Buku Sosiolinguistik, Teori dan Paraktik: Editor Iqbal Nurul Azhar. Penerbit Lima-lima Jaya
BISNIS PROSTITUSI DAN MASALAH GENDER DALAM LATRINAL (Kajian Sosiolinguistik Terhadap Grafiti Di Terminal Bungurasih) Iqbal Nurul Azhar1
PENDAHULUAN Grafiti menghiasi dan dapat ditemukan di banyak tempat. Dari sanggar-sanggar seni hingga ke toilet-toilet umum, grafiti dapat dijumpai keberadaanya. Bentuknya yang unik telah mengundang berbagai orang dari berbagai bidang ilmu untuk mengadakan eksplorasi dengan menempatkan grafiti sebagai objeknya. Sayangnya, penelitianpenelitian yang telah dilakukan kebanyakan dilaksanakan di luar Indonesia seperti; Obeng (2000); Adams & Winter (1997); Moonwomon (1995); Gadsby (1995); dan Rodriguez & Clair (1999). Hanya satu artikel tentang grafiti bersetting Indonesia ditemukan, artikel ini ditulis oleh Basthomi (2007) Penelitian grafiti yang dilakukan oleh Obeng (2000) sebagai contoh mengambil lokasi di Legon, Ghana. Fokus penelitian Obeng adalah hubungan grafiti dengan politik. Dalam penelitiannya, Obeng meletakkan grafiti sebagai sebuah wacana yang berada dalam ranah politik. Wacana grafiti ini kemudian digunakan oleh masyarakat yang memiliki sikap dan pandangan yang berbeda dengan pemerintah untuk mengungkapkan aspirasinya. Grafiti juga difungsikan sebagai media penyampai rasa marah, frustasi atas kejenuhan dan keresahan masyarakat terhadap panasnya situasi politik yang ada di negara tersebut. Berbeda dengan Obeng yang lebih menitik beratkan pada aspek politik, Adam dan Winter (1997) melakukan penelitian dengan fokus pada gafiti di gang-gang kota di Amerika. Dari hasil penelitian mereka, grafiti di gang-gang ternyata tidak hanya memiliki fungsi sebagai penanda kekuasaan dari komunitas pemilik gang (gangster), tapi grafiti tersebut juga merefleksikan serta merepresentasikan sosiokultur dari subkultur para gangster pemilik gang tersebut. Grafiti ternyata menjadi penanda perasaan kesetiakawanan terhadap kelompok, dan tentunya kepemilikan terhadap gang itu sendiri. Grafiti dapat juga merefleksikan hubungan intra dan intergang serta dunia gangster secara umum. Selain itu, grafiti dapat pula digunakan sebagai tanda penghormatan
1
Buku Sosiolinguistik, Teori dan Paraktik: Editor Iqbal Nurul Azhar. Penerbit Lima-lima Jaya
terhadap anggota mereka yang telah tewas dalam pertarungan antargangster atau dengan aparat kepolisian. Moonwomon (1995) melakukan pengkajian terhadap grafiti yang ada di kamar mandi wanita ada di Universitas Kalifornia Berkeley. Di tempat tersebut ia menjumpai bahwa graffiti yang ditulis kaum wanita pengguna toilet, kebanyakan merupakan wacana politik, gender dan rasis. Berdasarkan pada data yang diambilnya di tempat tersebut, Moonwomon menemukan bahwa grafiti yang ada di kamar mandi tersebut menggambarkan berbagai wacana diskusi antarwanita dengan tema perkosaan, bias gender, ataupun rasis yang ditulis dengan nada “hangat.” Grafiti ini juga mencakup wacana adanya pratik-praktik serta suara-suara pro kontra yang berhubungan dengan rasis/nonrasis dalam lingkaran komunitas kampus tersebut. Vernedoe and Gopnik (dalam Gadsby, 1995) membuat studi komparatif terhadap seni dan grafiti. Mereka menemukan bahwa grafiti adalah perpaduan dari expresi dewasa dan kekanak-kanakan. (Gadsby, 1995). Temuan Abel dan Buckley (dalam Gadsby, 1995) bertentangan dengan temuan Vernedoe and Gopnik. Dalam hal ini, mereka memandang grafiti sebagai fenomena pertentangan psikologis, yaitu bagi penulis grafiti, grafiti yang dihasilkannya adalah sebentuk komunikasi personal dan dianggap sebagai hal biasa padahal bagi orang lain, hal tersebut adalah sebuah problema (Gadsby, 1995). Sedang Basthomi (2007) yang oleh peneliti sampai saat ini dijumpai sebagai satusatunya pengkaji grafiti dengan setting Indonesia, mengangkat grafiti yang ada di bak truk sebagai pokok bahasan utama dalam tulisannya. Minimnya tulisan tentang grafiti yang ada di Indonesia, manyebabkan penulis memiliki pandangan bahwa studi, atau artikel yang mengupas tentang grafiti wajib ada. Karena itulah, sebuah studi telah dilakukan dan paper inipun disajikan. Karena cakupan grafiti yang sangat luas, maka studi yang dilakukan dibatasi pada grafiti yang ada di toilet umum saja. Sebagai salah satu bentuk manifestasi bahasa, objek studi ini dikaji melalui kaca mata adalah linguistik. Pisau analisis yang digunakan untuk membedah grafiti ini adalah sosiolinguistik utamanya hubungan gender dan bahasa.
