BERTANI DI TENGAH KOTA DENGAN MODAL BUDAYA SUBAK 1) UNTUK MENUMBUHKAN EKONOMI KREATIF Dr. I Gede Setiawan Adi Putra, SP., MSi2) ABSTRAK Artikel ini berguna untuk petani miskin, rumah tangga miskin di perkotaan, pemerintah daerah, serta para agen pembaharu dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Bali terkenal dengan pariwisata dan di sisi lain, banyak masyarakat menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Faktanya pembangunan pariwisata diduga memberi dampak buruk pada pembangunan pertanian. Salah satunya adalah banyak lahan sawah yang kini beralih fungsi menjadi bangunan hotel dan restoran serta fasilitas pendukung pariwisata lainnya. Bertani di tengah kota adalah suatu upaya memanfaatkan lahan-lahan kosong yang ada di rumah tangga dengan teknik budidaya tanaman vertikultur. Jika dulu orang menanam memerlukan lahan horizontal, dengan teknologi ini masyarakat dapat menanam vertical. Dengan teknik vertikultur rumah tangga miskin di perkotaan dapat menanam sayur hijau pada bekas air mineral, kaleng bekas, kantong plastik dan barang-barang bekas lainnya. Kegiatan ini adalah implementasi konsep pemberdayaan masyarakat dengan mengeluarkan segala potensi yang ada pada masyarakat sekitar. Hal ini perlu dilakukan untuk memberikan tambahan penghasilan rumah tangga yang ada di perkotaan dengan usaha agribisnis sekaligus menjaga lingkungan perkotaan yang terbebas dari sampah dan polusi udara. Jika semua rumah tangga melakukan kegiatan bertani di tengah kota, maka kesan kota yang jorok, panas, dan tidak nyaman menjadi terbalik. Hasilnya adalah ibu-ibu rumah tangga dapat memetik sayur dari kebunnya sendiri, dan tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk kebutuhan dapurnya sehari-hari. Artikel ini berguna bagi pimpinan di daerah yang berpenduduk padat guna memberikan salah satu alternatif untuk mengubak kehidupan masyarakat kota. Pariwisata yang selama ini diduka menjadi penyebab mundurnya pembangunan pertanian dapat diubah menjadi pariwisata sebagai pangsa pasar komoditas pertanian. Kedepan, upaya bertani di tengah kota dengan metode vertikultul dan ramah lingkungan tanpa bahan kimia harus dikembangkan dan diduplikasikan sehingga memberikan multiple efek yang lebih luas. Kata kunci: pertanian, alih fungsi, vertikultur Petani dan Pertanian Bali “Sakit” Ibu Pertiwi Cipt. Anonim Kulihat Ibu Pertiwi, Sedang bersusah hati, Air matanya berlinang, Mas intanmu terkenang, Hutan gunung sawah lautan, Simpanan kekayaan, Kini ibu sedang lara, Merintih dan berdoa
1) Artikel disampaikan pada acara Seminar Internasional “Agribisnis dan Pertanian Organik Berkelanjutan” yang diselenggarakan oleh Yayasan Maharishi Vedic Vishva Prahasan Bali di Hotel Werdhapura, Jalan Danau Tamblingan No. 49 Sanur, Denpasar 15 Desember 2013. 2) Dosen Konsentrasi Pengembangan Masyarakat, Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Udayana
