Berita Televisi, Konstruksi “Objektivitas” yang Tergesa-gesa Oleh: syaiful HALIM Abstraksi News is one of original contribution to media. News is written and reported on the basis of social reality or facts as event that have never is planned. While television news is a description of a new reality through sound and picture. Related to keyword of "objectivity", I have to underline some important points, those are illustration of music, song, sound effects, picture effects, or other components, dramatization, and meaning of elements of sound and image, as well as "involvement" audience in television news production process. Description of this issue shows producers strategy when construct reality with hurry. And behind that situation is hidden "ideological" political economy of media which is implemented as strategy of commodification. And, that strategy of commodification always be cloned in other television news discourse.[] Key word: media, television, journalism, objectivity
U
nsur penting surat kabar dan semua media, termasuk radio dan televisi, adalah berita. Karena, berita merupakan satu dari sedikit konstribusi media yang orisinal (McQuail, 1997: 189). Berita ditulis
dan dilaporkan atas dasar realitas sosial atau fakta sebagai peristiwa yang tidak pernah direncanakan atau wacana yang sengaja dimunculkan dengan perencanaan. Fakta sebagai peristiwa terkait dengan “kreasi” Tuhan melalui alam atau manusia. Fakta sebagai wacana muncul seiring dengan dinamika kehidupan individu di tengah pergulatan dengan individu lain. Yang pasti, subjek, tokoh, karakter, yang ditampilkan senantiasa orisinal. Ia tidak seperti 1|syaiful HALIM
sinetron yang ditayangkan secara stripping—setiap hari di jam yang sama dan dengan durasi yang sama panjangnya—dengan pemeran yang tidak bergantiganti dan konflik yang diulang-ulang. Pada berita, peristiwa, ucapan-ucapan, lokasi dan waktu kejadian, motif atau latar belakang realitas, hingga rincian atau kronologi kejadian, juga sama orisinalnya. Kalaupun ada kemiripan tentang bentuk peristiwa atau unsur-unsur lain—lazimnya terkait rumusan 5W+H—hal itu tidak akan menghasilkan kesamaan antara satu berita dengan berita lain. Masing-masing berita tetap akan memperlihatkan keorisinalannya. Definisi klasik Charles Dana tentang berita mengungkapkan, “Ketika anjing menggigit manusia merupakan bukan berita, tapi ketika manusia menggigit anjing merupakan berita” (Boyd, 1988: 18). Maksud batasan itu mengarah pada peristiwa yang biasa dan yang tidak biasa, yang lazim dan yang tidak lazim, serta yang tidak menarik dan yang menarik. Belakangan pengertian akan pepatah itu pun harus luntur pada kenyataan: bagaimana kalau anjing tersebut adalah Bo yang milik Presiden Obama; dan bagaimana kalau peristiwa manusia digigit oleh anjing itu mengindikasikan awal wabah rabies? Artinya, ada kriteria-kriteria yang membuat sebuah peristiwa layak menjadi berita atau sebuah pendapat pantas diangkat menjadi berita. Sebaliknya, tidak semua peristiwa bisa disusun menjadi berita dan tidak semua pendapat dapat dijadikan berita. Secara sederhana, berita didefinsikan sebagai laporan tentang peristiwa
2
dan pendapat. Intinya, berita memuat tiga hal: keterangan atau laporan, peristiwa, dan pendapat. Laporan menyangkut teknik pelaporan dengan aturan tertentu. Peristiwa merupakan berbagai hal yang terjadi secara nyata atau seperti disebutkan di atas, terkait dengan “kreasi” Tuhan melalui alam atau manusia. Sedangkan pendapat adalah perkataan atau penjelasan seseorang (Halim, 2009: 3) atau seperti disebutkan di atas, wacana yang muncul seiring dengan dinamika kehidupan individu di tengah pergulatan dengan individu lain. Batasan yang sangat sederhana, tapi di dalamnya memuat kesederhanaan pembingkaian fakta untuk menyampaikan pesan secara apa adanya. “Realisme ala positivistik,” tegas Eriyanto (Eriyanto, 2007: 20). Menurut pandangan positivistik, fakta adalah sesuatu yang riil, diatur kaidah-kaidah tertentu, dan berlaku universal. Selain itu, berita juga merupakan cermin dan refleksi dari kenyataan. Karena itu, berita haruslah sama dan sebangun dengan fakta yang hendak diliput (Eriyanto, 2007: 25). Berita disusun berdasarkan atas realitas atau fakta yang disaksikan, didengar, dan dirasakan wartawan atau jurnalis, tanpa mencoba mengembangkan gagasan-gagasan ideologi atau kepentingan lain di balik kalimat, narasi, atau gambar-gambar. Serta ada kaidah-kaidah yang juga dipositivistikkan sebagai teknik reportase, penulisan berita, dan kode etik jurnalistik yang berlaku universal—Bill Kovach dan Tin Rosentiel merangkumnya dalam The Elements of Journalism sebagai standar teknik reportase, penulisan berita, dan etika jurnalistik yang mesti
