SUMBANG SUARA JAKSEL MENYAPA
Kolam Susu
B
erdikari, berdiri di atas kaki sendiri. Medio tahun lima puluhan ungkapan berdikari kerap terngiangngiang diri seluruh rakyat Indonesia. Ungkapan yang kerap diteriakkan oleh Bapak Proklamator negeri ini, Soekarno, saat itu seperti memantik jiwa kebang-saan dan kebanggaan akan gemah ripah loh jinawi–nya negeri ini. Namun sekarang negeri yang kerap diidentikkan dengan kolam susu ini seakan lupa dengan slogan berdikari tersebut. Sang proklamator yang sangat menyanjung tinggi Indonesia sebagai negara yang tak membutuhkan bantuan dari yang lain seakan-akan mulai pudar pada masa sekarang. Tak jarang kita melihat negeri ini seakan-akan terlihat memohon-mohon bantuan dana dari negara lain atau organisasi dunia lain. Bahkan kita pun tak jarang menerima barang-barang hibah atau pemberian sukarela dari negara lain yang kerap kita gembar-gemborkan sebagai bukti kemitraan negeri ini yang baik dalam hubungan bilateral dan multilateralnya. Padahal, barang yang dihibahkan bisa dikatakan telah out of date atau hanya kualitas bekas yang urung dipakai sang empunya. Lantas dimana kolam susu kita? Apakah kita masih bisa berdikari? Tugas berat memang dialamatkan sang proklamator kepada penerus bangsa ini. Membangun bangsa dengan kunci berdikari adalah salah satu cara yang terlihat sulit. Kita selalu beranggapan negara modern tak mungkin mampu lepas dari cengkaraman barat dengan industrinya yang maju. Tapi bisa dikatakan itu semua tak sepenuhnya benar. Kita lupa bahwa negara ini punya pajak sebagai pusaran kolam susunya. Pajak yang menjadi salah satu penopang penerimaan terbesar negeri ini belum terlalu dimaksimalkan. Terutama bagi para wajib pajak. Masih banyak yang mau menjadi free rider daripada pembayar taat. Bahkan parahnya lagi masih banyak yang lebih mau berperan sebagai kutu penghisap uang negara lewat penyalahgunaan faktur pajak yang berujung pada masuknya uang negara kepada kas pribadi wajib pajak. Lantas, apakah kita harus diam? Tentu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tak akan diam. DJP selalu melakukan banyak terobosan untuk mengatasi berbagai wajib pajak karakteristik ini. Pada saat sekarang untuk mengatasi wajib pajak ini DJP telah memperbaiki berbagai regulasinya. Ten-tunya yang saat ini sedang menjadi buah bibir adalah per-baikan sistem Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Indonesia. Perbaikan sistem PPN yang telah dihembuskan sejak perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2009 terus beriak hingga sekarang. Kelanjutan perubahan UU yang diteruskan dengan kegiatan Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak (PKP) hingga terbaru perbaikan sistem faktur pajak di Indonesia membuat wajib pajak dipaksa lebih taat. Peraturan yang tegas ini diharapkan mampu mengunci pada pemancing gelap di "kolam susu PPN" yang sering dilakukan lewat faktur pajak. Penyelamatan kolam susu PPN inilah yang menjadi fokus
utama Pandu Pajak edisi kali ini. Perubahan regulasi hingga bagaimana penerapan kegiatan penyimpangan yang identik dengan PKP dapat dibaca secara mendetail dalam Pandu Utama yang mengambil judul "Mengukur Kejujuran Lewat Faktur". Pada kolom ini akan dibahas "milestone" faktur pajak yang menjadi komoditi barang dagangan utama para PKP dalam menyelundupkan PPN–nya. Selain itu, kolom Sumbang Suara pun semakin meleng-kapi pembahasan Pandu Pajak terkait penerapan PPN di Indonesia. Tak tanggung-tanggung pada kolom ini, Pandu Pajak telah menyiapkan suara seorang pakar PPN di Indonesia, Untung Sukardji. Beliau membeberkan pandangannya terkait perubahan UU PPN Nomor 42 Tahun 2009. Ternyata menurut beliau terdapat sisi positif dan negatif terhadap perubahan tersebut. Apa itu sisi positif dan negatifnya? Jangan lewatkan pembahasannya di kolom Sumbang Suara. Nah, kalau sudah begini kelengkapan pembahasan PPN akan semakin dilengkapi lagi dengan kolom Edu Pajak. Pada edisi kali ini, Edu Pajak akan memberikan pembelajaran terkait Tata Cara Sistem Penomoran Faktur Pajak yang ternyata telah menjadi buah bibir di kalangan pengusaha dan membuat resah, gelisah, hingga pengusaha galau menyikapinya. Lantas, bagaimana cara menyadarkan wajib pajak agar peduli dengan kolam susu PPN sehingga tak lagi menjadi free rider? Jawabannya ada di kolom opini. Herman Muchtar yang telah akrab di telinga masyarakat pasundan sebagai seorang pebisnis sekaligus Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Jawa Barat memberikan pandangannya. Opini beliau yang berjudul "Jangan Jadikan Pajak Sesuatu yang Menakutkan" mengajak para pengusaha untuk taat membayar pajak terutama PPN. Pada sesi akhir segmen, tetap para cameraman akan memamerkan hasil jepretan mereka. Untuk kali ini, hasil jepretan difokuskan kepada pemimpin Kantor Wilayah (Kanwil) DJP Jakarta Selatan yang baru, Estu Budiarto. Selaku pimpinan baru beliau langsung tanggap dalam menjalankan amanahnya di Kanwil DJP Jakarta Selatan. Hal ini terbukti dengan aksi beliau yang turun langsung sebagai narasumber pada sosialisasi perpajakan di Badan Intelijen Negara (BIN) yang terekam dalam sorot lensa. Tentunya, segenap Redaksi Pandu Pajak mengucapkan selamat bergabung di Kanwil DJP Jakarta Selatan, semoga bakti Bapak disini mampu menjadi pemberat amalan Bapak nantinya di akhirat serta Redaksi Pandu Pajak siap mendukung Bapak dalam menjalankan amanahnya. Tak lupa juga pada edisi ini, Redaksi juga mengucapkan selamat ulang tahun kepada Pemimpin Redaksi Pandu Pajak, Endaryono, yang berulang tahun ke-43. Redaksi mendoakan semoga di usia yang baru ini semakin lebih baik dalam bekerja dan selalu memberikan banyak ide baru yang memperkaya kreativitas Pandu Pajak. Semoga edisi kali ini mampu memandu seluruh pembaca dalam memahami PPN. Selamat membaca dan Salam Pandu Pajak. (Dedy Antropov) Redaksi menerima tulisan Saudara, baik opini, artikel maupun pendapat. Silakan mengirimkan ke