Kutipan bait-bait lagu berjudul Ibu Pertiwi sangat sesuai menggambarkan pertanian Bali yang sedang “sakit”. Sakit yang diderita bukan sekedar “flu” yang dapat diatasi dalam waktu 2-3 hari melainkan sakit kronis berkepanjangan yang membutuhkan penanganan serius. Sakit dari sisi lahan, air irigasi, perilaku petani, minat pemuda Bali menjadi petani, bahkan perhatian pemerintah daerah. Apabila “sakit kronis” ini tidak segera ditolong maka pertanian Bali segera menjemput “ajalnya.” Kesehatan dan kesuburan tanah sawah semakin menurun. Pemakaian pupuk kimia dan pestisida sintetis secara terus menerus membuat tanah sawah “sakit”. Tanah menjadi keras, padat, lengket, sulit diolah, dan tidak mampu mengikat/menyimpan air. Inilah yang menyebabkan produksi padi di Bali sulit meningkat. Sumberdaya air irigasi di Bali berkurang dan cenderung menjadi langka. Terjadi persaingan penggunaan sumberdaya air irigasi dengan sektor pariwisata, rumah tangga, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), dan perusahaan air dalam kemasan. Ketika air irigasi sulit dan langka, petani menghambur-hamburkan air untuk usahatani padinya dengan penggenangan sepanjang musim. Petani sangat senang jika melihat padinya hijau royo-royo, untuk itu penggunaan Urea, TSP, KCL tidak bisa dihindarkan. Selain itu, ketika ada hama seperti belalang, ulat, wereng dan lainnya maka dalam benak petani hama tersebut harus segera dimusnahkan. Cara yang ditempuh adalah dengan pemberian racun berupa pestisida sintetis. Dampaknya dalam jangka panjang dari perilaku petani ini di Bali adalah pencemaran lingkungan, terbunuhnya jasad non sasaran, keragaman hayati berkurang, hama menjadi kebal, timbulnya hama sekunder, peledakan hama bahkan akhirnya berdampak pada kesehatan manusia. Sungguh ironi tatkala membandingkan penggunaan pupuk kimia dan tingkat produksi padi, dan penggunaan pestisida sintetis dengan laju hama di Bali. Setelah era tahun 1980an masa swasembada beras, dengan penggunaan pupuk kimia yang semakin tinggi ternyata produksi beras di Bali semakin menurun. Demikian pula dengan penggunaan pestisida sintetis yang semakin tinggi, tetapi jumlah hama bukannya semakin menurun, melainkan semakin meningkat. Jika demikian, masihkah Bali mengembangkan sistem pertanian yang seperti ini? Perilaku petani padi di Bali juga dalam keadaan “sakit” dan menyimpang. Terjadi penyiksaan terhadap bibit padi semenjak ditanam hingga panen.
Pada masa transplanting
Seminar Internasional “Agribisnis dan Pertanian Organik Berkelanjutan” 2
(pemindahan dari persemaian ke lahan) bibit padi disiksa dengan jalan dicabuti, diikat, diangkut, dipotong, dibenamkan, digenangi, bahkan diracun. Perilaku lain petani Bali yang menyimpang adalah budaya membakar jerami setelah panen. Pesta bakar jerami ini masih ditemukan hampir di seluruh kabupaten dan kota di Bali. Selain menimbulkan polusi asap, tindakan ini adalah kesalahan besar dalam budidaya padi. Padahal, jerami mengandung unsur hara yang tidak ditemukan dalam pupuk manapun dan sangat dibutuhkan oleh tanaman padi. Jerami adalah bahan dasar pembuatan kompos yang potensial untuk mengembalikan struktur tanah yang sedang “sakit.” Ada “obat” mujarap yang dapat “menyehatkan” pertanian Bali. Obat itu adalah System of Rice Intensification (SRI). Dari namanya sudah mengandung kekuatan spiritual yaitu Dewi Sri yang sebagian besar masyarakat Bali percaya sebagai dewi kesuburan dan kemakmuran. SRI adalah cara bercocok tanam padi dengan pengelolaan tanah, tanaman, dan air secara intensif dan efisien melalui pemberdayaan kelompok dan kearifan lokal, serta berbasis pada kaidah ramah lingkungan dan berkelanjutan. SRI merupakan model