MELINDUNGI INDUSTRI PADI/BERAS: MENERAPKAN TARIF KUOTA DAN MEMERANKAN STE1 M. Husein Sawit Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
PENDAHULUAN Hampir tidak ada negara di dunia ini yang tidak melindungi industri dalam negerinya, apalagi itu menyangkut industri kunci. Pada awal pembangunan industri di Amerika Serikat (AS), Inggeris, Jerman, Perancis, mereka melakukan berbagai macam proteksi. Banyak negara industri di Asia seperti India, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, dan Malaysia mengikuti kebijakan yang mirip dengan itu (Chang dan Grabel, 2004). Bukti-bukti empiris mutakhir membuktikan bahwa keberhasilan negara industri tersebut di atas bukan karena perdagangan bebas, tetapi sebaliknya. Banyak ahli sekarang meragukan kesimpulan bahwa semakin terbuka pasar suatu negara semakin cepat pertumbuhan ekonominya. Pertumbuhan ekonomi Cina dan India berlangsung lebih cepat pada waktu negara tersebut belum membuka pasarnya secara luas dan memproteksi industrinya (Chang dan Grabel 2004; Akyuz, 2003; Akyuz, 2004). Hambatan perdagangan dapat digolongkan dalam dua kelompok yaitu hambatan tarif (tariff barrier=TB) dan hambatan bukan tarif (nontariff barrier=NTB). Kebijakan TB atau NTB sama-sama dapat mempengaruhi aliran barang dan jasa, sekaligus dapat melindungi industri dalam negeri dari persaingan yang tidak sehat atau mendorong industri "bayi". Namun, hambatan tarif dipandang lebih transparan serta mampu memberi kepastian terhadap mitra dagang yang melakukan impor atau ekspor. Indonesia adalah salah satu negara yang telah meratifikasi perjanjian WTO, termasuk di dalamnya ratifikasi Perjanjian Pertanian WTO, sehingga reformasi perdagangan Indonesia harus pula disesuaikan dengan ketentuan perdagangan multilateral. Industri beras/padi adalah salah satu industri strategis dan penting. Sumbangan padi/beras terhadap GDP pertanian mencapai 28,8 persen; pengerjaan (employment) sebesar 28,79 persen dari total pengerjaan di pertanian (agriculture employment). Jumlah orang yang bekerja pada industri padi/beras mencapai 12,05 juta orang, terbesar dibandingkan dengan industri manapun yang ada di tanah air. Tidak kurang 52 persen dari konsumsi total kalori disumbangkan oleh beras, dan 1
Revisi secara menyeluruh atas makalah yang pernah disampaikan pada “Rapat Koordinasi Evaluasi dan Pengamanan Implementasi Ketentuan Impor Beras”, diselenggarakan oleh Ditjen P2HP, Departemen Pertanian, Jakarta, 6 Agustus, 2005.
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 4, Desember 2005 : 298-312
298
45 persen menyumbang protein. Industri padi mempunyai angka indek derajat kepekaan sebesar 1,47744, angka indek terbesar ke dua di sektor pertanian setelah pakan ternak. Sedangkan industri beras mempunyai angka indek daya penyebaran sebesar 1,32792, angka terbesar ke 4 di sektor pertanian, setelah industri daging olahan/awetan, minuman/makanan dari susu, dan makanan lainnya. Itu mengindikasikan bahwa industri padi/beras berada di atas rata-rata daya kepekaan atau penyebaran seluruh sektor ekonomi, dan berdampak besar terhadap pembangunan perdesaan. Oleh karena itu, mengabaikan pembangunan industri padi/beras dapat berakibat buruk terhadap pembangunan desa dan ketahanan pangan, serta usaha pengentasan kemiskinan. Sebaliknya, memberikan perhatian berlebih pada industri beras/padi dan mengabaikan industri/produk pertanian lain, juga dapat menghambat pembangunan perdesaan dan usaha pengentasan kemiskinan. Industri beras/ padi harus ditempatkan pada tataran kebijakan yang wajar, sesuai dengan perannya. Tujuan makalah ini adalah mencari alternatif kebijakan perdagangan untuk melindungi petani padi khususnya dan industri padi/beras umumnya dari ancaman serbuan impor beras yang perdagangannya tidak adil (unfair trade). Opsi tersebut sejalan dengan ketentuan WTO. KEBIJAKAN TARIFIKASI WTO telah menyusun rambu-rambu perdagangan yang terkait dengan pilar akses pasar. Hambatan perdagangan hanya dikenal dengan rejim tarif. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa semua hambatan nontarif dirubah menjadi tarif atau disebut juga tarifikasi. Reformasi perdagangan itu juga mencakup aspek pengurangan tarif, dan pengikatan tarif untuk semua produk pertanian (WTO, 2000). Semua komitmen tersebut telah tertuang dalam masingmasing the countries’ schedule of commitment. Untuk Indonesia dikenal dengan Schedule XXI. Hambatan tarif dianggap sebagai satu-satunya perlindungan yang paling transparan dan menjadi sumber penerimaan buat pemerintah suatu negara. Indonesia memperoleh pendapatan dari tarif sekitar 5 persen dari GDP pada 2003 (WTO, 2003). Oleh karena itu, peran tarif lebih dominan sebagai usaha perlindungan terhadap industri dalam negeri, daripada sebagai sumber pendapatan pemerintah2. 2
Keberadaan Tim Tarif di bawah Departemen Keuangan menjadi petunjuk bahwa tarif sebagai instrumen fiskal, bukan instrumen perdagangan. Sejumlah teman dari departemen teknis, sering mengeluh tentang peran dan perilaku Tim ini. Apabila departemen teknis mengajukan penyesuaian tingkat tarif –walau masih di bawah tingkat bound- guna untuk melindungi industri penting, peran mereka sering mengecewakan.