[email protected]
Pembina: Kepala Kanwil DJP Jakarta Selatan • Pengarah: Kepala Bidang P2Humas • Dewan Redaksi: Kasi Penyuluhan, Kasi Pelayanan, Kasi Humas • Redaktur Berita: Dedy Antropov, Aris Hidayat Kurniawan, Ade Firmansyah, Hardison • Redaktur Foto: Eko Cayo Putranto, Mahyudin • Tim Layout: Syahrul Yani, Firmania Ayu Ambari • Sekretariat: Fera Fanda • Alamat Redaksi: Bidang P2 Humas Kanwil DJP Jakarta Selatan Gedung Utama KPDJP Lantai 24 Jalan Jenderal Gatot Subroto Kav. 40-42 Jakarta Selatan 12190 • email:
[email protected].
OPINI
Herman Muchtar :
Jangan Jadikan Pajak Sesuatu Yang Menakutkan Pajak diberlakukan untuk keperluan membangun tatanan kehidupan bangsa dengan tujuan memakmurkan negeri Indonesia. Artinya, pajak dipungut dari rakyat, dan dipergunakan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan rakyat dan pembangunan bangsa. Membayar pajak adalah merupakan kewajiban bagi setiap warga negara yang sudah diatur dalam undang-undang.
D
engan diberlakukannya pajak, keseimbangan pun bisa terjaga. Sebab, jumlah pajak yang harus dibayarkan diukur berdasarkan penghasilan yang didapatnya. Semakin besar penghasilannya, kian besar pula pajaknya. Jika semuanya taat membayar pajak, keseimbangan tatanan bangsa pasti bisa terjaga. Memang diakui, pajak bagi sebagian besar orang sangat menakutkan, bagi sebagian besar lagi malas bersinggungan dengan pajak, sebagian lagi tutup mata dan menghindar dari pajak. Saat ini, bayar pajak seolah-olah jadi ancaman menakutkan bagi masyarakat. Adanya kesan menakutkan yang tertanam dalam masyarakat awam terhadap pajak. Banyak masyarakat menilai, bahwa aturan membayar pajak itu terlalu rumit. Kurangnya sosialisasi dari pemerintah, menjadi salah satu penghambat minimnya kesadaran membayar pajak. Kurangnya sosialisasi ini, membuat mereka tak memahami pentingnya kewajiban membayar pajak. Untuk itu sudah menjadi kewajiban dari petugas pajak untuk melakukan sosialisasi tentang prosedural pembayaran pajak yang benar. Dan bukan hanya kewajiban dari membayar pajak saja yang harus disosialisasikan, tetapi hasil pembayaran pajak tersebut juga harus transparan. Adanya permainan yang dilakukan oleh oknum pengusaha yang bekerjasama dengan petugas pajak dikarenakan pengusaha ingin
PANDU PAJAK
membayar pajak seringan-ringannya, sedangkan petugas pajak juga memberikan peluang untuk terjadinya peyimpangan-penyimpangan dalam pembayaran pajak. Penulis berharap agar persoalan yang merugikan negara ini dapat diatasi secara bertahap. Sebab pembayaran pajak secara sehat akan memajukan perekonomian bangsa. Seperti kita ketahui sumbangan terbesar APBN berasal dari pajak. Karena itu, sektor pajak harus dibenahi sesehat mungkin. Penulis juga menyarankan agar sosialisasi terhadap prosedur dalam mengurus pajak harus betul-betul tepat sasaran. Petugas pajak pun jangan lagi mempersulit, bahkan harusnya malah membantu dengan memberitahukan prosedur yang benar kepada pihak yang ingin membayar pajak tanpa mengharapkan imbalan. Memang diakui saat ini, secara perlahan-lahan sudah ada perbaikan dalam mengurus pajak. Tapi harus diakui juga masyarakat kerapkali dipusingkan dalam mengurus birokrasi pajak. Jadi petugas pajak harus bisa meyakinkan publik bahwasannya mengurus pajak itu mudah dan tidak berbelit-belit. Penulis memandang, orang akan semangat membayar pajak, apabila dampak dari pembayaran pajak itu terasa langsung ke tengah masyarakat. Seperti, pembangunan infrastruktur yang memadai dan fasilitas umum yang lainnya. Selaku pengusaha, penulis merasa penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) itu sangat bagus sebagai sumbangsih pengusaha untuk turut serta dalam pembangunan bangsa ini. Kesemangatan pengusaha dalam membayar pajak tentu harus disambut dengan pelayanan yang optimal dari Direktorat Jenderal Pajak. Karena keringanan mengurus birokrasi pajak itu akan merangsang wajib pajak untuk lebih giat dalam menunaikan kewajibannya. Sebagai penutup, penulis melihat penerapan PPN, Faktur pajak dan lainnya sudah tepat dalam penerapannya.•
_____________ Penulis adalah Wakil Ketua Kadin Provinsi Jawa Barat dan Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Jawa Barat
KANWIL JAKARTA SELATAN
APRIL 2013
3
PANDU UTAMA Penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia telah berlalu sejak dua puluh delapan tahun yang lalu. Penerapan PPN yang diisyaratkan sebagai salah satu langkah pengganti paling pas terhadap pajak penjualan sebelumnya membuat PPN menjadi salah satu primadona dalam penerimaan negara. Perjalanan PPN yang telah berlalu hingga masa modern saat ini membuat telah dilakukan berbagai banyak perubahan seiring berjalannya waktu.
