BAB I PENDAHULUAN
I.1.
Latar Belakang Masalah Manusia
dalam
mempertahankan
hidupnya
melakukan
berbagai macam cara, yang salah satunya adalah melakukan kegiatan atau aktivitas usaha/bisnis. Melalui kegiatan itu manusia dapat memenuhi tuntutan hidupnya yang semakin hari semakin komplek. Kehidupan manusia di jaman modern ini begitu cepat berputar. Setiap hari manusia bekerja demi mempertahankan hidupnya. Kehidupan yang serba cepat memacu manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara cepat pula. 1 Pemenuhan kebutuhan hidup secara cepat telah mendorong dan membuka peluang bagi manusia untuk melakukan kegiatan bisnis. Aktivitas bisnis itu sendiri diwarnai oleh berbagai bentuk hubungan bisnis atau kerjasama bisnis yang melibatkan para pelaku bisnis. Hubungan bisnis atua kerjasama bisnis yang terjadi sangat beraneka ragam tergantung pada bidang bisnis apa yang sedang dijalankan.2
Dengan semakin berkembangnya aktivitas bisnis dewasa ini,
1 P. Lindawaty S. Sewu, 2004, Franchise Pola Bisnis Spektakuler Dalam Perspektif Hukum dan Ekonomi. CV. Utomo, Bandung (Selanjutnya disebut P. Lindawaty S. Sewu I) hal. 1. 2 P. Lindawaty S. Sewu, 1997, Proyek Pengaturan Hukum Mengenai Franchise di Indonesia Dihubungkan Dengan Perlindungan Hukum Bagi Pengusaha Kecil Berdasarkan UU No.9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Tesis Program Magister Hukum Program Pascasarjana Universitas Parahyangan, Bandung (Selanjutnya disebut P. Lindawaty S. Sewu II ) hal.6.
1
maka keperluan akan modal atau dana bagi pelaku usaha juga semakin meningkat. Oleh karenanya, sarana penyediaan dana yang dibutuhkan oleh pelaku usaha atau masyarakat perlu diperluas. 3 Umumnya dana yang dibutuhkan tersebut dapat disediakan oleh lembaga perbankan melalui fasilitas kredit. Namun demikian, fasilitas kredit dari perbankan sangat terbatas dan tidak semua pelaku usaha punya akses untuk mendapatkan bantuan pendanaan dari bank. Untuk itu, maka ada alternatif lain untuk mendapatkan dana, yaitu melalui lembaga pembiayaan. Lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal. 4 Berbeda dengan bank maupun lembaga keuangan bukan bank, Lembaga Pembiayaan tidak diperbolehkan untuk menghimpun dana secara langsung dari masyarakat. Ketentuan lembaga ini diatur dalam Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988, Pasal 1 ayat 2 Kepres tersebut menjelaskan pengertian mengenai Lembaga Pembiayaan sebagai berikut : Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat. Istilah lembaga pembiayaan mungkin belum sepopuler dengan istilah lembaga keuangan dan lembaga perbankan. Belum akrabnya 3 Rachmadi Usman, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 45. 4 Subagyo, Et.al., 2002, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, Yogyakarta, hal. 221.
3 dengan istilah ini bisa jadi karena dilihat dari eksistensinya lembaga pembiayaan memang relatif masih baru jika dibandingkan dengan lembaga keuangan konvensional, yaitu bank. Tidak seperti lembaga keuangan bank dimana masyarakat sudah lama mengenalnya, lembaga pembiayaan ini baru tumbuh dan berkembang seiring dengan adanya Paket Deregulasi Tahun 1988, yaitu Paket Deregulasi 27 Oktober 1988 (Pakto 88) dank Paket Deregulasi 20 Desember 1988 (Pakdes 88). Berdasarkan Kepres No. 61 Tahun 1988, kegiatan Lembaga Pembiayaan meliputi 6 (enam) jenis kegiatan usaha, yaitu : 1) Sewa Guna Usaha (Leasing) 2) Modal Ventura (Venture Capital) 3) Anjak Piutang (Factoring) 4) Kartu Kredit (Credit Card) 5) Perdagangan Surat Berharga (Security House). 5 Dalam
perkembangannya,
kegiatan
perdagangan
surat
berharga berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 1256 / KMK.00/1989 tanggal 18 Nopember 1989, dikeluarkan dari kegiatan lembaga pembiayaan, hal ini disebabkan kegiatan perdagangan surat berharga
lebih
merupakan
lembaga
penunjang
pasar
modal.
