JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
BOOK REVIEW Judul
: The Oxford Handbook of The History of International Law
Editor
: Bardo Fassbender and Anne Peters
Penerbit
: Oxford Handbooks
Bahasa
: Inggris
Jumlah halaman
: 1272 halaman
Tahun penerbitan
: 2012
Pembuat resensi
: Eka An Aqimuddin
Sebagian besar buku teks hukum internasional menjelaskan bahwa sejarah ide, konsep dan norma yang tumbuh dan berkembang dalam hukum internasional hingga saat ini bermula di Barat (Eropa). Tidak hanya itu, aktor maupun tokoh yang turut mengembangkan hukum internasional juga diceritakan berasal dari wilayah
yang
sama.
menimbulkan kritik
Hal
inilah
yang
dari sarjana hukum
internasional, khususnya yang berasal dari non-Eropa, bahwa sejarah hukum internasional sangat Eropasentris. Oleh karena itu, butuh wacana atau referensi pembanding untuk menyeimbangkan hegemoni Eropa terhadap sejarah hukum internasional. 96
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Buku editan karya Bardo Fassbender dan Anne Peters ini muncul dengan salah satu tujuan untuk mengatasi Eropasentrisme dalam catatan sejarah hukum internasional. Menurut editor, sejarah hukum internasional salah dan tidak lengkap. Karena hal itu seperti pengabaian, perusakan, kekerasan, dan arogansi Barat terhadap budaya hukum non-Barat. (hlm.1) Pendapat para editor tersebut ingin menegaskan bahwa sistem hukum nonBarat sebenarnya telah mengatur hubungan internasional. Dalam tulisan F. Sahli and A. El Ouazzani yang berjudul Africa North of the Sahara and Arab Countries (hlm.405) menunjukkan bahwa salah satu sumbangan hukum Islam terhadap hukum internasional adalah perlindungan terhadap agama minoritas dan perlakuan terhadap tawanan perang. Hal inilah yang dimaksud editor bahwa penulisan sejarah hukum internasional hanya berasal dari Barat adalah sesuatu yang salah dan tidak lengkap. Dengan demikian kompilasi tulisan dalam buku The Oxford Handbook of The History of International Law ini menjadi penting untuk mengingatkan bahwa penulisan sejarah hukum internasional tidak selalu kisah dari para penjajah maupun pemenang. Namun juga beragam cerita pengalaman hubungan luar negeri yang dilakukan komunitas otonom sepanjang sejarah kehidupan manusia. Pemilihan pendekatan “global history” ketimbang “universal history” oleh editor dalam penulisan buku ini bukanlah tanpa alasan. Penulisan sejarah hukum internasional dengan pendekatan global lebih melihat kepada transfer, jaringan, hubungan dan kerja sama antar aktor dan wilayah 97
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
sehingga akan didapat potret hukum internasional yang lebih majemuk. Selain itu, melalui pendekatan global, negara-bangsa bukanlah satu-satunya objek dari penulisan sejarah. Pergerakan/perubahan dari para beragam aktor itulah yang menjadi fokus penulisan (hlm.5-6)
Berdasarkan pendekatan tersebut di atas, maka editor membagi buku ini menjadi 6 bagian. Bagian pertama buku ini membahas para pelaku (actor) dalam hukum internasional. Oleh karena negara tidak menjadi satu-satunya objek penulisan, maka selain negara, dalam bagian ini dibahas juga peran organisasi
internasional,
pengadilan
internasional
dan
masyarakat
internasional. Bagian selanjutnya diberi judul “Themes”. Isi tulisan dalam bagian ini membahas konsep, ide dan norma yang berkembang dalam hukum internasional seperti wilayah dan perbatasan, hukum perang dan damai, hukum perdagangan internasional hingga pengaruh agama terhadap hukum internasional.
Bagian ketiga dari buku ini membahas sejarah dan perkembangan hukum internasional dari beragam wilayah. Judul bagian ketiga adalah “Region”. Terdapat empat sub-bagian yang menceritakan sudut pandang kewilayahan terhadap sejarah perkembangan hukum internasional yang terdiri dari; Afrika dan Arab, Asia, Amerika dan Karibia serta Eropa. Sedangkan
98
satu
sub-bagian
lagi
membahas
tentang
pergumulan
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
(encounters) antara hukum internasional dari perspektif non-Eropa dengan Eropa. Bagian keempat buku menggunakan judul “Interaction or Imposition”. Ragam tulisan dalam bagian ini menjelaskan bagaimana hukum internasional mengatur tentang hubungan internasional. Tidak hanya itu, beberapa tulisan juga menceritakan bagaimana pengenaan hukum internasional terhadap suatu peradaban dengan cara-cara kekerasan seperti kolonialisme, penundukan hingga melalui pembagian antara masyarakat beradab dengan tidak. Tentu saja dalam proses tersebut, Eropa (Barat) selalu digambarkan sebagai protagonis atau pihak yang selalu unggul. Bagian kelima membahas tentang metodologi dan teori dalam membahas sejarah hukum internasional. Garis besar tulisan dalam bagian ini menjelaskan tentang historiografi (periodisasi) hukum internasional itu sendiri. Seperti apa yang ditulis oleh Oliver Diggelmann Periodization of the
dalam
The
History of International Law, penetapan periodisasi
dalam penulisan sejarah hukum internasional bukanlah tanpa masalah. Meskipun dengan adanya periodisasi dalam penulisan sejarah hukum internasional menjadi terbayangkan (imaginable), namun pemilihan tersebut tidak merujuk kepada peristiwa aslinya. (hlm.739).
