Upah Minimum 2005. Trade Union Rights Center hal 10 Implikasi Kebijakan Pengupahan di daerah terhadap Harga dan Iklim Usaha [online] http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/007D8DF476BB-4DA3-94478D18F8001503/26068/Boks3ImplikasiKebijakan PengupahanDiDaerahTerhadapH.pdf Infopublik.org Jawatimur.go.id Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Akhir tahun 2012 kabupaten Gresik Keputusan Bupati Gresik Nomor: 560.2/998/HK/437.12/3013 . Ditetapkan di Gresik pada tanggal 14 Agustus 2013 Kspi.or.id Maftuhah, Gina Nur. 2012. APINDO ogah Koordinasi dengan Pemerintah Lagi, 21 November 2012 [online] http://ekbis.sindonews.com/read/2012/11/21/34/6 90215/apindo-ogah-koordinasi-denganpemerintah-lagi Moleong, Lexi J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Rosdakarya Bandung halaman 57 Nugroho, Dr. Riant. 2012. Public Policy. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Peraturan Menteri Nomor 17 tahun 2005 Profil Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gresik 2013 Pratomo dan Saputra. 2011. Kebijakan Upah Minimum untuk Perekonomian yang Berkeadilan: Tinjauan UUD 1945. Journal of Indonesian Applied Economics. Vol. 5 No. 2 Oktober 2011, 269-285 Pruitt, Dean G dan Jeffrey Z. Rubin. 2001. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Robbins, Stephen P. 2007. Perilaku Organisasi Jilid 1 Edisi 9. Jakarta: PT Indekx Kelompok Gramedia Sauer, Alexander. 2008. Conflict Pattern Analysis: Preparing the Ground for Participation in Policy Implementation. Springer Science Bussiness and Media: Syst Pract Res (2008) 21:497-515 Simon, Herbert A. 2007. Administrative Behavior: Perilaku Administrasi Studi tentang Proses Pengambilan keputusan dalam Organisasi Administrasi. Jakarta: Bumi Aksara S Asep dan Rita olivia. 2007. Upah Murah dan Kebijakan Ekonomi Neoliberal: Analisis Terhadap Kebijakan Upah Minimum 2005. Trade Union Rights Center hal 20 Silalahi, Ulber.2010. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama, cetakan ke-2 Simon, Herbert. 2000. Bounded Rationality in Social Sciences: Today and tommorow. Mind and Society, 1, 2000 Vol. 1, pp. 25-39 Soekanto, Soerjono dan Ratih Lestarini. 1988. Fungsionalisme dan Teori Konflik dalam Perkembangan Sosiologi. Jakarta: Sinar Grafika Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit Alfabeta halaman 54 Sulistyawati, Rini. 2012. Pengaruh Upah Minimum terhadap penyerapan Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi di Indonesia. Jurnal Eksos. Volume 8 Nomor 3 halaman 195-211 Susan, Novri. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana Media Group Susetiawan, Dr. 2000. Konflik Kosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Susilo, Hari. 25 November 2012. UMK Surabaya dan Gresik Tertinggi di Jatim. Kompas.com. 25 November 2012, 11:54 WIB (kompas.com) USAID Publicion Wievorka, Michel. 2013. Social Conflict. Sagepub 29 July 2013 Winardi. 2007. Manajemen Konflik (Perubahan dan Pengembangan). Bandung: Mandar Maju Wirawan. 2010. Konflik dan Manajemen Konflik. Jakarta: Salemba Humanika
9