STULOS 12/1 (April 2013) 39-64
STUDI ETIKA PENDIDIKAN TENTANG PROSES BELAJAR-MENGAJAR YANG MENGUBAH KARAKTER DAN KURIKULUM 2013
Harianto G.P.
Abstrak: Etika pendidikan berbasis nilai-nilai Yesus (learn to know about, learn to do like dan learn to live together with… Jesus) wajib mengisi perubahan dan pertumbuhan kognitif, afektif dan psikomotoris pada para anak didik. Perubahan-perubahan tersebut selalu berpusat kepada Teosentris yang alkitabiah. Dalam konteks tersebut maka dibutuhkan pendidik yang berkarakter Kristus, materi atau kurikulum yang bernilai alkitabiah, anak didik yang telah menerima Yesus sebagai juruselamatnya dan metode belajar-mengajar yang sesuai dengan konteksnya. Etika pendidikan Kristen adalah pendidikan berkarakter Yesus. Kata Kunci: Proses, perubahan, karakter Yesus, kurikulum.
PENDAHULUAN Litbang Jawa Pos mengadakan riset kepada 505 responden mahasiswa di Surabaya. Hasilnya mengatakan bahwa mahasiswa diajar oleh dosen yang ngelatur (tidak mengajar sesuai dengan materi kuliah yang ada) 81%. Apa isi dari ngelatur itu? Jawabannya adalah: 42,1% menceritakan pengalaman pribadi, 36,4% bercanda, dan 13,2% masalah sensitif.1 Perubahan anak didik yang terjadi tersebut tentu saja tidak sesuai dengan tujuan pendidikan yang ada. Proses belajar-mengajar di atas, sungguh menjadi kendala yang memprihatinkan di mana pendidikan belum mampu mengajar secara maksimal. Jadi, ada kemungkinan terjadinya proses pendidikan yang 1
Baca “Ugh, Guruku Ngajarnya Ngelantur!” Jawa Pos, Senin 9 Agustus (2004), 33.
40
STUDI ETIKA PENDIDIKAN
tidak efektif, di mana pendidik tidak menguasai materi serta kurang mampu mengkomunikasikannya kepada para mahasiswa. Berkaitan di atas, maka Daoed Joesoef mengatakan tiadanya atau kurang dihayatinya etika masa depan dalam penalaran di kalangan elit pemimpim bangsa. Etika masa depan timbul dari dan dibentuk oleh kesadaran bahwa semua manusia, sebagai individu maupun kolektif akan menjalani sisa hidupnya di masa depan bersama dengan sesama makhluk hidup lainnya yang ada di muka bumi. Hal ini berarti bahwa etika masa depan menuntun manusia untuk tidak mengelakkan tanggung jawab atas konsekuensi dari setiap perbuatan yang dilakukannya di masa sekarang.2 Memperlengkapi proses belajar-mengajar yang kurang maksimal, maka memberi contoh etika dan moral di sekolah. Permasalahan etika dan moral siswa di sekolah kerapkali dibebankan sebagai tanggung jawab guru agama dan pendidikan kewarganegaraan. Dalam Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 revisi terhadap sistem pendidikan yang dilakukan sesuai dengan tuntutan perubahan reformasi dan bergulirnya demokratisasi serta menguatnya isu Hak Asasi Manusia (HAM). Guru sebagai tenaga pendidikan mempunyai makna penting untuk berperan serta dalam mensukseskan tujuan pendidikan nasional, yang bercita-cita terwujudnya manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa serta berkembangnya potensi diri secara optimal. Untuk mencapai pada cita-cita tujuan pendidikan nasional, maka guru bukan hanya sebagai pengajar tetapi juga sebagai pendidik yang mampu: membimbing, mengarahkan, mempengaruhi, dan menjadi pengganti orang tua di sekolah. Guru sebagai pendidik dituntut memiliki kecakapan secara akademis dan juga secara mental mampu memberikan teladan yang baik bagi anak didiknya.3 Inilah tugas penting pendidik dalam proses pendidikan.
2 Daoed Joesoef, “Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran”, dalam Sularto (ed.). Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: Antara Cita dan Fakta. Kompas (2001). 3 Hidajat Rahardja “Implementasi Nilai-nilai Intelektual, Emosional dan Spiritual dalam Pembelajaran Biologi” dalam re-searchengines.com/hidayat0608.html. (Diakses tanggal 27 Juni 2008).
JURNAL TEOLOGI STULOS
41
Pendidikan adalah suatu proses panjang dalam rangka mengantarkan manusia menjadi seseorang yang kaya spiritual dan intelektual.4 Dalam konteks ini Noeng Muhadjir menyebutkan adanya tiga fungsi pendidikan, yaitu: pertama, pendidikan berfungsi menumbuhkan kreativitas peserta didik. Kedua, pendidikan berfungsi mewariskan nilai-nilai kepada peserta didik. Ketiga, pendidikan berfungsi meningkatkan kemampuan kerja produktif peserta didik. Ketiga fungsi pendidikan tersebut pada prinsipnya merupakan suatu kesatuan organik dan, karena itu, harus dilaksanakan secara terpadu dan berimbang. Namun dalam kenyataannya, praktek lapangan pendidikan yang berjalan selama ini cenderung hanya mengaktualisasikan fungsi pertama dan ketiga, tetapi mengabaikan fungsi kedua (mewariskan nilai-nilai kepada peserta didik).5 Kenyataan inilah yang dimaksud oleh M. Rusli Karim ketika dia mengatakan bahwa pendidikan kita hanya melakukan transfer of knowledge (alih pengetahuan) dan tidak melakukan transfer of value (alih nilai). Kecenderungan praktek pendidikan kita yang lebih mengedepankan alih pengetahuan dan menomerduakan upaya alih nilai agaknya berkaitan erat dengan paradigma modernisasi yang menjadi ideologi pembangunan nasional. Dalam konteks ini pendidikan sebagai institusi yang diarahkan untuk melayani kepentingan pembangunan kemudian mengalami reduksi fungsional dengan hanya menjadi sekedar “pemasok” tenaga kerja terampil yang dibutuhkan oleh dunia industri.6 Selanjutnya bahwa Kuntowijoyo menyebut gejala di atas sebagai kesenjangan antara kesadaran dan perilaku adalah suatu gejala yang merupakan ciri-ciri kemajuan era reformasi. Dalam menghadapi kondisi tersebut maka sangat mendesak dibutuhkannya kerinduan akan adanya 4 Ahmad Syafii Maarif, “Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat” dalam Jurnal Pendidikan Islam, No. 1 Th. I (Oktober 1996); 6. 5 Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Suatu Teori Pendidikan (Yogyakarta: Reka Sarasih, 1987), 20-25. 6 Ahmad Averoz, ”Etika Pendidikan: Pembentukan Kecerdasan Spiritual”, zuhdifirdaus.wordpress.com/2008/08/28/etika-pendidikan-pembentukan-kecerdasan-spirit ual (Diakses tanggal 20 Juni 2011).
