Biografi Pejuang I Gusti Ayu Rija (Studi Tentang Pewarisan Nilai-Nilai Karakter Sebagai Sumber Belajar Sejarah di SMA Berbasis Kurikulum 2013) Oleh: Qori’ Bayyinaturrosyi, Ketut Sedana Arta, S.Pd, M.Pd, Dra. Desak Made Oka Purnawati, M. Hum Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Indonesia e-mail: {
[email protected],
[email protected],
[email protected]}@undiksha.ac.id ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui (1) Biografi I Gusti Ayu Rija; (2) nilai-nilai karakter yang tersurat dan tersirat dari sosok I Gusti Ayu Rija; dan (3) nilai-nilai karakter dari I Gusti Ayu Rija yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar sejarah di SMA berbasis kurikulum 2013. Penelitian ini menggunakan metode penulisan sejarah yaiutu: (1) pengumpulan sumber (heuristic); (2) kritik sumber; (3) interpretasi; dan (4) penulisan sejarah (historiografi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa I Gusti Ayu Rija adalah putri ke-3 dari 7 bersaudara dari pasangan I Gusti Bagus Negara (putra generasi ke XI puri Anyar) dengan I Gusti Ngurah Rai dari Katiasa. I Gusti Ayu Rija lahir di puri Anyar, masa kecilnya kebanyakn dihabiskan bergaul dengan masyarakat biasa sehingga tumbuh besar menjadi seorang pejuang masa revolusi fisik di Buleleng 1946-1949. Nilai-nilai karakter yang terkandung pada sosok I Gusti Ayu Rija antara lain: (1) relegius; (2) jujur; (3) disiplin; (4) bertanggung jawab; (5) kerja keras; (6) percaya diri; (7) mandiri; (8) sadar diri; (9) patuh pada aturan sosial; (10) respek; (11) demokratis; (12) nasionalis; (13) suka menolong; (14) tangguh; dan (15) berani mengambil resiko. Nilai-nilai karakter I Gusti Ayu Rija dapat dimasukkan dalam sumber belajar sejarah SMA berbasis kurikulum 2013 kelas XI pada materi pokok “Perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari ancaman sekutu dan Belanda”. Kata Kunci: Biografi, Nilai-Nilai Karakter, Kurikulum 2013. ABSTRACT This study aims to know (1) I Gusti Ayu Rija’s biography; (2) the values of explicit and implicit character of the figure I Gusti Ayu Rija; and (3) of character values of I Gusti Ayu Rija which can be used as a source of learning in high school history curriculum based on 2013. This study uses historical writing namely: (1) the collection of resources (heuristic); (2) source criticism; (3) interpretation; and (4) the writing of history (historiography). The results showed that I Gusti Ayu Rija is the daughter of the 3rd of seven children of the couple I Gusti Bagus Negara (son generation to Anyar castle XI) with I Gusti Ngurah Rai from Katiasa. I Gusti Ayu Rija was born in the castle Anyar, mostly spent her childhood mingle with ordinary people that grow up to be a fighter the physical revolution in Buleleng 1946-1949. Character values embodied in the figure of I Gusti Ayu Rija, among others: (1) religious; (2) to be honest; (3) discipline; (4) is responsible; (5) hard work; (6) self-reliant; (7) independently; (8) self-conscious; (9) comply with social rules; (10) respect; (11) democratic; (12) nationalist; (13) prefer; (14) resilient; and (15) take risks. The values of I Gusti Ayu Rija characters can be entered in the source-based high school curriculum learning the history of class XI in 2013 on the subject matter "The struggle to defend the independence of the threat of allies and the Netherlands". Keywords: Biography, Values Character, Curriculum 2013.
PENDAHULUAN Indonesia telah mengalami berbagai macam transisi dalam pemerintahan. Pada masa lampau perjuangan secara fisik serta politik melalui kancah diplomatik yang didukung oleh seluruh lapisan dan golongan masyarakat baik yang berdasarkan semangat keagamaan, golongan maupun nasionalisme, merupakan rangkaian usaha panjang perjuangan Indonesia untuk memperoleh kemerdekaannya. Setiap masa dalam perjuangan kemerdekaan khususnya di Indonesia, selalu melahirkan begitu banyak tokoh pejuang. Tak terkecuali ketika Indonesia memasuki masa revolusi fisik. Pada masa revolusi fisik 1945-1949 ada begitu banyak golongan masyarakat yang ikut berjuang turun tangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Kaum perempuan bertempur juga. Revolusi Indonesia telah memberikan kemerdekaan bagi kaum perempuan. Tak ada lagi perempuan atau laki-laki yang berpikiran sempit. Mereka tidak lagi menjadi warga negara kelas dua. Mereka secara langsung mengambil peran dalam perjuangan, baik itu langsung ikut bertempur memanggul senjata, atau menjadi pengantar logistik bagi pejuang lainnya (Suhaimi, 1997:34; Adams, 2011:301). Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, dalam catatan sejarah Indonesia kemudian memasuki masa revolusi fisik. Pada masa ini kesadaran masyarakat untuk berjuang sangat tinggi, termasuk kaum perempuan. Kaum perempuan bertempur juga. Revolusi Indonesia telah memberikan kemerdekaan bagi kaum perempuan. Tak ada lagi perempuan atau laki-laki yang berpikiran sempit. Mereka tidak lagi menjadi warga negara kelas dua. Mereka secara langsung mengambil peran dalam perjuangan, baik itu langsung ikut bertempur memanggul senjata, atau menjadi pengantar logistik bagi pejuang lainnya (Suhaimi, 1997:34; Adams, 2011:301). Tingginya kesadaran perempuan untuk ikut berjuang terus menular hingga ke daerah-daerah, tidak terkecuali di Kecamatan Buleleng. Di Kecamatan Buleleng terdapat beberapa pejuang perempuan yang terdaftar di Legiun Veteran Buleleng, salah satunya adalah I Gusti Ayu