MELINDUNGI INDUSTRI PADI/BERAS : MENERAPKAN TARIF KUOTA DAN MEMERANKAN STE M. Husein Sawit
299
Berbagai hambatan nontarif (NTB) wajib untuk dihapus atau dikonversi ke tarif. Yang masuk NTB adalah pembatasan kuantitatif impor, variable import levies, harga impor minimum, lisensi impor, berbagai kemudahan untuk STE, baik STE ekspor maupun impor, serta batasan nontarif lainnya seperti alasan kesehatan. Tingkat tarif di negara maju memang relatif rendah, namun mereka semakin getol menggunakan hambatan nontarif dengan alasan kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan yang tercakup dalam sanitary and phytosanitary (SPS). Banyak negara berkembang seperti Indonesia sulit melindungi industri dalam negeri dengan hambatan tarif. Semakin tinggi tingkat tarif semakin besar insentif buat penyelundup, semakin sulit memberantas KKN. Indonesia masih amat lemah dalam bidang infrastruktur seperti pelabuhan, kapal pengawas pantai, aparat penegak hukum, dan aparat pelaksana di border. Indonesia sebaiknya mempertimbangkan efektifitas dan kemampuan dalam melaksanakan kebijakan perlindungan yang sederhana, fleksibel, bukan harus pasrah memilih yang terbaik sesuai dengan buku teks. Pada saat Indonesia menerapkan tingkat tarif moderat terhadap beras, ternyata kurang efektif, dan penyelundupan bertambah. Pada periode 2000-2003 misalnya, ditaksir tidak kurang dari 50 persen beras yang masuk ke Indoneia melalui berbagai pelabuhan, terbanyak melalui Selat Malaka adalah illegal (Tabor et al., 2002). Akibatnya adalah pola pergerakan harga gabah musiman itu porak poranda. Karena kekurangan beras di kantong-kantong konsumen sebagian besar diisi oleh beras impor. Harga gabah tingkat produsen di musim panen raya beberapa tahun malah lebih tinggi dari musim paceklik atau musim panen gadu. Akibatnya perdagangan antar pulau dan antar wilayah tidak bergairah, beras dari sentra produsen terhambat mengalir ke wilayah konsumen, terutama ke perkotaan. Petanipun menjerit, harga gabah jatuh di bawah harga pembelian pemerintah (HIPP) meluas dan berlangsung sepanjang tahun. Pergerakan harga antar musim porak poranda, padahal itu sebagai salah satu motor penggerak ekonomi desa. Penggiling padi tidak berminat membeli di musim panen, menyimpan dan menggiling untuk diperdagangkan pada musim paceklik yang biasanya harga beras/gabah akan tinggi. Risiko perdagangan beras menjadi tinggi dan tidak menentu. Bulog tentu kewalahan untuk mengatasi kejatuhan harga yang sifatnya massal. Ini tentu telah memukul tidak kurang dari 12 juta orang yang terlibat dalam industri beras/padi, dan telah memperburuk laju pembangunan perdesaan. Pemerintah kemudian melarang impor beras dalam bulan panen raya sejak Januari 2004. Seterusnya ditinjau ulang, sehingga diputuskan untuk melarangnya Tim ini bertindak bak ”guru besar” yang sedang menguji ”mahasiswanya”, padahal yang hadir di sana ada pula eselon I. Mereka pada umumnya, sempit dalam memaknai arti perlindungan dan tujuan industri yang perlu dibangun. Di era Orba, Tim ini banyak sekali dipengaruhi para ahli asing berpaham neo liberal, dan peran ahli Indonesia hanya mengetok palu atas usul-usul mereka. Sekarangpun, peran para ahli asing masih juga ada, walau tidak kentara benar. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 4, Desember 2005 : 298-312
300
sepanjang tahun. Sejak pertengahan tahun 2004, pola musiman pergerakan harga gabah mulai tertib kembali. Perbedaan harga antar musim inilah yang menggerakkan sektor usaha kecil menengah (UKM), terutama perdagangan dan penggilingan padi. Ini menunjukkan bahwa pelarangan impor beras yang diberlakukan sejak Januari 2004 telah berperan positif terhadap hal itu (Sawit, 2005b). Kebijakan pelarangan impor tersebut tampaknya tidak sejalan di era perdagangan multilateral. Padahal, masih banyak opsi lain yang dapat dipakai seperti yang dibahas berikut ini. Tariff Rate Quota (TRQ) TRQ adalah bentuk hambatan perdagangan, tetapi relatif lebih transparan, dan bukan sebagai quantitative restriction. Alasannya, karena TRQ masih membuka pasar dan menerapkan tarif. Tarif ditetapkan lebih rendah dalam kuota (in-quota), dan lebih tinggi di luarnya (out-quota), sehingga TRQ dianggap lebih transparan dan tidak menutup pasar. Indonesia mencatatkan dua komoditas yang mendapat perlakuan TRQ yaitu beras dan susu3. Untuk beras akses minimum itu sebesar 70.000 ton dengan tingkat in quota tariff sebesar 90 persen. Tingkat tarif di luar kuota (out-quota tariff) setinggi yang dicatat sebagai bound (180%) dan diturunkan menjadi 160 persen pada tahun akhir perjanjian. Indonesia tentu tidak akan menyalahi aturan WTO manakala