DEFINISI DAN KLASIFIKASI GRAFITI Kata ‘grafiti’ berasal dari bahasa Itali. Kata ini merupakan bentuk plural dari kata ’grafito’ yang berarti gambar atau tulisan. Dalam bahasa Inggris, kata grafiti telah berubah makna dari yang semula gambar atau tulisan menjadi tulisan yang berada di
2
Buku Sosiolinguistik, Teori dan Paraktik: Editor Iqbal Nurul Azhar. Penerbit Lima-lima Jaya
tempat umum serta di tempat yang tidak semestinya. Seiring perkembangan jaman, definisi tersebut mulai melonggar dan lukisan muralpun kini telah dianggap sebagai grafiti. Grafiti di masa kini mencakup segala jenis coretan, gambar-gambar, lukisanlukisan, simbol-simbol, lambang-lambang yang tertulis pada dinding. Apapun motivasi penulisannya asalkan berwujud tulisan atau gambar serta memiliki makna, gambar tersebut disebut grafiti. Besarnya ruang lingkup grafiti, menyebabkan beberapa orang terpanggil untuk melakukan kodifikasi. Salah satunya adalah Gadsby (1995). Ia mencoba memberikan klasifikasi terhadap grafiti dan sejauh ini ia telah mengkategorikan grafiti ke dalam enam jenis yaitu: (1) latrinalia, (2) public, (3) tags, (4) historical, (5) folk epigraphy, dan (6) humorous. Latrinalia pertama kalinya didefinisikan dengan jelas oleh Dundes yang merujuk pada tulisan yang ditemukan di toilet (Gadsby, 1995; Emmison & Smith, 2000). Latrinalia adalah salah satu tipe grafiti yang tsangat menarik banyak untuk mengadakan penelitian. Dengan adanya banyak penelitian tersebut, toilet menjadi tempat terkotor namun paling diungkap di negara tersebut. Public mengacu pada grafiti yang ditulis di tempat-tempat umum seperti tamantaman, gedung-gedung, maupun tembok-tembok di pinggir jalan. Penamaan public diambil dari karakteristiknya yang mengisi tempat umum, entah
ditujukan untuk
mempercantik atau malah memperburuk pemandangan di tempat umum tersebut. Tags dan Public, serupa tapi tidak sama. Sama seperti Public, Tags juga mengisi tempat umum. Yang membedakan Tags dan Public, Tags memiliki karakter khas, yaitu pesan yang mereka bawa bersifat unik dan individualis. Tags dapat berbentuk nama individu, atau expresi individu. Dengan kata lain, Tags dapat diibaratkan sebagai sidik jari seseorang. Bentuk-bentuk umum Tags berupa nama penulis, inisial, alamat, atau simbol-simbol khusus individu. Berbeda dengan beberapa jenis grafiti di atas, Historical mengacu pada grafiti yang keberadaannya terungkap oleh orang-orang yang hidup pada masa jauh setelah grafiti tersebut dibuat. Jauhnya masa penemuannya dari masa pembuatan, menyebabkan orang-orang yang mengadakan penelitian terhadap grafiti tersebut tidak memiliki akses langsung terhadap pikiran internal dari penulis grafiti. Peneliti hanya bisa menemukan arsi-arsip bersejarah yang cukup untuk menguak misteri grafiti, namun tidak dapat menjelaskannya secara tuntas.
