IMPLEMENTASI KEBIJAKAN POLSEK SEBAGAI BASIS DETEKSI DALAM MENGANTISIPASI GANGGUAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN DI KEPOLISIAN SEKTOR (POLSEK) MARGAHAYU KABUPATEN BANDUNG.
Oleh : I Gede Putra Muliawan
ABSTRAKSI. Polri dengan berbagai kewenangannya telah mengantisipasi tugas pokoknya dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang bertujuan mewujudkan keberhasilan dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, salah satu kebijakan Kapolri adalah Skep Kapolri No.Pol. : Skep/989/XII/2005 tanggal 30 Desember 2005, tentang Pedoman Polsek sebagai basis deteksi yang menempatkan Polsek sebagai basis deteksi bertujuan sebagai tolok ukur dalam keberhasilan mengantisipasi segala bentuk gangguan baik keamanan maupun ketertiban masyarakat yang dimulai dari wilayah Polsek. Berdasarkan pertimbangan perkembangan permasalahan dan hipotesa kerja yang telah ditentukan sebelumnya, dan relevan dengan tujuan penelitian, Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dikarenakan fokus penelitian ini adalah proses implementasi kebijakan yang melibatkan individu dan atau individu dalam kelompok atau unit kerja. Ketidakberhasilan dalam pelaksanaan implementasi kebijakkan Kapolri No.Pol.: Skep/989/XII/2005 tentang Polsek Sebagai basis deteksi, terjadi secara menyeluruh dibeberapa wilayah hukum Polsek hampir menjangkau diseluruh wilayah hukum kepolisian di Indonesia, Adapun faktor penyebabnya adalah : Kebijakan tidak disosialisasi dengan cermat dan detail, tidak mengatur secara teknis tentang pelaksanaan dilapangan, sehingga dalam implementasinya menyebabkan berbagai interpretasi. Tidak adanya dukungan mekanisme kerja, tidak dimbanginya dengan pelatihan kompetensi pelaksana, jumlah pelaksana yang tidak memadai, tidak adanya dukungan sarana dan prasarana serta tidak jelasnya dukungan anggaran untuk dapat terlaksananya tujuan dari kebijakan Kapolri No.Pol.: Skep/989/XII/2005 tentang Polsek Sebagai basis deteksi, sehingga proses yang diharapkan menghasilkan dampak positif pada upaya pencegahan dini tidak dapat terlaksana secara optimal. Kata kunci : Implementasi kebijakan, Polsek Sebagai Basis Deteksi, Antisipasi gangguan Keamanan dan Ketertiban. ABSTRACT. Police with authority anticipated main task by issuing policies aimed at realizing success in maintaining public order and security, one of the policy of the Chief of Police is the police chief Skep No.Pol. : Skep/989/XII/2005 dated December 30, 2005, on the basis of detection of Police guidelines that put police as a base detection as a measure aimed at anticipating the success of any disruption both security and public order, starting from the police. Based on consideration of development issues and working hypothesis predetermined, and relevant to the purpose of the study, this study uses descriptive research method qualitative approach because the focus of this research is the implementation of policies involving individual and or individuals in a group or work unit The failure in the implementation of the implementation of the policy of the Chief of Police No.Pol.: Skep/989/XII/2005 of Police For detection basis, be global in some police jurisdictions cover most police jurisdictions throughout Indonesia, The contributing factors are: 1
Policy not socialized carefully and detail, not technically regulate the implementation of the field, resulting in the implementation led to various interpretations. The lack of support mechanism, not accompanied by implementing competency training, inadequate number of personnel, lack of support infrastructure and lack of meaningful support to the implementation of the budget for the purpose of policy No.Pol Police.: Skep/989/XII/2005 As the police on the basis of detection, so that the process is expected to produce a positive impact on early prevention can not be implemented optimally. Keywords: Implementation of policy, police Basis For Detection, Security and Order Anticipation disorders
PENDAHULUAN. Sebelumnya peneliti telah melakukan observasi umum terhadap perkembangan dampak keamanan secara nasional, melalui perkembangan terjadinya peningkatan ancaman dan gangguan yang terjadi diberbagai wilayah di Indonesia dan ditayangkan serta diberitakan atau disebarkan oleh beberapa media masa baik elektronik dan cetak dalam kurun waktu Mei 2012. Dengan prediksi memang telah terjadi peningkatan gangguan khususnya gerakan sosial dan criminal. Dan hal tersebut cukup menimbulkan keingintahuan peneliti kenapa dan apa sebenarnya yang terjadi dengan tugas keamanan yang dilaksanakan oleh Polri. Berdasarkan prediksi diatas, peneliti mempelajari Rencana strategis Polri tahun 2005(Renstra Polri 2005), dalam Renstra tersebut telah mencanangkan bahwa untuk mengantisipasi ancaman dan gangguan secara nasional, Polri telah membuat kebijakan berkitan dengan strategi peningkatan kekuatan dan kompetensi jajarannya dengan mengimbangi perkembangan sistem pemerintahan secara nasional, dengan menetapkan konsep : Polsek Kuat, Polres Besar, Polda Sedang dan Mabes Kecil, Kemudian dengan pertimbangan tersebut peneliti melakukan pendekatan terhadap kebijakan Kapolri berupa Skep Kapolri No.Pol. : Skep/989/XII/2005 tanggal 30 Desember 2005 tentang Polsek sebagai basis deteksi yang telah diimplementasikan sejak tahun 2005 sampai saat ini masih berlaku dan belum ada pencabutan dan dilaksanakan jajaran Polsek diseluruh Indonesia. Dalam kebijakan tersebut menempatkan Polsek-polsek adalah garda terdepan dan diarahkan untuk mampu mengantisipasi segala bentuk ancaman dan gangguan yang terjadi pada tingkat kecamatan, dan otomatis secara langsung menciptakan desa dan jajarannya aman dari segala ancaman dan gangguan. Dengan persepsi bahwa apabila kamtibmas jajaran desa aman, kamtibmas di kecamatan aman secara nasional kamtibmas secara nasional akan dapat tercapai. Pada kesempatan ditengah proses penelitian, peneliti berkesempatan melakukan wawancara terhadap beberapa Kapolsek, para Kasat Intelkam dan Kepala Urusan Pembinaan Operasi(Kaurbinops) Intelkam, para Kanit Intelkam Polsek dan beberapa anggota polsek sebagai pelaksana operasional kebijakan ini dari beberapa wilayah di Indonesia, untuk mendapatkan data apa dan bagimana proses implementasi pada wilayah mereka dengan pendekatan teori Edward III, untuk mengetahui apakah 4 syarat teori implementasi Edward III tealh dilaksanakan secara baik. Pada kesimpulan hasil wawancara tersebut menggambarkan memang telah terjadi
2
permasalahan dalam proses implementasi kebijakan polsek sebagai basis deteksi diwilayah narasumber diatas. Kemudian peneliti fokus pada proses implementasi kebijakan polsek sebagai basis deteksi di wilayah penelitian pada Polsek Margahayu kecamatan Margahayu kabupaten Bandung. Adapun latar belakang lokus/pemilihan lokasi penelitian dengan memilih polsek margahayu menjadi objek peneltian ada beberapa hal : 1.