akses minimum itu diperbesar, misalnya mencapai 1 juta ton. Namun tidak untuk sebaliknya kurang dari 70 ribu ton. Tarif kuota umumnya banyak dimanfaatkan oleh negara maju maupun negara berkembang untuk melindungi industri domestik mereka. Polandia menetapkan 109 pos tarif yang memperoleh TRQ, Thailand (23 pos tarif), Venezuela (61), Afrika Selatan (53), dan Amerika Serikat (54) (lihat WTO, 2004). Pada umumnya TRQ dipakai untuk melindungi industri/komoditas sayur dan buah, juga dipakai untuk komoditas pangan, seperti serealia, susu dan oilseeds (WTO, 2001). Masalah yang pelik adalah bagaimana mengalokasikan kuota dan pengadministrasian TRQ4. Di bawah ini diuraikan secara singkat tentang alokasi tersebut. Auctions (lelang). Kuota atau lisensi diberikan secara lelang. Pengalokasian cara ini adalah paling kompetitif. Lisensi teralokasi kepada importir yang paling efisien. Pemerintah menarik quota rent dari mereka. First-come first-served. Dalam sistem ini tidak ada alokasi kuota impor, sehingga yang mengimpor lebih awal akan mendapatkan in-quota tariff. Apabila 3
4
Belum ditemukan dokumen resmi tentang alasan mengapa hanya dua komoditas tersebut mendapatkan TRQ, padahal banyak produk lain yang bound tariff telah rendah dan tanpa SSG. lihat WTO Secretariat G/AG/NG/S/8
MELINDUNGI INDUSTRI PADI/BERAS : MENERAPKAN TARIF KUOTA DAN MEMERANKAN STE M. Husein Sawit
301
kuota tersebut telah terpenuhi, maka otomatis akan terkena tarif yang lebih tinggi (out-quota tariff). Kelemahannya adalah pada waktu barang impor masuk ke pelabuhan, ia belum tahu apakah terkena tarif dalam kuota atau luar kuota. Setiap importir akan berlomba mengimpor secepatnya untuk mengejar tingkat tarif yang lebih rendah, sehingga cara ini sering menimbulkan ketidakstabilan harga di dalam negeri. Licenses on demand. Lisensi atau kuota tersebut diberikan berdasarkan jumlah dan waktu impor yang diminta oleh importir. Biasanya, permintaan mereka akan melebihi dari yang diperlukan. Akibatnya adalah sering tidak mampu memenuhi seluruh kuota yang diminta tersebut. Kelemahan lainnya adalah para importir yang efisien belum tentu akan memperoleh jumlah kuota yang mencukupi. Historical importers. Lisensi dialokasikan berdasarkan jumlah impor yang dilaksanakan selama ini oleh importir. Kelemahan dari sistem ini adalah cenderung melindungi importer yang kurang efisien, karena selama ini hanya merekalah yang melakukannya. Para importer baru yang lebih kompetitif mungkin tidak akan memperoleh kesempatan, karena belum tercatat. Imports undertaken by STE. STE diberikan otoritas untuk mengalokasi kuota impor. Kelemahannya adalah cara ini biasanya rentan terhadap tekanan politik. Importer yang berpengaruh cenderung akan mendapatkan lisensi, sedangkan importir yang efisien belum tentu memperolehnya. Terakhir adalah mixed allocation methods, yaitu metode campuran di antara yang telah disebutkan di atas, semisal STE dan historical importers. Di samping alokasi kuota seperti yang telah diuraikan di atas, juga ditambah dengan ketentuan lainnya. Tambahan itu dapat berupa: (i) domestic purchase requirement. Para importir memperoleh bagian kuota, namun ia berkewajiban untuk membeli atau menyerap produksi dalam negeri dalam jumlah tertentu. Contohnya adalah importir terdaftar (IT) untuk komoditas gula. (ii) Limits on tariff quota shares per allocation. Kepada tiap importir diberikan batasan dengan proporsi tertentu atau setiap pengapalan; (iii) Export certificates. Para importir harus memperlihatkan persyaratan sertifikat ekspor yang dikeluarkan oleh negara eksportir. Tanpa sertifikat tersebut, maka importir tidak memperoleh kuota impor; (iv) Past trading performance. Ini juga sebagai cara lain untuk membatasi jumlah importir, sehingga lebih terjamin kuota akan terpenuhi. Kelemahannya adalah dapat saja mereka memperoleh kuota jauh melebihi dari yang telah dilakukan selama ini. Berbagai keuntungan dan kerugian dari masing-masing cara pengadministrasian TRQ diringkas dalam Lampiran Tabel 1. Dalam market allocation, hanya applied tariff yang tidak sedikitpun mendistorsi harga. Namun, kesulitannya adalah pelaksana dan pengawasan haruslah bersih atau bebas dari KKN. Di samping itu diperlukan jaringan (network) yang kuat antar pelabuhan, serta Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 4, Desember 2005 : 298-312
302
pelabuhan impor/ekspor tidaklah banyak5 sehingga mudah mengontrolnya. Diperkirakan metode lelang adalah paling cocok kalau diterapkan di Indonesia dari pada applied tariff, karena jumlah yang dapat dimonitor menjadi terbatas dan terfokus. Sedangkan cara-cara lain diringkas dalam Lampiran Tabel 1.