3
Buku Sosiolinguistik, Teori dan Paraktik: Editor Iqbal Nurul Azhar. Penerbit Lima-lima Jaya
Folk epigraphy adalah tulisan yang dibuat oleh orang-orang kebanyakan pada dinding, batu, kayu dan lainnya. Gadsby (1995) menemukan bahwa tipe grafiti jenis ini cenderung dituliskan dengan cat semprot yang banyak dijual ditoko-toko. Jenis terakhir dari grafiti adalah Humorous. Grafiti berjenis ini sangat sulit untuh didefinisikan, namun pada dasarnya, grafiti jenis ini berkarakter untuk menghibur pembacanya. Klasifikasi grafiti lain disampaikan oleh Blume (Dalam Gadsby, 1995). Blume membagi grafiti ke dalam dua jenis yaitu: Conversational dan Declarative. Grafiti Conversational mengajak pembacanya (baik itu sengaja maupun tidak oleh penulisnya) untuk bergabung dalam sebuah alur percakapan. Kondisi ini hampir sama dengan sebuah skrip percakapan yang ditulis oleh penulis yang beraneka macam. Berbeda dengan percakapan biasa, grafiti Conversational memiliki karakter mengajak berkomunikasi partisipan baik itu yang dikenal maupun yang tidak. Perlu dicatat bahwa tidak semua Grafiti mengajak partisipasi dari pembacanya. Ketika sebuah graffito tidak dimaksudkan untuk mengajak pembacanya berkomunikasi, maka grafiti jenis ini disebut sebagai Declarative. Pada beberapa kasus, grafiti Artistik maupun Tags temasuk dalam kategori grafiti jenis ini
LATRINAL DI TOILET BUNGURASIH Ada ribuan toilet umum tersebar di Indonesia. Karena jumlahnya sangat banyak dan tidak mungkin dikaji satu prsatu, maka toilet yang dikaji dibatasi. Terminal Bungurasihpun dipilih sebagai lokasi studi. Dipilihnya bungurasih sebagai lokasi studi bukanlah tanpa alasan. Ada dua pertimbangan yang mendasari pemilihan ini antara lain: (a) bungurasih adalah termasuk terminal primer di Indonesia yang memiliki trayek hampir ke seluruh kota besar di pulau Jawa, Bali, Lombok, dan Nusa Tenggara, sehingga dengan besarnya trayek ini, dipastikan hampir semua suku bangsa di Indonesia pernah singgah dan bahkan menggunakan toilet yang ada di terminal bungurasih, dan (b) akses peneliti terhadap teminal ini sangat mudah karena hampir dua minggu sekali peneliti berkunjung ke terminal ini dalam rangka bepergian. Adapun grafiti yang menjadi objek penelitian adalah latrinal yang tertulis di dalam kamar mandi toilet, bukan di luar atau bukan pula di sekitar toilet. Dipilihnya latrinal yang ada di dalam kamar mandi didasar pertimbangan antara lain: (a) kamar mandi adalah tempat privat, hanya satu orang saja yang boleh memasukinya dalam satu
4
Buku Sosiolinguistik, Teori dan Paraktik: Editor Iqbal Nurul Azhar. Penerbit Lima-lima Jaya
waktu, tidak boleh dua ataupun lebih. Karena itulah, toilet dapat menjadi tempat yang aman bagi penulis latrinal untuk membuang hajat ataupun untuk menuliskan sesuatu yang bersifat pribadi tanpa harus merasa malu dan takut diketahui orang lain (b) karena bebas dari orang lain, maka bahasa yang digunakan akan lebih ekspresif dan lebih vulgar. Latrinal yang dikaji dalam artikel inipun terbatas pada latrinal yang diambil di toilet laki-laki. Keterbatasan ini terjadi karena pada saat studi dilakukan, latrinal ternyata tidak ditemukan keberadaannya di toilet perempuan,. Berdasarkan studi lapangan yang dilakukan pada tanggal 28 Maret 2009, ada 10 latrinal yang kemudian diambil sebagai data untuk dianalisis pada paper ini. Pengambilan ke-10 latrinal tersebut didasarkan pada beberapa aspek yaitu (1) kejelasan tulisan, (2) dipahaminya pesan, (3) kemampuannya latrinal untuk merepresentasikan latrinal lain yang sejenis, dan (4) hubungan latrinal dengan judul artikel ini yaitu gender dan bisnis. Adapun latrinal yang memenuhi empat syarat di atas dapat dilihat pada tabel di bawah ini: 1.
