BIOLOGI DAN KELIMPAHAN POPULASI TUNGAU MERAH Tetranychus kanzawai (ACARI : TETRANYCHIDAE) PADA DUA KULTIVAR JARAK PAGAR (Jatropha curcas)
NELLY MASTINA GULTOM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Biologi dan Kelimpahan Populasi Tungau Merah Tetranychus kanzawai (Acari : Tetranychidae) pada Dua Kultivar Jarak Pagar” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2010
Nelly Mastina Gultom NRP A451060121
3 ABSTRACT
NELLY MASTINA GULTOM. Biology and Population Abundance of Spider Mite Tetranychus kanzawai (Acari: Tertanychidae) on Two Cultivars of Jatropha curcas. Under direction of SUGENG SANTOSO and AUNU RAUF. Spider mite Tetranychus kanzawai is one of the most important pests attacking leaf of Jatropha curcas. Study was conducted with the objectives to elucidate life history parameters and abundance of spider mite on two Jatropha curcas cultivars. Field studies were carried out in BALITTRI Pakuwon Sukabumi, and laboratory experiments were conducted at the Department of Plant Protection, Bogor Agricultural University, from June to November 2008. Cultivars significantly affected some life history parameters of the spider mite. Spider mite reared on IP1 cultivar have longer oviposition period and higher fecundity than those on IP2 (7.00 days and 25.56 eggs against 5.00 days and 10.00 eggs). Intrinsic rate of increase was also higher on IP1. However, field studies indicated that the spider mite were less abundant on this cultivar. These might be due to the presence of other arthropods which were higher on IP1. In general, the highest population of spider mite occurred in August and the lowest in OctoberNovember. Key words : Spider mite, Predatory mite, Jatropha curcas
4 RINGKASAN
NELLY MASTINA GULTOM. Biologi dan Kelimpahan Populasi Tungau Merah Tetranychus kanzawai (Acari:Tetranychidae) pada Dua Kultivar Jarak Pagar (Jatropha curcas). Dibimbing oleh SUGENG SANTOSO dan AUNU RAUF. Tungau merah Tetranychus kanzawai merupakan salah satu hama penting yang menyerang daun jarak pagar (Jatropha curcas). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui masa perkembangan, parameter neraca hayati dan kelimpahan tungau merah Tetranychus kanzawai pada dua kultivar jarak pagar (Jatropha curcas). Tungau yang dipakai sebagai bahan percobaan di laboratorium diperoleh dari kebun jarak di Pakuwon Sukabumi. Tungau dipelihara dan dikembangbiakkan pada daun jarak segar yang bebas pestisida. Tungau hasil perbanyakan kemudian digunakan untuk keperluan penelitian. Percobaan dilakukan dalam arena percobaan berupa cawan petri (diameter 6 cm) berisi busa plastik (diameter 5 cm) yang dijenuhi air. Di atas busa plastik kemudian diletakkan kapas (4 cm x 4 cm) dan daun jarak. Lima puluh imago betina tungau merah ditempatkan pada arena percobaan dan dibiarkan selama 2 jam agar meletakkan telur. Setelah 2 jam telur yang diletakkan dibuang dengan menyisakan satu butir telur per arena percobaan (50 telur untuk masing-masing kultivar). Waktu tersebut dianggap sebagai waktu nol, dan sejak saat tersebut telur diamati setiap enam jam sampai menetas dan menjadi imago. Lama perkembangan setiap stadia dicatat. Keberadaan eksuvia pada daun digunakan sebagai tanda ganti kulit. Setelah menjadi imago, pengamatan dilakukan setiap hari untuk mengetahui masa praoviposisi, oviposisi, pascaoviposisi, keperidian, serta lama hidup imago. Untuk mengetahui pengaruh kedua kultivar jarak pagar terhadap perkembangan pradewasa, keperidian dan lama hidup imago, data dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam dan uji-t. Pengamatan kelimpahan populasi tungau merah pada dua kultivar jarak pagar dilakukan setiap 10 hari sekali di Kebun Percobaan Balittri, Pakuwon. Daun contoh diambil dari 50 tanaman contoh yang sama untuk masing-masing kultivar. Dari setiap tanaman contoh diambil masing-masing satu daun pucuk, sedang dan tua. Daun contoh dimasukkan ke dalam kantong plastik, ditempatkan di dalam kotak pendingin (cool box) dan dibawa ke laboratorium untuk diamati menggunakan mikroskop stereo. Jumlah semua stadia tungau merah dihitung. Sebagai data tambahan jumlah dan jenis arthropoda lain yang ditemukan juga dihitung. Untuk melihat pengaruh kultivar terhadap kelimpahan populasi tungau merah dan arthropoda lainnya data dianalisis dengan analisis ragam pengukuran berulang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masa pradewasa T. kanzawai berlangsung selama 10.12±0.93 hari pada IP1 dan 10.05±1.02 hari pada IP2. Imago betina hidup lebih lama dibandingkan jantan yaitu pada IP1 (11.66±3.31 dan 9.40±1.82 hari) dan pada IP2 (10.88±3.66 dan 8.25±1.50 hari). Tungau merah yang dipelihara pada kultivar IP1 memiliki masa oviposisi yang lebih lama dan keperidian yang lebih tinggi (7.00 hari dan 25.56 butir telur/betina)
5 dibandingkan pada IP2 (5.00 hari dan 10.00 butir telur/betina). Persentase betina tungau merah pada IP1 (76.2%) lebih tinggi dibandingkan pada IP2 (71.4%). Laju reproduksi kotor (GRR) tungau merah pada IP1 (16.03125) lebih tinggi dibandingkan pada IP2 (8.236). Laju reproduksi bersih (Ro) pada IP1 juga lebih tinggi dibandingkan pada IP2, yaitu masing-masing 6.149063 dan 2.437075. Waktu generasi generasi (T) tungau merah pada kedua cultivar tidak berbeda, yaitu 16.21696 pada IP1 dan 16.83929 pada IP2. Laju pertumbuhan intrinsik (r) pada IP1 (0.112) lebih tinggi dibandingkan pada IP2 (0.0529). Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa populasi tungau merah pada kultivar IP1 lebih rendah dibandingkan pada kultivar IP2 tersebut. Hal ini diduga berkaitan dengan kehadiran arthropoda lain yang tinggi pada IP1 Populasi tungau merah tertinggi terdapat pada bulan Agustus dan terendah pada bulan Oktober-November. Kata kunci: Tungau merah, tungau predator, jarak pagar (Jatropha curcas).
6
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
7
BIOLOGI DAN KELIMPAHAN POPULASI TUNGAU MERAH Tetranychus kanzawai (ACARI : TETRANYCHIDAE) PADA DUA KULTIVAR JARAK PAGAR (Jatropha curcas)
NELLY MASTINA GULTOM
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Entomologi-Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
8
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. I Wayan Winasa, MSi.
9 Judul Tesis
Nama Mahasiswa NRP
: Biologi dan Kelimpahan Populasi Tungau Merah Tetranychus kanzawai (Acari:Tetranychidae) pada Dua Kultivar Jarak Pagar (Jatropha curcas) : Nelly Mastina Gultom : A451060121
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sugeng Santoso, M.Agr. Ketua
Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc. Anggota
Diketahui
Koordinator Mayor Entomologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Pudjianto, M.Si.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal ujian: 27 Mei 2010
Tanggal lulus: 16 Juli 2010
10 PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Bapa di Surga atas segala berkat dan anugrahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Tesis ini merupakan hasil dari penelitian berjudul Biologi dan Kelimpahan Populasi Tungau Merah Tetranychus kanzawai (Acari:Tetranychidae) pada Dua Kultivar Jarak Pagar (Jatropha curcas), dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Sugeng Santoso, M.Agr. dan Prof. Dr. Aunu Rauf, MSc. atas segala kebaikan hati, kesabaran dan pengertiannya dalam membimbing, sehingga akhirnya mampu merencanakan, melaksanakan, serta menuliskan hasil penelitian ini dengan baik. 2. Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.Si. yang telah bersedia menjadi dosen penguji tamu , dan memberikan masukan untuk perbaikan tesis. 3. Dr. Ir. Elna Karmawati, APU, dan Ir. Widi Rumini, MS atas segala bantuan dan dukungannya selama pelaksanaan penelitian ini. 4. Balai Penelitian Tanaman Industri Pakuwon Sukabumi (BALITTRI), yang telah mengizinkan penulis melakukan penelitian. 5. Dr.Ir. Sri Hendrastuti, MSc. dan Dr. Pudjianto, selaku pengelola Program Studi Entomologi-Fitopatologi yang banyak memberikan bantuan. 6. Bapak-bapak: Wawan, Awal, Cece yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian. 7. Keluarga tercinta: Bapak, Mama, Kak Erida, bang Jonny (alm), Bang Barita, Bang Edward, Kak Tiurma, Bang Naek, Bang Timbul, Bang Beven dan seluruh keluarga besar atas doa, kasih sayang, pengorbanan, dan dukungan spritual dan materi yang tak ternilai banyaknya selama studi. 8. Keluarga besar PERKANTAS Bogor, atas dukungan doa sebagai keluarga di Bogor. Sahabat-sahabat terkasih dan seperjuangan kak Tience, kak Olly, Ina, Bang Dedi, Liston, Desma, Kak Novansi atas doa, dan perhatian dan kebersamaan selama studi di IPB. Teman kosan di Pondok Kantika (Luria, Frahel, Valen, Sasti, Roma, Desma, Leli, Sanny, Milka, Winda, Agus, dan Pamona serta mbak Aci) atas rasa persaudaraan, kebaikan hati dan pengertianya, serta Mia yang telah banyak membantu selama penelitian. 9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang turut mendukung dalam penelitian dan penulisan tesis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Mei 2010 Nelly Mastina Gultom
11 RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Dolok Maraja pada tanggal 13 November 1981, merupakan anak bungsu (kesembilan) pasangan Bapak M. Gultom dan Ibu M. Manurung. Tahun 2000 penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri I Binjai, dan diterima di Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Universitas Sumatera Utara, Medan melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan selesai tahun 2005. Pada tahun 2006 penulis melanjutkan jenjang S2 Program Studi Entomologi-Fitopatologi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
12 DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................ i DAFTAR GAMBAR....................................................................................
ii
PENDAHULUAN ........................................................................................
1
Latar Belakang ....................................................................................
1
Tujuan Penelitian.................................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................
4
Jarak Pagar ..........................................................................................