Sementara itu kegiatan Modal Ventura yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan jenis kegiatan lembaga pembiayaan yang lain, 5 Budi Rachmat, 2002, Multi Finance; Sewa Guna Usaha, Anjark Piutang, Pembiayaan Konsumen, CV. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta hal. 2.
maka
pembinaannya
dilakukan
secara
terpisah
berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan No. 469/KMK.017/1995 tanggal 3 Oktober 1995. 6 Salah satu
L embaga
Pembiayaan
yang perkembangannya cukup pesat
dewasa ini adalah Lembaga Pembiayaan Konsumen. Pertumbuhan lembaga
ini
sangat
tinggi
seiring
meningkatnya
kebutuhan
masyarakat akan barang-barang guna menopang kehidupannya. Tingginya
tingkat
pertumbuhan usaha
jasa pembiayaan
konsumen ini, menunjukkan tingginya minat konsumen untuk membeli barang kebutuhan konsumen seperti; mobil, sepeda motor, alat-alat rumah tangga, elektronik dan lain-lain dengan cara mengangsur
atau
mencicil
secara
berkala
seiring
dengan
meningkatnya taraf hidup masyarakat lapisan menengah ke bawah.7 Ketika
masyarakat
(konsumen)membutuhkan
atau
ingin
memiliki suatu barang, sementara yang bersangkutan tidak memiliki dana
tunai,
maka
barang
tersebut
bisa
didapatkan
dengan
pembayaran secara mencicil melalui supplier dengan bantuan pembiayaan
dari
perusahaan
pembiayaan
konsumen.
Dengan
demikian, ada tiga pihak yang terlibat dalam suatu transaksi pembiayaan konsumen, yaitu pihak perusahaan pembiayaan, pihak konsumen dan pihak supplier. Hubungan pihak-pihak disini diikat oleh suatu perjanjian, yaitu perjanjian pembiayaan konsumen. 6 Ibid, 7Ibid, h. 135
5 Dalam perjanjian pembiayaan konsumen setelah harga barang dibayar secara tunai oleh perusahaan pembiayaan kepada supplier, maka selanjutnya pihak supplier menyerahkan barang tersebut kepada
konsumen.
Berikutnya
konsumen
berkewajiban
untuk
membayar harga barang tersebut secara mencicil kepada perusahaan pembiayaan. Fasilitas pembiayaan yang diberikan perusahaan pembiayaan kepada konsumen mengandung risiko cukup tinggi dari kemungkinan pihak konsumen tidak dapat memenuhi kewajibannya. Bila hal ini terjadi, maka yang akan memikul kerugian adalah pihak perusahaan pembiayaan. Guna menghindari risiko kerugian itu, maka pada umumnya perusahaan pembiayaan selalu meminta adanya jaminan. Terhadap transaksi pembiayaan konsumen sebagai jaminan pokoknya adalah barang yang dibeli dengan dana atau pembiayaan yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan tersebut. Jika dana tersebut diberikan untuk membeli mobil, maka mobil yang bersangkutan menjadi jaminan pokoknya. Biasanya jaminan tersebut dibuat dalam bentuk fiduciary transfer of ownership (Fidusia). 8 Mengingat
benda/barang
yang
dijadikan
jaminan
pada
lembaga pembiayaan konsumen pada umumnya adalah benda bergerak, maka pembebanan jaminannya memakai Fidusia. Dalam jaminan fidusia, biasanya seluruh dokumen yang berkenaan dengan 8 Munir Fuady, 2006, Hukum Tentang Pembiayaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 168, (selanjutnya disingkat Munir Fuady I).
kepemilikan barang yang bersangkutan akan dipegang oleh pihak perusahaan pembiayaan sebagai penerima fidusia, sementara fisik bendanya tetap ada pada konsumen. Pemberian jaminan fidusia dilakukan melalui proses yang disebut
dengan
“Constitutum
Prossesorium”
(penyerahan
kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik bendanya). 9 Sehubungan dengan jaminan fidusia ini, fisik barang benda tersebut tetap ada di tangan pemiliknya atau debitur. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia) dinyatakan bahwa : Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1999 Tentang Hak Tanggungan yang teap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tersebut, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka unsur-unsur fidusia adalah merupakan upaya pemberian hak jaminan pada kreditur dengan tujuan : 1. Sebagai Agunan Pengalihan hak milik dalam konsep fidusia dimaksudkan hanya 9 Munir Fuady, 2002, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, H. 52 (selanjutnya disingkat Munir Fuady II).