HENI BTH DUIT 031724XX 08180387XX
6.
Cowok Cari Teman Curhat Cowok 17-21 Thn Yang mau menerima apa adanya
2.
SALAM AGENT DOSA GIGOLO PASTI PUAS CALL MOKID
7.
Cewek Bispak asli Bojonegoro Domisili Surabaya Asli Hot Lagi butuh duit, Hot mas! Luni
3.
CO-BOKINGAN GRATIS 031-8123213130 EDI
8.
Cowok Brondong Cakep Imut-imut Cari Bapak-bapak ABRI/Polri
4.
Gay Cakep Pacaku Yang Macho Aja boleh
9.
Ini adalah Saksi Bisu Kenikmatan Bu Neli Kamis 13-09-09, 01.00 WIB
5.
Mita Butuh Yang Besar Banget 10. 081852335xxx Data Grafiti temuan dari toilet umum bungurasih
Butuh Homo cepat
BISNIS PROSTITUSI DAN MASALAH GENDER DALAM LATRINAL 1. Bisnis Prostitusi dalam Latrinal Latrinal yang mengandung muatan bisnis seksual yaitu berupa promosi produk dan jasa layanan seksual dapat dilihat pada data di bawah ini: 1.
HENI BTH DUIT 031724xx 08180387xx (nomor disensor)
5.
Mita Butuh Yang Besar Banget 081852335xxx (nomor disensor)
5
2.
SALAM AGENT DOSA GIGOLO PASTI PUAS CALL MOKID
3.
CO-BOKINGAN GRATIS 031-8123213xxx EDI (nomor disensor)
Buku Sosiolinguistik, Teori dan Paraktik: Editor Iqbal Nurul Azhar. Penerbit Lima-lima Jaya
7.
Cewek Bispak asli Bojonegoro Domisili Surabaya Asli Hot Lagi butuh duit, Hot mas! Luni
10. Butuh Homo cepat
Ada dua kemungkinan siapa penulis latrinal pada data 1, 5, dan 7. Pada data 1, kemungkinan pertama adalah seseorang yang sedang membutuhkan uang yang bernama Heni. Ini jelas terlihat karena nama Heni tertulis pada latrinal tersebut. Pada data 5, penutur adalah seorang perempuan bernama Mita yang sedang membutuhkan sesuatu yang besar, sedang pada data 7, penutur adalah seorang perempuan yang berasal dari Bojonegoro dan berdomisili di Surabaya. Kemungkinan lain dari siapa penutur data 1, 5, dan 7 adalah seorang laki-laki yang pekerjaannya menawarkan produk dagangan (atau jasa) seorang wanita bernama Heni, Mita dan Luni. Simpulan ini dibuat karena ke-10 latrinal di atas ditemukan di toilet laki-laki. Hanya laki-lakilah yang memiliki akses masuk dan kesempatan untuk menuliskan grafiti di tempat tersebut. Tidak diketahui berapa umur, dan kondisi fisik dari Heni, Mita, dan Luni, maupun laki-laki yang menawarkan produk atau jasa tersebut. Tidak ada petunjuk yang jelas dari koteks. Pada data 7 hanya dijelaskan sedikit bahwa perempuan yang bernama Luni memiliki sesuatu yang hot atau bersifat hot. Meskipun tidak terlalu jelas gambaran fisik dari penutur, namun yang jelas, tujuan dari penulisan latrinal ini adalah bisnis yaitu menawarkan produk wanita bernama Heni, Mita dan Luni. Simpulan ini diambil berdasarkan pada munculnya dua nomor telpon seluler di baris kedua dan ketiga (pada data 1) dan baris kedua (pada data 5) dari latrinal. Selain itu, munculnya kata ’butuh duit’ (butuh uang) (pada data 1 dan 7) yang juga menjadi penanda adanya sebuah kegiatan komersial. Mitra tutur ini adalah semua laki-laki yang berminat menggunakan produk atau jasa Heni, Mita atau Luni. Sama seperti data 1, 5 dan 7, pada data 2, 3 dan 10 memiliki dua kemungkinan tentang siapa penulis latrinal. Kemungkinan pertama adalah dua orang gigolo yang bernama Mokid (data 2) dan Edi (data 3) karena dalam koteks, nama Mokid dan Edi tertulis jelas. Kemungkinan kedua adalah dua orang makelar jasa seksual bernama Mokid dan Edi yang sedang menawarkan produk dan jasa gigolo. Pada data 10, tidak diketahui siapa penutur karena tidak ada petunjuk pada koteks. Namun meskipun tidak diketahui siapa penulis latrinal, kita masih tetap dapat merasakan bahwa latrinal ini adalah berada dalam setting bisnis. Secara logika, tidak mungkin ada seseorang yang
6
Buku Sosiolinguistik, Teori dan Paraktik: Editor Iqbal Nurul Azhar. Penerbit Lima-lima Jaya
membutuhkan jasa gigolo, lantas ia mengumumkan keinginannya di depan publik tanpa menyiapkan uang untuk membeli jasanya.
