ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
Buletin Alam Sumatera dipublikasikan oleh KKI WARSI
Dari Editor
Susunan Redaksi Penanggung Jawab: Diki Kurniawan Editor: Sukmareni Reporter: Staf KKI Warsi Web Master: Askarinta Adi Distribusi: Aswandi Chaniago
Daftar Isi / penulis SALAM RIMBA • Potensi El Nino dan Gambut Jambi / Sukmareni....................................................................................................4 4 INTRODUKSI • Berharap Perlindungan Negara Terhadap Orang Rimba / Sukmareni..............................................................…....5 5 LAPORAN UTAMA • Tragedi Kematian Beruntun Orang Rimba / Sukmareni .....................................................................................…9 9 • Wana Perintis dan Perjuangan Hak Kelola Orang Rimba / Sukmareni & Ade Chandra .........................................12 12 • Mencari Formula Menyelesaikan Persoalan Orang Rimba / Sukmareni................................................................13 13 • Hak Konstitusional Orang Rimba / Ilham Kurniawan Dartias...................................................................................17 17 FOKUS • Selamatkan Gambut dan Cegah Kebakaran / Laporan Akhir Studi Valuasi 2014.....................................................20 20 • Kebakaran Gambut Sebabkan Kerugian Rp 44,7 Triliyun / Laporan Akhir Studi Valuasi 2014................................23 23 • Climate Smart Agriculture (CSA) / Kurniawan & Sukmareni.....................................................................................31 31 DARI HULU KE HILIR • Belajar Mengelola Benefit Sharing di Bungo / Elviza Diana.....................................................................................34 34 • Memutus Mata Rantai Perdagangan Beras / Herma Yulis......................................................................................37 37 WAWANCARA • Perempuan dan Sumber Daya Alam - Arimbi Heroepoetri / Elviza Diana..............................................................39 39 SUARA RIMBA • Trichoderma Lokal Dari Nasi Hampir Basi / Sukmareni...........................................................................................40 40 • Ngilo, Pejuang Orang Rimba / Sukmareni / Kristiawan............................................................................................42 42 AKTUAL • WARSI keluar dari Pokja SFMP / Sukmareni..........................................................................................................44 44 • Rantau Kermas dapat SK Hutan Adat / Sukmareni......................................…..........................…...….........….......45 45 • Tumpang Tindih Penguasaan Lahan di Selatan TNBT / Herma Yulis......................................................................46 46 MATAHATI • Orang Rimba Berlatih Pembibitan Jernang / Sukmareni.........................................................................................48 48 • Cerita Penjaga Hutan / Emmi Primadona Than......................................................................................................42 42 SELINGAN • Warga Sabah Belajar Ke Simancuang / Herma Yulis..............................................................................................50 50 KAJIAN • Implikasi UU Pemerintah Daerah dan Surat Edaran Mendagri Dalam Pelaksanaan PHBM / Ilham Kurniawan.....53 53
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
Foto Cover : Kanal lahan gambut Foto Aulia Erlangga/dok. KKI WARSI
Desain dan Cetak:
[email protected] Komunitas Konservasi Indonesia - WARSI Alamat : Jl. Inu Kertapati No.12 Kel. Pematang Sulur Kecamatan Telanai Pura Kota Jambi. 36124 PO BOX 117 Jbi Tel: (0741) 66695 Fax : (0741) 670509 E-mail :
[email protected] http://www.warsi.or.id http://alamsumatera.org.
Salam Lestari,
B
encana dan tragedi kemanusiaan yang menimpa Orang Rimba Kelompok Terap dan Serengam telah menjadi perhatian banyak pihak, bantuan pengobatan dan bahan pangan segara membanjiri Orang Rimba, ketika musibah ini terekspose media. Untuk sesaat bantuan yang diberikan mungkin ‘mampu’ mengatasi masalah Orang Rimba, namun untuk jangka panjang perlu adanya penanganan yang lebih baik dan komprehensif untuk menjamin keberlangsungan hak-hak kaum adat minoritas termasuk Orang Rimba. Orang Rimba yang secara keseharian masih tergolong kelompok masyarakat dengan pola hidup meramu dan berburu hasil hutan tentu membutuhkan ruang jelajah yang sangat luas untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Namun kala ruang tak lagi mengakomodir pola hidup demikian maka kelompok Orang Rimba menjadi sangat rawan mengalami berbagai masalah termasuk krisis pangan. Apalagi Orang Rimba belum teradministrasi dengan baik, sehingga program-program yang disebut untuk masyarakat miskin belum menjangkau Orang Rimba, sebut saja untuk pelayanan kesehatan seperti BPJS, beras miskin dan beragam program lainnya belum menjangkau Orang Rimba. Kedukaan dari tragedi yang melanda Orang Rimba ini, kami hadirkan dalam liputan utama Alam Sumatera edisi ini. Harapannya, ada upaya dari para pihak yang benar-benar menjangkau Orang Rimba, pengakuan kawasan hidup, akses untuk lahan pertanian, serta pengadministrasian Orang Rimba harus segara dilakukan untuk keberlangsungan kehidupan mereka. Tak hanya itu, Alam Sumatera edisi ini juga mengupas Laporan Akhir Studi Valuasi Dampak Kebakaran Gambut di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, dan Muaro Jambi, Provinsi Jambi 2014 yang dilakukan WARSI bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan IPB. Studi ini menghitung berbagai dampak kerugian yang akan ditimbulkan dari kebakaran lahan gambut, yang mencapai nilai yang sangat besar. Dari studi ini harapannya para pihak bisa menjadikannya sebagai salah satu masukan untuk melakukan tindakan -tindakan pencegahan kebakaran gambut. Juga kami menghadirkan berbagai tulisan dan cerita menarik lainnya dari sejumlah site dampingan, semoga kehadiran Alam Sumatera bisa menambah khasanah pengetahuan kita semua. Kritik dan saran, tetap kami tunggu dari pembaca sekalian.
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
SALAM RIMBA
4
INTRODUKSI
5
Potensi El Nino dan Gambut Jambi
B
adan Meteorologi dan Geofisika, sudah mengingatkan para pihak tentang potensi akan terjadinya el nino musim kemarau tahun ini. El Nino adalah suatu gejala penyimpangan kondisi laut yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut di samudra Pasifik sekitar khatulistiwa khususnya di bagian tengah dan timur. Karena lautan dan atmosfer adalah dua sistem yang saling terhubung, maka penyimpangan kondisi laut ini menyebabkan terjadinya penyimpangan pada kondisi atmosfer yang pada akhirnya berakibat pada terjadinya penyimpangan iklim. Dalam kondisi iklim normal, suhu permukaan laut di sekitar Indonesia umumnya hangat dan karenanya proses penguapan mudah terjadi dan awan-awan hujan mudah terbentuk. Namun ketika fenomena El Nino terjadi, saat suhu permukaan laut di pasifik bagian tengah dan timur menghangat, justru perairan sekitar Indonesia umumnya mengalami penurunan suhu (menyimpang dari biasanya). Akibatnya, terjadi perubahan pada peredaran masa udara yang berdampak pada berkurangnya pembentukan awan-awan hujan di Indonesia. Fenomena El Nino sudah terjadi sejak lama, Pusat Prakiraan Iklim Amerika (Climate Prediction Center) mencatat bahwa sejak tahun 1950, telah terjadi setidaknya 22 kali fenomena el-nino, beberapa di antaranya dikategorikan El Nino kuat, yaitu ketika kenaikan suhu muka laut lebih dari 1.5o C. Kejadian yang paling membekas di Indonesia akibat El Nino adalah pada musim kemarau tahun 1997/1998. El Nino musim itu telah menyebabkan kemarau pajang sehingga memunculkan kawasan yang mudah terbakar. Akibatnya, jutaan hektar hutan dan lahan Indonesia terbakar, menimbulkan kerugian yang sangat besar, dari sektor ekonomi, ekologi, sosial dan kesehatan. Kini memasuki musim kemarau dengan potensi El Nino yang juga kuat, maka langkah antisipasi harus dipersiapkan oleh semua pihak. Apalagi Jambi yang tergolong sebagai wilayah yang sangat rawan timbulnya kebakaran hutan dan lahan, khususnya lahan gambut. Dari penelitian yang dilakukan WARSI dan IPB diketahui volume gambut yang mudah terbakar mencapai 46,2 juta meter kubik, dengan areal mencapai 286.527,3 ha di tiga kabupaten yang memiliki gambut yaitu Muara Jambi, Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur. Konsentrasi kebakaran gambut di ketiga kabupaten berada di kawasan perkebunan dan hutan taman dengan luasan mencapai 71,3 persen dari keseluruhan potensi kebakaran lahan gambut di ketiga kabupaten. Lahan gambut di kabupaten Muara Jambi memiliki kawasan gambut yang lebih mudah terbakar dibandingkan dengan Tanjung Jabung Barat dan Timur. Kawasan yang paling rawan terbakar di Muara Jambi berada di Kecamatan Kumpeh, Kumpeh Ulu, Maro Sebo, dan Taman Rajo. Sedangkan kawasan di Tanjabbar yang juga berpotensi untuk terbakar berada di Kecamatan Beram Hitam, Kuala Betara, dan Senyerang. Sedangkan di Tanjabtim potensi kebakaran gambut tinggi berada di Kecamatan Dendang, Mendahara, Rantau Rasau dan Muara Sabak Timur, Nipah Panjang dan Muara Sabak Barat.
Potensi kebakaran lahan gambut berada di kawasan yang dikelola untuk pertanian dan perkebunan, baik sawit maupun hutan tanaman. Salah satu penyebabnya adalah kanalisasi yang dilakukan di areal tersebut, akibatnya muka air gambut turun drastis di musim kemarau, dengan komposisi bahan-bahan organik yang tersimpan di dalam gambut, maka potensi kebakaran sangat mungkin terjadi. Antisipasi dan persiapan semua pihak untuk menghadapi musim kemarau ini sangat mutlak untuk dilakukan disamping juga dilakukan upaya pendekatan hukum dengan menindak tegas pelaku dan penanggung jawab kawasan. Berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, pendekatan hukum terhadap pelaku pembakaran lahan ataupun pihak yang bertanggung jawab pada pengelolaan kawasan masih sangat minim. Bahkan kalaupun ada tindakan yang diberi sanksi justru pekerja di tataran bawah, bukan penanggung jawab global pada perusahaan itu. Padahal mengacu pada UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dan Inpres no 16 tahun 2001 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Regulasi ini sudah mengatur tentang pencegahan dan tanggung awan pemegang konsesi untuk mencegah dan mengatasi kebakaran di kawasan kelolanya. Pun ancaman untuk pelaku pembakaran dan pihak yang bertanggung jawab terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan diatur pasal 98 ayat (1) UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang-undang ini disebutkan pelaku pembakaran lahan diancam hukuman minimal tiga tahun penjara, maksimal 10 tahun penjara dan denda minimal Rp 3 miliar maksimal Rp 10 miliar. Pun juga dalam peraturan pemerintah nomor 71 tahun 2014, tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, diatur perlindungan dan pencegahan gambut dari bahaya kebakaran, juga mengatur tentang kanalisasi yang selama ini menjadi persoalan utama mengeringnya gambut. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa jika muka air gambut di lahan budidaya sudah lebih dari 0,4 m maka kawasan tersebut sudah di kategorikan rusak, sehingga perusahaan pemegang konsesi di wilayah tersebut berkewajiban untuk melakukan pemulihan dan mencegah timbulnya kerusakan. Secara kebijakan tentu ini sangat baik, regulasi yang ada dianggap sudah cukup mampu untuk melindungi gambut dari bahaya kebakaran. Bahkan dalam rapat koordinasi pencegahan kebakaran hutan dan lahan pada Februari lalu di Jambi, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya kembali menegaskan komitmen pemerintah untuk melakukan tindakan hukum bagi pelaku dan pihak-pihak yang tidak menjaga areal konsesinya dari kebakaran. Regulasi dan komitmen sudah disampaikan, mari kita lihat sejauh mana komitmen ini diberlakukan, apakah benar mampu mencegah timbulnya kebakaran hutan dan lahan, ataukah akan kembali ke alasan klasik bahwa kebakaran hutan dan lahan merupakan bencana alam yang disebabkan El Nino dan lainnya. (Sukmareni)
ALAM JUNI 2015 2015 ALAM SUMATERA, SUMATERA, edisi edisi JUNI
Orang Rimba yang hidup di perkebunan sawit. Ketika tanah nenek moyang sudah menjadi perkebunan, Orang Rimba hidup terlunta. Foto Aulia Erlangga/dok. KKI WARSI
Berharap Perlindungan Negara Terhadap Orang Rimba Keberadaan Orang Rimba di Provinsi Jambi menuntut perhatian. Komunitas yang hidup di hutan-hutan sekunder ini perlu mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari penyelenggara negara untuk keberlangsungan hidup mereka. Hanya berjumlah 3.800 jiwa, namun mereka menyebar di lima kabupaten di Provinsi Jambi, yaitu Batanghari, Sarolangun, Merangin, Bungo dan Tebo. Jika dikelompokkan mencakup tiga wilayah penghidupan yaitu Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), sepanjang jalan lintas tengah Sumatera dan Selatan Taman Nasional Bukit Tigapuluh.
O
rang Rimba tersebar luas di pedalaman huluhulu sungai dalam bentuk kelompok-kelompok kecil, biasanya tiga hingga 30 rumah tangga. Sebaran Komunitas Orang Rimba sangat bergantung dengan daya dukung sumber daya yang menopang kehidupan sebagai peburu dan peramu pengumpul hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Dengan pola hidup semi nomaden, Orang Rimba akan berpindah tempat hidup untuk mendapatkan sumber penghidupan baru sekaligus menjalankan ritual melangun yaitu tabu kematian akibat ditinggal oleh anggota kelompok yang meninggal dunia.