42
STUDI ETIKA PENDIDIKAN
nilai-nilai moral yang luhur yang timbul dari dalam jiwa setiap insan Indonesia, yang pada gilirannya berperan sebagai acuan hubungan sosial di antara sesama manusia. Dalam konteks inilah bahwa pembentukan SQ (spiritual quotient) menjadi sangat penting sebagai etika masa depan pendidikan nasional.7 Berkaitan di atas, maka Djamaludin Ancok menjelaskan bahwa memasuki ekonomi baru yang virtual diperlukan empat modal, yaitu: intelektual, modal sosial, modal spiritual dan modal kesehatan. Menurutnya, modal spiritual menjadi sangat penting, karena upaya membangun manusia yang cerdas dengan IQ tinggi dan manusia pandai mengelola emosinya dalam berhubungan dengan orang lain tidaklah mengantarkan manusia pada kebermaknaan hidup. Padahal kebermaknaan hidup adalah suatu motivasi yang kuat yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang berguna. Hidup yang berguna adalah hidup yang memberi makna pada diri sendiri dan orang lain. Modal spiritual juga dapat memberikan perasaan hidup yang komplit (wholeness), karena adanya kedekatan dengan Sang Pencipta.8 Tujuan menulis paper ini adalah menjawab pertanyaan sebagai berikut: apakah yang dimaksud dengan etika pendidikan kristiani? Apakah nilai-nilai etika pendidikan? Bagaimanakah nilai-nilai etika pendidikan membawa nilai-nilai Kristiani? Bagaimanakah studi etika pendidikan tentang proses belajar-mengajar yang mengubah karakter?
ETIKA PENDIDIKAN KRISTIANI Menurut etimologinya, etika berasal dari kata Yunani ethos yang mempunyai banyak artinya: “tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir”. 7
Kuntowijoyo, “Kesadaran dan Perilaku” dalam Selo Soemardjan (ed.). Menuju Tata Indonesia Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), 253. 8 Djamaluddin Ancok, “Membangun Modal Manusia Melalui Pengembangan IQ, EQ, dan SQ” Makalah tidak diterbitkan. Fak. Psikologi UMS, Surakarta 2001.
JURNAL TEOLOGI STULOS
43
Bentuk jamak dari ethos adalah “ta etha” yang berarti “adat kebiasaan”. Arti jamak ini yang dipakai oleh Aristoteles (384-322 S.M.) untuk menunjuk pada istilah etika sebagai filsafat moral. Selain itu kata “moral” (Latin mos, jamak mores) juga berarti “kebiasaan” atau “adat”, di mana “moralitas” (Latin, moralitas) merupakan abstraksi dari kata moral yang menunjuk pada segi baik buruk suatu perbuatan. Hal tersebut biasanya disebut “moralitas” suatu perbuatan, namun bukan “moral” suatu perbuatan. Jadi, etika adalah ilmu yang mempelajari tentang apa-apa yang biasa dilakukan.9 Dalam kamus, “etika” memiliki tiga arti berikut.10 Arti pertama, etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Dalam pengertian ini etika adalah sebuah ilmu yang obyek kajiannya adalah nilai-nilai etis yang, disadari atau tidak, diterima dalam suatu masyarakat. Arti kedua, adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. Arti ketiga, adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat. Dan untuk mengembangkan pemikiran itu, maka Franz Magnis-Suseno mengatakan bahwa etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasarkan tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama.11 Sedangkan pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, pembuatan mendidik.” Ensiklopedi Wikipedia menuliskan: “Education is a social science that encompasses teaching and 9 Tentang peristilahan ini lihat juga K. Bertens, Etika, Seri Filsafat Atmajaya 15 (Jakarta: Gramedia, 1993), 4-7. 10 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 237. 11 Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 14.
44
STUDI ETIKA PENDIDIKAN
learning specific knowledge, beliefs, and skill. The word education is derived from the Latin educare meaning “to raise”, “to bring up”, “to train”, “to rear”, via education/nis”, bringing up, raising”.12 Menurut UU SISDIKNAS No. 2 Tahun 1989 bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”. Selanjutnya dalam UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 mengatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Dengan demikian, maka pendidikan adalah proses internalisasi paham dan nilai melalui pengalaman paham dan nilai, melalui perenungan, aspirasi, dan penerimaan paham serta nilai, dan melalui pengalaman paham serta nilai di dalam kehidupan.13 Jadi meringkas pengertian pendidikan di atas yang kemudian direlasikan dengan nilai-nilai etika, maka ditemukan dalam surat-surat Paulus bahwa prinsip-prinsip etika dibuatnya sebagai penuntun kehidupan orang-orang Kristen sebagai berikut: (1) Dipraktikkan dengan melihat kondisi lingkungan Kristen dan non Kristen. (2) Di antara komunitas gereja Kristen ia menggunakan istilah ketergantungan, gotong-royong dari jemaat sebagai anggota tubuh Kristus satu sama lain. Tujuannya untuk kepentingan bersama secara sosial. (3) Standar nilai dan ukuran etis Paulus adalah “dalam Kristus” (in Christ) yang menjadi landasan dari etika dalam keluarga dan dalam pekerjaan. (4) Sikap pengambilan keputusan etis harus ada dalam pimpinan Roh Kudus yang berbicara melalui hati nurani. (5) Orang Kristen tidak boleh berkompromi dengan dunia dan tidak boleh menjadi penghalang bagi orang kafir untuk mengenal Yesus. Tindakan yang bijaksana harus diambil seperti mengenai 12
www.scribd.com/doc/7592955/Definisi-Pendidikan. J. Riberu, “Masalah Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan Agama pada khususnya” dalam Identitas & Ciri Khas Pendidikan Kristen di Indonesia (2000), 170. 13
JURNAL TEOLOGI STULOS
45
makanan dan minuman dan penggunaan karunia-karunia. (6) Hubungan suami-istri, tuan dan hamba, negara dan rakyat, melibatkan prinsip-prinsip spiritual dari tubuh Kristus dan kepala (Petrus juga memiliki prinsip etika ini). Prinsip ini begitu mendalam dan berhubungan dengan etika sosial dan etika politik dalam masyarakat yang harus diperhatikan orang percaya. (7) Prinsip-prinsip etis kerja juga dinyatakan Paulus dalam mengadakan rekonsiliasi Onesimus dan Filemon. (8) Sikap etis juga diajarkan Paulus untuk memelihara keindahan penyembahan, pelayanan, dan penggunaan karunia-karunia dalam jemaat. Dalam surat Korintus, Paulus dengan jelas, tegas dan mendetail mengenai hal ini. Di sini etika pelayanan dan ibadah mencerminkan kehidupan orang percaya yang hidup dalam anugerah dan disiplin Allah. (9) Ketegasan sikap etis Paulus diwujudkan dalam penerapan disiplin terhadap pelanggaran moral.14 Dengan demikian maka etika pendidikan adalah usaha sadar dan terencana dalam proses belajar-mengajar di mana pendidikan membawa pengajaran mengenai apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); nilai mengenai benar dan salah agar anak didik mengalami perubahan akhlaknya yang lebih baik.