Perlindungan (Safeguard) dan Perlindungan Khusus (Special Safeguard) Di samping instrumen tarif atau TRQ, dikenal juga safeguard. Safeguard merupakan perlindungan sementara guna mengatasi serbuan impor. Kalau tidak dilindungi, maka akan berpengaruh buruk terhadap industri domestik. Kadangkadang safeguard disebut juga sebagai pasal pengecualian (escape clause), pengecualian dari kewajiban (obligation) dalam keadaan khusus. Perlindungan itu bisa dilakukan dengan meningkatkan tingkat tarif yang lebih tinggi dari yang telah dicatat (bound tariff) atau membatasi impor (import restriction). Namun penggunaannya harus memenuhi persyaratan seperti yang tertuang dalam Agreement on Safeguards dan Article XIX GATT 1994. Dalam Agreement on Safeguards disebutkan bahwa safeguard tidak boleh dilakukan tanpa investigasi terlebih dahulu, termasuk perlunya dengar pendapat publik (public hearing)6 dan pengumuman publik (public notice)7. Di samping itu diatur juga jangka waktunya dan besaran impor kuota. Namun, kepada negara berkembang diberikan perlakuan khusus yaitu tidak boleh diterapkan ketentuan safeguard, manakala impor dari negara berkembang tidak melebihi 3 persen atau memenuhi ketentuan de minimis (Gallagher, 2000; Das, 2000). Perlindungan sementara untuk produk pertanian selain mengacu ke Agreement on Safeguards, juga mendapatkan perlindungan khusus yang disebut Special Safeguards (SSG). Ini tercantum dalam Pasal 5 (yang berisi 9 ayat) Perjanjian Pertanian WTO. Dalam Schedule of Commitment tercantum jenis-jenis produk yang mendapatkan SSG. Di luar produk yang telah tercatat tersebut, suatu negara dapat melakukan perlindungan sementara, namun harus tunduk pada ketentuan Article XIX GATT 1994 dan Agreement on Safeguard. Perlindungan melalui SSG dan Agreement on Safeguard ternyata sulit diimplementasikan oleh negara berkembang dan sering terlambat karena memerlukan waktu yang lama serta biaya yang besar untuk pembuktian adanya injury. Selanjutnya sejumlah kelemahan SSG ini antara lain adalah: Pertama, tidak semua negara mendapatkan hak yang sama. Hanya 39 dari 148 negara 5
6
7
AS, Jepang atau negara maju lainnya hanya memiliki satu atau dua pelabuhan impor/ekspor, sedangkan Indonesia jumlahnya lebih dari 10 pelabuhan. Hasil penelitian tentang itu harus disampaikan pada Komite Safeguards WTO dan mempertahankan temuannya pada pihak yang berkepentingan. Mungkin saja temuan itu tidak disepakati, sehingga tidak ada jaminan akan disetujui. Pengumuman itu harus disampaikan ke semua pihak yang berkepentingan seperti importir dan eksportir.
MELINDUNGI INDUSTRI PADI/BERAS : MENERAPKAN TARIF KUOTA DAN MEMERANKAN STE M. Husein Sawit
303
anggota WTO yang memperoleh hak (right) untuk SSG dengan total produk pertanian 6.156. Swiss adalah negara yang paling banyak mendapatkan SSG (961 pos tarif), dan yang paling sedikit adalah Uruguay (2). AS dan UE mendapat hak atas SSG, masing-masing sebanyak 189 dan 539 pos tarif (WTO, 2004). Padahal negara maju tidak menghadapi masalah sisi suplai dan seharusnya tidak perlu SSG tersebut. Kedua, apa yang didaftarkan berbeda dengan kebutuhan sekarang. Misalnya Indonesia mencatat 13 produk pertanian yang mendapatkan hak SSG, 10 diantaranya terkait dengan susu dan krim; dan 3 lainnya adalah butter milk, milk fat, dan cloves. Setelah 10 tahun kemudian, baru disadari bahwa banyak produk lain yang lebih penting untuk mendapatkan SSG, seperti beras, gula, daging/paha ayam, dan kedelai. Industri itu hampir ambruk karena serbuan barang impor dengan harga dumping. Ketiga, peraturan yang tidak fleksibel buat negara berkembang. Ketentuan dalam Agreement on Safeguards, maupun pada AoA (pasal 5) tidaklah mudah buat negara berkembang terutama untuk membuktikan terjadi “injury” terhadap industri primer yang dihasilkan oleh jutaan orang/firms yang amat heterogen. Pembuktian itu tentu akan memerlukan waktu yang relatif lama dan biaya akan mahal, sehingga telah menyulitkan negara berkembang untuk melindungi dari perlakuan yang tidak fair. Banyak negara berkembang tidak dapat memanfaatkan SSG yang diperolehnya. Kelompok G-33 menuntut agar diberikan fleksibilitas tinggi untuk perlindungan sementara bagi negara berkembang. Itulah yang kemudian dikenal dengan special safeguard mechanism (SSM). Proposal ini telah masuk dalam paket Juli 2004 dan Deklarasi Menteri di KTM VI Hongkong, Desember 20058. Modalitas penuh tetang SSM akan disusun dalam waktu dekat. Proposal yang diusung oleh G-33 tentang SSM itu adalah (i) perlindungan boleh saja dalam bentuk menaikan tarif dan dengan pembatasan volume impor; (ii) pembatasan tersebut adalah temporer; (iii) semua negara berkembang berhak mendapatkannya dan berlaku buat semua produk pertanian; dan (iv) hanya negara berkembang yang berhak mendapatkan SSM, dan dapat digunakan tanpa perlu pembuktian adanya “injury” (without being required to prove any injury). Yang telah diterima dalam deklarasi Menteri di Hongkong disebutkan bahwa “Developing country Members will also have the right to have recourse to a Special Safeguard Mechanism based on import quantity and price triggers...”
