0191: I Made Sudiana dkk.
PG-229
BIOKONTROL HAMA WERENG BERBASIS ADJUVANT DAN ENZIM HIDROLISIS UNTUK MENDUKUNG KAWASAN EKONOMI NASIONAL KORIDOR 5 I Made Sudiana 1), I made Samudera 2), Roshicon Ubaidillah3), Atit Kanti4) 1 Pusat Penelitian Biologi-LIPI Cibinong Science Center, Jl. Raya Bogor Km 46, Cibinong Bogor 16911 Telepon (021) 3169197, e-Mail:
[email protected] 2 Balitbiogen, Departemen Pertanian Jl. Tentara Pelajar Bogor Disajikan 29-30 Nop 2012
ABSTRAK Teknologi biokontrol hama wereng dikembangkan berdasarkan hasil seleksi kapang-kapang entomopatogen dari wereng hijau (Nephottetix virescens) yang diisolasi dari wereng hijau diberapa daerah seperti Bali, Banyuwangi, Sulawesi dan Jawa Barat. Dari hasil kegiatan isolasi didapatkan 34 kapang yang termasuk dalam 3 marga yaitu Beuveria, Metarhizium, Paecillomyces, Aspergillus, Penicillium, Fusarium, dan Mucor. Tiga marga yaitu Beuveria, Metarhizium dan Paecillomyces termasuk dalam kelompok fungi entomopatogen, sedangkan marga yang lain kebanyakan hidup sapropfit. Afiliasi filogenetik dari kapang-kapang tersebut telah diketahui. Dari hasil analisis aktivitas enzim hidrolisis terutama protease dan kitinase dipilih satu kapang Beuaveria basiana WRBL1 yang diisolasi dari Nephottetix virescens. Selanjutnya dilakukan optimasi pertumbuhan miselia dan spora dari Beuaveria basiana WRBL1. Media yang terbaik untuk menghasilkan spora adalah oat meal, dan potato carrot agar. Berdasarkan atas data tersebut maka dilakukan formulasi media dengan SSF sehingga didapatkan jumlah spora yang siap digunakan untuk uji tantang (bioassay). Formula 1 dapat menghasilkan spora dengan jumlah tertinggi setelah 14 hari inkubasi. Telah dilakukan analisis aktivitas enzim hidrolisi dari kapang Beauveria basiana WRBL1 pada berbagai jenis adjuvant. Penggunaan adjuvant meningkatkan aktiviats enzim hidrolisis. Aktivitas enzim hidrolisis tergantung dari formula media, dan teknik kultivasi. Submerged culture (SC) meningkatkan aktivitas enzim protease, dan aktivitas enzim khitinase sedikit lebih tinggi pada kultur solid state fermentation (SSF). Adjuvant meningkatkan aktivitas enzim hidrolisis. Hasil analisis bioassay menunjukkan bahwa Formula 1 menurunkan populasi Nephottetix virescens sekitar 85 %. Peran adjuvant sangat penting untuk meningkatkan mortalitas serangga target Kata kunci: Beauveria bassiana WRBL1, Nephottetix virescens, entomopatogen, dan Formula 1.
I.
PENDAHULUAN
Program pemerintah untuk swasembada pangan terutama beras, akan sangat sulit tercapai, di samping akibat biaya produksi padi yang semakin mahal, juga disebabkan merebaknya beberapa penyakit padi endemik terutama penyakit tunggro, yang menyerang Kawasan Ekonomi Nasional Koridor 5, yang meliputi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Meraoke. Penyakit tunggro disebabkan oleh dua tipe virus yaitu rice tungro bacilliform virus (RTBV) and rice tungro spherical virus (RTSV). Kedua tipe virus ini memiliki karakter morfologi dan genetik yang berbeda. Di Asia virus ini menyebabkan kerugian sekitar petani $1,5 milyar US, dan di Indonesia telah menurunkan produksi padi sekitar 20 % per tahun. Kedua virus ini ditularkan oleh wereng hijau Green Leafhopper (GLH) Nephotettix virescens. Walaupun virus ini telah menyerang lebih dari 10 negara di Asia termasuk Indonesia, namun sampai sekarang belum ada metode yang paling efektif untuk menekan penyebaran virus yang mematikan ini. Penggunaan senyawa pestisida dari golongan organoklorin cukup efektif untuk menekan
serangga vektor, akan tetapi penggunaan pestisida tersebut sudah dilarang oleh pemerintah, karena bersifat persisten dan merusak ekosistem [1] (Sudiana & Abdulkadir, 1995). Di Pasar, sekarang banyak telah beredar biopestisida seperti BotaniGard®, Mycotrol®, dan Beauverin®, dengan harga yang tidak terjangkau petani, yang dibuat dari mikrobia entomopatogen. Mikrobia yang digunakan kebanyakan bukan dari mikrobia lokal, serta belum efektif menekan serangga vektor penyebab penyakit tunggro lokal. Pada penelitian ini akan diintroduksi tiga metode inovasi penurunan penyebaran virus tunggro yaitu melalui pengendalian populasi vektor penyebar virus (Nephotettix virescens), menggunakan mikrobia entomopatogen dari marga Beauveria, Metarhizium dan Paecylomyces yang bersifat entomopatogen, peningkatan efektivitas biopestisida melalui formulasi senyawa adjuvant komponen dari biopestisida, dan peningkatan kesehatan tanaman padi melalui inokulasi mikroba PGP (plant growth promoting) dari marga Bacillus, Alcaligenes dan Azospirillum. Inovasi teknologi hayati tersebut diajukan berdasarkan atas hasil-hasil penelitian pendahuluan yang telah dilakukan [,2,3,4,6,7] dan menemukan
PG-230
pentingnya mikroba fungsional dan mikrobia endofit pada tanaman untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit, seperti yang disebabkan oleh virus dan bakteri Liberobacter, dan Sudiana et al., [4] menemukan mikrobia PGP efektif menstimulasi pertumbuhan tanaman padi. Penelitian ini dibagi ke dalam 3 tahapan penelitian yaitu tahun pertama difokuskan kepada optimasi efektivitas enzim hidrolisis dari mikrobia entomopatogen menekan populasi Nephotettix virescens di laboratorium dan rumah. Secara spesifik penelitian ditujukan untuk mengetahui efektivitas penetrasi enzim hidrolisis dan mempelajari perubahan karakter fisiologi dan mengetahui mekanisme patogenitas mikrobia entomopatogen. Tahun kedua difokuskan kepada kajian efektivitas kombinasi antara inokulasi mikrobia PGP dan untuk menurunkan serangan virus rice tungro bacilliform virus (RTBV) dan rice tungro spherical virus (RTSV). Tahun ketiga dilakukan uji lapangan untuk mengetahui potensi dan efektivitas kombinasi kedua metode tersebut dalam mengurangi populasi Nephotettix virescens dan dampaknya terhadap produksi padi. Kontrol yang digunakan adalah biopestisida dari tanaman dan pestisida sintetik.