NILAI-NILAI ETIKA PENDIDIKAN Nilai-nilai etika pendidikan jelas merupakan pengembangan dari pemahaman etika pendidikan itu sendiri. Jadi, agar proses pendidikan berjalan dengan lancar, maka etika digunakan sebagai “frame” yang membatasi gerakan pendidikan di mana nilai pendidikan memperhatikan: apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang bermoral dan tidak bermoral, dan apa yang benar dan yang salah. Berkaitan di atas, maka saran UNESCO dalam memahami fenomena ini sebagai berikut: 14
Gerald Harris, The Beginnings of Church Discipline dalam Understanding Paul’s Ethics oleh Brian S. Rosner, Editor (Grand Rapids, MI: Wm B. Eerdmans Pub. Co., 1995), 129. Menurut Harris, tindakan disiplin Paulus ini sebagai usaha untuk mengontrol hubungan sosial dalam jemaat yang lazimnya dipraktekkan dalam gereja mula-mula.
46
STUDI ETIKA PENDIDIKAN
Pendidikan mesti mengandung tiga unsur, yaitu: unsur Learn to Know (belajar untuk tahu) dan Learn to Do (belajar untuk berbuat) yang lebih terarah membentuk having agar SDM memiliki kualitas dalam pengetahuan dan skill, sedangkan unsur ketiga learn to live together yang lebih mengarah kepada being menuju pembentukan karakter bangsa.15.
Melengkapi di atas, maka Prof. Suyanto, Ph.D. menegaskan nilai-nilai etika pendidikan adalah nilai-nilai etika bermartabat. Memartabatkan pendidikan tidak berarti menempatkan nilai etis pendidikan di atas tata nilai lainnya di dalam pergaulan sosial, politik, ekonomi bahkan budaya. Memartabatkan pendidikan berarti memberikan nilai rasa estetis kolektif maupun individual pada sisi perilaku dan etika pergaulan yang lebih bermartabat. Hal itu dilakukan karena, pendidikan merupakan sebuah indikator penting untuk mengukur kemajuan sebuah bangsa. Jika sebuah bangsa ingin ditempatkan pada pergaulan dunia dalam tataran yang bermartabat dan modern, maka yang pertama-tama harus dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang memiliki relevansi dan daya saing bagi seluruh anak bangsa. Mengapa demikian? Karena pendidikan merupakan gerbang untuk memahami dunia sekaligus gerbang untuk menguasai pola pikir dan kultur spesifik di dalam pergaulan global.16 Nilai-nilai etika pendidikan meliputi dua hal, yakni: pemahaman memadai tentang nilai-nilai dasar kehidupan dan teladan hidup nyata dari public figure. Nilai-nilai vital dimaksudkan adalah penghargaan terhadap harga diri dan orang lain, tanggung jawab terhadap keselamatan diri sendiri dan orang lain, sikap toleran sekaligus sikap kritis terhadap realitas keseharian, kesempatan hidup dalam pilihan-pilihan dan kebebasan mengambil keputusan sendiri, serta jiwa sosial yang tinggi, selain pengakuan pluralistis budaya dan keunikan manusia. Tentu tidak kalah penting, kedekatan mereka terhadap nilai-nilai religius yang universal. 15
Www.elfiana-unindra-bio2a.blogspot.com/.../nilai-nilai-pendidikan-di-indonesia.
html -. 16
Suyanto, ”Pendidikan Bermartabat”, www. mandikdasmen.aptisi3.org/index.php? option...id.
JURNAL TEOLOGI STULOS
47
Internalisasi substansi nilai-nilai etis ini merupakan modal sangat penting bagi anak-anak berhadapan dengan faktor eksternal yang memberondong mereka. Selain sejumlah muatan nilai di atas, yang tidak boleh diabaikan adalah teladan baik pejabat publik. Adalah sikap kontraproduktif dan inkonsisten kalau anggota lembaga pembuat undang-undang, yang berniat menghentikan kebejatan moral masyarakat, justru mempertontonkan pelanggaran etika. Ini jelas merupakan contoh yang tidak terpuji.17 Pendidikan nilai-nilai, yang selanjutnya kalau diulang-ulang sebab diteguhkan akan berubah menjadi penghayatan nilai-nilai, mempunyai syarat-syarat yang berlainan dengan pendidikan fakta-fakta ketrampilan sebagai berikut. Syarat Pertama, adalah nilai itu mestilah mempunyai model. Yang berarti tempat di mana nilai itu melekat supaya dapat disaksikan bagaimana nilai-nilai itu beroperasi. Ambillah suatu nilai seperti kejujuran. Nilai ini bersifat mujarrad (abstract), jadi tidak dapat diraba dengan panca indera. Tidak dapat dilihat dengan mata, rupanya bagaimana. Tidak dapat dicium baunya, harum atau busuk dan sebagainya. Namun dapat mencerminkan nilai-nilai yang disebut, kejujuran itu pada dirinya, maka kejujuran itu boleh menjadi perangsang. Syarat yang kedua, adalah kalau kejujuran itu dapat menimbulkan peneguhan pada diri murid-murid maka ia akan dipelajari, artinya diulang-ulang dan kemudian berubah menjadi penghayatan. Syarat kedua agak rumit sedikit, sebab selain daripada nilai kejujuran itu sendiri, juga model tempat kejujuran itu melekat diperlukan berfungsi bersama untuk menimbulkan peneguhan itu. Dalam keadaan ini, pendidik sebagai perangsang (stumulus) akan memancing tingkah laku kejujuran murid-muridnya. Kedua, oleh sebab model tempat melekatnya nilai-nilai yang ingin diajarkan kepada murid-murid adalah manusia biasa. Dengan pengertian dia mempunyai kekurangan-kekurangan, maka nilai-nilai yang akan diajarkan itu boleh menurun nilainya. Hal itu disebabkan oleh kekurangan17
Kasdin Sihotang, ”Prioritas Pendidikan Nilai”, Sinar Harapan, edisi Sabtu, 8 November (2008).