Dengan pola hidup ini, ruang jelajah Orang Rimba mencapai sepertiga wilayah Provinsi Jambi. Hingga kini pola hidup tradisional ini masih dijalankan sebagian besar Orang Rimba. Hanya saja, keberadaan Orang Rimba dianggap tidak masuk dalam konsep pembangunan yang dilangsungkan. Akibatnya kemarginalan masih menyertai langkah kehidupan sebagian besar Orang Rimba. Sejak dekade 70-an, ada sekitar 16 perusahaan HPH di Propinsi Jambi yang melakukan eksploitasi kayu di kawasan hidup Orang Rimba dengan total luasan konsesi 1,6 juta ha kawasan hutan. Eksploitasi berlanjut dengan dibukanya kawasan hidup orang rimba menjadi berba-
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
INTRODUKSI
6
kannya harta benda dan pemukiman Orang Rimba juga terus berlangsung. Konflik yang dialami Orang Rimba belakangan memang semakin tinggi.Sepanjang 2014 tercatat tujuh konflik Orang Rimba dengan masyarakat di sekitarnya. Dalam setiap konflik yang timbul Orang Rimba berada di posisi yang paling terjepit dan paling banyak mengalami kerugian. Penyelesaian konflik ini pun banyak yang tidak menguntungkan Orang Rimba. Konflik yang menyebabkan kematian Orang Rimba, hanya satu kasus yang diproses dengan hukum negara, lebihnya diselesaikan berdasarkan norma masyarakat Melayu. Pun demikian dengan konflik-konflik yang menimbulkan kerugian materi dan psikologis Orang Rimba, diselesaikan dengan cara pandangan umum masyarakat Melayu. Salah satu contohnya kasus yang terjadi di kecamatan di Tabir Ilir Kabupaten Tebo. Konflik yang terjadi pada September 2014, tidak jelas persoalan yang memicu konflik yang terjadi kemudian ada Orang Rimba yang terkena tusukan senjata tajam dan harta benda Orang Rimba yang di bakar. Persoalan ini mendapat perhatian Pemda dan aparat setempat, yang kemudian menjembatani penyelesaian kasus ini. Penyelesaian yang diambil cukup mencen-
gangkan melalui yang dinamakan keputusan adat. Di antara keputusan adat itu adalah larangan Orang Rimba untuk melakukan aktivitas di wilayah kecamatan yang bersangkutan, serta melarang Orang Rimba melintasi wilayah ini dengan membawa babi, dilarang membawa kecepek, dilarang menjual hasil buruan, dan dilarang untuk menumpang dan menginap di kebun warga desa. Larangan ini akan semakin mempersempit ruang gerak Orang Rimba untuk sekedar bertahan hidup. Terkait dengan persoalan lahan, Orang Rimba sejauh ini kesulitan untuk mendapatkan pengakuan. Walaupun mereka sudah mendiami suatu wilayah sudah sejak lama, namun tidak ada bukti tertulis yang mengakui mereka. Sementara pola kehidupan meramu dan berburu masih mereka jalani hingga saat ini. Akibatnya ketika mereka melakukan aktivitas itu di kawasan yang sudah diberikan kepada perusahaan, akibatnya hasil buruan maupun hasil hutan yang mereka dapatkan sangat minim. Hal ini kemudian berkontribusi pada kecukupan pangan mereka. Orang Rimba mengalami krisis pangan didukung dengan kekurangan pasokan air bersih serta lemahnya daya tubuh mereka. Kondisi ini diduga sebagai penyebab kematian beruntun yang me-
(Foto atas) Pembangunan yang berlangsung di sekitar Orang Rimba membuat Orang Rimba gamang menghadapi masa depan. Menggunakan kecepek untuk berburu, di sisi lain dianggap membahayakan pihak lain. (Foto kanan) Orang Rimba di jalan lintas tengah Sumatera tergilas perubahan zaman, tanpa tahu harus bagaimana untuk bertahan hidup. Foto: Aulia Erlangga/dok. KKI WARSI
gai peruntukan lahan yaitu menjadi perkebunan sawit seluas 168.332 ha, hutan tanaman industri 732.713 ha serta transmigrasi yang luasnya mencapai 300.000 ha. Perubahan fungsi hutan ini berpengaruh nyata untuk kehidupan Orang Rimba. Ruang jelajah mereka menyempit hanya tinggal kawasan yang benar-benar bisa disebut sebagai tempat hidup Orang Rimba adalah Taman Nasional Bukit Duabelas yang sejak awal memang dihadirkan untuk perlindungan kawasan hidup dan berpenghidupan Orang Rimba. Kawasan yang berada di jantung Provinsi Jambi itu, kini didiami oleh lebih dari 1.700 jiwa orang rimba. Namun di sekeliling Taman Nasional sudah menjadi perusahaan HTI dan perkebunan sawit serta transmigrasi, yang dulunya merupakan ruang jelajah mereka. Kendati demikian orang Rimba yang hidup di tengah-tengah taman masih bisa menjalankan ritual dan pola kehidupan mereka dengan lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang sudah berada di luar taman dan kawasan hidup mereka sudah beralih fungsi tanpa mampu mereka cegah. Dampak paling buruk kehilangan kawasan hutan dan lahan ini telah menjadikan Orang Rimba hidup dalam keadaan sangat marginal dan paling miskin dari semua
aspek kehidupan. Sebagian besar dari Orang Rimba tetap bertahan hidup di lokasi konversi ini, walaupun dengan kehidupan sangat miskin atau marginal. Seharihari anggota kelompok yang bertahan ini hidup dengan cara mengumpulkan sumber daya eksotik seperti: berburu babi, mencari anak buaya, kulit binatang, mani gajah dan lain-lain. Banyak juga dari mereka mengumpulkan barang-barang bekas seperti pemulung diperkotaan bahkan mengemis. Ini terutama dialami Orang Rimba yang berada di jalan lintas tengah Sumatera. Mereka terlunta-lunta tanpa memiliki kepastian masa depan. Karena sumber daya yang semakin langka, untuk sekedar bertahan hidup banyak dari Orang Rimba terpaksa mengambil tanaman Orang Desa seperti buah-buahan, baik untuk dikonsumsi langsung maupun untuk dijual seperti buah pinang, jengkol, petai dan sawit. Cara ini kerap menimbulkan konflik antara Orang Rimba dengan Orang Desa. Orang Desa melihat Orang Rimba sebagai sumber ancaman, dan berbagai kriminal. Konflik ini telah menjadikan Orang Rimba korban jiwa dan harta benda. Tak kurang dari 14 Orang Rimba meninggal akibat kekerasan oleh orang luar sejak tahun 1997 sampai 2014, selain korban jiwa konflik yang mengakibatkan dihancur-
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
7
LAPORAN UTAMA
Tragedi Kematian Beruntun Orang Rimba
T
Sumber daya alam yang berubah menjadi perkebunan sawit. Kehadiran berbagai izin di kawasan hidup Orang Rimba menyebabkan Orang Rimba kehilangan sumber penghidupan. Foto Aulia Erlangga/dok. KKI WARSI
landa Kelompok Orang Rimba Terap sejak akhir tahun lalu hingga Mei 2015 ini. Negara harus hadir untuk Orang Rimba Marginalisasi yang dialami Orang Rimba merupakan tanggung jawab negara. Negara harus hadir apapun kondisi masyarakatnya. Selama ini negara cenderung abai dengan Orang Rimba karena kelompok masyarakat ini masih berpindah-pindah. Melalui instansi teknis, lebih menyederhanakan untuk hanya hadir dalam tipe kelompok yang sudah mau menerima perubahan alias dirumahkan. Orang Rimba masih memilih pola hidup yang nenek moyang nyaris tanpa ada pembelaan negara, padahal ‘pembangunan’ paling berdampak negatif untuk kelompok-kelompok masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan. Negara memberikan fasilitas kepada perusahaan untuk mengelola hutan dataran rendah di Provinsi Jambi seperti yang diberikan kepada PT Sawit Aditya Loka (SAL/ Astra Group), PT Kresna Duta Agro (KDA/Sinar Mas Group), PT EMAL, PT Jambi Agro Wiyana, PT Dharma Tanjung Sawita dan sejumlah perusahaan sawit lainnya. Tak Hanya itu, pembangunan Hutan Tanaman Industri yang dilegalitas negara telah menukar hutan alam baik yang terdegradasi maupun yang masih berupa hutan alam diganti dengan tanaman monokultur. Tercatat 17 Perusahaan HTI yang merupakan ruang hidup dan ru-
ragedi kemanusiaan dengan adanya kematian beruntun pada kelompok Orang Rimba yang tinggal di wilayah Terap, di bawah kepemimpinan Tumenggung Marituha, Ngirang, Nyenong dan Ngamal, mulai membuka mata para pihak untuk melek pada Orang Rimba. Sejak akhir 2014 hingga April 2015 tercatat 14 kematian anggota kelompok ini. Juga tercatat lebih dari 34 orang yang harus di rawat di rumah sakit baik di Rumah Sakit Daerah Muara Bulian ataupun di Rumah Sakit Raden Mattaher Kota Jambi. Kematian dan kesakitan yang dialami Orang Rimba erat kaitannya dengan keterbatasan ruang gerak mereka yang menyebabkan ketersediaan pangan dan air bersih yang di konsumsi kurang memadai, sehingga meningkatkan angka kematian dan kesakitan yang dialami oleh Orang Rimba.
Awal kasus ini, terjadi kematian pada salah satu anggota Kelompok Tumenggung Marituha di lokasi mereka tinggal di sekitar Wana Perintis. Tidak diketahui apa penyebab meninggalnya karena menurut Orang Rimba kematian terjadi secara mendadak.Selanjutnya terjadi kematian demi kematian di wilayah tempat mereka melangun yang mengharuskan mereka terus bergerak mencari daerah baru. Fasilitator kesehatan dan pendamping Orang Rimba, sudah berupaya untuk membawa orang rimba yang sakit berobat ke rumah sakit. Faktor biaya dan kultur budaya Orang Rimba menjadi kendala untuk mengatasi persoalan kesehatan Orang Rimba. Bagi Orang Rimba Rumah Sakit dengan berbagai aturannya dan tata caranya sangat merumitkan mereka, di samping juga biaya yang tidak sedikit yang harus dikeluarkan ketika ada yang sakit. Sehingga mereka tidak betah un-
ang jelajah Orang Rimba, diantaranya PT Wana Perintis, PT Malaka Agro Perkasa, PT Lestari Asri Jaya, PT Tebo Multiagro, PT Rimba Hutani Mas, PT Wira Karya Sakti, PT Diera Hutani Lestari, PT Mugi Triman, PT Jebus, PT Hijau Arta Nusa dan PT Gading Karya Makmur. Tak hanya itu, ruang hidup Orang Rimba juga beralih fungsi menjadi kawasan transmigrasi. Yaitu Singkut, Pemenang, Kubang Ujo, Hitam Hulu, Kuamang Kuning, Rimbo Bujang sampai Sitiung. Dalam pembangunan yang dilakukan ini, Orang Rimba cenderung diabaikan dan tidak diperhitungkan. Sehingga mereka hanya menjadi penerima dampak atas pembangunan yang berlangsung disekitar mereka. Orang Rimba pun gagap menyikapi perubahan yang berlangsung drastis, hutan yang menjadi tempat penghidupan lenyap dalam hitung tahun, sementara tidak ada persiapan yang memadai untuk mereka beralih mata pencaharian guna kelangsungan hidup mereka. Jika terus Orang Rimba diabaikan dalam proses pembangunan, maka ini sama artinya negara lalai terhadap hak-hak dasar kaum marginal, dan berperan dalam terjadinya kekerasan yang berujung kematian Orang Rimba. Untuk itu, harus ada program yang dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan, bukan hanya yang bersifat keproyekan dalam jangka pendek, sehingga orang rimba dapat hidup sejajar dengan kelompok di sekelilingnya. (Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
Dokter Dari Rumah Sakit Baratanata Jambi memeriksa kesehatan Orang Rimba pada kegiatan pengobatan massal di Kelompok Orang Rimba Terap yang tengah melangun. Foto: Irma Tambunan/Kompas Online ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
9
LAPORAN UTAMA
10
tuk berlama-lama, bahkan ketika berangsur pulih saja mereka sudah minta pulang. Ada juga yang baru sampai di IGD saja sudah pulang kembali karena melihat rumitnya berobat di rumah sakit. Kondisi ini menyebabkan kematian terus terjadi dan kembali melangun dalam waktu yang berdekatan. Ketersediaan pangan dan air bersih yang kurang serta lemahnya fisik Orang Rimba menyebabkan kematian semakin sering terjadi. Ketika sudah mencapai 11 orang meninggal kematian ini menghantui Orang Rimba. Ngelembo salah satu tokoh adat Orang Rimba meminta bantuan WARSI untuk mendatangkan lokoter ke kelompok Orang Rimba. WARSI sangat menyadari bahwa kondisi kesehatan Orang Rimba di kelompok ini sudah sangat buruk, sehingga pilihannya adalah meminta bantuan ke dokter di puskesmas terdekat mereka Melangun di Sungai Kemang yang secara administratif berada di Desa Olak Besar kecamatan Bathin XXIV Kabupaten Batanghari. Lokasi Melangun ini bisa diakses sekitar 1 jam berkendara roda dua dari Desa Hajran. Namun kalau menggunakan mobil jarak tempuh sekitar 2 jam dari Desa Kotoboyo, melewati perkebunan sawit dengan jalan penuh lumpur. Kalau hujan turun bisabisa malah menginap di jalan. Puskesmas Bathin XXIV yang dipimpin Dr Taqwin turun ke lapangan memeriksa kondisi kesehatan Orang Rimba. Dari pemeriksaan ini ditemukan tiga kasus indikasi gizi buruk, puluhan bronkopneumonia dan demam. Selain memberikan pengobatan gratis untuk yang kondisinya buruk di sarankan untuk berobat ke rumah sakit. Trauma dan juga kendala-kendala teknis menghambat Orang Rimba untuk bisa langsung ke rumah sakit. Butuh seminggu bagi mereka untuk memutuskan datang ke rumah sakit. Dengan didampingi oleh fasilitator kesehatan WARSI tiga anak rimba mendapat perawatan Rumah Sakit Bulian, yang ditempatkan di ruang isolasi pada zaal anak. Di ruangan paling ujung ini, dua anak rimba tergolek lemah dengan jarum infus menancap di tangan, seorang lagi menolak untuk di infus namun tetap di rawat. Selama lima hari anak-anak dari mendiang Bepak Merute (orang rimba yang meninggal pertama dalam kasus kematian beruntun pada kelompok orang rimba terap ini di rawat di rumah sakit). Meski belum sembuh benar lima hari di rawat sudah cukup panjang bagi mereka sehingga meminta untuk kembali ke rimba. Sementara kondisi Orang Rimba yang berada di tempat Melangunpun tak jua membaik, sebagian anak-anak terserang demam dan batuk rejan. Pengobatan Masal TNI-POLRI Dari Jambi Komandan Korem Garuda Putih dan Kepolisian Daerah Jambi turun ke lokasi, Danrem dan Kapolda Jambi datang dengan membawa bantuan pangan
LAPORAN UTAMA
dan obat-obatan plus tenaga medis yang melakukan pengobatan massal hari itu. Terdapat 101 pasien yang berobat dengan berbagai keluhan. Dari pasien yang diperiksa terdapat juga kasus dugaan busung lapar yang di derita oleh Mesinyo Bungo (4 tahun) anak Nawan dari kelompok Tumenggung Marituha. Dokter Adi Sawiran dari tim medis Bratanata Jambi yang turun dalam kegiatan ini menyebutkan kondisi anak yang mengalami busung lapar membutuhkan penanganan lebih lanjut. Apalagi bocah cilik ini, juga terindikasi menderita tuberkulosis. Nawan yang sebelumnya sudah kehilangan dua anaknya yang meninggal secara beruntun terlihat cemas, namun untuk memutuskan sendiri ia tak berani, sebelumnya awan pernah membawa dua anak yang lain ke rumah sakit namun tidak mendapatkan pelayanan yang layak dan akhirnya meninggal. Untuk kembali membawa anaknya ke rumah sakit harus di bicarakan dengan tetua adatnya. Nawan sangat ingin merawat anaknya yang sudah sejak 2 bulan ini menderita domom kuro (deman malam hari dan siang relatif turun) disertai batuk rejan. Tubuh bocah mungil yang tidak terbalut kain sehelai benang itu memperlihatkan tulang-tulang iganya yang menonjol, bibirnya pucat dan kering. Menurut Nawan pakaian yang pernah dipakainya semuanya sudah ditinggal bersama jenazah saudaranya yang sudah meninggal duluan. Bagi Orang Rimba, semua barang yang pernah digunakan oleh yang meninggal tidak boleh lagi digunakan dan harus ditinggalkan bersama jenazah yang sudah ditempatkan di tanah pasaron, yaitu bale-bale dari kayu dan ditutup dengan terpal sebagai atapnya. Butuh waktu bagi Nawan untuk memutuskan untuk membawa anaknya ke rumah sakit. Barulah setelah kunjungan Menteri sosial kelompok Orang Rimba Nawan dan lima anak rimba lainnya di rawat di Rumah Sakit Bulan. Berikutnya setiap anggota kelompok Orang Rimba yang dengan kondisi yang dianggap buruk di suruh tumenggungnya berobat keluar, sehingga lebih dari 34 orang rimba yang di rawat di rumah sakit sejak Maret-April 2015. Meski sudah di rawat namun korban masih juga jatuh, dua orang anak meninggal selama perawatan dan satu induk meninggal di lokasi melangun. Dengan ada yang meninggal di rumah sakit, Orang Rimba enggan untuk ke rumah sakit t tersebut. Pantang dalam budaya mereka mengunjungi tempat-tempat yang sudah disentuh oleh yang meninggal, akibatnya mereka meminta untuk dibawa ke Jambi, baik dengan kondisi kritis seperti anak Menti yang langsung di masukkan ke ruang ICU ketika sampai di rumah sakit Raden Mattaher, sedangkan yang demam dan bronkopneumonia di tempatkan di zaal anak.
