KEMENTERIAN PARIWISATA
DEPUTI BIDANG PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN JALAN MERDEKA MERDEM annaiN6M'R ,r7, KEPARIWISATAAN JAKARTA 10110 Tetepon (021) 3838539, 3838730; r"r=iririibzl) 34s2006
lnclonost.)
Nomor : 380A/LITBANGJAKPAR/DBPKKIXII/20r5 Lampiran : -
Hal
:
Jakarta, 14Desember20l5
penerimaan Naskah JKI a.n I Ketut Surya Diarta dan I Gede Setiawan Adi putra
Yth. Bapak I Ketut Surya Diarta Bapak I Gede Setiawan Adi putra
di-
Tempat
I)engan hormat,
Pernimpin Ilmum 'Iurnal Kepariwisalaan Indonesia (JKI) dengan naskah/artikel ilmiah di bawah ini: Judul
Penulis
ini
menyampaikan bahwir
:
EKOWISATA TERIJMBTI KARANG Dt PEMUTERAN BAI,I SEBACAI MODEL IMPLEMENI'ASI EKONOMI HIJAU DI SEKTOR PARIWTSATA : I Ketut Surya Diarta tlan I Gede Setiawan Adi putra
Telalr ditcrima dan s3at
ini se,dang dalam proses editing oleh Dervan Editor Jurnal Kcpariwisataan Indonesia. untuk ditertitkan pada .Iurnal Kepariwisataan fndonesia volume l0 No. I l)esernbcr 201-5. Kanri menyampaikan terima kasih atas kiriman naskahlartikel tersebut untuk kemaiuan kepariwisatiun lndonesia. Demikian keterangan ini dibuat untuk clapat dipergunakan sehagairnana mcstinya.
Tembusan:
Asisten Deputi Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Kepariwisataan
EKOWISATA TERUMBU KARANG DI PEMUTERAN BALI SEBAGAI MODEL IMPLEMENTASI EKONOMI HIJAU DI SEKTOR PARIWISATA I Ketut Surya Diarta1), I Gede Setiawan Adi Putra2) 1 Fakultas Pertanian, Universitas Udayana email:
[email protected] 2 Fakultas Pertanian, Universitas Udayana email:
[email protected] Abstract Implementation of a green economy in the tourism sector through coral reef ecotourism in Pemuteran Bali has been recognized as a successful program at the local, regional, and international level. This paper aims to discuss about the success of this program mainly related to the best practice and the implementation model of a green economy on ecotourism coral reefs that can be used as a model for other regions. The implementation processes are executed through three stages mainly the resistance, adaptation, and transformation stage. While, the best practices of the green economy through coral reef ecotourism are applied through the seven principles of green economy with locality adjustment. It is a priority to be addressed to change their mindset of local people that saving the environment can be in line with the creation of new sources of family income. This effort involves all components of society to run the program. The result, the coral reef restoration and conservation also the ecotourism program are supported by the local community, have participation of all parties, give the economic benefits, change local people mindset to be an environmental savior, involve in the preservation of the environment, and the rapid change in poverty alleviation. In fact, the program is an implementation of the green economy principles in coral reef ecotourism. Keywords: Ecotourism, Coral reef, Green Economy, Pemuteran
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut UNEP dan UNWTO (2011), semakin tingginya eskalasi krisis yang melanda dunia mulai dari perubahan iklim yang ekstrim, keterbatasan bahan bakar minyak, kekurangan bahan pangan, kekeringan, kepunahan keanekaragaman hayati, dan seterusnya semuanya mengancam umat manusia di muka bumi. Negara-negara maju menyadari hal ini dan mengantisipasinya dengan mengembangkan ekonomi hijau (green economy) sebagai salah satu cara bijak menekan potensi bencana tersebut. Prinsip-prinsip ekonomi hijau ini di sektor pariwisata didekati melalui
1
pengembangan pariwisata hijau (green tourism) yang salah satunya diwujudkan melalui ekowisata (ecotourism). Pariwisata memiliki tantangan besar untuk mewujudkan konsep pariwisata hijau mengingat pariwisata merupakan salah satu industri dunia yang tumbuh paling pesat (Azam dan Sarker, 2011: 6). Penyediaan sarana dan prasarana pendukung pariwisata telah mengambilalih dan mengubah keseimbangan ekosistem di destinasi. Pemanfaatan alat transportasi, pendingin udara, dan konsumsi energi telah menimbulkan emisi gas buang karbon yang menurunkan kualitas lingkungan. Segala tantangan tersebut menyadarkan berbagai pihak (UNWTO, OECD, ILO, dan sebagainya) bahwa perlu pendekatan baru industri pariwisata yang tetap menjamin kualitas dan kontinuitas lingkungan yang berkualitas melalui konsep pariwisata hijau (green tourism). Indonesia juga mengadopsi konsep pengembangan pariwisata hijau ini. Misalnya, di Bali dilaksanakan program konservasi terumbu karang yang dipadukan dengan aktifitas pariwisata melalui pengembangan ekowisata terumbu karang oleh Yayasan Karang Lestari di Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng sejak tahun 1989 sampai sekarang. Program ini telah mendapat pengakuan baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional seperti Konas Award dari Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dalam bidang manajemen kawasan pesisir berbasis masyarakat terbaik pada tahun 2002, Asianta Award dan Piala Kalpataru dari Presiden RI pada tahun 2005, penghargaan perintis lingkungan dari Pemerintah Propinsi Bali pada tahun 2007, meraih PATA Gold Award pada tahun 2008, meraih Tri Hita Karana award tahun 2011, dan meraih Equator Prize Arard dari UNDP pada tahun 2012. Keberhasilan Yayasan Karang Lestari dalam memadukan konservasi lingkungan dengan pariwisata melalui prinsip-prinsip pariwisata hijau sebagai implementasi ekonomi hijau patut dijadikan teladan bagi komunitas atau destinasi pariwisata lain agar tercapainya pariwisata yang berkelanjutan yang mermuara pada pembangunan berkelanjutan. Kurangnya pendokumentasian berbagai teladan (best practice) implementasi ekonomi hijau di bidang pariwisata seperti ekowisata terumbu karang di Desa Pemuteran menjadi kendala bagi daerah lain untuk menjadikannya sebagai inspirasi, media belajar dan model panutan. Padahal, penghargaan atas keberhasilan
2