48
STUDI ETIKA PENDIDIKAN
kekurangan yang ada pada model itu, malah ada kemungkinan anak didik mempelajari nilai sebaliknya. Jadi daripada jujur dia menjadi tidak jujur, jika pada model itu menimbulkan sifat-sifat atau tingkah laku yang tidak meneguhkan kejujuran itu. Ketiga, semua pendidik, terlepas daripada mata pelajaran yang diajarkannya, adalah pengajar nilai-nilai tertentu. Sebab para pendidik tersebut sadar atau tidak, mempengaruhi murid-muridnya melalui kaedah-kaedah dan strategi-strategi pengajaran yang digunakan, di mana sebagian besarnya termasuk dalam kawasan ‘kurikulum informal’. Sebagaimana setiap pendidik, apapun yang diajarkannya, adalah seorang pendidik bahasa maka setiap pendidik juga adalah seorang pengajar nilai-nilai. Bila seorang pendidik memuji seorang murid, maka ia meneguhkan sesuatu tingkah laku. Bila pendidik menghukum seorang murid, maka ia menghukum tingkah laku tertentu. Malah bila pendidik tidak mengacuhkan seorang murid, maka murid tersebut mungkin merasa bahwa ia tidak menyukai perbuatannya. Ini semua adalah nilai-nilai. Dengan demikian maka nilai-nilai etika pendidikan menjadi wajib di mana bukan saja menjadi materi dan diajarkan kepada anak didik, tetapi pendidik juga mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam sekolah maupun di luar sekolah. Berkaitan hal di atas, maka dalam 2 Timotius 3:16-17 dapat ditemukan nilai-nilai pendidikan sebagai berikut: (1) Tiap pendidikan bertujuan mengembangkan semua potensi seorang individu secara maksimal sesuai prinsip pengajaran kebenaran Firman Tuhan. (2) Tiap pendidikan mempunyai tujuan untuk menghasilkan masyarakat yang memiliki integritas baik dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan Firman Tuhan. (3) Pendidikan sekurang-kurangnya dapat memberikan kepada peserta didik cukup pengetahuan dan kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas yang produktif dalam masyarakat berdasarkan Firman Tuhan. (4) Keseluruhan pendidikan sekurangkurangnya dapat memberikan kepada peserta didik kematangan moral yang baik.
JURNAL TEOLOGI STULOS
49
Jadi nilai-nilai etika Kristen wajib digali dalam berdasarkan adalah: kehidupan, tindakan, ajaran dan karya Yesus Kristus melalui Alkitab. Di sini muncul pemahaman nilai-nilai etika berdasarkan sebagai berikut: learn to Know (belajar untuk tahu) tentang Yesus, learn to Do (belajar untuk berbuat) seperti Yesus dan learn to live together with Yesus. Ketiga point tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan wajib berjalan bersama-sama membentuk wordview dan gaya hidup etika pendidikan. Learn to Know Yesus
Learn to Do
Learn to Live Together
Learn to Know tentang Yesus Nilai-nilai etika berdasarkan learn to know tentang Yesus berarti pendidik dan anak didiknya wajib belajar mengetahui tentang Yesus di mana ia belajar mengenal sebagai berikut: (1) Tindakan Missio Christi digambarkan sebagai pengorbanan dan datang sebagai misionaris untuk semua bangsa sebagai berikut: sebagai pengorbanan, seorang misionaris, dan kedatangan Yesus untuk semua bangsa. (2) Pengajaran Missio Christi mencakup: satu-satunya Jalan Keselamatan kekal dan Yesus mengajarkan para pengikut-Nya bahwa bagaimana mereka bisa menjalani sebuah kehidupan yang berbuah-buah, yakni dengan berada dekat dengan Dia (Yoh. 15: 1-16).18 Learn to Do seperti Yesus Nilai-nilai etika berdasarkan learn to do seperti Yesus berarti pendidik 18
Baca Harianto GP, Pengantar Misiologi (Yogyakarta: Andi, 2012) mengenai Missio Christi.
50
STUDI ETIKA PENDIDIKAN
dan anaknya wajib belajar melayani seperti Yesus. Pendidikan memberi warna terhadap apa yang dilakukan oleh Yesus dalam kehidupan-Nya. Dalam konteks to do seperti Yesus mencakup adalah: belajar hidup dan melayani seperti Tuhan Yesus (Mrk. 7: 31-37). Di sini bahwa Yesus melakukan semua proses ini di dalam persekutuan dengan setiap orang yang ditemuinya (tidak melihat latar belakang: pangkat, ekonomi, atau kepandaian). Justru Yesus datang ke bumi untuk bersekutu dengan orang-orang yang berdosa dan Dia memberi makan ratusan bahkan ribuan orang (Mrk. 8.1-10). Yesus tidak mengejar ketenaran dunia. Bukan itu saja, Dia bahkan melarang orang-orang untuk memberitakan keajaiban yang telah diperbuat-Nya (ay. 36). Dia memiliki kesempatan besar untuk menjadi terkenal, namun Ia tidak memanfaatkan kesempatan tersebut, sebaliknya Ia menahan diri-Nya. Dengan demikian, maka pelayanan-Nya menghasilkan sesuatu yang nyata dan baik. Learn to Live Together bersama Yesus Nilai-nilai etika berdasarkan learn to live together bersama Yesus berarti pendidik dan anaknya wajib hidup menjadi murid Yesus. Dia memerintahkan para Rasul-Nya di awal pelayanan fana-Nya, “Ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia” (Mat. 4:19). Kita perlu “mengikuti-Nya,” dan sewaktu kita melakukan ini, Juruselamat akan memberkati kita di luar kemampuan kita untuk menjadi seperti yang Dia kehendaki. Di sini bahwa “mengikuti Kristus” artinya menjadi lebih seperti Dia. Itu artinya belajar dari sifat-Nya. Juruselamat mengundang kita untuk mempelajari Injil-Nya dengan menjalankan ajaran-ajaran-Nya. Para nabi zaman dahulu dan zaman modern menjelaskannya dalam tiga kata: “Mematuhi perintah-perintah”—tidak kurang, tidak lebih.” Kata pemuridan, berasal dari kata “murid” atau dalam bahasa Yunani μαθητής, atau disciple dalam bahasa Inggris dan discipulus (latin) yang berarti seorang pembelajar. Dengan demikian bahwa salah satu esensi
JURNAL TEOLOGI STULOS
51
dari pemuridan adalah: keberanian untuk meresponi panggilan Yesus untuk mengikuti Dia, meninggalkan semua gaya hidup lama kita dan masuk dalam kehidupan baru bersama Yesus seperti yang tercatar dalam Matius 28:16 dst. dan Markus 1: 16 17.