3
diemban jurnalis dan media (Kovach & Rosientiel, 2001: 19). Gaye Tuchman (1978), seperti yang dirujuk oleh Schudson, mendeskripsikan berita sebagai “informasi relevan yang dikumpulkan oleh pelbagai metode yang divalidasi secara profesional” (Burton, 2008: 108). Tujuan dari semua itu adalah penyajian realitas atau fakta yang sebagaimana adanya. Para wartawan menyusun berita sekadar memberitahukan suatu realitas, tanpa berkeinginan menggiring pada suatu kesamaan pemahaman atau mengikuti suatu perspektif. Ringkasnya, berita merupakan pelaporan peristiwa atau pendapat yang mencerminkan dan merefleksikan kenyataan, dengan kriteria, syarat, atau kategori tertentu, hingga tersaji secara objektif. Pembahasan tentang kriteria, syarat, dan kategori, secara objektif itulah yang dikenal sebagai nilai berita (news value). Sebuah berita termasuk memiliki nilai berita tinggi, jika syarat-syarat atas fakta terpenuhi. Sebuah berita memiliki nilai berita sedang, jika syarat-syarat atas fakta cukup terpenuhi. Sebuah berita memiliki berita rendah, jika syarat-syarat atas fakta kurang terpenuhi. Andrew Boyd menjabarkan lebih rinci soal unsurunsur yang mesti dikandung sebuah berita yang memiliki nilai berita, yakni proximity, relevance, immediacy, interest, drama, entertainment (Boyd, 1988: 18). Pada perjalanannya, proses produksi berita tidak selalu bergulir dengan batasan nilai berita seperti dipaparkan di atas. Graeme Burton menegaskan adanya perlakukan para pembuat berita dalam proses pengumpulan dan penyuntingan berita yang dihubungkan dengan kepentingan bagi masyarakat,
4
bahkan nilai tersebut dapat dilihat sebagai tolok ukur kepentingan ideologis (Burton, 2008: 108). Walter Lippman juga mengutarakan pandangan serupa. Katanya, “Proses pengumpulan berita merupakan upaya menemukan isyarat jelas yang objektif yang memberartikan suatu peristiwa. Oleh karena itu, berita bukan merupakan cermin kondisi sosial, tetapi laporan tentang salah satu aspek yang telah menonjolkannya sendiri.” (Eriyanto, 2007: 19) Kedua batasan itu makin mengerucut pada adanya perlakuan para pembuat berita, untuk memilih atau menonjolkan realitas tertentu. Ada aspekaspek yang sengaja ditampilkan atau ditonjolkan dari bingkai besar bernama peristiwa atau realitas itu. Lippman menyebutkan kata kunci “objektivitas” sebagai roh pelaporan. Artinya, penonjolan sebuah aspek dari peristiwa itu dimaksudkan untuk mencapai tujuan objektivitas. Burton menyebutnya sebagai nilai
yang
mengungkap
kepentingan
masyarakat,
Bahkan,
Burton
melengkapinya dengan kalimat “nilai tersebut dapat dilihat sebagai tolok ukur kepentingan
ideologis”.
Namun,
kalimat
itu
menggantung
dan
tidak
menjelaskan pemilik kepentingan ideologis yang dimaksud: negarakah, pemilik mediakah, atau khalayak? Baik Lippman maupun Burton sama-sama “menyembunyikan” hakekat objektivitas, yang oleh banyak kalangan masih diasumsikan sebagai misteri terbesar dalam dunia jurnalisme. Menurut Denis McQuail, objektivitas merupakan nilai sentral yang mendasari disiplin profesi yang dituntut oleh para
5
jurnalis. Objektivitas mempunyai korelasi dengan independensi. Objektivitas dibutuhkan untuk kredibilitas. Objektivitas, menurut J. Westerstahl—seperti dikutip
Denis
McQuail
dari
buku
Objective
News
Writing
(1983)—
menjabarkannya sebagai penyajian laporan atau berita yang mencakup kefaktualan dan impartialitas (McQuail, 1997: 130-131). Lebih jauh, Westersthal merinci masing-masing komponen objektivitas itu sebagai berikut: -
Kefaktualan dikaitkan dengan bentuk penyajian laporan tentang peristiwa atau pernyataan yang dapat dicek kebenarannya pada sumber dan disajikan tanpa komentar. Komponen ini memuat kriteria kebenaran dan relevansi. Kebenaran berarti keutuhan laporan, ketepatan yang ditopang pertimbangn independen, dan tidak ada keinginan
untuk
menyalaharahkan
atau
menekan.
Sedangkan
relevansi berkaitan dengan proses seleksi menurut prinsif kegunaan yang jelas demi kepentingan khalayak. -
Impartialitas
dikaitkan
dengan
sikap
netral
wartawan
yang
menjauhkan dari sikap penilaian pribadi dan subjektif. Komponen ini memuat kriteria keseimbangan dan netralitas (McQuail, 1997: 130-131).