4
Tungau Merah .....................................................................................
5
Biologi............................................................................................ Ekologi ........................................................................................... Musuh alami................................................................................... Kelimpahan populasi ......................................................................
5 7 8 8
BAHAN DAN METODE .............................................................................
10
Tempat dan Waktu ..............................................................................
10
Bahan dan Alat....................................................................................
10
Pelaksanaan Penelitian ........................................................................
10
Biologi tungau merah pada dua kultivar jarak pagar........................ Kelimpahan tungau merah dan predator dua kultivar jarak pagar .... Analisis data ...................................................................................
10 11 11
HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................................
13
Masa Perkembangan Pradewasa ..........................................................
13
Parameter Hayati Imago Tungau Merah .............................................
14
Parameter Neraca Hayati ....................................................................
17
Kelimpahan Populasi Tungau Merah...................................................
18
Kelimpahan Populasi Arthropoda Lainnya ..........................................
24
KESIMPULAN ...........................................................................................
32
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
33
13 DAFTAR TABEL
1 2 3 4 5 6
Halaman Pengaruh dua kultivar jarak pagar terhadap masa perkembangan pradewasa tungau merah...................................................................... 13 Pengaruh kultivar IP1 dan IP2 terhadap sifat biologi imago tungau merah .................................................................................................. 15 Parameter neraca hayati tungau merah Tetranychus kanzawai pada kultivar IP1 dan IP2 ............................................................................ 18 Analisis ragam pengukuran berulang tungau merah Tetranychus kanzawai pada dua kultivar IP1 dan IP2 .............................................. 20 Hasil analisis pengukuran berulang terhadap arthropoda pada tanaman jarak pagar IP1 dan IP2........................................................................ 24 Nilai korelasi (r) antara kelimpahan tungau merah dan Phytoseiidae ... 26
i
14
DAFTAR GAMBAR
1 2 3 4 5 6
Halaman Perbandingan kelimpahan populasi tungau merah (telur, nimfa, dewasa) pada kultivar IP1 dan IP2 ....................................................... 19 Kelimpahan populasi tungau merah (telur, nimfa, imago) pada daun pucuk, sedang dan tua pada kultivar IP1 dan IP2 ................................. 22 Kelimpahan populasi Phytoseiidae pada dua kultivar IP1 dan IP2 ....... 25 Kelimpahan populasi Phytoseiidae pada daun pucuk, sedang dan tua pada kultivar IP1 dan IP2 .................................................................... 27 Kelimpahan populasi tungau fitofag pada dua kultivar jarak pagar IP1 dan IP2: Tarsonemidae (A); Eriophyidae (B); Acaridae (C) ................. 28 Kelimpahan serangga hama pada kultivar IP1 dan IP2: kutu tempurung (A); kutu putih (B); kutu daun (C); trips (D)....................... 30
ii
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Jumlah penduduk yang sangat besar ini mempunyai konsekuensi logis, yaitu kebutuhan energi yang juga semakin besar. Selama ini kebutuhan energi kita lebih banyak bergantung kepada sumber energi berbasis fosil yang tentu saja cadangannya semakin lama akan semakin menipis. memperbaharui
sumber energi
berbasis fosil
Tambahan lagi untuk
merupakan sesuatu yang
memerlukan waktu sangat panjang. Sementara itu peningkatan kebutuhan akan sumber energi tidak bisa ditunda. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 2008 Indonesia mengimport minyak senilai U$: 20.96 miliar pada tahun 2008, dan meningkat menjadi U$: 28.37 miliar pada tahun 2009. Bahan bakar minyak (BBM) yang banyak dikonsumsi adalah solar yaitu sekitar 460 ribu barel/hari. Menurut data energi sumberdaya mineral (ESDM) 2005, penggunaan energi asal minyak bumi sebesar 54.45%, gas bumi 26.5%, batu bara 14.1%, dan sementara dari bahan bakar nabati hanya 0.2%. Tahun 2006 merupakan tahun kebangkitan biofuel di Indonesia dengan dikeluarkannya Inpres No 1 tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel). Pertambahan
jumlah
penduduk
Indonesia
yang
disertai
dengan
peningkatan kesejahteraan berdampak pada peningkatan kebutuhan akan sarana transportasi dan industri.
Hal ini menimbulkan konsekuensi peningkatan
kebutuhan akan bahan bakar minyak. Diperkirakan sejak tahun 1995 konsumsi bahan bakar minyak Indonesia sudah melebihi kapasitas produksi dalam negeri (Hambali et al. 2006). Kebutuhan bahan bakar minyak di Indonesia terus meningkat dalam 10 tahun terakhir.
Premium mengalami peningkatan 6%,
minyak tanah 2.5%, solar 4.55% dan minyak bakar 6.51%. Sehubungan dengan itu ketergantungan Indonesia terhadap minyak bumi sudah seharusnya mulai dikurangi, bahkan harus dihilangkan. Masalah kebutuhan sumber energi dapat diatasi dengan mengembangkan sumber energi alternatif berbahan baku minyak nabati (Hambali et al. 2006). Salah satu strategi penyediaan energi nasional
2 adalah pemanfaatan biodiesel sebagai sumber energi alternatif. Pada tahun 2010, 720.000 kilo liter/tahun atau 2% dari kebutuhan solar nasional disuplai dari sumber ini. Kebutuhan ini akan tercukupi jika luas tanam jarak pagar mencapai 2 juta ha pada tahun 2011, sedangkan luas tanam kelapa sawit mengalami peningkatan 500.000 ha/tahun (Hamdi 2007). Di dalam Peraturan Presiden No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, pemerintah mentargetkan pada tahun 2025 lebih dari 5% konsumsi energi nasional akan dipenuhi dari sumber-sumber biofuel. Berbagai jenis komoditi perkebunan sudah diketahui bisa menghasilkan minyak nabati yang bisa dijadikan bahan biodiesel. Indonesia memiliki 60 tumbuhan yang dapat menghasilkan BBN, namun sesuai dengan Inpres no 1/2006, saat ini hanya empat tanaman yang lebih diprioritaskan yaitu: kelapa sawit, tebu, singkong, dan jarak pagar. Dari keempat tanaman tersebut, jarak pagar dianggap paling potensial untuk dikembangkan sebagai bahan baku biodisel karena minyak jarak pagar tidak dapat dimakan, sehingga bisa difokuskan untuk bahan bakar. (Prihandana dkk, 2007).
Hal ini mengakibatkan peluang minyak jarak pagar
untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel menjadi lebih besar, karena tidak akan mengganggu stok minyak makan nasional, kebutuhan industri oleokimia dan ekspor CPO (Hambali et al. 2006). Jarak pagar merupakan jenis tanaman semak atau pohon yang tahan terhadap kekeringan, sehingga tahan hidup di daerah dengan curah hujan rendah. Tanaman ini banyak ditemukan di Afrika Selatan, Afrika Tengah, India Selatan dan Asia Tenggara (Hamdi 2007). Tanaman jarak pagar menghasilkan biji yang mempunyai kandungan minyak cukup tinggi, yaitu mencapai 35-45% (Hambali et al. 2006). Komoditas ini juga sangat potensial karena dapat ditanam di lahanlahan marjinal dan lahan kritis. Pengembangan perkebunan jarak pagar dalam skala besar di Indonesia cocok dilakukan di wilayah Indonesia Timur, terutama NTB, NTT, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku dan Papua (Hambali et al. 2006). Sebagaimana yang hampir selalu terjadi dalam praktek pengusahaan tanaman, maka salah satu yang menjadi masalah dalam pengusahaan jarak pagar
3 adalah adanya serangan hama. Hambali et al (2006) melaporkan berbagai spesies serangga dan organisme lainnya yang menjadi hama pada tanaman
jarak
pagar,diantaranya ulat tanah, lundi, belalang, ulat grayak, penggerek batang, ulat api, wereng daun, kepik hijau, penggerek pucuk dan tungau. Sementara itu, dari hasil survei yang dilakukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ditemukan 3 jenis tungau yang menyerang tanaman jarak pagar, yaitu famili Tarsonemidae, Eriophyidae, dan Tetranychidae. Berdasarkan tingkat serangannya di lapangan, tungau-tungau ini sudah dapat digolongkan dalam kategori hama penting pada tanaman jarak, karena tingkat serangannya melebihi 90% (Asbani, Amir, dan Subiyakto 2007). Dari hasil survei di tempat lain, Rumini dan Karmawati (2007) juga melaporkan bahwa diantara berbagai jenis hama yang ditemukan menyerang pertanaman jarak terdapat tungau famili Tarsonemidae dan Eriophyidae. Saat ini di BALITTRI Pakuwon Sukabumi telah dikembangkan kultivar unggulan jarak pagar yang disebut dengan IP (improved population), yang berasal dari lima Propinsi di Indonesia yaitu Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Barat. Saat ini jarak pagar kultivar unggul yang telah dihasilkan adalah IP1 dan IP2. Sampai saat ini keadaan serangan tungau merah pada kedua kultivar tersebut di lapangan dan kesesuaian kedua kultivar bagi tungau merah belum diketahui. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan informasi tambahan tersebut.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui biologi dan kelimpahan populasi tungau merah (Tetranychus kanzawai) pada dua kultivar jarak pagar (Jatropha curcas).
4 TINJAUAN PUSTAKA
Jarak Pagar Jarak pagar (Jatropha curcas L.) sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Tanaman ini berasal dari Amerika Tengah dan diperkenalkan oleh Bangsa Jepang sekitar tahun 1942.
Jarak pagar termasuk dalam famili
Euphorbiaceae dengan sekitar 170 spesies di dunia. Di Indonesia setidaknya ada empat jenis pohon jarak yang pernah tercatat. Jarak pagar adalah tumbuhan semak yang bisa mencapai ketinggian 5-6 meter, bercabang tidak teratur, batang berkayu, silindris dan bergetah, mampu hidup hingga 50 tahun. Panen pertama 68 bulan setelah tanam, dengan produktivitas 0,5 – 1,0 ton biji kering/ha/tahun, dan meningkat secara gradual dan stabil pada tahun kelima sekitar 5 ton/ha/tahun (Prihandana et al. 2006). Koleksi tanaman jarak di Indonesia baru dimulai tahun 2005 dengan populasi stek yang diambil dari tiap provinsi. Koleksi plasma nutfah sebagai hasil eksplorasi dilestarikan di kebun-kebun penelitian (Balittas) Malang, (Balittri) Pakuwon, dan Pasirranji Jawa Barat.
