Boks: Dampak Gempa terhadap Masyarakat Dunia Usaha DIY Pendahuluan Pada tanggal 27 Mei 2006, terjadi sebuah peristiwa gempa tektonik berkekuatan 5,9 SR di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Gempa yang berlangsung selama kurang lebih satu menit dan berpusat di pantai selatan (sebagaimana diinformasikan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika) secara mengejutkan telah merusak kegiatan ekonomi di wilayah DIY khususnya di Kabupaten Bantul serta sebagian wilayah Jawa Tengah khususnya kabupaten Klaten dalam nilai yang sangat signifikan. Ribuan korban manusia baik meninggal dunia ataupun luka-luka, ribuan bangunan dan fasilitas umum rusak, dan bahkan kegiatan ekonomi secara umum terganggu hingga mengakibatkan kerugian yang cukup besar tidak saja dirasakan oleh masyarakat di wilayah bencana saja namun juga wilayah DIY pada umumnya. Bencana gempa ini diduga kuat memiliki implikasi negatif pada perubahan kondisi perekonomian pada skala mikro maupun makro DIY. Rusaknya infrastruktur dan terganggunya kegiatan perekonomian akibat gempa, seperti robohnya pasar modern maupun tradisional, pertokoan, peralatan dan kegiatan produksi, lembaga keuangan, maupun masalah ketenagakerjaan serta kondisi ekonomi rumah tangga, menjadikan disequilibrium baru dalam perekonomian daerah. Untuk melihat dampak gempa terhadap kegiatan dunia usaha di DIY, digunakan sampel sebanyak 200 responden yang analisanya terbagi kedalam dua kelompok, yakni kelompok
24
Bab 1 - Perkembangan Makroekonomi
pengusaha perdagangan dan pengusaha nonperdagangan masing-masing sebanyak 100 responden.
Dunia Usaha Perdagangan Informasi Umum Dengan maksud untuk melihat dampak gempa tektonik 27 Mei 2006 terhadap industri kecil dan menengah khususnya sektor perdagangan eceran di wilayah DIY dilakukan survei terhadap 100 sampel pedagang eceran. Responden yang digunakan 75% berada di wilayah kabupaten Bantul adapun sisanya tersebar di wilayah kabupaten Gunungkidul, Sleman, Kulonprogo dan Kota Yogyakarta tersebar secara proporsional. Alat Tulis Kantor 9% Obat2an & Kimia 9%
Bahan Bangunan 13% Kendaraan 9%
Pakaian & Asesories 13%
Perlengkapan RT 13% Bahan Makanan 11%
Kerajinan 23%
Berdasarkan kelompok sektor usaha perdagangan, kelompok responden dibedakan menjadi 9 kelompok usaha yaitu kelompok usaha bahan bangunan dan konstruksi, kendaraan dan suku cadang, perlengkapan rumah tangga, kerajinan dan seni, bahan makanan dan tembakau, bahan pakaian dan asesorisnya, bahan kimia dan obat-obatan, bahan bakar, serta kelompok usaha alat tulis dan alat olah raga. Secara umum survei menunjukkan bahwa rata-rata kepemilikan modal pada kegiatan usaha perdagangan eceran di wilayah DIY sebesar 79%
merupakan modal sendiri, 18% merupakan pinjaman Bank, 1% diperoleh dari pinjaman Lembaga non Bank, dan 2% berasal dari sumber lainnya misalnya pinjaman individu. Gambaran komposisi ini secara sederhana dapat memberikan indikasi bahwa pada sektor perdagangan eceran, yang paling besar mengalami kerugian dan kerusakan akibat gempa pada umumnya adalah modal perseorangan. Meskipun demikian industri perbankan juga tampaknya akan terkena dampaknya, mengingat 18% pedagang eceran menggunakan modal yang berasal dari industri perbankan. Bank 18%
L. Non Bank 1% Lainnya 2%