Polsek Margahayu sebelum menjadi Polsek adalah sebuah Pospol yaitu Pospol Margahayu, setelah ditingkatkan statusnya sebagai Polsek pada tahun 2002, dari kekuatan personil sebanyak 5 orang di kukuhkan sebagai kekuatan sebuah polsek sebanyak 40 orang termasuk Kapolsek.
2.
Polsek Margahayu, dalam kurun waktu 3 tahun terakhir dari tahun 2009 hingga 2011, terjadi peningkatan angka kriminalitas sangat signifikan dari angka tahun 2009 sebanyak 50 kasus dan di tahun 2011 menjadi 135 kasus dengan berbagai jenis pelanggaran dan kriminalitas.
3.
Apabila melihat kondisi tantangan tugas Polsek Margahayu pada laporan Intelijen Dasar Polsek Margahayu, menggambarkan bahwa Polsek Margahayu berada pada daerah transisi kota, dengan luas wilayah hukum 102, 728 Ha. Atau 952, 05 Km dengan jumlah penduduk 108.508 jiwa lebih, dan jika dilihat rasio pengamanan polisi menjadi 1;2.782 orang, sehingga prediksinya untuk mampu mewujudkan kebijakan polsek sebagai basis deteksi Polsek Margahayu membutuhkan sejumlah petugas yang memiliki kompetensi yang tepat dan didukung oleh sarana prasara yang memadai serta biaya yang cukup.
RUMUSAN MASALAH. Dari latarbelakang permasalahan di atas, dapat ditegaskan bahwa Polri dengan berbagai kewenangannya telah mengantisipasi tugas pokoknya dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang bertujuan mewujudkan keberhasilan kewajibannya dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, dan salah satu kebijakan Kapolri dalam mewujudkan tugas pokok tersebut adalah menempatkan Polsek sebagai basis deteksi dan menjadi tolok ukur dalam keberhasilan mengantisipasi segala bentuk ancaman dan gangguan baik keamanan maupun ketertiban masyarakat. Salah satu pelaksana kebijakan tersebut adalah Polsek Margahayu Kabupaten Bandung. Polsek Margahayu dalam kurun waktu 3 tahun terakhir cukup signifikan memberikan kontribusi tingginya angka gangguan keamanan khususnya kriminalitas dan ketertiban bagi jajaran Polres Bandung, dengan rasio jumlah personil Polsek Margahayu dengan komposisi masyarakat yang jauh dari ideal sudah tentu belum dapat memberikan dampak positif dan berarti bagi terciptanya keamanan dan ketertiban seperti harapan masyarakat, disisi lain Polsek Margahayu sangat menyadari akan tantangan tugasnya dari pertimbangan luas wilayah dan pesatnya perkembangan dan kemajuan sosial ekonomi masyarakatnya serta kompleknya SARA(suku, agama, ras dan antar golongan) yang dapat menjadi pemicu timbulnya berbagai permasalahan yang dapat bermuara pada keamanan dan ketertiban masyarakatnya.
3
Dari penjelasan diatas, maka peneliti merumuskan beberapa permasalahan penting berkaitan dengan apa sebenarnya yang terjadi dengan telah diimplementasikannya Kebijakan Kapolri tentang Polsek sebagai basis deteksi alam mengantisipasi gangguan keamanan dan ketertiban di Kepolisian Sektor (Polsek) Margahayu Kabupaten Bandung belum mampu secara signifikan mengantisipasi timbulnya gangguan keamanan dan ketertiban, antara lain : 1.
Bagaimana sebenarnya, komunikasi, sumberdaya, disposisi dan struktur birokrasi yang diterapkan oleh polsek Margahayu dalam mengimplementasikan kebijakan Kapolri tentang Polsek sebagai basis deteksi sehingga belum mampu mengantisipasi gangguan kamtibmas di wilayah hukum polsek Margahayu.
2.
Faktor-faktor apa yang menghambat dan mempengaruhi proses implementasi kebijakan polsek sebagai basis deteksi
3.
Upaya dan langkah apa yang dapat dilakukan oleh polsek Margahayu dalam mengimplementasikan kebijakan polsek sebagai basis deteksi sehingga mampu memberikan kontribusi positif dalam mengantisipasi terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat kedepan ?