7 sebagai agunan/jaminan saja. 2. Untuk kepentingan pelunasan utang tertentu Pemberian jaminan fidusia dimaksudkan agar debitur memenuhi kewajibannya dalam pelunasan utang tertentu. 3. Memberikan kedudukan diutamakan pada penerima fidusia Dalam fidusia, penerima fidusia sebagai kreditur mempunyai kedudukan
diutamakan
terhadap
kreditur
lainnya
dalam
pelunasan utang debitur. 10 Salah satu unsur yang menjadi fokus perhatian dalam tulisan ini
adalah
bahwa
dalam
jaminan
fidusia,
penerima
fidusia
mempunyai kedudukan diutamakan/didahulukan terhadap kreditur lainnya dari pelunasan/kewajiban debitur (pemberi jaminan fidusia). Unsur ini menunjukkan bahwa kreditur penerima fidusia akan mempunyai posisi lebih baik didepan hukum dalam penagihan, demikian pula apabila terjadi eksekusi terhadap benda jamina fidusia, maka kedudukannya lebih diutamakan/didahulukan dari kreditur lainnya dalam mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi dari benda jaminan fidusia. 11 Hak
diutamakan/didahulukan
disebut
juga
sebagai
hak
preferen. Terhadap hak preferen tersebut perlu diperhatikan pula 10 Henry Subagiyo, 2006, Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Hak Kepemilikan Jaminan Fidusia Dalam Upaya Pemberantasan Illegal Logging, Jurnal Konstitusi, Volume 3 No. 2, Mei 2006, h. 103-104. 11 Ibid
bahwa : 1. Hak preferen harus dilihat dalam kaitannya dengan kreditur lainnya. 2. Hak preferen menggambarkan adanya kaitan antara hak dengan benda yang dijaminkan. 3. Pelaksanaan hak adalah untuk mengambil pelunasan piutang, bukan memiliki benda jaminan. 4. Hak preferen lahir pada saat jaminan fidusia didaftarkan.12 Hal ini selaras pula dengan ketentuan pasal 27 UU Fidusia yang menyatakan : 1. Penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya. 2. Hak yang didahulukan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. 3. Hak yang didahulukan dari penerima fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi pemberi fidusia. Hak preferen (didahulukan/diutamakan) yang dimiliki oleh penerima fidusia sebagaimana dimaksud menjadi tidak bermakna manakala benda yang dijadikan jaminan fidusia itu tidak lagi berada dalam kekuasaan debitur karena benda tersebut dirampas untuk negara akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan debitur terkait dengan kasus Illegal Logging. Seperti kasus yang menimpa PT. Astra Sedaya Finance sebagai penerima fidusia. PT. Astra Sedaya Finance sebagai perusahaan pembiayaan merasa telah dirugikan akibat benda jaminan fidusia dirampas negara dari tangan pemberi fidusia selaku debitur karena yang bersangkutan 12Ibid
9 melakukan perbuatan melawan hukum (kejahatan illegal logging). PT. Astra Sedaya Finance haknya telah dikesampingkan dengan pemberlakukan Pasal 78 Ayat (15) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah menjadi Undangundang No. 19 Tahun 2005 Tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2005 menjadi Undang-undang yang menyatakan bahwa : Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk negara. Penjelasan pasal ini menjelaskan yang termasuk alat angkut, antara lain kapal, tongkang, truk, trailer, pontoon, tugboat, perahu layar, helikopter, dan lain-lain. Pengertian ketentuan
di
atas
perampasan
sebagaimana
mengandung
makna
dimaksud
bahwa
dalam
barang-barang
rampasan itu dikuasai oleh negara sambil menunggu proses hukum selesai. Apabila terbukti pemilik barang melakukan tindak pidana illegal logging, maka barang tersebut menjadi milik negara. Sebaliknya apabila yang bersangkutan tidak terbukti melakukan tindak pidana, maka barang tersebut akan dikembalikan kepada pemiliknya. Berdasarkan ketentuan tersebut, PT. Astra Sedaya Finance merasa dirugikan dengan dirampasnya tiga unit truk Toyota New Dyna oleh pihak Kejaksaan Negeri Sengeti Kabupaten Muoro Jambi dan Kejaksaan Tinggi Jambi. Ketiga truk yang dirampas tersebut merupakan
benda/barang
dalam
status
jaminan
fidusia
yang
diberikan oleh Juli Ardiansyah, Febriansah dan Syamsudin pada PT. Astra Sedaya Finance berdasarkan perjanjian pembiayaan konsumen dengan jaminan fidusia. 13 Pada satu sisi ketentuan Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan sebagaimana dimaksud diatas tidak selaras dengan ketentuan Pasal 1 angka 2 dan Pasal 27 UU Fidusia, sehingga disini menampakkan adanya pertentangan (konflik norma). Dalam merumuskan ketentuan Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan, pihak pembuat undang-undang hendaknya memperhatikan ketentuan Pasal 1 angka 2 dan Pasal 27 UU Fidusia, dimana pihak penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan atas pelunasan piutangnya yang diambil dari eksekusi benda jaminan fidusia. Dengan adanya ketentuan Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan, yang merampas benda jaminan fidusia untuk negara menyebabkan benda jaminan itu tidak lagi berada ditangan debitur (pemberi fudusia). Disini tampak hak preferen dan hak druite de suite dari PT. Astra Sedaya Finance sebagai penerima fidusia berdasarkan UU Fidusia telah dikesampingkan. Dengan dikesampingkannya hak preferen ini, menyebabkan tidak adanya jaminan kepastian hukum atas pelunasan piutang penerima fidusia, karena benda jaminan fidusia sudah tidak lagi berada di tangan pemberi fidusia. Pada sisi lain UU Fidusia (Undang-undang No. 42 Tahun 13 Ibid, h. 86
11 1999) sama sekali tidak mengatur tentang akibat hukum jika benda jaminan fidusia dirampas oleh negara karena perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemberi fidusia sebagai debitur. Dalam hal ini perlu dipertanyakan tentang akibat hukum dalam hal benda jaminan fidusia ternyata tidak lagi berada ditangan atau didalam kekuasaan pemberi fidusia.
I.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan
latar
belakang
masalah
sebagaimana
dikemukakan diatas, maka dapat dirumuskan dua masalah pokok sebagai berikut : 1. Bagaimana status hukum benda jaminan fidusia yang dirampas oleh negara akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan pemberi fidusia ? 2. Apa bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap Perusahaan Pembiayaan sebagai penerima fidusia dalam hal benda jaminan fidusia dirampas oleh negara ?
I.3.