Menurut saya, inti dari komponen kefaktualan adalah laporan berita tidak ditambahi pendapat wartawan (opinionative). Dalam bahasa lain, tidak ada pencampuran fakta dengan opini wartawan. Bill Kovack dan Tom Rosenstein mengistilahkan gagasan kefaktualan itu, untuk tidak menambahkan fakta atau realitas lain. Menurut keduanya, ”Do not add simply means do not add things that
6
did not happen… Do not deceive means never mislead the audience.” (Kovach & Rosientiel, 2001: 19) Dalam pendekatan positivistik, tulis Eriyanto, berita bersifat objektif: menyingkirkan opini dan pandangan subjektif dari pembuatan berita. Titik perhatian pendekatan adalah pada bias. Artinya, bias dianggap salah dan wartawan harus menghindari bias (Eriyanto, 2007: 27). Gagasan Everett E. Denis dalam buku Basic Issues in Mass Communication, objektivitas dapat dicapai dengan tiga cara: pemisahan antara fakta dan opini, penyajian berita tanpa disertai dimensi emosional, bersikap jujur dan seimbang terhadap semua pihak (Sudibyo, 2009: 47). Dengan demikian, kefaktualan atau objektivitas yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah tidak menambahkan pendapat, sesuatu yang tidak terjadi ke dalam berita, pandangan subjektif pembuat berita, tidak ada dimensi emosional, jujur dan seimbang terhadap semua pihak, sehingga tidak menyesatkan khalayak. Sedangkan impartialitas, menurut
saya, adalah
ketidakberpihakan atau netralitas wartawan pada objek pemberitaan. Dalam bahasa
lain,
wartawan
tidak
menampilkan
keberpihakan
atau
ketidakberpihakannya terhadap objek berita. Baik itu simpati atau antipati. Kata kunci komponen ini adalah netral. Implikasi atas pengertian ini ditunjukkan dengan tidak menuliskan kesimpulan wartawan yang menyiratkan pembelaan, dukungan, simpati, atau kebalikannya, terhadap objek berita. Tapi, sekadar
7
fakta. Batasan ini lebih ditujukan pada pemberitaan yang melibatkan konflik di antara dua kelompok. Kesimpulannya, objektivitas berarti tidak menambahkan pendapat, sesuatu yang tidak terjadi ke dalam berita, pandangan subjektif pembuat berita, tidak ada dimensi emosional, jujur dan seimbang terhadap semua pihak, sehingga tidak menyesatkan khalayak. Kata-kata opinionative dari wartawan, di antaranya: tampaknya, diperkirakan, seakan-akan, terkesan, seolah, agaknya, diramalkan, kontroversi, mengejutkan, manuver, sayangnya, dan lainnya (Kriyantono, 2009: 230). “Berita bukanlah sekadar fakta, melainkan bentuk khusus pengetahuan yang tidak lepas dari penggabungan informasi, mitos, fabel, dan moralitas,” jelas Dennis McQuail (Burton, 2008: 198). Batasan Burton, Lippman, dan McQuail menghadirkan dimensi berita yang tidak lagi positivistik—menurut batasan yang dikemukakan Eriyanto. Media sengaja menonjolkan suatu bagian dari peristiwa yang bisa diasumsikan bisa mewakili keseluruhan realitas, tapi bisa juga merupakan pesan yang mewakili perspektif medianya. Media telah membingkai atau melakukan pengkerangkaan atas peristiwa atau realitas dengan tujuan tertentu. Semula pengkerangkaan merupakan teknik dalam upaya menyederhanakan realitas yang demikian besar, sekaligus menjadi ciri pelaporan ala jurnalisme. Belakangan,
8
pengkerangkaan merupakan kesengajaan dalam upaya penonjolan atas “realitas” lain, bahkan ideologi tertentu. Dengan demikian dapat disimpulkan, berita bukan sekadar menghidangkan peristiwa atau pendapat yang mencerminkan dan merefleksikan kenyataan, dengan kriteria, syarat, atau kategori tertentu, hingga tersaji secara objektif; tapi juga pengkerangkaan atas peristiwa atau pendapat dengan penonjolan pada aspek tertentu, termasuk ideologi. Kalangan konstruktivis menandai situasi itu sebagai framing berita atau mengonstruksi realitas. Lantas, bagaimana dengan berita televisi?