2. Masalah Gender dalam Latrinal Wanita pengunjung toilet Bungurasih masih tetap memposisikan diri mereka sebagai sosok yang halus, lembut, tidak mudah terpancing untuk memanfaatkan kesempatan dan berubah menjadi lebih ekspresif ketika diberi kebebasan. Sikap tertutup dan malu-malu ini dapat ditunjukkan dengan tidak ditemukannya satu latrinalpun di toilet wanita. Hal ini secara tidak langsung memberikan kesan pada kita bahwa meskipun terdapat media yang menawarkan privasi tingkat tinggi, tapi mereka masih sungkan untuk melakukannya. Beda dengan laki-laki yang lebih cenderung ekspresif dalam mengungkapkan pikiran dan kebutuhannya, terutama dalam toilet. Di toilet laki-laki, ekpresi laki-laki mudah ditemukan dalam bentuk latrinal. Wanita, masih tetap menjadi ‘objek penderita’ dalam kacamata lelaki. Terbukti dari 10 latrinal di atas, ada beberapa latrinal yang menempatkan wanita sebagai sosok yang termarginalkan. Wanita dianggap sebagai sosok inferior, banyak memiliki kekurangan, objek fantasi seksual, bahkan komoditas dagang. Latrinal-latrinal yang menjelaskan hal ini dapat dilihat di bawah ini: 1.
HENI BTH DUIT 031724XX 08180387XX
7.
Cewek Bispak asli Bojonegoro Domisili Surabaya Asli Hot Lagi butuh duit, Hot mas! Luni
5.
Mita Butuh Yang Besar Banget 081852335xxx
9.
Ini adalah Saksi Bisu Kenikmatan Bu Neli Kamis 13-09-09, 01.00 WIB
Nama-nama pada 1, 5, dan 7 yaitu Heni, Mita, maupun Luni jelas menunjukkan bahwa status mereka adalah perempuan. Secara implisit, ketiga nama di atas menunjukkan bahwa mereka adalah Wanita Tuna Susila (WTS). Ketiga perempuan ini diperlakukan sebagai barang komoditas yang lemah dengan cara dipromosikan melalui latrinal di toilet umum laki-laki. Siapa saja laki-laki (yang kebetulan menggunakan tiolet dan membaca latrinal tersebut) yang tertarik menggunakan jasa mereka, dapat menghubungi mereka melalui nomor yang terdapat dilatrinal. Andaikata tiga orang perempuan tersebut berada pada posisi superior, mereka tidak akan butuh uang dan mau menjajakan diri mereka. Andaikata mereka superior, pastinya mereka tidak akan
7
Buku Sosiolinguistik, Teori dan Paraktik: Editor Iqbal Nurul Azhar. Penerbit Lima-lima Jaya
dipromosikan di toilet laki-laki sebagai WTS. Laki-laki penulis latrinal jelas tidak akan menjajakan perempuan superior yang tidak butuh uang. Hal kedua yang juga menunjukkan bahwa mereka berada dalam posisi inferior terdapat pada kata “butuh” (“butuh duit,” “butuh yang besar”). Dalam kehidupan seharihari, orang yang butuh selalu berada dalam posisi inferior sehingga rentan kalah. Image akan lemahnya orang yang “butuh” ini dimanfaatkan betul oleh penulis latrinal. Dengan membubuhkan kata “butuh” pada tiga nama wanita di atas, ditambah dengan menambahkan nomor telpon dan beberapa aksesoris bahasa yang menjurus ke arah sensual (seperti butuh yang besar, hot mas, dst), penulis latrinal berusaha meyakinkan pembaca bahwa tiga wanita tersebut benar-benar lemah dan dapat diperlakukan apa saja asalkan kebutuhan mereka