Tujuan Penelitian I.3.1. Tujuan Umum
Tujuan
umum
dari
penelitian
ini
adalah
untuk
mengetahui dan memahami secara mendalam tentang aspek hukum lembaga pembiayaan konsumen dengan jaminan fidusia dalam kaitannya dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemberi fidusia. I.3.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui dan memahami tentang status hukum benda jaminan fidusia yang dirampas untuk negara akibat perbuatan
melawan
hukum yang
dilakukan
pemberi
bidusia. 2. Untuk mengetahui dan memahami bentuk perlindungan hukum yang di berikan kepada perusahaan pembiayaan (penerima fidusia) dalam hal benda jaminan fidusia dirampas untuk negara kerena perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemberi fidusia.
I.4.
Manfaat Penelitian I.4.1. Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa kontribusi yang sifatnya positif bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya bidang hukum bisnis yang menyangkut lembaga pembiayaan dan jaminan fidusia.
13
I.4.2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan manfaat berupa sumbangan pemikiran yang berharga bagi legal drafter, decision maker, dan legal practice sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing dalam rangka pembentukan, pelaksanaan, dan penegakan hukum.
I.5.
Landasan Teori Dalam penelitian ilmiah diperlukan teori yang berupa asumsi, konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. 14 Dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antar dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya. 15 Sedikitnya terdapat tiga unsur dalam suatu teori, pertama, penjelasan tentang hubungan antara berbagai unsur dalam suatu teori. Kedua, teori menganut sistem deduktif, yaitu sesuatu yang
14 Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 19. 15Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 30.
bertolak dari suatu yang umum dan abstrak menuju suatu yang khusus dan nyata. Aspek kunci yang ketiga, adalah bahwa teori memberikan penjelasan atas gejala yang dikemukakannya. Fungsi teori dalam suatu penelitian adalah untuk memberikan pengarahan kepada penelitian yang akan dilakukan.16 Teori juga sangat diperlukan dalam penulisan karya ilmiah dalam tatanan hukum positif kongkrit. Hal ini sesuai dengan pendapat Jan Gijssels dan Mark Van Hoecke “Een degelijk inzicht in dezerechtsteoretische kueesties
wordt blijkens
het
voorwoord
beschouwd al seen noodzakelijke basis voor elke wettenschappelijke studie van een konkreet positief rechtsstelsel. 17 (Dalam teori hukum diperlukan suatu pandangan yang merupakan pendahuluan dan dianggap mutlak perlu ada sebagai dasar dari studi ilmu pengetahuan terhadap aturan hukum positif). Dalam
upaya
membahas
permasalahan
penelitian
dideskripsikan teori, prinsip atau azas-azas hukum yang relevan terkait dengan lembaga pembiayaan dan jaminan fidusia. Disamping itu juga akan dilengkapi dengan pandangan-pandangan teoritik hukum dari para sarjana yang terkemuka dan ahli dalam bidangnya. 16Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank, Institut Bankir Indonesia, h. 8 (dikutip dari Duane R. Monette, Thomas J. Sullivan, Comel. R. Dejong, 1986, Applied Social Research, New York, Chicago, San Fransisco Holt, Rinehart and Winston Inc, h. 27. 17 Jan Gijssels and Mark Van Hoecke, 1982, Whats Is Rechtsteorie ?, Antweroen, Nederland, h. 57.
15 Pandangan
teoritik
dimaksud
dijustifikasi
dengan
ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Sejumlah teori, prinsip atau azas-azas hukum perlu dijelaskan sebagai
landasan
berpihak
dalam
membahas
permasalahan
penelitian, sebagai berikut : 1. Teori Lon. I. Fuller Teori Fuller ini berkaitan dengan azas-azas pembentukan peraturan
perundang-undangan
yang
baik.
Berangkat
dari
pendapat Fuller, seperti diketahui hukum adalah alat untuk mengatur masyarakat. Tugas pembentukan peraturan perundangundangan akan berhasil apabila ia sampai kepada tingkat dimana keseluruhan
persyaratan
peraturan
perundang-undangan
itu
dipenuhi. Azas-azas pembentukan peraturan perundang-undangan menurut pandangan Lon. I. Fuller adalah. 18 1. ... a failure to acliieve rules at all, so that every issue must de decided on an ad hoc basi: (peraturan harus berlaku juga bagi penguasa, harus ada keco :okan atau konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya; dituangkan dalam atuan-aturan yang ber aku umum, artinya suatu sistem hukum harus mengandung paraturan-peraturan dan tidak boleh sekadar mengandung keputusan-keputusan yang bersifat sementara atau ad hoc); 2. a failure to publicize, or at least to make available to the affected party, the rules he is expected to observe (aturanaturan yang telah dibuat harus diumumkan kepada mereka yang menjadi objek pengaturan aturan-aturan tersebut); 3. the abuse of retroactive legislation, which not only cannot itself guide action, but underc its the integrity of rules 18 Lon. I. Fuller, 1963, The Morality of Law, New Haven and London, Yale University Press, h. 39.