H
akekat berita media cetak dan media televisi sebenarnya tidak jauh berbeda. Batasan atau definisi berita, tanpa melihat medianya, tetap sama. Yang membedakannya hanyalah teknik
pelaporan karena terkait keunikan masing-masing media. Sebuah berita dengan fakta peristiwa dan pendapat yang sama akan berbeda ketika ditampilkan untuk media cetak, media online, media radio, atau media televisi. Media cetak dan online menampilkan fakta dengan kekuatan utama pada bahasa tulisan. Meski demikian, penyajian konstruksi realitas di masing-masing media berbeda. Media cetak disiapkan untuk segmen pembaca yang selektif, kritis, dan terburu-buru. Karena itu berita ditulis dengan struktur baku piramida terbalik dan penekanan
9
unsur-unsur 5W + H secara sistematik dan disiplin. Kalau perlu pembaca bisa langsung memahami inti berita dengan sekadar membaca judul berita. Sedangkan media online disajikan untuk segmen pembaca yang selektif, aktif berselancar, dan malas untuk berlama-lama menikmati sebuah berita. Karena itu, berita ditulis dalam bahasa lugas, ringkas, sederhana, tidak bertele-tele, dan sesingkat mungkin. Foto atau video merupakan faktor pendukung untuk mengikat pembaca—atas nama prinsif multimedialitas. Berita dalam media radio dirancang untuk para pendengar yang cenderung selektif, terfokus pada kegiatan lain—mendengar radio sekadar sambilan—dan tergolong terburu-buru. Karena itu, berita disusun dalam bahasa tutur yang ringkas, sederhana, tidak bertele-tele, dan mudah dipahami. Sedangkan
televisi
memadukan
kekuatan
suara
dan
gambar
dalam
menghidangkan berita. “The major difference between radio and TV news is, of course, pictures. When you write for television, pictures are always crucial to a story. In radio, you must create pictures in your mind—as did Edward R. Murrow and other great broadcasters who used the medium effectively—and then find the words to paint those pictures for your audience. In television, you can show the actual pictures,” tulis Ted White dalam Broadcast News Writing, Reporting, and Producing (White, 1996: 115). Dalam bahasa lain, perbedaan utama antara berita radio dan televisi adalah gambar. Gambar menjadi elemen krusial untuk membuat berita televisi. Di radio, Anda bisa mengkreasikan gambar di otak—seperti dikatakan Edward
10
R. Murrow dan broadcaster lain yang menggunakan medium itu secara efektif— dan mencari kata-kata untuk melukiskan gambar-gambar kepada pemirsa. White menegaskan pemahaman bahwa televisi identik dengan gambar. Tanpa gambar tidak ada berita. Karena itu, gambar sangat krusial. Berdasarkan gambar, jurnalis televisi menuliskan naskah berita. Dengan
demikian, pembahasan tentang
berita televisi utamanya
menyangkut pelaporan konstruksi realitas yang diperdengarkan melalui suara dan diperlihatkan melalui gambar. Lebih daripada media cetak atau online, media televisi lebih kental dengan “tradisi” mengonstruksi realitas—dalam bahasa Norman Fairclough dikatakan, “In the case of television, howa are visual images constructed, and what relationships (e.g. of tension) are set up between language and image?” Gambar atau suara sebagai rekaman atas realitas harus dikontruksi sedemikian rupa sehingga mendeskripsikan realitas baru melalui rekaman suara dan gambar. Atau dalam bahasa teknik: audio dan video. Dalam bahasa Norman Fairclough , teks televisi berupa spoken dan visual (Fairclough, 1995: 203). “Poor pictures, short stories; good pictures, long stories!” tegas White (White, 1996: 115). Begitu pentingnya unsur gambar, sehingga ia berpengaruh pada panjang dan pendeknya pelaporan atas suatu realitas. Sehingga juga, televisi sangat tidak mentolerir kehadiran realitas yang tidak disertai gambar. Sekali lagi: tanpa
11
gambar, maka tidak ada berita. “Ketersediaan gambar videotape dan kualitasnya menentukan apakah item tertentu muncul dalam berita ataukah tidak. Kekuatan gambar menjadi nilai berita dan terkait dengan bentuk atau penyikapan. Gambar mengautentikkan suatu item berita ditinjau dari segi penghadiran tempat dan reporter kepada peristiwa dan menjadikannya nyata,” jelas Graeme Burton (Burton, 2007: 198-199). Lebih lengkap lagi, Burton menggambarkan kandungan berita televisi merupakan ucapan para aktor dalam berita televisilah yang mengikat makna, memformulasi isu, mengakumulasi informasi. “Tentu saja ada tanda dan kode serta makna yang ditawarkan secara bervariasi oleh kamera, keterangan gambar (caption), sikap nonverbal, efek suara diegetic, dan keseluruhan narasi,” katanya (Burton, 2007: 199). Konstruksi realitas itu bukan sekadar memasukkan unsur narasi yang dibacakan reporter atau seseorang yang ditunjuk dan gambar-gambar hasil peliputan (rushes copy), tapi ada unsur-unsur pelengkap lain semacam keterangan gambar (caption—disebut juga character graphic, Pen), sikap nonverbal, efek suara diegetic. Bahkan, musik ilustrasi dan efek gambar, juga ikut bermain di dalamnya. Sederhananya, elemen utama dalam berita televisi adalah audio berisikan narasi, kutipan wawancara dengan narasumber (soundbite), dan rekaman suara alami (sound up); dan video berisikan gambar-gambar hasil syuting (rushes copy) berisi peristiwa dan wawancara, serta kerap dilengkapi
