"/ 307
BookReview: TERORISME AGAMA? kror Atas NamaTuhan:KebangkitonGlobal Mark Juergensmeyer, KekerasanAgama,alih bahasaM. SadatIsmail, Terrorin theMind of God: TheGlobal Riseof ReligiousWolence[Universityof CaliforniaPress,2000], JakartadanMagelang:Nizam PressdanAnima Publishing,2002,xxvi + 410 HargaRp 45.500,00 halaman,termasukindeks.ISBN. 979-96806-0-3. "teror,""teroris,"dan"terorisme"menjadikhazanahkatayangsangat I stilatr ll September I populerdan bermaknamengerikansetelahterjadi seranga,n simbol-simbolkapitalismedunia I ZOOIdi AmerikaSerikat,yangmenyerang (Menara Kembara World Trade Center, New York) dan arogansi militer (Gedung Pentagon) Amerika Serikat. Di Indonesia, istilah terorisme "menyalip" serangkaian'aksi kekerasandalambagiandramapolitik nasional yang makin carut marut semenjakreformasi politik bergulir, setelahterjadi ledakan bom dahsyat di Legian, Bali, pada 11 September2002, yang korbandari berbagaibangsa.Persoalannya, keduacontohaksi menewaskan pelaku kepada terorisme agama, disebabkan kekerasantersebutdinisbahkan kekerasanitu dianggapmemilih agamasebagaimotivasi untuk melakukan kejatratannya.Apalagi kedua peristiwa itu dikaitkan sebagai memiliki hubunganantaraorganisasiAl-QaedadanJemaahIslamiyahdi Asia Tenggara, mengusungbenderaIslam dalamaksi dankebetulankedua-duanyasama-sama kekerasannya. Bagaimana mungkin agama yang sedemikian rupa mengajarkan perdamaian, dapatmenjadisaranadantunjuan kasihsayang,dankeselamatan, dalamedisibahasaIndonesia tindakankekerasan.Buku Mark Juergensmeyer yang yangdibahasdi sini, [erupayamemahamiapa disebutdenganterorisme agama.Sebagaihasil penelitian,maksudbuku ini menurutJuergensmeyer adalahbukanuntukmenunjukkansimpatikepadaorang-orangyangmelakukan dunia(worldview) aksi-aksiteror,tetapisebagaiupayamemahamipandangan para pelaku kekerasan(teroris) secara cukup memadai agar diketahui merekadanparapendukungnya bagaimana , yangsecaramoral,membenarkan (hlm. 8-9).Berangkatdaritujuanitulah,penulisbuku apayangmerekalakukan TheNewColdWar?ReligiousNationalismConfrontstheSecularState(1993) ini mengawaliuraiannyadenganstudi-studikasusterhadapaktivis-aktivis (teror). yangmenggunakan kekerasan keagamaan Dari uraianbagianpertamabuku ini tampakbahwasemuaagamamemiliki potensiuntuk menggerakan kekerasanbagi parapemeluknya.Juergensmeyer yangdilakukanumat masing-masing nenyodorkan beberapa contohkekerasan klinik aborsidanaksiKristendi AmerikaSerikatyangmendukungpemboman
Millah Vol. II No. 2. Jqnuari 2003
aksi milisi sepertipembomanbangunanfederalOklahomaCity, perseteruan panjangantarakaum Katholik dan Protestanyang membenarkanaksi-aksi terorismedi Irlandia Utara (Bab Dua "Laskar Kristus," hlm. 24-57); aksi sekelompokMuslim yang terkait denganpembomanWorld TradeCenterdi New York (1993)dan seranganyang dilakukanoleh Hamasdi Timur Tengah (BabEmpat"Islam:'Kewajibanyangterabaikan'," hal. 79-ll0); orang-orang Yahudi yang mendukungpembunuhanPerdanaMenteri Yitztrak Rabin dan serangan di TembokRatapan(Hebron)terhadapumatIslamyangsedangshalat (BabTiga"ZionYangDikhianati,"hlm. 58-79);kaumSikhyangterkaitdengan pembunuhan PerdanaMenteriIndira GandhidanKepalaMenteriPunjabBeant (Bab Singh Lima, "Pedang Sikhisme,"hlm. l lI-132); dan kaum Buddhis Jepangyang berafiliasi dengangerakanAum Shinrikyo yang diduga telah menyebarkangasberacundalamkeretaapi bawahtanahdi Tokyo (Bab Enam, *KiamatdalamKeretaApi BawahTanahdi Tokyo,"hlm. I 33- I 53). Padabagiankeduabukunyaini, Juergensmeyer mengidentifikasipola-pola logikayangditemukandalambudayakekerasansebagaimana diuraikandalam pertama, penjelasan bagian sehinggadiperoleh mengapadanbagaimanaagarna dan kekerasansalingterkait. Dari uraiannyatersebut,Juergensmeyer sampai padakesimpulanbahwaaksi-aksiterorismetidakhanyauntukmencapaitargettargetstrategissemata,tetapijuga untuk memenuhimaksud-maksud simbolis. Targetstrategisdariaksi-aksiterorismemengasumsikan bahwaterorismeselalu merupakanbagiandari strategipolitik, yang oleh beberapailmuwan sosial sepertiWalter Laqueur (1987), Bruce Hoffinan (1998), Michel Wieviorka (1995),ThomasPerryThornton(1964)danDavid Rapoport(1997)terorisme yang demikiandidefinisikansebagai"penggunaankekerasansecararahasia oleh kelompoktertentuuntuk tujuan-tujuanpolitik" (hlm 160). Contohaksi terorismesebagaibagianstrategipolitik ini antaralain dapatdilihatdalamkasus pemilihanumum di Israelpadatahun 1996,yang diselenggarakan tidak lama setelahpembunuhanPerdanaMenteri Yitzhak Rabin,ataslawannyaBenjamin Netanyahu, diikuti dengan serangkaianseranganbom bunuh diri Hamas terhadapbis-bisdi Jerusalem. Padapemiluberikutnya,Netanyahumenangtipis atasPeres.Banyak kalanganpeneliti menyimpulkanbahwaNetanyahuyang sama sekali tidak memiliki hubungan dengan Islam radikal, harus berterimakasihkepadateroris-terorisHamasataskemenangannya, meskipun Hamasyangsebagianbesarpembomanbunuhdiri tidakdimaksudkan serangan untuk tujuan-tujuanpolitik secaralangsung.Aksi Hamastidak diarahkan kepadapolitik-politik internalIsrael,karenaHamastidak membedakan antara PeresdanNetanyahu.Dalampandangan Hamas,duapemimpinIsraeltersebut sama-sama memusuhiIslam(hlm. I 60-I 6I ). Padabagianlain, Juergensmeyer sampaipadakesimpulanbahwaaksi-aksi terorismebiasanyamerupakanproduk logika internal dan bukan merupakan pemikiranyanggila (gegabah),sehinggaragu-raguuntukmenggunakan istilah
Terorisme Agama
309
strategi berkaitan dengan alasan-alasanrasional aksi-aksi kekerasanteroris. Strategi (strategt), menurut Juergensmeyer, mengimplikasikan tingkat kalkulasi dan sebuah harapan yang menyertai suatu tujuan yang jelas, yang kontrasdenganpertunjukankekerasanyang sedemikiandramatis,sepertidalam pemboman World Trade Center di New York pada tahun 1993 (maupun pada serangan11 September2001). Dengan demikian, penciptaanteror dilakukan bukan untuk mencapai suatu tujuan strategis, tetapi untuk membuat sebuah pernyataansimbolis(hlm. 162). Tujuan simbolis dari aksi-aksiterorismemerupakanproduk pemikiran logis, dan masing-masing memiliki alasan intemal. Sebagai contoh, serangangas beracun gerakan Aum Shinrikyo pada tahun 1995 di Tokyo tarnpak lebih bersifat simbolis daripada strategis, di mana logikanya tidak terfokus pada pencapaianpolitik sesaat,tetapi suatu tujuan yang lebih besar dan abstrak. Tujuan simbolis berkaitan erat denganapa yang disebut sebagaiperformance