Keputusan pasca gempa untuk melanjutkan usaha atau tidak bagi pelaku usaha salah satunya terkait dengan kepemilikan tabungan yang selama ini mampu mereka kumpulkan dari kegiatan usaha. Melihat karakteristik bahwa rerata usaha yang ada menggunakan dana atau modal sendiri, maka kepemilikan tabungan menjadi sangat signifikan. Survei menunjukkan bahwa 79% responden memiliki tabungan sedangkan sisanya, 21%, mengaku tidak memiliki tabungan. Dari responden yang memiliki tabungan ini 89% menyatakan biasa menempatkan tabungannya di Bank, hanya sekitar 3% yang menempatkan di lembaga keuangan non bank dan sisanya pada individu atau bentuk-bentuk investasi lainnya. Tidak Memiliki Tabungan 21%
Sendiri 79%
Memiliki Tabungan 79%
Dampak kerusakan industri memunculkan kekhawatiran kepada naiknya tingkat pengangguran di wilayah DIY. Survei menunjukkan bahwa rata-rata jumlah pekerja yang digunakan dalam setiap unit usaha perdagangan eceran di DIY mencapai 16 orang. Adapun komposisinya terdiri dari 84% merupakan pekerja tetap dan sisanya sebesar 16% merupakan pekerja honorer. Berdasarkan informasi yang berhasil di peroleh dari interview didapatkan bahwa 96% dari responden yang ada menyatakan akan tetap melanjutkan kegiatan usaha mereka dan hanya sekitar 1% yang menyatakan terpaksa tidak dapat melanjutkan kegiatan usaha mereka kembali, dan sisanya menyatakan masih menimbang-nimbang. Hal ini mengindikasikan bahwa kemungkinan terjadinya kenaikan angka pengangguran di DIY dapat saja terjadi meskipun demikian diharapkan angkanya tidak terlalu tinggi.
Komposisi dan Nilai Kerusakan Jenis kerusakan yang dialami oleh unit usaha perdagangan eceran secara rata-rata menunjukkan bahwa kerusakan yang paling dominan adalah kerusakan fisik bangunan yaitu mencapai 40%. Mengingat bahwa, kegiatan usaha yang terdapat di DIY mayoritas bersifat lokal artinya hasil produksi suatu industri akan digunakan sebagai bahan baku bagi industri lainnya atau dikonsumsi oleh masyarakat di wilayah yang relatif sama. Hal ini mengakibatkan ketika suatu industri hancur misalnya industri gerabah kasongan, maka pasar bagi industri penghasil kardus dan box kayu misalnya menjadi turut rusak pula. Fenomena ini ditunjukkan oleh pengakuan responden bahwa peringkat kedua terbesar dalam hal kerusakan menurut responden adalah kerusakan dari potensi pasar output mereka
Bab 1 - Perkembangan Makroekonomi
25
yaitu mencapai 23%. Adapun kerusakan berupa sarana dan peralatan usaha mencapai porsi 15%. Lebih dari hal tersebut, sebagian industri menyatakan mengalami kerusakan dalam hal pasokan bahan baku termasuk di dalamnya adalah kehilangan sumberdaya manusia (para pekerjanya) yang menjadi korban bencana gempa tersebut. Kerusakan bahan baku ini diperkirakan mencapai 17%. Komposisi kerusakan ini dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.
Potensi Pasar 23%
Lainnya 5%
Bahan baku /Input 17%
Bangunan 40%
Alat Produksi 15%
Dari tabel yang disajikan dibawah tampak bahwa secara keseluruhan untuk sektor usaha perdagangan eceran kerusakan pada bangunan dan sarana produksi masih dalam kategori ringan. Namun untuk aspek suplai barang bahan baku/input serta potensi pasar mengalami kerusakan dalam kategori sedang dan berat. Kerusakan
Ringan
Sedang
Berat
Bangunan
59%
25%
16%
Alat / Sarana Produksi
68%
27%
19%
Bahan Baku / Input
29%
41%
29%
Potensi Pasar
34%
34%
32%
Secara rerata nilai kerusakan yang dialami oleh unit usaha perdagangan eceran dapat di tampilkan dalam gambar selajutnya. Survei mendapatkan bahwa mayoritas rerata nilai kerusakan per unit usaha (51%) adalah kurang dari Rp25 juta. 31% responden menyatakan nilai kerusakan yang mereka alami berkisar antara Rp25 juta hingga Rp100 juta. Selebihnya sebesar 16% menyatakan mengalami kerusakan dalam nilai
26
Bab 1 - Perkembangan Makroekonomi
berkisar Rp101 juta hingga Rp500 juta dan 2% sisanya menyatakan bahwa nilai kerusakan yang mereka alami berkisar antara Rp501 juta hingga Rp2,5 miliar.