II. METODOLOGI Isolasi kapang entomopatogen Kapang entomopatogen diambil dari padi-padi yang sedang terserang wereng yaitu Bali, Banyuwangi, Sulawesi dan Jawa Barat. Wereng diambil menggunakan aspirator kemudian ditampatkan pada botol untuk dilakukan isolasi kapang di laboratorium. Isolasi kapang entomophatogen dilakukan mengikuti Chase et al. [8] dengan sedikit modifikasi. Wereng hijau dan wereng coklat dibersihan dengan akuadest steril, kemudian dipindahkan ke alkohol 70% selama 1 menit, dibilas dengan akuadest steril selama 1 menit, dicuci dengan sodium hipoklorit 5 % selama 30 detik, kemudian dicuci dengan akuadest steril selama 3 menit. Wereng kemudian dikeringkan diatas kertas saring steril. Wereng ditempatkan pada media oat meal. Kapang yang tumbuh dari wereng selanjutnya dipindahkan ke medium PDA, dan dilakukan pemurnian. Identifikasi kapang Identifikasi kapang dilakukan melalui analisis dari LSU ITS1 dan ITS2 [9]. Biomassa miselia yang tumbuh kemudian dipanen untuk diekstrasi DNA. Ekstraksi DNA dilakukan dengan reagen nucleon PHYTOpure (Amersham LIFE SCIENCE). Amplifikasi PCR dilakukan dengan cara mencampur 1 μl ekstrak genom DNA sebagai cetakan dengan 10 μl akuades steril, 12,5 μl GoTaq Green Master Mix (Promega), 0.5 μl DMSO dan 0,5 μl primer. Amplifikasi dilakukan dengan alat PCR TAKaRa PCR Thermal Cycler P650 (TAKARA BIO Inc.) yang diprogram dengan kondisi: denaturasi pada suhu 95⁰ C selama 3 menit, pengulangan sebanyak 35 siklus dari pembukaan untai DNA pada suhu 95⁰ C selama 30 detik, penempelan primer pada suhu 55⁰ C selama 30 detik, dan pemanjangan primer pada suhu 72⁰ C selama 1 menit. Perangkat primer pada situs ITS1, 5.8S dan ITS2 rDNA menggunakan primer ITS 4F 5’—TCC TCC GCT TAT TGA TAT GC – 3’ dan primer ITS 5R 5’ –GGA AGT AAA AGT CGT AAC AAG G -3’. Perangkat primer pada domain D1/D2 subunit besar rDNA menggunakan primer NL1F 5’-
0191: I Made Sudiana dkk.
GCATATCAATAAGCGGAAAAG-3’ dan primer NL4R 5’GGTCCGTGTTTCAAGACGG-3’. Pemilihan situs ITS1, 5.8S dan ITS2 didasarkan pada panjangnya daerah yang dianalisis yaitu 600 bp. Di samping itu daerah ITS1 dan ITS2 merupakan daerah variable yaitu daerah di mana mudah mengalami mutasi. Situs 5.8S merupakan salah satu daerah coding, tidak mudah mengalami mutasi. Dari kedua daerah ini memungkinkan untuk membuat basis data sekuen yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi suatu kapang sampai tingkat jenis [9] DNA yang teramplifikasi kemudian dimurnikan dengan metode PEG precipitation. Hasil PCR yang telah dimurnikan kemudian disekuensing. dengan mesin sekuenser ABI PRISM 3130 Genetic Analyzer. Data hasil sekuensing selanjutnya di trimming dengan menggunakan program MEGA 4 dan assembling dengan program BioEdit dan dikonfersi dalam bentuk FASTA format. Hasil sekuensing DNA tersebut kemudian di BLAST untuk mencari homologi secara on line di pusat basis data DNA di DDBJ (http://www.ddbj.nig.ac.jp) dan NCBI (http://www.ncbi.nlm.nlh.gov/). Penapisan kapang proteolitik dan kitinolitik Penapisan kapang kapang proteolitik dan kitinolitik dilakukan mengikuti [10,11]. Untuk pengujian kitinase menggunakan media dengan komposisi koloidal 1,5 % koloidal kitin, yeast extract 0.1 % dengan KH2PO4, 0.5 g MgSO4, 0.7 mg Na2,Ba4O7. 10H2O, 0.5 mg (NH4)6Mo7O24, .4H2O, 10.0 mg Fe2(SO4)3. 6 H2O, 0.3 mg ZnSO4. 7H2O, pH 5.5. Aktivitas enzim kitinase dinyatakan dalam unit yaitu µM N-acetyl glucosamine yang terbentuk dalam 1 jam pada suhu 37°C. Sedangkan untuk pengujian proteolitik dilakukan menggunakan medium gelatin 1,5 % dan kasein 1.5 % dan tripsin digunakan sebagai standar. Satu unit enzim protease dinayatakan dalam µM tripsin yang terbentuk dalam satu jam per ml enzim. Pengukuran aktivitas kitinase Aktivitas enzim kitinase ditentukan berdasarkan metoda sugar microassay [10] (Weathers, 1986), dengan menggunakan substrat 1 % (w/v) dalam 50 mMol bufer sodium asetat. Jumlah Nasetil-D glukosamin yang dibebaskan akibat hidrolisis dari substrat kolidal kitin. Senyawa N-asetil glukosamin diukur dengan menggunakan metoda asam dinitrosalisilat yang telah dimodifikasi [11] (Sudiana et al., 2004). Satu unit aktivitas enzim kitinase sebagai jumlah N-asetil-D-glukosamin (mMol) yang terbentuk per jam pada pH 5.0 suhu tertentu. Pengaruh temperatur terhadap aktivitas enzim kitinase Untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim kitinase. Larutan enzim diuji pada pH 5.0 dengan menggunakan bufer sitrat, kemudian suhu inkubasi diatur 20 sampai dengan 60 °C. Pengukuran protease Pengaukuran enzim protease dilakukan menguikuti modifikasi metoda Massaoud et al., 2010. Aktivitas protease diuji terhadap casein. Campuran 500 µl 0,6% casein dalam Tris mM (pH 8,0) dan 100 µl enzim diinkubasi selama 1 jam pada temperatur 2060°C. Reaksi dihentikan dengan penambahan 500 µl asam trichloroacetic 0,4 M. Setelah sentrifus, 200 µl supernatan dicampur dengan 1 ml sodium carbonate dan 200 µl reagen
0191: I Made Sudiana dkk.
PG-231
Bradford. Aktivitas 1 unit enzim ditetapkan sebagai jumlah enzim yang dibutuhkan untuk menguraikan 1µg tyrosine dari casein di dalam 1 ml volume reaksi per menit. Uji Konsentrasi Protein Analisa diawali dengan pembuatan larutan Bradford dan larutan bovine serum albumin (BSA). Larutan Bradford dibuat dengan cara berikut: sebanyak 100 mg coomasie brilliant blue G250 dilarutkan dalam 50 ml etanol 95%. Setelah itu 100 ml asam fosfat 85% (w/v) ditambahkan. Terakhir larutan diencerkan dengan akuadest sampai 1 liter. Larutan disaring menggunakan kertas saring dan diencerkan 4 kali. Larutan standar segar dibuat dengan menggunakan BSA. Sebanyak 100 mg BSA ditimbang dan ditambahkan 25 ml akuadest. Larutan dibiarkan larut perlahanlahan (tidak dikocok), setelah larut diencerkan sampai 50 ml. Konsentrasi akhir larutan stock untuk standar ini 2 mg/ml. Formulasi media untuk biokontrol Dasar formulasi media untuk biokontrol adalah media yang mampu menstimulasi pertumbuhan miselia dan memacu pembetukan spora kapang entomopatogen. Di samping formula juga harus memacu pembentukan ezim hidrolisis. Formula media yang akan digunakan harus tidak mahal. Enzim protease dan kitinase alah enzim induktif, sehingga formulasi media yang digunakan untuk substrat tumbuh juga mengandung senyawa yang memacu aktiviitas enzim protease dan kitinase. Substrat yang digunakan adalah oat meal, tepung dari padi yang dikecambahkan, tepung kerang, tepung jangkrik, tepung kedelai, dedak, ekstrak khamir dan mikroelement.