P
PN sebagai pajak yang paling akrab dengan bisnis dan perekonomian yang senantiasa dinamis menuntut PPN harus turut mengikuti perkembangan. Apalagi di masa seperti saat ini penerapan PPN yang semakin identik dengan arus gerak barang dan jasa yang membuat PPN selalu harus mengikuti perjalanan waktu. Tentunya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus konsen terhadap perubahan ini. DJP tak pernah menutup mata terhadap perubahan dan arus perkembangan bisnis yang selama ini menuntut PPN untuk berbenah. Salah satu langkah nyata yang dilakukan oleh DJP adalah dengan memperbaiki penerapan Undang-Undang (UU) PPN. UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 seperti menjadi jawaban DJP akan adanya fokus yang besar oleh DJP terhadap perkembangan PPN selama ini. Dalam perubahan tersebut terjadi banyak perubahan baik perubahan mendasar hingga penambahan-penambahan aturan. Perubahan-perubahan ini dianggap sebagai salah satu resep yang dianggap mampu membuat UU PPN semakin tegas dan kuat sebagai dasar pengenaan PPN di negeri ini. Akan tetapi ternyata perubahan UU PPN tersebut tak sepenuhnya dianggap mampu mengakomodasi seluruh hak dan kewajiban wajib pajak. Harapan dengan adanya perubahan justru dianggap blunder dengan munculnya banyak inkonsistensi yang
4
Mengukur Kejujuran Lewat Faktur terjadi terhadap perubahan tersebut. Banyak catatan inkonsistensi yang tercipta terutama adanya aturan yang saling menghalangi dan terkesan tak selaras di antara pasal-pasal yang tercantum dalam UU PPN tersebut. Inkonsistensi terhadap perubahan UU PPN dimulai dengan terjadinya banyak pengingkaran dalam prinsipprinsip dasar PPN yang selama ini menjadi ruh penerapan PPN di Indonesia. UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 mencatat adanya inkonsistensi dalam penerapan prinsip-prinsip dasar perpajakan seperti prinsip pajak atas konsumsi dalam negeri, memisahkan kedudukan pemikul beban pajak dan penanggung jawab penyetoran pajak serta eksistensi objek pajak sebagai faktor dominan timbulnya kewajiban pajak. Penerapan prinsip pajak atas konsumsi yang semula menjadi salah satu ide dasar dalam penerapan PPN mulai diingkari dengan penerapan UU PPN
PANDU PAJAK
KANWIL JAKARTA SELATAN
Nomor 42 Tahun 2009. Pajak atas konsumsi yang dimaksudkan sebagai pengenaan PPN sepenuhnya dibebankan kepada pengguna atau konsumen ternyata tak sepenuhnya benar penerapannya. Ada pendapat yang menyatakan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) pada dasarnya aktivitas bisnis mendasar yang tak seharusnya dibebani pajak karena mereka tidak melakukan kegiatan konsumsi lantas mengapa dilakukan pembebanan pajak. Bahkan kesalahan penerapan ini semakin dipersempit dengan adanya perubahan dalam Pasal 9 ayat (2a) yang semakin mempersempit ruang lingkup Pajak Masukan (PM) yang dapat dikreditkan. Selain kegagalan dalam penerapan prinsip ini, kegagalan penerapan prinsip "dalam negeri" turut menjadi
APRIL 2013
PANDU UTAMA
gspot.com)
perbaiki carut marutnya PPN saat ini. Setelah berlakunya UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 ada banyak langkah mulia lanjutan yang dilakukan. Salah satunya adalah penerapan Registrasi Ulang PKP yang diterapkan pada tahun 2012. Penerapan registrasi ulang PKP seperti menjawab banyaknya kegiatan penerapan faktur pajak fiktif selama ini. Penerapan faktur pajak yang diberlakukan di Indonesia selama ini sudah menjadi sesuatu hal yang menarik untuk mengalami penyimpangan. Tercatat banyak kegiatan penyidikan perpajakan bermula dari adanya penerapan faktur pajak yang tidak sesuai dengan peruntukan sebenarnya. Faktur pajak walaupun hanya berbentuk kertas biasa, itu bisa diartikan sebagai uang. Permainan faktur pajak yang dilakukan pengusaha berpotensi mengakibatkan kurangnya jumlah PPN yang disetorkan kepada negara dan yang lebih parahnya lagi bahkan mampu menyedot uang negara untuk masuk ke kas pribadi PKP lewat jalur restitusi. Permainan restitusilah yang sering menjadi ujung muara faktur pajak. Jual beli faktur pajak yang sering dianggap sebagai komoditi utama berpotensi menghilangkan uang negara. Penerapan restitusi dengan faktur pajak salah alamat inilah yang ditakutkan menambah kekisruhan penerapan PPN di Indonesia. Kesalahan mendasar yang terlalu memberikan kemudahan dalam pelayanan pengukuhan PKP membuat banyaknya perusahaan abal-abal yang secara bebas mampu membuat dan memperjualbelikan faktur pajak kepada yang membutuhkan. Parahnya lagi kegiatan ini sampai saat ini bisa dikatakan kurang mendapat pengawasan oleh DJP sehingga kegiatan permainan faktur bothsides.blo (Dok. foto: (my