terpenuhi. Sebenarnya, pada 10 data di atas, terdapat juga penawaran jasa seksual dari lakilaki seperti pada data 2 dan 3. Namun bahasa latrinal mereka berbeda dari latrinal ketiga wanita tersebut. Pada data 2 dan 3 tidak dijumpai adanya kata yang menunjukkan inferioritas seperti kata “butuh” yang dijumpai pada latrinal ketiga wanita. Bahasa latrinal mereka netral, tidak inferior seperti kata “gratis” dan frasa “pasti puas.” Data 9 di atas adalah rekaman pengalaman penulis latrinal yang luar biasa. Pengalaman tersebut terjadi pada hari kamis, tanggal 13 September 2009 jam 1 dini hari yaitu pengalaman menikmati tubuh ibu Neli. Kisah pengalaman penulis latrinal demikian berkesan dan indah hingga penulis memulai bahasanya dengan menggunakan kalimat metafora ”Ini adalah Saksi Bisu.” Pengalaman ini juga terkesan ”membanggakan” penulis ingin agar semua orang paham bahwa ia pernah menikmati ibu Neli. Impresi yang ditangkap melalui latrinal ini adalah sang penulis merasakan kebanggaan yang besar karena dapat menjadi superior yaitu dapat ”menikmati” tubuh ibu Neli. Di lain pihak, ibu neli menjadi inferior karena tubuhnya ”dinikmati” penulis latrinal. Selain itu, latrinal ini juga dapat berfungsi sebagai ajakan dari penulis latrinal kepada laki-laki pembaca latrinal untuk bergabung dengannya ”menikmati” ibu Neli apabila ada kesempatan. Selain menunjukkan masih adanya perspektif memandang rendah gender perempuan, latrinal-latrinal di atas tersebut juga menunjukkan adanya fenomena deklinasi gender (penurunan gender). Deklinasi gender didefinisikan sebagai perubahan status sosial seseorang yang seharusnya bergender laki laki, karena faktor psikologis dan interest maka ia memperlakukan dirinya sebagai perempuan dan memilih menyukai laki-
8
Buku Sosiolinguistik, Teori dan Paraktik: Editor Iqbal Nurul Azhar. Penerbit Lima-lima Jaya
laki daripada perempuan (Orang umum menyebutnya gay/homoseksual). Dengan demikian, ia yang seharusnya superior, karena menganggap dirinya perempuan, pada akhirya menjadi inferior. Latrinal jenis ini dapat terlihat pada data di bawah ini. 2.
Gay Cakep Pacaku Yang Macho Aja boleh
8.
Cowok Brondong Cakep Imut-imut Cari Bapak-bapak ABRI/Polri
6.
Cowok Cari Teman Curhat Cowok 17-21 Thn Yang mau menerima apa adanya
10.
Butuh Homo cepat
Fenomena munculnya latrinal yang mengandung deklanasi gender pada tabel di atas menarik untuk dikaji, mengingat kaum gay (homoseksual) dalam masyarakat Indonesia kurang mendapat tempat. Secara umum, kaum gay masih dipersepsikan sebagai kaum yang pemalu untuk mengakui bahwa mereka adalah gay dan lebih memilih memendam perasaan, berpura-pura normal daripada mengakui kondisi mereka yang sebenarnya. Pesepsi ini dibuktikan salah dengan adanya bukti beberapa latrinal di toilet terminal Bungurasih berisi ajakan berhubungan homoseksual. Di tempat tersebut, kaum gay dengan bebasnya menunjukkan jati diri dan interest mereka. Mereka yang semula tidak nampak, melalui latrinal, jati diri mereka menjadi tampak.