Hasil pengamatan tanaman jarak pagar di
Pakuwon Sukabumi, kultivar IP1 memiliki bentuk daun yang bulat dengan tulang daun menjari, jumlah buah >200/tanaman/tahun dan potensi produksi 1.0-1.2 ton tahun pertama dan 4.5 ton tahun kelima.
Sedangkan pada IP2 bentuk daun
ujungnya agak meruncing dengan pinggir daun berlekuk.
Jumlah buah 540-
640/tanaman/tahun serta potensi produksi 2.3-2.7 ton tahun pertama dan 7.2-8.3 ton tahun kelima, dengan rendemen minyak sekitar 32% (Luntungan et al, 2009). Jarak pagar bisa tumbuh pada ketinggian 0 - 500 meter di atas permukaan laut, bisa tumbuh pada lahan tadah hujan yang aerasi baik, lahan marginal yang rendah kandungan hara, tandus dan juga mampu beradaptasi pada kondisi ekstrem, terutama pada musim kemarau panjang dengan menggugurkan daun. Hidup baik pada temperatur 20oC – 28oC. Di Indonesia perkebunan jarak pagar skala besar yaitu di Indonesia bagian timur, terutama NTB, NTT, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku dan Papua (Hambali et al. 2006).
5 Jarak termasuk tanaman yang sukulen (mengandung banyak air) dan mengalirkan air ke daun selama musim kering. Ekstrak biji jarak sangat kaya dengan protein, tetapi beracun bagi tikus dan hewan ruminansia dan juga manusia. Daging buah kaya inhibitor tripsin dan lectin. Kandungan biji jarak antara lain: protein (31 – 34.5%), lemak ( 55 – 58%), asam-asam makro seperti oleat ( 41.5 – 48.8%), linoleat ( 34.6 – 44.4%), palmitit ( 10.5 – 13.0%), strearat asam (2.3 2.8%) (Harrere et al. 2005).
Tugau Merah Biologi. Tungau ini berukuran kurang dari 1 mm, biasanya berwarna merah, hijau, orange atau kuning (Kalshoven 1981).
Tetranychidae dapat
ditemukan hampir di seluruh belahan dunia baik di darat maupun di air, pegunungan, daerah kutub. Kelompok tungau ini bisa hidup pada hampir semua jenis tanaman pangan maupun tanaman hias, dan seringkali menyebabkan kerusakan parah bahkan kematian pada inangnya (Krantz 1978).
Tungau ini
dikenal sebagai tungau laba-laba (spider mites) karena menghasilkan benang jaring laba-laba pada tanaman inangnya. Benang akan lebih banyak terbentuk pada populasi tungau tinggi. Perilaku ini terkait dengan penyebarannya dengan bantuan angin. Tungau ini memiliki alat mulut menusuk menghisap, memiliki 2 pasang mata, 2 pasang seta pada tarsus pertama dan memiliki kuku yang kompleks. Kebanyakan spider mite adalah polifag, memiliki 1200 spesies dari 70 genus diseluruh dunia. (Gerson 2003). Tetranychidae berkembang melalui beberapa stadia dalam siklus hidupnya yaitu: telur, larva, protonimfa, deutonimfa, dan imago.
Setiap masa aktif
pradewasa diikuti oleh fase istrahat yang merupakan fase pertahanan diri terhadap lingkungan yang tidak baik (Huffaker et al. 1969, Zhang 2003) dan dikenal sebagai fase chrysalis (Kalshoven 1981).
Secara umum siklus hidup tungau
berkisar 7 – 14 hari. Lama setiap stadia umumnya tidak lebih dari 2 hari. Lama setiap stadia bervariasi tergantung kecocokan dengan berbagai tekanan lingkungan (Van de Vrie et al. 1969).
6 Tungau ini memintal sarang jaring yang halus di sekeliling daun sebagai tempat untuk menambatkan telur dan juga sebagai pelindung agar koloni tungau tidak terganggu (Deciyanto et al 1991). Tungau menyerang daun muda maupun yang tua dengan cara menghisap cairan pada jaringan epidermis daun sehingga timbul bercak – bercak putih. Serangan lanjut akan menyebabkan daun menjadi kuning dan rontok. Gejala lain adalah daun berlekuk tidak teratur. Serangan tungau ini berpengaruh terhadap proses fotosintesis dan akhirnya akan mempengaruhi terbentuknya buah pada jarak pagar (Asbani et al.
2007).
Serangan tungau seringkali tidak terdeteksi secara dini karena ukuran tubuhnya yang sangat kecil dan hidup tersembunyi.
Serangan tungau umumnya baru
diketahui setelah daun berubah warna menjadi putih kecoklat-coklatan (Deciyanto et al. 1989). Telur diletakkan satu persatu, berwarna kuning bening, diikatkan oleh benang - benang, dan berada pada permukaan bawah daun. Telur Tetranychus sp yang baru diletakkan berbentuk bulat, berwarna kuning pucat yang berubah menjadi kuning tua. Menjelang penetasan terdapat bintik merah. Larva yang memiliki tiga pasang tungkai berwarna warna kuning muda, kemudian berubah menjadi kuning tua atau kuning kehijauan karena telah menghisap cairan tanaman (Deciyanto et al. 1991). Imago tungau berwarna merah atau kehijauan, sedangkan larvanya jernih dengan bercak pada tubuhnya (Asbani et al. 2007). Tipe penetapan jenis kelamin tungau disebut bersifat partenogenesis (Helle & Sabelis 1985, Krantz 1978). Ada tiga tipe partenogenesis yaitu arhenotoki dimana keturunan yang dihasilkan adalah jantan, teliotoki bila keturunan yang dihasilkan adalah betina, sedangkan deuterotoki adalah apabila yang dihasilkan ada keturunan jantan dan ada keturunan betina. Telur yang dibuahi akan menjadi betina dan mempunyai peluang menetas lebih besar daripada telur yang tidak dibuahi. mortalitas telur akan menurun apabila terjadi pembuahan (Zhang 2003, De Boer 1985). Perkembangan tungau relatif cepat, siklus hidup relatif singkat, tetapi tingkat keperidian lebih rendah bila dibandingkan dengan golongan artropoda yang lain (Huffaker et al. 1969). Imago betina hanya mampu meletakkan telur
7 rata-rata 10 butir telur per hari, dan selama hidupnya imago betina dapat menghasilkan kira–kira 100 butir telur pada suhu 25oC. Jantan berkembang lebih cepat dari pada betina (Zhang 2003). Imago tungau ummnya mempunyai tiga masa yaitu: praoviposisi, oviposisi, dan pascaoviposisi. Periode praoviposisi yaitu sebelum meletakkan telur pertama biasanya singkat hanya beberapa hari saja. Periode oviposisi kira kira 10 hari. Peningkatan suhu dapat mendorong peningkatan laju oviposisi (Zhang 2003). Pada saat betina memasuki fase istirahat terakhir (teliokrisalis), maka jantan sudah berada disamping betina untuk menunggu saat akan keluar menjadi dewasa (precopulatory guarding) dan jantan yang pertama kali mengawini betina tersebut maka keturunanya yang akan berhasil (Cone et al. 1971). Ekologi. Perkembangan tungau sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti suhu, kelembaban, hujan, cahaya, angin dan musuh alami. Kombinasi cuaca dengan suhu panas serta kelembaban yang rendah biasanya dapat menyebabkan ledakan populasi (Van de Vrie 1972), sehingga kadang-kadang pada suatu waktu populasi menjadi turun dan pada waktu tertentu menjadi melimpah.
Bahkan suhu panas dan kering yang berkepanjangan akan
menyebabkan ledakan yang tinggi. Hujan yang banyak dapat mengakibatkan kematian secara besar-besaran hingga 95%, walaupun ada fase istirahat yang bertujuan untuk mempertahankan diri dari kondisi yang kurang menguntungkan. Temperatur mempengaruhi waktu perkembangan dan fekunditas yang akan mempengaruhi juga laju intrinsik. Temperatur yang tinggi akan mempercepat waktu perkembangan tungau (Morgolies dan Wrensch 1996). Perkembangan tungau akan sangat besar pada musim kering dan cuaca lembab, sedangkan hujan yang cukup banyak dapat dengan cepat menurunkan populasi tungau.
Warna dari setiap fase perkembangan kadang-kadang
berhubungan dengan nutrisi. Fase yang sangat muda bisa menghasilkan benang seperti sutera dan kemudian disebarkan oleh angin, tetapi penyebaran juga terjadi secara pasif yaitu melalui binatang, tanah, benih dll (Kalshoven 1981) namun
8 jarak penyebarannya relatif pendek seperti dalam tanaman atau antar tanaman (Evans 1998). Struktur jaringan tanaman yang berbeda pada setiap inang atau kultivar yang berbeda, bagian permukaan atas atau bawah dapat mempengaruhi tingkat toleransi.
Nutrisi juga sangat mempengaruhi kehidupan tungau, pada musim
kering bisa mempunyai
kualitas nutrisi tanaman yang membuatnya menjadi
cocok untuk kehidupan tungau (Huffaker et al. 1969). Gulma juga seringkali menjadi tanaman inang (host) bagi serangga hama dan penyakit yang menyerang tanaman pokok (Asbani et al. 2007). Musuh Alami. Musuh alami dari Tetraychidae banyak dan bermacammacam. Arthropoda termasuk Thysanoptera, Coleoptera, Hemiptera, Neuroptera, Diptera, Acarina, dan Araenida. Golongan Acarina yaitu : Phytoseiidae, famili ini memiliki jumlah spesis yang besar yang telah diketahui menyerang tungau labalaba, salah satu contoh Phytoseiulus persimilis. Golongan Araneae ditemukan menyerang Tetranychidae. Staphylinidae.
Ordo Coleoptera contoh Coccinellidae, Stethorus,
Ordo Neuroptera contoh Chrysopidae, Hemerobiidae.
Ordo
Hemiptera contoh Anthocoridae, Miridae, dll. Ordo Thysanoptera contoh famili Thripidae. Ordo Diptera contoh famili Cecidomyiidae, Syrphidae (Huffaker & McMurtry 1969). Beberapa predator Acarine seperti: Phytoseiulus persimilis yang meyerang Tetranychus sp. di Itali dan Moroko, dan Typhlodromus occidentalis di California (McMurtry 1985). Ada dua serangga predator yang menyerang tungau merah yaitu Stethorus (Coccinellidae) dan Scolothrips (Thripidae). Predator ini dapat menurunkan populasi saat populasi rendah. Kelimpahan Populasi. Studi populasi dimana keadaan lingkungan hidup mempengaruhi keanekaragaman bentuk-bentuk hayati dan banyaknya jenis mahluk hidup (biodiversitas) dan sebaliknya banyaknya keanekaragaman mahluk hidup juga menentukan keadaan lingkungan. Salah satu cara atau langkah awal untuk mempelajari perkembangan suatu populasi serangga adalah dengan menyusun neraca kehidupan.