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
Menteri Sosial melakukan audiensi dengan Orang Rimba yang sedang mengalami tragedi kematian beruntun di lokasi melangun. Foto: Sukmareni/dok: KKI WARSI
Kunjungan Menteri Sosial Tragedi kemanusiaan yang menimpa Orang Rimba mengusik Menteri Sosial. Ketika kasus ini mencuat, Menteri langsung memerintahkan stafnya menuju lokasi. Adalah Laode Taufik Nuryadin yang diutus untuk menemui Orang Rimba. Dalam kunjungannya ke lapangan, Laode melihat langsung kondisi Orang Rimba dan kedukaan yang mereka alami, juga masih menyaksikan bagaimana anggota kelompok ini masih berduka dengan adanya yang meraung—ini merupakan tradisi Orang Rimba ketika masih teringat dengan anggota kelompoknya yang meninggal dunia. Kemensos yang turun ke lapangan kepada wartawan yang menjumpainya usai dari lapangan mengakui kasus kematian yang menimpa Orang Rimba dan berjanji akan segera mendiskusikannya di pemerintahan untuk mencarikan solusinya. Selang sepekan dari kunjungan Laode, Menteri Sosial Kofifah Indar Parawansa turun langsung menemui Orang Rimba. Awalnya Menteri mewacanakan untuk memukimkan Orang Rimba, sebagaimana layaknya program pemerintah untuk kelompok
masyarakat yang dinamakan Komunitas Adat Terpencil (KAT). Namun setelah mendengar penjelasan dari para pihak, termasuk Kapolda dan Danrem yang lebih dahulu bertemu kelompok ini dan sempat membicarakan opsi pemukiman yang langsung ditolak komunitas ini. Pada pertemuannya langsung bersama Orang Rimba, salah satu solusi yang ditawarkan menteri adalah desa adat, sekaligus adanya alokasi lahan sehingga Orang Rimba bisa berbasis pertanian untuk menopang kelangsungan hidupnya. Menteri juga menegaskan harus ada satu bentuk pengakuan eksistensi Orang Rimba, yaitu dengan pengadministrasian mereka, sehingga pemerintah melakukan intervensi perlindungan sosial kepada Orang Rimba. Untuk itu menurut menteri pemerintah daerah harus pro aktif untuk melakukan pengadministrasian Orang Rimba sehingga program-program pemerintah untuk menanggulangi masalah-masalah Orang Rimba bisa diatasi. Untuk krisis pangan bisa diatasi dengan adanya program Kartu Indonesia sehat, Kartu keluarga Sejahtera dan Kartu Indonesia Pintar. (Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
11
LAPORAN UTAMA
Wana Perintis dan Perjuangan Hak Kelola Orang Rimba
rekomendasikan pencabutan izin PT Wana Perintis. Sayangnya rekomendasi ini tidak ditindak lanjuti oleh pihak-pihak terkait, terutama Departemen kehutanan waktu itu selaku pemberi izin. Di pihak Wana Perintis sendiri, perusahaan ini seolah mati suri, tidak melakukan kegiatan apapun. Sehingga untuk sementara Orang Rimba tetap bisa nyaman hidup di kawasan ini. Sampailah pada tahun 2010, bencana itu datang. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan lahan terlantar. PP ini menegaskan bahwa kawasan yang sudah mendapat izin jika tidak dikelola sesuai dengan rencana kerjanya maka akan dianggap tanah terlantar dan kemudian akan dikembalikan kepada negara. Warning pengembalian tanah ini ke negara, seolah membangunkan Wana Perintis dari tidur panjangnya. Perusahaan yang dimiliki oleh taipan Jambi ini segera berbenah dengan menggandeng Incasy Raya, perusahaan ini segera tancap gas mengelola kawasan yang sebelumnya hanya di buka 200 hektar. Alat-alat berat segera sampai ke lokasi ini, hutan nan rimbun segera saja bertumbangan, hewan-hewan yang hidup di dalamnya yang menjadi pasokan protein Orang Rimba ikut menghilang.
Hutan yang menjadi tempat hidup Orang Rimba Terap sudah berubah menjadi perkebunan karet yang dikelola PT Wana Perintis. Foto: Ade Chandra/dok. KKI WARSI
P
erusahaan Wana Perintis sejatinya mendapatkan SK dari Departemen Kehutanan pada 18 Desember 1996 melalui surat No. 781/Kpts-II/1996, dengan areal konsesi 6.900 ha yang berada di dua kabupaten yaitu Sarolangun dan Batanghari. Di kawasan ini sewaktu izin diterbitkan masih terdapat tutupan hutan yang baik. Di dalam konsesi ini jugalah Orang Rimba hidup dan berpenghidupan terutama Orang Rimba kelompok Tumenggung Marituha, Nyenong, Ngamal dan Ngirang yang biasa juga disebut kelompok Orang Rimba Terap dan Serengam. Kehadiran perusahaan di wilayah ini tentu meresahkan Orang Rimba. Sebagai kelompok masyarakat dengan pola berburu dan meramu, Orang Rimba butuh ruang yang luas sebagai wilayah jelajah mereka. Sebelumnya mereka sudah dihantui dengan perubahan ruang hidup menjadi berbagai peruntukan. Untungnya waktu itu konsesi HTI tak kunjung melakukan aktivitasnya, sehingga masih ada peluang Orang Rimba untuk menyelamatkan hutan yang menjadi rumah mereka. WARSI yang mendampingi Orang Rimba juga berjuang untuk mendapatkan dukungan supaya kawasan hidup Orang
Rimba ini tetap ada, dan tidak perlu lagi ada penghilangan paksa hutan di wilayah ini. Hampir beriringan di kawasan ini muncul perlahan perkebunan sawit atas nama PT Jambi Agro Wiyana (JAW), PT Era Mitra Agro lestari (EMAL) dan PT Sawit Desa Makmur (SDM). Sedari dahulu kawasan-kawasan ini sudah menjadi ruang jelajah Orang Rimba Terap dan Serengam. Kawasan yang diberikan pada PT Wana Perintis merupakan blok hutan tersisa di kawasan itu yang jauh sebelumnya sudah menjadi tempat hidup Orang Rimba. Dalam studi Kebijakan Dalam Pemanfaatan Ruang dan Sumberdaya yang dilakukan WARSI, Universitas Jambi dan Bappeda Kabupaten Batanghari, pada 2003, terlihat bahwa blok hutan tersisa yang diberikan ke Wana Perintis memegang peranan penting untuk kelangsungan hidup Orang Rimba, juga untuk masyarakat desa sekitarnya. Di Bagian utara daerah ini merupakan kawasan hidup Orang Rimba, di bagian lain merupakan kawasan kelola masyarakat desa sekitarnya yang sudah berlangsung sejak lama, jauh sebelum diberikan kepada Wana Perintis. Untuk mengurai persoalan ini dan konflik yang akan muncul maka dari studi ini me-
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
Kepanikan melanda Orang Rimba, hutan yang menjadi rumah mereka bertumbangan. Kayu-kayu kemudian dikelompokkan dan diangkut keluar kawasan. Berikutnya alat berat bekerja, akar-akar pohon digulingkan. Hamparan hijau berganti dengan gundukan tanah kuning. Kala hujan tiba air sungai berwarna kuning, sangat tak layak untuk dikonsumsi oleh Orang Rimba. Kala kemarau hawa panas menyergap dan kadang kala tiupan angin terasa sangat kencang. Orang Rimba tidak tinggal diam, menuntut perusahaan menghentikan aktivitasnya, di kawasan yang mereka klaim sebagai wilayah jelajah mereka. Ada banyak hal yang menjadi penanda kawasan hutan yang menjadi areal konsesi Wana Perintis sebagai wilayah adatnya Orang Rimba, diantaranya tanah pasaron yaitu tanah yang diperuntukkan oleh Orang Rimba untuk menempatkan anggota keluarga mereka yang meninggal. Agak ke timur terdapat tanah peranoon yaitu tanah yang dijadikan sebagai tempat mengubur ari-ari bayi yang ditandai dengan pohon sentubung yang menjadi perlambang kehidupan Orang Rimba. Namun perusahaan seolah tak peduli, mereka bergerak cepat, terus bekerja merubuh pohon-pohon yang menjadi sandaran hidup Orang Rimba. Perusahaan berkukuh bahwa mereka memiliki legalitas atas lahan yang dikelola. Orang Rimba juga kukuh tak mau beranjak, mereka tetap bertahan di kawasan tersebut. Perusahaan kemudian menyisakan sedikit hutan yang klaim Orang Rimba dalam bentuk spot-spot kecil di dua lokasi, luas-
nya masing-masing tak sampai seperempat hektar. Ya hanya untuk pasaron dan peranoon. Sejatinya menurut perhitungan orang Rimba hutan yang harus dilindungi untuk wilayah penghidupan mereka mencapai 300 ha yang menghubungkan tanah peranoan dan pasaron. Keadaan semakin runyam, ketika Nyenong membuka ladang untuk menanam ubi kayu dan tanaman kebutuhan lainnya. Tak luas, hanya sekitar 2 ha lahan yang dikelolanya secara tradisional. Nyenong langsung ditegur pekerja perusahaan, yang melarangnya beraktivitas di wilayah itu karena disebut sebagai lahan perusahaan. Nyenong bingung dengan larangan perusahaan, di satu sisi hutan yang selama ini menjadi wilayah penghidupan mereka di buka secara luas oleh perusahaan, di sisi lain mereka berladang secara tradisional di larang. Tak berhenti sampai di situ pihak perusahaan juga mengadukan pembukaan ladang oleh Orang Rimba ke Dinas Kehutanan Batanghari. Hampir berbarengan dengan ini, klaim tanah peranoan Orang Rimba yang semula sudah di kotak perusahaan, tiba-tiba di rusak oleh orang lain. Pohon-pohon di dalam kotak tanah peranoan pun di tumbang. Orang Rimba semakin tidak terima dengan intimidasi yang terjadi. WARSI yang diminta bantuan oleh Orang Rimba berusaha menjembatani masalah ini ke Dinas Kehutanan Batanghari. Dari Dinas Kehutananpun bersedia untuk menjembatani persoalan ini dengan mengajak Orang Rimba bermediasi dengan perusahaan. Namun sayangnya dalam pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan dinas dengan mengundang kedua belah pihak, tidak kunjung dapat kata sepakat. Orang Rimba berharap kemitraan Dengan bertemu dengan dinas kehutanan, salah satu solusi yang memungkinkan adalah kemitraan lahan antara Orang Rimba dan Perusahaan. Kemitraan secara legal diatur dalam Peraturan Menteri kehutanan No 39 tahun 2013 tentang pemberdayaan masyarakat setempat melalui kemitraan kehutanan. Permenhut ini, menyebutkan kewajiban perusahaan untuk mengakomodir masyarakat yang berada di lokasi apalagi menggantungkan hidupnya pada wilayah kawasan tersebut dengan pola kemitraan yaitu sebesar 5 persen dari luas konsesi perusahaan. Orang Rimba sendiri mengajukan untuk mendapatkan lahan seluas 2 ha per rumah tangga. Orang Rimba meminta lahan yang dimitrakan merupakan kebun karet yang sudah berumur 3 tahun, termasuk tanah pasaron dan pasaron Orang Rimba. Kawasan ini mempunyai nilai histori dengan Orang Rimba.Luasan yang klaimpun di negosiasikan dari 300 ha awalnya hingga disepakati menjadi 114 ha.Lokasi lahan yang diminta ini menempel
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
13
LAPORAN UTAMA
14
Mencari Formula Menyelesaikan Persoalan Orang Rimba
M
enteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya terlihat serius mendengarkan keluhan dan keinginan Orang Rimba yang tinggal di kawasan konsesi Malaka Agro Perkasa (MAP) yang berada di wilayah Kabupaten Bungo, pada kunjungannya bersama Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg pada pertengahan April lalu. Di konsesi MAP seluas 24.485 ha terdapat empat kelompok Orang Rimba yaitu Rombong Salim, Bujang Tampui, Badai dan Bujang Putih yang berjumlah 36 Kepala rumah Tangga dengan 137 jiwa. Sebelumnya mereka hidup dengan mengandalkan berburu dan meramu hasil hutan. Namun sejak perusahaan hadir pada 2008 kawasan hidup Orang Rimba seketika berubah. Badai salah satu ketua kelompok menyampaikan kehadiran perusahaan sudah menghilangkan sumber penghidupan mereka, hewan buruan menjadi sulit, disertai dengan menghilangnya hasil-hasil hutan yang selama ini menjadi andalan kehidupan mereka. Untuk itulah perlahan komunitas ini mulai untuk memulai
Pendidikan merupakan salah satu jalan untuk Orang Rimba bisa setara dengan kelompok masyarakat lainnya. Fasilitator WARSI tengah memberikan pelajaran untuk anak-anak rimba kelompok Terap. Foto Aulia Erlangga/dok. KKI WARSI
dengan kawasan konservasi perusahaan sejumlah 10 persen dari areal konsesi yang memanjang dari utara ke selatan. Dengan cara ini Orang Rimba berharap mereka bisa mengelola lahan tersebut yang akan menjadi salah satu sumber ekonomi mereka di masa yang akan datang, dan juga berdekatan dengan kawasan hutan. Namun sayangnya permintaan Orang Rimba ini tidak disepakati perusahaan. Perusahaan berdalih mereka akan memberikan lahan, namun bukan di wilayah yang di klaim Orang Rimba. Musibah Krisis Pangan Dan Kematian Orang Rimba Tragedi kemanusiaan yang menewaskan Orang Rimba secara beruntun di kelompok Orang Rimba Terap dan Serangam, seolah baru mampu membuka mata para pihak, tentang kemarginalan dan keterdesakan Orang Rimba dari sumber daya yang seharusnya mendukung kehidupan mereka. Jumlah kematian yang hingga kini mencapai 14 orang yang kemungkinan disebabkan krisis pangan dan air bersih serta kemudian daya tahan tubuh yang lemah, sehingga menyebabkan Orang Rimba kelompok ini sangat rentan terserang berbagai penyakit.