101 - 500 jt 501jt - 2,5 M 2% 16%
<25 jt 51%
25 - 100 jt 31%
Dengan menggunakan prosentase nilai kerusakan tersebut di atas, dan dengan menggunakan data jumlah unit usaha di DIY tahun 2003 sebanyak lebih kurang 30.000 unit usaha (sumber BPS), maka dapat dilakukan prediksi atas nilai total kerusakan yang di alami oleh sektor perdagangan eceran di DIY. Berdasarkan perhitungan maka nilai kerusakan pada sektor perdagangan eceran adalah mencapai Rp. 1,180 triliun.
Asuransi dan Tabungan Terkait dengan masalah kerusakan yang diderita oleh unit usaha, survei ini mengungkapkan bahwa mayoritas pelaku dalam sektor perdagangan eceran belum memanfaatkan jasa industri asuransi. Hal ini terbukti dari jumlah responden yang tidak menggunakan jasa asuransi mencapai 70%. Meskipun demikian, sesungguhnya terdapat 30% unit usaha yang telah memanfaatkan jasa asuransi, namun sayangnya dalam kasus ini tidak seluruhnya dapat melakukan klaim terhadap perusahaan Punya Tetapi Tidak Mengcover 20%
Punya & Mengcover 10%
Tidak Punya 70%
asuransi. Responden yang menyatakan dapat melakukan klaim terkait dengan bencana hanya 10% dan yang tidak dapat melakukan klaim asuransi karena asuransi yang digunakannya tidak menutup kerusakan akibat gempa dan bencana alam lainnya sebanyak 20%.
Ekspektasi dan Kebutuhan
Lain-lain
Berdasarkan pendapat responden, yang menjadi kekhawatiran utama bagi pelaku usaha perdagangan eceran saat ini adalah kehilangan pasar produk mereka (mencapai 48% dari responden). Kekhawatiran ini perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah mengingat kerusakan atau kehilangan potensi pasar akan berdampak dalam pembangunan industri dalam jangka yang relatif lama. Terpaksa Merumahkan / mem PHK Kayaw an Meningkatnya Biaya Produksi Tidak Mampu Membayar Kew ajiban Finansial
3% 10% 11% 28%
Proses Produksi Terganggu
48%
Kehilangan Pasar 0%
10%
kembali normal membutuhkan waktu kurang dari 3 bulan. 32% lainnya menyatakan membutuhkan waktu antara 3 bulan hingga 6 bulan. 17% responden menyatakan membutuhkan waktu antara 6 bulan hingga 1 tahun dan sisanya sebesar 7% menyatakan butuh waktu lebih dari 1 tahun.
20%
30%
40%
50%
60%
Peringkat berikutnya menurut jawaban responden adalah kekhawatiran proses produksi mereka untuk beberapa waktu ke depan (28%). Ketidak-mampuan membayar kewajiban finansial kepada berbagai pihak menjadi kekhawatiran pelaku usaha di peringkat ketiga (11%).Adapun peringkat keempat dank kelima secara berturutturut adalah kekhawatiran terhadap meningkatnya biaya produksi dan terpaksa merumahkan atau mem-PHK karyawan. Kehancuran dan kerusakan usaha yang dialami oleh pelaku usaha tampaknya tidak menyurutkan semangat untuk menata dan melanjutkan kembali usahanya. Berdasarkan interview yang dilakukan didapatkan gambaran bahwa 44% responden menyatakan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan usahanya
5%
Bahan Baku / Input
8% 11%
Alat Produksi
17%
Keringanan Kew ajiban Finansial
59%
Dana Modal Kerja 0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
Kebutuhan yang mendesak pasca gempa bagi pelaku usaha saat ini dapat diidentifikasi sebagai berikut. 59% responden mengatakan membutuhkan dana modal kerja untuk membenahi usahanya. 17% mengharapkan adanya keringanan atas kewajiban finansial terkait dengan pinjaman dan pembayaran pajak. Alat produksi dan sarana usaha pengganti diperlukan oleh 11% dari responden yang ada. Adapun sisanya adalah kebutuhan akan kontinuitas bahan baku dan kebutuhan lainnya. Pembiay aan 76 - 100% 23%
Pembiay aan 51 - 75 % 4%
Pembiay aan < 25 % 46%
Pembiay aan 25 - 50 % 27%
Kesanggupan untuk memulai kembali usahanya tergantung dari dana bantuan yang dapat mereka harapkan dari berbagai sumber. Berdasarkan survei yang dilakukan, kemampuan responden dalam membiayai sendiri agar bisnis kembali berjalan secara mayoritas (46%) hanya sebesar kurang dari 25% dari kebutuhan dana. 27% lainnya menyatakan hanya sanggup membiayai hingga 50% dari kebutuhan dana.