8
July Package” in Para 42 of Annex A, disebutkan bahwa: “A Special Safeguard Mechanism (SSM) will be established for use by developing country members” (WTO 2004). Lihat juga dokumen deklarasi Menteri tgl 18 Desember 2005 (WT/MIN/(05)/ W/3/Rev.2).
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 4, Desember 2005 : 298-312
304
State Trading Enterprise (STE) STE adalah perusahaan yang mendapat perlakuan khusus dari pemerintah. Perusahaan itu tidak terbatas perusahaan negara, tetapi juga swasta/ korporasi atau producer marketing boards. STE dapat juga dipakai oleh pemerintah untuk mengelola impor beras, menjaga stok pangan nasional serta stabilisasi harga beras dalam negeri. Beberapa STE pertanian mengontrol produksi domestik melalui pengadaan dan kebijakan harga, atau impor barang pertanian. Pemerintah membantu keuangan dan sarana dalam operasional STE. Pemerintah negara berkembang dan maju menggunakan STE untuk mengimplementasikan kebijakan dukungan pendapatan (income support) atau jaminan harga produsen (Tabor, 2002). STE pertanian di negara berkembang pada umumnya untuk melaksanakan kebijakan stabilisasi harga. Sebagian bertujuan untuk penyalur bantuan pangan pemerintah, mengoperasikan program nutrisi dan menjaga stok pangan nasional untuk sejumlah produk strategis (Tabor, 2002). STE itu dapat berupa STE ekspor9 maupun STE impor. Dari 161 jumlah STE yang tercatat di WTO, 62 persen di antaranya mengurusi komoditas/produk pertanian (Gambar 1). Di antara 128 STE yang terlibat dalam pertanian, 26 persen di antaranya adalah mengurusi biji-bijian/serealia. Yang penting lainnya adalah STE yang terkait dengan buah-buahan (9%), susu (9%), gula (7%), daging/ternak (7%). Lainnya terdistribusi untuk kentang, minyak/oil seeds, kopi/teh/kakao, unggas/telor, sayuran, bawang (Tabel 1). STE ekspor yang terbesar adalah Canadian Wheat Board, New Zealand Dairy Board, Australian Wheat Board, dan Queensland Sugar Corporation, dengan nilai ekspor per tahun berkisar dari US$ 925 juta sampai US$ 3,2 milyar (lihat www.dairytrade.com). Dengan kekuatan STE yang mendapatkan dukungan dari pemerintahnya seperti subsidi kredit ekspor, subsidi pemasaran dan lain-lain maka produk pertanian yang diekspor menjadi lebih unggul di pasar dunia10. Negara berkembang di Asia yang memiliki STE adalah Cina, India, Malaysia, Filipina, Thailand, Pakistan, Bangladesh, Maldives, Fiji, Papua Timur (PNG), Vietnam, Kamboja dan Laos. Sedangkan STE di negara maju dijumpai di Jepang, Korea Selatan, Norwegia, Swiss, Kanada, AS, Australia, dan Selandia Baru. Hampir semua negara bekas komunis memiliki STE baik ekspor maupun impor. STE impor untuk pangan umumnya berada di banyak negara berkembang. Kegiatan utamanya adalah penyimpanan biji-bijian (grain storage), pemasaran dan perdagangan. 9
STE ekspor akan dibatasi, lihat juga dokumen deklarasi Menteri tgl 18 Desember 2005 (WT/MIN/(05)/W/3/Rev.2) 10 Negara yang punya STE ekspor membela agar STE ekspor tidak dihapus. Alasannya adalah apabila aktivitas STE dilaporkan di WTO, maka tindakan STE lebih transparan dalam harga dan hak-hak khusus lainnya. Sebaliknya, bila tidak dihapus. MELINDUNGI INDUSTRI PADI/BERAS : MENERAPKAN TARIF KUOTA DAN MEMERANKAN STE M. Husein Sawit
305
Pelts&Deer Antlers Drugs 1% 2% T obacco 6%
Ut ilities 6%
Salt 1% Computer 1%
Minerals 6% Alcohol 7%
Agriculture 62%
Petrochemicals 8%
Gambar 1. Distribusi STE menurut Produk (%)
STE di Sri Lanka dikenal dengan paddy marketing board (PMB) yang beroperasi untuk melaksanakan program bantuan pangan secara nasional (food stamp) dan menstabilkan harga padi di tingkat produsen. Pada 1992, program food stamp dihapus dan diganti dengan cash transfer, price support juga dihapus. Berbagai fasilitas PMB dipangkas dan fasilitas gudang dilelang, demikian juga dananya. Kemudian pemerintah membentuk Cooperative Wholesale Establishment (CWE) sebagai badan perdagangan pangan. Dengan dana berasal dari pemerintah, maka badan ini memegang peran dalam impor beras dan gandum, berperan dalam menentukan lisensi impor pada saat impor dibatasi, serta dapat memperluas stok beras dalam kerangka public procurement programs. Apapun namanya, peran STE masih tetap ada (Tabor, 2002). Filipina melakukan swastanisasi tidak penuh (partly private) untuk National Food Authority (NFA). Impor beras dilepas ke swasta. NFA hanya berperan sebagai regulator dalam menetapkan kuota tarif untuk pedagang swasta. Demikian juga fasilitas penyimpanan biji-bijian diswastakan pada 1999. Namun, petani menolak sehingga implementasi tertunda. Pada 2002, pemerintah mengimplementasikannya lagi, dengan menciptakan dua sumber dana (agriculture diversification fund dan food security fund) untuk mengatasi efek buruk dari penghapusan itu. Dana tersebut berasal dari penerimaan yang bersumber dari tarif impor dan budget pemerintah. Pemerintah kemudian merubahnya dengan memberi Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 4, Desember 2005 : 298-312