TUJUAN DAN MANFAAT. Tujuan Penelitian, Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi tentang implementasi kebijakan Polsek sebagai basis deteksi di wilayah hukum Polsek Margahayu, sehingga nantinya dapat diketahui faktor-faktor penghambat implementasi kebijakan tersebut terutama dalam kaitannya dengan kurang optimalnya Polsek Margahayu dalam upaya mencegah terganggunya aspek kehidupan masyarakat di wilayah hukum Polsek Margahayu, dan upaya yang dapat dilakukan polsek Margahayu dalam mengantisipasi terjadinya gangguan keamanan yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi ketertiban kehidupan masyarakat diwilayah kecamatan Margahayu. Manfaat Penelitian, Manfaat Teoritis, Dari aspek akademik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengembangan ilmu pemerintahan, terutama yang berkaitan dengan pengembangan kebijakan publik dan implementasi kebijakan khususnya, disamping bermanfaat bagi pengembangan konsep tugas-tugas Kepolisian, khususnya Polsek sebagai ujung tombang dan parameter terciptanya keamanan dan ketertiban secara nasional. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi perbaikan pada proses implementasi kebijakan penyelenggraan Polsek sebagai basis deteksi kedepan, karena proses implementasi suatu kebijakan selalu berkembang dan melalui proses evaluasi baik lingkup komunikasi, proses pelaksanaan maupun sumberdaya, prilaku pelaksana(disposisi) serta struktur birokrasinya sukses sesuai tujuan dari kebijakan dimaksud, sehingga ilmu pemerintahan dapat mengikuti perkembangan satu kebijakan secara berkelanjutan. Manfaat Praktis, Sebagai kontribusi praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan pertimbangan atas berbagai permasalahan tugas-tugas Kepolisian yang berkaitan langsung dengan kebijakan publik, terutama berkaitan dengan implementasi kebijakan Polsek sebagai basis deteksi. Dengan demikian, implementasi kebijakan Polsek sebagai basis deteksi diperkaya dengan masukan-masukan akademis berupa identifikasi faktor-faktor yang mendukung dan 4
menghambat implementasi kebijakan tersebut, sehingga dapat ditemukan alternatif upaya peningkatan kualitas tugas Polsek dalam melakukan deteksi sehingga mampu melakukan antisipasi optimal terhadap berbagai bentuk gangguan yang berdampak langsung bagi kehidupan masyarakat di wilayah hukum Polsek Margahayu.
TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Meter dan Van Horn bahwa implementasi adalah : “Implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/ pejabatpejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan”. (Van Meter dan Van Horn dalam Wahab, 2004:65). Kemudian untuk mendukung dan mengetahui apakah implementasi satu kebijakan efekstif mencapai tujuannya peneliti menggunakan teori Edward III, Edwards III (1980;125) mengajukan empat syarat yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kebijakan. Empat syarat itu adalah: “Communication , The first requirement for effective policy implementation is those who are to implement a decision must know what are they suppost to do … naturally, these communication needed to be accurate, and they must be accurately perceive by implementations(1980 ;17), Resources, Implementation order may be accurately transmitted, clear and consistent, but if implementators lack of the resources necessary to carry out policies, implementation is likely to ineffective.(1980;53), Edwards III (1980:11) mengkategorikan sumber daya organisasi terdiri dari : “Staff, information, authority, facilities; building, equipment, land and supplies”. Edward III (1980:1) mengemukakan bahwa sumberdaya tersebut dapat diukur dari aspek kecukupannya yang didalamnya tersirat kesesuaian dan kejelasan; “Insufficient resources will mean that laws will not be enforced, services will not be provided and reasonable regulation will not be developed “, Disposition, Implementators are well- disposed toward a particular policy, they are more likely to carry it out the original decision makers intended, but when the implementators attitudes or perspective different from the decision makers, the process of implementing a policy becomes infinetely more complicated. (1980;89), Bureaucratic Structures , Policy implementators may know what todo and have sufficient desires and resources to do it, but they may still be hampered in implementation by the structures of organization, in which they serve. Two prominent characteristic of bureaucraties are standard operating procedures (SOPs) and fragmentation, Gambar 2.1 Model Implemen tasi menurut Edward III(1980;148) „Direct and Indirect Impact on Implementation” Communications
Resources Implementation Dispositions
Bureaucratic structure
5