Neraca hayati (life table) adalah ringkasan
pernyataan tentang kehidupan individu-individu dalam populasi atau kelompok
9 (Price 1997), atau merupakan suatu tabulasi data mortalitas lengkap dari populasi (kohort) terhadap umur (Lincoln et al. 1982). Di dalam neraca kehidupan terdapat deskripsi yang sistematis tentang mortalitas dan kelangsungan hidup suatu populasi. Informasi tersebut merupakan informasi dasar yang diperlukan dalam menelaah perubahan kepadatan dan laju pertambuhan atau penurunan suatu populasi (Price 1999).
Perubahan-perubahan ukuran populasi dikenal dengan
dinamika populasi. Sebagian populasi berubah ukurannya, dalam hal ini jumlah individu yang terlibat didalamnya, menurut kondisi lingkungan yang sesuai untuk menghasilkan lebih banyak atau lebih sedikit individu dibanding dengan jumlah individu yang mati dalam selang waktu tertentu. Kelahiran, kematian, dan pergerakan merupakan tiga bagian perubahan dalam dinamika populasi.
Pergerakan disebabkan oleh tekanan populasi,
walaupun tungau tidak memiliki sayap tetapi mereka juga aktif berjalan atau secara pasif dengan bantuan angin, tanaman, alat pertanian atau juga manusia (Zhang 2003), atau mereka juga bisa pindah karena ketidakcocokan inang. Betina yang baru dewasa lebih cenderung berpindah daripada betina yang sudah tua. Pada Phytoseiidae betina yang tidak kawin lebih cenderung berpindah daripada betina yang kawin. Respon cahaya (lama penyinaran) pada Tetranychidae juga mempengaruhi pergerakan mereka. selama persediaan makanan sedikit dan juga kekeringan menyebabkan peningkatan aktivitas pergerakan untuk mencari sumber makanan yang baru, juga dengan adanya fotoreseptor dan orientasi pada cahaya sehingga mereka dapat berpindah (Huffaker et al. 1969). Pada umumnya pertumbuhan populasi suatu mahluk hidup merupakan proses yang berlangsung kontiniu, namun demikian kajian populasi perlu didekati dari tinjauan waktu diskrit karena turun naiknya populasi dapat dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan perkembangan inang, musuh-musuh alami, dan faktor fisik lingkungan yang berlangsung pada periode waktu tertentu (Tarumingkeng 1992).
10 BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB dan BALITTRI (Balai Penelitian Tanaman Industri) Pakuwon, Sukabumi. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni 2008 sampai Nopember 2008.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah jarak pagar kultivar unggul yang dikembangkan Balittri, yang disebut improved population (IP) yaitu IP1 dan IP2. Bahan-bahan lain adalah untuk kepentingan pengambilan sampel, yaitu kantong plastik, label, kapas, tanaman jarak IP1 dan IP2 dan alkohol. Kantong plastik digunakan sebagai tempat daun yang diambil dari lapangan.
Alat-alat yang
diperlukan antara lain kotak pendingan, lemari pendingin (kulkas), mikroskop stereo, counter, kotak plastik untuk tempat pemeliharaan, kuas dan busa plastik.
Pelaksanaan Penelitian Biologi tungau merah pada dua kultivar jarak pagar Asal tungau. Tungau diperoleh dari kebun jarak di Pakuwon Sukabumi. Tungau dipelihara dan dikembangbiakkan pada daun jarak yang segar yang bebas pestisida.
Tungau hasil perbanyakan kemudian digunakan untuk keperluan
penelitian. Arena percobaan. Percobaan dilakukan dalam cawan petri diameter 6 cm yang didalamnya ditempatkan busa plastik diameter 5 cm yang jenuh air. Di atas busa plastik kemudian diletakkan kapas (4 cm x 4 cm). Busa dan kapas selalu basah. Metode. Lima puluh imago betina tungau merah ditempatkan pada arena percobaan dan dibiarkan selama 2 jam agar meletakkan telur. Setelah 2 jam telur yang diletakkan dibuang dengan menyisakan satu butir telur per arena percobaan (50 telur untuk masing-masing kultivar). Waktu tersebut dianggap sebagai waktu
11 nol, dan sejak saat tersebut telur diamati setiap enam jam sampai menetas dan menjadi dewasa. Lama perkembangan dari setiap stadia dicatat. Keberadaan eksuvia pada daun digunakan sebagai tanda ganti kulit. Imago yang terbentuk dihitung dan dilihat nisbah kelaminnya. dilakukan
setiap
hari
untuk
Setelah menjadi imago, pengamatan
mengetahui
masa
praoviposisi,
oviposisi,
pascaoviposisi, keperidian, serta lama hidup imago. Kelimpahan tungau merah dan predator pada dua kultivar jarak pagar Pengamatan kelimpahan populasi tungau merah dan tungau predator pada dua kultivar jarak pagar dilakukan setiap 10 hari sekali. Pengamatan dilakukan terhadap 50 tanaman contoh yang sama untuk masing-masing kultivar.
Dari
setiap tanaman contoh diambil masing-masing satu daun pucuk, sedang dan tua. Daun contoh dimasukkan ke dalam kantong plastik, ditempatkan di dalam kotak pendingin (cool box) dan dibawa ke laboratorium untuk diamati. Pengamatan dilakukan dengan bantuan mikroskop stereo. Jumlah semua stadia tungau merah serta tungau predator dihitung. Sebagai data tambahan hama-hama dan musuh alami lain yang ditemukan juga dihitung.
Analisis data Data dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam dan uji-t untuk mengetahui pengaruh kedua kultivar jarak pagar terhadap perkembangan pradewasa, keperidian dan lama hidup imago dan Analisis ragam pengukuran berulang untuk melihat pengaruh kultivar terhadap kelimpahan populasi tungau merah dan arthropoda lainnya. Parameter-parameter neraca hayati dihitung berdasarkan persamaan berikut: GRR = ∑ mx Ro = ∑ lx mx r = ∑ -rx lx mx = 1 T = Ln Ro/r er Dt = Ln 2/r
12 Keterangan: Lx
= Sintasan individu pada umur x
mx
= Keperidian individu pada umur x
lxmx
= Jumlah keturunan yang dihasilkan per individu pada setiap pada setiap tahap atau umur; hasil dari sintasan dan reproduksi
GRR
= Laju reproduksi kotor
Ro
= Laju reproduksi bersih
T
= Rataan masa generasi
Dt
= Masa ganda
r
=
Laju pertambahan terbatas
= Laju pertambahan intrinsik
13
HASIL DAN PEMBAHASAN Masa Perkembangan Pradewasa Berdasarkan hasil pengamatan terhadap siklus hidup tungau merah di laboratorium, maka diketahui bahwa tungau merah memiliki tujuh masa perkembangan
pradewasa
yaitu:
telur,
larva,
protokrisalis,
protonimfa,
deutokrisalis, deutoimfa, dan teliokrisalis. Setelah stadia larva sebelum ganti kulit tungau merah mengalami masa istirahat yang disebut protokrisalis; bentuk istirahat antara protonimfa dan deutonimfa disebut deutokrisalis; dan bentuk istirahat antara deutonimfa dan dewasa disebut teliokrisalis.
Selama istirahat
tungau melekatkan tubuhnya pada substrat dan kutikula baru akan dibentuk sebelum eksuvia dilepaskan.
Hasil pengamatan terdahulu tentang biologi
sebagian besar Tetranychidae di dunia yaitu memiliki siklus hidup dari telur, larva, protonimfa, deutonimfa, dan dewasa. Setiap masa aktif pradewasa diikuti oleh fase istrahat yang disebut krisalis, dimana hal ini bertujuan untuk pertahanan diri terhadap lingkungan yang tidak baik (Huffaker et al. 1969; Zhang 2003; Evans 1998; Crooker 1985; Kalshoven 1981). Tabel 1 Pengaruh dua kultivar jarak pagar terhadap masa perkembangan pradewasa tungau merah Masa perkembangan (hari)
Kultivar IP1 X ± SD
t
IP2 n
X ± SD
db
P
n
Telur
3.18 ± 0.23
45
3.26 ± 24
33
1.52
76
0.06
Larva
2.28 ± 0.54
30
1.91 ± 1.12
24
1.84
52
0.03
Protokrisalis
0.77 ± 0.15
28
0.71 ± 0.12
20
1.35
46
0.09
Protonimfa
1.27 ± 0.37
24
1.80 ± 0.66
16
3.23
38
0.01
Deutokrisalis
0.72 ± 0.20
23
0.69 ± 21
16
1.62
37
0.06
Deutonimfa
1.20 ± 0.42
21
1.29 ± 0.50
14
0.53
33
0.29
Teliokrisalis
0.79 ± 0.14
21
0.88 ± 0.13
14
1.87
33
0.03
Total pradewasa
10.12 ± 0.93
21
10.05 ± 1.02
14
0.19
33
0.42
14 Masa larva memiliki tungkai tiga pasang dan setelah masa protokrisalis tungkai bertambah menjadi empat pasang.
Sebagian besar acarina larvanya
memiliki tiga pasang tungkai, kemudian pada fase berikutnya memiliki empat pasang tungkai (Helle dan Sabelis 1985). Total lama perkembangan pradewasa pada jarak pagar (sejak telur diletakkan hingga terbentuk imago) adalah 10.12 ± 0.93 hari pada IP1 dan 10.05 ± 1.02 hari pada IP2.
Menurut Khoiri (2005) masa perkembangan pradewasa
tungau merah pada ubi kayu pahit 7.80 ± 0.7 hari dan ubi kayu manis 7.70 ± 0.70 hari. Menurut Puspitarini (2005) masa pradewasa tungau merah pada jeruk lemon 9.33 ± 0.17 hari dan jeruk manis 10.17 ± 0.16 hari.
