1 Bintang Kelabu
“Kurang ajar! Bagaimana mungkin Ras lemah itu bisa menjadi penguasa?!” gemuruh mengguntur, suaranya menggelegarkan ruangan diskusi, yang kini serasa di hujam runcingan jarum berhujan, bersama duri. Sayap berwarna kebiruan tua dengan bintik hitam dan putih di setiap ujungnya diantara kedua bahu bawahnya kembang kempis mengikuti amarahnya. “Tenanglah Jaklar, cepat atau lambat kekuasaan Ras Neros itu pasti akan tumbang.” Salah satu makhluk lain mencoba menenangkan sang ketua diskusi. Diskusi ini di bentuk untuk menentukan bagaimana nasib para petinggi pemerintahan selanjutnya akan di bawa. “Kau gila atau bagaimana? Semua penduduk hingga hari ini masih mengeluhkannya, yang mengaku sebagai anak dari Raja Connomus,” amarah Jaklar terus memuncak, rasanya ia tak rela jika kursi kekuasaan di pegang oleh laki-laki dari Ras Neros, yang di kenal sebagai Ras dengan Kasta rendahan. Sedangkan Lakdramus adalah salah satu dari keturunan itu, ayahnya memang Raja Connomus dari Ras Venustian dan ibunya seorang wanita cantik dari Ras Oridian, pernikahan mereka menghasilkan Ras tanpa predikat apa pun, yang bahkan dianggap melebihi Ras buangan. Kehidupan dan harkat itu yang kini menjadi gonjang-ganjing di Parlemen Pemerintahan, yang mengutuk keras hal itu. Tak terkecuali Jaklar yang seorang anggota Menteri tigabelas dari ke Parlemenan unggul di Pemerintahan. Tingkatan Menteri tigabelas di bawah Perdana Menteri. Jaklar sejak dulu selalu bermimpi merebut kekuasaan dari tangan Raja sebelumnya, tapi semua itu seakan sirna. “Kau masih tak mampu berbuat apa-apa lagi, Jaklar. Kekuasaan mu masih sangat lemah jika di bandingkan denga ku,” ungkap salah satu makhluk dari balik pintu, lalu menuju dengan sunggingan senyum yang menjalarkan kesinisan. Mata tajamnya yang beralis tebal sedikit terangkat sebagai tanda ejekan yang menjengkelkan. Sayap kuning keemasan bergelayut diatas sana, seakan menampakkan wibawanya sebagai seorang bangsawan. “Perdana Menteri,” Jaklar hormat seadanya, di susul beberapa anggota Menteri tigabelas lainnya. “Apa siasat mu lagi kini? Apa kau masih terbang dalam dunia fantasi mu yang mengerikan? Musim dingin sebentar lagi akan tiba, saat dimana Ras Neros akan mengalami kelemahan masal, saat itu kau bisa menggunakan intuisi mu untuk menghancurkan kekuasaan Lakdramus.” Ide yang cukup cemerlang mengingat sebentar lagi musim dingin pertama bagi Pemerintahan Raja Lakdramus, apalagi ide itu dari seorang Perdana Menteri yang 1
padahal selama ini selalu di bawah kaki sang raja. Mereka yang dari Ras Gadrin adalah seorang pemegang Pemerintahan yang di kenal ulung sejak berpuluh tahun silam, mereka menguasai dunia politik dengan kecanggihan struktur otak mereka untuk berfikir. Entah apa yang membuat mereka seakan raku akan kekuasaan, padahal jabatan Menteri itu sudah lebih dari cukup, banyak dari yang lain menginginkan jabatan itu tapi selalu gagal. “Aku tahu itu, tapi untuk menggeser kaki Lakdaramus sedikit saja serasa menganggkat ribuan ton batu berbaja. Aku tak sekuat itu Perdana Menteri.” Sang sayap kuning itu berlalu pergi, meninggalkan senyuman sinis yang masih mengambang di setiap pikiran yang melihatnya, tatapan kalam dari Jaklar, hanya bisa mengaung. Memang selama ini ia masih tak mampu berbuat apa pun untuk menumbangkan kekuasaan Lakdramus.