306
kembali hak monopoli terhadap NFA sejak November 2002. Harga beras di Filipina hampir dua kali dari harga dunia. Tampaknya, sulit bagi Filipina untuk meliberalisasi beras sepenuhnya dan memprivatisasi secara penuh NFA. Peran STE masih terus berlangsung di sana. Tabel 1. Jumlah STE dalam Produk Pertanian Category
Jumlah
%
Biji-bijian (grains)
33
25,8
Buah-buahan
12
9,4
Susu (dairy)
11
8,6
Gula
9
7,0
Daging dan ternak
9
7,0
Kentang
7
5,5
Tekstil
7
5,5
Minyak dan oil seeds
7
5,5
Other
7
5,5
Kopi/Teh/Kakao
6
4,7
Unggas dan telor
3
2,3
Sayur-sayuran
3
2,3
Bawang
3
2,3
Kacang-kacangan (Beans)
3
2,3
Kacang (Nuts)
3
2,3
Madu
2
1,6
Hortikultura
2
1,6
Ikan
1
0,8
Total Sumber: WTO (2001)
128
100,0
Indonesia hanya mencatat Bulog sebagai STE. Bulog dipangkas perannya, dan monopoli impor dicabut akhir 1990-an. Impor beras dibebaskan menjadi importir umum dengan tingkat tarif 0-5 persen. Pada awal 2000, Bulog melakukan tugas pengadaan padi/beras menggunakan kredit komersial, yang sebelumnya tingkat bunga kredit disubsidi oleh Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Pada tahun itu pula, pemerintah menetapkan tarif spesifik untuk komoditas beras. Impor beras dikontrol ketat melalui “jalur merah”. Demikian juga impor beras hanya diberikan kepada importir yang punya Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK). Pada 2004, impor beras dilarang pada periode 1 bulan sebelum panen raya sampai dengan dua bulan setelah panen raya. Impor beras hanya diizinkan MELINDUNGI INDUSTRI PADI/BERAS : MENERAPKAN TARIF KUOTA DAN MEMERANKAN STE M. Husein Sawit
307
kepada IP (importir produsen) dan IT (importir terdaftar)11. Namun kemudian pemerintah melarang impor beras, diperkirakan akan berlanjut sampai 2006. Perum BULOG dinotifikasi kembali sebagai STE sejak tanggal 23 Agustus 2002, sesuai dokumen WTO No. G/STR/N/7/IDN dan G/STR/N/8/IND. Bulog melaporkan aktivitasnya sebagai STE ke WTO yang harus diperbaharui setiap dua tahun. Semua kegiatan yang dikerjakan Bulog adalah mendapat perlakuan khusus dari pemerintah, yang perusahaan lain tidak memperolehnya. Perlakuan khusus itu tertuang dalam berbagai produk hukum seperti UndangUndang, Peranturan Pemerintah, Kepres, Inpres serta Surat Keputusan Menteri (lihat lebih rinci di Sawit, 2005a). Pada Oktober 2005 dan Januari 2006, Bulog mendapatkan kembali perlakuan khusus untuk impor beras guna memenuhi stok pangan nasional di bulan paceklik serta menjaga harga beras agar tidak melambung tinggi. Tabor (2002) memperkirakan keberadaan STE di masa mendatang seperti berikut: (i) Diskriminasi perdagangan yang diberikan kepada STE pertanian – seperti hak monopoli impor- diperkirakan akan semakin berkurang. STE akan mengarah menjadi pemegang kuota buat komoditas pertanian penting. (ii) Sepak terjang STE akan diawasi dan dikontrol dengan lebih ketat, terutama dalam aspek pendanaan dan pengadaan barang. PENERAPAN TRQ UNTUK BERAS Indonesia perlu menyelamatkan industri padi/beras yang amat penting buat pembangunan perdesaan. Pemerintah dapat menggunakan instrumen TRQ dan menugaskan STE untuk mengelola impor beras atas ancaman unfair trade. Berbagai opsi dapat ditempuh yaitu: Opsi ke-1; impor beras dimonopoli oleh STE. Ini pernah dilakukan oleh Bulog era 1970-an sampai dengan pertengahan 1990-an. Keuntungannya adalah mudah dikontrol, karena kuota diberikan hanya pada STE. Apabila harga beras rendah atau tinggi, maka pemerintah akan mudah mencari sumber kesalahannya. Pada akhir 2005, monopoli ini diberikan lagi kepada Bulog. Namun opsi ini ditolak publik secara luas, karena dianggap prakteknya kurang transparan dan tidak membuka peluang persaingan, serta mudah ditunggangi oleh berbagai kepentingan. Opsi ke-2, penerapan tarif kuota untuk beras. Tingkat tarif ditetapkan rendah dalam kuota dan tinggi di luarnya. Kuota tersebut diberikan tidak hanya kepada STE tetapi juga kepada swasta yang memenuhi kriteria tertentu. Cara ini tentu lebih transparan dan membuka kompetisi.