Kalshoven (1981)
menyatakan bahwa secara umum siklus hidup tungau merah dapat mencapai 7 – 14 hari, demikian juga dengan setiap stadia individu tidak lebih dari dua hari. Pada kultivar IP1 dan IP2 terdapat pengaruh yang nyata terhadap masa perkembangan pradewasa tungau merah yaitu pada masa larva, protonimfa, dan teliokrisalis (Tabel 1). Hal ini berhubungan dengan kesesuaian nutrisi makanan yang dibutuhkan oleh tungau merah yang terdapat pada tanaman tersebut. Jika nutrisi tercukupi maka tubuhnya akan cepat membesar sehingga akan terjadi pergantian kulit dan kondisi ini menunjukkan bahwa tungau merah mengalami perkembangan. Selain dipengaruhi oleh makanan, maka perkembangan tungau merah juga dipengaruhi oleh suhu.
Zhang (2003) mengatakan bahwa waktu
o
perkembangan optimum (30 – 32 C), tetapi apabila suhu pada siang hari antara 15oC sampai 28oC maka waktu perkembangan yang dibutuhkan dari telur menjadi dewasa adalah 16 hari dan perkembangan jantan lebih cepat daripada betina.
Parameter Hayati Imago Tungau Merah Masa imago betina tungau merah dibagi dalam tiga periode yaitu: praoviposisi, oviposisi, dan pascaoviposisi. Masa praoviposisi tungau merah pada IP1 adalah 1.16 ± 0.38 hari dan IP2 adalah 1.48 ± 0.57 hari. Cone (1985) menyatakan bahwa masa praoviposisi tungau merah adalah satu hari pada suhu 24oC sampai 29oC. Terdapat pengaruh nyata antara IP1 dan IP2 terhadap lama masa oviposisi dan keperidian tungau merah. Masa oviposisi kultivar IP1 yaitu
15 7.00 ± 2.37 hari lebih lama dibandingkan IP2 5.00 ± 2.71 hari. Keperidian pada IP1 lebih tinggi dibandingkan pada IP2 yaitu 25.56 ± 8.61 butir/betina dan 10.00 ± 7.06 butir/betina. Zhang (2003) menyatakan bahwa periode oviposisi tungau merah adalah sekitar 10 hari. Masa pascaoviposisi pada IP1 selama 3.50 ± 2.48 hari, tidak berbeda nyata dengan IP2 selama 4.40 ± 3.47 hari. Lama hidup imago betina dan imago jantan pada IP1 lebih lama dibandingkan pada IP2, yaitu 11.66 ± 3.31 hari dan 10.88 ± 3.66 hari dan imago jantan, yaitu 9.40 ± 1.82 hari pada IP1 dan 8.25 ± 1.50 hari pada IP2. Sehubungan dengan semakin lama masa oviposisi maka tingkat keperidian juga semakin semakin tinggi.
Hal ini
mengisyaratkan bahwa kultivar IP1 lebih sesuai untuk perkembangan tungau merah dibandingkan kultivar IP2.
Lebih sesuainya IP1 untuk perkembangan
tungau merah terlihat dari jumlah telur yang diletakkan tungau merah lebih banyak pada IP1 dibandingkan IP2. Tabel 2 Pengaruh kultivar IP1 dan IP2 terhadap sifat biologi imago tungau merah Masa perkembangan Kultivar IP1
IP2
(X ± SD)
n
(X ± SD)
t
db
P
n
Praoviposisi (hari)
1.16 ± 0.38
16
1.48 ± 0.57
10
1.72
24
0.05
Oviposisi (hari)
7.00 ± 2.37
16
5.00 ± 2.71
10
1.98
24
0.03
Pascaoviposisi (hari)
3.50 ± 2.48
16
4.40 ± 3.47
10
0.77
24
0.22
Lama jantan (hari)
9.40 ± 1.82
5
8.25 ± 1.50
4
1.01
7
0.17
Lama betina(hari)
11.66 ± 3.31
16
10.88 ± 3.66
10
0.56
24
0.29
Keperidian (butir/betina)
25.56 ± 8.61
16
10.00 ± 7.06
10
3.29
24
0.01
16
71.4
10
Persentase betina (%)
76.2
Perilaku imago betina pada masa praoviposisi adalah tidak terlalu aktif bergerak dan hanya menunggu saat oviposisi, sambil mencari tempat yang paling aman untuk meletakkan telurnya. Biasanya betina meletakkan telur satu persatu diantara tulang daun atau urat daun, hal ini dilakukan agar supaya telur tersebut dapat terlindungi dengan baik.
Telur yang baru diletakkan berbentuk bulat,
16 berwarna kuning pucat dan lama kelamaan menjadi kuning tua saat akan menetas. Berdasarkan hasil pengamatan di laboratorium, diperoleh bahwa jumlah telur yang dihasilkan relatif rendah.
Huffaker et al. (1969) menyatakan bahwa
perkembangan tungau relatif cepat, siklus hidup relatif singkat, tetapi tingkat keperidian lebih rendah bila dibandingkan dengan golongan artropoda yang lain. Imago betina tungau merah pada ubi kayu pahit dapat menghasilkan telur mencapai rata-rata 54.70 ekor/betina (Khoiri 2005), dan imago betina tungau merah jeruk menghasilkan telur rata-rata sebanyak 26.20 ekor/betina (Puspitarini 2005). Selama pengamatan yang dilakukan terhadap perilaku jantan yang akan melakukan kopulasi, maka jantan kerap kali sudah berada disamping betina untuk mendampingi betina yang masih berada pada masa istirahat yaitu teliokrisalis. Perilaku pendampingan ini disebut dengan precopulatory quarding. Akan tetapi selain mendampingi, jantan tersebut juga kadang kala menaiki bagian dorsal betina sehingga posisi jantan berada tepat di atas tubuh betina yang masih teliokrisalis, bahkan kadang kala jantan berusaha membantu betina untuk keluar dari eksuvianya dan langsung menyodorkan bagian aedeagus yaitu alat kopulasinya ke ovipositor betina. Cone (1985) menyatakan bahwa pada genus Tetranychus, betina pada fase deutonimfa atau yang disebut penultimate instar, memintal untaian benang sutra pada permukaan daun, sehingga benang sutra tersebut menutupi seluruh bagian tubuhnya dan diam tidak bergerak sampai pada stadia akhir. Pengembaraan jantan tersebut dituntun oleh jaring sutera yang ada di sepanjang dekat dengan betina atau yang menutupi tubuhnya dan dengan adanya zat pemikat (sex attractant) yang dimiliki oleh betina, maka jantan dapat dengan mudah untuk mendapati keberadaan betina tersebut. Itulah yang menyebabkan sehingga jantan dapat mengenali betina, walaupun masih dalam fase teliokrisalis belum menjadi imago. Cone (1985) menyebutkan ada dua komponen sistem komunikasi kimia yang dihasilkan oleh tungau betina pada stadia deutonimfa yaitu dapat menghasilkan jaring laba - laba dan feromon seks sebagai zat pemikat yang dapat menstimulasi perilaku pencarian jantan dan demikian juga dengan
17 jantan yang memiliki reseptor sebagai alat penerima ransangan dari feromon seks betina. Reproduksi tungau merah bersifat partenogenesis, betina dapat meletakkan telur walaupun tanpa dibuahi oleh jantan. Helle & Pijnaker (1985) menyatakan bahwa partenogenesis adalah reproduksi tungau secara umum dan ditemukan di tiap-tiap ordo acarina. Ada tiga tipe partenogenesis yaitu arhenotoki dimana keturunan yang dihasilkan adalah jantan, teliotoki bila keturunan yang dihasilkan adalah betina, sedangkan deuterotoki
adalah apabila yang dihasilkan ada
keturunan jantan dan betina. Masa pascaoviposisi tungau merah (setelah selesai meletakkan telur seluruhnya) adalah 3.50 ± 2.48 hari pada IP1 dan 4.40 ± 3.47 hari pada IP2. Betina pada masa pascaoviposisi ini cenderung diam, tidak aktif bergerak dan akan mati.
Parameter Neraca Hayati Parameter neraca hayati tungau merah yang diamati meliputi laju reproduksi kotor (GRR), laju reproduksi bersih (Ro), laju pertumbuhan intrinsik (r), dan laju pertumbuhan terbatas ( GRR adalah rata-rata jumlah keturunan betina per induk per generasi, sedangkan Ro menunjukkan jumlah keturunan betina yang berhasil jadi imago. Nilai Ro pada IP1 yaitu 6.149063 lebih tinggi dibandingkan IP2 yaitu 2.437075, hal ini berarti jumlah keturunan betina pada IP1 lebih tinggi dibandingkan IP2. Jika Ro lebih besar dari satu, maka populasi akan mengalami peningkatan, jika Ro sama dengan satu, maka populasi stabil, dan jika Ro lebih kecil satu, maka populasi mengalami penurunan. Dalam hal ini nilai Ro tungau merah adalah besar satu, maka populasi akan mengalami peningkatan. Laju pertumbuhan intrinsik (r) adalah laju pertumbuhan populasi pada keadaan lingkungan konstan, sumberdaya tidak terbatas serta kematian yang terjadi hanya disebabkan oleh faktor fisiologi (Birch 1948; Price 1997). Laju pertumbuhan intrinsik IP1 yaitu 0.112 betina per induk per hari lebih tinggi dibandingkan IP2 yaitu 0.0529 betina per induk per hari, hal ini dapat menunjukkan bahwa perkembangan populasi tungau merah pada IP1 dua kali lipat
18 dibandingkan IP2. Laju kelipatan populasi per hari (IP1 adalah 1.118513 dan IP2 adalah 1.054324. Rata-rata lama generasi (T) adalah waktu yang dibutuhkan sejak telur diletakkan hingga betina menghasilkan keturunanya pada IP1 dan IP2 adalah selama 16.216961 hari dan 16.8392921 hari. Waktu penggandaan (Dt) IP1 adalah selama 6.188814112 hari dan 13.10297128 hari pada IP2 (Tabel 3).
Tabel 3 Parameter neraca hayati tungu merah Tetranychus kanzawai pada kultivar IP1 dan IP2 Parameter
IP1
IP2
GRR
16.03125
8.236
Ro
6.149063
2.437075
R
0.112
0.0529
T
16.21696
16.83929
Dt
6.188814
13.10297
1.118513
1.054324
Laju pertumbuhan bersih (Ro) adalah rata-rata jumlah keturunan betina yang dihasilkan oleh seekor betina induknya atau kelipatan Tetranychus kanzawai adalah sebesar Ro kali pada generasi berikutnya (Begon et al. 1996). Ro dihitung dengan menggunakan persamaan Ro = ∑ lx mx. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai Ro Tetranychus kanzawai pada IP1 (6.149063) lebih tinggi dibandingkan pada IP2 (2.437075). Sehingga laju pertumbuhan tungau merah yang dipelihara pada IP1 lebih tinggi dibandingkan IP2.