NILAI-NILAI ETIKA PENDIDIKAN MENUJU PERUBAHAN KARAKTER Etika Kristen adalah berhubungan dengan moral yang benar dan salah. Moral yang benar berdasarkan karakter moral Allah (Rm. 1:19-20: 2:12-14).19 Alkitab menjadi dasar untuk mengetahui karakter moral Allah. Jadi, nilai-nilai dan norma-norma moral wajib berdasarkan Alkitabiah sebagai sumber kehidupan orang Kristen. Tetapi, masalahnya, bagaimana orang Kristen yang hidup di bumi ini? Apakah ia bisa hidup dengan menjaga ketetapan dan peraturan Allah, seperti yang tergambar dalam kisah tentang pembayaran pajak Mrk. 12:14-17. Dialog Yesus dengan beberapa orang Farisi dan Herodian dengan Yesus menjelaskan ada pemisahan yang tegas antara ”Etika Allah” dengan ”Etika Duniawi”. Apa yang bersumber dari negara (pajak), maka orang Kristen wajib memenuhinya, dan apa yang bersumber dari Allah, orang Kristen wajib mentaati dan menjalankannya. Sebenarnya, bila melihat sejarah Alkitab -- diurut dari awal penciptaan sampai manusia berdosa dan dibuang ke bumi, lalu adanya Torat atau etika Allah yang diwakili oleh Musa, lalu perjalanan bangsa Israel bisa menempati tanah perjanjian yaitu Kanaan, bangsa Israel mengalami pembuangan ke Babilon, berlanjut dengan inkarnasinya Allah menjadi manusia di bumi, yaitu Yesus Kristus, mati, disalibkan, pada hari ketiga bangkit, dan meninggalkan bumi duduk di sebelah kanan Allah, lalu masuk pada zaman Petrus di mana lahirnya gereja mula-mula, kondisi zaman Paulus sampai pada Wahyu -- maka dengan jelas dikatakan bahwa ’etika Alkitabiah’ sudah ada jauh sebelum 19
Norman L. Geisler, Christian Ethics (Grand Rapids: Baker Book, 1990), 17.
52
STUDI ETIKA PENDIDIKAN
manusia diciptakan. Allah mempunyai nilai-nilai dan norma-norma sebelum dan saat penciptaan (Kel. 4:12, Ul. 4:5, Im. 18: 4-5). Jelas bahwa Allah telah menciptakan dan meletakkan peraturan dan ketetapan-Nya untuk dianut oleh umat-Nya. Bahkan Allah berjanji dalam melaksanakan ketetapan-Nya dan peraturan-Nya, Allah akan menyertai umat-Nya. Umat-Nya tidak berjalan sendiri, melainkan Allah yang menuntun dan mengarahkan kehidupan mereka. Di sini, jelas bila ”Etika Allah” haruslah menjadi kompas hidup umat-Nya. Ayat berikutnya, semakin memperjelas bahwa manusia (Pemazmur) sangat membutuhkan ketetapan dan peraturan Allah. Pemazmur berteriak-teriak: ”Ajarkan kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana (Mz. 90:12). Ajarlah aku melakukan kehendak-Mu, sebab Engkaulah Allahku! Kiranya Roh-Mu yang baik itu menuntun aku di tanah yang rata! (Mz. 143:10). Berbahagialah orang yang Kauajar, ya TUHAN, dan yang Kau ajari dari Taurat-Mu, untuk memenangkan dia terhadap hari-hari malapetaka, sampai digali lobang untuk orang fasik (Mz. 94:12-13). ”Etika Allah” tidak saja menjadi kompas kehidupan orang Kristen, melainkan menjadi dasar untuk memecahkan segala perkara. ”Etika Allah” adalah pembasmi segala bentuk malapetaka atau kejahatan yang menimpa umat-Nya. Bagi Allah, tidak perlu seorang manusia jahat atau bukan, tetapi bila manusia itu mentaati ajaran Allah dan menerapkan dalam kehidupannya, maka orang jahat itu akan selamat. Kita lihat apa yang difirmankan Allah lewat Yehezkiel. ”Orang jahat itu mengembalikan gadaian orang, menuruti peraturan-peraturan yang memberi hidup, sehingga tidak berbuat curang lagi, ia pasti hidup, ia tidak akan mati (Yeh. 33:15). Dengan demikian Allah telah meletakan diri-Nya dan karya-Nya menjadi dasar bagi etika-Nya dimana manusia yang menyembah-Nya harus tunduk dan mengikuti etika yang Dia buat. Jadi menjadi orang Kristen berarti hidup dalam nilai-nilai etika yang dibuat oleh Allah.
JURNAL TEOLOGI STULOS
53
PROSES BELAJAR-MENGAJAR KARAKTER KRISTEN Pendidikan Kristen yang benar dan bertanggung jawab wajib mementingkan adanya keseimbangan secara intergratif antara Iman Kristen Alkitabiah, praktik hidup moral Kriten sehari-hari. Seperti dijabarkan berikut.
Pendidik yang Berkarakter Kristus Pendidik adalah posisi mengajar. Kata “mengajar” (verb) berarti “memberi pelajaran (guru – murid), melatih, memarahi (memukuli, menghukum, dsb.) supaya jera:20 ia – berenang. Mengajar adalah peristiwa bertujuan, terarah pada tujuan dan dilaksanakan khusus untuk mencapai tujuan itu. Apabila yang dituju atau yang akan dicapai titik C, maka dengan sendirinya proses mengajar belum dapat dianggap selesai apabila yang dicapai di dalam kenyataan barulah titik A atau B. 21 Dengan demikian, taraf pencapaian tujuan pengajaran merupakan petujuk praktis tentang sejauh manakah interaksi edukatif itu harus di bawa untuk mencapai tujuan yang terakhir. Linda J. Vogel mengatakan bahwa mengajar memberi kuliah atau berceramah.22 Berkaitan di atas ada tiga kriteria menjadi pendidik yang terbaik sebagai berikut: pertama, pendidik secara aktif harus dapat menterjemahkan sendiri jiwa tujuan umum dalam bentuk-bentuk yang khusus, yang dikaitkan dengan tujuan akhir. Tujuan akhir adalah agar dengan pengetahuan membaca itu anak-anak dapat mendalami tata susila, ilmu kebijaksanaan di dalam berbagai hasil kebudayaan (buku dan lain-lain).23 Kedua, setiap pendidik bertolak dari suatu filsafat. Artinya, seorang pendidik mendapat kepercayaan dan kehormatan mengajar, kepadanya 20
Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 17. Winarno Surakhmad, Pengantar Interaksi Mengajar-Belajar (Bandung: Tarsito, 1982), 34. 22 Linda J. Vogel, “Mengajar dan Belajar di dalam Kelompok Masyarakat Iman” Sekolah Tinggi Baptis Indonesia, Semarang tp.th, 55. 23 Ibid., 37. 21
54
STUDI ETIKA PENDIDIKAN
juga dipercayakan kemampuan untuk mengambil keputusan yang bersifat normative; keputusan-keputusan dipandang sebagai “penjelmaan filsafat hidup” yang dianutnya. Filsafat guru berwujud dalam perumusan tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan memberi arah yang umum pada filsafat yang mendasari segala kegiatan pendidikan.24 Apa yang disarankan di atas adalah baik, tetapi lebih sempurna lagi bila pendidik bukan cuma bertugas dalam faktor kognitif saja, lebih jauh lagi adalah juga merubah faktor afektif dan psikomotoris. Pendidik adalah surat terbuka – menggunakan istilah Rasul Paulus – karena itu, ia adalah kumpulan dari nilai-nilai etika Kristen. Pendidikan adalah mendemokan nilai-nilai etika Yesus. Oscar Thompson, Jr. memberikan contoh bahwa keberhasilan pemberitaan Injil bukan ditentukan seseorang belajar teknik penginjilan di kelas, melainkan ditentukan oleh hubungan Pemberita Injil itu sendiri dengan Allah. Bila hubungan dirinya dengan Allah berjalan baik, maka kehidupannya juga menjadi baik dan orang dapat dimenangkan karena kebaikan dirinya itu.25 Jadi, pendidik bukan berhasil karena metode mengajarnya yang efektif saja dalam perubah anak didik tetapi juga kesaksian hidupnya sangat mempengaruhinya. Kesaksian hidupnya dalam mendemontrasikan nilai-nilai etika Kristen dalam kehidupannya sehari-hari. Karena itu nilai-nilai etika Yesus memposisikan pendidik menjadi agen perubahan menuju perubahan mempunyai karakter seperti Kristus.