Rija. I Gusti Ayu Rija adalah sosok perempuan asal Buleleng yang pada masa revolusi fisik ikut serta berjuang bersama suaminya I Gusti Ngurah Mayor. Berdasarkan hasil wawancara langsung dengan I Gusti Ayu Rija, beliau menceritakan bagaimana perjuangan di tengah penderitaan pada masa revolusi fisik. Beliau yang menempatkan dirinya sebagai seorang laskar rakyat yang bertugas mengantarkan logistik untuk pasukan suaminya, dan pasukan-pasukan gerilya lainnya. “Daweg titiang kari anom, dereng mapawiwahan titiang awal nyane wantah sareng-sarengan antuk maktayang ajengan majeng anak sane daweg punika kari luas maperang. Wusan titiang mapawiwahan sareng lanang titiange, sane daweg punika ipun anak sane sareng berperang, titiang wawu midep napi sane titiang laksanayang. Daweg punika samian istri sareng ngwantu nyiagayang logistik majeng para lanang-lanange. Punika sane ngranayang titiang ngranjing ring kelaskaran rakyat. Kala punika titiang sering ngelaksanayang aktivitas maktayang kebutuhan pangan majeng para gerilyawan”. Sejak saya masih muda, belum menikah saya awalnya hanya ikutikutan untuk mengantarkan makanan kepada orang-orang yang pada saat itu sedang pergi berperang. Setelah saya menikah dengan suami saya, yang pada saat itu dia juga adalah seorang yang ikut berjuang, saya baru paham apa yang harus saya lakukan. Pada saat itu semua perempuan ikut membantu menyiapkan logistik untuk para kaum laki-laki. Oleh sebab itu saya masuk ke dalam kelaskaran rakyat. Semenjak itu saya semakin sering melakukan aktivitas mengantarkan kebutuhan pangan bagi para gerilyawan (Wawancara dengan I Gusti Ayu Rija, 15 Februari 2014). Terlibatnya perempuan dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan
Indonesia merupakan suatu bukti bagaimana perempuan Indonesia telah mampu menempatkan peranannya setara dengan laki-laki Indonesia. Akan tetapi apabila berbicara dalam ranah sejarah dan penulisannya, peranan perempuan dalam sebuah perjuangan masih sangat kurang. Kalau pun ada, maka hanya akan ditemukan pejuang perempuan yang memiliki latar belakang kehidupan sosial yang mapan, berasal dari kalangan bangsawan. Sedikit sekali catatan sejarah yang merekam jejak perjuangan seorang perempuan yang berlatar belakang masyarakat biasa, padahal memiliki peranan yang luar biasa. Akan tetapi bila mengkaji penghargaan terhadap para pejuang dan pahlawan, khususnya terhadap para pejuang dan pahlawan perempuan, tentu masih sangat kurang. Padahal perjuangan perempuan memiliki kedudukan penting dalam kajian sejarah Indonesia. Mengutip pemaparan dari Bapak Wayan Patet Arya (67 tahun) selaku pengurus Legiun Veteran Cabang Buleleng: Beliau mengatakan bahwa ada kendala tersendiri dalam pendataan terhadap para pejuang, apalagi para pejuang perempuan. Penetapan seorang tokoh sebagai seorang pejuang harus melalui tahapantahapan tertentu berdasarkan aturan yang ada. Lebih lanjut secara lokal, dikarenakan para pejuang pada masanya melakukan perjuangan dengan cara sukarela dan ikhlas, maka pada era sekarang ini sangat banyak para pejuang yang tidak pernah secara peribadi memunculkan dirinya menyatakan bahwa dulu dia pernah ikut berjuang. Padahal saya rasa masih banyak pejuang yang ada di Bali, khususnya di Buleleng yang belum mendapatkan penghargaan sewajarnya. Untuk menangani permasalahan tersebut, kita dari pihak Legiun Veteran dengan inisiatif tinggi berusaha sampai saat ini untuk melakukan pendataan terhadap para pejuang yang ada di Buleleng. Salah satu cara yang kita gunakan adalah, melakukan wawancara dengan para tokoh
pejuang yang secara administratif sudah ditetapkan sebagai pejuang. Kita mencoba menanyakan pada mereka pada masa hidupnya siapa saja orang yang pada masa itu ikut atau pernah berjuang dengannya (wawancara dengan Bapak Wayan Patet Arya, 10 Mei 2014). Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Bapak Gede Seroeti (83 Tahun) selaku pihak dari Legiun Veteran. “Beliau menambahkan para pejuang pada masa itu tidak pernah mengharapkan imbalan. Apa yang mereka lakukan semata-mata berlandaskan semangat sukarela dan kegotongroyongan. Ada banyak pejuang di Buleleng yang ikut berjuang, meskipun mereka belum mengenal nama Indonesia. Akan tetapi dengan aturan yang ada saat ini selayaknyalah mereka harus mendapatkan penghargaan” (wawancara dengan Bapak Gede Seroeti, 10 Mei 2014). Pernyataan-pernyataan tersebut sejalan dengan pemaknaan penulis dari apa yang disampaikan selintas oleh I Gusti Ayu Rija selaku informan awal. “Bahwasanya beliau ikut berjuang karena sukarela, tak ada imbalan”. Mengacu pada keikutsertaan I Gusti Ayu Rija pada masa revolusi fisik, tentunya tak hanya beliau yang pada masa itu ikut berpartisipasi dalam perjuangan. Akan tetapi ada banyak para pejuang wanita yang belum sempat mendapatkan penghargaan atau pengakuan yang selayaknya. Berdasarkan Daftar Nominatif Veteran di Kecamatan Buleleng saja tercatat hanya 25% perempuan, dan sisanya 75% didominasi oleh kalangan laki-laki. Kondisi tersebut tentu secara tidak langsung memberikan image bahwa peran serta perempuan dalam perjuangan sangat minim. Padahal pada masa revolusi fisik wanita merupakan salah satu kunci dalam kesuksesan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Wanita merupakan mata dan telinga para pejuang kemerdekaan Indonesia.