catatan dalam perubahan UU PPN Nomor 42 Tahun 2009. Jika selama ini PPN selalu memahami prinsip pajak atas konsumsi dalam negeri atau pajak atas konsumsi di dalam daerah pabean hingga pengenalan prinsip destination principle menjadi dasar dalam penerapan PPN maka sedikit ada keanehan terjadi dengan perubahan UU PPN Nomor 42 Tahun 2009. Prinsip destination principle yang selama ini dikenal terkikis dengan adanya penambahan objek PPN terutama penerapan ekspor BKP dan JKP. Terjadi kejanggalan dengan adanya kedua objek PPN tersebut yang membuat prinsip destination principle tak seharusnya dikenakan. Kejanggalan ini membuktikan bahwa PPN menjadi sedikit membingungkan dan justru menerapkan dua istilah sekaligus destination principle dan origin principle yang secara sederhana dapat dimaklumi dengan istilah economic destination principle. Perubahan yang cukup aneh berikutnya adalah dengan penerapan tang-gung jawab renteng di Pasal 16 F. Tentunya perubahan ini memungkinkan adanya pembebanan yang berlebihan kepada pembeli. Memang wajar sesuai dengan penjelasan pasal tersebut bahwa beban pembayaran pajak untuk PPN adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Pembebanan ini sebenarnya menimbulkan pertanyaan bagaimana apabila transaksi yang terjadi antara pembeli BKP/penerima JKP tidak dibuatkan faktur pajak oleh penjual BKP/pemberi JKP. Selain itu wajarkah untuk menyalahkan pembeli BKP/ penerima JKP akan adanya kesalahan penjual BKP/pemberi JKP yang tidak memungut pajak yang terutang atau tidak menyetorkan PPN. Pertanyaan klasik yang seharusnya lebih dipikirkan lagi. Harus ada perbedaan yang jelas antara penanggung jawab penyetoran pajak dengan pemikul beban pajak. Inkonsitensi-inkonsitensi inilah yang ternyata dialami dalam UU PPN Nomor 42 Tahun 2009. Celakanya erubahan ini membuat prinsip-prinsip
dasar yang diakui secara umum dalam PPN menjadi terkesan menyimpang dan jauh dari ide dasar penerapan PPN dimana pilar utamanya telah dinodai dan tak sepenuhnya dipraktikkan. Namun diantara beberapa catatan tersebut masih ada sebuah perubahan yang boleh dikatakan membawa arah positif terhadap penerapan PPN. Perubahan positif tersebut adalah dengan adanya penerapan tidak diberlakukannya lagi istilah faktur pajak sederhana. Penerapan faktur pajak sederhana selama ini bisa dikatakan menjadi salah satu blunder dalam PPN. Kesulitan dalam mencari siapa pembeli sesungguhnya dari sebuah BKP atau penerima sesungguhnya dari JKP membuat adanya kemungkinan terjadinya banyak penyimpangan penerapan faktur. Inilah langkah positif yang harus diapresiasi. Tabir Penyimpangan Faktur Pajak Tidak berlakunya lagi faktur pajak sederhana sebenarnya bisa dikatakan sebagai langkah preventif dalam mem-
PANDU PAJAK
KANWIL JAKARTA SELATAN
APRIL 2013
5
PANDU UTAMA tumbuh subur di kalangan PKP. Pada dasarnya dalam penerapan penyimpangan faktur pajak, terdapat empat modus utama yang sering dilakukan oleh PKP. Modus tersebut adalah penggunaan faktur pajak bodong untuk modus kasus seperti pembelian barang black market yang tidak dikenakan PPN. Kegiatan ini memaksa PKP yang membeli barang black market tersebut harus mencari faktur pajak yang berasal dari perusahaan fiktif agar PM-nya dapat dikreditkan. Selain itu ada juga penggunaan faktur pajak ganda dimana seorang PKP membuat dua jenis faktur pajak dengan nomor faktur pajak yang sama tetapi pada saat melakukan pelaporan dan perkreditannya menggunakan faktur pajak yang nominalnya lebih sedikit sehingga memperkecil pajak keluaran (PK) dan memperbesar PM yang jelas saja berpotensi untuk restitusi lagi. Penyalahgunaan faktur pajak sederhana juga marak menjadi salah satu modus penerapan penyimpangan faktur pajak. Namun, lewat perubahan UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 yang tidak memberlakukan penerapan faktur pajak sederhana lagi membuat potensi ini terkikis habis. Penerapan penyimpangan faktur pajak terbesar dirasakan pada pemanfaatan faktur pajak dari importir non indentor atau importir yang bukan merupakan pemilik barang. Penerapan ini yang sangat marak dilakukan oleh pengusaha dimana perusahaan yang mengimpor barang dengan pengusaha yang menerima barang pada dasarnya sama namun berusaha dikaburkan sehingga berbeda perusahaan yang mengimpor dan perusahaan pemilik barangnya yang memungkinkan diterbitkannya faktur pajak. Kegiatan registrasi ulang PKP yang telah dilaksanakan oleh DJP diharapkan mampu membuat peluang-peluang penerapan penyalahgunaan faktur ini dapat sedikit teratasi. Tercatat lewat registrasi ulang PKP, sekitar empat ratus ribu lebih perusahaan terpaksa harus dicabut status PKP-nya. Kegiatan registrasi ulang PKP membuat peluang penerapan penyimpangan faktur pajak modus faktur pajak bodong berpotensi teratasi karena penerapan registrasi