Bab 1 - Perkembangan Makroekonomi
27
Mengingat bahwa mayoritas kesanggupan pembiayaan sendiri relatif cukup kecil, maka harapan untuk mendapatkan bantuan dana dari pihak lain sangat diharapkan oleh pelaku usaha. Dalam usaha ini terungkap bahwa 49,6% responden mengharapkan pinjaman dari industri perbankan. 23,7% mengharapkan bantuan dari pemerintah. 8,1% mengharapkan mendapat bantuan dari lembaga non Bank dan sisanya dari sumber-sumber lainnya. Terhadap kemungkinan pertumbuhan ekonomi di DIY selama 3 bulan ke depan para pelaku usaha perdagangan eceran memprediksi akan terjadi penurunan tingkat pertumbuhan dalam kisaran 2% hingga 5%.
Dunia Usaha Non-Perdagangan Informasi Umum Responden dalam survei ini sebanyak 100 unit usaha, yang berasal dari empat daerah yaitu Kabupaten Bantul, Sleman, Gunungkidul dan Kota Yogyakarta, dengan mengacu responden pada Survei Kegiatan Dunia Usaha, ditambah beberapa unit usaha yang baru. Proporsi responden yang berasal dari Bantul sebesar 17%, Gunungkidul sebanyak 3%, Sleman sebanyak 26%, dan Kota Yogyakarta sebanyak 54%.
Komposisi dan Nilai Kerusakan Survei menemukan bahwa mayoritas responden yaitu sebanyak 25% dari total responden mengalami kerusakan bangunan usaha dengan skala kerusakan mayoritas termasuk dalam kategori kerusakan ringan (56,25%), dan kerusakan sedang (28,13%), sedangkan yang rusak berat hanya sebanyak 15,63%. Selain bangunan usaha yang rusak, bencana gempa juga telah merusak peralatan produksi, dan bahan baku. Dari total responden, ada sebanyak 14% yang mengalami kerusakan peralatan produksi,
28
Bab 1 - Perkembangan Makroekonomi
dimana tingkat kerusakan mayoritas bersifat rusak ringan yaitu sebanyak 60,87%, sedangkan yang rusak sedang ada sebanyak 21,74% dan rusak berat sebesar 17,05%.
Bangunan 25% Potensi Pasar 46% Alat / Sarana Produksi 14% Bahan Baku / Input 15%
Sementara itu, kerusakan lain juga terjadi pada bahan baku utama maupun bahan baku pembantu, serta sarana transportasi usaha, seperti mobil dan motor juga dialami oleh sebagian responden. Secara agregat kerusakan pada bahan baku / input ini mencapai kisaran 15%. Dari 15% tersebut terdapat sebanyak 20% responden yang mengalami kerusakan bahan baku utama, dimana mayoritas termasuk kerusakan ringan (57,14%), sedangkan yang mengalami kerusakan bahan baku pembantu ada sebanyak 12%, dengan mayoritas kerusakan termasuk ringan (50%). Pada sisi lain, responden yang mengalami kerusakan pada sarana transportasi usaha ada sebanyak 12% dengan tingkat kerusakan mayoritas bersifat rusak ringan (63,64%). Hal yang paling banyak dirasakan oleh pelaku usaha pada pasca gempa ini adalah kerusakan atau kerugian yang berkaitan dengan potensi pasar output. Secara umum kerusakan dalam potensi pasar mencapai 46%. Kerusakan ini meliputi penurunan penjualan dan penurunan jumlah barang yang diproduksi. Ada sebanyak 59% responden yang mengalami penurunan omset usaha, dengan skala kerusakan/penurunan yang relatif sama, dimana untuk yang termasuk kategori ringan sebanyak 41,46%, sedang dan berat masing-masing sebanyak 29,27%. Jumlah responden yang mengalami penurunan produksi sebagai akibat terjadinya
bencana gempa ada sebanyak 43%, dimana mayoritas termasuk pada klasifikasi kerusakan/ penurunan ringan (50,50%) dan penurunan sedang (30%). Ringan
Sedang
Berat
Bangunan
56%
28%
16%
Alat / Sarana Produksi
62%
25%
13%
Bahan Baku / Input
54%
21%
26%
Potensi Pasar
52%
25%
23%
Meskipun terjadi gangguan pada proses produksi dan kegiatan usaha secara umum, namun hanya ada 9 unit usaha yang melakukan pengurangan tenaga kerja yang bersifat sementara, dan sedangkan yang melakukan PHK tetap ada sebanyak 4%.