Perjuangan yang dilakukan I Gusti Ayu Rija tentunya mengandung nilai-nilai yang penting untuk dikaji, dipelajari, dan diimplementasikan oleh generasi muda penerus bangsa. Dalam konteks tersebut pembelajaran sejarah memiliki peranan penting dalam hal bagaimana generasi muda bisa memaknai esensi dari perjuangan generasi terdahulu, dan bisa dijadikan pedoman pembelajaran dalam upaya menggapai masa depan. Pembelajaran sejarah memiliki peranan yang amat penting dalam hal bagaimana generasi muda bisa memaknai esensi dari perjuangan generasi terdahulu untuk bangsa ini, dan bisa dijadikan pedoman pembelajaran dalam upaya menggapai masa depan. Sejarah memberikan khazanah bagi kita untuk bijak mengambil langkah dalam berperoses untuk masa depan. Hal ini tentunya sejalan dengan fungsi yang dimiliki oleh sejarah sebagai sarana edukatif yaitu instrumen pendidikan bagi masyarakat dan anak didik di bangku sekolah melalui penyampaian pesan-pesan moral dan nilai-nilai yang tersembunyi di balik sebuah peristiwa sejarah. Selain itu sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air (Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi). Hal inilah yang masih kurang disadari oleh masyarakat bahwa sejarah bukan hanya pelajaran hafalan, melainkan pelajaran yang kaya akan nilainilai moral yang dapat kita sampaikan kepada generasi muda sehingga tetap lestari melalui pendidikan formal ataupun nonformal yang diajarkan di sekolah (Pageh, 2010:8). Oleh sebab itu tentu sangat disayangkan apabila pembelajaran sejarah yang kita kenal saat ini masih mengedepankan hafalan dan bersifat verbal, dan tidak terjabarkan secara kontekstual. Sejalan dengan pernyataan di atas, pembelajaran sejarah yang saat ini sudah menggunakan kurikulum 2013 memberikan tempat yang luas bagi pewarisan nilai-nilai. Penerapan kurikulum 2013 diharapkan mampu melahirkan tatanan pendidikan yang sesuai dengan kepentingan anak-anak didik secara kontekstual. Karena pembelajaran
yang berbasis pada pendekatan kontekstual akan dapat menggeser paradigma pembelajaran yang kaku dan beku (Yamin, 2010:8). Akan tetapi, ketika melihat apa yang tercantum dalam buku ajar sejarah. Materi yang tercantum belum serta merta mampu menggambarkan secara tekstual kondisi kontekstual. Dengan kata lain, materi yang ada tidak jauh berbeda dengan materi pada buku ajar terdahulu. Ambil saja contoh pembahasan sejarah kelas XI pada materi “Kebangkitan heroisme dan kebangsaan Indonesia”, dan pada materi “Proklamasi dan perkembangan negara kebangsaan Indonesia.” Begitu juga dengan sejarah kelas XII pada materi “Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia”. Pembahasan dalam materi-materi tersebut masih berkecimpung pada pembahasan peran dari tokoh laki-laki, yang dalam hal ini terkesan mengesampingkan dedikasi dari golongan masyarakat yang berjenis kelamin perempuan. Kondisi tersebut memberikan inisiatif bagi penulis untuk melakukan sebuah penelitian dan penulisan dengan judul “Biografi Pejuang I Gusti Ayu Rija (Studi Tentang Pewarisan Nilai-Nilai Karakter Sebagai Sumber Belajar Sejarah di SMA Berbasis Kurikulum 2013)”. Menulis biografi tokoh pejuang I Gusti Ayu Rija adalah suatu usaha merekam dan memperkenalkan peran nyata salah satu kaum perempuan dalam perjuangan. Dengan demikian maka penulisan karya ini sebenarnya merupakan suatu bentuk sumbangan perbendaharaan sumber pengetahuan kita mengenai kesejarahan, dan peran kesetaraan gender yang dapat diterapkan secara paralel dalam pembelajaran sejarah. Penulisan karya ini selain merupakan tugas akhir dalam menuntaskan program studi yang ditempuh oleh penulis, juga merupakan suatu usaha merekam peranan pejuang wanita yang dalam budaya patriarki sebagai golongan termarginalkan, akan tetapi keberadaannya memberikan makna dalam sebuah perjuangan yang sarat akan nilai-nilai positif. Berkenaan dengan itu muncul ketertarikan penulis untuk mengangkat nilai-nilai perjuangan dari pejuang perempuan pada masa revolusi fisik 1945-1949 yang ada di Kecamatan Buleleng.