Table 1. Formula media untuk kapang entomopatogen
Keterangan F= formula Komposisi kimia oatmeals: protein 10,15 %, lipid 7.5 %, fiber 0.8 %, abu 1,54 %, pati dan gula 58 %, karbohidrat total 65 %. Tepung jangkrik mengandung protein 69.0 %, lemak 21,79 %, serat kasar 5,0 %, Ca 0,71 %, P 0,03 %, K 0.68 %, di samping juga mengandung (mg/g) asam aspartat 8,76, glutamate 5,98, serin 4,03, glisin 3,41, treonin 4,03, dan lain 3,77. Dedak mengandung (dalam g/100 g) lipid 8.7–18.9, protein 8.8–15.2, abu 4.2–7.7, total karbohidrat 22.2–44.8 dan serat 18.3–30.5 tasam perulat at 257–488 mg per 100 karotenoid sekitar 58.7–216 μg/100 g, dan asam aminonya adalah proline, histidine and threonine dan asam aspartat [12]. Inokulasi dan inkubasi media formula Kapang entomopatogen terseleksi ditumbuhkan pada media oatmeal, PCA, dan orange juice pada suhu 30°C. Dari hasil analisis ternyata media media oatmela yang paling baik. Kemudian 3 % spora (3.4 x 1010) spora ditambahkan kepada setiap media formula dalam erlenmeyer volume 5000 ml. Kultur diinkubasi pada inkubator Sanyo incubator. Aktivitas enzim hidrolisis diukur dari 1-22 hari. Rearing (pembiakan) serangga Pembiakan serangga N. virescens dilakukan di rumah kaca mengikuti Widiarta et al., [13]. Dua puluh pasang imago setelah periode praoviposisi dimasukkan ke dalam kurungan plastik mika berukuran 30 cm x 28 cm x 25 cm yang berisi bibit tanaman padi varietas ciherang umur 15 hari setelah sebar (HSS) sebagai sumber makanan. Pasangan serangga dibiarkan meletakkan telur selama seminggu, kemudian dipindahkan pada kotak yang lain untuk peneluran berikutnya. Dengan cara demikian didapat serangga dengan umur yang seragam dalam satu kurungan pemeliharaan. Untuk pengujian digunakan serangga imago 3 hari setelah berganti kulit.
No 1
Komposisi Tepung kedelai (%)
F1 10
F2 -
F3 -
F4 5
2
Tepung jangkrik (%)
1
0.5
0.5
0.5
3
Tepung kecambah padi (%)
67.39
-
-
-
4
Tepung padi
-
86.5
91.5
5
Ekstrak taoge (%)
4.1
3
81. 5 3
Bioassay Untuk penelitian bioassay serangga imago 3 hari setelah berganti kulit. Formula 1, Formula 2, Formula 3 dan Formula 4, dan Formula 1 pada berbagai jenis adjuvant seperti DMSO, CTAB, Tween, SDS, Triton X dan Rhamnolipid yang mengandung spora 3.4 x 104 sampai dengan 3,2 x 108 disemprotkan dengan alat khusus untuk pengujian biopestisida, mengikuti Widiarta et al., [13] Untuk masing-masing perlakuan digunakan 50 pasang imago. Jumlah serangga imago yang mati diikuti setiap hari.
3
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
6
Dedak (%)
5
10
10
-
7
Tepung kulit kerang (%) Ekstrak khamir (%)
10
-
-
-
0.5
-
-
-
9
Sukrosa (%)
2
-
5
-
10
Trace element (%)
0.01
-
-
-
8
Isolasi dan Seleksi Kapang Biokontrol Kegiatan isolasi kapang entomofatogen berhasil mendapatkan kapang-kapang yang menyerang atau saprofit pada Nepothettix virescens (Gambar 1). Kapang tersebut diambil dari wereng hijau dari tiga lokasi yaitu Bali, Banyuwangi, Cibinong, dan koleksi DEPTAN dari Sulawesi. Ada dua kelompok kapang yang tumbuh pada media PDA yaitu kelompok yang saprofit dan kelompok yang patogen. Kelompok saprofit umumnya dari marga Aspergillus, Penicillium, Fusarium dan Mucor (Gambar 2). Dan kelompok yang entomopatogen dari marga Beauveria, Metarhizium dan Paecilomyces [14] Kapang entomopatogen terlihat menyerang wereng hijau Nepothettix virescens mulai dari abodomen (Gambar
0191: I Made Sudiana dkk.
PG-232
2A), antena (Gambar 2 B), bagian kepala (Gambar 2C) dan bagian thorax (Gambar 2D).
(A)
(B)
(C) (D) Gambar 1. Kapang yang diisolasi dari Bali (A), Cibinong (B), Banyuwangi (C) dan Sulawesi (D)
( A)
( C)
(B)
(D )
Gambar 2. Wereng hijau Nepothettix virescens mulai dari abodomen (Gambar 2A), pangkal antena antena (Gambar 2 B), bagian antena (Gambar 2C) dan bagian kepala (Gambar 2D).
Aktivitas kitinase Aktivitas kitinase dari kapang-kapang entomopatogen sangat bervariasi (Table 2). Kapang kandidat agen biokontrol adalah kapang yang memiliki aktivitas enzim hidrolisis tertinggi.
0191: I Made Sudiana dkk.
PG-233
11 Tabel 2. Kapang-kapng yang terisolasi dari Wereng Hijau dan Wereng Coklat dan kemampuan enzim hidrolisisnya
No.
1
2
3
4
5
Kode
Teriden
Aktivitas
Aktivitas
isolat
tifikasi
protease
kitinase
sebagai
(Unit)
(Unit)
WRBL 1
Beuveri
7.2 ± 0.2
4.2 ± 0.2
Wereng
a
hijau, Bali
basiana
WRBL 2
Beuveri
Wereng
a
hijau, Bali
basiana
WRBL 3
Beuveri
Wereng
a
hijau, Bali
basiana
WRBL 4
Beuveri
Wereng
a
hijau, Bali
basiana
WRBL 5
Metarhi
Wereng
zium
hijau Bali
anisopil
5.3 ± 0.3
WRBL 6
Metarhi
Wereng
zium
hijau, Bali
anisopil
WRBN1
Metarhi
Wereng
zium
hijau,
anisopil
Banyuwa
ae
12
WRBN2
Metarhi
Wereng
zium
hijau,
anisopil
Banyuwa
ae
WRBN3
Beauver
Wereng
ia
hijau,
basiana
2.2 ± 0.2
4.2 ± 0.2
2.9 ± 0.2
5.2 ± 0.2
1.7 ± 0.4
hijau,
basiana
WRBN7
Penicilli
1.2 ± 0.2
1.1 ± 0.3
Wereng
um sp.
14
WRBN8
Aspergil
Wereng
lus sp.
1.5 ± 0.2
0.9 ± 0.2
1.1 ± 0.3
0.7 ± 0.2
1.2 ± 0.4
0.3 ± 0.1
3.2 ± 0.3
3.2 ± 0.2
4.1 ± 0.4
0.4 ± 0.3
3.7 ± 0.5
0.3 ± 0.1
1.7 ± 0.4
0.7 ± 0.2
hijau, Banyuwa ngi 15
4.2 ± 0.3
2.2± 0.4
WRCSC1
Fusariu
Wereng
m sp.
coklat Cibinong 16
2.9 ± 0.1
2.6 ± 0.2
WRCSC2
Mucor
Wereng
sp.
coklat Cibinong 17
2.9 ± 0.4
1.2 ± 0.4
2.2 ± 0.2
Beauver
Wereng
ia
coklat
basiana
Cibinong 18
3.2 ± 0.3
WRCSC3
WRCSC4
Aspergil
Wereng
lus
coklat
niger
Cibinong 19
WRCSC5
Beauver
Wereng
ia
coklat
basiana
Cibinong
WRBN4
Beauver
Wereng
ia
hijau,
basiana
ngi
ia
ngi
2.7 ± 0.5
ngi
Banyuwa
Beauver
Wereng
Banyuwa
Banyuwa 10
WRBN6
hijau,
ngi 9
basiana
1.1 ± 0.3
ngi
ngi 8
hijau,
3.7 ± 0.4
Banyuwa
3.2 ± 0.4
ae 7
ia
ngi
3.1 ± 0.3
ae 6
Beauver
Wereng Banyuwa
13 3.1 ± 0.2
WRBN5
4.3 ± 0.2
1.2 ± 0.3
20
WRCSC6
Peniceli
Wereng
um sp.
coklat Cibinong
0191: I Made Sudiana dkk.