4. 5. 6. 7.
prospective in effect, since it puts them under the threat of retrospective change (tidak boleh ada peraturan yang memiliki daya laku surut atau harus non-retroaktif, karena dapat merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang); a failure to make rules understandable (dirumuskan secara jelas, artinya disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti); the enactment of contradictory rules (tidak boleh mengandung aturan-aturan yang bertentangan satu sama lain); rules that require conduct beyond the powers of the affected party (tidak boleh mengandung beban atau persyaratan yang melebihi apa yang dapat dilakukan); introductions such frequent changes in the rules that the subject cannot orient his action by them (tidak boleh terusmenerus diubah, artinya tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah-ubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang kehilangan orientasi); dan
8. a failure of congruence between the rules as announced and their actual administration (harus ada kecocokan atau konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari). Menurut Lon. I. Fuller, agar hukum (peraturan) berfungsi baik, maka peraturan tersebut harus memenuhi atau mengikatkan diri secara ketat kepada delapan (8) syarat yang merupakan azasazas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Pendapat Fuller tersebut lebih lanjut dikembangkan oleh Abdul Manan, yang mengemukakan pendapatnya, bahwa apabila hukum (peraturan) itu bisa efektif dalam kehidupan masyarakat, diperlukan beberapa syarat : 1. Hukum yang dibuat itu haruslah tetap, tidak bersifat adhoc. 2. Hukum itu harus diketahui masyarakat, sebab masyarakat berkepentingan untuk diatur oleh hukum tersebut. 3. Hukum itu tidak saling bertentangan satu sama lain. 4. Hukum itu tidak boleh berlaku surut.
17 5. Hukum itu harus mengandung nilai-nilai yuridis, filosofis, dan sosiologis. 6. Dihindari supaya tidak sering mengubah hukum. 7. Penerapan hukum hendaknya memperhatikan budaya hukum masyarakat. 8. Hukum itu hendaknya dibuat secara tertulis oleh instansi yang berwenang membuatnya. 19 Bila dicermati ketentuan Pasal 78 ayat (15) Undangundang No. 14 Tahun 1999 Tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah berdasarkan Undang-undang No. 19 Tahun 2005 mengenai Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2004 menjadi Undangundang, bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 angka 2 dan Pasal 27 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Hal ini tidak sesuai dengan salah satu persyaratan yang diminta oleh Fuller maupun Abdul Manan, bahwa sebuah peraturan perundang-undangan itu tidak boleh bertentangan satu sama lain. Disini dapat diartikan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibentuk tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan lain. Dalam
Pasal
78
ayat
(15)
UU
Kehutanan
dan
penjelasannya dinyatakan : Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas oleh negara. Yang termasuk alat angkut, antara lain kapal, tongkangm truk, trailer, pontoon, tugboet, perahu layar, helikopter, 19 Abdul Manan, 2005, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, h. 4.
dan lain-lain. Perampasan truk benda jaminan fidusia untuk negara yang dipergunakan
untuk
melakukan
kejahatan
illegal
logging
berdasarkan pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan bertentangan dengan azas dan prinsip yang dianut Pasal 1 angka 2 dan Pasal 27 UU Fidusia, yang mana pihak penerima fidusia mempunyai hak yang didahulukan/diutamakan (hak preferen) atas pelunasan piutang dari hasil eksekusi benda jaminan fidusia tersebut. Secara jelas, Pasal 78 ayat (15) tidak selaras dengan ciri/sifat hak-hak kebendaan yang diatur didalam Kitab Undangundang Hukum Perdata, terutama hak-hak kebendaan yang memberi jaminan, seperti gadai dan hipotik. Termasuk disini juga hak-hak kebendaan yang memberikan jaminan seperti fidusia yang diatur dalam Undang-undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia. Hak kebendaan itu ada dua yaitu; hak kebendaan yang memberi kenikmatan dan hak kebendaan yang memberi jaminan. Kedua macam hak kebendaan ini memberikan kekuasaan langsung terhadap benda jaminan dan hak mana dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.20 Hipotik, gadai, termasuk juga fidusia merupakan hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan, juga mempunyai sifat/ciri-ciri hak kebendaan yaitu; selalu mengikuti bendanya (deroit de suite) yang terjadi lebih dahulu didahulukan dalam 20 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata : Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, h. 96.
19 pemenuhannya (droit de preference, azas prioriteit) dapat dipindahkan dan lain-lain. Selain itu, baik gadai, hipotik maupun fidusia mempunyai kedudukan preferen, yaitu didahulukan dalam pemenuhannya melebihi kreditur-kreditur lainnya. Hak preferen (hak
untuk
didahulukan)
atas
pemenuhan
piutangnya
sebagaimana dimaksud secara jelas dapat dilihat dari beberapa peraturan sebagai berikut : Pasal 1132 KUHPerdata Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menghutang kepadanya. Pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Pasal 1133 KUHPerdata Hak untuk didahulukan diantara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa, gadai dan hipotik. Pasal 1 Angka 2 UU No. 42 Tahun 1999 Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang tetap dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya. 2. Teori Negara Hukum Teori ini membagi negara hukum menjadi 2 (dua), yaitu negara hukum klasik dan negara hukum modern. Negara hukum klasik menurut Utrecht hanya berfungsi sebagai penjaga malam.