Ekspektasi dan Kebutuhan Timbulnya berbagai kerusakan pada sebagian peralatan usaha dan infrastruktur ekonomi akibat bencana gempa bumi, tentu saja pada pasca gempa ini menimbulkan berbagai kekhawatiran yang dirasakan para pelaku usaha. Jenis kekhawatiran yang paling banyak dirasakan oleh responden adalah kehilangan pelanggan/pasar, meningkatnya biaya produksi, dan terganggunya proses produksi dan distribusi. Terpaksa Merumahkan / mem PHK Kayaw an Tidak Mampu Membayar Kew ajiban Finansial Proses Produksi Terganggu Meningkatnya Biaya Produksi Kehilangan Pasar
0%
10% 14% 17% 18% 41% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45%
Jumlah responden yang mengkhawatirkan penurunan pelanggan/ konsumen ada sebanyak 42% dengan probabilitas kejadian kekhawatiran rendah (36,84%) dan sedang (42,11%). Selain itu, bentuk kekhawatiran yang banyak dirasakan oleh pelaku usaha adalah meningkatnya biaya produksi, yaitu sebanyak 40%, dengan tingkat probabilitas terjadinya kekhawatiran ini pada skala merata antara ringan (37,50%), sedang dan berat masingmasing sebanyak 31,25%.
Tidak sedikit pula para pelaku usaha yang mengkhawatirkan terjadinya gangguan proses produksi dan distribusi, yaitu masing-masing sebanyak 37% dan 35%, dengan tingkat probabilitas terjadinya kekhawatiran ini mayoritas bersifat sedang. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Bentuk Kekhawatiran Proses produksi terganggu Proses distribusi terganggu Kehilangan pelanggan/pasar Tidak mampu membayar pinjaman usaha Tidak mampu memenuhi pesanan sebelum gempa Meningkatnya biaya produksi Tidak sanggup melanjutkan usaha Tidak mampu melakukan investasi kembali Tidak sanggup menangung kerugian akibat gempa
Rendah 26,47 26,47 36,84 23,53 7,14 37,50 12,50 36,36 18,18
Sedang 47,06 50,00 42,11 29,41 64,29 31,25 37,50 27,27 45,45
Tinggi 26,47 23,53 21,05 47,06 28,57 31,25 50,00 36,36 36,36
Hal lain yang dikhawatirkan pelaku usaha akibat terjadinya gempa adalah ketidakmampuan mereka dalam membayar pinjaman usaha. Hal ini dirasakan oleh sebanyak 14% responden. Kekhawatiran gagal membayar pinjaman ini tidak lepas dari terganggunya proses produksi dan peningkatan biaya produksi, serta hilangnya pelanggan/konsumen. Hal ini hendaknya direspon dengan kebijakan yang akomodatif oleh sektor perbankan dan pembiayaan agar kerugian pada kedua belah pihak tidak terjadi. Sementara itu, para responden yang mengalami kerusakan bangunan usaha dan peralatan usaha dengan klasifikasi berat, banyak yang khawatir akan tidak mampu melanjutkan kegiatan usaha. Hal tersebut dirasakan oleh 9% responden, dengan tingkat probabilitas kekhawatiran mayoritas termasuk tinggi (50%) dan klasifikasi sedang sebanyak 37,50%. Bentuk kekhawatiran yang lain yang muncul dari dampak gempa adalah ketidakmampuan menanggung kerugian akibat gempa dan ketidakmampuan dalam melakukan reinvestasi. Pasca gempa masyarakat memiliki prioritas kebutuhan yang harus dipenuhi. Jenis kebutuhan yang paling banyak dirasakan para responden adalah perbaikan bangunan usaha, yaitu sebesar 56%, kemudian perbaikan alat produksi (31%), dan
Bab 1 - Perkembangan Makroekonomi
29
kebutuhan tambahan modal usaha (26%). Jenis kebutihan tersebut sangat wajar untuk diprioritaskan dipenuhi agar kegiatan usaha segera kembali seperti semula. No 1 2 3 4
Jenis Kebutuhan Perbaikan bangunan usaha Perbaikan/pengadaan alat produksi Tambahan modal usaha Keringanan kewajiban pinjaman usaha
Frekuensi 56 31 26 16
Persen 56,00 31,00 26,00 16,00
Selain jenis kebutuhan tersebut di atas, para pelaku usaha juga merasakan perlunya keringanan dalam memenuhi kewajiban finansial (hutang), yaitu ada sebanyak 16% responden. Hal ini terkait dengan dampak gempa berupa penurunan omset usaha dan jumlah produksi, sehingga secara langsung memperngaruhi kondisi keuangan usaha mereka. Jenis kebutuhan yang dirasakan oleh para responden pasca gempa dapat dicermati pada tabel di atas.