events,dramatisasipertunjukan peristiwa-peristiwa. Sebagaidrama, aksi-aksi terorisme mengimplikasikan pandangan performatif, yang dalam hlsafat bahasaberkaitan denganjenis-jenis pengucapantertentu yang memiliki fungsifungsi sosial, sehingga pengucapannya memiliki pengaruh yang bersifat transformatif (hlm. | 63- | 64). Penjelasan Juergensmeyer sangatlah menarik ketika menghubunghubungkanaksi-aksiterorismedengansuatutradisiritual publik, yang dianggap sebagaibagian dari agama,dan salah satualasanmengapatontonan kekerasan sampai kepada para aktivis secara sangat alami melalui latar belakang keagamaan.Meminjam uraian David C. Rapoport (1982), hubungan antara agarrradan terorisme berkaitan erat tidak hanya karena adanya bercak-bercak kekerasandalam sejarah agama,tetapi juga karena aksi-aksi teroris memiliki sisi simbolis dan di dalamnya terdapat ritus-ritus keagamaanyang turuntemurun. Selanjutnya,korban-korbanterorismedijadikan sasaranbukankarena mereka menjadi ancaman bagi para pelakunya, tetapi karena mereka adalah "simbol-simbol, alat, binatang-binatangatau makhluk-makhluk korup" yang menyerang"gambaran khusustentangdunia, sebuahkesadaranyang spesifik" yang dimiliki oleh seorangaktivis (hlm. 165). Terorisme agama sebagaiteater menggunakantempat-tempatyang cocok untuk bermacam-macam alasan simbolis sebagai panggung di mana aksiaksinyadilakukan. Penyiapanpanggungdramakekerasanmembentukskenario terorisme terhadap simbol sentralitas,seperti peledakan World Trade Center (1993) dengan menggunakantruk sewaanRyder oleh Mahmoud Abouhalima dan kawan-kawannya, selain alasan melakukan perang dengan dalih agama untuk menentangpemerintah Amerika, juga memilih bangunantersebutyang melambangkankekuatanpemerintahyang opresif (hlm. 168). ' Signifikansi simbolis dari terorisme agamajuga memanfaatkan"panggung publik" lainnya sepertibandarudara,kendaraan(pesawatterbang),atautempat
310
Millah Vol.II No. 2, Januari 2003
di mana seranganterjadi yang merepresentasikan kekuatandan stabilitas masyarakatitu sendiri. Juergensmeyer(hlm. 173) mencontohkandalam beberapakasus dari simbolisme tempat-tempatyang memiliki signifikansi khusus,sepertiklinik-klinik aborsidi AmerikaSerikatyangdibomolehaktivisaktiviskeaganaanpro-life atankapal-kapalpesiardanhotel-hoteldi Mesiryang diserangoleh aktivis-aktivis Islam yang menganggapnya sebagaiimposisi budayaasing.Demikian pula denganpembunuhanterhadapbeberapakaum Muslim yang sedangmelaksanakan shalatdi tempatibadahTembokRatapan (Hebron)oleh Dr. Goldsteinjuga memiliki signifikansisimbolismekhusus, karenaGoldsteindan kelompok-kelompoknya menganggaptempat ibadah tersebutsebagaisimbolpendudukan kaumMuslim ataswilayahYahudi.Selain tempat yang memiliki signifikansi khusus, timing (waktu) juga menjadi perhatianpenting dalam skenarioterorisme,sehinggamenjangkauaudiens cukup besar melalui peran peliputan media massa. SeranganGoldstein dilakukantidakhanyapadahariyangdianggapsakralbagiorang-orang Yahudi, tetapijuga bersamaan padabulanRamadhanyangpaling disucikanoleh umat Islam.UpayaGoldsteinitu bukanhanyamerupakansuatukehilanganbanyak aktivis Muslim dalam gerakanHamas, yang bagi