12
grafis berisikan data pendukung, seperti nama narasumber (character graphic) atau intisari berita (icon) dan data yang menjelaskan peristiwa. Berita televisi memadukan unsur-unsur dalam audio dan video dalam sebuah paket berita. Dalam konteks berita televisi lazimnya tidak memasukkan musik ilustrasi, efek suara, efek gambar, atau komponen lain di luar rushes copy— seperti dalam produksi film. Karena, hal itu akan membangun kesan baru yang cenderung dramatis atau melebih-lebihkan dibandingkan realitas sesungguhnya. Termasuk juga penggunaan efek gambar yang tidak pada proporsinya. Efek gambar yang bisa diterima dalam konteks berita adalah blur untuk menutupi identitas tersangka dalam berita bidang masalah hukum dan kriminal. Berita televisi tidak juga terlepas dari upaya dramatisasi. Paparan Graeme Burton tentang masalah itu bahwa sebagaimana halnya fiksi, berita bisa melakukan dramatisasi melalui penempatan gambar yang disengaja dengan dampak emosional pada poin tertentu dalam narasi.” (Burton, 2007: 2003). Kata kunci pernyataan itu adalah “penempatan”. Peletakan sequence gambar tidak lagi didasarkan struktur piramida terbalik ala produksi berita media cetak, tapi gambar-gambar itu diurutkan menurut nilai drama. Misalnya saja dalam pelaporan berita sidang janda pahlawan terkait penempatan rumah milik Perum Pegadaian yang dimulai dengan tangisan sang janda usai mendengar vonis. Setelah itu, berita berlanjut pada aksi massa di ruang sidang yang mendukungnya. Lantas berita ditutup dengan berbalik ke suasana sidang saat
13
majelis hukum membacakan vonisnya. Cara bercerita ini memperlihatkan drama demi drama dan membiarkan esensi sidang itu tertutupi drama—lepas dari tujuan framing tertentu dan kesengajaan menghilangkan keberadaan konteks. Namun, teknik itu sepenuhnya bertujuan mengutamakan drama ketimbang informasi. “Jika kita berbicara tentang dramatisasi, kita mengemukakan suatu daya tarik yang disengaja kepada pemirsa dan pilihan terhadap laporan materi berita yang menyimpang dari kemungkinan laporan yang lebih objektif. Pengaitan berita dengan fiksi meruntuhkan perbedaan dominan antara fakta dan fiksi dalam programming televisi,” tegas Burton. “Dramatisasi juga merupakan segi narasi. Sebagaimana halnya fiksi, berita bisa melakukan dramatisasi melalui penempatan gambar yang disengaja dengan dampak emosional pada poin tertentu dalam narasi.” (Burton, 2007: 2003) Burton juga menegaskan konsep narasi bahwa isi kunci di sini adalah bagaimana narasi membentuk makna. Sebagai contoh, banyak narasi (baik narasi berita maupun narasi fiksi) memasukkan konflik antara orang-orang, tetapi sebenarnya lebih merupakan konflik antara ide-ide yang berbeda (Burton, 2008: 18). Artinya, keberadaan konflik itu sesungguhnya hanya ada di wilayah narasi yang mempertarungkan perbedaan ide-ide. Dan pertarungan itu adalah kontruksi yang dibangun jurnalis televisi.
Sekali lagi, lepas dari persoalan
14
tujuan framing tertentu dan kesengajaan menghilangkan keberadaan konteks, sekaligus menjadikan berita itu bias. Dari sisi suara, dramatisasi itu juga bisa terjadi dan bisa sengaja dilakukan. Ketika sebuah sirene ambulan masuk dalam sebuah rekaman peliputan dan kita meletakkan suara sirene pada bagian lain (audio insert), jelas Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, maka akan melahirkan kesan lain. “Penyisipan itu mengaburkan realitas, melebih-lebihkan realitas, dan cenderung tidak objektif,” kata mereka (Kovach & Rosientiel, 2001: 79). Penjelasan
yang
dipaparkan
Burton,
Kovach,
dan
Rosenstiel,
menguraikan pola-pola konstruksi yang dilakukan dalam produksi berita televisi melalui penambahan segi drama pada gambar dan suara. Stuart Hall melalui publikasi dalam Encoding and Decoding the Televisual Discourse mengungkapkan: [Momen produksi media] dibingkai seluruhnya oleh makna-makna dan ide-ide; praktik pengetahuan yang menyangkut rutinitas produksi, secara historis mendefinisikan keahlian teknis, ideologi profesional, pengetahuan institusional, definsi dan asumsi, asumsi tentang khalayak dan seterusnya membingkai komposisi program melalui struktur produksi ini. Lebih lanjut, meskipun struktur produksi televisilah yang memulai wacana televisi, ia bukan merupakan sistem tertutup. Struktur produksi televisi mengangkat topik, reportase, agenda, peristiwa-persitiwa, person-person, citra khalayak, ‘definisi situasi’ dari sumber-sumber lain dan formasiformasi diskursif lainnya dalam struktur politik dan sosial-kultural yang 15
lebih luas di mana struktur produksi televisi merupakan bagian yang dibedakan (Storey, 2010: 12).