Kelimpahan Populasi Tungau Merah Kelimpahan populasi tungau merah mencapai puncak tertinggi pada bulan Agustus (musim kemarau), dan semakin rendah pada bulan berikutnya yaitu bulan mulai September-November (musim penghujan).
Bulan Agustus merupakan
puncak musim kemarau, dimana populasi tungau merah dapat berkembang dengan baik, sedangkan bulan Oktober-November adalah musim penghujan
19 sehingga populasi tungau merah menurun. Secara umum perkembangan populasi tungau merah pada musim kemarau lebih baik dibandingkan pada musim penghujan, hal ini terjadi karena mekanisme air hujan dapat mengganggu populasi tungau merah, seperti tercuci oleh air hujan tersebut. Meskipun dalam hal ini tungau merah memiliki masa istirahat (krisalis) yang berfungsi sebagai pertahanan diri dari lingkungan luar yang kurang menguntungkan, namun mekanisme air
140 120 100 80 60 40 20 0
IP1 IP2
27Jun 9-J u 18- l Ju 29- l Jul 8A g 19 u Ag 29 u Ag u 8-S e 18- p Sep 27Sep 7O k 22 t Ok 31 t O 10- kt N 20- ov No 30- v No v
Individu/daun
hujan yang turun terus menerus dapat menurunkan populasi tungau merah.
Pengamatan Gambar 1 Perbandingan kelimpahan populasi tungau merah (telur, nimfa, imago) pada kultivar IP1 dan IP2 Populasi tungau merah pada kultivar IP1 dan IP2 yang berada pada lokasi yang sama menunjukkan pola fluktuasi populasi yang relatif sama, namun tingkat kelimpahan populasinya berbeda sangat nyata. Pada awal pengamatan, populasi tungau merah masih relatif rendah yaitu 4.1 ekor/daun pada IP1 dan 2.7 ekor/daun IP2. Puncak populasi tertinggi terjadi pada pertengahan bulan Agustus, yaitu mencapai 56.72 ekor/daun pada IP1 dan 115.60 ekor/daun pada IP2. Penurunan populasi tungau merah terjadi mulai bulan September, hingga pada bulan November dan sama sekali tidak dijumpai lagi populasi tungau merah baik pada IP1 dan IP2 sehingga jumlah populasi sama dengan nol. Perubahan kelimpahan
20 populasi tungau merah tampaknya sangat terkait dengan perubahan cuaca/iklim dari musim kemarau ke musim penghujan.
Tabel 4 Analisis ragam pengukuran berulang tungau merah Tetranychus kanzawai pada dua kultivar IP1 dan IP2
Analisis
F
db
P
Kultivar
22.87
1,98
<0.001
Waktu
185.27
1,15
<0.001
Waktu*Kultivar
11.18
1,15
<0.001
Hasil pengamatan di lapang diketahui bahwa populasi tungau merah pada IP2 secara umum lebih tinggi dibandingkan pada IP1 (Gambar 1) dan berdasarkan hasil analisis ragam pengukuran berulang juga terdapat pengaruh yang nyata antara kultivar terhadap kelimpahan populasi tungau merah. Kelimpahan populasi tungau merah pada kultivar IP2 secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kelimpahan populasi tungau merah pada IP1 (F= 22,87; db = 1, 98; P < 0.001). Demikian juga antar waktu pengamatan terdapat pengaruh yang nyata terhadap kelimpahan populasi tungau merah. Pada waktu pengamatan di musim kemarau populasi tungau merah tinggi, namun pada waktu pengamatan musim hujan populasi tugau merah sangat rendah (F=185.27; db=1,15; P=<0.000). Demikian juga halnya dengan nteraksi antar kedua analisis yaitu waktu dan kultivar, juga terdapat pengaruh nyata (F=11.18; db=1,15; P=<0.001) (Tabel 4). Pada satu waktu tertentu populasi tungau merah pada kultivar IP1 lebih tinggi dari pada IP2, namun pada waktu pengamatan yang lain populasi tungau merah pada IP1 jadi lebih rendah. Periode pengamatan dari 28 Juni sampai 29 Agustus, populasi tungau merah pada IP1 lebih tinggi, namun pada periode pengamatan berikutnya yaitu dari 29 Juli sampai akhir November, populasi tungau merah pada IP1 jadi lebih rendah.
21 Lebih tingginya populasi tungau merah pada IP2 daripada IP1 ini tidak konsisten dengan hasil penelitian neraca hayati sebelumnya, yang laju pertambahan intrinsik (r) lebih tinggi pada IP1 daripada IP2.
Perbedaan
kelimpahan populasi tungau merah pada IP1 dan IP2 yang diteliti tampaknya berhubungan dengan adanya kehadiran arthropoda pada kultivar tersebut. Berdasarkan hasil analisis ragam pengukuran berulang, kelimpahan populasi arthropoda pada IP1 secara nyata lebih tinggi dibandingkan kelimpahan arthropoda pada IP2 (Tabel 5).
Sehingga dalam hal ini, tampaknya ada
interferensi arthropoda lain terhadap perkembangan populasi tungau merah pada kultivar IP1 di lapangan. Adapun jenis arthropoda lain yang ditemukan pada tanaman jarak pagar ini antara lain adalah kelompok predator, kelompok tungau fitofag, dan kelompok serangga hama. Selain arthropoda, tindakan agronomis juga dapat mempengaruhi kelimpahan populasi tungau merah tersebut di lapang, salah satunya adalah teknik penyiangan gulma.
Lahan jarak pagar IP1 jumlah dan jenis gulmanya lebih
banyak dibandingkan IP2.
Adapun gulma yang paling dominan adalah:
Ageratum conyzoides, Borreria allata, Mimosa invisa, Cleome aspera, Widelia sp. Effendi et al (2009) menyatakan bahwa keberadaan Borreria allata, Cleome aspera, dan Widelia sp dapat menjadi inang dan tempat bersarang serangga hama tanaman pemakan daun. Sehingga tampaknya serangga hama yang ada pada gulma tersebut juga dapat berpindah ke daun tanaman jarak pagar yang ada di sekelilingnya dan mengakibatkan serangga hama pada IP1 menjadi lebih banyak dibandingkan pada IP2.
Selain itu, perbedaan morfologi daun juga dapat
mempengaruhi populasi tungau merah. Hasil pengamatan pada daun kultivar IP1, bentuk daun bulat dan tulang menjari, warna daun hijau, sedangkan pada IP2 bentuk ujung daun meruncing, tulang daun menjari, dan berlekuk dan bergelombang serta warna daun hijau tua. Sehingga perbedaan morfologi daun jarak pagar ini kemungkinan juga dapat mempengaruhi ketertarikan tungau dalam hal preferensi inang. Bentuk daun jarak yang lebih runcing, dengan tepi daun agak berlekuk-lekuk dan bergelombang serta tulang daun menjari tampaknya lebih disukai oleh tungau merah dibandingkan daun jarak pagar yang bulat.
22 IP1
IP2 Pucuk
Pucuk
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
Individu/daun
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
Daunsedang
Telur Pradewasa Imago Total
Daunsedang
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
180
DaunTua
160 180
140
Daun tua
120
140
100 Individu/daun
160
120
Individu/daun
80
100
60
80
40
60
20
40
0
27-Jun 9-Jul 18-Jul 29-Jul 8Agu 19Agu 29Agu 8-Sep 18-Sep 27-Sep 7Okt 22Okt 31Okt 10-Nov 20-Nov 30-Nov
20
30-Nov
20-Nov
31 Okt
10-Nov
7 Okt
22 Okt
27-Sep
8-Sep
18-Sep
29 Agu
19 Agu
29-Jul
8 Agu
9-Jul
18-Jul
27-Jun
0
Pengamatan
Pengamatan
Gambar 2 Kelimpahan populasi tungau merah (telur, nimfa, imago) pada daun pucuk, sedang dan tua pada kultivar IP1 dan IP2.
23 Selain pengamatan antar kultivar IP1 dan IP2, pengamatan kelimpahan populasi tungau merah juga dilihat pada beberapa bagian daun yaitu daun pucuk, daun sedang dan daun tua. Dari hasil pengamatan diperoleh bahwa kelimpahan populasi tungau merah lebih tinggi pada daun sedang-tua, dibandingkan daun pucuk (Gambar 2). Hal ini disebabkan oleh karena tungau merah lebih menyukai daun yang relatif tua. Deciyanto et al (1991) menyatakan bahwa tungau merah menyerang daun-daun muda maupun yang tua (relatif tua) dengan cara menghisap cairan pada jaringan epidermis daun.
Perbedaan morfologi daun dapat
mempengaruhi tingkat preferensi inang. Struktur jaringan tanaman yang berbeda pada setiap inang, kultivar yang berbeda, dan bagian permukaan atas atau bawah daun dapat mempengaruhi tingkat toleransi (Huffaker et al 1969).
Nutrisi
tanaman juga sangat mempengaruhi kehidupan tungau, pada musim kering tanaman memiliki kualitas nutrisi yang baik, sehingga membuatnya cocok untuk kehidupan tungau. Hasil pengamatan di lapang pada kultivar IP1 dan IP2 menunjukkan bahwa stadia telur hampir selalu dijumpai pada setiap bagian daun (pucuk, sedang dan tua) dan dengan proporsi tertinggi adalah telur disusul kemudian oleh stadia nimfa dan imago (Gambar 2). Kondisi ini umumnya terjadi karena stadia telur belum bergerak, belum bersaing dalam hal makan, ruang gerak (patch) sedangkan pada masa pradewasa dan imago ada banyak faktor yang mempengaruhinya seperti persaingan makanan, suhu, predator, ruang hidup, keberhasilan metamorfosa, sehingga kematian (mortalitas) cukup tinggi. Koloni tungau merah juga lebih banyak dijumpai pada bagian pangkal permukaan bawah daun (dekat pangkal daun).