11
Lihat SK Menperindag no.9/MPP/Kep/1/2004 tentang Ketentuan Impor Beras.
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 4, Desember 2005 : 298-312
308
Opsi ke-3, batasan kuota dan waktu impor. Ini memang bentuk NTB, akan tetapi lebih mudah mengontrolnya. Impor hanya diizinkan sesuai dengan kuota dan membayar tarif, namun dilarang impor setelah kuota terpenuhi (tanpa outquota tariff). Kuota diberikan tidak hanya kepada STE tetapi juga terhadap swasta yang memenuhi kriteria tertentu. Ini tentu lebih transparan dan membuka kompetisi. Opsi ini diperkirakan lebih realistis dan lebih mampu diimplementasikan, serta kebocorannya relatif rendah, dibandingkan dengan opsi ke-2. Apabila opsi terakhir yang dipilih maka cara mengimplementasikan TRQ dianjurkan seperti berikut. Pertama, ditetapkan target impor yang ingin dicapai dengan alasan ketahanan pangan (stok maupun mengontrol harga beras dalam negeri). Misalnya impor hanya dibolehkan paling banyak 700 ribu ton atau sebagai kuota impor untuk beras tahun 2005. Pemakaian angka itu, berdasarkan laporan impor tahun 2004 seperti yang dilaporkan oleh the Rice Report (lihat Tabel 2). Tabel 2. Impor Beras Indonesia dari Berbagai Sumber Lembaga Internasional: 2003-2005 (000 Ton) Tahun USDA The Rice Report 2003 2.750 2.779 2004 650 632 20051) 700 1.000 Rataan3) 675 816 Keterangan: 1) Forecast untuk 2005 2) Data FAO dibulatkan dalam ratusan 3) Rataan tahun 2004 dan 2005
FAO2) 2.500 700 700 700
Sumber: Semua data berasal dari The Rice Trader (June 28,05)
Kedua, kuota impor dialokasikan ke STE dan swasta, dengan proporsi misalnya 50 : 50 persen atau 60 : 40 persen. Ketiga, kuota impor beras untuk STE hanya dipakai sebagai instrumen stabilisasi harga beras dalam negeri. Apabila harga dalam negeri rendah, maka STE tidak perlu menghabiskan semua alokasi kuota impor. Sebaliknya apabila harga tinggi maka seluruh kuota impor digunakan. STE tetap membayar bea masuk seperti halnya swasta. Adalah lebih baik, keputusan impor beras ditetapkan oleh Dewan Ketahanan Pangan bukan oleh STE. Keempat, kuota impor beras untuk swasta dilelang dan dilakukan oleh Depkeu. Pemerintah menyaring importir yang bonafit dan berpengalaman dengan kriteria lain yang transparan. Salah satu diantaranya adalah lelang kepada swasta yang bonafit. Misalnya pada volume impor 10 ribu ton atau lebih, guna menghindari importir ketengan yang sulit dikontrol. Pemerintah memberi izin impor pada bulan bulan tertentu (misalnya November atau Desember) dan ditetapkan pelabuhan tujuan impornya. Apabila mereka tidak menggunakannya MELINDUNGI INDUSTRI PADI/BERAS : MENERAPKAN TARIF KUOTA DAN MEMERANKAN STE M. Husein Sawit
309
secara penuh (under-fill) dalam periode waktu yang telah ditentukan, maka kuota yang diberikan akan hangus, atau bila perlu didenda. Pemerintah dapat menarik dana/tarif lebih awal yaitu sebelum impor dilakukan, yaitu berupa quota rent dan bea masuk. Namun demikian, diperkirakan ada juga kelemahannya yaitu: (i) Penjualan kuota. Praktek jelek tersebut diperkirakan dapat diredam dengan adanya importir terdaftar yang tercatat volume lelang untuk masing-masing importir dan waktu serta pelabuhan impor. Informasi ini dapat disebarluaskan ke berbagai kantor bea cukai, sehingga akan mudah memeriksa dan mengontrolnya; (ii) Tidak mampu menyetop penyelundupan berhenti 100 persen. Namun praktek buruk itu diperkirakan dapat dikurangi secara signifikan, apalagi pemberantasan korupsi terus digiatkan, dan armada pantai diperkuat, terutama di Selat Malaka. SARAN KEBIJAKAN Pemerintah sebaiknya tidak kembali lagi ke hambatan import restriction untuk melindungi industri beras/padi dalam negeri. Sebaiknya memilih instrumen yang lebih kompatibel dengan peraturan perdagangan multilateral WTO. Salah satu pilihannya menerapkan instrumen TRQ dan melibatkan STE serta swasta. Impor hanya diperbolehkan pada periode Nopember dan Desember, dengan tingkat kuota yang telah ditetapkan. Di luar itu, impor tetap ditutup. Itu merupakan