pertanian yang menekankan pada pengolahan sistem pertanian yang ramah lingkungan dan mulai dikembangkan di Madagaskar awal tahun 1980 oleh Fr. Henri de Laulanie, S.J. yang datang dari Prancis sejak tahun 1961. Henri menghabiskan waktu selama 34 tahun bekerja bersama petani Madagaskar, mengamati dan bereksperimen, dalam rangka meningkatkan sistem pertanian, terutama produksi padi yang menjadi makanan pokok di Madagaskar. Henri merekomendasikan perubahan yang sederhana dan murah pada praktik penanaman, seperti tanam bibit muda pada jarak yang lebar, penanaman bibit dilakukan pada saat 7-12 hari setelah benih disebar dengan jarak 25 x 25 cm, selain itu menghemat air, namun produktivitas tetap tinggi dan menguntungkan petani. Subak sebagai lembaga tradisional pengelola air irigasi di Bali memiliki potensi yang besar untuk mengadopsi inovasi SRI. Namun, dari sembilan kabupeten/kota yang ada di Bali baru tujuh kabupaten yang mengadopsi SRI. Dari tujuh kabupaten yang telah mengadopsi SRI jumlahnya masih sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah subak yang ada di Bali. Subak subak yang telah menerapkan SRI diantaranya Subak Padang Keling di Kabupaten Buleleng, Subak Bergiding dan Subak Buangga di Kabupeten Badung, Subak Payangan dan Subak Timpag di Kabupaten Tabanan, Subak Rapuan Kaja di Kabupaten Gianyar, Subak Mungsing di
Seminar Internasional “Agribisnis dan Pertanian Organik Berkelanjutan” 3
Kabupaten Bangli, Subak Tohpati dan Subak Dawan di Kabupten Klungkung, Subak Telaga Lebah dan Subak Mascatu di Kabupaten Karangasem. SRI sebagai ”obat mujarap” untuk mengobati petani dan pertanian Bali yang sedang ”sakit” seharusnya disebarluaskan kepada seluruh subak-subak yang ada di Bali. Untuk itu perlu dukungan dari berbagai stakeholder yang terlibat dalam pembangunan pertanian di Bali seperti pemerintah daerah, perguruan tinggi, LSM, PPL, serta pengurus subak. Pengurus subak dibantu oleh PPL harus lebih aktif dalam menyebarluaskan informasi tentang SRI kepada anggotanya, karena pengurus subaklah yang berhadapan langsung dengan petani. Kepada perguruan tinggi yang ada di Bali, terutama yang memiliki fakultas pertanian agar membentuk laboratorium lapangan berupa denplot-denplot percontohan SRI sebagai upaya menumbuhkan minat masyarakat Bali menjadi petani.
Laboratorium lapangan ini menjadi
tempat interaksi antara civitas akademika pertanian dengan masyarakat tani untuk mengenal suatu inovasi sekaligus sebagai tempat belajar bersama. Kepada pemerintah daerah Provinsi Bali mulai sekarang sebaiknya mengembangkan kemandirian petani berupa program aksi pembuatan denplot-denplot SRI di seluruh kabupaten dan kota di Bali sehingga Bali dapat menjadi provinsi yang dapat memenuhi kebutuhan beras sebagai bahan makanan pokok masyarakatnya sekaligus meningkatkan kualitas hidup petani Bali menjadi lebih sejahtera.
Budaya Subak Sebagai Modal Dasar Kebudayaan Bali adalah kebudayaan yang kental bernafaskan Hindu, yang sudah menyatu dengan adat budaya lokal. Kebudayaan itu tumbuh dan berakar pada berbagai lembaga tradisional yang bersifat sosial religious seperti subak, dan desa adat dengan banjarnya. Lembaga-lembaga tradisional ini, disamping lembaga-lembaga lainnya, merupakan pilar-pilar penyangga kelestarian kebudayaan Bali.