3. Bisnis Seksual dan Masalah Gender dalam Latrinal: Masalah Budaya yang Belum Terekspos. Ditemukannya fakta bahwa latrinal di toilet terminal Bungurasih ternyata dijadikan sebagai media pomosi prostitusi, jelas sangat mengejutkan. Latrinal yang seharusnya menjadi sarana mengungkapkan ekspresi melalui bahasa yang tertulis, ternyata dijadikan sebagai sarana mencari uang dengan cara ilegal yaitu menjual tubuh laki-laki dan perempuan. Sebagai bangsa yang menghargai norma-norma agama dan budaya, apa yang dilakukan pembuat latrinal tentu saja bertentangan dengan dengan norma-norma agama dan budaya yang telah ada. Namun, kita jelas tidak mungkin dapat menyalahkan penulis latrinal karena mereka melakukan hal tersebut pasti ada alasannya. Ada dua alasan yang secara logis menjawab hal ini yaitu; demi uang serta demi kesenangan. Penulis latrinal yang menawarkan jasa gigolo dan WTS, mereka melakukan ini jelas karena uang. Sedangkan bagi laki-laki yang menawarkan ajakan kencan homoseksual, mereka melakukan ini jelas karena faktor kesenangan. Kondisi sosial bangsa Indonesia yang kurang stabil, memiliki andil besar dalam memunculkan fenomena ini. Tingkat pengangguran yang tinggi, lapangan kerja yang 9
Buku Sosiolinguistik, Teori dan Paraktik: Editor Iqbal Nurul Azhar. Penerbit Lima-lima Jaya
terbatas, dan harga-harga yang tinggi, dapat membuat banyak orang menjadi gelap mata dan akan bersedia melakukan apa saja untuk menyambung hidup mereka. Bagi laki-laki yang tidak memiliki skill namun sangat berambisi memiliki uang dengan cara yang mudah dan cepat, menjadi gigolo adalah pilihan yang tepat. Demikian juga dengan kaum perempuan. Andaikata seluruh bangsa Indonesia berada dalam kondisi yang layak, promosi prostitusi dalam latrinal pasti tidak akan muncul di toilet teminal Bungurasih. Andaikata mereka mampu, namun tidak bisa melepaskan diri dari kesenangan menjual diri, pastinya mereka akan mengiklankan diri di tempat-tempat yang lebih eksklusif seperti di koran atau di majalah. Kaum gay yang tidak memiliki uang namun tidak mampu menahan interest mereka, mereka akan melakukan apa saja termasuk mempromosikan keinginan mereka lewat latrinal. Andaikata mereka mampu, mereka pasti akan bergabung dengan klub-klub gay yang eksklusif serta mahal dan mencari kesenangan di klub-klub tersebut daripada menawarkan ajakan kencan yang belum tentu disambut banyak orang. Beberapa hal yang mungkin menjadi catatan bagi kita adalah bahwa latrinal yang ada di Bungurasih bersifat dinamis. Bisa jadi esok atau lusa atau bahkan tahun depan akan ada puluhan latrinal-latrinal baru yang serupa bermunculan. Akan ada Luni, Heni ataupun Mokid-Mokid yang lain yang akan menawarkan diri atau bahkan ditawarkan diri oleh orang lain. Munculnya latrinal ini seakan menjadi potret dari situasi sosial bangsa Indonesia. Bahwa banyak di antara perempuan Indonesia karena terdesak kebutuhan ekonomi akhirnya diiklankan lewat latrinal. Banyak dari laki-laki Indonesia yang juga karena kebutuhan ekonomi bersedia jadi gigolo dan diiklankan lewat latrinal. Banyak laki-laki dari bangsa ini berubah dari maskulin menjadi feminin. Meskipun data yang disampaikan dalam artikel ini masih berupa sampel yang tentu saja belum mampu memberikan generalisasi dan pembuktian akurat tentang fenomena bisnis prostitusi dan masalah gender, namun latrinal-latrinal tersebut adalah Ibarat gunung es, karena latrinal-latrinal tersebut belum banyak terungkap di media massa. Latrinal-latrinal yang ada di toilet Bungurasih hanyalah puncak gunung es saja. Puncaknya (latrinal-latrinal) nampak sedikit. Tapi andaikata ditelusuri dengan seksama, akan banyak sekali bukti-bukti (akar/kaki gunungnya) yang berupa prostitusi, maupun deklinasi gender yang mendukung masalah ini. Melalui latrinal tersebut kita dapat melihat bahwa laki-laki masih menempatkan perempuan pada posisi inferior. Melalui latrinal, kita dapat melihat, bahwa perempuan,
10
Buku Sosiolinguistik, Teori dan Paraktik: Editor Iqbal Nurul Azhar. Penerbit Lima-lima Jaya
juga masih memposisikan diri mereka sebagai kaum inferior. Melalui latrinal kita dapat melihat deklanasi gender, yaitu perubahan gender laki-laki menjadi jadi perempuan. Melakui latrinal juga kita bisa melihat, kaum laki-laki menjajaakan diri mereka menjadi gigolo. Latrinal sebagai manifestasi bentuk bahasa, ternyata mampu merepresentasikan kondisi sosial masyarakat Indonesia. Dengan melihat latrinal, kita dapat melihat bahwa ada banyak masalah yang belum terselesaikan di negeri kita ini.