Deskripsi itu disederhanakan Hall dalam bentuk Model Komunikasi Televisual. Paparan tokoh cultural studies dari Mazhab Birmingham itu makin mempertegas keberadaan berita televisi sebagai teks budaya popular yang juga tidak
lepas
dari
“konsep”
pemaknaan
oleh
jajaran
produser
seraya
memperhatikan “konsep” pemaknaan oleh khalayak. Bahwa jauh sebelum teks disuntikkan kepada khalayak, sesungguhnya media telah “menyiapkan” wacana yang “bermakna”. Produksi berita nyaris tidak berbeda dengan memproduksi sinetron atau film yang didahului praktik riset, penulisan “skenario”, hingga proses syuting dan penyuntingan. Sehingga, realitas yang dipindahkan dalam kondisi
tiga
dimensi
menjadi
dua
dimensi
program sebagai wacana yang “bermakna”
di
layar kaca makin
encoding struktur-struktur makna 1
decoding struktur-struktur makna 2
tidak sama dengan realitas,
karena
media
telah
“menyiapkan” wacana
kerangka pengetahuan -------------------------------hubungan produksi -------------------------------infrastruktur teknis
kerangka pengetahuan -------------------------------hubungan produksi -------------------------------infrastruktur teknis
Model Komunikasi Televisual Stuart Hall
untuk
diencode (text decoding). Dan ketika wacana itu didecode (audience decoding) oleh
16
khalayak menjadi sangat mungkin untuk berbeda dengan realitas. Saat melakukan alih sandi, media telah menyiapkan pemaknaan atas realitas. Dan ketika khalayak menyandialihulang pesan itu sangat memungkinkan untuk memaknai “pemaknaan atas realitas” itu menurut perspektifnya. Sehingga makna dalam text decoding akan tidak sama dengan makna audience decoding. Walhasil, realitas yang ditangkap media akan berbeda dengan realitas yang diterima khalayak. Graeme Burton mengisyaratkan model itu merujuk pada hubungan antara produsen dan khalayak sebagai hubungan yang retak (fractured relationship). Terdapat pengodean dan pengdekodean makna. Tetapi yang dibaca oleh khalayak dalam teks tersebut mungkin tidak sama dengan apa yang produsen pikir telah mereka goreskan dalam teks (Burton, 2008: 97). Namun, khalayak akan menerima hal itu sebagai kewajaran dan kelayakan sebagai pesan yang perlu dikonsumsi. Sikap penerimaan itulah yang dibaca para produser sebagai kesepakatan, bahkan kenikmatan, untuk menerima apa pun wacana yang telah “dimaknai” itu. Kesimpulannya, konsep kunci berita televisi merupakan pendeskripsian realitas baru melalui rekaman suara berisikan narasi, kutipan wawancara dengan narasumber (sound bite), dan rekaman suara alami (sound up); gambar berisikan gambar-gambar hasil syuting (rushes copy) berisi peristiwa dan wawancara, serta kerap dilengkapi grafis berisikan data pendukung, seperti
17
nama narasumber (chargent) atau intisari berita (icon); dramatisasi atau pemaknaan atas elemen suara dan gambar; dan “pelibatan” khalayak dalam seluruh proses produksi berita televisi. Terkait kata kunci “objektivitas” sebagai premis tulisan ini, saya harus menggarisbawahi beberapa poin penting dari seluruh penjelasan di atas, yakni: penyisipan musik ilustrasi, efek suara, efek gambar, atau komponen lain di luar rushes copy, dramatisasi, dan pemaknaan atas elemen suara dan gambar, juga “pelibatan” khalayak dalam seluruh proses produksi berita televisi. Kenapa hal ini harus menjadi perhatian? Karena, belakangan ini unsur-unsur yang mengikis nilai objektivitas itu seakan telah menjadi bagian penting dari kemasan beritaberita televisi di hampir seluruh stasiun televisi swasta nasional di Tanah Air. Kasus mencolok adalah penayangan kasus video porno mirip artis. Hasil penelitian saya membuktikan: di antara narasi yang berisikan fakta bercampur asumsi, serta dalam kemasan bahasa yang hiperbola dan provokatif, berbagai efek penyuntingan gambar dan lagu atau musik ilustrasi menjadi bagian penting dari paket berita itu (Halim, 2011). Akibatnya, berita itu bukan lagi sekadar tidak objektif, tapi isinya juga merupakan hiperrealitas (Piliang, 2010: 75-78).1 Dan, deskripsi tentang ketidakobjektifan atau hiperrealitas itu perlu
1
Istilah hiper-realitas media (hyper-reality of media) digunakan oleh Jean Baudrillard untuk menjelaskan perekayasaan (dalam pengertian distorsi) makna di dalam media. Hiperrealitas media menciptakan satu kondisi sedemikian rupa, sehingga di dalamnya kesemuan dianggap lebih nyata daripada kenyataan; kepalsuan dianggap lebih benar daripada kebenaran; isu lebih dipercaya ketimbang informasi; rumor dianggap lebih benar ketimbang kebenaran.