bentuk perlindungan yang lebih realistis buat negara yang masih lemah dalam penegakan hukum dan pemberantasan KKN. Tidak disarankan untuk kembali ke monopoli impor, karena hal itu menutup peluang kompetisi, sering memunculkan salah urus serta mudah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan politik. Manakala modalitas penuh tentang SSM dan SP (produk khusus) telah berhasil disetujui dalam tahun ini, maka perlindungan terhadap SP akan lebih mudah diimplementasikan. Modalitas baru tersebut diperkirakan akan diberlakukan awal 2007, dan masih cukup lama harus menunggunya. DAFTAR PUSTAKA Akyuz, Y. 2003. Developing Countries and World Trade: Performance and Prospect, UNTAD, TWN and Zed Book: Geneva, Penang, and London Akyuz, Y. 2004. “Trade, Growth and Industrialization in Developing Countries: Issues, Experience and Policy Challenges”, makalah disampaikan pada Seminar Asia Pacific Conference on Trade: Contributing to Growth, Poverty Reduction and Human Development, diselenggarakan oleh UNDP, TWN, dan the North-South Institute, di Penang tgl 22-24 Nopember. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 4, Desember 2005 : 298-312
310
Chang, HJ and Grabel. 2004. Reclaiming Development: an Alternative Economic Policy Manual, Zed Book and Third World Network: London and Penang Das, B.L. 2000. The World Trade Organization: A Guide to the Framework for International Trade, Zed Book and Third World Network: London and Penang. Gallagher, P. 2000. Guide to the WTO and Developing Countries, Kluwer Law International and WTO: London and Geneva. Sawit, M.H. 2005a. Perum Bulog dalam Perjanjian Pertanian WTO: Apa, Mengapa dan Bagaimana. Pusat Penelitian Perum Bulog, Jakarta. Sawit, M.H. 2005b. “Pelarangan Impor Beras dan Forecast Harga Beras Eceran Akhir Tahun 2005”, Warta Intra Bulog (edisi Juli). Tabor, S.R. 2002. “State Trading Enterprises and Tariff Quota’s: Issues and Debates”, EMSI Netherland (mimeo). Tabor, S.R., M.H. Sawit, dan HS Dillon. 2002. “Indonesian Rice Policy and the Choice of a Trade Regime for Rice in Indonesia”, makalah disampaikan pada Workshop yang dilaksanakan oleh INDEF dan LPEM UI, di Jakarta tgl 11 Maret 2002. WTO. 2000. The WTO Agreements Series 3: Agriculture, WTO: Geneva. WTO. 2001. Market Access: Unfinished Business, Post UR Inventory and Issues, Special Studies no.6: Geneva. WTO. 2003. “Trade Policy Review-Indonesia”, report by the Secretariat (WT/TPR/S/117): Geneva. WTO. 2004. “WTO Agriculture Negotiations: the Issues, and Where We are Now”, WTO (up dated 1 March 2004).
MELINDUNGI INDUSTRI PADI/BERAS : MENERAPKAN TARIF KUOTA DAN MEMERANKAN STE M. Husein Sawit
311
Lampiran Tabel 1. Dampak dari Pemilihan Sistem Pengadministrasian TRQ Metode
Distorsi pasar (Risiko bias/under-fill)
Market Allocation: Applied Tariff
Tidak ada
Rendah/Sedikit
Auction
Quasi-Market Allocation: License on Demand
Rendah/Sedang
First-come, first-served
Rendah/Sedang
Historical
Sedang/Sangat Tinggi
Dampak ke Pasar Seperti tarif normal, tetapi berubah setelah masuk dalam out-quota Importir yg efisien akan menerima lisensi. Pemerintah memperoleh quota rent Perencanaan importir menjadi lebih sulit. Importir yang efisien belum tentu akan terima lisensi kuota dalam jumlah yang wajar Importir tidak mengetahui dari awal apakah akan masuk in-quota atau outquota. Bisa saja importir yang tidak efisien datang lebih awal, sehingga memperoleh tarif rendah. Harga menjadi tidak stabil
Biasanya berdasarkan volume, tidak tercatat frekwensinya. Terproteksi importir yag tidak efisien
Discretionary Allocation: STE
Rendah/Tinggi
Beragam dampaknya. Amat rentan terhadap tekanan politik. Importir yang berpengaruh memperoleh lisensi walaupun tidak efisien
Rendah/Tinggi
Ada tendensi tidak tercapai kuota (under-fill) sehingga dapat meningkatkan harga. Efisiensi bukan sebagai ukuran untuk mendapatkan lisensi impor
Producer Groups
Sumber: WTO (2001)
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 4, Desember 2005 : 298-312
312