Reddall et al. (2004) dari hasil
penelitiannya menyatakan bahwa tungau merah lebih menyukai bagian pangkal daun dari pada ujung daun karena kandungan klorofil daun pada bagian pangkal daun lebih tinggi dari pada bagian ujung daun. Tungau menyebabkan kerusakan yang tinggi jika menyerang pangkal daun karena akan sangat berpengaruh pada fisiologi daun tersebut sehingga menyebabkan transpirasi, jumlah stomata, fotosintesis, isi klorofil, akan menurun dengan cepat dibanding dengan yang diserang adalah bagian ujung daun.
24 Kelimpahan Populasi Arthropoda Lainnya Selama penelitian berlangsung, selain tungau merah ditemukan beberapa jenis arthropoda lainnya.
Arthropoda tersebut dapat digolongkan kedalam
kelompok predator, tungau fitofag, dan serangga hama.
Adapun golongan
predator yang ditemukan adalah : tungau predator Phytoseiidae, kumbang predator Stethorus, Scolothrips dan Coccinellidae, serta laba-laba. Sedangkan tungau fitofag yang ditemukan adalah : tungau kuning (Tarsonemidae), tungau koma (Eriophyidae), dan tungau acari (Acaridae). Sedangkan serangga hama yang ditemukan adalah : kutu tempurung (Megapulvinaria maxima), kutu putih, kutu daun dan thrips. Kelimpahan populasi arthropoda pada tanaman jarak pagar kultivar IP1 lebih tinggi dibandingkan kultivar IP2. Berdasarkan hasil analisis ragam pengukuran berulang terhadap arthropoda tersebut, maka dapat diketahui adanya pengaruh nyata antara kultivar IP1 dan IP2 terhadap kelimpahan populasi arthropoda (Tabel 5).
Tabel 5 Hasil analisis ragam pengukuran berulang terhadap arthropoda pada tanaman jarak pagar IP1 dan IP2 Arthropoda
F
db
P
Phytoseiidae
0.103
1, 98
0.749
Tarsonemidae
43.82
1, 98
< 0.001
Eriophyidae
19.27
1, 98
< 0.001
Acari
10.75
1, 98
< 0.001
132.79
1, 98
< 0.001
Kutu putih
1.318
1, 98
0.254
Kutu daun
86.22
1, 98
< 0.001
Thrips
32.11
1, 98
< 0.001
Kutu tempurung
Adapun jenis arthropoda lain yang ditemukan pada tanaman jarak pagar dapat digolongkan kedalam kelompok predator, kelompok tungau fitofag, dan kelompok serangga hama.
25 Kelompok predator. Survei kelimpahan populasi tungau predator dan predator lainnya dilaksanakan bersamaan dengan survei kelimpahan merah.
tungau
Meskipun jenis predator yang ditemukan cukup banyak, namun
kelimpahannya cukup rendah, yaitu hanya rata-rata seekor predator tiap daunnya. Tungau predator Phytoseiidae ini adalah predator dari
tungau merah
(Tetranychidae). Fernando (1998) menyatakan bahwa Amblyseius californicus McGregor (Acari: Phytoseiidae), merupakan predator utama Tetranychus urticae tidak hanya pada strawberri, tetapi pada berbagai jenis tanaman budidaya.
1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
IP1 IP2
27 -Ju n 9-J u 18 l -Ju 29 l -Ju 8A l 19 gu A 29 gu Ag 8-S u 18 ep -S 27 ep -Se p 7O 22 kt O 31 kt O 10 kt -N 20 ov -N 30 ov -N ov
Individu/daun
Phytoseiidae
Pengamatan Gambar 3 Kelimpahan populasi Phytoseiidae pada dua kultivar IP1 dan IP2 Selama penelitian berlangsung predator Phytoseiidae dapat ditemukan baik pada musim kemarau maupun penghujan. Ferrera (2007) menyatakan bahwa Phytoseoulus longipes juga memiliki kemampuan berkembang selama periode dingin. Pada musim hujan dimana populasi tungau merah sangat rendah, namun Phytoseiidae ini masih ditemukan ada di daun jarak pagar tersebut.
Hal ini
berhubungan dengan sifat predator Phytoseiidae yang generalis dimana predator tersebut tidak hanya memangsa Tetranychidae tetapi juga tungau fitofag lain seperti Eriophyidae, banyak jenis kutu tanaman, serta telur-telur thrips sehingga
26 bisa mengatur populasi mangsanya sendiri untuk bisa terus bertahan hidup, ditengah populasi tungau merah yang rendah (McMurtry 1985). Walaupun Phytoseiidae ditemukan sepanjang penelitian berlangsung, namun tingkat korelasinya dengan tungau merah rendah, yang ditunjukkan oleh nilai korelasi r yang rendah pada IP1 dan IP2 (Tabel 6), dan berdasarkan analisis ragam berulang kelimpahan tungau predator Phytoseiidae pada IP1 tidak berbeda nyata dengan IP2 (F=0.103; db=1,98; P=0.749). Tidak berbedanya kelimpahan populasi pada IP1 dan IP2 ini tampaknya dipengaruhi oleh sifat tungau predator Phytoseiidae yang generalis.
Tabel 6 Nilai korelasi r antara kelimpahan tungau merah dan Phytoseiidae Varietas
IP1
IP2
Bagian Tanaman
r
P
Pucuk
- 0.182
0.499
Muda
- 0.212
0.43
Tua
- 0.382
0.144
Pucuk
- 0.061
0.824
Muda
0.182
0.472
Tua
- 0.170
0.572
Phytoseiidae ditemukan hampir di semua bagian daun yaitu daun pucuk, daun sedang, dan daun tua, akan tetapi popuasinya lebih tinggi pada daun tua dibandingkan daun pucuk (Gambar 4).
Hal ini juga berhubungan dengan
keberadaan mangsanya yang lebih banyak pada daun tua dibandingkan daun pucuk, dimana tungau merah dan serangga-serangga hama lebih banyak pada daun tua dibandingkan daun pucuk.
27 IP1 Pucuk Daun sedang Daun tua
1
Individu/daun
0.8 0.6 0.4 0.2 0
IP2 1 Individu/daun
0.8 0.6 0.4 0.2 0 27- 9-Jul 18- 29- 8 19 30 8- 18- 27- 7 22 31 10- 20- 30Jun Jul Jul Agu Agu Agu Sep Sep Sep Okt Okt Okt Nov Nov Nov Pengamatan
Gambar 4 Kelimpahan populasi Phytoseiidae pada daun pucuk, daun sedang pada kultivar IP1 dan IP2 Selama pengamatan sampel dari lapangan pernah ditemukan telur dan imago serangga predator Neuroptera, tetapi hanya satu satu kali pengamatan yaitu satu butir telur dan seekor imago Neuroptera. Huffaker & McMurti (1969) ordo Neuroptera termasuk musuh alami tungau merah. Kelimpahan populasi predator Stethorus selama penelitian juga relatif rendah, dan tidak terdapat pada daun pucuk, hanya sedikit pada daun sedang dan tua. Fernando (1998) menemukan bahwa Stethorus punctillum (Coleoptera; Coccinellidae) memangsa Tetranychus urticae dan berasosiasi dengan tungau merah pada waktu populasinya tinggi. Stethorus ini juga tetap ada ditemukan
28 sepanjang pengamatan, walaupun dalam jumlah yang sangat kecil. Huffaker et al. (1969), van de Vrie et al. (1972) apabila populasi mangsa rendah di areal pertanaman maka Stethorus seringkali berada di sekitar pertanaman utama.
Kelompok tungau fitofag. Tungau fitofag yang ditemukan pada tanaman jarak pagar adalah tungau kuning (Tarsonemidae), tungau koma (Eriophyidae), dan tungau Acaridae.
I n d iv id u / d a u n
A 16 14
IP 1
12 10
IP 2
8 6 4 2 0
I n d iv id u / d a u n
B 6 0 5 0 4 0 3 0 2 0 1 0 0
v o
v 30
-N
o
v 20
-N
o
kt O
O
-N 10
kt 31
O
ep
kt 22
7
ep
-S 27
p
-S
e
18
S
gu
8-
A
A
gu 29
A
gu
19
-J
ul 8
29
l Ju
-J 18
9-
-J 27
ul
5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
un
In d iv id u /d a u n
C
P e n g a m a ta n
Gambar 5 Kelimpahan populasi tungau fitofag pada dua kultivar jarak pagar IP1 dan IP2: Tarsonemidae (A); Eriophyidae (B); Acari (C)
29 Kelimpahan populasi tungau fitofag pada IP1 lebih tinggi dibandingkan IP2 dan terdapat pengaruh nyata antara kultivar IP1 dan IP2 terhadap kelimpahan populasi tungau fitofag (Tabel 5). Berdasarkan hasil analisis ragam pengukuran berulang, kelimpahan populasi tungau fitofag (Tarsonemidae, Eriophyidae, dan Acari) pada kultivar IP1 secara nyata lebih tinggi dibandingkan pada IP2 (F=43.82; db=1,98; P<0.001), (F=19,27; db=1,98 ; P< 0.001), (F=10.75; db=1, 98; P< 0.001). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, daun yang terserang tungau kuning ini bentuknya menjadi tidak normal.
Beberapa tungau Tarsonemidae
menyebabkan kerusakan tunas, bunga, daun menjadi kaku, berkerut pada daging lunak dan jaringan yang sedang tumbuh
(Zhang 2003).
Eriophyidae dapat
menyebabkan abnormalitas pada tanaman seperti puru, daun menggulung, menyebabkan kerdil, seperti sapu, merusak organ reproduksi dan puru dan juga karat pada buah yang sangat nyata dan merupakan indikasi dari kehadiran tungau ini, bahkan bisa menjadi vektor virus yang penyebarannya dengan angin (Zhang 2003). Walaupun kajian untuk menilai tingkat kerugian akibat serangan tungau ini belum pernah dilaporkan di Indonesia, namun melihat gejala yang ditimbulkan pada tingkat yang tinggi diperkirakan akan menyebabkan kerugian secara ekonomi yang serius seperti oleh kerusakan yang disebabkan oleh Tetranychidae.
Kelompok Serangga hama.
Serangga hama yang ditemukan pada
penelitian ini adalah kutu tempurung, kutu putih, kutu daun dan trips (Gambar 6). Populasi serangga hama ini berfluktuasi selama masa penelitian. Berdasarkan hasil analisis ragam pengukuran berulang, kelimpahan populasi kutu tempurung, kutu daun dan thrips pada kultivar IP1 lebih tinggi dibandingkan pada IP2 berturut-turut sebagai berikut (F=132.79; db=1,98; P<0.001), (F=86.22; db=1,98; P<0.001), (F32.11; db=1,98; P<0.001). Namun populasi kutu putih pada IP1 tidak berbeda nyata dibandinglan pada IP2 (F=1.318; db=1,98; P=0.254). Populasi kutu juga berfluktuasi selama musim kemarau dan musim hujan.