Berdasarkan data yang penulis peroleh dari Kantor Legiun Veteran Buleleng, dalam Daftar Nominatif Veteran di Kecamatan Buleleng dapat penulis temukan beberapa pejuang perempuan pada masa revolusi fisik. Di antaranya adalah tokoh I Gusti Ayu Rija (NPV: 13.034.222, Kelurahan Paket Agung) yang merupakan narasumber awal penelitian dalam penulisan karya ini. Selain itu ada nama Ni Made Kerti (NPV:13.033.323, Kelurahan Banjar Jawa), Desak Made Sikiati (NPV:13.003.772, Kelurahan Kampung Anyar), Jro Nagari Singgara (NPV: 13.007.915, Desa Pemaron). Nilai-nilai perjuangan dari para pejuang perempuan tersebut tentunya akan sangat bermanfaat apabila bisa disampaikan dalam pembelajaran sejarah, sejalan dengan pembelajaran sejarah lokal yang mendukung pembelajaran kontekstual. Selain itu nilainilai perjuangan dari para pejuang perempuan tersebut menurut pandangan penulis sangat memberikan dampak positif bagi pengajaran sejarah dalam kurikulum 2013, terkait penerapan metode penelitian sejarah dengan kelompok peminatan. Penulisan tentang peran pejuang atau pahlawan memang sudah sangat banyak ditulis dan dibukukan oleh para peneliti atau sejarawan yang tentunya sangat kaya akan kandungan nilai-nilai perjuangan, kepahlawanan, dan nasionalisme meskipun sebagian besar yang ditulis adalah tentang tokoh pejuang laki-laki. Harus diakui penulisan tentang peran pejuang wanita masih sangat kurang. Namun melalui kajian kepustakaan, ada beberapa tulisan yang penulis temukan yang menulis tentang peran pejuang perempuan secara khusus ataupun peran wanita secara umum dalam koteks sejarah dan bangsa. Diantaranya adalah seperti yang ditulis oleh Suhaimi (1997) Wanita Aceh dalam Peperangan dan Pemerintahan, Nuryanti (2007) Perempuan dalam Hidup Soekarno: Biografi Inggit Garnasih, Gunawan (1993) “Dimensidimensi Perjuangan Kaum Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sejarah”. Dalam Fauzie, Ridjal, dkk. (Ed). Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, Soekarno (1963) Sarinah “Kewajiban Wanita dalam Perjoangan Republik Indonesia”, dan Darma Putra (2007) yang mengkaji tentang Wanita Bali Tempoe Doeloe “Perspektif Masa Kini”.
Sedangkan dikalangan mahasiswa sejarah, penulisan peran kepahlawanan yang sempat peneliti temukan adalah karya Ni’matul Husna (2008) Fatima Mernissi (Biografi Intelektual Soerang Feminis Muslim), dan Cahayaningsih (2013) dengan judul skripsi Biografi Ida I Dewa Agung Istri Kanya (Studi Tentang Nilai-Nilai Kepahlawanan dan Sumbangannya Bagi Pembelajaran Sejarah di SMA). Tentunya masih banyak lagi penulisan tokoh-tokoh kepahlawanan atau perjuangan yang ditulis dan dibukukan oleh para sejarawan atau pun oleh kalangan akademisi yang peduli akan pelestasian nilai-nilai luhur generasi terdahulu. Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui biografi singkat dari sosok I Gusti Ayu Rija (Studi tentang pewarisan nilai-nilai karakter sebagai sumber belajar sejarah di SMA berbasis kurikulum 2013). Kajian teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian tentang biografi, dan mereduksi kajian tentang konsep perjuang/kepahlawanan, revolusi, dan kajian teori tentang sumber belajar. METODE PENELITIAN Berdasarkan permasalahan yang dibahas, maka dalam penelitian ini digunakanlah metode penelitian sejarah. Ada empat tahap yang harus ditempuh dalam penelitian sejarah, yaitu (1) Pengumpulan Sumber/jejak-jejak sejarah (Heuristic), (2) Kritik Sumber, (3) Interpretasi dan, (4) Penulisan Sejarah (Historiografi) (Kuntowijoyo, 1995: 89-105). HASIL DAN PEMBAHASAN BIOGRAGI I GUSTI AYU RIJA Hasil dari penelitian ini adalah I Gusti Ayu Rija merupakan salah seorang putri (generasi ke XII) dari keturunan keluarga puri Anyar, Sukasada, Buleleng. Beliau merupakan anak ke-3 dari 7 bersaudara dari pasangan I Gusti Bagus Negara (putra generasi ke XI puri Anyar) dengan I Gusti Ngurah Rai dari Katiasa. I Gusti Ayu Rija lahir pada tahun 1930 di Puri Anyar, Sukasada. I Gusti Ayu Rija kecil sangat gemar bermain permainan tradisional seperti permainan congklak, ceb ceb byak, bermain tali, dan mandi di sungai.