pengelolaan pariwisata hijau melalui ekowisata terumbu karang berdasarkan prinsipprinsip ekonomi hijau di Pemuteran tersebut diakui baik di tingkat lokal, nasional, bahkan internasional. 1.2 Tujuan Penulisan Tulisan ini mendiskusikan teladan (best practice) dan model implementasi ekonomi hijau pada ekowisata terumbu karang di Pemuteran Buleleng Bali. II. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Desa Pemuteran, Gerokgak, Buleleng Bali dari Bulan April sampai Agustus 2014. Penelitian menggunakan rancangan penelitian deskriptif kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam terhadap informan kunci yang berasal dari Badan Pengelola Pariwisata Desa, Yayasan Karang Lestari, Pemuka Adat, Pemuka Masyarakat, Pengurus Banjar, Desa Adat, Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) Pecalang Segara, dan masyarakat lokal. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Tahapan Implementasi Ekonomi Hijau pada Ekowisata Terumbu Karang Proses implementasi ekonomi hijau pada ekowisata terumbu karang di Pemuteran dapat dibedakan dalam tiga tahap yaitu fase resistensi, fase adaptasi, dan fase transformasi. a. Fase resistensi Fase resistensi ini ditandai oleh dua ciri utama yaitu adanya penolakan masyarakat di Desa Pemuteran terhadap rencana restorasi dan konservasi terumbu karang di wilayah perairan laut di sepanjang Pantai Pemuteran dan/atau adanya pengabaian program atau tidak peduli dengan adanya kegiatan tersebut. Program restorasi dan konservasi terumbu karang berusaha merestorasi terumbu karang yang telah dirusak masyarakat melaui penangkapan ikan yang tidak bersahabat dengan biota laut yaitu dengan cara pengeboman dan menggunakan racun sianida (potas). Usaha konservasinya dengan melarang kawasan restorasi untuk dimasuki oleh nelayan sebagai kawasan tangkap ikan. Hal inilah yang menyebabkan nelayan menentang atau melakukan penolakan terhadap program restorasi dan konservasi tersebut mengingat melarang mereka memasuki kawasan tangkap yang
3
menjadi kawasan restorasi dan konservasi berarti mengancam sumber pendapatan keluarganya. Tentu, sebagai akibatnya terjadi konflik kepentingan yang cukup tajam antara masyaraat nelayan setempat dengan pelaksana program restorasi dan konservasi. Di lain pihak tidak semua masyarakat Pemuteran memiliki sikap penolakan terhadap program restorasi dan konservasi. Sebagian yang sadar penyelamatan dan peran lingkungan bagi kehidupan di masa depan tetap mendukung atau jika tidak mereka akan abai saja terhadap keberadaan program. Menyangkut masyarakat nelayan yang tadinya menolak seiring perjalanan waktu dengan adanya sosialisasi dari pihak Yayasan Karang Lestari yang didukung oleh Desa Adat dan Desa Dinas Pemuteran beserta peran pemerintah yang tiada henti menyadarkan masyarakat akan arti penting penyelamatan lingkungan maka mereka lambat laun menjadi mengurangi penolakannya. Nelayan mulai mengalihkan wilayah tangkapan ikannya di luar wilayah restorasi dan konservasi terumbu karang. Dilihat dari fase resistensi ini, ternyata penolakan khususnya oleh masyarakat nelayan lokal akibat terancamnya sumber-sumber pendapatan keluarganya mengingat larangan melakukan penangkapan ikan di kawasan restorasi dan konservasi. Hal ini dapat diantisipasi oleh penyelenggara program dengan memberikan penjelasan bahwa restorasi dan konservasi terumbu karang dalam jangka panjang justru akan menguntungkan nelayan tersebut mengingat terumbu karang yang lestari akan menjadi rumah bagi biota laut dan ikanikan kecil yang berkerumun. Ikan-ikan ini merupakan buruan dari ikan besar yang menjadi sasaran tangkapan nelayan. Tetapi, praktek penangkapan ikan tangkapan ini tidak boleh menggunakan teknik tangkap yang merusak atau mendegradasi kualitas terumbu karang, biota laut dan ekosistem perairan laut lainnya di sekitar wilayah restorasi dan konservasi. b. Fase adaptasi Fase ini ditandai oleh adanya pertimbangan matang mengenai berbagai aspek diantaranya resiko yang mungkin ditimbulkan oleh adanya program, biaya yang dibutuhkan untuk mendukung terselenggaranya program dan keunggulan kompetitif yang bida ditawarkan agar mampu bersaing dari berbagai aspek.
4
Secara ekonomi, resiko pelaksanaan restorasi dan konservasi terancam gagal mengingat kurangnya dukungan dana yang tersedia. Baik dalam membiayai konstruksi besi tempat tumbuhnya terumbu karang, pembiayaan tenaga kerja yang bekerja sehari-hari dalam program, penyelenggaraan sosialisasi, pengawasan kawasan restorasi dan konservasi, dan biaya operasional lainnya. Namun berkat kepeloporan perintisnya yaitu Bapak Agung Prana semua itu dapat diatasi dengan menggunakan beberapa cara yang inovatif yaitu donasi langsung atau melalui transfer rekening ke program konservasi, melakukan penjualan paket restorasi dan konservasi kepada wisatawan dengan membiayai sebuah struktur besi tempat berkembang biaknya terumbu karang dimana nama penyumbang atau donatur akan diisi pada struktur tersebut dan kemudian difilmkan atau difoto dan dipublikasi di internet. Cara lain yang ditempuh yaitu dengan menggalang semua usaha pariwisata di Desa Pemuteran untuk ikut menyumbang biaya restorasi dan konservasi mengingat wisatawan yang datang ke Pemuteran adalah berkat usaha restorasi dan konservasi terumbu karang tersebut sehingga wajar jika para pengusaha pariwisata juga memiliki kewajiban untuk turut serta melestarikan terumbu karang yang menjadi aset utama kepariwisataan di Pemuteran. Secara sosial, resiko yang dihadapi terutama dari nelayan setempat yang menolak program restorasi dan konservasi karena mengancam sumber pendapatan keluarganya. Namun, hal ini dapat diatasi dengan program sosialisasi melalui berbagai kesempatan baik melalui pertunjukan kesenian tradisiobal seperti wayang kulit, bondres, atau melalui pertemuan-pertemuan adat lainnya yang rutin diselenggarakan oleh Desa Adat Pemuteran. Resiko secara budaya menyangkut potensi penolakan karena masuknya orang luar sebagai pembawa ide restorasi dan konservasi tidak sepenuhnya dapat diterima begitu saja mengingat secara budaya dan tradisi masyarakat desa lebih mendengarkan tokoh adat dan tokoh masyatakat lokal sebagai panutan. Sikap budaya yang curiga dengan orang baru dapat menjadi kendala serius bagi keberhasilan program restorasi dan konservasi. Namun, hal ini pelan-pelan dapat diatasi dengan pendekatan kepada para tokoh masyaakat setempat dan ikut melibatkan masyarakat lokal dalam program baik dalam tahap perencanan, pelaksanaan, maupun pengawasan program.