SIMPULAN a. Berdasarkan isi grafiti/latrinal serta manfaatnya, ditemukan bentuk-bentuk manfaat latrinal baru yang belum pernah dijelaskan dalam laporan penelitian tentang grafiti yang ada di Amerika Serikat atau negara lain, yaitu graiti ternyata dapat juga berfungsi sebagai (1) alat menawarkan produk dan jasa, serta (2) ajakan kencan menyimpang b. Masyarakat Indonesia yang terkenal menjunjung tinggi norma, ternyata ketika mereka diberikan media yang menawarkan provasi tinggi seperti toilet umum, dapat berubah menjadi lebih ekspresif dan berani, terutama dalam menunjukkan kebutuhan dan interest. c. Berdasarkan data grafiti yang dikumpulkan, ada beberapa aspek yang dapat memicu dan mendorong masyarakat untuk lebih ekspresif dalam menunjukkan perasaan, yaitu kubutuhan seksual dan bisnis d. Wanita, masih tetap menjadi ‘objek penderita’ dalam kacamata lelaki, terbukti beberapa grafiti berisi penawaran-penawaran wanita sebagai pemuas nafsu laki-laki. e. Beberapa latrinal juga mengungkapkan keberadaan laki-laki sebagai pemuas nafsu (gigolo). f. Bahasa latrinal WTS dan gigolo berbeda. Status WTS sebagai kaum perempuan yang inferiorlah yang menyebabkan ini terjadi. g. Ditemukan adanya deklanasi gender dalam latrinal. Beberapa latrinal berisi ajakan kencan dengan orientasi homoseksual. h. Dengan tidak ditemukannya grafiti di toilet wanita, maka secara tidak langsung memberikan kesan pada kita meskipun terdapat media yang menawarkan privasi tingkat tinggi, kaum wanita tidak mudah terpancing untuk memanfaatkannya dan
11
Buku Sosiolinguistik, Teori dan Paraktik: Editor Iqbal Nurul Azhar. Penerbit Lima-lima Jaya
berubah menjadi lebih ekspresif seperti laki-laki dengan memunculkan kata-kata vulgar dan jorok. Sikap tertutup dan malu-malu wanita Indonesia masih melekat kuat REFERENSI Adams, K. L., & Winter, A. 1997. Gang Grafiti As a Discourse Genre. Journal of Sociolinguistics, 1(3), 337-360. Basthomy, Yazid. 2007. An Initial Intimation Of a Yet Banal Discourse: Truck Graffiti. K@TA 9:1.34-48 Gadsby, J. (1995). Taxonomy of analytical approaches to grafiti. Retrieved July 22, 2004, from http://www.grafiti.org/faq/appendix.html Moonwomon, B. 1995. The writing on the wall: A border case of race and gender. In K. Hall, & M. Bucholtz (Ed.), Gender articulated: Language and the socially constructed self (pp. 447-467). New York: Routledge. Obeng, S. G. (2000). Speaking the unspeakable: Discursive strategies to express language attitudes in Legon (Ghana) grafiti. Research on Language and Social Interaction, 33(3), 291-319. Rodriguez, A., & Clair, R. P. (1999). Grafiti as communication: Exploring the discursive tensions of anonymous texts. Southern Communication Journal, 65(1), 1-15. Lampiran Beberapa Contoh Graffiti di Toilet Terminal Bungurasih (1) (2)
(3)
12
Buku Sosiolinguistik, Teori dan Paraktik: Editor Iqbal Nurul Azhar. Penerbit Lima-lima Jaya
13