PG-234
21
WRCSC7
Beauver
Wereng
ia
coklat
basiana
2.9 ± 0.2
2.1 ± 0.2
3.2 ± 0.4
2.1 ± 0.3
u, Bogor
Cibinong 22
WRCSC8
Paecilo
Wereng
myces
coklat
sp.
31
WRCSC9
Aspergil
Wereng
lus
coklat
niger
1.2 ± 0.2
WRDPT1
Beauver
Wereng
ia
coklat,
basiana
WRDPT2
Beauver
Wereng
ia
coklat,
basiana
4.3 ± 0.4
2.9 ± 0.5
3.9 ± 0.7
3.3 ± 0.2
Wereng
m sp.
WRDPT1
Fusariu
1.2 ± 0.4
1.2 ± 0.5
0
m sp.
1.8 ± 0.7
1.2 ± 0.6
Wereng
u, Bogor
WRDPT3
Aspergil
Wereng
lus sp.
2.1 ± 0.3
2.1 ± 0.5
34
WRDPT1
Fusariu
1
m sp.
Wereng coklat, Cimangg
WRDPT4
Penicilli
Wereng
um sp.
1,9 ± 0.2
0.3 ± 0.2
Cimangg u, Bogor WRDPT5
Beauver
Wereng
ia
coklat,
basiana
3.1 ± 0.5
2.3 ± 0.3
3.2 ± 0.3
2.1 ± 0.2
3.2 ± 0.2
2.2 ± 0.2
Cimangg u, Bogor WRDPT6
Beauver
Wereng
ia
coklat,
basiana
Cimangg u, Bogor WRDPT7
Beauver
Wereng
ia
coklat,
basiana
u, Bogor WRBL 1 mempunyai aktivitas khitinase dan protease yang tertinggi (Tabel 2). Hasil analisis dari LSU ITS 1 dan ITS 5 kapang tersebut teridentifikasi sebagai Beuveria basiana, kekerabatan filogeni dari biak tersebut terlihat pada Gambar 4.
coklat,
Cimangg
1.2 ± 0.7
Cimangg
u, Bogor
30
1.9 ± 0.2
coklat,
Cimangg
29
Fusariu
Cimangg 33
coklat,
28
WRDPT9
u, Bogor
u, Bogor
27
3.2 ± 0.5
coklat,
Cimangg 26
1.4 ± 0.5
u, Bogor 32
Bogor 25
sp.
Cimangg
0.8 ± 0.4
Cibinong 24
Mucor
Wereng coklat,
Cibinong 23
WRDPT8
Kekerabatan filogeni Posisi taksonomi dan filogeni dari Beauveria bassiana WRBL1 ialah Eukaryota; Fungi; Dikarya; Ascomycota; Pezizomycotina;Sordariomycetes; Hypocreomycetidae; Hypocreales; Cordycipitaceae; Beauveria; Beauveria bassiana (Gambar 3)
0191: I Made Sudiana dkk.
PG-235
(A)
(B)
(C )
Gambar 5. Pertumbuhan kapang Beauveria basiana WRBL1 umur 7 hari (A), 14 hari (B) dan 21 hari (C) pada media formula 1
Diketahui ada 3 teknologi untuk memproduksi spora untuk kapang Beuaveria yaitu solid state fermentation (SSF), submerged fermentation (SF) dan diphasic fermentation (DF). Ketiga teknologi ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. SSF memerlukan biaya yang lebih murah dibandingkan SF, akan tetapi kesulitannya pada pengontrolan kontaminasi, maka teknologi terakhir yang diperkenalkan adalah diphasic. Pada tahap berikutnya akan dilakukan optimasi teknologi SSF dan DF untuk mendapatkan jumlah spora yang lebih efektif.
Perbanyakan spora kapang WRBL1 Untuk mendapatkan spora dalam jumlah yang cukup besar 1010, maka dilakukan pengujian 4 jenis media yang meacu pembentukan sepora yaitu PCA (Potato Carrot Agar), oat meal dan juice (Gambar 4).
(A)
(B)
Gambar 4. Miselia dan spora dari Beuveria basiana WRBL1 pada medium oat meal (A), pada mesia oat meal dengan spora yang sangat dominan dan medium PCA (B)
Hasil pengujian menunjukkan media oatmeal adalah media yang paling memacu pembentukan spora (3.9 x 1010) spora per g media, dan medium PCA yaitu sekitar 2.6 x 109 (Gambar 4). Produksi massal spora Untuk menekan biaya produksi maka diperlukan formulasi media yang dapat memacu pembentukan spora dan stimulasi aktivitas enzim. Media yang dapat menghasilkan spora dalam jumlah banyak adalah media Formula 1 (Gambar 5).
Tabel 3. Aktivitas enzim protease dan kitinase pada media formula
N o
Enzim
F1
F2
F3
F 4
8,3 ± 1.1
5.1 ± 1.4
4.3 ± 1.3
3.8 ± 1.2
5.1 ± 3.1 ± 1.2 1.3 keterangan, F = formula
2.9 ± 1.1
3,91 ± 1.3
1
Protease
2
Kitinase
Aktivitas enzim protease (unit)
Gambar 3. Kekerabatan filogeni dari kapang WRBL 1 dengan isolat-isolat lain menggunakan Metarhizum anisopilae dengan sebagai out group berdasarkan analisis LSU ITS1
Aktivitas enzim protease dan khitinase dari medium formula Media formula1 menghasilkan aktivitas enzim proteolitik sekitar 8.3 ± 1.1 unit, dan khitinolitik sekitar 5.1 ± 1.2 unit. Aktivitas enzim tersebut sekitar 62 % lebih tinggi dibandingkan dengan formula yang lain (Tabel 3 dan Gambar 6). Komposisi media dapat berfungsi sebagai induktor untuk enzim kitinase dan proteinase.
10 5 0 0
2
4
6
10 14 18 22
Waktu inkubasi (hari)
Gambar 6. Produksi enzim kitinase pada media formula 1
0191: I Made Sudiana dkk.
Aktivitas Enzim kitinase Enzim kitinase diproduksi lebih lambat dibandingkan dengan enzim protease Aktivitas enzim kitinase (Gambar 7 dan 8).