5
Resiko keunggulan kompetitif juga menjadi kendala yang cukup serius mengingat program restorasi dan konservasi terumbu karang tidak hanya ada di Desa Pemuteran dan lebih jauh restorasi dan konservasi terumbu karang yang diintegrasikan dengan usaha kepariwisataan menjadi resiko yang berlipat mengingat restorasi dan konservasi dan pariwisata memiliki filosofi yang bertentangan. Satu sisi merupakan usaha penyelamatan sedangkan satunya lagi justru menjadi ancaman keberhasilan restorasi dan konservasi. Namun, dengan memadukan restorasi dan konservasi dengan pariwisata dengan cara yang tepat yaitu dengan prinsip-prinsip ekowisata (pariwisata ekologis) maka kelestarian terumbu karang tetap menjadi tumpuan utama sedangkan pariwisata menjadi manfaat ikutan yang ditimbulkannya dan diarahkan untuk mendukung program restorasi dan konservasi bukan sebagai perusaknya. c. Fase transformasi Fase transformasi ini ditandai oleh adanya perubahan pola pikir (mindset) masyarakat lokal dari pelaku perusakan terumbu karang (destructor) menjadi penyelamat lingkungan (conservator). Perubahan ini tidaklah terjadi secara instan atau cepat melainkan memerlukan usaha yang lama dan terus menerus. Penggunaan media tradisional dan pertemuan adat serta dukungan lembaga adat dan dinas (desa dan pemerintah daerah) juga turut andil mengubah pola pikir masyarakat. Misalnya, masyarakat nelayan sudah paham bahwa justru adanya restorasi dan konservasi terumbu karang menjadi penyebab datangnya ikan-ikan besar yang menjadi objek tangkapan mereka sehingga akhirnya mereka menjadi berubah mendukung program restorasi dan konservasi terumbu karang. 3.2 Teladan Implementasi Ekonomi Hijau pada Ekowisata Terumbu Karang di Pemuteran Teladan (best practice) implementasi ekonomi hijau pada sektor pariwisata melalui ekowisata terumbu karang di Pemuteran pada prinsipnya merupakan implementasi prinsip-prinsip ekonomi hijau dengan basis pengembangan ekowisata terumbu karang, yaitu: 1. Restorasi dan dan konservasi sumberdaya alam Program restorasi terumbu karang di Desa Pemuteran sangat besar dipengaruhi oleh penggunaan teknologi biorock yang diperkenalkan oleh dua ilmuwan yaitu Prof.
6
Wolf Hilberts yang merupakan President of Sun and Sea e.V dari Jerman dan Dr. Tom Goreau yang merupakan President of the Global Coral Reef Alliance dan menjadi Senior Scientific Affair Officer pada United Nations Center for Science and Technology fo Development. Pada prinsipnya, teknologi biorock ini menggunakan arus listrik searah tegangan rendah untuk menumbuhkan lapisan batu kapur (limestone) dalam rangka besi atau baja sehingga mampu meningkatkan kecepatan pertumbuhan terumbu karang. Tenaga listrik dari biorock ini didapat dari panel tenaga surya, generator kincir angin mini, turbin gelombang laut, generator ombak atau sumber listrik ramah lingkungan lainnya. Terumbu karang yang dihasilkan dari teknologi biorock hampir tiga sampai lima kali lebih cepat dibandingkan dengan penumbuhan terumbu karang secara alami. Dan meningkatkan daya hidup terumbu karang 16 sampai 50 kali jika dibiakkan secara alami. 2. Adopsi nilai lokal Keberhasilan merestorasi terumbu karang tidak terlepas dari pengadopsian nilainilai lokal masyarakat di Desa Pemuteran. Proyek restorasi terumbu karang dengan biorock sudah dilaksanakan di belahan dunia lainnya tetapi tidak sesukses di Pemuteran. Salah satunya dikarenakan kurangnya partisipasi masyarakat lokal dalam menjaga, memelihara, dan merasa memiliki proyek yang berujung kurangnya tanggung jawab bersama untuk menjamin suksesnya proyek tersebut (Suryadiarta dan Sarjana, 2012). Umumnya di Bali, desa adat (termasuk di Pemuteran) memiliki seperangkat aturan adat di tingkat desa yang mengikat warganya dalam berperilaku sehari-hari. Aturan adat tersebut disebut awig-awig. Desa adat Pemuteran berperan besar dalam menginternalisasi nilai disertai pengenaan sanksi adat bagi warga yang melanggar aturan atau kesepakatan (perarem) bersama yang telah diputuskan. Intinya perarem tersebut mengatur tentang: (a) larangan menangkap ikan dengan bom, (b) larangan menangkap ikan dengan racun sianida, (c) larangan mengambil terumbu karang, (d) larangan mengambil pasir laut dalam jumlah besar, (e) kewajiban menjaga kebersihan pantai dan laut, (f) kewajiban menjaga keamanan dan kenyamanan suasana di Pemuteran. Bagi anggota Desa Pekraman yang melanggar perarem ini akan kena sanksi perarem yang dijatuhkan setelah dirapatkan bersama misalnya denda natura (sejumlah beras) dan sanksi sosial (tidak dilayani atau diskors tidak mendapat pelayanan administrasi adat). Pelanggar dari luar Desa Pekraman
7