30 A IP 1
I n d iv id u / d a u n
40 35 30 25 20 15 10 5 0
IP 2
B
I n d iv iu / d a u n
16 14 12 10 8 6 4 2 0
C
In d iv id u /d a u n
8 6 4 2 0
In d iv id u /d au n
D
2 1 .5 1 0 .5
ov
ov
-N 30
ov
-N 20
kt
-N 10
kt
O 31
kt
O
O 7
22
ep
ep
-S 27
p
-S
18
gu A
Se
8-
gu 29
gu
A 19
ul -J
A 8
29
l
ul -J
Ju 9-
18
27
-J
un
0
P engamatan
Gambar 6 Kelimpahan populasi serangga hama pada kultivar IP1 dan IP2: Kutu tempurung (A), Kutu putih (B), Kutu daun (C), Trips (D)
31 Selama penelitian, populasi serangga hama yang paling mendominasi adalah kutu tempurung, dengan populasi tertinggi 40 ekor/daun (IP1) dan10 ekor/daun (IP2). Puncak populasi kutu putih terjadi pada bulan Agustus mencapai 16 ekor/daun pada IP1 dan 10 ekor/daun pada IP2. Populasi kutu daun juga hanya tinggi pada musim kemarau dan semakin menurun pada musim hujan, demikian juga dengan thrips.
Persaingan tempat tinggal (patch) dan juga persaingan
makanan antara tungau merah dengan arthropoda yang ada pada patch yang sama, dapat menjadi gangguan bagi perkembangan tungau merah pada IP1 di lapangan, sehingga interferensi arthropoda pada IP1 lebih nyata, sedangkan pada IP2 interferensi arthropoda tidak berpengaruh nyata terhadap perkembangan tungau merah yang pada kultivar IP2 di lapangan.
32 KESIMPULAN Kultivar jarak berpengaruh nyata terhadap beberapa parameter hayati tungau merah seperti periode perkembangan larva, lama stadia protonimfa, lama stadia teliokrisalis, periode oviposisi, dan keperidian. Secara umum kultivar IP1 lebih sesuai bagi perkembangan tungau merah yang ditunjukkan oleh nilai laju pertumbuhan intrinsik (r) yang lebih tinggi. Kelimpahan populasi tungau merah pada kultivar IP2 lebih tinggi dibandingkan pada kultivar IP1, terutama sepanjang akhir bulan Juli hingga akhir Agustus.
Hal ini diduga berkaitan dengan keberadaan artropoda lain, yang
dibuktikan dengan kelimpahan arthropoda lain yang lebih tinggi pada IP1.
33 DAFTAR PUSTAKA
Asbani N, Amir AM, Subiyakto. 2007. Inventarisasi hama tanaman jarak pagar Jatropha curcas L. Di dalam: Prosiding Lokakarya II Status Teknologi Tanaman Jarak Pagar Jatropha curcas L. Bogor 29 Nopember 2006. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Birch LC. 1948. The intrinsic rate of natural increase of an insect population. J Anim Ecol 23:513-524. Cone WW, McDonough LM, Maitlen JC, Burdajewics S. 1971. Pheromone studies of two spotted spider mite, Tetranychus urticae Koch. I. Evidence of sex pheromon. J Econ Entomol 64:355-358. Cone WW. 1985. Mating and chemical communication. Di dalam : Helle W, Sabelis MW, editor. Spider Mites Their Biology, Natural Enemies, and Control. Vol 1A. Tokyo: Elsevier. hlm 243-251. Crooker A. 1985. Embriology and juvenile development. Di dalam : Helle W, Sabelis MW, editor. Spider Mites Their Biology, Natural Enemies, and Control. Vol 1A. Tokyo: Elsevier. hlm 148-170. DeBoer R. 1985. Reproductive barriers. Di dalam: Helle W, Sabelis MW, editor. Spider Mites Their Biology, Natural Enemies, and Control. Vol 1A. Tokyo: Elsevier. hlm 193-199. Deciyanto S, Amir M, Trisawa IM, Harijanto S. 1989. Studi biologi dan perkembangan hama tungau tetranychus sp. (Tetranychidae; Acarina) pada tanaman mentha. Penb. Penelitian Tanaman Industri. 15(1): 9-14. Deciyanto S, Trisawa IM, Adriani RR. 1991. Studi beberapa inang hama tungau (Tetranychus sp) asal tanaman Mentha sp. Pemb. Penelitian Tanaman Industri. 17(2):48-55. Evans G. 1998. Principles of Acarology. Dublin:CAB International. Effendi, DS, Djauhariya E, Tjokrowardojo AS. 2009. Teknologi Jarak Pagar Menjawab Tantangan Krisis Energi. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Ferrero M, Gilberto J. de Moraes, Serge Kreiter, Marie-Stéphane Tixier, Markus Knapp. 2007. Life tables of the predatory mite Phytoseiulus longipesfeeding on Tetranychus evansi at four temperatures (Acari: Phytoseiidae, Tetranychidae). Exp Appl Acarol 41:45 – 53.
34 Fernando GM, Jose Enrique GZ. 1999. Bioogical control of Tetranychus urticae (Acari:Tetranychidae) with naturally occurring predators instrawberry plantings in Valencia, Spain. Exp Appl Acarol 23;487-495. Gerson U. 1985. Webbing. Di dalam: Helle W, Sabelis MW, editor. Spider Mites Their Biology, Natural Enemies, and Control. Vol 1A. Tokyo: Elsevier. hlm. 223-230. Gerson U, Smiley RL, Ochoa R. 2003. Mites (Acari) for Pest Control. USA: Blackwell Sciece. Hambali E, Suryani A, Dadang, Hariyadi, Hanafie H, Imam KR, Rivai M, Ihsanur M, Suryadarma P, Tjitrosemito S, Soerawidjaja TH, Prawitasari T, Prakoso T, Purnama W. 2006. Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodisel. Jakarta: Penebar Swadaya. Hasnam & Z. Mahmud. 2005. Panduan Umum Perbenihan Jarak Pagar (Jatropha curcas L.). Pusat Penelitian & Pengembangan Perkebunan. Bogor. Helle W, Sabelis MW. 1985. Spider Mites Their Biology, Natural Enemies, and Control. Vol 1A. Tokyo: Elsevier. Helle W, Pijnaker LP. 1985. Parthenogenesis, chromosomes, and sex. Di dalam Helle W, Sabelis MW, editor. Spider Mites Their Biology, Natural Enemies, and Control. Vol 1A. Tokyo: Elsevier. hlm129-148. Herrera JM, Sidhuraju P, Francis G, Ortiz GD, Becker K. 2005. Chemical composition, toxit/antimetabolic constituents, and effect of different treatments on their levels, in four provenances of Jatropha curcas L. from Mexico. Food Chemistry 96: 80 – 89. Tokyo: Elsevier. [TEEAL-2008] Project, Albert R man library. Cornel University. Huffaker CB, Van de vrie M, McMurtry JA. 1969. The ecology of tetranychid mites and their natural control. Ann Rev Entomol 14:125-174. Kalshoven LGE. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Van der Laan PA, penerjemah; Jakarta: PT Ichtiar Baru-Van Hoeve. Karmawati E. 2006. Jarak pagar (Jatropha http://www.perkebunan.litbang.deptan.go.id. [1 April 2008].
curcas).
Khoiri, MR. 2005. Tetranychus kanzawai (ACARI:TETRANYCHIDAE): Biologi dan Populasinya pada Tanaman Ubi Kayu di Bogor. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
35 Krantz GW. 1978. A Manual of Acarology. Ed ke-2. Corvalis (AS): Oregon State University Book Stores, Inc. Lincoln RJ, Boxshall GA, Clark PF. 1982, A Dictionary of Ecology, Evolution and Systematicts. Cambridge: Cambridge University Press. Luntungan HT, et al. 2009. Teknologi Jarak Pagar Menjawab Tantangan Krisis Energi. Bogor: Pusat Penelitin dan Pengembangan Perkebunan. McMurtry JA. 1985. Citrus. Di dalam: Helle W, Sabelis MW, editor. Spider Mites Their Biology, Natural Enemies, and Control. Vol 1B 339-347. Tokyo: Elsevier. Price PW. 1997. Insect Ecology. Third Edition. New York. John Wiley and Sons Inc. Prihandana R, Hendroko R. 2006. Petunjuk Budi Daya Jarak Pagar. Jakarta : PT. Agro Media Pustaka. Prihandana R, Hambali E, Mujdalipah S, Hendroko R. 2007. Meraup Untung dari Jarak Pagar. Jakarta: PT Agro Media Pustaka. Puspitarini RD. 2005. Biologi dan ekologi tungu merah jeruk Panonychus citri (McGregor) (Acari: Tetranychidae) [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Reddal A, Sadras VO, Wilson LJ, Gregg PC 2004. Physiological responses of cotton to two spotted spider mite damage. Crop Sci 44: 835 – 846. Rumini R, Sartiami D, Karmawati E. 2009. Kutu tanaman (Hemiptera: Coccidea) dan musuh alaminya pada tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L). Di Dalam : Prosiding Lokakarya Nasional IV, Akselerasi Inovasi Teknologi Jarak Pagar Menuju Kemandirian Energi, Malang, 6 November 2008. Malang: Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Sonneveld T, Wainwraight H, Labuschagne L. 1996. Development of two spotted spider mite on strawberry and rasphberry cultivars. Ann Appl Biol 129: 405 – 413. Tarumingkeng R. 1992. Dinamika Pertumbuhan Populasi Serangga. Bogor: IPB Press. Van de Vrie M, McMurty JA, Huffaker CB. 1972. Biology, ecology, and pests status and host-plant relations of tetranychids. Hilgardia 41(13):343-432.
36 Wilson LJ, Bauer LR. 1996. Phytophagous thrips as facultative predators of twospotted spider mites (Acari; Tetranychidae) on cotton in Australia. Bul of Ent Research 86: 297 – 305. Wilson LJ, Morton R. 1993. Seasonal abundance and distribution of Tetranychus urticae (Acari: Tetranychidae) on cotton in Australia. Bul of Ent Research 83: 297 – 305. Zhang ZQ. 2003. Mites of Greenhouses, Identification, Biology and Control. Cambridge: CABI Publishing.