Ini berarti mundurnya kebudayaan Bali sangat
tergantung pada lembaga tradisional, sedangkan pariwisata tergantung pada kebudayaan, maka hal ini langsung berarti bahwa pariwisata tergantung pada eksistensi lembaga-lembaga tersebut. Masalah kelestarian/keberlanjutan subak dan pertanian Bali dalam konteks perubahan situasi global yang sangat structural, merupakan main issue dalam tulisan ini. Globalisasi yang semakin pesat lewat sistem perdagangan bebas yang dikembangkan oleh WTO sedikit banyak berpengaruh terhadap keberadaan subak yang selama ini berorientasi centrifugal. Mau tidak mau subak harus berhadapan dengan situasi global dengan kekuatan centripetal yang dahsyat. Seminar Internasional “Agribisnis dan Pertanian Organik Berkelanjutan” 4
Sutawan (2005) menyampaikan ‘kegelisahannya’ di dalam melihat eksistensi subak ke depan. Dengan menekankan fungsi-jamak (multifunctional roles) dari subak, menjaga kelestarian subak merupakan suatu keharusan di dalam pembangunan Bali. Kelestarian/keberlanjutan subak harus dilihat secara holistic, yang mencakup kelestarian kelembagaan subak (institutional sustainability), jaringan irigasi (technical sustainability), produksi pangan (economic sustainability), ekosistem lahan sawah (ecological sustainability), tradisi dan ritual keagamaan terkait dengan budaya padi (socio-cultural sustainability), dan lingkungan alami lokal yang merupakan faktor eksternal subak tetapi berdampak langsung dan nyata kepada kelestarian kelima komponen dari sistem subak tersebut (environmental sustainability). Dengan logika di atas, maka seharusnya ada usaha-usaha nyata sektor pariwisata untuk memperkuat eksistensi lembaga-lembaga tradisional ini. Tetapi kenyataannya belum ada usahausaha dari sektor pariwisata untuk memperkuat lembaga tradisional seperti subak dan desa adat. Hubungan yang ada masih bersifat asimetris, dimana lembaga tradisional diakui peranannya dalam kepariwisataan, tetapi peranan tersebut lebih banyak memposisikan lembaga tradisional sebagai objek. Sejalan dengan trend pembicaraan mengenai pembangunan berkelanjutan, konsep berkelanjutan juga sangat dominan dalam wacana pembangunan kepariwisataan. Pembangunan pariwisata berkelanjutan diartikan sebagai proses pembangunan kepariwisataan yang tidak mengesampingkan kelestarian sumberdaya yang dibutuhkan untuk pembangunan di masa yang akan datang. Dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan, penekanan keberlanjutan tidak cukup dengan keberlanjutan ekologis dan keberlanjutan pembangunan ekonomi. Yang tidak dakalah pentingnya adalah keberlanjutan kebudayaan, karena kebudayaan merupakan salah satu ‘sumberdaya’ yang sangat penting dalam pembangunan kepariwisataan. Keterlibatan masyarakat lokal (community-based approach) merupakan prasyarat mutlak tercapainya pembangunan pariwisata berkelanjutan. Pengelolaan pembangunan harus benarbenar dilakukan oleh mereka yang hidup dan kehidupannya paling dipengaruhi oleh pembangunan tersebut. Agar masyarakat dapat secara langsung berperan secara aktif dalam pembangunan kepariwisataan maka jenis kepariwisataan yang harus dikembangkan adalah pariwisata kerakyatan. Salah satu cirri hakiki dari model ini adalah skalanya yang kecil. Skala kecil ini, berdasarkan berbagai pengalaman di berbagai Negara, lebih menguntungkan bagi rakyat banyak. Seminar Internasional “Agribisnis dan Pertanian Organik Berkelanjutan” 5
Apakah konsep pariwisata budaya sudah dilaksanakan secara konsisten di Bali? Jawabanya tentu belum. Kalau saja konsep pariwisata budaya dilaksanakan secara konsisten, maka lembaga-lembaga tradisional seperti subak dan desa adat harus berperan secara aktif, termasuk aktif di dalam menikmati manfaat ekonomi pembangunan kepariwisataan. Bukti-bukti empiris sebagaimana terlihat dari hasil penelitian di berbagai subak dan desa adat menunjukkan bahwa sesungguhnya subak dan desa adat mempunyai potensi yang memadai untuk mengelola obyek wisata yang ada di daerahnya. Subak dan Desa Adat dapat dijadikan modal dasar dalam peningkatan pariwisata, ekonomi kreatif, dan kesejahteraan masyarakat. Bagaimana caranya? Melalui tulisan inilah akan dirumuskan suatu mekanisme untuk mengembalikan sebagian dari manfaat ekonomi pariwisata kepada sumber-sumber asset pariwisata, sehingga sumber tersebut dapat tumbuh subur, yang akan menjamin keberlanjutan pariwisata itu sendiri. Tanpa ada usaha-usaha seperti ini, lambat lain akar budaya Bali akan rapuh sehingga pohon budaya Bali tidak akan mampu menghasilkan bunga dan buah yang dinikmati oleh pariwisata.