akan diserahkan oleh Pecalang Segara ke Desa Pekraman dan Desa Dinas untuk membuat surat pernyataan tidak mengulangi perbuatannya. Pelanggaran berat yang memenuhi unsur pidana diserahkan ke kepolisian untuk diproses secara hukum. 3. Kegiatan ekonomi untuk meminimalisasi kemiskinan Program restorasi terumbu karang di Desa Pemuteran secara riil memang membangkitkan geliat ekonomi masyarakatnya. Kembalinya kehidupan biota laut seperti sediakala mengundang koloni ikan datang dan menjadikan terumbu karang sebagai rumahnya. Ikan besar juga mulai berdatangan mengikuti ikan-ikan kecil yang menjadi mangsanya. Hal ini merupakan pemandangan bawah laut yang sangat eksotis dan mengundang wisatawan yang mempunai minat khusus berwisata bawah air (snorkeling dan diving) semakin banyak ke Desa Pemuteran. Kondisi ini membuka peluang usaha bagi masyarakat untuk berusaha baik yang ada hubungannya langsung kegiatan ekowisata bahari atau usaha pendukungnya. Masyarakat banyak yang membuka usaha penyewaan alat selam dan snorkeling, menjadi pemandu selam, tansportasi ke titik penyelaman atau wisata lumba-lumba. Masyarakat juga membuka usaha transportasi, trekking ke lokasi pura suci di sekitar Desa Pemuteran, membuka penginapan, warung dan restoran, tempat pijat (massage), fotografi, dan sebagainya. 4. Pekerjaan hijau dan keadilan sosial Kunci sukses keberhasilan restorasi dan konservasi terumbu karang di Desa Pemuteran adalah semangat kerjasama dari beberapa pemangku kepentingan yang dipelopori oleh: (1) Yayasan Karang Lestari selaku pendiri program, (2) ilmuwan biorock, (3) masyarakat Desa Pemuteran, (4) pemerintah, dan (5) para relawan. Partisipasi ini tentu muncul karena semua elemen mendapat tempat, hak, dan tanggung jawab yang sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Yayasan Karang Lestari berkepentingan menyelamatkan dan melindungi ekosistem perairan di Desa Pemuteran sebagai kontribusinya bagi pengembangan masyarakat Desa Pemuteran. Yayasan ini juga bertujuan mengeluarkan masyarakat dari budaya merusak menjadi penyelamat lingkungan sekaligus membuka wawasan masyarakat akan potensi besar yang dimiliki Desa Pemuteran yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi melalui pariwisata. Tentu, tujuan akhirnya adalah menciptakan pekerjaan bagi masyarakat sekaligus pekerjaannya tersebut berkontribusi terhadap penyelamatan
8
lingkungan. Filosofi pekerjaan seperti inilah yang sering disebut sebagai ‘pekerjaan hijau’. Usaha wisata diving dan snorkeling yang digabungkan dengan kegiatan penanaman terumbu karang dalam kerangka restorasi dan restorasi dan konservasi akan berdampak positif dari dua aspek yaitu penyelamatan terumbu karang beserta ekosistemnya dan menjadi sumber pendapatan yang ditarik dari penyewaan perlengkapan selam atau penjualan paket wisata tersebut. Kegiatan paket wisata berkebun terumbu karang (reef gardener) cukup banyak diminati wisatawan yang dipadukan dengan penangkaran penyu (turtle hatchery) yang dipelopori oleh Chris Brown. Nelayan yang kebetulan menangkap penyu secara tidak sengaja dari jaring ikannya serta menemukan telur penyu di pantai bisa menjualnya ke Chris Brown yang mempekerjakan penduduk setempat membuat bak penampungan untuk penetasan telur penyu tersebut. Warga sekarang lebih memilih menjual telur penyu yang ditemukan untuk ditetaskan dan kembali dilepas ke laut daripada memakannya. Sampai sekarang hampir 6.500 bayi penyu telah dilepas kempali ke laut Desa Pemuteran. Proses pelepasan bayi penyu ini sekaligus dijadikan sebagai atraksi wisata dan wisatawan yang ingin ikut melepasnya harus membayar sejumlah uang untuk biaya operasional dan menggaji pegawai penangkaran. Wisatawan dan masyarakat setempat sekarang sudah sangat sadar dan peduli pentingnya melindungi penyu ini bagi keseimbangan ekosistem laut dan sekaligus menjadi sumber pendapatan karena dijadikan sebagai atraksi wisata. Prinsip berikutnya dari ekonomi hijau yang dikembangkan melalui praktek pariwisata hijau di Pemuteran adalah berusaha menciptakan keadilan sosial sesuai peran yang dimainkan. Rintisan usaha ini sudah dimulai
dengan pembentukan
Badan Pengelola Pariwisata Desa (BP2D) Desa Pekraman Pemuteran sesuai SK bersama antara Perbekel Desa Pemuteran dan Kelian Desa Pekraman Pemuteran No.15/VII/DPP /SK/2011 tanggal 29 Juli 2011. Keberadaan BP2D sangat penting bagi Desa Pekraman Pemuteran ke depannya mengingat BP2D dapat mengatur tata ruang desa sehingga pembangunan yang akan merusak ekosistem atau lingkungan dapat dicegah dan dikendalikan. BP2D juga mengatur tidak adanya pungutanpungutan kepada pengusaha yang tidak sah yang menyebabkan biaya tinggi dan yang terpenting BP2D menjamin kelestarian dan keberlanjutan ekosistem terumbu karang
9