METODALOGI. Berdasarkan pertimbangan perkembangan permasalahan dan hipotesa kerja yang telah ditentukan sebelumnya, dan relevan dengan tujuan penelitian, peneliti memilih menggunakan metode penelitian deskriptif.Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2002) mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau penomena sosial yang bersifat unik dan komplek....dalam penelitian kualitatif tidak dipersoalkan jumlah sampel.....jumlah sampel(informan) bisa sedikit, tetapi juga bisa banyak, terutama tergantung dari : a) tepat tidaknya pemilihan informan Kunci, dan b) kompleksitas dan keragaman fenomena sosial yang diteliti(Bungin;3002;53) Informan (narasumber) masyarakat dipilih dengan menggunakan teknik Purposive yaitu cara memilih informan yang mewakili dalam proses pengumpulan data yang objektif. Teknik pengambilan sampel purposive sendiri adalah teknik pengambilan sampel yang didasarkan kriteria atau pertimbangan tertentu sehingga apabila disejajarkan dengan pendapat lain pemahaman informan kunci akan dapat memberikan banyak kemungkinan berkembangnya data apabila diterapkan dengan teknik penentuan informan (narasumber) yang digunakan yaitu teknik Snowball, Hasil pengumpulan data direduksi(data reduction). Seperangkat hasil reduksi data juga perlu diorganisasikan ke dalam suatu bentuk tertentu(display data) sehingga terlibat sosoknya secara utuh. bisa berbentuk sketsa, sisnopsis, matriks, atau bentuk-bentuk lain; itu sangat diperlukan untuk memudahkan upaya pemaparan dan penegasan kesimpulan(conclution drawing and verification) HASIL PENELITIAN. Di wilayah hukum Polsek Margahayu masih dapat dikatakan tingkat kerawanan dalam hal pencurian masih tinggi, jika dilihat dari kondisi dan komposisi dan komposisi wilayah yang sebagian besar terdiri dari wilayah pemukinan penduduk/perkampungan, perumahan, pertokoan dan perindustrian. Faktor lokasi perumahan yang rata-rata dekat dengan perkampungan diduga menjadi unsur pendukung terjadinya tindak pidana pencurian di dalam rumah. Pengamanan Swakarsa di daerah perumahan pada umumnya dilakukan oleh Satuan Pengamanan Swakarsa (Satpam dan Linmas) dirasa belum efektif karena rata-rata pengamanan dilakukan pada malam hari saja, sedangkan pada siang hari tidak ada. Hal ini sedikit banyak akan menimbulkan PG (Potensi Gangguan) jika dilihat ke belakang pada tahun-tahun sebelumnya kejadian pencurian dalam rumah maupun curanmor tidak jarang terjadi pada siang hari. Individualisme yang membudaya di wilayah perumahan dirasa cukup membahayakan bagi keamanan lingkungannya itu sendiri selama tidak adanya kepedulian masyarakat dalam mengamankan diri dan lingkungannya. Namun belakangan ini selain terdapat pengamanan swakarsa, di beberapa wilayah pemukiman dan perumahan sedah banyak warga yang menggiatkan kembali Pos Kamling. Kerawanan dalam hal terjadinya pencurian kendaraan bermotor khususnya R-2 masih dapat dikatakan cukup tinggi, selama tahun 2006 saja tercatat 32 kejadian. Lokasi rawan curanmor tidak melihat tempat dan waktu seperti di perumahan, pemukiman, pertokoan, perusahaan dan tempat-tempat ibadah (Masjid/Gereja) maupun di tempat-tempat lainnya yang dirasa cukup aman namun secara tidak sadar kejahatan curanmor mengintai dari belakang. Tidak segan-segan pelaku curanmor dalam menjalankan aksinya, dilakukan secara terang-terangan 6
dalam hal ini dilakukan dengan cara kekerasan. Beberapa kelompok pelaku Curanmor sudah tertangkap dan ditangani oleh pihak Polsek Margahayu. Kegiatan penyelidikan tetap dilaksanakan secara berjenjang dan berkesinambungan guna mengungkap para pelaku curanmor lainnya khususnya yang terjadi di wilayah hukum Polsek Margahayu. Di wilayah hukum Polsek Margahayu masih dapat dikatakan rawan peristiwa pengeroyokan dan penganiayaan. Tempat-tempat dan lokasi tertentu yang sering dijadikan perkumpulan anak-anak muda / remaja baik itu perkampungan maupun perumahan. Penyebabnya tidak jauh, yaitu sifat emosionalisme anak-anak muda dan remaja yang biasanya akrab dengan minuman keras sampai dengan narkoba. Kehidupan masyarakat yang cenderung berkelompok, tentunya akan menimbulkan kerawanan tersendiri yaitu jika terjadi persaingan antar kelompok secara tidak sehat, maka akan menimbulkan potensi gangguan keamanan sehingga terjadilah aksi brutal dan tidak jarang timbul kekerasan dan pengerusakan. Dengan luas wilayah(geografi) yang begitu luas, tantangan potensi gangguan yang cukup tinggi baik bidang permasalahan pada aspek demografi, idiologi dan ekonomi serta sosial budaya sudah tentu membutuhkan kinerja Polsek yang cukup tinggi untuk mampu mengantisipasi dengan didukung oleh kekuatan dan kompetensi petugas Polsek pada semua lini fungsi yang memadai. Namun pada kenyataannya rasio jumlah petugas dan masyarakat sangat jauh dari ideal dimana jumlah penduduk di wilayah hukum Polsek Margahayu sampai akhir data 2011 kurang lebih 108.508 jiwa (data 2011) dengan luas wilayah sekitar 102, 728 Ha. Atau 952, 05 Km dengan jumlah personil Polsek Margahayu sebanyak 39 orang(diluar Kapolsek), sehingga rasio pengamanan kepolisian antara :1;2.782 orang. PEMBAHASAN. Komunikasi dalam implementasi kebijakan tentang Polsek Sebagai Basis deteksi, menurut Kapolsek Margahayu 1 bahwa walaupun kebijakan Polsek sebagai Basis Deteksi sudah dilakukan upaya sosialisasi pada jajaran Polsek Margahayu oleh Polda Jabar dan Polres Bandung, hanya bersifat umum, tidak berkesinambungan dan tidak sesuai dengan tujuan kebijakan ini, bahwa kebijakan ini mengarahkan metoda pelaksanaannya harus dilakukan oleh seluruh fungsi kepolisian yang ada di Polsek dan dengan kewajiban yang sudah ditentukan pada kebijakan ini. Pada kenyataannya pelaksana kebijakan ini lebih difokuskan pada 2(dua) fungsi dari 5(lima) fungsi kepolisian yang ada di Polsek yaitu fungsi Intelkam dan Bimmas yang dilaksanakan Babinkamtibmas. Hal ini terjadi karena : 1.
kebijakan ini tidak dipahami secara rinci, sehingga dalam penjabarannya berdasarkan interpretasi masing-masing pejabat pelaksana kewilayahan.
2.
kebijakan ini tidak memberikan petunjuk teknik dalam pelaksanaan dilapangan disebabkan tidak adanya standar operasional prosedur(SOP) atau petunjuk teknis sehingga berjalan tidak maksimal sesuai harapan .