Goldstein tidak hanya merupakansuatucarauntuk menghormatitradisi Yahudi,tetapijuga sebagai upayauntuk menghinaIslam (hlm. 178).Terorismesebagaiupayamenakutnakuti dengan kejadian-kejadianyang luar biasa, tanpa kesaksianyang mengerikantak akan berarti apa-apasebagaimanahalnya dengan sebuah pertunjukkansandiwaratanpapenonton(audiens).Reaksipublik luas yang timbul terhadapaksi-aksikekerasan (teror),misalnyadalampeledakangedung MenaraKembar(TwinTbwers)world TradeCenterI I September 2001di New York (ataupunl2 oktober 2002di Legian,Bali), menjadibagianintrinsikdari peristiwa teror tersebut, yang membesar-besarkankengeriannyajauh jumlah orangyangterkenaakibatledakantersebutsecaralangsung. melampaui Meminjam Jean Baudrillard (1993), aksi-aksi terorisme akhir abad )c( pengaruhnya publik melaluimediaelektronik(hlm. 187). mengenaikesadaran pemirsa Terorisme dengan televisidi seluruhduniamerupakan sebuahperistiwa global yang nyata, sebagaimana peristiwa-peristiwatransnasionalekonomi global (hlm. 191).Dari hal ini, Juergensmeyer menekankanbahwadimensi globalorganisasiterorismedanpemirsa(audiens)sertaresponstransnasional terhadapny4memberikansignifikansikhususterhadappemahaman terorisme sebagaipertunjukankekerasanpublik, yang memiliki aspek-aspek konkret sekaligusmemilikimaknasimbolisbagiparapemeluknya. **d.
Retorika "Perang Melawan Terorisme" (War against Tbruorism) yang dikumandangkan Presiden George W. Bush, segera setelah serangan I I
t-
Terorisme Agama
3ll
September 2001, menunjukkan adanya babak baru yang oleh Mark "perang kosmis" (perang semesta), yaitu sebuah Juergensmeyer sebagai perjuangan besar yang tak pernah berakhir. Meskipun lawan perang Amerika Serikat dalam Pidato George W. Bush di depan Kongres AS pada tanggal2T September2001 lebih ditujukkan kepadaupayanyamerebut simpati melawan jaringan Al-Qaeda dan Pemerintah Taliban di Afghanistan yang diyakini "war against melindungi pimpinan Al-Qaeda, Osama bin Laden, namun tenorism" diperluasartinya denganpernyataan: ... to destructionond to the defeatof global tercor network...Wewill starve terrorists offunding, turn themone against anothe4drive themfromplace to place until there is no refuge and no rest. And we will pursue nations that provide aid or safe haven to tercorism.Every nation in every region now has a decision to make: Either you are with us or you are with teruorists.From this dayforward, any nation that continues to harbor or support terrorism will be regarded by the United Statesas a hostile regime. ... (Kenneth W. Stein: 2002) o'Perang Kosmis" yang melekat pada aktivisme keagamaan seperti dipaparkan Juergensmeyer menyuguhkan materi dan tema-tema yang dimainkan dalam skenario-skenariobesar yang berada di belakang aksi-aksi pertunjukan kekerasan yang sekarang terjadi. Perang kosmis sering digambarkan dengan pesan-pesansakral seperti dimuat dalam teks-teks suci "perang antara agama,yang dalam beberapahal bersifat eskatologis sebagai kebajikan dan kejahatan" atau bersifat mesianistik (bagi kalangan Yahudi) denganpeperangantiada henti hingga Messiahtiba di Jerusalem. Dari sejumlah konflik-konflik kekerasan dalam bentuk aksi-aksi