dan ekosistem laut serta lingkungan di wilayah Desa Pemuteran secara umum. BP2D menjamin semua orang bisa berusaha dengan memanfaatkan potensi wisata yang ada di Pemuteran sepanjang memenuhi aturan yang telah ditetapkan (Profil Pecalang Segara, 2012). 5. Sumber energi terbarukan dengan emisi karbon rendah Program restorasi dan restorasi dan konservasi terumbu karang di Desa Pemuteran sudah berusaha sejauh mungkin menggunakan sumber energi yang ramah lingkungan dan terbarukan. Teknologi biorock yang menggunakan aliran listrik untuk mengikat kalsium karbonat sebagai bahan dasar tumbuhnya karang laut menggunakan tenaga listrik tegangan rendah dari pembangkit listrik tenaga surya (solar panel) dan tenaga angin. Pembangkit listrik ini dipasang di lokasi restorasi terumbu karang. Komitmen Yayasan Karang Lestari dalam menggunakan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan juga ditunjang dengan kedatangan pembangkit listrik tenaga ombak (tidal wave). Program restorasi dan restorasi dan konservasi terumbu karang di Desa Pemuteran benar-benar telah berada pada jalur penerapan pariwisata hijau. Ketiga pembangkit listrik di atas (tenaga surya, angin, dan ombak) merupakan penerapan prinsip energi terbarukan, ramah lingkungan dengas emisi karbon yang sangat rendah bahkan tidak ada. Harus diakui bahwa beberapa praktek penunjang restorasi dan konservasi termasuk kegiatan wisata yang disebabkan oleh adanya daya tarik wisata terumbu karang masih belum maksimal mempraktekkan konsep energi terbarukan, ramah lingkungan dengan luaran emisi karbon yang rendah. Kapal atau boat yang mengantar wisatawan melakukan diving dan snorkeling jumlahnya cukup banyak dan sering berlalu lalang masih menggunakan tenaga mesin yang digerakkan bahan bakar fosil (solar dan bensin). Hal ini tentunya berakibat pelepasan gas buang (emisi karbon) yang membebani lingkungan. Transportasi darat juga masih menggunakan bahan bakar fosil yang tidak ramah lingkungan. Namun demikian ada usaha penanaman tanaman penghijauan untuk menyerap gas karbondioksida. 6. Peningkatan efesiensi energi Upaya masyarakat, pengusaha pariwisata, dan industri yang berada di Desa Pemuteran umumnya sudah sadar akan pentingnya penggunaan energi yang efisien. Restorasi terumbu karang sebagaimana sudah menggunakan energi secara efisien
10
dengan pembangkit listrik tenaga surya dan angin. Pengantaran wisatawan untuk diving atau snorkeling umumnya dilakukan secara berkelompok antara lima sampai sepuluh orang sekali antar. Hal ini ditempuh agar efisien penggunaan bahan bakar kapal atau boat walaupun misalnya ada wisatawan yang meminta diantar secara pribadi. Di tingkat industri pariwisata, umumnya praktek efisiensi penggunaan energi ditempuh dengan menggunakan lampu neon, mematikan lampu jika tamu keluar kamar, mematikan ac kamar jika tidak dihuni, memanfaatkan air buangan ac untuk keperluan lain (kebun atau diolah menjadi air panas) atau instalasi peralatan listrik secara otomatis. 7. Pemanfaatan sarana mobilitas dengan rendah emisi karbon Pemanfaatan sarana mobilitas baik di darat dan laut di Desa Pemuteran memang secara umum belumlah mengaplikasikan penggunaan bahan bakar yang rendah emisi karbon misalnya belum umumnya dimanfaatkan kendaraan berbahan bakar gas LPG atau bertenaga listrik. Usaha yang sudah dilakukan baru sampai pada penggunaan energi yang seefisien mungkin pada alat transportasi. 3.3 Model Pengelolaan Ekowisata Terumbu Karang di Pemuteran Bali sebagai Implementasi Ekonomi Hijau 3.3.1 Proses restorasi dan konservasi terumbu karang dan kepariwisataan di Pemuteran Proses perencanaan restorasi dan konservasi terumbu karang di Pemuteran dipelopori oleh Bapak Agung Prana yang melihat perilaku destruktif masyarakat merusak terumbu karang dan perairan laut sepanjang pantai Pemuteran karena desakan kemiskinan. Di lain pihak Beliau mendirikan Yayasan Karang Lestari untuk menghimpun sumberdaya dan pemangku kepentingan lainnya dalam upaya penyelamatan terumbu karang dan ekosistem laut lainnya sekaligus menjadikannya sebagai daya tarik wisata. Beliau dalam perencanaan program mengintegrasikan Desa Adat dan Dinas Pemuteran, pengusaha pariwisata dan atas dukungan pemerintah melalui Dinas Perikanan dan Kelautan. Pelaksanaan program dimulai dari pembuatan struktur besi sebagai rumah tumbuhnya terumbu karang, dilanjutkan dengan menenggelamkannya di sepanjang Pantai Pemuteran yang menjadi kawasan restorasi dan konservasi terumbu karang. Pengawasan dilakukan oleh perangkat Desa Adat yaitu Pecalang. Mengingat
11
tugasnya mengawasi keamanan dan menjamin tidak adanya gangguan terhadap program restorasi dan konservasi di kawasan Pantai (segara) Pemuteran maka pecalang tersebut disebut sebagai Pecalang Segara.