*** Daun-daun pohon di hutan Adran mulai menguning dan oranye, serta sebagian ada yang telah menggugur diantara tanah yang berada di rentetan semar belukar. Hutan Adran, adalah hutan dengan ekosistem yang mumpuni, berbagai dimensi kehidupan hewan ber-ruang di tempat itu. Menjadikannya tempat terindah di Orchomovus, namun kisah di balik pesona itu, kau tak akan menyadari bahwa hutan itu telah menjadi hutan larangan, yang di kutuk dengan belenggu rajah kasap mata. Di hutan itu terdapat perbatasan dengan Kota para Ras Vemyd1, yakni Ras Makhluk mitos setengah kelelawar yang sejak dulu telah menjadi Ras buangan, yang di takuti. Mereka di kurung di suatu Kota yang di huni Ras itu sendiri. Berabad-abad silam Raja Orchomovus memenjarakan Kota itu, karena Ras Vemyd membunuh para penduduk dengan menghisap darah mereka, maka dari itu Raja mengurung mereka dan mendapat gelar sebagai Ras buangan, yang harus bersedia melayani Negeri. Namun, menjauh dari kisah perbatasan kutukan itu, tepat di tengah hutan terdapat sebuah danau kecil dengan warna air yang jernih, para penduduk menyebutnya sebagai danau Vemyd. Setiap hari ada seorang pemuda datang ke tempat itu, menikmati pemandangan indah di danau, dengan menggelayutkan harapan-harapan yang kan sempurna, mungkin. Wajah putih mulusnya menambah ke elokan danau yang memantulkan cahaya Matahari berbentuk pelangi, layaknya prisma putih. “Aku akan mengingatnya,” kata Nara menatap riak gelombang danau yang terterpa desiran angin siang yang sebentar lagi berganti warna. Namun, sebenarnya hanya matanya saja yang menatap ke sana sedangkan pikirannya terbang melintasi langit yang menjadi patokan dunia. Disana ia merangkai kilauan permata yang dulu menjadi miliknya, dulu simfoni merdu itu mengikuti kemana langkah telinganya berderu sepanjang perbatasan Hutan Adran, mengalahkan riak air danau yang tak
1
Vemyd ; vemey (dari lubang yang telah tua) dan royd (dari hutan yang gelap). Ras ini di kenal sebagai Ras buangan yang di asingkan di ujung Negeri karena kesalahan mereka dulu.
2
henti-hentinya melantunkan sajak-sajak cinta penuh harmoni, tapi semua itu seakan lenyap begitu saja, kini pikirannya hanya menyimpan kepiluannya sebagai seorang lakilaki biasa. Ia bukan Dewa Pei yang mampu merangkai nasib makhluk dalam buku takdir, yang bisa ia lakukan hanya diam merenung, mengkhalut dan menatap daun kering yang baru saja gugur. Tak sampai satu bulan lagi musim kan berganti hamparan, bagai seorang perawan muda, musim dingin akan menjelma dengan senyuman merekah indah. Saljusalju putih turun membasahi hamparan pohon cemara di sepanjang pagaran jalan alami yang membentuk lingkarang di Kota Afrhan2, Kota ini memang menampakkan kecantikannya setiap musim dingin melambaikan tangan. Entah bagaimana awalnya, Afrhan menjadi Negeri dongeng tersendiri, cahaya-cahaya terang dari balik langit menyinari sampai ke pelosok. Laksana aurora di ujung angkasa. Dan di saat-saat indah itu ia hanya bisa menikmatinya sendiri. Padahal seharusnya musim dinginnya di Kota ini menjadi hal istimewa, tapi ia telah meninggalkan setangkai mawar ungun di sana. Wanita itu memang sang ungu, namun tak sedikit pun membuat Nara mau meninggalkannya. Dia wanita cantik dari Ras Oridian, yang merangkai malam-malam indah menjadi bulir-bulir gandum kering yang menyenangkan, ia bagai permata surga yang tak berdua. “Apa yang membuat mu selalu milik ku, Nara?” tanya sang ungu di suatu senja indah, di dekat bukit Doht, Kota Alf3. Saat itu adalah hari pertama musim semi, bungbunga bermekaran di rentetan jalan setapak para rumah penduduk. Kicauan burung seakan tak henti-henti memainkan lagu, merdu. Keramahan hewan-hewan menyambangi mereka. Di hamparan padang bunga Sugu, yakni bunga yang hanya mampu mekar di musim semi, berbintik ungu dengan kelopak merah darah, yang luas, bahkan tak sedikit pun ada ilalang yang menggangu. “Keteduhan wajahmu, sayunya mata hijaumu, merahnya bibirmu, dan ungunya gaunmu, semua hal itu yang menjawabnya. Aku tak perlu berbicara apa pun untuk melukiskan kisah asmara ini,” “Tapi aku ini seorang janda, Nara.” “Aku tak perduli itu, Els. Kau hanya janda bukan pembunuh, kau hanya janda bukan pelacur. Lagi pula kau janda tanpa anak bukan,” “Ta…” Els belum sempat melanjtkan kata-katanya, saat tangan Nara memegangi kepalanya, wajah mereka saling beradu, tatapan mereka tajam seakan menyiratkan sesuatu hal yang seharusnya akan terjadi. Els ketakutan melihat tingkah laku Nara yang tak seperti biasanya, bahkan bibir mereka hampir saja bersentuhan, “Cukup, cukup Nara. Kita tak pantas melakukan ini.”
2
Afrhan ; afra (pemerintahan yang damai) dan rhun (besar)
3
Alf ; kota diantara dua pulau yang berada dipesisir laut. Kota ini di huni oleh kebanyakan Ras Neros. Tapi, bukan berarti tidak dimungkinkan di huni Ras lain.