Dari sisi Sumberdaya, dengan jumlah personil sebanyak 39 orang dan 1 orang Kapolsek ditegaskan oleh Kapolsek sangat tidak memadai untuk menjadikan Polsek Margahayu mampu melaksanakan tugas deteksi dengan maksimal, disisi lain tidak adanya dukungan sarana dan
1
Hasil wawancara dengan Kapolsek Margaharyu, bertempat di ruang kerja Kapolsek Margahayu
7
prasarana serta anggaran yang menyertai pelaksanaan kebijakan ini menjadi faktor penting tidak berjalannya tujuan kebijakan ini secara optimal. Disposisi, Dengan kurang jelasnya sosialisasi serta tidak didukungnya segala kelengkapan operasional kebijakan ini menjadi tidak mudahnya untuk dilaksanakan, dan apa yang dilaksanakan Polsek Margahayu dalam memahami kebijakan ini lebih kepada melaksanakan tugas pokok rutin saja. Dan dengan tidak adanya petunjuk teknis pelaksanaan kebijakan ini anggota Polsek Margahayu tidak memahami produk laporan yang harus dibuat, dan hanya fungsi Intelkam serta Bimmas melalui Babinkamtibmas sesuai tugas masing-masing, sehingga sinkronisasi laporan yang saling bersinerji tidak dilaksanakan. Struktur Birokrasi, dengan ketidakjelasan pada sosialisasi, jumlah pelaksana yang sangat terbatas serta tidak adanya dukungan sarana dan prasarana serta anggaran yang menyertai kebijakan ini telah berdampak pada mekanisme teknis pelaksanannya, tidak dibuatnya struktur organisasi pelaksana dan tidak adanya sistem kerja atau jadwal yang jelas dalam pelaksanaan lapangan dari kebijakan ini, berdampak pula pada tidak maksimal dan efektifnya koordinasi yang harus dilakukan. Kemudian pada tataran pengelola operasional kebijakan polsek sebagai basis deteksi, yang dilaksanakan oleh para Kanit-Kanit Polsek2, menyatakan Komunikasi pada implementasi kebijakan Polsek sebagai basis deteksi menurut para Kanit di Polsek Margahayu secara umum berpendapat sejenis, bahwa secara keseluruhan menjelaskan bahwa mereka tidak mendapatkan sosialisasi yang jelas dan bersifat teknis, dan tidak adanya kesinambungan dan tidak sesuai dengan tujuan kebijakan ini, bahwa kebijakan ini mengarahkan metoda pelaksanaannya harus dilakukan oleh seluruh fungsi kepolisian yang ada di Polsek dan dengan kewajiban yang sudah ditentukan pada kebijakan ini. Pada kenyataannya pelaksana kebijakan ini lebih difokuskan pada 2(dua) fungsi dari 5(lima) fungsi kepolisian yang ada di Polsek Margahayu yaitu fungsi Intelkam dan Bimmas yang dilaksanakan oleh Babinkamtibmas. Hal ini terjadi karena : 1.
Para Kasi atau Kepala seksi pada fungsi staf , Sabhara dan Ka SPK dengan jelas menerangkan ketidaktahuan mereka dengan kebijakan ini mereka tidak memahami secara rinci, sehingga dalam penjabarannya berdasarkan interpretasi masing-masing pejabat pelaksana di Polsek.
2.
Kanit Reserse justru tidak merasa terlibat dalam fungsi deteksi, karena dalam praktek keseharian telah memiliki tugas pada penindakan dan penegakan hukum. Alasan lain Reserse tidak pernah dilibatkan secara langsung berkaitan dengan teknis pelaksanaan kebijakan dimaksud, sehingga pendapat mereka fungsi deteksi adalah tugas fungsi Intelkam.
3.
Kanit Intelkam dan Babinkamtibmas Polsek memiliki jawaban yang sejenis, bahwa mereka merasa telah melaksanakan tugas deteksi, namun tidak mendapatkan petunjuk yang jelas berkaitan dengan teknis serta produk laporan apa yang harus dikerjakan dan mengkordinasikannya dengan siapa dan bagaimana mengelola sinerji hasil tugas yang dihasilkannya.
2
Hasil wawancara dengan para Kanit Polsek Margahayu di Mapolsek Margahayu
8
Dari sisi Sumberdaya Polsek Margahayu yang mengimplementasikan kebijakan ini, para Kanit Polsek Margahayu menyatakan bahwa dengan jumlah personil yang ada sebanyak 39 orang dan 1 orang Kapolsek ditegaskan oleh Kapolsek sangat tidak memadai untuk menjadikan Polsek Margahayu mampu melaksanakan tugas deteksi dengan maksimal, disisi lain tidak adanya dukungan sarana dan prasara serta anggaran yang menyertai pelaksanaan kebijakan ini menjadi faktor penting tidak berjalannya tujuan kebijakan ini secara optimal. Disposisi, Para Kanit Polsek Margahayu berpendapat tidak jauh dari pendapat Kapolsek Margahayu bahwa dengan kurang jelasnya sosialisasi serta tidak didukungnya segala kelengkapan operasional kebijakan ini menjadikan tidak mudahnya untuk dilaksanakan, dan apa yang dilaksanakan kekuatan Polsek Margahayu dalam memahami kebijakan ini lebih kepada melaksanakan tugas pokok dan bersifat rutin saja. Dan dengan tidak adanya petunjuk teknis pelaksanaan kebijakan ini anggota Polsek Margahayu tidak memahami produk laporan yang harus dibuat, dan hanya fungsi Intelkam serta Bimmas melalui Babinkamtibmas sesuai tugasnya masing-masing, sehingga sinkronisasi laporan yang saling bersinerji tidak dilaksanakan. Struktur Birokrasi, Para Kanit berpendapat bahwa dengan ketidakjelasan pada sosialisasi, kekuatan pelaksana yang sangat terbatas serta tidak adanya dukungan sarana dan prasarana serta anggaran yang menyertai kebijakan ini telah berdampak pada mekanisme teknis pelaksanannya, tidak dibuatnya struktur organisasi pelaksana dan tidak adanya sistem kerja atau jadwal yang jelas dalam pelaksanaan lapangan dari kebijakan ini berdampak pula pada tidak maksimal dan efektifnya koordinasi yang harus dilakukan. Kemudian dari pendapat para pelaksana lapangan yaitu para anggota Polsek Margahayu 3 pada fungsi-fungsi Kepolisian yang ada menyatakan bahwa Komunikasi, secara umum memiliki beraneka pendapat anggota polsek