6 4 2 0 0
2
4
6
10 14 18 22
Waktu inkubasi (hari)
Gambar 7. Aktivitas enzim protease dari WRBL1 pada media formula 1 pada berbagai suhu
Aktivitas enzim protein kasar dipengaruhi oleh suhu (Gambar 7). Suhu yang paling optimal adalah 40°C dan seikit menurun pada suhu yang lebih tinggi. Aktivitas enzim pada suhu 20°C adalah sekitar 43 % dari aktivitas optimumnya (Gambar 7). Sedangkan pada suhu 30°C aktivitasnya meningkat menjadi 78 % dibandingkan kondisi optimunya. Aplikasi biokontrol berbasis Beauveria basiana WRBL1 akan cukup baik pada kisaran suhu lingkungan sekitar 25-40°C. Ada 3 enzim protease yang diketahui yaitu pada Beuveria basiana yaitu endoproteases. aminopeptidase, carboxypeptidase [15]
(A)
Aktivitas kitinase (unit)
Aktivitas enzim protease (unit)
PG-236
4 3 2 1 0
20 25 30 35 40 45 50 55 60
Aktivitas 1 2 2 3 3 3 2 1 0 kitinase
Gambar 8. Aktivitas enzim kitinase pada berbagai suhu
Aktivitas enzim protease dan kitinase sangat penting dalam proses penetrasi spora atau hifa menuju homocoel (Gambar 9, 10), sehingga enzim ini sentral diperlukan oleh kapang entomopatogen [16]
( B)
Gambar 9. Ilustrasi dari morfologi serangga target dari biokontrol Beauveria basiana WRBL1. Rangka umum serangga (A), spora akan melekat pada bagian epiculticle (B), struktur cuticle dan hemolym yang menjadi target utama dari entomopatogen (Merzendorfer & Zimoch, 2003).
Gambar 10. Skema penertasi dari spora dari kapang entomopatogen pada serangga target. Penetrasi diawali oleh pembentukan appressorium yang akan menembus epicuticle, appressorium mebnetuk penetration peg, melewati culticle dan akhirnya sampai di haemolymph, selanjutnya blastopore berkecambah dan menghasilkan toksin beuverin atau neurotoksin [17]. Efektivitas biokontrol (LC50) tergantung kepada jumlah spora yang masuk ke dalam haemolymph dan virulensi dari toksin yang dihasilkan. Protein yang terdapat pada cuticle adalah resilin, a glycine- dan proline.
Aktivitas enzim hidrolisis pada sistem SC dan SSF
Teknik kultivasi berpengaruh terhadap aktivitas enzim yang dihasilkan selama pertumbuhan mikroba pada sistem produksi
0191: I Made Sudiana dkk.
PG-237
submerge culture (SC) dan solid state fermentation (SSF). Dari hasil analisis aktivitas enzim diketahui bahwa teknologi SC memacu aktivitas enzim proteolitik dibandingkan dengan SSF sekitar 20 %, sedangkan sistem kultivasi SSF meningkatkan aktivitas enzim khitinase sekitar 10 % (Gambar 11 dan 12).
Formul a1
Formul a2
Formul a3
Formul a4
SSF
5,56
4,93
4,71
4,69
SC
7,78
6,90
6,59
6,57
Gambar 11. Aktivitas enzim protease pada sistem produksi submerge culture (SC) dan solid state fermentation (SSF)
Axis Title
Perbandingan aktvitas enzim khitinase pada sistem SC dan SSF 5,00 0,00
Formula 1 Formula 2 Formula 3 Formula 4
SC
2,72
2,40
2,29
2,29
SSF
2,80
2,47
2,36
2,36
Aktivitas enzim (unit)
10,00 5,00 0,00
3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 NS
CT AB
Tw SD ee S n…
Trit on X
Formula 2 2,58 2,87 2,91 2,95 2,96 2,92 Formula 3 2,47 2,74 2,87 2,79 2,71 2,83
Formula 4 2,46 2,73 2,69pada 2,680.12,95 2,95 Gambar 13. Aktivitas enzim khitinase % adjuvant
Aktivitas enzim khitinase pada berbagai jenis adjuvan (0.5%) 3,50 2,50 1,50 NS
D CT M… AB
Tw SD e… S
Tri t…
0.50% 2,72 3,02 3,08 3,09 3,11 3,08 Formula 1 0.50%
2,40 2,67 2,71 2,74 2,75 2,72
Formula 2 enzim khitinase pada 0.5 % adjuvant Gambar 14. Aktivitas
Aktivitas enzim (unit)
Gambar 12. Aktivitas enzim khitinase pada sistem produksi SC dan SSF
Aktivitas enzim protease pada berbagai adjuvant Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui peran senyawa adjuvant dalam peningkatan aktivitas enzim. Diketahui bahwa adjuvant memegang peran penting dalam formulasi BCA. Peran adjuvant diharapkan melalui tiga mekanisma yaitu menurunkan non-specific binding pada rekasi enzimatis. Adjuvant akan berikatan dengan substrat non-spesifik sehingga rekasi enzimatik diharapkan menjadi lebih akurat. Mekanisma kedua yaitu meningkatkan pelepasan enzim dari mikroba. Pelepasan tersebut menyebabkan terpacunya produksi enzim oleh mikroba. Mekanisma ketiga adalah melalui penghantaran enzim kepada substrat, serta melindungi enzim dari aktivitas degradasi. Dilakukan analisis kemampuan CTAB, DMSO, Tween 80, Triton X, DMSO dalam meningkatkan aktivitas enzim hidrolisis (protease dan khitinase). Semua adjuvant yang digunakan meningkatkan kemampuan hidrolisis enzim khitinase dan protease sekitar 5-11 %. CTAB, Tween 80 dan Triton X-100 meningkatkan aktivitas enzim khitinase, sedangkan adjuvant yang lain meningkatkan aktivitas enzim protease (Gambar 13,14,15 dan 16).
D MS O
Formula 1 2,93 3,25 3,31 3,32 3,34 3,31
Aktivitas enzim (unit)
Aktivitas enzim (unit)
Perbandingan aktvitas enzim protease pada sistem SC dan SSF
Aktivitas enzim khitinase pada berbagai jenis adjuvant (0.10%)
Aktivitas enzim protease pada berbagai jenis adjuvan (0.10%) 7,50 6,50 5,50 4,50 3,50 2,50 1,50 NS
D MS O
CT AB
Tw ee n 80
SD S
Trit on X
Formula 1 5,56 5,72 6,32 6,34 5,84 6,32 Formula 2 4,93 5,08 5,56 5,63 5,18 5,58 Formula 3 4,71 4,85 5,48 5,33 4,95 5,41 Formula 4 4,69 4,83 5,14 5,12 4,93 5,63 Gambar 15. Aktivitas enzim protease pada 0.1 % adjuvant
Bioassay Formulasi agen biokontrol sangat menentukan efektivitas virulensi terhadap wereng hijau (Nepothettix virescent). Dari hasil analisis diketahui bahwa formula 1 dapat menekan populasi Nepothettix virescent sekitar 35 %, sedangkan formula yang lain sedikit lebih rendah. Hal itu menunjukkan bahwa aktivitas enzim protease dan khitinase menentukan lethalitas Nepothettix virescent. Pengaruh jumlah spora terhadap mortalitas Jumlah spora pada formulasi biokontrol menentukan efektivitas biokontrol (Gambar 17, 18, 19, 20, dan 21). Hasil ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Thomas, dan Read [17]
0191: I Made Sudiana dkk.
PG-238
Formula 1 tetap memiliki mortalitas sedikit lebih tinggi dibandingkan formula yang yang lain, namun Formula 2, 3 dan 4 tidak berbeda nyata. Implikasinya adalah diperlukan teknologi produksi spora yang maksimal dengan lebih mengoptimasi komposisi media, faktor abiotik seperti temperatur, kelembaban dan tingkat aerasi.
Aktivitas enzim (unit)
Aktivitas enzim protease pada berbagai jenis adjuvan (0.50%) 6,50 5,50 4,50 3,50 2,50 1,50 NS
Tw DM CTA een SDS SO B 80
Trit on X
0.50% Formula 1 5,20 5,46 5,88 5,90 5,30 5,88 0.50% Formula 2 4,59 4,82 5,17 5,24 4,68 5,19
serangga seperti terlihat pada tingkat mortalitas yang berbeda untuk masing-masing kontrol (Gambar 22 sampai dengan 27). Penambahan ajuvant menyebabkan peningkatan toksisitas sekitar 5-10 %.