I Gusti Ayu Rija kecil setiap hari bergaul dan bermain bersama dengan anak-anak dari kalangan luar puri. Mungkin karna faktor ini juga yang secara ekstrinsik memberikan sikap emosional beliau kelak ketika secara sukarela ikut bahu membahu bersama masyarakat yang lainnya dalam kancah perjuangan pada masa Revolusi Fisik. Terkait dengan pendidikan, selain memproleh pendidikan dari keluarga (seperti membaca lontar, pendidikan keagamaan, dan pendidikan humanis lainnya), berdasarkan inisiatif pribadi I Gusti Ayu Rija juga menempuh pendidikan sekolah rendah kelas 3 meskipun beliau tidak sampai tuntas, dikarenakan beliau lebih memilih menyibukkan diri dalam urusan mencari nafkah buat keluarga dan ikut serta dalam perjuangan. Puri Anyar adalah keluarga puri yang republikan, kalangan yang tidak mau tunduk kepada penjajah, lebih memihak kepada rakyat. Kondisi ini menyebabkan puri Anyar mendapat tekanan keras dari Belanda, bahkan banyak tanah yang semula merupakan milik puri Anyar disita oleh Belanda. Dapat dikatakan puri Anyar adalah puri yang miskin dibanding dengan lingkungan keluarga puri yang lainnya. Situasi ini lah yang mengharuskan sosok I Gusti Ayu Rija tumbuh dewasa terlalu cepat dalam hal tindakan dan pemikirannya. Dalam lingkungan keluarga, I Gusti Ayu Rija dipandang sebagai sosok perempuan yang sangat berjasa, sebagai tulang punggung keluarga. Hidup dalam lingkungan masyarakat yang menganut sistem patriarkhi dan memiliki saudara yang kebanyakan laki-laki, Mengharuskan I Gusti Ayu Rija menempatkan dirinya sebagai penghidup keluarga. Dalam usaha menafkahi keluarga, I Gusti Ayu Rija yang merupakan keturunan keluarga puri tidak sungkan-sungkan bekerja mencari upahan menuai padi menjadi pdrop pada musim panen, dan memelihara Babi. Ikut sertanya I Gusti Ayu Rija dalam ranah perjuangan sebagai penghubung dan pengantar logistik dimulai sejak usia 12 tahun, usia yang masih sangat belia. Sejak tahun 1942, semasa Jepang masih berkuasa di Indonesia, ketika Indonesia belum memproklamirkan kemerdekaannya, semenjak itulah I Gusti Ayu Rija sosok
perempuan desa yang hanya mengenyam pendidikan sekolah rendah sebatas baca dan tulis, sosok perempuan yang tidak mengenal idiologi kebangsaan, sosok perempuan yang belum tau yang namanya nasionalisme, sosok perempuan yang lahir dalam tatanan masyarakat patriarkhi, menjelmakan dirinya sebagai sesosok perempuan yang turun tangan dalam perjuangan melawan penjajah. Memasuki tahun 1945 setelah Indonesia merdeka dan setelah Bali secara resmi menjadi salah satu bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia. Ketika pada masa dimana diseluruh wilayah Indonesia sedang semarak menikmati era kemerdekaan, sibuk membentuk segala macam administrasi kepemerintahan, datanglah masa dimana Belanda ingin kembali berkuasa di Indonesia. Era ini lebih dikenal dengan era Revolusi Fisik. Di Bali sendiri Revolusi Fisik dimulai pada tahun 1946, ditandai dengan kedatangan kapal Gajah Merah yang mendarat di Sanur pada pagi hari tanggal 2 Maret 1946 dengan membawa kesatuan alat pemerintahan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) dibawah pimpinan Letkol. Inf. FH Ter Meulen. Dengan persenjataan serba lengkap dan modern bergerak menyebar ke seluruh wilayah Bali dengan memakai tidak kurang dari 150 Truk bersama kendaraan Jip. Maret 1946 NICA memasuki wilyah Bali Utara dan pada tanggal 5 Maret 1946 NICA telah menduduki Singaraja. Dimulailah masa Revolusi Fisik di Buleleng. Memasuki masa Revolusi Fisik di Buleleng seolah-olah menjadi panggilan kembali dari “Ibu Pertiwi” bagi para pejuang yang sebelumnya telah merasa merdeka, untuk kembali berjuang mempertahankan kemerdekaan. Tak terkecuali bagi I Gusti Ayu Rija sendiri yang pasca kemerdekaan telah mengenal yang namanya bendera merah putih, dan sudah bisa merasakan bagaimana rasa nasionalisme itu. Pada masa Revolusi Fisik I Gusti Ayu Rija tanpa diminta oleh siapa pun kembali terjun turun tangan sembari mengajak rekan-rekannya yang lain untuk kembali membantu para kaum laki-laki yang sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan. Tak jauh berbeda dengan tugas yang beliau lakukan pada masa sebelum kemerdekaan dulu,
hanya saja pasca kemerdekaan motif dari apa yang dilakukan oleh I Gusti Ayu Rija lebih mendasar, yaitu didasari oleh semangat kebangsaan. Adapun tugas yang sering dilakukan I Gusti Ayu Rija sebagai penghubung pada masa Revolusi Fisik adalah pengawalan, mengumpulan iuran (iuran perbanjar), mengantarkan surat, dan mengantarkan logistik. Pengawalan yang dilakukan adalah mengawal para pejuang yang akan turun ke garis depan. Ketika ada patroli tentara musuh disinilah tempat peran I Gusti Ayu Rija sebagai penghubung untuk menginformasikan para pejuang bahwa sedang ada patroli tentara NICA. Sedangkan dalam hal mengumpulkan iuran perbanjar I Gusti Ayu Rija harus mendatangi rumah masyarakat satu persatu untuk mengambil iuran berupa padi, beras, jagung, ubi dan bahan makanan lainnya. Tak jarang apabila