peralihan kehidupan mereka menjadi sistem pertanian. Memungut anakan karet di kebun orang lain kemudian belajar menanamnya. Hanya saja, Orang Rimba tidak memiliki kepastian kepemilikan lahan yang diakui baik oleh negara maupun oleh pihak lain yang mendapat konsesi di areal kawasan jelajah Orang Rimba. Sedangkan Heri ketua rombongan kelompok Salim menyebutkan sejak lama mereka sudah sangat ingin hidup menetap dengan berbasis pertanian. Namun persoalannya terkendali dengan ketidaktersediaan lahan untuk pertanian. “Kami sangat kuatir masa depan anak-anak kami ke depan, kami sangat ingin anak kami juga bisa bersekolah, sehingga mereka bisa hidup lebih baik lagi nantinya. Tidak seperti kami yang masih sulit, untuk berburu hutan sudah habis, untuk bertani kami tidak punya lahan, tolonglah bantu kami ibu,” pinta Heri di hadapan Menteri. Menanggapi ini, Menteri LHK menyebutkan pihaknya akan konsen untuk mengurai persoalan-persoalan
Kematian ini mengundang simpati para pihak. Kunjungan ke lokasi Orang Rimba memperlihatkan bagaimana Orang Rimba merupakan kelompok yang paling rentan mengalami berbagai persoalan. Kondisi ini yang kemudian mendorong para pihak untuk mencarikan solusi ke depan sehingga Orang Rimba bisa hidup lebih baik menurut versi mereka, paling tidak hak-hak dasar mereka bisa terpenuhi. Untuk mengurai persoalan kemarginalan ini, para pihak mendorong untuk adanya hak atas lahan untuk Orang Rimba, sehingga mereka hidup dengan berbasis lahan dan memiliki sumber pendapatan yang jelas untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka di masa yang akan datang. Untuk itu klaim lahan Orang Rimba di Wana Perintis menjadi salah satu solusi. Atas dukungan dari Menteri Sosial dan Menteri kehutanan, klaim lahan Orang Rimba ini memperlihatkan titik terang. Pihak perusahaan akhirnya bersedia untuk mengalokasikan lahan seluas 114 ha yang diambilkan dari angka 5 persen dari lahan yang sudah di buka dan ditanami lebih kurang 2300 ha. Pihak perusahaan berjanji akan menyerahkan lahan sekaligus membantu Orang Rimba untuk perawatan dan mengelola kebun, dengan syarat nanti kalau karetnya sudah menghasilkan Orang Rimba menjual hasilnya ke pihak perusahaan. Untuk teknis penyerahannya masih akan di bicarakan lebih lanjut. (Sukmareni/Ade Chandra)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
Secara kewilayahan Orang Rimba tidaklah terlalu sulit untuk diakses, mereka sudah bersentuhan langsung dengan masyarakat umum sejak lama, hanya saja pengakuan hak-hak dasar pada Orang Rimba masih sangat lemah. Foto Aulia Erlangga/ dok. KKI WARSI. ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
15
LAPORAN UTAMA
16
yang disampaikan orang rimba. “Kita sudah dengar tadi permasalahan-permasalahan yang disampaikan Orang Rimba. Orang Rimba ingin agar mereka juga bisa sejahtera. Pada dasarnya guna pemerintah adalah memberikan akses kesejahteraan material, pemerintah berkewajiban menyediakan akses menuju kesejahteraan material,” sebut Siti Nurbaya. Dijelaskannya pemerintahan sekarang fokus pada upaya-upaya untuk membuka akses guna mensejahterakan masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan. “Melalui kebijakan perhutanan sosial dan perhutanan rakyat, yang jelas persoalan ini akan menjadi perhatian kita dan akan mencari solusi untuk penyelesaiannya,” sebut Menteri. Hanya saja bagaimana formulanya, Menteri berjanji akan mencarikan formulasi yang tepat. “Orang Rimba berbeda-beda, setiap kelompok banyak perbedaan sehingga pendekatannya juga harus berbeda sesuai dengan apa yang mereka harapkan,” sebut Menteri. Disebutkan menteri, sudah ada negosiasi negosiasi di semua kepentingan, setidaknya ada aturan setiap perizinan mengalokasikan lahan 20 persen yang bisa dimitrakan dengan masyarakat di dalam dan sekitarnya. “Sudah ada istilah plasma, hutan desa, hutan kemasyarakatan, tapi apakah model ini disetujui? Maka harus dikembangkan lagi mencari model-model yang bisa diterima semua pihak,” sebut Siti. Kunjungan Siti Nurbaya ke kelompok Orang Rimba, merupakan bagian untuk melihat pengelolaan sumber daya alam di daerah. Dalam kunjungan ini Menteri kehutanan sekaligus mendampingi Perdana Menteri Norwegia yang sedang melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Terkait kunjungan ini Menteri menjelaskan bahwa Indonesia dan Norwegia ada kerja sama penurunan emisi karbon dari sektor lahan yang ditandai
LAPORAN UTAMA
dengan adanya Letter of Intent (LoI) yang sudah ditandatangani pada 2011 silam. Dari LoI ini, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon dan pemerintah Norwegia akan membantu dalam hal pendanaannya. Selain mengunjungi Orang Rimba, PM Norwegia dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga menyinggahi Desa Senamat Ulu, Kecamatan Bathin III Ulu. Dipilihnya wilayah ini sebagai lokasi kunjungan kenegaraan ini karena kelompok masyarakat yang hidup di wilayah ini telah melakukan pengelolaan sumber daya alam secara lestari dan berkelanjutan yang merupakan salah satu kekuatan dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Konsep pengelolaan sumber daya alam di Senamat dan desa-desa sekitarnya menerapkan skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Dengan pola ini, masyarakat telah mengatur pengelolaan kawasan sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. Di bagian Hulu ada Taman Nasional Kerinci Seblat, kemudian di bagian bawah daerah penyangga di kelola dengan skema Hutan Adat dan Hutan Desa, selanjutnya adalah pengelolaan kawasan agroforest karet yang secara fungsi mirip dengan hutan alam. Selanjutnya kebun-kebun masyarakat yang dikelola dengan intensif dengan tanaman campuran serta selanjutnya areal persawahan. “Konsep pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan masyarakat batin III Ulu, secara umum sudah menerapkan pengelolaan sumber daya alam yang memberikan manfaat langsung pada masyarakat dari semua segi kehidupan, secara ekonomi pengelolaan ini memberi manfaat ekonomi berlapis yang bisa diambil masyarakat dalam satu kurun waktu tertentu. Dari segi sosial, mampu mendukung kehidupan yang berkelanjutan, serta dari segi lingkungan sangat membantu untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim,”sebut Direktur WARSI Diki Kurniawan. (Sukmareni)
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama Perdana Menteri Norwegia mendengarkan permintaan Orang Rimba yang tinggal di dalam konsesi Malaka Agro Perkasa. Foto Heriyadi/dok. KKI WARSI
Sejak puluhan tahun lalu, pemerintah sudah mengadakan program perumahan untuk Komunitas Adat Terpencil (KAT) termasuk Orang Rimba, namun sayangnya program ini belum berjalan lancar salah satunya belum diiringi dengan penambahan keterampilan pertanian dan ketersediaan lahan untuk mereka. Foto Aulia Erlangga/dok. KKI WARSI
Hak Konstitusional Orang Rimba
K
ematian beruntun Orang Rimba Terap dan Serenggam menjadi catatan buruk di tahun 2015 ini. Berdasarkan Catatan KKI WARSI dari Desember 2014 sampai Awal April 2015 terdapat 14 orang meninggal akibat krisis pangan dan air bersih yang menyebabkan orang rimba sangat mudah terkena penyakit. Kondisi ini semakin mempertegas bahwa kondisi Orang Rimba sudah terdesak dan terancam karena sumber penghidupan Orang Rimba sudah hilang. Saat ini Orang Rimba banyak yang terkatung-katung hidup di sekitar jalan lintas Sumatera di bawah kebun sawit dan karet yang minim ketersediaan bahan pangan. Hal ini disebabkan masifnya ekspansi besar-besaran berupa HPH, HTI, HGU, pertambangan dan maraknya kegiatan Illegal Loging, sehingga Hutan mengalami degradasi dan deforestasi. Akibatnya sumber penghidupan Orang Rimba yang sangat bergantung kepada hutan menjadi raib akibat ulah manusia yang serakah tanpa memperhatikan fungsi ekologi dan hak konstitusional Orang Rimba. Di samping kematian, puluhan Orang Rimba keluar masuk rumah sakit mendapat perawatan akibat penyakit yang dideritanya. Jika kondisi ini tetap berlanjut nis-
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
caya Orang Rimba semakin terancam keberadaannya dan menjadi suku yang tergusur dan terlunta-lunta di tanahnya sendiri serta lambat laut akan mengalami etnocide cultural. Seputar HAM Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak dasar atau hak pokok yang dimiliki manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa sejak lahir, maka tidak seorang pun dapat mengambilnya atau melanggarnya. Kita harus menghargai anugerah ini dengan tidak membedakan manusia berdasarkan latar belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin, pekerjaan, budaya, dan lain-lain. Namun perlu diingat bahwa dengan HAM bukan berarti dapat berbuat semena-mena, karena manusia juga harus menghormati HAM lainnya. Ada 3 (tiga) HAM yang paling fundamental (pokok), yaitu Hak Hidup (life), Hak Kebebasan (liberty) dan Hak Memiliki (property). Ketiga hak tersebut merupakan hak yang fundamental dalam kehidupan sehari-hari. Adapun macam-macam HAM dapat digolongkan sebagai berikut :
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
17
LAPORAN UTAMA
18
a.Hak asasi pribadi, yaitu hak asasi yang berhubungan dengan kehidupan pribadi manusia. Contohnya : hak beragama, hak menentukan jalan hidup, dan hak bicaara. b.Hak asasi politik, yaitu yang berhubungan dengan kehidupan politik. Contohnya : hak mengeluarkan pendapat, ikut serta dalam pemilu, berorganisasi. c.Hak asasi ekonomi, yaitu hak yang berhubungan dengan kegiatan perekonomian. Contohnya: hak memiliki barang, menjual barang, mendirikan perusahaan/berdagang, dan lain-lain. d.Hak asasi budaya, yaitu hak yang berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat. Contohnya : hak mendapat pendidikan, hak mendapat pekerjaan, hak mengembangkan seni budaya, dan lain-lain. e.Hak kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, yaitu hak yang berkaiatan dengan kehidupan hukum dan pemerintahan. Contohnya : hak mendapat perlindungan hukum, hak membela agama, hak menjadi pejabat pemerintah, hak untuk diperlakukan secara adil, dan lain-lain. f.Hak untuk diperlakukan sama dalam tata cara pengadilan. Contohnya : dalam penyelidikan, dalam penahanan, dalam penyitaan, dan lain-lain. HAM mutlak melekat pada setiap manusia begitu juga Orang Rimba sebagai bagian dari NKRI. Pemenuhan HAM Orang Rimba merupakan kewajiban Negara sebagai konsekuensi kehidupan bernegara. Ancaman Berdasarkan catatan KKI WARSI saat ini populasi Orang Rimba sebanyak 3.800 jiwa yang hidup terbatas di tiga kelompok besar kawasan hutan Jambi. Sebanyak 1.700 jiwa bermukim di kawasan TNBD, 450 jiwa di selatan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) dan sisanya jiwa hidup terpencar di sepanjang jalan lintas tengah Sumatera (dari Jambi sampai perbatasan Sumatera Barat dan Sumatera Selatan). Sejatinya keberadaan Orang Rimba dengan hutannya merupakan aset bagi Pemerintah Indonesia khususnya Provinsi Jambi. Secara sosial budaya Orang Rimba masih menjaga nilai-nilai adatnya sehingga menjadi perhatian dunia internasional. Walaupun dalam perkembangannya Orang Rimba mengalami perkembangan sebagai konsekuensi terjadinya interaksi langsung yang intens baik dengan orang desa, perusahaan dan pemerintah serta LSM. Berkurangnya keberadaan hutan sebagai rumah bagi Orang Rimba menyebabkan interaksi dengan pihak luar tidak dapat dielakan lagi. Hal hasil Orang Rimba cenderung mengalami diskriminasi, bahan ejekan dan di bodoh-bodohi pihak luar yang mencoba mengambil keuntungan dari kondisi Orang Rimba.
LAPORAN UTAMA
Orang Rimba tidak hanya mengalami perubahan sosial tetapi juga perubahan pola hidup khususnya Orang rimba yang berdiam di sekitar jalan lintas Sumatera Tengah. Hal ini disebabkan karena hutan sudah habis sehingga Orang Rimba survival di antara hutan tanaman industri, kebun sawit dan karet serta transmigrasi. Biasanya orang rimba berburu dan meramu di hutan sekarang sudah tidak bias lagi karena hutan sudah mengalami kerusakan. Hal hasil Orang rimba mau tidak mau menyesuaikan diri dan berjuang untuk tetap hidup di tengah krisis Sumber Daya Alam (SDA). Begitu juga di daerah di daerah sekitar TNBD dan TNBT yang mulai terpengaruh praktik illegal loging dan jual beli lahan. Hal ini tentunya akan merusak tatanan kehidupan Orang Rimba. Sejatinya Negara harus tegas untuk melindungi keterdesakan Orang Rimba. Derita yang dialami Orang Rimba tidak hanya persoalan hilangnya SDA untuk hidup, rusaknya nilai-nilai sosial budaya tetapi juga keterancaman hak hidup Orang Rimba akibat konflik yang terjadi. Di samping itu diskriminasi rasial terhadap Orang Rimba kerap terjadi. Perlakuan kasar, pembodohan, dijadikan kambing hitam, dan pengusiran Orang Rimba kerap terjadi. Hal hasil konflik tidak dapat di elakan dan yang paling dirugikan justru Orang Rimba Sendiri. Pemenuhan Hak Konstitusional Instrument hukum baik nasional maupun internasional mengakui dan melindungi hak Masyarakat Hukum Adat atau suku asli. Dalam Instrumen hukum internasional telah banyak yang mengatur hak-hak suku asli, salah satunya adalah United Nation Declaration on The Rights of Indigenous People (UNDRIP) pada September 2007 yang menjadi standar minimum pemenuhan hak-hak masyarakat asli dan telah dipraktekan oleh banyak negara. Hak masyarakat asli atas sumber daya alam (sda) merupakan salah satu hak yang diatur oleh UNDRIP. Oleh karena itu Negara seharusnya mengenali, menghormati dan melindungi hak kelompok suku asli terutama adalah hak atas tanah, wilayah atau teritori beserta sumber daya alam yang dipunyai sebagai bagian dari pengakuan hak azasi manusia mereka. Begitu juga dalam hukum nasional secara tegas mengakui dan memberikan perlindungan terhadap MHA atau suku asli di Indonesia. Konsekuensinya Negara sebagai penyandang kewajiban dalam pemenuhan Hak Konstitusional, khususnya Orang Rimba mau tidak mau harus bergerak aktif. Tanggung jawab konstitusional ini termatub dalam 18B ayat (2) UUD 1945 mengatakan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
Orang Rimba berjuang untuk bisa hidup menjadi lebih baik, salah satunya dengan mencoba hidup berbasis pertanian. Foto Aulia Erlangga/ dok. KKI WARSI.