6
“
Pada dasarnya dalam penerapan penyimpangan faktur pajak, terdapat empat modus utama yang sering dilakukan oleh PKP. Modus tersebut adalah penggunaan faktur pajak bodong untuk modus kasus seperti pembelian barang black market yang tidak dikenakan PPN. Kegiatan ini memaksa PKP yang membeli barang black market tersebut harus mencari faktur pajak yang berasal dari perusahaan fiktif agar PM-nya dapat dikreditkan
ulang PKP yang mengisyaratkan kejelasan lokasi usaha dan kepengurusan dari wajib pajak membuat berbagai macam perusahaan fiktif yang gemar menjual faktur pajaknya terkikis habis. Pelaksanaan registrasi ulang PKP pun membuat potensi kegiatan penyidikan menjadi lebih terbantu karena para PKP yang sering menjadi suspect list sesuai SE-132/PJ/2010 mulai mampu dieliminasi menurut indikasi-indikasinya. Selain itu apresiasi yang cukup penting juga harus diarahkan kepada penerapan mekanisme faktur pajak yang baru. Penerapan PER-24/PJ/2012 membuat PKP tidak bisa lagi dengan mudahnya menerbitkan faktur pajak terutama dalam mekanisme penomoran faktur pajak. PER-24/PJ/2012 yang merupakan kelanjutan dari kegiatan registrasi ulang PKP membuat pemberian otoritas terkait penomoran faktur pajak kepada DJP. Pada sisi ini terlihat ketegasan DJP yang ingin memperbaiki struktur PPN nasional yang ternyata selama ini telah menjadi sasaran empuk bagi beberapa PKP nakal. Penomoran yang diberikan kepada DJP membuat PKP hanya boleh menggunakan nomor yang berasal dari DJP dengan mekanisme PKP memohonkannya kepada DJP. Selain itu penerapan faktur pajak yang baru memungkinkan adanya alamat yang jelas serta penanggung jawab yang jelas atas penanda tangan faktur pajak yang sebelumnya telah mendapat verifikasi kelayakan oleh DJP. Melalui mekanisme ini terlihat ada
PANDU PAJAK
KANWIL JAKARTA SELATAN
”
kejelasan kepada siapa dan dimana apabila terjadi penyalahgunaan faktur pajak harus dipertanggungjawabkan. Tentunya ini membuat peluang terjadinya penyalahgunaan faktur pajak menjadi lebih sulit. Mekanisme penomoran yang dilakukan oleh DJP dalam suatu periode tertentu pun membuat peluang jual beli faktur menjadi terlihat susah karena DJP mampu memonitor dari seorang PKP nomor dan pada masa apa saja faktur pajak dapat digunakan. Intinya dari semua penerapan faktur pajak ini adalah penegasan akan otoritas yang lebih kuat kepada DJP dalam mengatur mekanisme PPN. Lewat sistem yang baru pula mekanisme pengkreditan PK terhadap PM menjadi lebih terawasi dan mampu dimonitor. Selain itu tentunya restitusi yang sering menjadi lubang kebocoran PPN diharapkan mampu teratasi juga. Harapan untuk memperbaiki kondisi carut marut PPN terutama terkait PKP mulai bisa diminimalkan. PKP yang nakal dan tidak tertib lebih mudah untuk ditindak. Kejujuran seorang PKP dalam menerbitkan faktur pajaknya menjadi pesan yang ingin disampaikan dalam penerapan PER-24/ PJ/2012. Penerbitan faktur pajak menjadi dasar utama melihat sejauh mana tingkat kejujuran seorang PKP. Semoga dengan penerapan faktur pajak ini kita bisa mengukur sejauh mana ketaatan PKP dalam menjalankan mekanisme PPN–nya sehingga tidak ada lagi kebocoran uang negara dari sisi restitusi PPN. (pp)
APRIL 2013
SUMBANG SUARA Mendengar nama Untung Sukardji mungkin bukanlah lagi nama yang asing dalam dunia perpajakan Indonesia terutama Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Beliau yang sudah menjadi salah satu pakar PPN berkali-kali menyumbangkan ide dan gagasannya dalam PPN. PPN Indonesia pun tetap berkiblat ke arah Eropa.
Untung Sukardji
Prinsip Dasar PPN Indonesia
L
ewat pengalamannya yang sudah bertahun-tahun menggeluti PPN beliau tak jarang memberikan masukan terkait pelaksanaan PPN di Indonesia. Melihat kapasitas beliau yang sudah cukup mumpuni Redaksi Pandu Pajak pun berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan beliau. Kali ini Untung Sukardji membagi beberapa masukannya terkait perubahan Undang-Undang (UU) PPN No. 42 Tahun 2009 yang dianggap beliau terjadi beberapa inkonsistensi dalam peletakan prinsip dasar PPN. Apa saja inkonsistensi tersebut? Bagaimana masukan beliau atas inkonsistensi tersebut? Apakah terdapat solusi untuk mengatasi inkonsistensi tersebut? Redaksi Pandu Pajak akan membahasnya langsung bersama Untung Sukardji yang telah berkenan membagi buah pikirannya tersebut.