Material yang Teosentris Kurikulum (materi) adalah suatu rencana yang menjadi panduan dalam menyelenggarakan proses pendidikan.26 Melanjutkan pemikiran di atas, maka Saylor, Alexander dan Lewis merumuskan kurikulum sebagai berikut: pertama, kurikulum sebagai rencana tentang mata pelajaran atau 24
Ibid., 56,57. Baca Oscar Thompson Jr., Lingkaran Konsentrasi & Kesaksian yang Berpengaruh (Bandung: LLB, 1990). 26 Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum di Sekolah (Bandung: Sinar Baru, 1992) 2. 25
JURNAL TEOLOGI STULOS
55
bahan-bahan pelajaran. Kedua, kurikulum sebagai rencana tentang pengalaman belajar. Ketiga, kurikulum sebagai rencana tentang tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Keempat, kurikulum sebagai rencana tentang tempat belajar.27 Tak heran bila Eli Tanya merumuskan kurikulum berarti “sepanjang hidup belajar, meringkas segala pengalaman dan pengaruh-pengaruh yang terdapat di sekeliling murid. 28 International Council of Religious Education mendefinisikan kurikulum adalah “pengalaman si pelajar di bawah bimbingan.”29 Abdul Rajak Husain mengatakan kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar.30 Studi Lois E. LeBar mengenai kurikulum yang God-centered 31 sangat bermanfaat dalam merumuskan kurikulum berbasis misiologi. LeBar meletakkan Firman Tuhan sebagai dasar pusat kurikulum karena tidak ada buku yang dapat dibandingkan dengan Firman Tuhan. Sedangkan Robert L. Woodruff mengatakan bahan pengajaran kurikulum berbasis misiologi dapat difokusnya dalam integrasi antara matra spiritual, akademik (pengetahuan), dan ministry mission. “Spiritual formation (to be like Jesus), mastering a body of knowledge (to know of high academic) and developing professional skill in ministerial practice (to do proclaim of the Gospel)”.32 Dengan materi (kurikulum) yang berfokus kepada Allah (Teosentris) baik tindakan maupun karya-karya-Nya (termasuk ajaran-Nya), yang ditajamkan dalam kehidupan Yesus Kristus maka nilai-nilai etika pendidikan kristiani dapat dikembangkan dengan maksimal. Materi ini sangatlah efektif untuk diajarkan kepada anak didik. 27
Ibid., 2-3. Eli Tanya, Gereja dan Pendidikan Agama Kristen (Cipanas: STT Cipanas, 1999), 27. 29 Randolph C. Miller, Education for Christian Living (New Jersey: Prentice Hall, 1956), 44. 30 Abdul Rajak Husain, Penyelenggaraan Pendidikan Nasional (Solo: CV Aneka, 1995), 34. 31 Lois E. LeBar, Education That is Christian (Wheaton: Victor Books, 1989), 256. 32 Robert L. Woodruff, Education on Purpose: Model for Education in World Areas (n.p.: QUT Publications, 2001), 14. 28
56
STUDI ETIKA PENDIDIKAN
Perubahan pada Anak Didik Anak didik dalam posisi belajar. Belajar sebagai proses perubahan tingkah laku merupakan proses yang terjadi di dalam satu situasi, bukan di dalam satu ruang hampa. Situasi belajar ditandai dengan adanya motif-motif yang ditetapkan atau diterima oleh murid.33 Kesulitan yang ada pada umumnya dihadapi oleh orang yang belajar adalah tidak cukupnya pengetahuan mereka mengenai cara-cara belajar. Dalam proses belajar anak didik memerlukan kesiapan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kesiapan belajar adalah: pertama, kurang dapat memusatkan perhatian kepada pelajaran yang sedang dihadapi. Kedua, tidak dapat menguasai kaidah yang berkaitan sehingga tidak dapat memahami pelajaran. Ketiga, lambat membaca sehingga tidak dapat membaca bahan yang seharusnya dibaca.34 Karena itu, perlunya motivasi dalam diri anak didik untuk belajar. Motivasi belajar adalah jantung kegiatan belajar dan suatu pendorong yang membuat seseorang belajar.35 Jadi, keras tidaknya usaha belajar dilakukan seseorang bergantung kepada besar tidaknya motivasi belajar. Evaluasi akhir terhadap anak didik adalah apabila usaha murid telah menghasilkan pola tingkah laku yang dituju semula di mana proses belajar dapat dikatakan mencapai titik akhir sementara. Hasil utama adalah “tambahan“ perubahan tingkah laku. Dengan demikian, akhirnya terdapat satu kesatuan yang menyeluruh (kebulatan tingkah laku).36 Metodologi Proses belajar-mengajar (pendidik, materi dan anak didik) membutuhkan motode (model) pengajaran yang efektif dalam konteks yang berbeda-beda. Motode atau model adalah cara teratur yg digunakan 33
Surakhmad, Pengantar Interaksi Mengajar Belajar, 66. Hutabarat E.P., Cara Belajar (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), 20. 35 Ibid. 25. 36 Surakhmad, Pengantar Interaksi Mengajar Belajar, 66. 34
JURNAL TEOLOGI STULOS
57
untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki atau cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Jadi proses belajar-mengajar membutuhkan metode atau model belajar-mengajar yang tepat dan efektif. Ketika pendidik membantu anak didik menangkap informasi, ide, skill, nilai-nilai, cara-cara berpikir dan mengekspresikan sesuatu, berarti pendidik sedang mengajar bagaimana menggunakan metode mengajar yang tepat dan anak didik membutuhkan metode belajar yang efektif. Tetapi, dalam kenyataannya yang terpenting dalam pengajaran, adalah kemampuan belajar yang meningkat dengan cara yang lebih mudah dan efektif, di masa mendatang karena mereka telah mencapai pengetahuan dan skill dan karena mereka telah menguasai proses belajar yang baik. Bagaimanakah pengajaran itu berpengaruh pada kemampuan anak didik dalam mendidik diri sendiri. Pendidik yang sukses tidak hanya berkarismatik, tetapi ia mengarahkan anak didik pada kognitif maupun sosial dan mengajar mereka: namun bagaimanakah menggunakan metode yang tepat dan efektif? Misalnya dalam sistem perkuliahan. Dosen mengajar dengan jelas, mahasiswa belajar dari dosennya melalui percakapan dosen dan menyusunnya dengan kata-kata sendiri. Mahasiswa yang efektif mampu menyusun informasi, gagasan dan hikmat dan dosen mereka dan menggunakan sumber-sumber belajar secara efektif. Jadi, peran utama dalam pengajaran yakni menciptakan mahsiswa yang memiliki power. Contoh terjadi pada sekelompok guru sekolah menengah di Israel, pimpinan Shlomo Sharan dan Hana Shachar (1988), respon cepat tampak ketika mulai menggunakan model pengajaran investigasi secara kelompok, “The Group Investigation Model” sebuah model belajar yang komplek. Belajar mereka dicampur antara kelompok ekomoni Rendah dengan Belajar kelompok ekonomi yang lebih tinggi (Low S.E.S dengan high S.E.S). Masing-masing diberi pre-test dan tes akhir tentang pengetahuan sungguh luar biasa. Terjadi respon pengajaran tercepat, adalah: yang pertama dalam pre-test nilai yang dicapai kelompok ekonomi