teror, Juergensmeyermenemukan sejumlah karakteristik konfrontasi yang dicirikan sebagai perang kosmis, sebagai berikut: (l) perjuangan dipahami sebagai sebuah pertahanan identitas dan kemuliaan yang mendasar; (2) hiiangnya perjuangan yang tak terduga; (3) perjuangan yang buntu dan tidak dapat dimenangkan dalam realitas atau melalui term-term yang nyata. Ketiga karakteristik itu meningkatkan keserupaanbahwa sebuahperjuangan dunianyata bisa saja dipahami melalui istilah-istilah kosmis, sebagai perang suci (hlm. 215 -217). Suatu pertempurankecil-kecilan (Intifadhah, misalnya) yang mula-mula dianggap remeh, tidak penting, ketika tersakralisasikan, penggunaimkekerasannyamengalami legitimasi sehingga mengarah kepada seranganteroris oleh lawannya. Di sini kemudian tercipta peran hitam putih dalam perang kosmis tersebut, yaitu antara martir dan setan (iblis), untuk menyebutmusuhataulawan satuterhadaplainnya. {.**.
312
Miilah Vol. II No. 2. Januari2003
,9ebagaimanabukunya The New Cold War? Religious Nationalism Confronts Secular State (1993), yarrg mengupas kekerasan antar kelompok beragama pascaPerangDingin, dalam buku k ror At as Nama Tuhankarya Juergensmeyer ini kayadengandata primer, terutamadari wawancaramendalamterhadappara aktivis keagamaan yang diidentifikasi melakukan aksi terorisme. Di luar perdebatan ketidaksetujuan pelabelan istilah "terorisme" terhadap agamaagama tertentu, kerendahan hati Juergensmeyeruntuk memahami pandangan dunia para aktivis keagamaan yang'menjadi sampel materi buku ini patut diteladani,sehinggapenulis buku tidak sekadarmenjadi pengamatyang cerdas, tetapi secara objektif "menyuarakan" maksud dari motivasi aksi-aksi teror tersebut. ' Sepakat dengan Juergensmeyer,semua terorisme adalah kekerasan, dan kekerasandilakukan karena alasan-alasansimbolis maupun strategis, Hanya saja, dari daftar kelompok teroris masing-masingkelompok keagamaanyang disajikan dalam buku ini nampak sekali bahwa kelompok-kelompok marjinal ("tertindas") sajalah yang seolah-olah merasa "terpanggil" untuk menegakan kehendak Tuhan dalam dunia nyata ini. Ini menjadi semacamtipikal bahwa gerakan-gerakanradikal keagamaanadalahgerakan-gerakankeagamaanyang marjinal vis-d-vis kelompok moderat yang menjadi mainstream. konisnya, justru terorisme dari kelompok marjinal itu memberikan kekuatan kepada agama,yaitu menjadi potensi politik dari suatuideologi keagamaanyang tidak dimiliki sebelumnya. Solusi Juergensmeyeruntuk mengakhiri terorisme dengan memberi peran sentral agarnadalam tatanan publik, agaknya sulit diwujudkan ketika agama harusdipisahkandari urusanpolitik. Karena dalam sejarahperkembangannya, tidak setiap agama, khususnya Islam, bebas dari hubungan erat agama dan politik. Namun, perlunya desakralisasiagamadari sekadarsebagaiinstrumen politik keagamaandari kepentingan pribadi atau kelompok, patut dikaj i langkah kongkretnya, sehingga dapat diperoleh "penawarnya" terhadap setiap kekerasan atas nama agama. Inilah salah satu daya tarik dari buku Juergensmeyer,yang perlu dibaca oleh para agamawandan pemerhati resolusi konflikberbasis agama
Samsuri DosenFakultasllmu Sosial Universitas Neger i Yogtakarta