Bagaimana sebenarnya sejarah terbentuknya PPN di Indonesia? Pada dasarnya PPN di Indonesia merupakan pengganti Pajak Penjualan yang sebelumnya berlaku. Sudah dua puluh delapan tahun Indonesia menjalankan sistem PPN. PPN yang berlaku di Indonesia ini mengadopsi sistem VAT (Value Added Tax) yang diperkenalkan oleh Carl Friedrich von Siemens yang merupakan industrialis dan konsultan pemerintah Jerman. Penerapan VAT di Indonesia juga sangat meniru apa yang dicetuskan von Siemens tersebut. Perkembangan PPN sendiri meniru ke arah Eropa karena Indonesia ketika itu sedang aktifaktifnya memperkenalkan self assessment system dalam sistem perpajakannya dengan pertimbangan lewat cara ini memungkinkan penerimaan negara yang lebih melimpah. Hingga sekarang
PANDU PAJAK
KANWIL JAKARTA SELATAN
Berdasarkan penerapan tersebut apa arti sebenarnya PPN menurut Anda? Sesuai dengan UU PPN 1984, sebenarnya definisi PPN tidak termuat dalam Pasal 1 terminologinya.Akan tetapi secara karakteristik definisi sebenarnya dari PPN itu kurang lebih bisa dirumuskan adalah pajak atas konsumsi dalam negeri yang dihitung atas nilai tambah yang memisahkan kedudukan pemikul beban pajak dengan penanggung jawab penyetoran pajak dan menempatkan eksistensi objek pajak sebagai faktor dominan timbulnya kewajiban pajak. Kira-kira inilah definisi PPN yang berlaku di Indonesia. Sesuai dengan definisi tersebut, menurut Anda apa dasar prinsipprinsip PPN di Indonesia? Sesuai dengan definisi PPN yang saya jelaskan tadi PPN di Indonesia pada dasarnya menganut beberap prinsip yaitu pajak atas konsumsi dalam negeri, nilai tembah, memisahkan kedudukan pemikul beban pajak dengan penanggung jawab penyetoran pajak dan eksistensi objek pajak merupakan faktor dominan timbulnya kewajiban pajak. Prinsip - prinsip umum inilah yang mewarnai PPN Indonesia selama ini. Pada tahun 2009 telah terdapat perubahan UU PPN dan menghasilkan perubahan UU PPN No. 42 Tahun 2009 yang berlaku mulai tahun 2010, menurut Anda bagai-
APRIL 2013
7
SUMBANG SUARA mana dengan perubahan UU ini? Saya sangat mengapresiasi perubahan UU PPN ini. Tentunya PPN yang kerap berinteraksi dengan dunia bisnis terutama terkait dengan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) perlu selalu adanya penyesuaian dengan pergerakan ekonomi. Akan tetapi bagi saya perubahan ini masih terdapat sisi positif dan sisi negatifnya. Bahkan dari perubahan UU ini lebih banyak sisi negatifnya ketimbang sisi positifnya. Bisa Anda jelaskan sisi positif atas perubahan UU ini? Sisi positif dari perubahan UU pasti ada. Kalau saya melihat perubahan ini sisi positif yang paling menonjol itu terletak pada Pasal 16 E yang mengatur tentang orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dimungkinkan untuk memperoleh pengembalian pajak yang dibayar atas pembelian BKP di dalam daerah pabean setelah memenuhi persyaratan tertentu. Saya mengganggap ketentuan ini nmenuai hasil positif dan pastinya menunjukkan refleksi yang benar atas prinsip destinasi dan sangat besar pengaruhnya terhadap program pengembangn bisnis di bidang pariwisata khususnya pariwisata antar bangsa. Ini catatan positi dari perubahan UU PPN Nomor 42 Tahun 2009. Kalau dari sisi negatifnya? Tentu selain sisi positif pasti ada sisi negatifnya apalagi perubahan UU ini ternyata menurut saya mengundang banyak sisi negatif yang muncul. PPN Indonesia bisa dikatakan inkonsistensi. Sisi negatif tersebut misalnya dari sisi penerapan prinsip-prinsip perpajakan yang banyak mengalami inkonsistensi dan penyimpanganya. Sebagai contoh aspek inkonsistensi tersebut antara lain penerapan UU Nomor 8 Tahun 1983 memberi hak restitusi atau kompensasi pada setiap akhir masa pajak, kemudian dengan UU Nomor 11 Tahun 1994 diubah menjadi hak kompensasi boleh pada akhir masa pajak sedankan hak restitusi pada akhir tahun buku dengan beberapa penge-
8
cualian. Ketika dilakukan perubahan kedua dengan UU Nomor 18 Tahun 2000 ketentuan tersebut diubah kembali ke pola UU Nomor 8 Tahun 1983 dan anehnya dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 diubah kembali ke pola UU Nomor 11 Tahun 1994. Selain itu Pasal 16 A inkonsisten apabila dihadapkan dengan Pasal 3A ayat (1), Pasal 16C inkonsten apabila dihadapkan dengan Pasal 4 ayat (1) huruf c, demikian pula Pasal 16D dengan pasal 4 ayat (1) huruf a, Pasal 9 ayat (2a) sebelum 1 April 2010 merupakan refleksi prinsip PPN adalah pajak atas konsumsi kemudian dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 diubah sehingga menjadi inkonsisten, Pasal 1 angka 18 inkonsisten apabila dihadapkan dengan Pasal 5 ayat (2), Pasal 3A