18
diungkap sebagai bahasan dalam tulisan ini: pertama, hal ini bukan sebagai upaya untuk memaklumi ketergesa-gesaan para produser program berita di stasiun televisi dalam mengonstruksi realitas. Namun, penelitian saya juga membuktikan bahwa di balik “ketergesa-gesaan”, yang kerap dijadikan alibi itu, tersembunyi “ideologi” ekonomi politik media yang diimplementasikan melalui strategi komodifikasi (Halim, 2011).2 Sebagai sebuah strategi, tentu saja, hal itu merupakan sebuah rancangan, perencanaan, dan eksekusi, yang sistematis dan terorganisir, dari sebuah industri media. Kedua, strategi komodifikasi—tepatnya komodifikasi isi media—bukan hanya milik kasus video porno mirip artis, namun hal itu menjelma dan mengkloning dalam berita-berita televisi dengan medan wacana lain. “Sebuah proses simulacrum atau peniruan,” sindir Jean Baudrillard. Dan, dengan kedua alasan itu, saya harus memastikan bahwa khalayak televisi harus segera tersadarkan akan dua realitas yang sesungguhnya tidak menyehatkan itu. Inilah ancaman
yang
dikhawatirkan
Baudrillard
atau
suguhan
konstruksi
“objektivitas” yang tergesa-gesa alias hiperrealitas dari industri media yang disebut televisi: (1) Disinformasi. Ketidakpercayaan pada informasi itu sendiri, bahkan pada setiap informasi. 2
Proses komodifikasi didefinisikan sebagai proses transformasi menggunakan nilai-nilai hidup yang digunakan manusia—menjadi nilai yang bisa ditukarkan, seperti nilai tukar mata uang Dollar. Transformasi nilai produk ditentukan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan individu dan sosial.
19
(2) Depolitisasi. Menciptakan model komunikasi (satu arah), yang di dalamnya terbentuk massa sebagai mayoritas yang diam (the silent majorities), yaitu massa yang tidak mempunyai daya resistensi dan daya kritis terhadap tanda-tanda yang dikomunikasikan kepada mereka. (3) Banalitas Informasi. Informasi remeh-temah, informasi yang tidak ada yang bisa diambil hikmahnya. (4) Fatalitas Informasi. Pembiakan informasike arah titik ekstrim yang melampaui nilai guna, fungsi, dan maknanya, hingga menggiringke arah bencana berupa kehancuran system komunikasi. (5) Skizoprenia. Keterputusan rantai pertandaan, ketika penanda tidaklagi berkaitan petanda. (6) Hiper-moralitas. Kecenderungan dekonstruksi terhadap pelbagai kodekode
sosial,
moral,
dan
cultural,
hingga
membentuk
dunia
ketelangjangan (transparency)—ketelanjangan komunikasi dan informasi yang tidak lagi rahasia dan selubung (Piliang, 2010: 75-78). Dalam konteks industri media,
seorang ilmuwan Mazhab Frankfrut
Theodore Adorno, telah mengingatkan bahwa kebudayaan industri merupakan satu bentuk dehumanisasi lewat kebudayaan.
Rasionalisasi
dan
komodifikasi kebudayaan sebagai satu manifestasi dari pencerahan palsu
tidak
saja
menghambat
aspirasi dan kreativitas individu, akan
tetapi,
lebih
buruk
Model Postmedia Televisi
lagi
20
menghapus mimpi-mimpi manusia akan kebebasan dan kebahagiaan yang sesungguhnya (Piliang, 2010: 89). Ada baiknya juga mengenang gagasan Bourdie bahwa komunikasi yang dimanipulasi adalah awal kekerasan. Dalam setiap dominasi, melekat kecenderungan untuk merekayasa komunikasi supaya mendapatkan kepatuhan. Bentuk-bentuk rekayasa komunikasi inilah yang akan menentukan jenis dominasi dengan muslihat-muslihatnya (Haryatmoko, 2007: ix). Dan dominasi tidak selalu dalam bentuk penjajahan atau kasat mata seperti penindasan fisik, ekonomi atau sosial, tetapi bisa dalam bentuk dominasi simbolik yang secara sadar atau tidak disetujui oleh korbannya. Dominasi semacam itu tidak mendewasakan, bahkan menghambat perkembangan masyarakat untuk mencapai kemandirian kritis karena tersirat ada tekanan dan pengawasan yang menempel (Haryatmoko, 2007: 5). Menutup seluruh pembahasan ini, Idi Subandi Ibrahim mengingatkan kita akan datangnya era the end of silence, era akhir kesunyian, manakala hingarbingar industri budaya massa berupa hiburan telah menyerap individu-individu menjadi massa yang anonim, individu yang kehilangan jati dirinya. “Manusia massa cenderung memiliki kapasitas pengetahuan dan semangat yang cenderung mediocre, yakni sedang-sedang saja, biasa-biasa saja, atau pas-pasan. Manusia massa cenderung mudah kehilangan kemampuan untuk berpikir secara mandiri, sehingga begitu mudah disentuh emosinya oleh para perekayasa industri hiburan massa. Karena itulah mereka mudah diombang-ambing, untuk
21
tidak mengatakan bahkan mungkin dikelabui, oleh siapapun yang ingin memanfaatkan sentimen dan emosi massa untuk kepentingan bisnis atau politik. Apalagi bila ideologi berhasil bermain di balik itu, maka tuntaslah proses manipulasi terhadap kesadaran massa itu,” katanya (Ibrahim, 2011: 15). Dan itu semua, bisa jadi, dimulai dari isi media yang berisikan konstruksi “objektivitas“ yang tergesa-gesa.[]
22
DAFTAR PUSTAKA
Boyd, Andrew. 1988. Broadcast Journalism: Techniques of Radio and Television News. London: Focal Press. Burton, Graeme. 2007. Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar Kepada Studi Televisi. Bandung: Jalasutra. __________. 2008. Pengantar untuk Memahami Media dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra. Eriyanto. 2007. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS. Fairclough, Norman. 1995. Media Discourse. London: Edward Arnold. Halim, Syaiful. 2009. Gado-gado Sang Jurnalis: Rundown Wartawan Ecek-ecek. Jakarta: Gramata Publishing. __________. 2011. Post-Komodifikasi Kasus Video Mirip Artis: Sebuah Pendekatan Cultural Studies. Jakarta: Magister Komunikasi UMB Jakarta. Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarata: Penerbit Kanisius. Kovach, Bill dan Rosentiel, Tom. 2001. The Elements of Journalism. New York: Crown Publishers. Kriyantono, Rahmat. 2009. Teknik Praktis Riset Komunikas. Jakarta: Kencana Predana Media. McQuail, Dennis. 1987. Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit Erlangga. Piliang, Yasraf Amir. 2010. Post-Realitas: Realitas Kebudayaan dalam Era PostMetafisika.. Yogyakarta: Jalasutra. Storey, John. 2010. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra. Sudibyo, Agus, 2009. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LKiS.