hasil iuran tersebut masih kurang I Gusti Ayu Rija beserta para penghubung perempuan lainnya harus meburuh disawah orang agar dapat upah berupa gabah yang nantinya bisa diolah sebagai makanan untuk logistik para pejuang. Posisi atau peran serta penghubung dalam perjuangan pada masa itu amat sangat membantu perjuangan para gerilyawan yang sedang berjuang. Dikarenakan melalui para penghubung seperti I Gusti Ayu Rija inilah para pejuang yang sedang bergerilya dapat membaca situasi untuk melakukan penyerangan. Bagaimanapun ketatnya penjagaan musuh selalu ada kontak antara gerilyawan dan rakyat di kota-kota melalui surat-menyurat yang dibawa oleh penghubung, dengan cara menitipkannya pada penghubung yang menyamar sebagai pedagang dari desa yang berjualan ke kota. Berita-berita radio pun dapat dikirim melalui mereka, dengan berbagai cara. Surat-surat dapat disembunyikan dalam keranjang atau dimasukkan dalam bambu, ataupun ditengah-tengah ikatan kayu api yang dibawa dari desa Ambengan, Kedu, Cengana, Abasan, Selat dan desa Kayuputih ke Pabean Singaraja. Demikian pula sebaliknya apabila mereka mebawa suratsurat dari kota ke markas-markas perjuangan disembunyikan pada barangbarang yang mereka bawa. Mereka mengetahui bahwa hal itu berbahaya dan
penuh resiko, namun demi perjuangan mereka laksanakan dengan sangat hati-hati dan penuh rasa tanggung jawab. Tidak jarang mereka digeledah tetapi karena mereka sudah mengetahui dirinya akan diperiksa, maka mereka dengan wajah yang tenang menyerahkan dirinya untuk diperiksa oleh tentara NICA. Karena sikapnya yang tenang itu ahirnya mereka tidak dicurigai hingga lolos dari pemeriksaan. Sumbangansumbangan dari dalam kota ke markasmarkas pun dikirim melalui mereka dengan modus sebagai pedagang yang berjualan ke kota, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan dari pihak musuh. Dalam keadaan yang sangat mendadak sering juga dipergunakan penghubung istimewa baik dari markas ke kota maupun sebaliknya, dari kota ke pedalaman. Surat-surat itu biasanya ditaruh dalam lipatan-lipatan baju, atau di dalam sepatu. Akan tetapi ada juga penghubung yang terkadang nekat, yang membI awanya dengan demikin saja. Begitu ada pemeriksaan dan penggeledahan surat yang mereka bawa dengan cepat dimasukkan ke delam mulut kemudian dikunyah dan ditelan. Selain itu, ternyata keberadaan para penghubung perempuan seperti I Gusti Ayu Rija yang pada masa awal Revolusi Fisik masih menyandang status lajang, ternyata dapat memberikan gairah semangat juang tensendiri bagi para pejuang laki-laki dalam berjuang. Dapat dikatakan keberadaan para penghubung perempuan tersebut memberikan motivator bagi para laki-laki, apalagi penghubung seperti I Gusti Ayu Rija yang lumayan terkenal dengan paras cantiknya. Tak jarang ketika mengantarkan surat atau logistik ke basis para gerilyawan yang sedang bersembunyi, para laki-laki curi-curi pandang melihat kedatangan I Gusti Ayu Rija bahkan ada saja yang kadang kala iseng-iseng merayu. Seiring berjalannya waktu, dalam aktivitasnya sebagai penghubung I Gusti Ayu Rija bertemu dan berkenalan dengan sosok pemuda yang bernama I Gusti Ngurah Wika Ningrat lebih dikenal dengan panggilan Pak Mayor, seorang pejuang, dan masih memiliki hubungan keluarga dengan Mr. I Gusti Ketut Pudja. Bagi I Gusti Ayu Rija perkenalannya dengan Pak Mayor memiliki kisah tersendiri, dimana perkenalan beliau
dimulai ketika terjadinya penghadangan konvoi NICA dan pertempuran di Pangkung Bangka Juli 1946. Dalam penghadangan dan pertempuran selama 3 jam terssebut 9 pemuda pejuang gugur, dipihak NICA sebuah truk hancur oleh ranjau dan 20 tentaranya tewas. Bertepatan dengan penghadangan di Pangkung Bangka, pada waktu itu I Gusti Ayu Rija bertugas mengantarkan logistik berupa makanan dan obat-obatan bagi para pejuang yang sedang melakukan penghadangan. I Gusti Ayu Rija menuturkan betapa gemetar dan ketakutannya ia ketika sampai di Pangkung Bangka melihat ada salah seorang pemuda pejuang yang tergeletak mati tertembak. Ditengah ketakutannya di Pangkung Bangka tersebutlah I Gusti Ayu Rija berkenalan dengan I Gusti Ngurah Wika Ningrat/Pak Mayor yang merupakan salah seorang pemuda pejuang yang saat itu ikut serta dalam penghadangan konvoi NICA di Pangkung Bangka. I Gusti Ayu Rija menuturkan akibat dari penghadangan di Pangkung Bangka para pejuang diburu oleh tentara NICA. NICA menggencarkan patroli untuk memburu dan menangkap para pemuda pejuang, rumahrumah penduduk di geledah, tempat-tempat yang dicurigai menjadi tempat persembunyian para pejuang dibumi hanguskan. Bahkan tentara NICA mengerahkan pesawat capung untuk membombardir wilayah yang dianggap menjadi basis para pejuang. Pada saat itu nama Pak Mayor sendiri menjadi pencarian dalam setiap patroli NICA, setiap orang ditanyai dimana tempat persembunyian Pak Mayor. NICA menganggap Pak Mayor adalah orang yang harus segera ditangkap. Padahal nama panggilan Mayor tersebut bukan atas dasar pangkat, akan tetapi memang merupakan nama panggilan sejak kecil. Setelah sekian lama menjadi buronan ahirnya Pak Mayor ditangkap patroli NICA di dekat puri Sukasada. Setelah perang Puputan Margarana, dapat dikatakan perang perlawanan nampak melemah. Apalagi setelah Indonesia memasuki meja perundingan dengan Belanda muncul intruksi dari pusat agar para pejuang yang ada diseluruh daerah di Indonesia melakukan gencatan senjata. Di Buleleng sendiri informasi gencatan senjara