58
STUDI ETIKA PENDIDIKAN
rendah (Low S.E.S) lebih kecil dibanding nilai ekonomi tinggi (high S.E.S). Tampaknya status ekonomi berhubungan dengan pengetahuan anak didik yang berpengaruh pada situasi intruksional dan setelah itu mereka diajar menggunakan model pengajaran Investigation model, yang menghasilkan nilai-nilai rata-rata hampir 2 ½ kali, lebih baik daripada mereka yang diajar dengan menggunakan metode kelas murni dan bahkan bisa melebihi nilai yang dicapai anak didik kelompok ekonomi tinggi yang menggunakan metode kelas murni. Dengan kata lain, anak didik yang berekonomi rendah jika diajar dengan Group investigation model, nilainya rata-rata lebih tinggi dibanding anak didik kelompok ekonomi tinggi yang diajar dengan tidak menggunakan model tersebut. Akhirnya semua kelompok ekonomi tinggi pun menggunakan model tersebut dan nilai mereka mencapai 2 kali lipat dibanding temannya yang menggunakan model kelas murni. Jadi model itu sangat efektif bagi kedua kelompok anak didik tersebut yang latar belakang berbeda. Contoh-contoh ini menyebabkan kita untuk berpikir mengenai perbedaan pada anak didik. Metode-metode lain juga dapat membantu anak didik meningkatkan kemampuan belajarnya, kadang-kadang yang terbaru, dan kadang-kadang secara dramatis. Hal yang penting yakni teaching dapat menyebabkan perbedaan besar bagi anak didik baik pada kelas maupun level sekolahnya. Ini merupakan pusat dari pengajaran yang efektif sebab pendidik yang efektif percaya bahwa mereka mampu membuat perbedaan yang disebabkan oleh cara belajar. Mereka belajar bagaimana anak didik dapat menciptakan lingkungan belajar untuk mencapai suatu pertumbuhan. Singkat kata bahwa anak didik dapat meningkatkan kemampuan belajar secara cepat. Itulah inti dari tugas penggunakan model pengajaran yang digunakan oleh pendidik.
NILAI-NILAI ETIKA YESUS DALAM KURIKULUM 2013 Pemerintah merencanakan “Kurikulum 2013” diberlakukan pada Tahun ini. Kurikulum yang menekankan pada karakter sebenarnya sudah
JURNAL TEOLOGI STULOS
59
dikumandangkan tahun 2011 oleh Presiden SBY dalam peringatan Hardiknas-Harkitnas. Presiden menegaskan bahwa “ke depan kita menginginkan muncul dan berkembangnya manusia-manusia Indonesia yang unggul. Indonesia memerlukan manusia unggul di abad ke-21 dan ingin menjadi negara maju”. Dalam hal ini, ada dua hal tentang keunggulan manusia adalah: pertama, keunggulan dalam pemikiran; dan kedua, keunggulan dalam karakter. Kedua jenis keunggulan manusia itu dapat dibangun, dibentuk, dan dikembangkan melalui pendidikan karakter.37
Dengan adanya Kurikulum 2013 berarti Pemerintah akan memberlakukan yang ke-11 kalinya kurikulum di negeri ini. Misalnya 37
Sementara Kurikulum yang berhasil adalah kurikulum yang diterapkan dalam waktu yang sesuai dengan lamanya sebuah proses pendidikan. Kalau proses pendidikan kualitas bangsa itu dihitung dari SD hingga Strata Satu adalah 20 tahun. Itulah lamanya melahirkan manusia-manusia unggulan di negeri ini. Jadi kurikulum yang diterapkan di negeri ini mestinya berlangsung hingga 20 tahun tanpa ada perubahan-perubahan yang signifikan. Tetapi di negeri ini, sejarah kurikulum yang selalu berubah dan berakibat terpuruknya kualitas anak bangsa.
60
STUDI ETIKA PENDIDIKAN
dari tahun 1947 adalah kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional dengan asas pendidikan Pancasila, lalu tahun 1960 diganti dengan “Kurikulum Kewajiban Belajar Sekolah Dasar”. Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Kurikulum 1964, yang berfokus pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya dan moral (Pancawardhana). Tahun 1968 muncul kurikulum baru menekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Kurikulum 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Pada tahun 1970 muncul “Kurikulum Berhitung” tetapi tahun 1975 diganti dengan “Kurikulum 1975” yang menekankan pada pelajaran matematika, Pendidikan Moral Pancasila dan Pendidikan Kewarnegaraan. Selanjutnya, tahun 1984 menyempurnakan Kurikulum 1975 dengan “Cara Belajar Siswa Aktif” (CBSA). Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Tahun 1991 CBSA dihentikan lalu muncul “Kurikulum 1994” dan “Suplemen Kurikulum 1999”. Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan antara Kurikulum 1975, Kurikulum 1984 dalam pendekatan proses. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tahun 2004 dikenal ‘Kurikulum Berbasis Kompetensi’ (KBK). Setiap pelajaran diuraikan berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum. Tahun 2006 muncul “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan” (KTSP). Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada.
JURNAL TEOLOGI STULOS
61
Tahun 2013 merupakan uji coba ‘Kurikulum Karakter” yang akan diterapkan di sekolah-sekolah. Sebenarnya pemahaman dan pelaksanaan tentang pendidikan berbasis karakter sudah dicanangkan dalam KTSP.