Negara hukum klasik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Corak negara adalah negara liberal yang mempertahankan dan melindungi ketertiban sosial dan ekonomi berdasarkan azas “Laissez Fair Laissez Passer”, yaitu azas kebebasan dari semua warga negaranya dalam persaingan diantara mereka. 2. Adanya suatu “Staatsontheuding”, artinya pemisahan antara negara dan masyarakat. Negara dilarangan keras ikut campur dalam lapangan ekonomi dan lapanganlapangan kehidupan sosial lainnya. 3. Tugas negara adalah sebagai penjaga malam (Nacht Waker Staat), karena hanya menjaga keamanan dalam arti sempit, yaitu keamanan senjata. 4. Ditinjau dari segi politik suatu “Nacht Waker Staat” negara sebagai penjaga malam, tugas pokoknya adalah menjamin dan melindungi kedudukan ekonomi “The Rulling Class”. Nasib dari mereka yang bukan “The Rulling Class” tidak dihiraukan oleh alat-alat pemerintah dalam suatu “Nacht Waker Staat”. 21 Sementara
negara
hukum
modern
(welfare
staat)
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Perlindungan constitutional, dalam arti bahwa konstitusi selain menjamin hak-hak individu harus menentukan juga cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak dijamin itu; 2. Badan kehakiman yang bebas (Independent and Inpertial Tribunals); 3. Pemilihan umum yang bebas; 4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat; 5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi; 6. Pendidikan kewarganegaraan. 22 Indonesia sendiri menganut teori Negara Hukum Modern (welfrare staat), karena negara / pemerintah ikut campur dalam 21 Bachsan Mustofa, 2001, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 7-8. 22 Mariam Budihardjo,1977, Dasar-Dasar ilmu politik, Gramedia, Jakarta, hal. 38.
21 segala lapangan kehidupan masyarkat yang membawa efek kepada pembentukan peraturan perundang-undangan dan Hukum Administrasi Negara. Salah satu ciri Negara Hukum Modern adalah adanya jaminan perlindungan terhadap hak-hak individu dan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin itu. Jaminan perlindungan hak-hak individu ini diberikan atau
diatur
oleh
peraturan
perundang-undangan.
Jaminan
perlindungan hak-hak individu disini; termasuk hak-hak individu berkaitan
dengan
kebendaan
atau
yang
disebut
hak-hak
kebendaan. Fidusia itu sendiri termasuk hak kebendaan, yaitu hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan. Jaminan fidusia sebagai hak kebendaan juga menjadi obyek perlindungan dari suatu Negara Hukum Modern. Perlindungan hak kebendaan dimaksud dijamin oleh peraturan perundang-undangan, termasuk implementasi dari hak kebendaan tersebut dalam praktek perlindungan masyarakat. Undang-Undang Kehutanan melalui ketentuan pasal 78 ayat (15) nya yang menjadi dasar hukum perampasan terhadap benda (alat angkut yang berupa truk) yang dipakai untuk melakukan kejahatan Illegal Logging yang nota bene benda jaminan fidusia, ternyata tidak memberikan jaminan perlindungan
hukum terhadap hak kebendaan, terutama hak preferen dari Penerima Fidusia yang dijamin oleh pasal 1 angka (2) dan pasal 27 Undang-undang Fidusia. Dengan terbitnya ketentuan pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan, telah menghambat implementasi hak penerima fidusia dalam mengeksekusi benda jaminan fidusia dalam pemenuhan pelunasan
piutangnya.
Pemerintah
melalui
UU
Kehutanan
demikian mempunyai kekuasaan tanpa batas tanpa menghiraukan hak dari penerima fidusia. Hal ini tidak sesuai dengan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Burkens, dimana hak-hak dasar, termasuk hak kebendaan merupakan sasaran perlindungan dengan dan
sekaligus
membatasi
kekuasaan
pemerintah
melalui
pembentukan undang-undang. Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum (rechsstaat), menurut Burkens, apabila memenuhi syarat-syarat : a. Azas legalitas. Setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan (Wettelijke gronslag). Dengan landasan ini, undangundang dalam arti formal dan undang-undang sendiri merupakan tumpuan dasar tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini pembentukan undang-undang merupakan bagian penting negara hukum. b. Pembagian kekuasaan. Syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan. c. Hak-hak dasar (grondrechten), merupakan sasaran perlindungan dari pemerintahan terhadap rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan undang-undang. d. Pengawasan pengadilan bagi rakyat tersedia.23 23 Burkers, M.C., et.al, 1990, Beginselen van de Democratiche Rechtasstaat, Tjeenk
23
3. Fungsi Hukum (Sebagai Pengayoman/Perlindungan) Menurut Van Apeldoorn bahwa hukum itu terdiri dari : pertama : peraturan-peraturan, kedua : obyek dari peraturanperaturan adalah perhubungan hidup yang menampakkan diri di dalam perbuatan atau kelakuan manusia, dan bukan soal-soal pribadi atau soal bathin, dari obyeknya. Ketiga, peraturan hidup itu tidak berlaku untuk hewan atau tumbuh-tumbuhan.