tersebut diterima pada tanggal 28 Mei 1948. Informasi tersebut disampaikan oleh kurir dari Komando DPRI, dengan instruksi agar para pejuang yang ada di Buleleng melakukan gencatan senjata, dan menyerahkan diri pada Pos Tentara terdekat. Instruksi tersebut ditanggapi berbeda oleh para pejuang. Ada yang mematuhinya karena merupakan perintah dan adapula yang tidak menerimanya dengan alasan apabila menyerahkan diri mereka akan dijebloskan ke penjara. Oleh sebab itu sebagian pejuang tetap ingin berjuang hingga tetes darah penghabisan tanpa negosiasi, karena mereka tidak yakin Belanda akan menepati janjinya apabila diajak berunding. Adanya instruksi gencatan senjata tersebut secara otomatis pada tahun 1948 di Buleleng sudah tidak adalagi pertempuran atau peperangan secara langsung, dikarenakan sudah banyak pejuang yang menyerahkan diri. Hanya sebagian pemuda yang tidak mau menyerahkan diri yang melakukan semacam penghadangan kecilkecilan, tetapi tidak sampai mengarah pada kontak senjata. Setelah adanya kesepakatan dari hasil Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag yang berlangsung selama dua bulan pada tanggal 2 November 1949 Indonesia memperoleh penyerahan kedaulatan dari Belanda. Ahirnya di Buleleng pada tanggal 27 Desember 1949 para pemuda pejuang yang ditahan dibebaskan. Termasuk diantaranya adalah I Gusti Ngurah Wika Ningrat/Pak Mayor. Karena NICA sudah menarik diri Buleleng, sudah tidak ada lagi peperangan yang mengharuskan adanya peran serta para penghubung. Pada masa tersebut I Gusti Ayu Rija hanya menyibukkan diri sebagai seorang perempuan yang bertugas menghidupi keluarga. Memasuki usia 23 tahun, pada tahun 1953 I Gusti Ayu Rija melangsungkan pernikahan dengan salah seorang mantan pejuang pemuda yang dahulu ia kenal semasih menjadi penghubung dan pengantar logistik, yaitu I Gusti Ngurah Wika Ningrat. Setelah menikah beliau aktif dalam urusan kemasyarakatan yang berkaitan dengan adat isitiadat, khususnya bergelut dalam urusan kewanitaan di dalam masyarakat (seperti dalam upcara keagamaan).
Nilai-Nilai Karakter Perjuangan I Gusti Ayu Rija Nilai karakter dalam kehidupan berbangsa sangatlah penting bagi keberlangsungan berbangsa dan bernegara (Mustari, 2004: vii). Biografi perjuangan I Gusti Ayu Rija pada masa revolusi fisik di Buleleng tentunya dapat dijadikan sebagai salah satu sumber sederhana dalam mengambil dan mencontoh nilai-nilai karakter yang positif, guna pewarisannya pada generasi muda. Adapun nilai-nilai karakter yang dapat diambil dari kisah sederhana yang termuat dalam biografi I Gusti Ayu Rija antara lain: (1) relegius; (2) jujur; (3) disiplin; (4) bertanggung jawab; (5) kerja keras; (6) percaya diri; (7) mandiri; (8) sadar diri; (9) patuh pada aturan sosial; (10) respek; (11) demokratis; (12) nasionalis; (13) suka menolong; (14) tangguh; dan (15) berani mengambil resiko. Penjabaran Nilai-Nilai Karakter I Gusti Ayu Rija dalam Silabus Pelajaran Sejarah di SMA Berdasarkan telaah silabus penjabaran nilai-nilai karakter yang termuat dalam perjuangan “I Gusti Ayu Rija Pada Masa Revolusi Fisik 1945-1949 di Buleleng” sangat cocok dan tepat disampaikan dalam “Pembelajaran Sejarah SMA Kelas XI” pada Materi Pokok (MK) “Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan dari Ancaman Sekutu dan Belanda”. Pada bagian MK tersebut guru dapat membahas mengenai perjuangan I Gusti Ayu Rija sosok perempuan yang terpanggil jiwanya untuk turun tangan melakukan perjuangan sebagai seorang penghubung dan pengantar logistik pada masa revolusi fisik di Buleleng. Berpatokan pada struktur kurikulum 2013, dalam kurikulum 2013 terdapat Kompetensi Inti yang menggunakan notasi sebagai berikut: 1. Kompetensi Inti-1 (KI-1) untuk kompetensi inti sikap spiritual 2. Kompetensi Inti-2 (KI-2) untuk kompetensi inti sikap sosial 3. Kompetensi Inti-3 (KI-3) untuk kompetensi inti pengetahuan 4. Kompetensi Inti-4 (KI-4) untuk kompetensi inti keterampilan