Pelaksaan program juga
melibatkan pengusaha dan wisatawan serta masyaraka lokal secara umum. Pengorganisasian program terutama dikendalikan oleh Yayasan Karang Lestari dengan pengawasan Desa Pemuteran sedangkan evaluasi dilakukan bersama antara Yayasan Karang Lestari, Desa Pemuteran, Dewan Penasehat dan masyarakat lokal. Sampai saat ini beragam hasil yang dicapai dari program restorasi dan konservasi terumbu karang di Pemuteran yaitu telah tertanamnya lebih dari 500 struktur terumbu karang buatan di sepanjang kawasan restorasi dan konservasi yang didukung oleh penerapan teknologi biorock. Hal ini mampu mendorong pertumbuhan terumbu karang yang sangat baik bahkan menjadi salah satu kawasan perairan laut terbaik di dunia dengan keindahan terumbu karang sangat menakjubkan. Hal ini menarik wisatawan asing utamanya untuk berkunjung mengingat umumnya yang datang sebagai pencinta ekowisata bawah laut sekaligus mempunyai hobi diving atau snorkeling. Kedatangan wisatawan ini menjadi pendorong geliat aktifitas ekonomi yang berhubungan dengan kepariwataan misalnya banyaknya sarana akomodasi yang dibangun (hotel, vila, penginapan) dan juga beragam sarana penunjang kegiatan kepariwisataan misalnya restoran, tempat pijat, penjual oleh-oleh, penyewaan alat selam, penyewaan perahu dan kapal, transportasi, kursus menyelam, internet, café, dan sebagainya. Hal yang terpenting dalam aspek kepariwisataan ini adalah terserapnya tenaga kerja lokal dalam industri kepariwisataan sehingga mampu mengurangi pengangguran seperti sebagai pegawai hotel dan restoran, tukang kebun, instruktur selam, penyewa alat selam, operator kapal dan perahu, pramuwisata, pedagang oleh-oleh, dan sebagainya. Intinya program restorasi dan konservasi terumbu karang di Pemuteran selain sebagai program penyelamatan lingkungan juga berperan sebagai sarana membangkitkan ekonomi masyarakat melalui kegiatan pengembangan kepariwisataan berbasis alam (ekowisata) terumbu karang. Kegiatan ini ternyata mendapat apresiasi dan penghargaan baik di tingkat daerah, nasional dan internasional sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Proses restorasi dan konservasi terumbu karang dan kepariwisataan di Pemuteran dapat disimak dalam Lampiran 1.
12
3.3.2 Logic model restorasi dan konservasi terumbu karang dan kepariwisataan di Pemuteran Masyarakat lokal sebagai masyarakat pesisir sama seperti manusia lainnya yang memiliki keinginan untuk maju dan berusaha untuk mampu memperbaiki kesejahteraannya, sehingga hal ini merupakan potensi untuk meningkatkan partisipasi mereka guna memperbaiki taraf hidupnya. Usaha peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam program restorasi dan konservasi terumbu karang dapat digambarkan dalam logic model pada sebagaiamana terlihat dalam Lampiran 2. Logic model adalah proses penggambaran secara narasi atau grafis dalam kehidupan nyata yang mengkomunikasikan asumsi dasar suatu kegiatan yang diharapkan dapat mengarah ke hasil tertentu (McCawley, 2001). Upaya peningkatan partisipasi masyakarat lokal dalam program restorasi dan konservasi terumbu karang dan menjadikannya sebagai aset pariwisata yang akan mengundang kedatangan wisatawan menghadapi beberapa masalah yaitu: (a) kondisi ekonomi masyarakat yang umumnya masih miskin dengan tingkat pendapatan rendah karena terletak di pesisir pantai yang tandus dengan sumber pendapatan terbatas, (b) masyarakat cenderung menjadi perusak alam termasuk terumbu karang untuk mendapatkan penghasilan, (c) wawasan yang terbatas mengenai pelestarian alam dan lingkungan, (d) praktek penangkapan ikan dengan cara yang destruktif misalnya menggunakan racun sianida (potas), (e) ide restorasi dan restorasi dan konservasi sering dianggap mengancam sumber-sumber pendapatan keluarga, dan (f) kurang peduli kebersihan pantai. Berdasarkan situasi tersebut, terdapat tiga masalah yang diprioritaskan untuk diselesaikan guna meningkatkan partisipasi masyarakat lokal Desa Pemuteran dalam usaha restorasi dan konservasi terumbu karang serta pengembangannya menjadi daya tarik wisata (ekowisata) berbasis terumbu karang sebagai implementasi prinsipprinsip ekonomi hijau di sektor pariwisata. Ketiga prioritas masalah yang mendapat perhatian antara lain: (1) penyadaran masyarakat dari masyarakat yang mempunyai sikap penolakan dan pengabaian menjadi pendukung program, (2) adaptasi dengan pengelolaan dari aspek sosial, ekonomi, budaya, dan keunggulan kompetitif, dan (3) perubahan mindset masyarakat dari perusak menjadi pelindung dan pelestari alam.
13
Usaha merubah pola pikir masyarakat lokal tersebut memerlukan keikutsertaan seluruh lapisan masyarakat baik yang berdomisili di Desa Pemuteran selaku tuan rumah maupun pihak luar. Usaha restorasi dan konservasi terumbu karang bisa berjalan karena diinisiasi oleh Yayasan Karang Lestari yang didirikan oleh Bapak Agung Prana yang sejatinya berasal dari luar Desa Pemuteran yaitu dari Mengwi Badung. Beliau dengan bantuan ilmuwan terumbu karang yang tergabung dalam Biorock Global Coral Reef Alliance memelopori teknik restorasi dengan teknologi biorock. Atas dukungan masyarakat lokal melalui Desa Adat Pemuteran dengan Pecalang Segaranya, pengusaha pariwisata lokal, wisatawan, pemerintah daerah dan sukarelawan lainnya akhirnya berhasil menjalankan program restorasi dan konservasi terumbu karang yang kemudian dikembangkan menjadi data tarik wisata ekologis (ekowisata). Model ekowisata ini merupakan implementasi dari prinsip-prinsip ekonomi hijau. Berbagai upaya ditempuh dengan melibatkan semua pemangku kepentingan tentunya didahului oleh sosialisasi program kepada masyrarakat lokal agar mereka memiliki pemahaman yang sama akan tujuan yang ingin dicapai. Sosialisasi dilakukan dengan pendekatan budaya melalui pemanfaatan media tradisional seperti pertunjukan rakyat, rapat-rapat adat dan desa. Agar masyarakat semakin tertarik berpartisipasi maka diupayakan menunjukkan bahwa program restorasi dan konservasi terumbu karang merupakan kegiatan yang dapat dikembangkan ke arah ekonomi yang menguntungkan bagi masyarakat lokal. Upaya tersebut adalah melalui pengembangan ekowisata berbasis terumbu karang yang akan mengundang wisatawan berkunjung sehingga masyarakat dapat mengembangkan usaha penunjang kepariwisataan atau menjadi tenaga kerja di bidang pariwisata. Mengingat pentingnya program konservasi terumbu karang yang dapat dikembangkan sebagai daya tarik wisata maka masyarakat tanpa dipaksa akan mengalami transformasi pola pikir dari yang semula perusak alam menjadi pelindung alam mengingat sumber pendapatannya akan tergantung kepada kelestarian terumbu karang yang menjadi penarik datangnya wisatawan. Bisa dikatakan perbaikan taraf hidup masyarakat tergantung sejauh mana mereka mampu menjaga kelestarian dan keberlanjutan lingkungan pesisir dan lingkungan bawah air di sepanjang Teluk Pemuteran.