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Begitu juga pasal 28I ayat (3) menegaskan, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman. Sedangkan dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 Tentang HAM mengatakan: identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hal atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Di samping itu harus ada affirmative action (perlakuan khusus) Negara dalam pemenuhan HAM Orang Rimba. Hal ini dikarenakan Orang Rimba sebagai suku asli yang marjinal secara faktual memiliki kondisi dan situasi berbeda dengan warga biasa lainnya. Hal ini sesuai dengan Pasal 5 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Selanjutnya
Pasal 6 menyatakan bahwa dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Terlepas dari perdebatan penamaan atau istilah suatu komunitas, ada yang mengatakan Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Adat, Komunitas Adat Terpencil, Persekutuan Masyarakat Adat, Suku Asli Marjinal dan Masyarakat Tradisional, yang jelas Orang Rimba merupakan bagian dari warga negara Indonesia yang memiliki kearifan lokal dan identitas tersendiri sebagai suka asli yang harus dihormati, dilindungi, ditegakan dan dipenuhi hak konstitusionalnya. Artinya jika negara sebagai pemangku kewajiban HAM lalai dalam memenuhi hak konstitusional Orang Rimba dan mengeluarkan kebijakan yang dapat menyebabkan hilangnya ruang hidup bahkan sampai meninggalnya Orang Rimba merupakan suatu pelanggaran HAM. (Ilham Kurniawan Dartias)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
19
20
LAPORAN UTAMA
21
Selamatkan Gambut dan Cegah Kebakaran
H
utan gambut tropis dan lahan gambut yang mengalami deforestasi dan pembakaran potensial untuk mengeluarkan emisi karbon dalam jumlah besar yang akan mempengaruhi proses perubahan iklim. Hooijeretal, (2010) menyebutkan bahwa emisi CO2 dari lahan gambut dan alih guna lahan hutan menyumbang lebih dari setengah total emisi Indonesia. Data dan informasi lapangan yang tersedia dan juga survei udara (airborne dan penginderaan satelit) menunjukkan bahwa kombinasi dari kegiatan manusia seperti pembukaan lahan, penebangan liar, pengeringan lahan gambut, hingga pembakaran lahan gambut akan menyebabkan terjadinya perubahan tutupan lahan di lahan gambut (Putra etal. 2008). Selain itu, hasil kajian lainnya menyebutkan bahwa gambut merupakan kontributor terbesar (85%) terhadap total emisi Jambi bersama sektor kehutanan. Jika tidak terdapat perubahan dalam cara pengelolaan pada sektor ini, emisi GRK dari gambut akan meningkat. Sebagai contoh untuk Jambi yang juga memiliki kawasan gambut cukup luas, emisi akan meningkat hingga 30% hingga tahun 2030, jika pengelolaan gambut berlangsung sebagaimana biasanya, Sebaliknya, jika upaya konservasi lahan gambut dilakukan, diperkirakan berkontribusi sebesar 48% terhadap pengurangan emisi GRK.
Setengah dari luasan gambut tropika berada di Indonesia, menjadikan gambut Indonesia menjadi isu sentral yang harus dijaga keberadaannya. Keberadaan hutan gambut tropis yang sangat penting, tidak hanya berfungsi untuk pelestarian sumberdaya air, peredam banjir, mitigasi perubahan iklim jangka panjang (pencegah intrusi air laut), pendukung berbagai kehidupan keanekaragaman hayati, namun juga memegang fungsi sangat vital sebagai pengendali iklim melalui kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan karbon. Tanah gambut menyimpan karbon jauh lebih besar dari pada tanahtanah mineral. Semakin tebal lapisan gambut, semakin besar pula cadangan karbon di dalamnya. Foto: Aulia Erlangga
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
Kebakaran hutan dan gambut saat ini telah menjadi bencana tahunan di Indonesia yang menjadi ancaman serius terhadap keberadaan dan kelestarian gambut. Pembukaan lahan dengan membakar terus menerus dilakukan oleh masyarakat ataupun perkebunan skala kecil, menengah dan besar, dan menimbulkan bencana kebakaran hebat dimana-mana. Gambut yang telah rusak dan terbakar sangat sulit dipulihkan, dan gambut yang telah terbakar sangat rentan kembali terbakar. Hal ini harus menjadi perhatian serius semua pihak sehingga perlindungan gambut terhadap kebakaran harus menjadi prioritas. Tacconi (2003) memperkirakan valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon akibat kebakaran hutan dan gambut di Indonesia mencapai US $ 2,8 milyar.
Meskipun demikian, kerugian yang diderita akibat kebakaran hutan dan gambut tersebut kemungkinan jauh lebih besar lagi karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia belum diperhitungkan. Kerugian tersebut mencakup kerusakan yang terkait dengan kebakaran seperti kayu, kematian pohon, HTI, kebun, bangunan, biaya pengendalian dan sebagainya serta biaya yang terkait dengan kabut asap seperti kesehatan, pariwisata dan transportasi. Terjadinya kebakaran hutan lebih banyak disebabkan dari kegiatan manusia daripada faktor alam. Menurut Saharjo (1999), kebakaran hutan/lahan di Indonesia umumnya (99,9%) disebabkan oleh manusia, baik disengaja maupun akibat kelalaiannya. Sedangkan sisanya (0,1%) adalah karena alam. Beberapa penyebab kebakaran yang disebabkan oleh manusia diantaranya konversi lahan, pembakaran vegetasi, aktivitas dalam pemanfaatan sumber daya alam, pembuatan kanal-kanal/saluran-saluran di lahan gambut dan penguasaan lahan. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup besar mencakup kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global dan asapnya mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan udara. Gangguan asap karena kebakaran hutan Indonesia akhir-akhir ini telah melintasi batas negara. Kebakaran lahan dan hutan dapat disebabkan oleh penguasaan lahan, alokasi penggunaan lahan, insentif dan disinsentif ekonomi, degradasi hutan dan lahan, dampak dari perubahan karakteristik kependudukan serta lemahnya kapasitas kelembagaan. Walaupun berbagai upaya pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan telah dilakukan termasuk mengefektifkan perangkat hukum (undang-undang, PP, dan SK Menteri sampai Dirjen), namun belum memberikan hasil yang optimal. Sejak kebakaran hutan yang cukup besar tahun 1997/98 yang te-
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
22
23
tertentu (Pearce 1992). Penilaian bersifat relatif sebagai bentuk apresiasi dan penghargaan atas manfaat atau kegunaan suatu barang dan jasa. Pearce (1992) menyebutkan bahwa nilai manfaat atau kegunaan jasa suatu ekosistem dapat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu: nilai guna langsung (directusevalue), nilai guna tidak langsung (indirectusevalue), nilai pilihan (optionvalue), nilai keberadaan (existancevalue) dan bukan nilai guna lainnya (othernon-usevalue).
Kanalisasi lahan gambut, salah satu penyebab mudahnya gambut mengalami kebakaran. Foto: Aulia Erlangga/dok. KKI WARSI
lah menghanguskan hutan seluas 11,7 juta hektar, intensitas kebakaran hutan makin sering terjadi dan sebarannya makin meluas. Untuk mengetahui dampak kebakaran gambut dari berbagai segi, maka WARSI bekerjasama dengan fakultas Kehutanan Institute Pertanian Bogor telah melakukan Studi Valuasi Dampak Kebakaran Gambut di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, dan Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan adalah pengenaan nilai moneter terhadap sebagian atau seluruh potensi sumberdaya alam sesuai dengan tujuan pemanfaatannya. Valuasi ekonomi sumber daya alam dan lingkungan yang dimaksud adalah nilai ekonomi total (total net value), nilai pemulihan kerusakan/pencemaran serta pencegahan kerusakan/pencemaran. Nilai kerugian ekonomi meliputi kehilangan nilai manfaat tangible (tegakan kayu hutan, hasil hutan non kayu, sumberdaya genetik, rekreasi, fungsi ekologi, keanekaragaman hayati, perosot (emisi) karbon dan kesehatan) dan kehilangan nilai manfaat intangible (hidrologi, biodiversity, pengendalian erosi, pembentukan tanah, siklus hara dan penguraian limbah). Penilaian (valuation) atau valuasi adalah penentuan atau penggunaan manfaat suatu barang atau jasa berdasarkan metode tertentu, individu atau kelompok orang tertentu, tempat tertentu dan waktu
Tujuan dilakukanya studi ini adalah menghitung secara ekonomi (valuasi) dampak dari kebakaran hutan, melakukan kajian peruntukan ruang atau lahan hutan terkait dengan berbagai opsi pengelolaan gambut berkelanjutan, dan memetakan wilayah rawan kebakaran di ketiga kabupaten lokasi studi. Hasil yang diharapkan dari studi ini adalah dokumen hasil studi valuasi nilai ekonomi total dari kerusakan fungsi ekologis hutan pasca kebakaran hutan, adanya hasil kajian peruntukan ruang atau lahan hutan terkait dengan berbagai opsi pengelolaan gambut berkelanjutan dan tersedianya peta wilayah rawan kebakaran di tiga kabupaten studi. Studi yang dilakukan ini diharapkan juga memberi masukan kepada para pihak untuk terlibat bersama dalam mendukung pengelolaan gambut yang berkelanjutan dan melakukan langkah-langkah untuk menghindarkan gambut dari kebakaran. Ini juga sejalan dengan upaya pemerintah untuk terlibat aktif dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan gambut yang terus terulang sejak beberapa tahun belakangan. Belum lama ini menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Situ Nurbaya mengadakan rapat koordinasi Rencana Aksi Upaya Kesiapsiagaan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan 2015 di Kantor Gubernur Jambi. Dalam rapat koordinasi ini menteri menyebutkan pemerintah berkomitmen untuk menindak tegas pelaku pembakaran lahan dan gambut yang telah menimbulkan banyak kerugian di tengah masyarakat. (Laporan Akhir Studi Valuasi Dampak Kebakaran Gambut di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, dan Muaro Jambi, Provinsi Jambi 2014).
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
Kebakaran Gambut Sebabkan Kerugian Rp 44,7 Triliyun
D
ari Studi valuasi yang dilakukan WARSI dan IPB, kebakaran lahan gambut yang terjadi di tiga kabupaten di Provinsi Jambi, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung dan Muara Jambi berpotensi menimbulkan kerugian Rp 44,714 trilyun jika terjadi kebakaran di lahan gambut seluas 628.627 ha. Dampak kebakaran gambut ini setara dengan 15 kali APBD Provinsi Jambi 2015 yang hanya sebesar Rp 3,5 Triliyun. Dalam studi ini metode perhitungan dampak kebakaran gambut menggunakan pendekatan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Peraturan Menteri ini sudah memuat substansi, bahasa dan aturan hukum yang jelas dan benar. Berdasarkan Permen LH ini, dampak kebakaran gambut, mencakup pencemaran udara berupa pelepasan dan penyerapan karbon; kerugian lingkungan/ekologi yang terjadi akibat hilangnya fungsi gambut sebagai penyimpanan air, pengaturan tata air, pengendalian erosi, pembentukan tanah, pendaur ulang unsur hara, pengurai limbah, Keaneka ragaman hayati dan sumber daya genetik. Dalam Permen Lingkungan Hidup ini juga disebutkan kebakaran gambut akan menimbulkan kerugian ekonomi, kerusakan tidak ternilai dan biaya pemulihan lingkungan.
Muaro Jambi Total nilai ekonomi dampak kebakaran gambut di Kabupaten Muaro Jambi sebesar Rp 15,326 trilyun dengan total luas lahan yang terbakar seluas 207.977 hektar. Nilai ekonomi dampak kebakaran gambut untuk tiga parameter dampak kebakaran (Pencemaran Udara, Kerusakan lingkungan/ ekologi, dan Kerugian Ekonomi) adalah relatif sama. Nilai ekonomi dampak kebakaran gambut paling besar adalah Kerugian Ekonomi sebesar Rp 6,496 trilyun atau 42,389% dari total; selanjutnya Pencemaran Udara sebesar Rp 4,875 trilyun atau 31,821% dari total; dan Kerusakan lingkungan/ ekologi sebesar Rp 3,954 trilyun atau 25,799% dari total. Untuk parameter dampak pencemaran udara, nilai ekonomi dampak pelepasan karbon sebesar Rp 4,114 trilyun atau 26,845% dari total; lebih besar dari nilai ekonomi dampak Penyerapan karbon sebesar Rp 761,183 milyar atau 4,966% dari total. Hal ini dikarenakan dampak kebakaran gambut akan mengeluarkan volume pelepasan karbon sebesar 315 m3/hektar, enam kali lebih besar dari volume penyerapan karbon sebesar 58,275 m3/hektar.
Dari studi ini diketahui bahwa kebakaran lahan gambut paling berpengaruh atau berdampak terhadap kerugian ekonomi yang mencapai 19.064 Triliyun dengan perincian sebagai berikut Rp 4,860 trilyun (41,564% dari total) untuk Kabupaten Tanjung Jabung Barat; Rp 6,496 trilyun (42,389%) untuk Kabupaten Muaro Jambi; dan Rp 7,708 trilyun (43,565%) untuk Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Hutan Tanaman Industri di lahan gambut. Foto: Aulia Erlangga/dok. KKI WARSI ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
24
25
75,750 juta/hektar dan perkebunan sawit sebesar Rp 31,320 juta/hektar.