Salah satu periodisasi sejarah hukum internasional melihat bagaimana penerimaan teori hukum klasik (ancient) dalam perkembangan hukum internasional saat ini. Pada tulisan lain, isu yang diangkat adalah tentang 99
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
hukum internasional yang sangat Eropasentris atau sejarah pembagian wilayah
(regions)
atau
sub-wilayah
(sub-regions)
dalam
hukum
internasional.
Bagian terakhir atau keenam dari buku ini membahas tokoh-tokoh yang dianggap
memiliki
peran
penting
dalam
pengembangan
hukum
internasional. Meskipun diulas secara singkat namun jumlah tokoh yang dibahas cukup banyak yaitu 22 orang. Pengambilan tokoh-tokoh tersebut mengikuti periodisasi tahun yakni dimulai dari tokoh yang berasal dari Abad VIII (749-850 M) hingga tokoh yang berasal dari Abad XX.
Apabila membaca buku ini secara utuh, upaya editor untuk keluar sama sekali dari jebakan Eropasentrisme penulisan sejarah hukum internasional sulit dihindari. Beberapa bagian maupun tulisan dalam buku ini masih menunjukkan bias tersebut meskipun dengan beberapa catatan kritis didalamnya.
Dengan jumlah halaman 1.272 lembar, kontributor dalam buku ini terdiri dari 63 sarjana lintas disiplin yang berasal dari lima wilayah geografis dengan jumlah tulisan sebanyak 65 buah. Ironi muncul perihal kontributor dalam buku ini, dimana 39 dari 63 sarjana yang menulis dalam buku ini berasal dari Eropa. Asia diwakili oleh 7 orang, Afrika 3 orang, Amerika 13 orang serta Australia 1 orang. Lebih dari setengah kontributor merupakan 100
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
penulis dari Eropa. Tentu saja komposisi tersebut tidak bisa digeneralisasi bahwa penulis Eropa akan cenderung membela Eropasentrisme, akan tetapi fakta tersebut memberikan pembuktian bahwa narasi hukum internasional memang sangat bias Eropa. Namun, dari awal editor telah menyadari kekurangan tersebut dikarenakan sumber penulisan sejarah hukum internasional di luar Eropa sangat jarang sehingga rujukan untuk melengkapi tujuan penulisan buku ini, yakni keluar dari bias Eropasentrisme, sangat terbatas. (hlm.2)
Dalam beberapa tulisan sarjana yang berasal dari Eropa memang terlihat adanya kritisisme terhadap ide, konsep maupun norma hukum internasional yang berkembang dari Eropa. Misalnya dalam tulisan Andrew Fitzmaurice yang berjudul Discovery, Conquest, and Occupation of Territory, beliau berhasil menunjukan tahapan pembenaran Eropa untuk melakukan pendudukan terhadap wilayah yang berhasil ditemukan. Sedangkan kritik dari sarjana non-Eropa dapat dibaca dalam tulisan Liliana Obregón Tarazona yang berjudul The Civilized and the Uncivilized. Beliau kembali menegaskan bagaimana Eropa membuat stratifikasi antara masyarakat beradab/tidak beradab sehingga menjadi dasar pembenar bagi Eropa untuk melakukan peradaban kepada masyarakat non-Eropa yang tidak beradab. Tarazona mencontohkan bagaimana bangsa Spanyol menyebut bangsa Indian sebagai masyarakat barbar. Dengan membuat label tersebut, bangsa Spanyol seperti memiliki tugas untuk mengubah bangsa Indian menjadi seperti bangsa Spanyol yang beradab. Dengan demikian, klasifikasi beradab 101
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
dan tidak beradab merupakan justifikasi imperialisme dan kolonialisme yang dilakukan oleh Eropa sejak abad ke-16 hingga awal abad ke-19 ke luar wilayah Eropa.