Margahayu dalam mengaplikasikan tujuan kebijakan polsek sebagai basis deteksi mereka tidak mendapatkan sosialisasi yang jelas dan bersifat teknis, dan tidak adanya kesinambungan dan tidak sesuai dengan tujuan kebijakan ini, bahwa kebijakan ini mengarahkan metoda pelaksanaannya harus dilakukan oleh seluruh fungsi kepolisian yang ada di Polsek dan dengan kewajiban yang sudah ditentukan pada kebijakan ini. Pada kenyataannya pelaksana kebijakan ini lebih difokuskan pada fungsi Intelkam dan Bimmas sehingga fungsi kepolisian lainnya merasa tidak bertanggungjawab secara langsung dan lebih pada melaksanakan tugas pokok fungsi secara rutin. Sumberdaya, Secara umum anggota menjelaskan dengan kekuatan polsek sebanyak 39 orang dan 1 orang Kapolsek sangat tidak memadai untuk menjadikan Polsek Margahayu mampu melaksanakan tugas deteksi dengan maksimal, disisi lain tidak adanya dukungan sarana dan prasara serta anggaran yang menyertai pelaksanaan kebijakan ini menjadi faktor penting tidak berjalannya tujuan kebijakan ini secara optimal. Disposisi, Para anggota Polsek Margahayu dari berbagai fungsi yang ada berpendapat tidak jauh dari pendapat pimpinan Polsek Margahayu lainnya bahwa dengan kurang jelasnya sosialisasi serta tidak didukungnya segala kelengkapan operasional kebijakan ini menjadikan tidak mudahnya untuk dilaksanakan, dan apa yang dilaksanakan kekuatan Polsek Margahayu dalam memahami kebijakan ini lebih kepada melaksanakan tugas pokok rutin saja. Dan dengan tidak adanya petunjuk teknis pelaksanaan kebijakan ini anggota Polsek Margahayu tidak 3
Hasil wawancara dengan para anggota Polsek Margahayu dari berbagai fungsi kepolisian
9
memahami produk laporan yang harus dibuat, dan hanya fungsi Intelkam serta Bimmas melalui Babinkamtibmas sesuai tugasnya masing-masing, sehingga sinkronisasi laporan yang saling bersinerji tidak dilaksanakan. Struktur Birokrasi, dengan ketidakjelasan pada sosialisasi, kekuatan pelaksana yang sangat terbatas serta tidak adanya dukungan sarana dan prasarana serta anggaran yang menyertai kebijakan ini telah berdampak pada mekanisme teknis pelaksanannya, tidak adanya struktur organisasi pelaksana dan tidak adanya sistem kerja atau jadwal yang jelas dalam pelaksanaan lapangan dari kebijakan ini berdampak pula pada tidak maksimal dan efektifnya koordinasi yang harus dilakukan. Secara khusus peneliti melakukan wawancara dengan Kasat Intelkam Polres Bandung 4 selaku pembina fungsi deteksi yang memanfaatkan data polsek jajarannya menyatakan bahwa membenarkan tidak rincinya sosialisasi yang dilakukan dan tumpang tindihnya kebijakan serupa setiap pergantian pimpinan dan harus dilaksanakan oleh semua satuan dalam jajaran termasuk polsek, hal tersebut disebabkan pimpinan Polres menginterpretasikan bahwa yang mengemban langsung kebijakan ini di Polsek adalah fungsi Intelkam dan Bimmas yang dilaksanakan oleh petugas Babinkamtibmas. Dan dijelaskan pula bahwa tanggungjawab Kanit Intelkam Polsek dalam melakukan fungsi deteksi tingkat Polsek telah melekat pada tugas rutin yang diembannya, sedangkan kewajiban Babinkamtibmas selain melaksaankan tugas kemasyarakatan bertanggungjawab langsung kepada Kapolsek, tetap dibebankan tugas melaporkan perkembangan hasil sambang kepada Polres dan laporan tersebut dimanfaatkan oleh fungsi Intelkam Polres Bandung. Dengan keterbatasan Sumberdaya Polsek Margahayu, Kasat Intelkam menguatkan bahwa Polsek Margahayu tidak akan optimal dalam melakukan fungsi deteksi, sehingga membutuhkan tambahan kekuatan, sarana, prasarana serta anggaran dalam mendukung optimalisasi pelaksanaan polsek sebagai bais deteksi. Tidak maksimalnya dampak dari pelaksanaan kebijakan ini karena tidak diaturnya sistem kerja, komunikasi yang sinkron dalam pengelolaan fungsi deteksi antar fungsi kepolisian yang terdapat di Polsek, khususnya yang berkaitan langsung dengan implementasi kebijakan polsek sebagai basis deteksi. Begitupula pendapat masyarakat kecamatan Margahayu 5 , memberikan komentarnya berkaitan dengan dampak positif yang mereka rasakan dari implementasi kebijakan Polsek sebagai basis deteksi menyatakan masyarakat kurang merasakan kedekatan pimpinan dan anggota Polsek berada ditengah aktivitas mereka dan hanya sebatas patroli dan pengaturan lalu lintas saja. Walaupun masyarakat mendengar berbagai kejadian dilingkungan mereka, hal tersebut selama tidak melibatkan mereka, berpendapat kondisi baik-baik saja. Selebihnya merupakan tanggungjawab polisi dalam menyelesaikannya. Sumberdaya, Sebagian besar anggota masyarakat koresponden yang pernah berurusan dengan keamanan yang ditangani polsek Margahayu merasakan dampak positif pelayanan petugas Polsek Margahayu, namun dengan jumlah yang sedikit, minimnya dukungan kendaraan, luasnya wilayah pengamanan dan dibagi setiap hari tentu tidak mungkin mampu mencover seluruh wilayah kecamatan Margahayu. Disposisi, Sebagian masyarakat koresponden masih merasakan adanya jarak antara anggota Polsek Margahayu dengan masyarakatnya. Dan mereka belum merasakan adanya 4 5
Hasil wawancara dengan Kasat Intelkam Polres Bandung di ruang kerjanya di Mapolres Bandung Hasil wawancara dengan beberapa tokoh dan masyarakat kecamatan Margahayu
10