Asuransi dan Tabungan Terjadinya bencana alam, termasuk bencana gempa yang melanda DIY dan Jateng beberapa waktu yang lalu, tentu saja menimbulkan berbagai kerusakan pada berbagai jenis aset ataupun pada kesehatan fisik dan psikis masyarakat. Berbagai kerugian yang timbul, sebenarnya akan lebih ringan dirasakan oleh para korban apabila mereka memiliki asuransi, baik asuransi kesehatan ataupun asuransi pada aset, seperti asuransi bangunan dan kendaraan.
30
Bab 1 - Perkembangan Makroekonomi
Dari total responden, ternyata cukup banyak responden yang sudah memiliki asuransi, yaitu sebanyak 43%, sedangkan sisanya belum memiliki memiliki. Asuransi yang dimiliki responden tersebut, ternyata hanya 33% yang menutup kerugian akibat gempa, sehingga nilai manfaat dari asuransi yang dimiliki sebagian responden termasuk rendah. Rendahnya tingkat keikutsertaan responden dalam asuransi, mengindikasikan bahwa budaya asuransi sebagai bentuk antisipasi atas munculnya resiko kerugian, belum terjadi pada masyarakat DIY, termasuk didalamnya para pelaku usaha. Kondisi ini sangat mungkin dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat secara umum, serta kecakapan pelaku usaha dalam menganalisis terjadinya kemungkinan munculnya suatu resiko kerugian, termasuk akibat gempa. Hal lain yang dapat meringankan para korban gempa dalam melakukan pemulihan akibat gempa adalah ketersediaan dana cadangan (tabungan). Dari olah data pada penelitian ini, tampak bahwa mayoritas pelaku usaha memiliki dana cadangan dalam bentuk tabungan, yaitu sebanyak 77%. Dari total tabungan yang dimiliki oleh para pelaku usaha tersebut, nilai tabungannya mayoritas lebih besar dari kerugian akibat gempa, yaitu sebanyak 70%. Dengan demikian, mayoritas responden tidak terlalu
mengalami kesulitan finansial dalam melakukan pemulihan usaha akibat gempa. No 1 2 3 4
Ekspektasi Recovery Kurang dari 3 bulan Antara 3-6 bulan Antara 6-12 bulan Lebih dari 1 tahun
Frekuensi 48 14 33 5
Persen 48,00 14,00 33,00 5,00
Terhadap bencana gempa ini, mayoritas responden pelaku usaha, yaitu sebanyak 48 % menyatakan proses pemulihan butuh waktu yang relatif singkat, yaitu kurang dari satu triwulan. Hal ini terjadi karena tidak terlalu banyak responden SKDU yang mengalami kerusakan berat akibat gempa, mayoritas hanya rusak ringan. Sementara itu, respoden yang menyatakan butuh waktu setengah tahun hingga satu tahun untuk melakukan pemulihan ada sebanyak 33%, dan hanya sebagian kecil yang memperkirakan terjadinya pemulihan kembali akibat gempa yang dapat dilakukan lebih dari satu triwulan.
Bab 1 - Perkembangan Makroekonomi
31