Alumni yang “Ragu-ragukah”? Dalam Pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa” (Pasal 31 ayat 3). Pada dasarnya tujuan pendidikan nasional berkaitan dengan upgrade manusia menjadi manusia yang seutuhnya baik dalam perspektif metafisika, kognitif maupun psikomotoris. Design pendidikan nasional adalah pendidikan manusia yang merubah manusia menjadi yang mampu berkarya dan menyelesaikan segala tantangan yang di hadapannya. Tetapi di lapangan ditemukan bahwa kurikulum tidak diselesaikan dalam waktu proses pendidikan yang benar dan selalu dirubah-rubah maka tujuan pendidikan nasional tidak pernah terwujud. Sejak Indonesia merdeka, 67 tahun, kurikulum nasional tidak mempunyai alumni yang sesuai standar tujuan nasional. Kurikulum yang selalu berubah-rubah cenderung melahirkan para ahli yang tidak siap menjawab kebutuhan lapangan. Gambaran bahwa banyak lulusan SMU sederajat hingga sarjana sederajat dalam posisi menganggur dan kalau mereka bekerja cenderung bekerja dengan latar belakang akademiknya yang berbeda. Sungguh kualitas SDM yang memprihatinkan. Gambaran para alumni yang ragu-ragu inilah dapat dilihat dan dirasakan di seluruh kehidupan pelosok Indonesia. Jika dibandingkan dengan Jepang, Korea, Pilipina, Malaysia, bahkan India, kualitas SDM Indonesia masih tertinggal. Sementara tuntutan globalisasi cukup tinggi di mana kita tidak hanya membutuhkan sumber daya manusia dengan latar belakang pendidikan formal yang baik, tetapi juga diperlukan sumber daya manusia yang mempunyai latar belakang pendidikan non formal.
62
STUDI ETIKA PENDIDIKAN
Pendidikan Masa Depan Meskipun ruang lingkup mengenai materinya berbeda antara pendidikan karakter dan pendidikan kemanusiaan, tetapi mempunyai keterkaitan yang signifikan. Berkaitan hal tersebut, maka pendapat profesor Edgar Morin, yang tahun 2005 diminta oleh UNESCO untuk melempar isu-isu pendidikan, mengatakan bahwa pendidikan masa depan harus menjadi pendidikan universal, yang pertama-tama mengajarkan tentang kondisi manusiawi. Semua orang harus menerima dirinya dengan kemanusiaannya yang wajar dan menyadari keragaman budaya yang melekat dalam segala sesuatu yang manusiawi. Cara mewujudkannya, menurut Morin, adalah dilakukan dari waktu ke waktu secara menyeluruh: Pertama, pendidikan berperan sebagai transformasi sejati di mana akan tercapai jika semua itu saling mentransformasi hingga menghasilkan sebuah transformasi global. Kedua, tuntutan kesatuan seluas dunia. Kesatuan ini mensyaratkan kesadaran dan rasa saling memiliki yang menghubungkan kita dengan bumi kita, kampung halaman kita yang pertama dan terutama. Ketiga, misi spiritual pendidikan yang sejati adalah mengajarkan untuk memahami satu sama lain sebagai suatu syarat yang sangat dibutuhkan dalam melindungi moral kemanusiaan dan solidaritas intelektual.38 KESIMPULAN Dalam konteks Indonesia apalagi akan diberlakukanya Kurikulum 2013, maka nilai-nilai etika Yesus merupakan jawaban yang ideal. Etika pendidikan yang efektif dalam rangka merubah karakter anak didik menjadi seperti Yesus sangat dibutuhkan dalam proses pendidikan baik formal, nonformal maupun informal. Perubahan-perubahan yang berpusat kepada 38 Baca Edgar Morin, Tujuh Materi Penting bagi Dunia Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 2005); B.S. Sidjabat, Membangun Pribadi Unggul: Suatu Pendekatan Teologis terhadap Pendidikan Karakter (Yogyakarta: Andi, 2011). Inti dari kedua buku tersebut adalah pendidikan karakter merupakan unsur yang utama dalam membangun pribadi yang unggul.
JURNAL TEOLOGI STULOS
63
Allah (seperti Yesus) merupakan perubahan nilai-nilai etika pendidikan dari umum menuju nilai-nilai yang alkitabiah. Perubahan-perubahan itu membutuhkan pendidikan, materi (kurikulum) dan anak didik. 1) Bagi pendidik yang hanya terampil dalam metode mengajar tidaklah cukup untuk melakukan perubahan yang dimaksud di atas, melainkan kehidupan sehari-hari adalah mencerminkan nilai-nilai etika kristiani yang hidup dalam Yesus Kristus. Dengan demikian, maka kehidupan sehari-hari pendidik adalah teladan perubahan yang membawa nilai-nilai kristiani kepada anak didik. 2) Bagi materi (kurikulum) yang berpusat kepada karakter dan karya Allah (Yesus Kristus) menjadi dasar materi yang dibutuhkan dalam nilai-nilai perubahan etika. 3) Bagi anak didik adalah belajar dalam koridor nilai-nilai etika kristiani dimana secara kognitif menjadi semakin berpengetahuan akan Allah, secara afektif dapat menerima Yesus Kristus sebagai juruselamatnya dan hidup meneladani hidup Yesus, dan secara psikomotoris mempunyai keterampilan yang spesial dalam lapangan pekerjaan dan pelayanan di tengah masyarakat.
64
STUDI ETIKA PENDIDIKAN
DAFTAR PUSTAKA Ali, Muhammad. Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung: Sinar Baru, 1992. Bertens, K. Etika, Seri Filsafat Atmajaya 15. Jakarta: Gramedia, 1993. Husain, Abdul Rajak. Penyelenggaraan Pendidikan Nasional. Solo: CV Aneka, 1995. LeBar, Lois E. Education That is Christian. Wheaton: Victor Books, 1989. Magnis-Suseno, Franz. Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius, 1995. Miler, Randolph C. Education for Christian Living. New Jersey: Prentice Hall). Morin, Edgar. Tujuh Materi Penting bagi Dunia Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius, 2005. Muhadjir, Noeng. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Suatu Teori Pendidikan. Yogyakarta: Reka Sarasih, 1987. Selo Soemardjan (ed.). Menuju Tata Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000. Sidjabat, B.S. Membangun Pribadi Unggul: Suatu Pendekatan Teologis terhadap Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Andi, 2011. Surakhmad, Winarno. Pengantar Interaksi Mengajar-Belajar. Bandung: Tarsito, 1982. Tanya, Eli. Gereja dan Pendidikan Agama Kristen. Cipanas: STT Cipanas, 1999. Thompson, Oscar Jr. Lingkaran Konsentrasi & Kesaksian yang Berpengaruh. Bandung: LLB, 1990. Woodruff, Robert L. Education on Purpose: Model for Education in World Areas. tp. k.: QUT Publications, 2001.