24
Dengan
demikian, hukum mengatur perhubungan antar manusia.25 Sementara
menurut
Mochtar
Kusumaatmaja,
bahwa
pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai perangkat kaedah dan azas-azas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi juga harus mencakup lembaga (institution) dan proses (processes)
yang
diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan. 26 Hukum
sebagai
kaedah mempunyai fungsi sebagai
berikut : 1) Hukum yang menjamin kepastian hukum 2) Hukum yang menjamin keadilan sosial
Willink, Zwole, hal. 29. 24 Van Apeldoorn, 1976, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 13 – 22. 25 Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2004, Hukum Bisnis Dalam Perspektif Manusia Modern, PT. Refika Aditama, Jakarta, hal.7. 26 Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, hal. 15.
3) Hukum berfungsi pengayoman/perlindungan. 27 Hukum berfungsi pengayom berasal dari teori Prof. Soehardjo
(Menteri
Kehakiman
dalam
Kabinet
Soekarno).
Makna dari fungsi hukum ini, dimana hukum berfungsi mengayomi atau melindungi manusia dalam bermasyarakat dan berbangsa, serta bernegara, baik jiwa dan badannya maupun hakhak pribadinya, yaitu hak azasinya, hak kebendaannya maupun hak perorangannya. 28 Hukum sebagai kaedah berfungsi untuk mengayomi atau melindungi
hak-hak
yang
dimiliki
oleh
manusia
dalam
masyarakat, termasuk hak kebendaannya. Fidusia sebagai hak kebendaan yang bersifat memberikan jaminan dilindungi oleh hukum (Peraturan perundang-undangan), dan hak tersebut dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. 4. Konsep Hak dan Hak Kebendaan. Dalam pengertian hukum, umumnya yang dimaksud dengan hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum, sedangkan kepentingan adalah tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Kepentingan pada hakekatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam 27 Bachsan Mustafa, 2003, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 20. 28 Ibid, hal. 21.
25 melaksanakannya. 29 Menurut Soerjono Soekanto dan Otje Salman, hak merupakan
suatu
wewenang
untuk
melakukan
atau
tidak
melakukan sesuatu, dan secara sosiologis, hak merupakan suatu peranan atau lebih tepat peranan yang diharapkan (“Ideal role”, “expected role”)30 Bachsan
Mustafa,
memberikan
definisi
hak
adalah
kekuasaan dan kekuasaan itu dapat dipertahankan terhadap setiap orang, artinya setiap orang harus mengakui, menghormati, dan mengindahkan kekuasaan itu.31 Pada dasarnya hak bersumber pada tiga hal : 1) Dari kodrat manusia sebagai manusia yang diciptakan oleh Allah. Sebagai makhluk ciptaan Allah, manusia mempunyai sejumlah hak sebagai manusia dan untuk mempertahankan kemanusiaannya, misalnya hak untuk hidup, kebebasan dan sebagainya. Hak inilah yang disebut. 2) Hak yang hadir dari hukum, yaitu hak-hak yang diberikan oleh hukum negara kepada manusia dalam kedudukannya sebagai warga negara/warga masyarakat. Hak inilah yang disebut dengan hak hukum, hak dalam artian yuridis (juga disebut sebagai hak dalam artian sempit). Misalnya hak untuk memberikan suara pada pemilihan umum, hak untuk mendirikan bangunan dan sebagainya. 3) Hak yang lahir dari hubungan hukum antara seseorang dan orang lain melalui sebuah kontrak/perjanjian. Misalnya, seseorang meminjamkan mobilnya kepada orang lain, maka orang lain itu mempunyai hak pakai 29 Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hal. 40. 30 Soerjono Soekanto dan Otje Salman, 1996, Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial, Radjawali Press, Jakarta, hal. 96. 31 Bachsan Mustafa, Op.Cit, hal. 39.
atas mobil tersebut. Meskipun hak ini berasal dari hubungan kontraktual, tetap mendapat perlindungan dari hukum jika kontrak yang dibuat untuk melahirkan hak itu sah menurut hukum. Karena itu, hak ini juga masuk dalam kelompok hak hukum. 32 Hak yang bersumber dari hukum maupun perjanjian itu dibedakan menjadi hak kebendaan dan hak perorangan. Lebih lanjut diberikan pengertian dari kedua hak tersebut sebagai berikut : Hak kebendaan berkaitan dengan penguasaan langsung atas suatu benda yang dapat dipertahankan terhadap setiap orang. Sedangkan hak perorangan memberikan suatu tuntutan atau penagihan terhadap seseorang. Dalam Hukum Romawi keduanya disebut dengan “actiones in rem” untuk tuntutan kebendaan dan “actiones in personam” untuk tuntutan perseorangan. 33 Didalam Hukum Perdata dikenal adanya hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan dan hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan. Pemahaman tentang jenis hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan dapat dijelaskan sebagai berikut : Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan itu senantiasa tertuju terhadap bendanya orang lain, mungkin terhadap benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Jika benda jaminan itu tertuju pada benda tak bergerak, maka hak kebendaan tersebut berupa hipotik, sedangkan jika benda jaminan itu tertuju pada benda bergerak, maka hak kebendaan tersebut berupa gadai. Kedua macam hak ini memberikan kekuasan langsung terhadap benda jaminan dan hak mana dapat dipertahankan kepada siapapun juga. 34 Fidusia merupakan hak kebendaan yan bersifat memberi 32Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 35-36. 33Subekti, R. 1989, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, h. 63. 34Sri Soedewi Masjchoen Safwan, Op. Cit, h. 96.