Menumbuhkan Ekonomi Kreatif Kemiskinan merupakan penyebab masalah sosial, masalah sosial yang tidak tertanggulangi memicu terjadinya berbagai masalah kehidupan manusia. Kemiskinan merupakan suatu keadaan seseorang yang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok, dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut (Soekanto, 2001:406). Kemiskinan di Denpasar bagaikan lingkaran setan dimana banyak faktor mempengaruhi. Adapun lingkaran tersebut digambarkan Nasution (1996:30) sebagai berikut:
Gambar 1. Lingkaran Setan Kemiskinan di Negara Dunia Ketiga
Seminar Internasional “Agribisnis dan Pertanian Organik Berkelanjutan” 6
Bila dicemati lebih jauh, paradigma lingkaran setan tersebut cendrung menyalahkan faktor internal, padahal faktor eksternal ikut menentukan proses pemiskinan suatu bangsa. Dan ketergantungan yang terjadi persis seperti yang digambarkan oleh Jonathan Swift dalam Djopari (1997:28) bagaikan kutu memakan kutu yang lebih kecil, dan kutu yang lebih kecil tersebut memakan kutu yang lebih kecil lagi dan begitu seterusnya tanpa akhir. Kota Denpasar, masih memiliki beberapa Rumah Tangga Miskin (RTM) yang memerlukan penanganan yang serius agar dapat “mengeluarkan” mereka dari “lingkaran setan kemiskinan” seperti yang telah diuraikan pada latar belakang sebelumnya. Program pelatihan budidaya tanaman metode vertikultur merupakan suatu progam yang bertujuan untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan berdasarkan pengembangan kemandirian masyarakat melalui peningkatan kapasitas masyarakat, partisipasi masyarakat dan kelembagaan dalam penyelenggaraan pembangunan RTM di Kota Denpasar perlu diberdayakan. Salah satu upaya memberdayakan RTM di Kota Denpasar adalah dengan pelatihan budidaya tanaman metode vertikultur sebagai upaya menumbuhkan ekonomi kreatif di Kota Denpasar. Berdasarkan kegiatan pelatihan yang telah dilaksanakan tersebut, maka tujuan penulisan artikel ini adalah menganalisis model pemberdayaan bagi RTM melalui pelatihan budidaya tanaman metode vertikultur sebagai upaya menumbuhkan ekonomi kreatif di Kota Denpasar. Populasi penelitian ini adalah kelompok Rumah Tangga Miskin di Kota Denpasar. Berdasarkan metode sensus, seluruh populasi dijadikan sampel penelitian. Penelitian dirancang dengan penelitian deskriptif, yaitu suatu penelitian yang dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan nyata sekarang (sementara berlangsung), dan menentukan tingkat hubungan variabel-variabel yang berbeda dalam suatu pupulasi. Tujuan utama dalam menggunakan metode ini adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu (Sevilla et.al, 1993). Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif sebagai tumpuan analisis. Teknik observasi dengan bantuan cecklist pada akhirnya dapat membangun suatu model pemberdayaan yang efektif untuk RTM di Kota Denpasar. Model pemberdayaan RTM yang dibutuhkan bukan kegiatan yang sifatnya top-down intervention yang tidak menjunjung tinggi aspirasi dan potensi masyarakat untuk melakukan Seminar Internasional “Agribisnis dan Pertanian Organik Berkelanjutan” 7