3
“Kenapa? Kenapa aku tak boleh melakukannya? Kau kekasih ku bukan? Atau karena aku anak calon seorang Raja? Kalau bukan itu, apa karena aku masih tujuhbelas tahun yang tak tahu apa-apa?” Els diam dalam kegamangan, ia tak mampu berkata apa-apa. Ia tak pernah melihat Nara sekecewa itu. Ia tahu ia salah berucap, namun itu hal terbaik yang berani ia ucapkan dari hati luarnya. “Memang. Karena kau anak calon Raja makanya aku tak pantas bersama mu, dan terlebih kau masih anak kecil yang masih sangat kecil!” Els sedikit berteriak mengucapkan kalimat itu, kesedihannya berimbas keluar. Dengan sedikit rasa haru ia berlari menjRauh, menginjak hamparan bunga savana yang masih mekar. Nara tak mampu berbuat lebih, ia pun tak mencegah Els untuk pergi. Kata-kata itu cepat atau lambat memang akan menjadi miliknya. Mencintai seorang janda, pikiran itu mungkin tak kan di temukan pada pemikiran seorang remaja tanggung seusianya. Sejak kejadian setahun itu ia tak bertemu lagi dengan Els, tak mengetahui kabarnya di Kota Alf. Ia masih rindu dengan kekasinya, rindu bagaimana Els tersenyum, menatap Nara dengan bola matanya yang hijau dan memandangkan keteduhan wajah yang sungguh eksotis khas Ras Neros. Hap… Seseorang mendekap erat mulut Nara, ia berusaha memberontak, tapi ia tak mampu berbuat apa-apa kekuatannya kalah, tubuhnya mulai melemas, matanya mulai remang-remanag menatap, Nara benar-benar tak sadarkan diri. Sang pendekap itu menarut tubuh Nara diatas kuda putih, memacukan kuda itu lalu meninggalkan bibir danau.
*** “Hei, lepaskan aku!” Nara berteriak ketika ia telah sadar dari pingsannya, tubuhnya terikat dan matanya tertutup di sebuah gudang yang kotor, banyak hewan menjijikkan di tempat itu. “Siapa pun lepaskan aku!” Nara hanya mampu menghela napas sangkal, sepertinya tak ada siapa pun di tempat itu, teriakkannya hanya akan merusak pita pita suaranya saja. Di ruangan itu ada satu lilin yang menerangi dengan penerangan cahaya merah menyala, benda-benda berserakan tak terurus, Nara berada di sebuah gudang. Ia tak pernah bepikir bahwa ia akan menjadi tawanan di tempat yang ia sendiri tak tahu dimana. Sementara itu di istana, Lakdramus tengah risau menanti sang anak yang tak pulang hingga larut menjelang, padahal biasanya malam-malam begini Nara datang bersama kuda putihnya, tapi saat ini kuda itu pun tak nampak. Kecemasan meringsuk di uluh hatinya, ia semakin di buat tak sabar mengingat jam terus mengalunkan jarumnya di rentetan angka-angka gelap. Walau ia tahu sebenarnya bagaimana sikap anak tunggalnya itu, keras kepala, nakal dan sedikit manja, ia tahu kenapa Nara melakukan ini. Kurangnya kasih sayang seorang ibu membuat Nara hanya mampu mengalungkan 4
tangannya pada leher sang ayah. Bahkan saat ia tahu Nara menjalin hubungan dengan seorang janda muda tanpa anak beberapa waktu lalu, hal itu sama sekali tak membuatnya marah, malah ia hanya mampu tersenyum. Nara tumbuh begitu cepat, melampaui usianya yang masih enam belas tahun, saat itu. Istrinya adalah seorang wanita manis dengan mata bulat terang, salah satu dari Suku Sagi, Ras Venustian. Seperti ayahnya yang mengalami pahitnya pernikahan, ternyata hal itu terulang kembali padanya, pernikahan terlarangnya membuatnya memiliki keturunan yang aneh pula. Setelah melahirkan sang istri meninggal dunia. Nara tak seperti suku biasanya, walau ia mengalir darah Ras Neros dan Venustian, tapi Nara tak sedikit pun memiliki keduanya. Ia terlahir dengan sayap kecil dan tanpa ke kuatan magis yang melindungi. Hal itu yang menjadikan Nara selalu menjadi bahan ejekan dari teman-temannya. Tapi, bagi Lakdramus, Nara adalah harta terindah yang tak pernah ia temukan di tempat mana pun. “Bagaimana, kau menemukannya?” tanyanya malam itu pada salah satu tentara yang ia tugaskan untuk mencari sang pangeran. “Kami belum mendapatkannya Raja. Bahkan danau Vemyd yang biasanya menjadi tempat persinggahan Pengeran pun sekarang kosong.” Lakdramus hanya mampu menghela napas atas jawaban tentaranya, jawaban itu yang tak pernah ia ingin dengar. “Pergilah panglima, tapi tetap kerahkan para prajurit mu untuk mencari pangeran,” Mengangguk sang panglima, sambil berlalu pergi dari hadapan Rajanya. Kamar itu kembali sepi, ia hanya duduk diam di ujung ranjang sambil terus memikirkan anaknya, yang ia harapkan hanya keselamatan tersendiri bagi Pangeran kecilnya._
5