14
Hasil dari semua proses sebelumnya terlihat sekarang masyarakat telah sadar akan pelestarian lingkungan dan secara aktif mereka berpartisipasi sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Hal yang juga mendukung adalah adanya partisipasi para pengusaha pariwisata, wisatawan, pemerintah dan lembaga adat bersatu padu mendukung program konservasi dan pengembangan kawasan konservasi menjadi kawasan ekowisata berbasis pelestarian terumbu karang. Dalam jangka menengah sejak digulirkan awal 1990an masyarakat sudah merasakan manfaat ekonomi secara nyata baik langsung maupun tidak langsung. Keberadaan pariwisata juga mendorong menggerakkan sektor-sektor pendukung termasuk para nelayan yang menjadi menyuplai ikan segar ke hotel dan restoran, menyewakan perahunya bagi wisatawan, atau bagi pemuda desa yang bekerja menyewakan alat selam, menjadi pemandu selam, pemandu wisata, pekerja di hotel, restoran, dan sebagainya. Hal yang juga menggembirakan adalah keterlibatan lembaga adat (Desa Adat Pemuteran) melalui Pecalang Segaranya yang telah diakui sebagai kelompok masyaralat pengawas (POKMASWAS) yang mempunyai wewenang mengawasi daerah perairan di Teluk Pemuteran termasuk yang menjadi kawasan konservasi. Kelembagaan adat ini jauh lebih ditakuti daripada keberadaan polisi perairan yang berasal dari pemerintah dan kepolisian. Tujuan jangka panjang program ini sebenarnya menjadikan Desa Pemuteran sebagai kawasan yang memiliki kelestarian lingkungan tidak hanya pada kelestarian terumbu karang yang ada di perairan laut juga menyangkut kelestarian lingkungan di darat. Pemuteran juga diharapkan menjadi salah satu ekowisata yang terkenal ke seluruh dunia sehingga menarik minat wisatawan untuk datang sehingga mampu menggerakkan perekonomian masyarakat. Pemuteran juga akan menjadi model implementasi ekonomi hijau di sektor pariwisata dengan mempraktekan prinsip-prinsip ekonomi yang berbasis kelestarian lingkungan (ekowisata terumbu karang). Pemuteran diharapkan menjadi model sinergitas pelestarian lingkungan dengan usaha kepariwisataan yang bisa berjalan berdampingan dan saling mendukung. Logic Model restorasi dan konservasi terumbu karang dan kepariwisataan di Pemuteran dapat disimak pada Lampiran 2.
15
IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Analisis proses implementasi ekonomi hijau di sektor pariwisata di Desa Pemuteran dapat dibedakan dalam tiga tahap yaitu: (a) fase resistensi, (b) fase adaptasi, dan (c) fase transformasi, ditandai oleh adanya perubahan pola pikir (mindset) masyarakat lokal dari pelaku perusakan terumbu karang (destructor) menjadi penyelamat lingkungan (conservator). 2. Teladan (best practice) implementasi ekonomi hijau pada sektor pariwisata melalui ekowisata terumbu karang di Pemuteran pada prinsipnya merupakan implementasi prinsip-prinsip ekonomi hijau dengan basis pengembangan ekowisata terumbu karang, yaitu: (1) restorasi dan dan konservasi sumberdaya alam, (2) adopsi nilai lokal, (3) kegiatan ekonomi untuk meminimalisasi kemiskinan, (4) pekerjaan hijau dan keadilan sosial, (5) sumber energi terbarukan dengan emisi karbon rendah, (6) peningkatan efesiensi energi, (7) pemanfaatan sarana mobilitas dengan rendah emisi karbon 3. Model pengelolaan ekowisata terumbu karang di Pemuteran Bali sebagai implementasi ekonomi hijau dimulai dari adanya masalah kemiskinan masyarakat lokal sehingga dikembangkan program konservasi terumbu karang yang sekaligus sebagai daya tarik wisata. Perencanaan melibatkan beberapa pihak untuk memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat. Pelaksanaan program terdiri atas beberapa kegiatan restorasi dan konservasi yang diorganisir oleh pengelola Yayasan Karang Lestari dan diawasi oleh Desa Pemuteran. Evaluasi melibatkan semua pihak dan sampai saat ini telah berhasil menjalankan program restorasi dan konservasi dengan baik dan sudah juga berkembang menjadi daya tarik wisata yang cukup terkenal yang mampu menggerakkan perekonomian lokal untuk mengurangi kemiskinan. 4. Logic Model restorasi dan konservasi terumbu karang dan kepariwisataan di Pemuteran pada intinya dilatarbelakangi oleh situasi kurang menguntungkan masyarakat lokal seperti kemiskinan sehingga mereka merusak lingkungan untuk bertahan hidup. Hal ini menjadi prioritas untuk ditangani agar mereka sadar dan mengubah pola pikirnya bahwa penyelamatan lingkungan bisa sejalan dengan penciptaan sumber pendapatan keluarga baru. Usaha ini melibatkan semua
16
komponen masyarakat yang dijalankan melalui berbagai cara sosialisasi menggunakan media dan lembaga adat sehingga terbentuk kelembagaan pengelola program dan pengawas. Hasilnya, baik dalam jangka pendek berupa dukungan masyarakat lokal, partisipasi semua pihak, dirasanya manfaat ekonomi, berkembangnya ekowisata, kesadaran sebagai penyelamat lingkungan, pelestarian lingkungan, semakin majunya Pemuteran, dan terimplementasinya prinsip-prinsip ekonomi hijau dalam ekowisata terumbu karang.