50 40 30 20 10 0
Form Form Form Form Kont ula1 ula 2 ula 3 ula 4 rol
Kematian (%) 39,17 32,5 31,67 30
3,33
Gambar 18. Mortalitas wereng hijau pada jumlah spora 3,4 x 105.
0.50% Formula 3 4,38 4,60 5,10 4,96 4,47 5,03 0.50% 4 enzim 4,36 protease 4,58 4,78 4,45 5,24 Gambar 16.Formula Aktivitas pada4,76 0.5 % adjuvant
50 40 30 20 10 0
40 30 20 10 0
For For For For Kon mul mul mul mul trol a1 a 2 a 3 a 4
For For For For Kont mul mul mul mul rol a1 a 2 a 3 a 4
Kematian (%) 43,33 35 35,8334,17 3,33 Gambar 19. Mortalitas wereng hijau pada jumlah spora 3,8 x 106.
Kematian (%) 35 30,8329,1728,33 3,33 Gambar 17. Mortalitas wereng hijau pada jumlah spora 3,4 x 104.
Jumlah spora yang mengenai target akan menentukan jumlah spora masuk kedalam spiracle. Implikasi spora yang masuk kedalam spiracle adalah menurunnya kemampuan pertukaran oksigen pada homocoel yang mengakibatnya terhambat metabolism yang tergantung terhadap ketersediaan oksigen seperti metabolism untuk mendapatkan energi dalam bentuk ATP dalam proses respirasi. Implikasi berikutnya adalah menurunnya ketahanan tubuh serangga target sehingga protein toksin yang dihasilkan oleh perkecambahan blaspore di dalam homocoel akan menyebabkan kematian serangga target (Gambar 29). Pengaruh komposisi adjuvant Formulasi adjuvant memegang peran penting dalam meningkatkan efektivitas biosurfakatan. Formulasi adjuvant sangat penting karena efektivitas agen biokontrol ditentukan oleh stabilitas enzim khitinase dan protease, jumlah blastopore, protein toksin kemampuan peneterasi material terkait dengan toksisitas tersebut [18,19,20,21, 22]. Pemilihan adjuvant terutama surfactant ditentukan oleh ionisasi dan struktur molekul. Penelitian ini menggali peran adjuvant DMSO, SDS, CTAB, Tween 80, Triton X dan rhamnolipid. Rhamnolipid merupakan glikolipid dengan berat molekul yang lebih tinggi, sedangkan Triton X, Tween 80 bersifat non-ionik, SDS bersifat anionic dan CTAB bersifat kationik. Mortalitas dari masing-masing adjuvant sangat bervariasi tergantung kepada formula dari Biocontrol agen (Gambar 22 sampai dengan 27). Adjuvant juga mempunyai toksisitas terhadap
Form Form Form Form Kontr ula1 ula 2 ula 3 ula 4 ol Kematian (%) 62,5 45,8340,83 40 3,33 Gambar 20. Mortalitas wereng hijau pada jumlah spora 4,3 x 107.
80 60 40 20 0
Form Form Form Form Kont ula1 ula 2 ula 3 ula 4 rol
Kematian (%) 62,5 45,83 40,83 40
3,33
Gambar 21. Mortalitas wereng hijau pada jumlah spora 3,4 x 108.
0191: I Made Sudiana dkk.
100 50 0
PG-239
For For For For Kon mul mul mul mul trol a1 a 2 a 3 a 4
Kematian (%) 73,3360,8348,33 45 5,83 Gambar 22. Mortalitas wereng hijau pada berbgai formula dengan adjuvant SDS
Belum banyak diketahui mengenai behavior dari adjuvant.
100 80 60 40 20 0
100 80 60 40 20 0
For For For For Kon mul mul mul mul trol a1 a 2 a 3 a 4
Kematian (%) 72,5 62,5 50,8357,6711,67 Gambar 25. Mortalitas wereng hijau pada berbagai formula dengan adjuvant Triton X
Mekanisma yang kedua adalah proteksi enzim oleh adjuvant sehingga enzim akan lebih stabil dan tidak cepat mengalami degradasi (Kim et al., 2010). Mekanisma proteksi tersebut diilustrasikan pada Gambar 29.
150 100 50 0
For For For For Kon mul mul mul mul trol a1 a 2 a 3 a 4
Kematian (%) 77,5 65,8353,3349,1710,83
For For For For Kont mul mul mul mul rol a1 a 2 a 3 a 4
Gambar 23. Mortalitas wereng hijau pada berbagai formula dengan adjuvant CTAB
Kematian (%) 88,33 85,83 65,83 73,33 15
Belum banyak duiketahui peran adjuvant dalam meningkatkan mortalitas agen biokontrol. Ada tida mekanisma yang memungkinkan peningkatan mortalitas melalui penambahan adjuvant. Keberadaan adjuvant menyebabkan reaksi enzimatik yang lebih spesifik yaitu melalui pengikatan senyawa non target oleh adjuvant sehingga terjadi reaksi yang lebih cepat.
Gambar 26. Mortalitas wereng hijau pada berbagai formula dengan adjuvant Rhamnolipid
100 80 60 40 20 0
Mekanisma yang ketiga adalah stimulasi ekskresi enzim ekstraseluler oleh adjuvant. Ketiga mekanisma tersebut akan memberikan efek positif terhadap formula agen biokontrol. Mekanisma yang ketiga memberikan implikasi adalah perlunya penambahan sedikit adjuvant pada proses kultivasi kapang entomopatogen. Penulis telah mencoba menambahkan surfactant CTAB sekitar 3 mMol, perlakuan ini sedikit meningkatkan jumlah enzim yang diproduksi (data tidak diperlihatkan).
Form Form Form Form Kontr ula1 ula 2 ula 3 ula 4 ol
Kematian (%) 71,67 64,17 47,5 46,67 8,33 Gambar 24. Mortalitas wereng hijau pada berbagai formula dengan adjuvant Twin 80
(A)
(B)
Gambar 27. Ilustrasi bioassay untuk wereng hijau (A), dan formula yang diuji (B)
0191: I Made Sudiana dkk.
PG-240
virulensinya [42], teknik produksi enzim yang digunakan sebagai biokontrol yang menentukan kestabilan dan efektivitas enzim [43, 44], teknik aplikasi [45] dan faktor abiotik.
IV. KESIMPULAN (A)
(B)
Gambar 28. Kematian serangga target, awal serangat (A) dan stadium lanjut (B)
Kapang entomopatogen memegang peran penting sebagai agent biokontrol teridientifikasi sebagai Beauveria basiana WRBL1 memiliki aktivitas enzim protease, khitinase, mampu menghasilkan spora yang cepat pada media yang mengandung gula reduksi yang tinggi, aktivitas enzim hidrolisi yang dihasilkan tergantung kepada komposisi media dan teknik kultivasi. Aktivitas enzim hidrolisis lebih tinggi pada fase pertumbuhan miselia, dan teknik kulivasi submerge culture (SC) menstimulasi aktivitas enzim protease dan aktivitas khitinolitik lebih tinggi pada sistem solid state fermentation. Formulasi agen biokontrol dengan adjuvant meningkatkan virulensi. Implikasi dari informasi tersebut adalah sebaiknya digunakan teknik kultivasi biphasic yaitu stimulasi enzim protease pada kondisi SC dan enzim khitinase pada sistem SSF. Formulasi adjuvant terus dikembangkan untuk mendapatkan virulensi dan stabilitas yang paling optimum.