ayat (1) inkonsisten apabila dihadapkan dengan Pasal 1 angka 15. Inkonsistensi dalam penerapan dari sisi perubahan UU PPN ini belum mencakup materi Peraturan Pemerintahnya yang juga tak lepas dari inkonsisten. Inkonsistensi apalagi yang ada dalam materi Peraturan Pemerintah (PP)? Materi PP Nomor 144 Tahun 2000 diambil menjadi materi penjelasan Pasal 4A ayat (3) tanpa dianalisis terlebih dahulu sehingga timbul inkonsistensi antara lain masih menggunakan pertimbangan komersial dan nonkomersial yang sebenarnya tidak dapat digunakan untuk pajak atas konsumsi karena komersial dan nonkomersial adalah pertimbangan dari sudut pandang bisnis, tidak ada penegasan yang lugas tentang status jasa angkutan udara luar negeri, jasa boga ditentukan
PANDU PAJAK
KANWIL JAKARTA SELATAN
sebagai non-JKP sementara itu dalam ayat (2) pengusaha jasa boga ditentukan sebagai pengusaha yang menyerahkan non-BKP, jasa pemberian NPWP dimasukkan sebagai non-JKP padahal pemberian NPWP tidak disyaratkan ada pembayaran, dan memisahkan jasa pengiriman surat dengan perangko dengan jasa pengiriman uang dengan wesel pos. Dari deretan inkonsisten ini semua kita bisa menyatakan bahwa UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 termasuk dalam UU yang inkonsisten. Adakah saran atau pun masukan Anda terhadap sisi negatif ini? Untuk perubahan yang akan datang kiranya dapat dilakukan dengan lebih cermat dan akurat dengan tetap memperhatikan pilar utama PPN terutama terkait pajak atas konsumsi.Tata laksan boleh berubah tetapi pilar utama ini tidak boleh dikhianati. Kalau pun ada niat untuk mengganti secara total kiranya perlu diperhatikan bahwa meruntuhkan suatu struktur pajak dan menggantinya dengan struktur yang baru bukan pekerjaan yang sulit. Kesulitan itu adalah menjaga konsistensi ketika melaksanakan ide yang melatarbelakangi perombakan itu. Kita harus belajar dari pengalaman merombak dan mengganti UU Pajak Penjualan 1951 dengan UU PPN 1984 yang sungguh pekerjaan mudah namun ternyata sulit menjaga konsistensinya hingga saat ini. Jangan sampai ketidakmampuan aparat dalam melaksanakan sistem mengakibatkan penyalahan terhadap sistemnya. Seharusnya penyelesaiannya kembali kepada aparat dengan meningkatkan kemampuan aparatnya untuk melaksanakan sistem yang sudah menjadi kesepakatan bersama. Semoga saran dan masukan yang telah diberikan oleh salah satu pakar PPN ini menjadi perhatian bagi pemegang otoritas pajak. Tak ada niat untuk menyalahkan salah satu pihak tetapi semua ini lebih didasari akan adany keinginan untuk menciptakan tata aturan PPN yang lebih baik demi mengumpulkan penerimaan pajak yang lebih besar untuk pembangunan Indonesia. (pp)
APRIL 2013
EDU PAJAK
Sistem Penomoran Baru Faktur Pajak Dengan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran sebagaimana diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Faktur Pajak mempunyai peran yang sangat strategis.
B
erbagai upaya penyempurnaan sistem telah dilakukan oleh DJP. Salah satu upaya untuk menghindari terjadinya segala bentuk penyalahgunaan Faktur Pajak dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, peraturan tentang Faktur Pajak kembali mengalami perubahan. Diharapkan juga, Pelaya-nan dan kenyamanan kepada seluruh Pengusaha Kena Pajak akan meningkat. Kebijakan ini merupakan langkah lanjutan, setelah program registrasi ulang Pengusaha Kena Pajak (PKP), dalam rangka meningkatkan tertib administrasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 tanggal 22 November 2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan,Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak yang akan berlaku efektif untuk penerbitan Faktur Pajak mulai tanggal 1 April 2013. Sedangkan bagi PKP yang belum memperoleh Surat
PANDU PAJAK
Nomor Seri Faktur Pajak dari DJP sampai dengan tanggal 1 April 2013, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-08/PJ/2013 tentang perubahan PER-24/ PJ/2012 yang antara lain mengatur: a. Pengusaha Kena Pajak yang belum memperoleh surat pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak dari Direktorat Jenderal Pajak wajib menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ/2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER65/PJ/2010 sampai dengan tanggal 31 Mei; b. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud diatas kemudian memperoleh surat pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak dari Direktorat Jenderal Pajak, maka Pengusaha Kena Pajak tersebut wajib menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/ 2012 sejak tanggal surat pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak; c. Terhitung mulai tanggal 1 Juni 2013 seluruh Pengusaha Kena Pajak wajib menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/ PJ/ 2012.