Kanalisasi lahan gambut, salah satu penyebab mudahnya gambut mengalami kebakaran. Foto: Aulia Erlangga/dok. KKI WARSI
Untuk parameter dampak kerusakan lingkungan/ ekologi, nilai ekonomi dampak paling besar adalah pendaur ulang unsur hara sebesar Rp 2,079 trilyun atau 13,568% dari total. Selanjutnya, keaneka ragaman hayati/ biodiversitas sebesar Rp 611,956 milyar atau 3,993% dari total; dan pengendalian erosi sebesar Rp 552,601 milyar atau 3,605% dari total. Nilai ekonomi untuk parameter lainnya relatif kecil kurang dari 2% dari total. Besarnya nilai ekonomi dampak kebakaran gambut ini untuk parameter Pendaur ulang unsur hara, keaneka ragaman hayati/ biodiversitas dan pengendalian erosi berhubungan dengan besarnya biaya atau kerugian dampak kebakaran.Besarnya biaya atau kerugian dampak kebakaran untuk parameter pendaur ulang unsur hara sebesar Rp 4,610 juta/hektar, keanekaragaman hayati/ biodiversity sebesar Rp 2,700 juta/hektar dan pengendalian erosi sebesar Rp 1,225 juta/hektar lebih besar dari biaya atau kerugian parameter kerusakan lingkungan/ekologi lainnya. Untuk parameter dampak kerugian ekonomi, nilai ekonomi dampak kebakaran gambut paling besar adalah perkebunan sawit, selanjutnya kawasan hutan dan sawit rakyat. Sementara nilai ekonomi dampak kebakaran gambut berdasarkan satuan nilai ekonomi, maka nilai ekonomi dampak kebakaran gambut paling besar adalah sawit rakyat sebesar Rp 80,059 juta/hektar, selanjutnya kawasan hutan sebesar Rp
Dampak kebakaran gambut untuk total seluruh luasan berdasarkan pola penggunaan lahan yang paling besar adalah kawasan hutan (hutan primer, hutan sekunder dan hutan tanaman) sebesar Rp 7,737 trilyun atau 50,481% dari total, selanjutnya perkebunan sawit sebesar Rp 6,857 trilyun atau 44,739%, dan milik masyarakat (kebun rakyat dan sawit rakyat) sebesar Rp 732,529 milyar atau 4,779% dari total. Besarnya total nilai ekonomi dampak kebakaran gambut ini berhubungan dengan luas lahan yang terbakar, paling besar adalah kawasan hutan sebesar 98.819 hektar atau 47,514% dari total, perkebunan sawit seluas 98.369 hektar atau 47,298% dari total, dan milik masyarakat seluas 10.790 hektar atau 5,188% dari total luas lahan terbakar seluas 207.977 hektar. Dampak kebakaran hutan untuk satuan luas perhektar berdasarkan pola penggunaan lahan untuk enam macam pola penggunaan lahan, maka nilai ekonomi yang paling besar, yaitu: 1) sawit rakyat sebesar Rp 115,438 juta/hektar, selanjutnya 2) hutan primer sebesar Rp 144,297 juta/hektar, 3) perkebunan (sawit) sebesar Rp 69,707 juta/hektar, 4) hutan sekunder Rp 37,371 juta/hektar, 5) kebun rakyat sebesar Rp 20,346 juta/hektar dan 6) hutan tanaman sebesar Rp 19,725 juta/hektar. Besarnya nilai ekonomi untuk satuan luas per hektar ini dipengaruhi oleh keuntungan usaha dari parameter kerugian ekonomi, konversi biaya bangunan untuk bangunan penampung air/ reservoir dan nilai kelimpahan keanekaragaman hayati/biodiversitas. Nilai ekonomi dampak kebakaran gambut per hektar paling besar adalah sawit rakyat. Hal ini dikarenakan keuntungan usaha sawit rakyat paling besar sebesar Rp 80,059 juta/hektar dibanding pola penggunaan lahan lainnya (hutan primer sebesar Rp 75,750 juta/hektar dan perkebunan sawit sebesar Rp 31,320 juta/hektar). Konversi biaya bangunan untuk bangunan penyimpanan air/ reservoir untuk sawit rakyat sebesar 13,18 adalah paling besar dibanding pola penggunaan lahan lainnya. Selain itu nilai ekonomi kelimpahan keanekaragaman hayati/ biodiversitas untuk sawit rakyat termasuk kategori sedang yakni sebesar 0,34.
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
Selanjutnya, nilai ekonomi dampak kebakaran gambut per-hektar kedua paling besar adalah hutan primer. Keuntungan usaha dari hutan primer dari hasil kayu dalam kawasan hutan sebesar Rp 75,750 juta/hektar adalah terbesar kedua setelah usaha sawit rakyat. Konversi biaya bangunan untuk bangunan penampung air/reservoir untuk hutan primer termasuk kategori sedang yakni sebesar 6,31. Sementara nilai ekonomi kelimpahan keanekaragaman hayati/ biodiversitas untuk hutan primer adalah paling besar dibanding pola penggunaan lahan lainnya yakni sebesar 1,00. Nilai ekonomi dampak kebakaran gambut per-hektar ketiga paling besar adalah perkebunan (sawit). Keuntungan usaha dari perkebunan sawit sebesar Rp 31,320 juta/hektar adalah terbesar ketiga setelah sawit rakyat dan hutan primer. Konversi biaya bangunan untuk bangunan penampung air/reservoir untuk perkebunan sawit termasuk kategori sedang yakni sebesar 5,27. Nilai ekonomi kelimpahan keanekaragaman hayati/biodiversitas untuk perkebunan sawit termasuk kategori sedang sebesar 0,43.
Kabupaten Tanjung Jabung Barat Total nilai ekonomi dampak kebakaran gambut di Kabupaten Tanjung Jabung Barat sebesar Rp 11,694 trilyun dengan total luas lahan yang terbakar seluas 206.305 hektar. Nilai ekonomi dampak kebakaran gambut untuk tiga parameter dampak kebakaran (pencemaran udara, kerusakan lingkungan/ekologi, dan kerugian ekonomi) adalah relatif sama. Nilai ekonomi dampak kebakaran gambut paling besar adalah kerugian ekonomi sebesar Rp 4,860 trilyun atau 41,564% dari total; selanjutnya kerusakan lingkungan/ekologi sebesar Rp 3,744 trilyun atau 32,419% dari total; dan pencemaran udara sebesar Rp 3,089 trilyun atau 26,419% dari total. Untuk parameter dampak pencemaran udara, nilai ekonomi dampak pelepasan karbon sebesar Rp 2,607 trilyun atau 22,295% dari total; lebih besar dari nilai ekonomi dampak penyerapan karbon sebesar Rp 484,353 milyar atau 4,124% dari total. Hal ini dikarenakan dampak kebakaran gambut akan mengeluarkan volume pelepasan karbon lebih besar enam kali dibanding volume penyerapan karbon. Untuk parameter dampak kerusakan lingkungan/ ekologi, nilai ekonomi dampak paling besar adalah pendaur ulang unsur hara sebesar Rp 2,062 trilyun atau 17,639% dari total. Selanjutnya, pengendalian erosi sebesar Rp 548,157 milyar atau 4,687% dari total, keanekaragaman hayati/biodiversitas sebesar Rp 387.789 milyar atau 3,316% dari total; dan penyerapan air sebesar Rp 331,643 milyar atau 2,836% dari total. Nilai ekonomi untuk parameter lainnya relatif kecil kurang dari 2% dari total. Besarnya nilai ekonomi dampak kebakaran gambut ini untuk parameter pendaur ulang unsur hara, pengendalian erosi, keanekaragaman hayati/biodiversitas dan penyimpanan air/reservoir berhubungan dengan besarnya biaya atau kerugian per-satuan luas untuk masing-masing dampak kebakaran gambut.
Ekspansi perkebunan sawit ke wilayah hutan alam. Foto: Aulia Erlangga/dok. KKI WARSI ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
26
27
rakyat) sebesar Rp 431,309 milyar atau 3,688% dari total. Besarnya total nilai ekonomi dampak kebakaran gambut ini berhubungan dengan luas lahan yang terbakar, paling besar adalah kawasan hutan sebesar 128.393 hektar atau 62,235% dari total, perkebunan sawit seluas 71.559 hektar atau 34,686% dari total, dan Milik masyarakat seluas 6.353 hektar atau 3,079% dari total luas lahan terbakar seluas 206.305 hektar.
Pertumbuhan pohon kelapa sawit di lahan gambut kurang maksimal. Foto: Aulia Erlangga/dok. KKI WARSI
Untuk parameter dampak kerugian ekonomi, nilai ekonomi dampak kebakaran gambut paling besar adalah perkebunan (sawit), selanjutnya kawasan hutan dan sawit rakyat. Sementara nilai ekonomi dampak kebakaran gambut berdasarkan satuan nilai ekonomi, maka nilai ekonomi dampak kebakaran gambut paling besar adalah sawit rakyat sebesar Rp 80,059 juta/hektar, selanjutnya perkebunan (sawit) sebesar Rp 31,320 juta/hektar dan kawasan hutan sebesar Rp 30,3 juta/hektar. Kawasan gambut yang terbakar di Kabupaten Tanjung Jabung Barat tidak ada hutan primer, oleh karena itu kerugian ekonomi dampak kebakaran dihitung dari luasan hutan sekunder. Hutan sekunder mempunyai tingkat biodiversitas 40% dibanding hutan primer dengan nilai 1. Nilai kerugian ekonomi di hutan primer sebesar Rp 75,750 juta/hektar setara dengan kerugian ekonomi di hutan sekunder sebesar Rp 31,320 juta/ hektar. Dampak kebakaran gambut untuk total seluruh luasan berdasarkan pola penggunaan lahan yang paling besar adalah kawasan hutan (hutan primer, hutan sekunder dan hutan tanaman) sebesar Rp 6,275 trilyun atau 53,659% dari total, selanjutnya perkebunan sawit sebesar Rp 4,988 trilyun atau 42,653%, dan milik masyarakat (kebun rakyat dan sawit
Dampak kebakaran gambut untuk satuan luas perhektar berdasarkan pola penggunaan lahan untuk enam macam pola penggunaan lahan, maka nilai ekonomi yang paling besar, yaitu: 1) sawit rakyat sebesar Rp 115,436 juta/hektar, selanjutnya 2) perkebunan sawit sebesar Rp 69,707 juta/hektar, 3) hutan sekunder Rp 37,371 juta/hektar, 4) kebun rakyat sebesar Rp 20,346 juta/hektar dan paling kecil 5) hutan tanaman sebesar Rp 19,725 juta/ hektar. Besarnya nilai ekonomi untuk satuan luas per-hektar ini dipengaruhi oleh keuntungan usaha dari parameter kerugian ekonomi, konversi biaya bangunan untuk bangunan penampung air/reservoir dan nilai kelimpahan keanekaragaman hayati. Nilai ekonomi dampak kebakaran gambut perhektar paling besar adalah sawit rakyat karena keuntungan usaha paling besar sebesar Rp 80,059, konversi biaya bangunan paling besar sebesar 13,18 dan Kelimpahan keanekaragaman hayati/biodiversitas termasuk kategori sedang sebesar 0,34. Nilai ekonomi dampak kebakaran gambut per-hektar kedua paling besar adalah perkebunan sawit. Hal ini dikarenakan keuntungan usaha dari perkebunan sawit terbesar kedua setelah sawit rakyat, Konversi biaya bangunan termasuk kategori sedang sebesar 5,27 dan kelimpahan keanekaragaman hayati/biodiversitas termasuk kategori sedang sebesar 0,43. Selanjutnya, nilai ekonomi dampak kebakaran gambut per-hektar ketiga paling besar adalah hutan sekunder. keuntungan usaha dari hutan sekunder dari hasil kayu dalam kawasan hutan sebesar Rp 30,300 juta/hektar adalah terbesar ketiga setelah usaha sawit rakyat dan perkebunan sawit. Konversi biaya bangunan untuk bangunan penampung air/ reservoir untuk hutan sekunder termasuk kategori sedang sebesar 7,85. Sementara nilai ekonomi ke-
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
limpahan keanekaragaman hayati/ biodiversitas untuk hutan sekunder termasuk kategori sedang sebesar 0,40. Tanjung Jabung Timur Total nilai ekonomi dampak kebakaran gambut di Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebesar Rp 17,694 trilyun dengan total luas lahan yang terbakar seluas 217.345 hektar. Nilai ekonomi dampak kebakaran gambut untuk tiga parameter dampak kebakaran (pencemaran udara, kerusakan lingkungan/ekologi, dan kerugian ekonomi) adalah relatif sama. Nilai ekonomi dampak kebakaran gambut paling besar adalah kerugian ekonomi sebesar Rp 7,708 trilyun atau 43,565% dari total; selanjutnya pencemaran udara sebesar Rp 5,760 trilyun atau 35,552% dari total; dan kerusakan lingkungan/ekologi sebesar Rp 4,225 trilyun atau 23,882% dari total. Untuk parameter dampak pencemaran udara, nilai ekonomi dampak pelepasan karbon sebesar Rp 4,860 trilyun atau 27,470% dari total; lebih besar dari nilai ekonomi dampak penyerapan karbon sebesar Rp 899,241 milyar atau 5,082% dari total. Hal ini dikarenakan dampak kebakaran gambut akan mengeluarkan volume pelepasan karbon lebih besar enam kali dibanding volume penyerapan karbon.
Untuk parameter dampak kerusakan lingkungan/ ekologi, nilai ekonomi dampak paling besar adalah pendaur ulang unsur hara sebesar Rp 2,173 trilyun atau 12,282% dari total. Selanjutnya, keanekaragaman hayati/ biodiversitas sebesar Rp 722,948 milyar atau 4,086% dari total; dan pengendalian erosi sebesar Rp 577,491 milyar atau 3,264% dari total. Nilai ekonomi untuk parameter lainnya relatif kecil kurang dari 2% dari total. Besarnya nilai ekonomi dampak kebakaran gambut ini untuk parameter pendaur ulang unsur hara, keanekaragaman hayati/ biodiversitas dan pengendalian erosi berhubungan dengan besarnya biaya atau kerugian dampak kebakaran. Untuk parameter dampak kerugian ekonomi, nilai ekonomi dampak kebakaran gambut paling besar adalah kawasan hutan sebesar Rp 5,319 trilyun, selanjutnya perkebunan sawit, sebesar 2,19 trilyun dan sawit rakyat sebesar sebesar 190,940 milyar. Sementara nilai ekonomi dampak kebakaran gambut berdasarkan satuan nilai ekonomi, maka nilai ekonomi dampak kebakaran gambut paling besar adalah sawit rakyat sebesar Rp 80,059 juta/hektar, selanjutnya kawasan hutan sebesar Rp 75,750 juta/ hektar dan perkebunan sawit sebesar Rp 31,320 juta/hektar. Dampak kebakaran gambut untuk total seluruh luasan berdasarkan pola penggunaan lahan yang paling besar adalah kawasan hutan (hutan sekunder dan hutan tanaman) sebesar Rp 12,479 trilyun atau 70,525% dari total, selanjutnya perkebunan sawit sebesar Rp 4,891 trilyun atau 27,644%, dan milik masyarakat (kebun rakyat dan sawit rakyat) sebesar Rp 323,838 milyar atau 1,830% dari total. Besarnya total nilai ekonomi dampak kebakaran gambut ini berhubungan dengan luas lahan yang terbakar, paling besar adalah kawasan hutan sebesar 142.402 hektar atau 65,519% dari total, perkebunan sawit seluas 70.171 hektar atau 32,286% dari total, dan milik masyarakat seluas 4.770 hektar atau 2,195% dari total luas lahan terbakar seluas 217.345 hektar.