Tentu saja peran dan sumbangan peradaban non-Eropa yang mengatur relasi antarnegara sudah dikenal. Namun, menurut editor terjadi kesulitan persoalan translasi konsep. Maksudnya, bisa jadi istilah atau norma yang dikembangkan oleh masyarakat Eropa secara konseptual juga telah dikenal oleh masyarakat non-Eropa akan tetapi dengan penekanan yang berbeda. Contohnya adalah konsep Futuhat (penundukan) yang telah dikenal dalam hukum Islam. Apakah Futuhat dapat disamakan dengan semangat kolonialisme yang dilakukan masyarakat Eropa terhadap masyarakat yang mereka temui dengan alasan untuk melakukan peradaban? (hlm.8) Atau dalam konteks Indonesia, misalnya, apakah benar konsep wewengkon dan ulayat serupa dengan konsep yurisdiksi teritorial dalam hukum internasional (S.Wignjodipoero) atau dapatkah Prinsip Rukun diterjemahkan serupa dengan prinsip mekanisme penyelesaian sengketa secara damai dalam hukum internasional (H. Adolf). Di sinilah saya kira dibutuhkan sumbersumber penulisan hukum internasional selain Eropa seperti yang dikeluhkan oleh editor buku ini.
Ironi lain dalam buku ini juga terlihat dalam bagian pembahasan tokoh. Hanya 2 dari 22 tokoh yang dibahas berasal dari luar Eropa. Pertama yaitu 102
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Muhammad Al-Shaybani dari Irak yang dianggap sebagai bapak hukum internasional Islam. Tokoh kedua yaitu Henry Wheaton, seorang hakim yang juga pernah menjabat sebagai perwakilan diplomatik Amerika Serikat di Denmark. Dengan hanya menceritakan 2 dari 22 tokoh di luar Eropa tentu saja menimbulkan pertanyaan apakah tujuan buku ini untuk keluar dari bias Eropasentrisme dalam penulisan sejarah hukum internasional dapat terwujud?
Seperti yang telah dibahas di atas, tentu saja kita tidak dapat mengeneralisasi bahwa semua penulis Eropa secara otomatis memiliki pandangan Eropasentrisme. Pertanyaan yang sama sebenarnya juga dapat diajukan, apakah penulis non-Eropa dapat dianggap akan membawa suarasuara non-Eropa. Namun, setidaknya dalam pembahasan para tokoh tersebut, editor telah memasukkan dua tokoh asal non-Eropa yang dianggap memiliki pengaruh terhadap perkembangan internasional. Adanya perwakilan tokoh dari luar Eropa setidaknya menegaskan bahwa ide, konsep dan norma hukum internasional juga sudah dikenal dan dipraktikkan oleh komunitas di luar Eropa meskipun dengan spirit dan kebutuhan yang berbeda.
Buku ini secara umum sangat layak untuk dibaca sekaligus dikaji. Dibaca sebagai sebuah asupan yang sangat bernas serta dikaji oleh karena pembahasan sejarah hukum internasional di negeri ini masih sangat jarang. Saya kira, apresiasi tinggi patut diberikan kepada dua editor buku ini yang 103
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
telah bekerja keras mengurai “benang kusut” dalam penulisan sejarah hukum internasional. Meskipun belum sepenuhnya berhasil untuk menghindar dari bias Eropasentrisme, setidaknya terbitnya buku ini membuka cakrawala kita dalam mendalami hukum internasional. Namun, perlu diingat pesan dari Mochtar Kusumaatmadja bahwa dalam membaca buku sejarah hukum internasional kita tidak harus menerima segalanya tanpa pandangan kritis sebab tiap penulis memiliki preferensi pribadi, pengaruh keagamaan dan politis. Pembacaan kritis tersebut kembali ditegaskan oleh Martti Koskenniemi dalam tulisannya di buku ini, A History of International Law Histories, bahwa apa yang kita pelajari sebagai sejarah hukum internasional tergantung pada apa yang terlintas pertama kali di pikiran kita tentang hukum internasional.
104
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
GLOSSARY Dyan Radin Swastika, S.H. Single market: Jenis pasar yang mayoritas hambatan tarif dan non-tarifnya telah ditiadakan, memiliki keseragaman peraturan hukum atas barang dan jasa sekaligus kebebasan bergerak atas faktor produksi (modal dan buruh). Vocational training: Pendidikan keterampilan Common identity: identitas bersama yang dibagi antara individual, komunitas maupun negara yang hendak dicapai dengan meminimalisasi bias persepsi antar objek Confidence building measure: langkah-langkah yang diambil untuk mengurangi permusuhan dan kurangnya kepercayaan antar pihak dalam situasi kritis Preventive diplomacy: langkah yang diambil untuk mencegah sebuah sengketa berkembang menjadi konflik terbuka dan membatasi dampak dari konflik terkait Conflict resolution: metode dan proses yang dilibatkan dalam memfasilitasi proses perdamaian dalam konflik
105