petugas yang datang secara khusus menyambangi mereka pada aktivitas yang mereka lakukan, mereka hanya memahami polisi yang bertugas dijalan raya untuk mengatur tertib lalu lintas. Dan sebagian masyarakat masih bingung membedakan, rasa aman yang mana yang merupakan hasil kinerja Polsek Margahayu dan keamanan yang mana merupakan hasil kesadaran masyarakatnya. Struktur birokrasi, masyarakat tidak pernah secara khusus merasakan adanya keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan yang diatur khusus oleh Polsek Margahayu, berkaitan dengan keamanan. Dan masyarakat koresponden tidak pernah diberikan peran khusus oleh arahan pimpinan atau anggota Polsek Margahayu dalam hal menjaga keamanan. Sehingga dengan belum dilakukannya sebagaimana sebuah kebijakan harus diimplementasikan baik mencakup komunikasi, sumberdaya pelaksana, petunjuk pelaksanaan yang tidak jelas(Disposisi) serta tidak terorganisir dengan baik(Struktur birokrasi) telah berdampak pada tidak optimalnya tujuan yang harus dicapai kebijakan polsek sebagai basis deteksi, dan masyarakat sebagai objek dari kebijakan tersebut belum dapat merasakan tingkat kenyaman dari hasil implementasi kebijakan polsek sebagai basis deteksi. Dalam mengimplementasi kebijakan polsek sebagai basis deteksi, tidak dapat berjalan dengan baik sesuai tujuan kebijakan tersebut dibuat, hal tersebut disebabkan adanya faktor yang menghambat, menurut Kapolsek Margahayu maupun para Kanit serta anggota sebagai pelaksana lapangan menyatakan faktor yang paling mempengaruhi adalah : 1.
Tidak konsistennya sosialisasi kebijakan pada tingkat teknis, tidak mencukupinya jumlah sumberdaya di Polsek Margahayu, tidak adanya dukungan sarana prasrana serta tidak jelasnya anggaran operasional dari kebijakan polsek sebagai basis deteksi, sehingga dalam implementasinya tidak optimal.
2.
Tumpah tindihnya berbagai program yang harus dikerjakan berkaitan dengan tugas, seperti dicontohkan Kapolsek Margahayu dan para Kanitnya, bahwa belum jelasnya program polsek sebagai basis deteksi pada tartaran teknis, telah dikeluarkan perintah untuk menerapkan program community policy, dan perintah melaksanakan program Kunjungan Bimmas Rukun Warga(KBRW), sehingga kewajiban yang harus dilaksanakan berkaitan dengan kebijakan polsek sebagai basis deteksi menjadi terabaikan.
3.
Dengan seringnya pergantian pimpinan berdampak pada tidak berkesinambungannya program pimpinan sebelumnya, dan dipastikan setiap pimpinan memiliki program baru, sehingga program sebelumnya tetap disarankan untuk dilanjutkan sementara fokus jangka pendeknya harus menyukseskan program pimpinan terbaru.
4.
Tidak adanya petunjuk teknis tentang sinkronisasi mekanisme untuk mengevaluasi hasil dari pelaksanaan kebijakan polsek sebgai basis deteksi secara khusus, sehingga tidak dapat diketahui dampak riilnya.
Beberapa tokoh masyarakat mengatakan dapat memahami, kenapa polsek Margahayu belum dapat dikatakan mampu dalam melakukan pelayanan khususnya melaksanakan pencegahan dini, karena jumlah personil yang tidak sesuai dengan tantangan tugas yang begitu 11
komplek, kantor yang sangat kecil dan kurang memadai, secara operasional tidak didukung oleh sarana dan prasarana tugas yang memadai, serta tidak adanya anggaran dalam mendukung yang sering didengar oleh masyarakat dari petugas dilapangan.
KESIMPULAN. Bahwa proses implementasi kebijakan Polsek sebagai basis deteksi, di jajaran wilayah hukum Polsek Margahayu kebijakan polsek sebagai basis deteksi tidak dapat berjalan dengan optimal, disebabkan tidak adanya proses sosialisasi (komunikasi) secara teknis terhadap kebijakan polsek sebagai basis deteksi baik secara vertical maupun internal polsek Margahayu, tumpang tindihnya berbagai program yang harus di laksanakan oleh Polsek margahayu dari satuan atas, sehingga cukup membingungkan pada tataran pelaksana lapangan, tidak idealnya baik jumlah maupun kompetensi pelaksana kebijakan(Sumberdaya), sehingga terjadi banyak interpretasi dalam pelaksanaannya, tidak adanya dukungan baik sarana maupun prasarana, serta tidak jelasnya anggaran serta mekanisme kerja untuk mengimplementasikan kebijakan polsek sebagai basis deteksi(disposisi) sehingga berdampak pada tidakjelasnya pertanggungjawaban tugas yang harus dihasilkan(struktur birokrasi). Faktor-faktor penghambat tidak optimalnya implementasi kebijakan polsek sebagai basis deteksi selain dari tidak diaplikannya syarat Edward III diatas antara lain : tidak jelasnya petunjuk teknis, jumlah Pelaksana yang tidak memadai, luas wilayah yang tidak seimbang dengan jumlah petugas polsek dan tidak adanya dukungan angaran dan sarana prasarana dalam mendukung pelaksanaan kebijakan polsek sebagai basis deteksi, tidak ada evaluasi yang jelas dan berkesinambungan dan tumpang tindihnya program pimpinan yang harus dilaksanakan dan disukseskan polsek margahayu. Upaya untuk mengantisipasi tidak optimalnya hasil implementasi kebijakan polsek sebagai basis deteksi, antara lain : mengaktifkan dan meningkatkan kunjungan yang dilaksanakan oleh petugas babinkamtibmasnya, serta lebih sering melakukan antisipasi dengan melaksanakan patroli, mengundang para tokoh masyarakat dengan melakukan diskusi kamtibmas bertempat secara bergilir di rumah-rumah tokoh atau warga sejenis arisan kamtibmas dan melaksanakan sambang dusun, desa dan kelurahan dalam menjalin kedekatan berkesinambungan, dengan melaksanakan diskusi kamtibmas dan kring kamtibmas, berdasarkan pemetaan kerawan kriminal dan permasalahan sosial yang tercatat pada panel data kerawanan daerah yang ada. SARAN. Model sebagai saran optimalisasi polsek sebagai basis deteksi antara lain : 1.