UCAPAN TERIMA KASIH Gambar 29. Illustrasi peran adjuvant untuk memperoteksi enzim hidrolisis dalam proses penetrasi enzim kedalam homocoel [18]
Aplikasi kultur cair dari kapang entomopatogen (Gambar 28) dapat meningkatkan daya bunuh spora dan miselia terhadap serangga target, dan kultur cair ini tidak banyak dipengaruhi oleh faktor abiotik [23, 24]. Kultur cair dari media tumbuh kapang entomopatogen mengandung beberapa material yang patogen sperti misalnya blastospores, hyphal bodies, dan metabolit, yang meningkatkan daya bunuh terhadap serangga target melalui beberapa mekanisma. Dari beberapa metabolites yang diketahui enzim dan protein memegang peran penting dalam pathogenesis [25,26,27,28] dan mekanisma peran enzim dalam pathogenesis telah banyak dipelajari [29,30,31,32] Khususnya enzim khitinase [EC 3.2.1.14], Pr1- [EC 3.4.21], dan Pr2 [EC 3.4.21] memegang peran sangat penting dalam penetrasi kultikula insek [33,34,35,36,37,38] Khususnya B. bassiana (Bals.-Criv.) Vuill. (Ascomycota: Hypocreales), aplikasinya sangat luas sebagai agen biokontrol. Beberapa jenis enzim kitinolitik seperti misalnya khitinase dengan berat molekul 45 kDa dan 110 kDa [40], 28 kDa [29], 33 kDa dan 55 kDa [31]. B. bassiana juga memproduksi beberapa jenis protein yang terkait dengan patogenitas seperti novel Pr1 protease (BBP) [41]. Mereka juga melaporkan bahwa penggunaan supernatan dari B. bassiana SFB-205 sebagai agen biokontrol. Enzim khitinase [EC 3.2.1.14] yang terdapat pada supernatan merupakan enzim utama yang terkait dengan patogenitas terhadap Aphis gossypii Glover (Hemiptera: Aphididae), diikuti oleh protease Pr1- [EC 3.4.21] dan Pr2 [EC 3.4.21]. Teknologi presipitasi enzim menggunakan gel yang melalui teknik lyophilisasi mampu meningkatkan ketahanan enzim terhadap suhu tinggi [39] Teknologi untuk menjaga stabilitas enzim sangat diperlukan dalam penyimpanan enzim dalam bentuk liquid [22]. Oleh karena itu biasanya produk enzim biasanya dibuat dalam bentuk padat dengan teknik lyophilisasi [42]. Teknologi tersebut akan dicoba pada penelitian tahun berikutnya. Banyak faktor menentukan keberhasilan biokontrol didalam ekosistem sepertinya kemampuan agen biokontrol mempertahankan sifat
Kami mengucapkan banyak terimakasih atas research grant InSinas KP-2012-0191 yang diberikan oleh Kemenristek.
DAFTAR PUSTAKA [1] Sudiana, I.M. dan Abdulkadir S. (1995), Karakteristik Pseudomonas aeruginosa yang telah Dimanipulasi Genetiknya pada Medium Tanah yang Diperkaya. Jurnal Biologi Indonesia, Vol. 1. No. 3.pp 25-30. [2] Venkitesh, S.R., R.W. Briddon, and. Markham, P.G. (1993), Detection of Rice Tungro Bacilliform Virus (RTBV) in Asymptomatic Leaves of Tungro-infected Rice Plants by Polymerase Chain Reaction (PCR). Int. Rice Res. Newsl., 18. pp 13–14. [3] Sudiana, I.M. and Kawabe K. (2004), Detection of Liberobacter Citrus Greening Disease by Denaturing Gradient Gel Electrophoresis. Post Doctoral Dissertation JIRCAS, Japan. [4] Sudiana, I.M., S. Otsuka, N.P. Krishanti, J. Widada, I. Anas, and Niswan, A. (2009), Molecular Analyses of Particulate Methane Monoxygenease Genee (pMO) in Soil of System of Rice Intensification and Its Ecological Significance. Proceeding of 7th Annual Conference of The International Society of Paddy and Water Environment Engineering. October 7-9, 2009. pp 47-55. [5] Sudiana, I.M. dan Kanti. A, (2003). Potensi Pemanfaatan Lumpur Aktif untuk Pupuk Fosfat Hayati. Perkembangan dan Prospek Industri Kimia, Riset Teknologi Kimia di Indonesia, pp 205-215. [6] Takahashi, Y., E.R. Tiongco, P.Q. Cabauatan, H. Koganezawa, H. Hibino, Omura, T (1993). Detection of Rice Tungro Bacilliform Virus by Polymerase Chain Reaction for Assessing Mild Infection of Plants and
0191: I Made Sudiana dkk.
Viruliferous Vectorleafhoppers. Phytopathology, 83. pp 655–659. [7] Urtz, B.E., and W.C. Rice, W.C. (2000), Purification and Characterization of a Novel Extracellular Protease from Beauveria bassiana. Mycol. Res. 104. pp 180–186. [8] Chase AR, Osborn LS, and Perguson, V.M. (1986) Selective isolation of entomophatogenic fungi Beauveria basiana and Metarhizium anisopliae. The Florida Entomologist. pp 285-290. [9] Nilsson R.H, Kristiansson E, Ryberg M, Hallenberg N, and Larsson, K.H (2010),. Intraspecific ITS Variability in the Kingdom Fungi as Expressed in the International Sequence Databases and Its Implications for Molecular Species Identification. E. Mol Ecol Resour. 2010 Nov; 10(6). pp1076-1081. [10] Leger RJ ST, Charnley AK, and Cooper, R.M. (1986), Cuticle-Degrading Enzymes of Entomopathogenic Fungi: Synthesis in Culture on Cuticle. Journal of Invertebrate Pathology 48. pp 85-95. [11] Coudron TA, Kroha MJ, and CM Ignoffo, C.M. (1984), Levels of chitinolytic activity during development of three entomopathogenic fungi. Camp. Biochem. Physiol. 79B.pp 339-348. [12] Abdul Hamid, Azizah and Raja Sulaiman, R. R. and Osman, Azizah and Saari, Nazamid. (2007). Preliminary study of the chemical composition of rice milling fractions stabilized by microwave heating. Journal of Food Composition and Analysis, 20 (7). pp 627-637. [13] Widiarta, I N., W. Hermawan, S. Oya, S. Nakajima, and F. Nakasuji, F (1997), Antifeedant activity of constitutent of Andrographis paniculata (Acanthaceae) against the green rice leafhopper, Nephotettix cincticeps (Hemiptera: Cicadellidae). Appl. Entomol. Zool. 32. Pp 561-566. [14] Niita, A. (1996). Microbial control of rice water weevil, Lissorhoptrus oryzophilus (Coleoptera: Curculionidae) and green rice leafhopper, Nephotettix cincticeps (Hemiptera: Cicadellidae) with two entomogenous fungi (Deuteromycotyna) in Japan. FFTC Book Series No.47 [15] Leger ST, Joshi L, and DW Robert, D.W. (1997), Adaptation of proteases and carbohydrases of saprophytic, phytopathogenic and entomopathogenic fungi to the requirements of their ecological niches. Microbiology. Microbiology June, vol. 143 no. 6. pp 1983-1992. [16] Merzendorfer H and Zimoch, L. (2003), Review: Chitin metabolism in insects: structure, function and regulation of chitin synthases and chitinases. The Journal of Experimental Biology 206. pp 4393-4412. [17] Thomas, M.B, and Read, P.G. (2007), Fungal bioinsecticide with a sting. Nature Biotechnology 25. pp 1367-1368.