V. REFERENSI Azam, Mehdi dan Tapan Sarker. 2011. Green Tourism in The Context of Climate Change Towards Sustainable Economic Development in The South Asian Region. Journal of Environmental Management and Tourism, Vol.2(3), pp.615. McCawley, P. 2001. The Logic Model for Program Planning and Evaluation. {Jurnal Online}. Internet. http://www.uiweb.uidaho.edu/extension/ LogicModel.pdf. Diakses pada 29 September 2014. Pecalang Segara. 2012. Profil Kelompok Masyarakat Pengawas Pecalang Segara Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Surya Diarta, I Ketut dan I Made Sarjana. 2012. Penuntun Praktikum Mata Kuliah Sosiologi Pembangunan Pariwisata. Jurusan Agribisnis FP UNUD. UNEP dan UNWTO. 2011. Investing in Energy and Resources Efficiency. Ucapan Terima Kasih: Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Dikti dan Universitas Udayana yang telah membiayai penelitian ini melalui skema Penelitian Hibah Bersaing tahun 2014 dengan dengan Surat Perjanjian Penugasan Penelitian No.103.41/UN14.2/PNL.01.03.00/2014 tanggal 3 Maret 2014
17
Lampiran 1. Proses pengembangan restorasi dan konservasi terumbu karang di Pemuteran
Masalah awal (Latar Belakang) - Pemuteran terpencil, miskin dan masyarakat sebagai perusak lingkungan - Ada potensi restorasi dan konservasi terumbu karang sekaligus asset
1
Perencanaan
2
Pengembangan restorasi dan konservasi terumbu karang dan ekowisata pantai
wisata
didukung oleh
melibatkan
Pemerintah Kab. Buleleng
- Yayasan Karang Lestarai (YKL) - Desa Adat dan Dinas Pemuteran - Pengusaha Pariwisata - Ilmuwan Biorock
3 - Belum semua masyarakat terlibat dan memperoleh manfaat langsung dari keberhasilan program - Sebagian masyarakat belum sepenuhnya sadar akan tujuan program - Belum menerapkan sepenuhnya konsep ekonomi hijau karena beragam kendala
Pelaksanaan
- Pembuatan struktur terumbu karang - Penanaman terumbu karang - Pengawasan kawasan restorasi dan konservasi - Pelibatan pengusaha dan wisatawan - Program pendukung lainnya
Usaha perbaikan ke depan
7
Hasil - Telah tertanan lebih dari 500 struktur terumbu karang buatan - Terumbu karang tumbuh sehat dan sangat indah yang menjadi daya tarik wisata - Kedatangan wisatawan sangat menggembirakan - Geliat ekonomi lokal sangat menggembirakan (hotel, restoran, diving, dan wisata pantai) - Penghargaan lokal, nasional dan internasional
4
Pengorganisasian
Evaluasi diantara
pengelola
- Yayasan Karang Lestarau (YKL) - Desa Pemuteran - Dewan penasehat - Masyarakat lokal
YKL
5
6
18
pengawas Desa Pemuteran dan Pemda
Lampiran 2. Logic Model restorasi dan konservasi terumbu karang di Pemuteran
Situasi
Aktivitas
- Kemiskin an masyarak at - Sebagai perusak alam krn alasan ekonomi
- Wawasan terbatas ttg kelestaria n lingkunga n - Pratek penamgk apan ikan dgn racun - Mengang gap program konservas i sbg ancaman sumber penghasil an - Kurang
OUTPUTS
INPUTS
Situasi
Prioritas - Penyadaran masyarakat dari penolakan dan pengabaian menjadi pendukung program - Adaptasi dengan pengelolaan resiko sosial, ekonomi, budaya, dan keunggulan kompetitif - Perubahan mindset masyarakat dari perusak menjadi pelindung
- Yayasan Karang Lestari - Desa Adat Pemuteran - Pecalang Segara - Pengusaha pariwisata - Wisatawan voluntir - Akademis - Masyarakat lokal Desa Pemuteran - Biorock global coral reef alliance - Yayasan
Partisipasi
J.Pendek J.Menengah J.Panjang
- Pertemuan rutin pengelola program dengan masyarakat
- Masyarakat lokal Desa Pemuteran - Biorock global coral reef alliance
OUTCOMES – IMPACT
- Sosialisasi program menggunakan media tradisional dan pertunjukan seni budaya, rapat-rapat adat, rapat-rapat desa - Pengendalian resiko melalui adaptasi sosial, ekonomi, budaya, dan keunggulan kompetitif - Usaha perubahan mindset masyarakat melalui tranformasi pola pikir dan perilaku dari perusaj menjadi pelindung dan pelestari alam
- Pembentukan POKMASWAS Pecalang segara untuk mengawasi kawasan konservasi - Mendorong program konservasi sebagai kegiatan ekonomi melalui ekowisata - Memberdayakan lembaga tradisional setempat sebagai pemangku kepentingan untuk menjamin keberlanjutan di masa depan
Asumsi
Evaluasi
19
- Partisipasi masyrakat lokal dalam mendukung program restorasi dan konservasi sesuai kapasitas masingmasing - Partisipasi pengusaha pariwisata - Partisiapsi wisatawam - Pembentuka n badan pengelola pariwisata yang berkembang akibat keberadaan program konservasi terumbu karang
- Masyarakak at lokal merasakan manfaat ekonomi baik langsung maupun tidak langsung dari keberadaan program - Berkembang nya ekowisata berbasis konservasi terumbu karang yang mampu menggerakk an perekonomi an semua sektor - Terbentukny a kesadaran dan tanggungjaw ab bersama akan kelastarian
Faktor Eksternal
- Lestarinya lingkungan khususnya terumbu karang - Berkemban gnya Desa Pemuteran menjadi DTW ekowisata ke seluruh dunia - Desa Pemuteran menjadi maju dari aktivitas pariwisata yang dipicu oleh program pelestarian terumbu karang - Desa wisata menjadi bagian kehidupan masyarakat - Menjadi