Lahan gambut yang telah dikonversi menjadi lahan pertanian rawan akan bencana kebakaran. Foto: Aulia Erlangga/dok. KKI WARSI ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
28
29
Dampak kebakaran gambut untuk satuan luas perhektar berdasarkan pola penggunaan lahan untuk enam macam pola penggunaan lahan, maka nilai ekonomi yang paling besar, yaitu: 1) sawit rakyat sebesar Rp 115,438 juta/hektar, selanjutnya 2) hutan primer sebesar Rp 144,297 juta/hektar, 3) perkebunan sawit sebesar Rp 69,707 juta/hektar, 4) hutan sekunder Rp 37,371 juta/hektar, 5) hutan tanaman sebesar Rp 19,725 juta/hektar dan paling kecil 6) kebun rakyat sebesar Rp 20,346 juta/ hektar. Besarnya nilai ekonomi untuk satuan luas per-hektar ini dipengaruhi oleh keuntungan usaha dari parameter kerugian ekonomi, konversi biaya bangunan untuk bangunan penyimpan air/reservoir dan nilai kelimpahan keanekaragaman hayati/biodiversitas. Nilai ekonomi dampak kebakaran gambut per-hektar paling besar adalah sawit rakyat karena keuntungan usaha paling besar sebesar Rp 80,059 juta/ hektar, konversi biaya bangunan paling besar sebesar 13,18 dan kelimpahan keanekaragaman hayati/ biodiversitas termasuk kategori sedang sebesar 0,34. Selanjutnya, nilai ekonomi dampak kebakaran gambut per-hektar kedua paling besar adalah hutan primer. Keuntungan usaha dari hutan primer dari hasil kayu terbesar kedua setelah usaha sawit rakyat, konversi biaya bangunan untuk bangunan penyimpan air/reservoir termasuk kategori sedang, dan kelimpahan keanekaragaman hayati/biodiversitas paling besar dibanding pola penggunaan lahan lainnya. Nilai ekonomi dampak kebakaran gambut per-hektar ketiga paling besar adalah perkebunan sawit. Keuntungan usaha dari perkebunan sawit sebesar Rp 31,320 juta/hektar adalah terbesar ketiga setelah sawit rakyat dan hutan primer. Konversi biaya bangunan untuk bangunan penampung air/reservoir untuk Perkebunan sawit termasuk kategori sedang yakni sebesar 5,27. Nilai ekonomi kelimpahan keanekaragaman hayati/ biodiversitas untuk perkebunan sawit termasuk kategori sedang sebesar 0,43. Keberadaan gambut di sebagian kecil wilayah merupakan anugerah yang untuk kawasan tersebut
dan sekitarnya bahkan hingga ke hulu. Gambut merupakan kawasan dengan aneka fungsi untuk pengatur hidrologi dengan kemampuannya sebagai pengatur pelestarian sumber daya air, peredam banjir, pencegah intrusi air laut. Gambut juga berfungsi sebagai sarana konservasi keanekaragaman hayati, tempat budi daya dan sumber energi. Fungsi gambut lainnya yang mulai mengemuka beberapa tahun belakangan adalah perannya dalam menyerap dan menyimpan cadangan karbon dan pengendali perubahan iklim. Gambut disebut sebagai pengendali iklim karena kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan karbon. Gambut dengan beragam kedalamannya jika kondisinya dengan ketinggian muka air yang biasa di kandungnya, maka akan berperan penting dan strategis dalam upaya penurunan emisi karbon nasional. Hal ini jugalah yang menyebabkan gambut menjadi salah satu faktor penting menghadapi perubahan iklim. Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, target penurunan emisi dari bidang kehutanan dan lahangambut adalah sebesar 87,6 persen dari keseluruhan target nasional. Emisi gambut terbesar berasal dari kebakaran yang terjadi di lahan gambut. Menurut Tacconi (2003) memperkirakan valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon akibat kebakaran hutan dan gambut di Indonesia mencapai US $ 2,8 milyar. Meskipun demikian, kerugian yang diderita akibat kebakaran hutan dan gambut tersebut kemungkinan jauh lebih besar lagi karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia belum diperhitungkan. Kerugian tersebut mencakup kerusakan yang terkait dengan kebakaran seperti kayu, kematian pohon, HTI, kebun, bangunan, biaya pengendalian dan sebagainya serta biaya yang terkait dengan kabut asap seperti terjadinya kebakaran hutan lebih banyak disebabkan dari kegiatan manusia daripada faktor alam. Menurut Saharjo (1999), kebakaran hutan/lahan di Indonesia umumnya (99,9%) disebabkan oleh manusia, baik disengaja maupun akibat kelalaiannya. Sedangkan sisanya (0,1%) adalah karena alam. Beberapa penyebab kebakaran yang disebabkan oleh manusia diantaranya konversi lahan, pembakaran vegetasi, aktivitas dalam pemanfaatan
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
sumber daya alam, pembuatan kanal-kanal/saluransaluran di lahan gambut dan penguasaan lahan. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup besar mencakup kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global dan asapnya mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan udara. Gangguan asap karena kebakaran hutan Indonesia akhir-akhir ini telah melintasi batas negara. Kebakaran lahan dan hutan dapat disebabkan oleh penguasaan lahan, alokasi penggunaan lahan, insentif dan dis-insentif ekonomi, degradasi hutan dan lahan, dampak dari perubahan karakteristik kependudukan serta lemahnya kapasitas kelembagaan. Walaupun berbagai upaya pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan telah dilakukan termasuk mengefektifkan perangkat hukum (undang-undang, PP, dan SK Menteri sampai Dirjen), namun belum memberikan hasil yang optimal. Sejak kebakaran hutan yang cukup besar tahun 1997/98 yang telah menghanguskan hutan seluas 11,7 juta hektar, intensitas kebakaran hutan makin sering terjadi dan sebarannya makin meluas. Oleh karena itu diperlukan kajian yang mendalam untuk melihat dampak yang ditimbulkan akibat kerusakan gambut melalui studi valuasi kerusakan fungsi ekologis hutan pasca kebakaran hutan dan lahan. Dari studi ini juga diketahui hasil perhitungan valuasi nilai ekonomi dampak kebakaran gambut untuk pelepasan karbon sebesar Rp 4,114 trilyun, pada kawasan seluas 207.977 ha. Nilai ekonomi pelepasan karbon merupakan perkalian dari lahan yang rusak/ hilang sehingga tidak berfungsi ekonomi hilang dalam satuan hektar dengan volume pelepasan karbon dalam satuan m3/ha, faktor koreksi kelimpahan biodiversitas masing-masing pola penggunaan lahan serta biaya pelepasan karbon tahun dasar yang dihitung dalam rupiah per hektar.
pengatur hidrologi berkurang bahkan bisa hilang, menyebabkan terjadinya peningkatan luasan dan frekuensi banjir di musim hujan dan menjadi hilangnya sumber air alias kekeringan pada musim kemarau. Selain itu kebakaran lahan gambut akan menyebabkan terjadinya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer akibat pelepasan stok karbon lahan gambut dan menjadi penyebab utama terjadinya pemanasan global. Lahan gambut secara global menyimpan paling sedikit 550 gigaton karbon dalam lapisan tanah organiknya. Ini adalah dua kali lipat jumlah karbon yang tersimpan di hutan di seluruh dunia. Penyimpanan karbon oleh lahan gambut ini pada dasarnya membantu mengurangi terjadinya perubahan iklim global. Di Indonesia, lahan gambut mencakup luas 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8% dari luas daratan negara Indonesia. Potensi kebakaran lahan gambut Dari studi evaluasi yang dilakukan, kebakaran lahan gambut akan terus terjadi jika tidak ada perlakuan khusus pada kawasan ini. Potensi besarnya volume kebakaran di lahan gambut diperoleh dari hasil overlay peta potensi kebakaran dan peta kedalaman gambut, serta dihitung volumenya dengan mengalikan luas dan tebal gambut. Volume potensi kebakaran lahan gambut di Kabupaten Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, dan Tanjung Jabung Timur sebesar 46.217.181,2 m3 pada luasan 286.527,3 ha. Luas paling besar terdapat di Kabupaten Muaro Jambi sebesar 8.077.922,0 m3 pada luasan 40.389,61 ha dan terdapat pada kedalaman gambut 200-400 cm. Selanjutnya diikuti oleh Kabupaten Tanjung Jabung Barat sebesar 6.732.566,0 m3 seluas 33.662,83 ha dan terdapat pada kedalaman gambut 200-400 cm, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur volume gambut sebesar 1.988.195,5 m3 dengan luas 39.763,9 ha pada kedalaman gambut < 50 cm. Volume dan luas potensi kebakaran pada setiap kedalaman gambut dari tahun 2000 - 2014 disajikan pada tabel di bawah.
Selain menimbulkan kerugian ekonomi dalam angka yang sangat tinggi kebakaran lahan gambut juga menyebabkan volume gambut menyusut (subsiden), sehingga fungsinya sebagai penyimpan air dan ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
30
31
Volume Kebakaran di Lahan Gambut Kabupaten Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, dan Tanjung Jabung Timur dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Kopi dan pinang, tanaman yang cocok dikembangkan di lahan gambut. Foto Aulia Erlangga/ dok. KKI WARSI
Climate Smart Agriculture (CSA)
T
Tutupan lahan hutan, perkebunan, dan pemukiman yang berpotensi terjadi kebakaran di lahan gambut di Kabupaten Muaro Jambi seluas 51889.6 ha atau 24.95% . Potensi terjadi kebakaran terbesar ada pada perkebunan yaitu seluas 33084.1 ha atau 33.63% dari luas perkebunan yang ada di Kabupaten Muaro Jambi. Hutan rawa sekunder seluas 11453.9 ha atau 22.95% sangat rawan terjadi kebakaran, begitu juga pada hutan tanaman. Di Kabupaten Muaro Jambi luas hutan tanaman sebesar 6977.9 ha, dari luasan ini sebesar 73.33% berpotensi terjadi kebakaran. Di Pemukiman dan hutan rawa primer sangat kecil potensi terjadi kebakaran. Sedangkan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, potensi kebakaran di kawasan gambut yang baik pada kawasan dengan tutupan hutan, perkebunan, dan pemukiman sangat kecil sekali yaitu seluas 17655.6 ha atau 8.6% . Potensi terjadi kebakaran terbesar ada pada hutan tanaman yaitu seluas 8154.2 ha atau 16.2% dari luas hutan tanaman yang ada di Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Hutan rawa sekunder seluas 3868.8 ha atau 20.4% sangat rawan terjadi kebakaran, begitu juga pada perkebunan. Di Kabu-
paten Tanjung Jabung Barat luas perkebunan sebesar 5499.3 ha dari luasan ini sebesar 7.7% berpotensi terjadi kebakaran. Di pemukiman sangat kecil potensi terjadi kebakaran yaitu hanya sebesar 133.3 ha. Di Tanjung Jabung Timur, potensi kebarakaran juga relatif kecil, yaitu seluas 38838.0 ha atau 17.9% . Potensi terjadi kebakaran terbesar ada pada hutan rawa sekunder yaitu seluas 13029.7 ha atau 27.2% dari luas hutan rawa sekunder yang ada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Hutan tanaman seluas 12608.1 ha atau 63.2% sangat rawan terjadi kebakaran, begitu juga pada perkebunan. Di Kabupaten Tanjung Jabung Timur luas perkebunan sebesar 70173 ha dari luasan ini sebesar 15.5% berpotensi terjadi kebakaran. Di pemukiman mempunyai luasan yang kecil untuk berpotensi terjadi kebakaran yaitu ha-nya sebesar 26.9% atau 1285.1 ha. (Laporan Akhir Studi Valuasi Dampak Kebakaran Gambut di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, dan Muaro Jambi, Provinsi Jambi Kerjasama KKI WARSI dan Fakultas Kehutanan IPB 2014).
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
ingginya potensi kerugian yang terjadi akibat kebakaran gambut sekaligus menjadi penyumbang perubahan iklim, maka yang terpenting dilakukan adalah mencegah kebarakan gambut sekaligus melakukan pengelolaan gambut berkelanjutan. Hal ini sangat penting karena dampak perubahan iklim sudah begitu nyata menyambangi kehidupan manusia. Kekacauan pola hujan, meningkatnya kejadian bencana terkait iklim ekstrim, peningkatan suhu udara, kekeringan, dan banjir merupakan dampak perubahan iklim. Dampak perubahan iklim ini tentu akan berpengaruh nyata pada sektor pertanian yang dalam pengusahaannya sangat tergantung dengan cuaca dan iklim yang bisa berujung pada kesulitan pangan, terumata pada masyarakat pertanian konvensional. Untuk itu teknik dan pola pertanian perlu adanya upaya untuk melindungi kehidupan para petani dengan pola pertanian terpadu dan ramah iklim. Menyikapi ini, FAO badan pangan dunia di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa menawarkan konsep Climate Smart Agriculture (CSA). Secara sederhana CSA merupakan sistem pertanian yang mampu mengurangi pengaruh dan dampak dampak perubahan iklim bahkan mampu meningkatkan kapasitas produksi melalui upaya adaptasi dan mitigasi dengan dukungan inovasi pertanian. Pada intinya konsep CSA di usung dalam rangka kegiatan mitigasi, adaptasi, dan mempertahankan
keamanan pangan. Konsep ini baru muncul setelah berkembangnya isu REDD+ dan perubahan iklim. Konsep ini ditawarkan adalah konsep pengembangan pertanian yang tahan terhadap dampak perubahan iklim dan sekaligus dapat berkontribusi terhadap penurunan emisi karbon. Dalam tataran implementasinya di tingkat makro CSA mengedepankan arahan pengunaan lahan (land use) berdasarkan kondisi ekologis. Sedangkan pada tingkat mikro, praktek CSA mengedepankan prinsip-prinsip: a.Ketepatan dalam pemilihan jenis tanaman yang dibudidayakan/diusahakan berdasarkan ekosistem, budaya, dan pasar, b.Mempertimbangkan aspek aspek yang dapat mengurangi pelepasan zat karbon dilahan gambut, sebaliknya bahkan meningkatkan penangkapan karbon, c.Memperhatikan pengelolaan ramah lingkungan sehingga mempertahankan keanekaragaman hayati (tindakan organik), dan d.Melakukan penyesuaian jenis tanaman yang mampu meningkatkan produktifitas lahan sehingga berdampak baik pada ketahahanan pangan dan pendapatan keluarga. Dengan fungsinya maka sebagai upaya untuk pengendalian perubahan iklim, maka CSA juga juga sangat memungkinkan untuk dikembangkan di lahan gambut. Hal ini disebabkan kandungan karbon
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
32
33
yang berada di lahan gambut jika tidak dikelola dengan baik akan menjadikan kawasan itu sebagai penyumbang emisi yang memicu perubahan iklim. Pun ketidaktetapan dalam menentukan arahan penggunaan lahan gambut akan berdampak buruk pada aspek ekonomi, ketahanan pangan, kesejahteraan masyarakat, sosial dan ekologis yang pada akhirnya juga memicu perubahan iklim melalui tingginya pelepasan emisi karbon. Melihat ini, maka CSA dianggap sebagai salah satu strategi yang dapat diimplementasikan dalam pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Hal ini disebabkan karena gambut memiliki fungsi ekologis yang sangat penting bagi masyarakat lokal dan global. Pemanfaatannya harus mempertimbangkan aspek ekologis tersebut. Terutama peranannya dalam meminimalisir pelepasan karbon dan meningkatkan serapan karbon. Sehingga diperlukan budidaya pertanian yang berorientasi pada upaya mitigasi perubahan iklim.