kegiatan swadaya. Akan tetapi yang paling dibutuhkan RTM di Kota Denpasar adalah pola pemberdayaan yang sifatnya bottom-up intervention yang menghargai dan mengakui bahwa RTM memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhannya, memecahkan permasalahannya, serta mampu melakukan usaha-usaha produktif dengan prinsip swadaya dan kebersamaan. Budidaya tanaman metode vertikultur sebagai Program Developmental untuk menumbuhkan ekonomi kreatif di kalangan RTM. Program ini lahir setelah dilakukan identifikasi masalah spesifik yang dihadapi RTM di Kota Denpasar. Dari hasil identifikasi masalah ditemukan bahwa kebanyakan RTM adalah petani/buruh tani sayur skala kecil dengan karakteristik luas penguasaan tanah yang sempit bahkan tidak sama sekali, tingkat pendidikan rendah, dan tingkat pendapatan yang rendah. Anggota RTM kebanyakan adalah ibu rumah tangga, yang banyak memiliki waktu luang. Bertani di tengah kota dijadikan tema yang dapat menggugah keinginan RTM untuk berusahatani. Lahan yang sempit, bahkan tidak ada sama sekali di Kota Denpasar menjadi masalah besar dalam pengembangan usaha agribisnis di Kota Denpasar. Namun, kekhawatiran tersebut melahirkan solusi berupa bertani metode vertikultur. Biasanya pertanian konvesional memerlukan lahan yang horisontal, namun karena di Denpasar sudah tidak ada lagi lahan yang bisa digarap, maka ide untuk menanam ke atas (vertikal) menjadi sebuah solusi bertani di tengah kota. Barang-barang bekas (bekas gelas air mineral, paralon, kaleng, bambu, seterofom, dll.) dapat digunakan sebagai media tanam tanaman sayur hijau dan kangkung. Tanaman juga seperti manusia yang membutuhkan nutrisi (makanan) yang cukup agar tumbuh dengan baik. Untuk itu, dalam program ini RTM dilatih membuat pupuk organik cair berupa mikro organisme lokal (MOL). Selain sebagai pupuk yang dapat diberikan langsung ke tanaman, Mol menjadi dekomposer yang paling baik dalam pembuatan kompos. Bahan kompos banyak berasal dari sampah-sampah organik buangan rumah tangga maupun pasar tradisional yang ada di Kota Denpasar. Dengan demikian, isu pelestarian lingkungan seperti Bali Clean & Green sangat sesuai dengan program ini.
Seminar Internasional “Agribisnis dan Pertanian Organik Berkelanjutan” 8
Penutup Model pemberdayaan RTM di Kota Denpasar yang paling sesuai dengan karakteristik RTM adalah Model Program Developmental. Model program ini mengidentifikasi masalahmasalah pokok klien, masyarakat, atau segmen masyarakat. Setelah itu program pendidikan yang mampu menolong orang, dapat dikembangkan. Program pendidikan tersebut menyangkut pengetahuan, keterampilan dan sikap yang merupakan alat pendukung pemecahan masalah. Ini berarti pengetahuan, keterampilan, dan sikap tersebut diprogramkan. Kesuksesan program diukur dari keberhasilan sasaran dalam memecahkan masalahnya sendiri.
Daftar Pustaka
Djopari J. 1997. Teori-Teori Pembangunan. Jakarta: Yarsif Watampone. Nasution Z. 1996. Komunikasi Pembangunan: Pengenalan Teori dan Penerapannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sevilla, C.G,, J.A. Ochave, T.G. Punsalan, B.P. Regala, dan G.G. Uriarte. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Alimuddin Tuwu, Penerjemah. Jakarta: UI Press. Soekanto S. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sutawan, N. 2005. “Subak Menghadapi Tantangan Globalisasi, Perlu Upaya Pelestarian dan Pemberdayaan Secara Lebih Serius”. dalam Revitalisasi Sibak dalam Memasuki Era Globalisasi. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Seminar Internasional “Agribisnis dan Pertanian Organik Berkelanjutan” 9