Berdasarkan notasi yang ada pada kompetensi inti tersebut, nilai-nilai karakter yang termuat dalam perjuangan I Gusti Ayu Rija dapat diselipkan pada bagian KI-1 dan KI-2. Demikianlah gambaran singkat dari penjabaran nilai-nilai karakter yang termuat dalam perjuangan “I Gusti Ayu Rija Pada Masa Revolusi Fisik 1945-1949 di Buleleng” ke dalam “Silabus Pelajaran Sejarah (Wajib) SMA Kelas XI” berbasis kurikulum 2013. SIMPULAN DAN SARAN I Gusti Ayu Rija adalah putri dari pasangan I Gusti Bagus Negara (putra generasi ke XI puri Anyar) dengan I Gusti Ngurah Rai dari Katiasa. I Gusti Ayu Rija merupakan generasi ke XII dari puri Anyar, anak ke-3 dari 7 bersaudara. Beliau adalah cucu dari I Gusti Bagus Putra mantan Perbekel Padang Bulia tahun 1922. I Gusti Ayu Rija lahir pada tahun 1930 di puri Anyar. Masa kecil I Gusti Ayu Rija adalah masa kecil yang penuh kebersamaan dengan anak-anak dari keluarga biasa-biasa. I Gusti Ayu Rija kecil suka bermain permainan teradisional dan mandi di sungai. Hudup dalam keluarga puri yang miskin karena puri Anyar adalah puri yang republikan, menjadikan I Gusti Ayu Rija perempuan yang tangguh. Sejak muda beliau merupakan tulang punggung penghidup keluarga. Usia 12 tahun dimulai dari dapur masak I Gusti Ayu Rija ikut bergabung dengan masyarakat membantu mempersiapkan makanan bagi para pejuang. Ketika Buleleng memasuki era Revolusi Fisik I Gusti Ayu Rija bertugas sebagai penghubung dan pengantar logistik. Melalui penghubung seperti I Gusti Ayu Rija lah segala macam informasi dapat dikirim oleh para pejuang. Berkat jasa-jasa beliau tersebut 31 Agustus 2004 Departemen Pertahanan Republik Indonesia memberikan I Gusti Ayu Rija gelar kehormatan “Veteran Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia”. I Gusti Ayu Rija adalah sosok perempuan yang lebih memilih turun tangan ketika momentum jiwa zaman membutuhkannya. Betapa pun terlihat sederhananya tugas I Gusti Ayu Rija pada masa Revolusi Fisik di Buleleng akan tetapi memiliki peranan yang sangat penting dalam perjuangan pada masa itu, dan mengandung
nilai-nilai karaktern yang sangat penting untuk diteladani oleh generasi muda penerus bangsa. Adapun nilai-nilai karakter yang termuat dari perjuangan I Gusti Ayu Rija adalah relegius, jujur, disiplin, bertanggung jawab, kerja keras, percaya diri, mandiri, sadar diri, patuh pada aturan sosial, respek, demokratis, nasionalis, suka menolong, tangguh, dan berani mengambil resiko. Nilai-nilai karakter yang termuat dalam perjuangan I Gusti Ayu Rija pada masa Revolusi Fisik di Buleleng dapat dijabarkan ke dalam silabus mata pelajaran sejarah kurikulum 2013. Nilai-nilai karakter I Gusti Ayu Rija sangat cocok dan tepat dijabarkan dalam “Silabus Sejarah (Wajib) Kelas XI” pada Kompetens Inti (KI) 1 dan KI-2, Materi Pokok (MK) “Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan dari Ancaman Sekutu dan Belanda”. Penjabaran nilai-nilai karter I Gusti Ayu Rija pada materi ini sangat berkaitan erat dengan masa I Gusti Ayu Rija berjuang, yaitu pada masa revolusi fisik. Adapun saran dan masukan yang penulis bisa berikan adalah pertama bagi guru sejarah harus mampu menyampaikan atau menyelipkan hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai karakter lokalitas yang mudah diteladani oleh para peserta didik, kedua bagi PEMKAB yang terkait harus memberikan perhatian besar terhadap tokoh-tokoh yang memiliki andil besar bagi daerah, bangsa dan negara dalam perjuangan semasa hidupnya. Jangan sampai tokoh-tersebut hanya tinggal nama, bahkan terlupakan dalam semarak perkembangan zaman. Karena melaui tokoh-tokoh tersebutlah kita dapat memperoleh nilai-nilai karakter kearifan lokal yang bisa diwariskan kepada generasi muda penerus bangsa, dan selanjutnya yang ketiga bagi generasi muda/mahasiswa sejarah. Tulisan ini hanya ibarat setitik air di samudera, masih banyak lagi tokoh-tokoh penting yang harus kita kenal dan teladani nilai-nilai luhurnya. Khusus bagi Mahasiswa Sejarah, terlepas dari banyak kekurangan dalam tulisan ini karena masih membutuhkan pengembangan lebih lanjut, tulisan ini setidaknya bisa dijadikan bahan inspirasi untuk melakukan penulisan karya tulis yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Adams, Cindy. 2011. Bung Karno “Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”. Jakarta: Yayasan Bung Karno. Gunawan, Ryadi, 1993. “Dimensi-dimensi Perjuangan Kaum Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sejarah”. Dalam Fauzie, Ridjal, dkk. (Ed). Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana. Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Mustari, Mohamad. 2004. Nilai Karakter “Refleksi untuk Pendidikan”. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Nuryanti, Reni. 2007. Perempuan dalam Hidup Soekarno: Biografi Inggit Garnasih. Yogyakarta: Ombak. Pageh, I Made. 2010. Metodologi Sejarah Dalam Perspektif Pendidikan. Denpasar: Pustaka Larasan. Putra, I Nyoman Darma. 2007. Wanita Bali Tempoe Doeloe “Perspektif Masa Kini”. Denpasar: Pustaka Larasan. Soekarno. 1963. Sarinah “Kewajiban Wanita dalam Perjoangan Republik Indonesia”. Yogyakarta: The Soekarno Foundation (Panitia Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Soekarno). Suhaimi, Emi. 1997. “Wanita Aceh dalam Peperangan dan Pemerintahan”. Cv. Gua Hira': Banda Aceh. Disarikan dari Hasjmy. 1993. Wanita Indonesia sebagaï Negarawan dan Panglima Perang. Banda Aceh: Yayasan Pendidikan A.Hasjmy. Yamin, Moh. 2010. Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan “Panduan Menciptakan Manajemen Mutu Pendidikan Berbasis Kurikulum yang Progresif dan Inspiratif”. Jakarta: Diva Press.