27 jaminan, memberikan kekuasaan langsung terhadap benda jaminan dan hak mana dapat dipertahankan kepada siapapun juga. Disamping itu, seperti halnya gadai atau hipotik, fidusia sebagai lembaga jaminan mempunyai hak preferen (hak didahulukan/diutamakan). Hak preferen ini dimiliki oleh penerima fidusia dalam pemenuhan pelunasan piutangnya. Menurut ketentuan Undang-undang bahwa para kreditur pemegang/penerima
gadai,
hipotik
dan
privilegi
mempunyai
kedudukan lebih tinggi (diutamakan) dari piutang-piutang lainnya (Pasal 1133 KUHPerdata). 35 Sementara untuk penerima/pemegang fidusia, kedudukan didahulukan diatur dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 27 UU Fidusia. Hak didahulukan dalam pemenuhan pelunasan piutang
dari
gadai,
hipotik,
maupun
fidusia
timbul
karena
diperjanjikan lebih dulu dalam perjanjian.
I.6.
Metode Penelitian I.6.1. Jenis Penelitian Dalam melakukan penelitian ilmiah harus didukung oleh metode tertentu, sehingga penelitian tersebut dapat berlangsung secara terencana dan teratur. Van Peursen menterjemahkan pengertian metode secara kafiah. Mula-mula
35 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Jaminan di Indonesia Pokokpokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty Offset Yogyakarta, h. 76. (Selanjutnya disingkat Sri Soedewi Masjchoen Sofwan II).
metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi penyelidikan atau penelitian, berlangsung menurut suatu rencana tertentu.36 Penelitian adalah merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan kontruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. 37 Penelitian yang dilakukan kaitannya dengan penulisan tesis ini termasuk jenis penelitian
hukum
normatif,
yaitu
penelitian
hukum
kepustakaan atau penelitian hukum yang didasarkan pada data sekunder. 38 I.6.2. Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum normatif dikenal adanya beberapa jenis pendekatan yang dipergunakan. Adapun jenisjenis pendekatan dimaksud adalah : a. Pendekatan Kasus (The Case Approach) b. Pendekatan Perundang-udangan (The Statue Approach) c. Pendekatan Fakta (The Fact Approach) d. Pendekatan Analisa Konsep Hukum (Analitical and Conceptual Approach). 36 Djony Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Publishing, Malang, h. 26. 37Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, h. 42 (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I). 38Soejono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, h. 15. (Selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II).
29 e. Pendekatan Prasa (Word and Pharase Approach). f. Pendekatan Sejarah (Historical Approach). g. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach). Berkaitan dengan penelitian tesis ini dipergunakan pendekatan
perundang-undangan
(the
statue
approach),
pendekatan analisa konsep hukum (analytical and conceptual approach).
Permasalahan
penelitian
dikaji
dengan
mempergunakan interprestasi hukum dengan uraian yang argumentif berdasarkan teori, azas, dan konsep hukum yang relevan. I.6.3. Sumber Bahan Hukum Pada
penelitian
hukum
normatif,
bahan
hukum
mencakup, pertama, bahan hukum primer, kedua, bahan hukum sekunder, dan ketiga, bahan hukum tertier. Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Adapun bahan-bahan hukum dimaksud adalah sebagai berikut : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat, yaitu; 1. Undang-undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. 2. Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang No. 19 Tahun 2005 Tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2005 menjadi Undang-undang. 3. Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 Tentang Lembaga Pembiayaan. 4. Keputusan Menteri Keuangan No. 448/KMK/017/2000 Tentang Perusahaan Pembiayaan. b. Bahan
hukum
sekunder;
yaitu
bahan
hukum
yang
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu meliputi; buku-buku literatur, jurnal, makalah, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu berupa kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia. I.6.4. Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi dokumen.
Bahan
hukum
kemudian
diidentifikasi
yang serta
berhasil
diinventarisir
diklasifikasikan
dengan
melakukan pencatatan secara cermat dan sistematis sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian. Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi,
31 teori-teori,
pendapat-pendapat,
penemuan-penemuan
yang
berhubungan dengan permasalahan penelitian.39 I.6.5. Tehnik Analisis Bahan Hukum Bahan
hukum
yang
berhasil
dikumpulkan
dalam
penelitian ini, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun
bahan hukum tertier, dianalisis dengan
menggunakan teknik deskripsi, interprestasi, evaluasi, dan argumentasi. Pengertian dari masing-masing teknik analisis dimaksud dapat diberikan penjelasan sebagai berikut : a. Tehnik deskripsi, adalah berupa uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau proposisi-proposisi hukum maupun non hukum. b. Tehnik interprestasi, adalah menggunakan jenis-jenis penafsiran
dalam
hukum,
terutama
penafsiran
kontekstualnya. c. Tehnik argumentasi, yaitu penilaian yang didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. d. Tehnik evaluasi, yaitu penilaian tepat atau tidak tepat, benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap suatu pandangan atau proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan baik yang tertera dalam hukum primer maupun 39 Rony Hanitidjo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia, Indonesia, Jakarta, h. 98.
sekunder.