23
White, Ted. 1996. Broadcast News Writing, Reporting, and Producing. London: Focal Press. Piliang, Yasraf Amir. 2010. Post-Realitas: Realitas Kebudayaan dalam Era PostMetafisika. Yogyakarta: Jalasutra.
24
PENULIS
syaiful HALIM. Lahir di Jakarta pada 11 Desember 1967, dan menempuh pendidikan sejak SD hingga perguruan tinggi di Jakarta. Terakhir, menuntaskan pendidikan formal di Kampus Tercinta Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta Fakultas Ilmu Komunikasi Jurusan Ilmu Jurnalistik dan Magister Komunikasi Universitas Mercu Buana (UMB) Jakarta Program Studi Media and Politic Communication. Sejak di bangku kuliah aktif menulis puisi, cerpen, artikel, dan kolom, dan dimuat di sejumlah media massa. Semasa kuliah, ia sempat bekerja sebagai jurnalis di sebuah tabloid wanita. Setelah selesai kuliah, ia bekerja sebagai copywriter di sebuah perusahaan farmasi multinasional. Setahun kemudian pindah ke lingkungan sebuah industri media televisi di Jakarta: bermula dari staf quality control, program director, lalu menjadi jurnalis televisi. Kapasitas itu memberikannya kesempatan untuk menginjakkan kaki dan melihat dan melaporkan berbagai realitas di seluruh berbagai pelosok Nusantara. Ia sempat meliput momen-momen besar: eksodus warga Timor Timur ke Nusa Tenggara Timur pada 1999, konflik bernuansa SARA di Poso, Sulawesi Tengah, pada 2000, situasi darurat militer dan musibah tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam pada 2003 dan 2004, serta berbagai masalah sosial dan budaya 25
di berbagai lokasi. Setelah beranjak ke balik layar ia sempat memproduseri program teresterial, program kriminal, program dokumenter televisi, dan program pay TV. Setelah itu, ia juga menekuni online journalism
[kunjungi
http://gado-gadosangjurnalis.blogspot.com]. Pada 2003, ia mendapatkan grant dari Internews, In-Docs, dan Broadcast Centre Universitas Indonesia untuk menggarap sebuah film dokumenter tentang pemilu. Hasilnya adalah film dokumenter Saat Menebar Mimpi yang diputar di layar Jakarta International Film Festival (Jiffest) 2004. Tahun berikutnya, ia mendapat kesempatan untuk mengikuti Long Documentary Scriptwritting Workshop Jiffest 2005. Di saat bersamaan, film dokumenter Atjeh Lon Sayang yang diproduksi
bersama teman-temannya di komunitas Matahati Production
diputar di layar Jiffest 2005. Di luar kedua film itu, ia telah membuat beberapa film dokumenter bertemakan masalah sosial dan budaya: Petualang Cilik, Selamanya Mutiara, Cokek, The Legend of Pang Tjin Nio, Kita selalu Bersama, Masyarakat nan Sakato, dan Dua Perempuan. Pada 1995, ia pernah membuat skenario sinetron Deru Debu yang ditayangkan stasiun SCTV. Selain sebagai praktisi televisi, ia juga mengajar di perguruan tinggi swasta di Bandung dan Jakarta. Kerap, ia juga memenuhi undangan untuk berbicara seputar jurnalisme televisi atau film dokumenter. Buku yang telah
26
diterbitkan: Gado-gado Sang Jurnalis: Rundown Wartawan Ecek-ecek (Gramata Publishing, November 2009); Memotret Khatulistiwa: Panduan Praktis Produksi Dokumenter Televisi (Gramata Publishing, Juli 2010); Tayangan Video Mirip Artis: Pertaruhan Objektivitas dan Kearifan Media (Gramata Publishing, Desember 2010); dan Media dan Komunikasi Politik (Aspikom dan Puskombis UMB, November 2011).[]
27