KANWIL JAKARTA SELATAN
APRIL 2013
9
EDU PAJAK Dalam peraturan tersebut, penomoran Faktur Pajak tidak lagi dilakukan sendiri oleh PKP, tetapi dikendalikan oleh DJP melalui pemberian nomor seri Faktur Pajak yang ditentukan bentuk dan tatacaranya oleh DJP. Langkah-langkah untuk mendapatkan nomor seri Faktur Pajak adalah sebagai berikut: 1. PKP mengajukan surat permohonan kode aktivasi dan password secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP terdaftar; 2. Surat pemberitahuan kode aktivasi akan dikirimkan melalui pos ke alamat PKP, sedangkan password akan dikirimkan lewat email; 3. Setelah mendapat kode aktivasi dan password, kemudian PKP mengajukan surat permintaan nomor seri Faktur Pajak ke Kantor Pelayanan Pajaka (KPP) tempat PKP terdaftar untuk kebutuhan 3 (tiga) bulan; 4. Selanjutnya, PKP akan mendapatkan surat pemberitahuan nomor seri Faktur Pajak untuk digunakan dalam penomoran Faktur Pajak. Berkenaan dengan peraturan baru ini, PKP perlu memastikan bahwa alamat yang terdaftar adalah alamat yang sesuai dengan kondisi nyata PKP. Hal ini dimaksudkan agar pada pengiriman surat pemberitahuan kode aktivasi dapat diterima oleh PKP.Apabila terdapat perbedaan antara alamat yang sebenarnya dengan alamat yang tercantum dalam Surat Pengukuhan PKP, maka PKP harus segera melakukan update alamat ke KPP tempat PKP terdaftar. PKP perlu juga mempersiapkan alamat surat elektronik (email) untuk korespondensi pemberitahuan email dan surat pemberitahuan kode aktivasi/surat pemberitahuan penolakan kode aktivasi yang Kembali Pos (kempos). Ketentuan-ketentuan baru yang diatur dalam Peraturan tersebut adalah : 1. Kode dan nomor seri Faktur Pajak terdiri dari 16 (enam belas) digit yaitu : 2(dua) digit kode transaksi, 1 (satu) digit kode status, dan 13 (tiga belas) digit nomor seri Faktur Pajak; 2. Nomor seri Faktur Pajak diberikan oleh DJP melalui permohonan dengan instrumen pengaman berupa kode aktivasi dan password; 3. Identitas Penjual dan Pembeli, terutama alamat harus diisi dengan alamt sebenarnya atau sesungguhnya; 4. Jenis Barang Kena Pajak atau Jasa kena Pajak harus diisi dengan keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya; 5. Pemberitahuan PKP/pejabat/pegawai penandatangan Faktur Pajak, harus dilampiri dengan fotokopi kartu identitas yang sah dan dilegalisasi pejabat yang berwenang; 6. PKP yang tidak menggunakan nomor seri Faktur Pajak dari DJP atau menggunakan nomor seri Faktur Pajak ganda akan menyebabkan Faktur Pajak yang diterbitkan
10
PANDU PAJAK
merupakan Faktur Pajak tidak lengkap; 7. Faktur Pajak tidak lengkap akan menyebabkan PKP pembeli tidak dapat mengkreditkan sebagai Pajak Masukan dan PKP Penjual dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan diterbitkannya peraturan tersebut, diharapkan PKP dapat mempersiapkan diri untuk menyesuaikan penomoran Faktur Pajak.Apabila diperlukan penjelasan lebih lanjut dapat menghubungi KPP tempat PKP dikukuhkan atau melalui Kring Pajak 500200.
KANWIL JAKARTA SELATAN
APRIL 2013
SOROT LENSA
Kepala Kanwil DJP Jakarta Selatan Bersama Seluruh Jajaran Eselon III
Pisah Sambut Kepala Kanwil DJP Jakarta Selatan Estu Budiarto dan Kismantoro Petrus
Penukaran Cendera Mata Antara Kepala Kanwil DJP Jakarta Selatan dan BIN
Estu Budiarto, Kakanwil DJP Jakarta Selatan Sebagai Narasumber dalam Sosialisasi di Badan Intelijen Negara (BIN)
PANDU PAJAK
KANWIL JAKARTA SELATAN
APRIL 2013
11
KPP Madya Jakarta Selatan Jalan Ridwan Rais No. 5A-7, Gambir, Jakarta Pusat 10110, Telp: 021-3447971, 3447972, 3504170. Fax: 021-3447971 •KPP Pratama Jakarta Setiabudi Satu Jalan Rasuna Said Blok B Kav. 8, Jakarta Selatan 12190, Telp: 021-5254237-5253622, Fax: 021-5252825 •KPP Pratama Jakarta Setiabudi Dua Jalan Rasuna Said Blok B Kav. 8, Jakarta Selatan 12190, Telp: 021-5254237-5253622, Fax: 021-5252825 •KPP Pratama Jakarta Setiabudi Tiga Jalan Raya Pasar Minggu No. 11, Pancoran, Jakarta Selatan 12780, Telp: 021-7993028-7992961, Fax: 021-7994253 • KPP Tebet Jalan Tebet Raya No. 9, Jakarta Selatan, Telp: 021-8296869,8296937, Fax: 021-8296901 •KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Satu Gedung Patra Jasa Lantai 1 & 14, Jalan Jend. Gatot Subroto-Jakarta, Telp: 021-52920983, 52921276, Fax: 021-52921274 •KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Dua Jalan Ciputat Raya No. 2 Pondok Pinang, Jakarta Selatan 12310, Telp: 021-75818842,75908704, Fax: 021-75818874 •KPP Kebayoran Baru Tiga Jalan K.H. Ahmad Dahlan No. 14 A, Jakarta Selatan 12130, Tel: 021-7245735,7245785, Fax: 021-7246627 •KPP Pratama Jakarta Kebayoran Lama Jalan Ciledug Raya No. 65, Jakarta Selatan 12250, Telp: 021-5843105-5843109, Fax: 021-5860786 •KPP Pratama Jakarta Mampang Prapatan Jalan Raya Pasar Minggu No. 1, Jakarta Selatan 12780, Telp: 021-79191232 /7949574-5/7990020, Fax: 021-7949575 •KPP Pratama Jakarta Pancoran Jalan T.B. Simatupang Kav. 5 Kebagusan, Jakarta Selatan 12520, Telp: 021-7804462, 7804667, 7804451. Fax: 021-7804862 •KPP Pratama Jakarta Cilandak Jalan T.B. Simatupang Kav. 32, Jakarta Selatan 12560, Telp: 021-78843521-23, Fax: 021-78836258 •KPP Pratama Jakarta Pasar Minggu Jalan T.B. Simatupang Kav. 39, Jakarta Selatan 12510, Telp: 021-7816131-4 /78842674, Fax: 021-78842440.