PG-241
[18] Kim J..S, Je Y.H, and Woo, E.O. (2010), Roles of adjuvants in aphicidal activity of enzymes from Beauveria bassiana (Ascomycota: Hypocreales) SFB-205 supernatant. Journal of Asia-Pacific Entomology 13. pp 345–350 [19] Goettel, M.S., St. Leger, R.J., Rizzo, N.W., Staples, R.C., Roberts, D.W.,, (1989), Ultrastructural localization of a cuticle degrading protease produced by the entomopathogenic fungus, Metarhizium anisopliae during penetration of host cuticle. J. Gen. Microbiol. 135. pp 2223–2239. [20] Bateman, R.P., M. Carrey, D. Moore, C. Prior, Y. Abraham, N. Jenkins and Felon, J. (1997), The Development of a Mycopesticide for The Control of Locust and Grasshoppers. Outlook on agricultural. 26 (XX). pp 113-118. [21] Butt, T.M., L. Ibrahim, B.W. Ball and Clark, S.J. (1994), Pathogenicity of Entomopathogous Fungi Metarhizium anisopliae and Beauveria bassiana Againts Crucifer Pests and Honey Bee. Biocontrol Science Technology. 4. pp 207214. [22] Fan, Y., Fang, W., Guo, S., Pei, X., Zhang, Y., Xiao, Y., Li, D., Jin, K., Bidochka, M.J., Pei, Y. (2007). Increased insect virulence in Beauveria bassiana strains overexpressing an engineered chitinase. Appl. Environ. Microbiol. 73. pp 295–302. [23] Jackson, M.A., Payne, A.R., & Odelson, D.A. (2004), Liquid-culture production of lastospores of the bioinsecticidal fungus Paecilomyces fumosoroseus using portable fermentation equipment. J. Indus. Microbiol. Biotechnol. 31. pp 149–154. [24] Cliquet, S., Jackson, M.A., (2005), Impact of carbon and nitrogen nutrition on the quality, yield and composition of blastospores of the bioinsecticidal fungus Paecilomyces fumosoroseus. J. Indus. Microbiol. Biotechnol. 32. pp 204–210. [25] Charnley, A.K. (2003), Fungal pathogens of insects: cuticle degrading enzymes and toxins. Adv. Bot. Res. 40 pp 241–321. [26] Donatti, A.C., Furlaneto-Maia, L., Fungaro, M.H., Furlaneto, M.C. (2008), Production and regulation of cuticle-degrading proteases from Beauveria bassiana in the presence of Rhammatocerus schistocercoides cuticle. Curr. Microbiol. 56. pp 256–260. [27] Fuguet, R., Théraud, M.,Vey,A., (2004), Production in vitro of toxic macromolecules by strains of Beauveria bassiana, and purification of a chitosanase-like protein secreted by amelanizing isolate. Comp. Biochem. Physiol. Part C: Pharmacol. Toxicol. Endocrinol. 138. pp 149–161. [28] Abdel-Banat, B. M., Zhou, W., Karasuda, S. and Koga, D. (2002). Analysis of hydrolytic activity of a 65-kDa
0191: I Made Sudiana dkk.
PG-242
chitinase from the silkworm, Bombyx mori. Biosci. Biotechnol. Biochem. 66, pp1119-1122 [29] Flexner, J.L., B. Lighthart and Croft, B.A. (1986), The Effect of Microbial Pesticides to Non Target, Beneficial Arthropods. Agric. Ecos. And Environ. 16. pp 203-254 [30] Clarkson, J.M., and Charnley A.K.. (1996). New Insights in to the Mechanisms of Fungal fathogenesis in Insects. Trends in Micobiology. 4(5). pp 197-203. [31] Kaur, G., Padmaja, V., (2008), Relationships among activities of extracellular enzyme production and virulence against Helicoverpa armigera in Beauveria bassiana. J. Basic Microbiol. 48. pp 1–10. [32] Fang, W., Leng, B., Xiao, Y., Jin, K., Ma, J., Fan, Y., Feng, J., Yang, X., Zhang, Y., Pei, Y. (2005). Cloning of Beauveria bassiana chitinase gene Bbchit1 and its application to improve fungal strain virulence. Appl. Environ. Microbiol. 71. pp 363–370. [33] Roberts, W.K. and Selitrennikoff, C.P. (1988), Plant and bacterial chitinases differ in antifungal activity. J. Gen. Microbiol. 134. pp 169-176. [34] Murad, A.M., Laumann, R.A., Mehta, A., Noronha, E.F., Franco, O.L., (2007), Screening and secretomic analysis of entomopathogenic Beauveria bassiana isolates in response to cowpea weevil (Callosobruchus maculates) exoskeleton. Comp. Biochem. Physiol. Part C 145. pp 333–338. [35] Koga, D., Sasaki, Y., Uchiumi, Y., Hirai, N., Arakane, Y. and Nagamatsu, Y. (1997). Purification and characterization of Bombyx mori chitinases. Insect Biochem. Mol. Biol. 27. pp 757-767. [36] Wirth, S.J and Wolf, GA. (1990), Dye-labeled substrates for the assay and detection of chitinase and lysozyme activity. J Microbiol Meth 12. pp197–205. [37] Kim, J.S., Roh, J.Y., Choi, J.Y., Wang, Y., Shim, H.J., Je, Y.H. (2009). Correlation of the aphicidal activity of Beauveria bassiana SFB-205 supernatant with enzymes. Mycol. Res. 114. pp120–128. [38] Kim, J.S., Je, Y.H. (2010), A novel biopesticide production: attagel-mediated precipitation of chitinase from Beauveria bassiana SFB-205 supernatant for thermotolerance. Appl. Microbiol. Biotechnol. doi:10.1007/s00253-010-2543-1. [39] Kim, J.S., Je, Y.H., (2010), Relation of aphicidal activity with cuticular degradation by Beauveria bassiana SFB-205 supernatant incorporated with polyoxyethylene-(3)sotridecyl ether. J. Microbiol. Biotechnol. 20. pp 506–509. [40] Havukkala, I., Mitamura, C., Hara, S., Hirayae, K., Nishizawa, Y., Hibi, T., (1993), Induction and purification of Beauveria bassiana chitinolytic enzymes. J. Invertebr. Pathol. 61. pp 97–102. [41] Kim, J.S., Je, Y.H. (2010), A novel biopesticide production: attagel-mediated precipitation of chitinase from Beauveria bassiana SFB-205 supernatant for
[42]
[43]
[44]
[45]
thermotolerance. Appl. Microbiol. Biotechnol. doi:10.1007/s00253-010-2543-1. Leather, T. D. (1986), Color variants of Aureobasidium overproduce xylanase with extremely high spe-cific activity. Appl. Environ. Microbial. 52. pp 1026-1030. Liu, B.L, Kao, P.M, and Tzeng, YM. (2003), Production of chitinase from Verticillium lecanii F091 using submerged fermentation. Enzyme and Microbial Technology 33. pp 410–415 Massoud, M.K., Marokhazi, J., Fodor A. and Venekei, I. (2010), Proteolytic Enzyme Production by Strains of the Insect Pathogen Xenorhabdus and Characterization of an Early-Log-Phase-Secreted Protease as a Potential Virulence Factor. Appl. Environ. Microbiol. Vol. 76 No.20. pp 6901-6909. Nankinga, C.M. and Ongenga-Latigo, W.M. (1996). Effect of Method of application on The Effectiveness Beauveria bassiana and Metarhizium anisoplia to the Banana Weevil, Cosmoplites sordidus Germar. African Journal Plant Protection. 6. pp 12-21.