Kebijakan Polsek sebagai basis deteksi harus disinerjikan dengan program community policing, karena keduanya bertujuan memberdayakan optimalisasi keamanan tingkat Polsek/kecamatan dengan memadukan kekuatan Polsek dengan partisipasi masyarakat secara aktif.
2.
Kebijakan Polsek sebagai basis deteksi yang bersifat nasional, melalui jenjang struktural(Polda, Polres dan Polsek), pada tingkat polsek sudah harus dipedomani dengan petunjuk teknis operasional, yang dibuat oleh pejabat Kasat Intelkam dengan Kapolsek pelaksana, kemudian dibuat petunjuk setingkat Standar Operasional Prosedur(Juknis 12
operasional) tingkat polsek yang mengandung kejelasan, yang dapat dijadikan pedoman mekanisme evaluasi pelaksanaannya. 3.
Setelah ditetapkan satu petunjuk teknis operasional, agar dilakukan simulasi pelaksanaannya sekaligus sebagai media sosialisasi, mengukur kompetensi pelaksana termasuk mengevaluasi kebutuhan anggaran dan dukungan sarana dan prasana yang dibutuhkan dalam pelaksanannya, selain bertujuan mendapatkan feedback yang realistis apakah kebijakan tersebut dapat dilaksanakan atau kebijakan perlu evaluasi sebelum gagal dalam implementasikan.
DAFTAR PUSTAKA Aziz, dkk (1999), Panduan Manajemen Intelijen Kepolisian , PTIK Bandung 1999 B. Ripley, Randall., & Franklin, Grace A. (1982). Bureucracy and Policy. Implementation. Homewood: The Dorsey Press. Bibit Riyanto S (2001), Makalah Hakekat Ancaman Kamtibmas, disampaikan pada sarasehan senior intelijen Polri 2005, di Pusdik Intelkam Bandung Bungin,Burhan (2003), Analisis Data Penelitian Kualitatif, pemahaman filosofis dan metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, Jakarta, Divisi Buku Perguruan Tinggi PT Raja Grafindo Persada 2003. Dwidjowijoto, Riant Nugroho. (2003). Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. Jakarta : PT.Elex Media Komputindo. Dunn, William N., 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik: Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta Evaluasi. Elex Media Komputindo: Jakarta. Edward III, George C., 1980. Implementing Public Policy.Englewood Cliffts, N.J. Printice Hall Inc. Grindle, Merilee S. (1980). Politics and Policy Implementation in the Third World. New Jersey : Princeton University Press. James L. Gibson. (1996). Organisasi: Perilaku, Struktur dan Proses. Jakarta: Bina Rupa Kunarto, (1999), Intelijen polri; Sejarah perspektif, aspek dan prosfeknya, jakarta, Cipta Manunggal 1999. Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif: Bandung: Rosdakarya Moleong J Lexy., 2011. Metodalogi Penelitian Kualitatif, edisi Revisi, Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
13
Nugroho, D. Riant. 2004. Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi dan Evaluasi.Jakarta: Elex Media Komputindo. Subarsono, AG,2008, Analisis Kebijakan Publik : Konsep Teori dan Aplikasinnya, Yogyakarta : Pstaka Pelajar. Winarno, Budi. 2004. Teori dan Proses Kebijakan Publik.
Yogyakarta : Penerbit Media
Pressindo Widoyoko,Putro Eko S, 2012. Teknik penyusunan Instrumen Penelitian, Yoyakarta, Pustaka pelajar. YW Saronto, 2004, Intelijen, Teori, Aplikasi dan Modernisasi, Jakarta : PT.Ekalaya Saputra
Pustaka Khusus/Dokumen-dokumen
Amanat Kepala Keplisian Negara Republik Indonesia Pada Upacara Peringtanan ke 66 Hari Bhayangkara tanggal 1 Juli 2012 Intelijen Dasar Polres Bandung, 2011 Intelijen Dasar Polsek Margahayu, 2012 Kamus istilah intelijen Badan Intelijen Keamanan(BIK) (2004) Ketetapan MPR No.VII/MPR/2000, tentang Peran TNI Polri Peraturan Kapolri No 23 tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian Sektor Rencana Startegis Kepolisian Negara Republik Indonesia Tahun 2005-2009(Perubahan) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No.Pol.: 9 Tahun 2007 tanggal 28 april 2007. Surat keputusan Kapolri No.Pol: Skep/989/XII/2005, tanggal 30 Desember 2005 tentang Pedoman Polsek sebagai Basis Deteksi http://news.detik.com/read/2010/07/01/080744/1390680/471/rasio-polisi-dan-kinerja-kepolisian
14