studi merupakan tiga desa yang dilakukan fasilitasi dan pendampingan usulan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) dengan skema Hutan Desa. Tiga desa tersebut adalah Desa Sinar Wajo, Desa Sungai Beras dan Desa Kota Kandis Dendang. Hasil kajian tersebut menjadi dasar dalam menentukan strategi yang akan dilakukan dalam upaya memperkuat mata pencaharian berkelanjutan (sustainable lifelihood) masyarakat di tiga desa ini. Selain itu, strategi yang akan diputuskan harus mempertimbangkan peranan dan fungsi ekologis gambut. Sehingga strategi yang dilahirkan merupakan kombinasi antara upaya peningkatan fungsi ekologis gambut dengan upaya peningkatan kesejahteraan
Selain itu konsep CSA lebih mengedepankan upaya intensifikasi lahan yag sudah dimanfaatkan daripada memperluas ke wilayah baru. Konsep ini relevan dengan upaya memperlambat penurunan kualitas lahan gambut dan upaya meningkatkan pendapatan masyarakat. Terbatasnya jenis tanaman yang dapat dibudidayakan pada lahan gambut menuntut diperlukan inovasi dan kreasi dalam cara bertani, juga menjadi pilihan untuk perlunya penerapan CSA. pentingnya penerapan pola pertanian yang baik. Sehingga daya dukung lahan sesuai dengan jenis komoditi tanaman yang diusahakan. Kelola Gambut Jambi dengan CSA Melihat potensi gambut yang ada di Jambi dengan aneka tekanan terhadap gambut, maka WARSI melihat penerapan CSA menjadi salah satu pilihan untuk mempertahankan fungsi gambut dan mengelolanya dengan baik sebagai langkah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Untuk menerapkan CSA ini terlebih dahulu WARSI sudah melakukan studi potensi ekonomi desa di lahan gambut yang berada di pesisir timur Provinsi Jambi. Pengembangan CSA yang dilakukan diawali dengan kajian awal tentang potensi ekonomi desa. Lokasi ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
nya menghasilkan 300 kg perhektar per 15 s/d 20 hari. Kecendrungan ini tentunya akan mengancam ekonomi masyarakat yang telah mengganti tanaman pokoknya dengan kelapa sawit. Masalah lainnya ternyata setelah berumur 5-6 tahun umumnya kelapa sawit berdirinya condong mengarah ke rebah dan produksi buah juga rendah. Kondisi ini ternyata dikarenakan faktor kedalaman gambut. Dampaknya, saat ini banyak keluarga mulai memikirkan dan mencari tanaman yang memungkinkan untuk menjamin mata pencaharian yang lebih berkelanjutan. Masyarakat memanfaatkan lahan gambut untuk keberlangsungan hidup mereka. Dengan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat mampu mengelola gambut lebih baik. Foto: Aulia Erlangga/dok. KKI WARSI
masyarakat desa. Jika dikaitkan dengan fungsi ekologis gambut dalam penurunan emisi karbon. Melalui studi potensi ini, didapatkan trend atau kecenderungan perubahan jenis tanaman pokok yang dibudidayakan masyarakat dari periode awal hingga kini. Adapun kecenderungan perubahan jenis tanaman pokok sesuai dengan perkembangan dan minat masyarakat pada satu komoditi. Pada era 19701990 masyarakat lebih cenderung menanam padi di lahan gambut. Kemudian di cerah tahun 19902000 terjadi pergeseran tanaman menjadi komoditas kelapa, kemudian di era 2005 mulai di usahakan pinang, kopi dan lainnya. Perubahan komoditas ini disebabkan karena penurunan atau kurang memuaskannya hasil yang di dapatkan dari mengusahakan komoditas tertentu. Hingga berikutnya masyarakat yang melihat adanya perkebunan sawit disekitar mereka juga menggoda untuk menanam komoditas ini. Adanya kisah sukses sejumlah pengusaha sawit di daerah lain menjadikan masyarakat lahan gambut terinspirasi. Meski kenyataannya mengusahan sawit di lahan gambut ternyata belum memberikan hasil sebagaimana di harapkan petani. Tanaman kelapa sawit pada lahan gambut, terutama pada kategori gambut dalam (lebih dari 2 m) ternyata produksinya setelah empat tahun dihitung sejak buah pasir terjadi penurunan. Menurut masyarakat di Desa Sungai Beras, tanaman sawit pada kondisi ini ha-
Selanjutnya berdasarkan hasil kajian potensi pengembangan ekonomi yang dilakukan, direkomendasikan beberapa jenis tanaman yang akan dikembangkan sebagai bagian dari praktek CSA. Komoditi atau jenis tanaman yang direkomendasikan tersebut berbasis lokal. Yakni jenis tanaman yang sesuai dengan tanah gambut dan sudah dibudidayakan oleh masyarakat setempat. Jenis tanam-annya ada yang termasuk kategori pohon, tanaman merayap dan tanaman sedang. Adapun jenis tanaman tersebut meliputi :Kopi Excelsa (Liberikatungkal komposit),Kakao (Theobromacacao),Lada (Pipernigrum L),Pinang (Arecacathecu L), Karet (Heveabraziliensis), danKelapa (Cocosnucifera). Tanaman ini sudah terbukti mampu bertahan di lahan gambut, yang jika di usahkan dengan teknik dan teknologi sederhana akan memberikan hasil yang baik untuk masyarakat sekitarnya. Namun untuk mengajak masyarakat mulai menerapkan pertanian yang ramah iklim dan berkelanjutan juga membutuhkan semangat dan kerja keras serta pendampingan yang intensif. Saat ini WARSI melakukan upaya-upaya konsolidasi masyarakat petani potensial. Konsolidasi ini dilakukan dalam rangka memberikan pemahaman tentang praktek CSA yang akan dikembangkan. Tujuannya adalah agar masyarakat dapat memahami bahwa praktek CSA ini tidak hanya berorientasi pada sisi ekonomi semata, namun juga berorientasi pada sisi ekologis yang menekan pada upaya mengurangi emisi GRK dari lahan gambut. Serta memberikan pemahaman tentang arti penting kenapa sisi ekologis dijadikan tujuan dan dampaknya bagi masyarakat.(Kurniawan/Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
34
DARI HULU KE HILIR
Belajar Mengelola Benefit Sharing di Bungo
P
ucuk-pucuk daun karet (Hevea Braziliensis) terlihat segar tersapu air hujan semalam, ada sekitar 25 ribu batang bibit Karet yang sedang dalam proses pembibitan di belakang rumah Rio Dusun Buat. Berada di areal sekitar 300 meter persegi, bibit– bibit karet ini baru sekitar dua bulan dibudidayakan oleh anggota Kelompok Pengelola Hutan Desa (KPHD) Tiga Ulu, yaitu kelompok yang mengelola Hutan Desa kampung Sangi dan Sungai Letung yang berada di Dusun Buat. Selain bibit karet, mereka juga membudidayakan tanaman kakao dan kapulaga. Kegiatan ini merupakan bagian dari uji coba bantuan dana Benefit Sharing yang diberikan KKI WARSI. Dana ini secara bergulir diberikan berdasarkan rincian kegiatan yang dilakukan. Semenjak mendapatkan legalitas Hak Pengelola Hutan Desa sejak 26 November 2013, Kelompok Pengelola Hutan Desa bagaikan kehilangan semangat untuk melakukan rencana kerja tahunan yang sedang disusun. Adanya dana benefit sharing ini pun memacu KPHD berkarya dalam peningkatan perekonomian masyarakat. Sehingga mimpi kelestarian hutan yang beriringan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat pun dapat diwujudkan.
Berawal dari diskusi yang melibatkan seluruh anggota masyarakat terkait dengan adanya dana bantuan Benefit Sharing, hingga adanya aktivitas pembibitan dilakukan melalui tahapan demi tahapan yang cukup membuat berbagai reaksi di masyarakat. Jupni, Ketua KPHD III Ulu menyebutkan dalam pemilihan pengayaan bibit hingga aktivitas pembibitan ini semuanya didiskusikan secara terbuka dengan mengumpulkan semua anggota masyarakat. “Kami memulainya dengan diskusi awal terkait adanya kucuran dana bantuan dengan mengumpulkan semua masyarakat. Jenis tanaman yang dipilih juga melalui diskusi, kami memilih tiga tanaman ini karena alasan dalam pengembangan banyak tanaman di kebun karet yang sudah kami miliki,” jelasnya. Bagi masyarakat Dusun Buat, sejak dahulu mereka memang akrab dengan tanaman karet. Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan utama untuk menghidupi mayoritas keluarga di dusun ini. Kondisi cuaca yang tidak menentu akhir-akhir ini ternyata memberikan pengaruh terhadap produktivitas karet mereka. Tingginya curah hujan, ini berarti mereka tidak bisa menyadap tanaman karetnya. Ditambah lagi harga jual
Pemanfaatan padi sawah menjadi tumpuan kehidupan masyarakat desa. Hutan yang dikelola dengan baik, jaminan untuk kelancaran dan ketersediaan pasokan air sawah. Foto: Heriyadi/dok. KKI WARSI
DARI HULU KE HILIR getah karet yang terus melemah akhir-akhir ini. Harga hanya mencapai Rp 5.500-6.000 setiap kilogramnya di tingkat pengumpul membuat para petani karet semakin lesu. Adanya pelatihan yang diberikan KKI WARSI terkait dengan pengayaan kebun karet mereka dengan pola komoditi bertingkat. Dengan menanam tiga jenis tanaman di kebun mereka, tentu saja penghasilan yang diperoleh pun meningkat. Pilihan yang ditawarkan yaitu mengkombinasikan tiga jenis tanaman karet, kakao dan kapulaga. Akhirnya melalui diskusi, masyarakat menyetujui tiga jenis bibit yang diyakini mampu mendongkrak pendapatan dari hasil perkebunannya. Jupni menyebutkan semua mekanisme pengelolaan dana diselenggarakan dengan transparan. Bahkan untuk pengadaan bibit, KPHD menyelenggarakan lelang terbuka kepada semua masyarakat yang menyanggupi bertanggung jawab dalam pengadaan bibit. Selain itu setiap proses pengambilan dana dan pemakaian dana dibukukan dan setiap orang boleh melihat perkembangan dana yang diberikan. ”Dana itu diberikan bertahap, di sesuaikan dengan kegiatan yang dilakukan. Jadi kami selaku pengurus KPHD juga memberitahukan laporan dana tersebut secara terbuka. Semua masyarakat di sini boleh mengetahui pembukuannya,” katanya. Diakuinya dengan adanya suntikan dana ini membuat peran KPHD semakin dirasakan masyarakat. Karena selama kurang lebih dua tahun setelah mendapatkan Hak Pengelolaan Hutan Desa, KPHD menilai mereka kesulitan dalam menyusun serta meramu rencana kerja hutan desa. “ Keberadaan KPHD ini kurang dirasakan, tapi dengan adanya bantuan dana kami bisa berbuat banyak memberikan manfaat atas komitmen masyarakat menjaga hutan, maka masyarakat juga merasakan manfaat langsung yang bisa diterima. Khususnya ini membantu kami dalam melakukan diskusi-diskusi dalam penyusunan rencana kerja hutan desa yang belum juga terdokumentasikan,” jelasnya. Dari hasil analisa beberapa petani yang sudah mulai mengembangkan tanaman kakao dan kapulaga di kebun karetnya, Petani berhasil meningkatkan pendapatan setiap bulannya minimal 500 ribu. Yahidin, salah satu warga yang sudah mulai mengembangkan tanaman kakao menyebutkan hanya dengan kurang lebih dari seratus batang kakao yang dimilikinya, Yahidin mampu mendapatkan tambahan penghasilan sekitar 500-700 ribu setiap bulannya.”Kalau tanaman kakao, kami belum begitu maksimal. Ini Cuma tanaman selipan di antara karet-karet. Dalam satu hektar kebun karet kami hanya menanam 80-100 batang tanaman kakao. Dapatlah tambahan penghasilan yang memang belum seberapa, tapi ini belum optimal teknik budidayanya. Kalau kapulaga kami baru mencoba, belum mendapatkan hasil,” ceritanya. Keberadaan hutan desa di Dusun Buat ternyata menda-
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
patkan dukungan dari Pemerintah Kabupaten Bungo, Nasirun Rio Dusun ini menyebutkan semenjak sudah dilegalkannya HPHD, dinas-dinas terkait khususnya dinas kehutanan dan perkebunan bahkan mengumpulkan semua hutan desa yang ada di Kabupaten Bungo untuk mensosialisasikan berbagai program yang bisa diakses oleh pengelola hutan desa. Program-program tersebut di antaranya pengadaan bibit kehutanan untuk pengayaan di lokasi hutan desa. KPHA Rantau Kermas Bergeliat Berbeda yang sudah dilakukan di Kampung Sangi dan Sungai Letung, Kelompok Pengelola Hutan Adat Desa Rantau Kermas Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin yang juga mendapatkan kucuran Benefit Sharing masih meraba bagaimana bentuk pengelolaannya hingga penguatan kelompok sendiri khususnya dalam peningkatan sumber daya manusia. Hutan Adat Rantau Kermas seluas 128 hektar ini merupakan mata air dari beberapa sungai untuk pengairan sawah dan sumber air untuk pembangkit listrik tenaga mikro hidro sebagai lumbung energi di desa ini. Di Hutan Adat Rantau Kermas ini juga sudah ada mekanisme manfaat langsung melalui pengasuhan pohon yang ada di hutan adat. Semua dana yang sudah dikumpulkan dalam skema peng-asuhan pohon ini digunakan oleh masyarakat untuk memperbaiki mesjid. Adanya distribusi manfaat (Benefit Sharing) ini direncanakan Kelompok Pengelola Hutan Adat (KPHA) Desa Rantau Kermas digunakan dalam penguatan dan peningkatan kapasitas lembaga. Selama ini, diakui Aminijas, Ketua KPHA Rantau Kermas menyebutkan mereka masih kesulitan dalam melaksanakan rencana kerja yang sudah disiapkan. “SDM di kelompok masih minim, jadi banyak rencana kerja yang belum dilaksanakan, seperti kegiatan patroli dan pemasangan papan plang nama pengasuh pohon belum bisa berjalan, karena keterbatasan kami dalam penggunaan GPS. Selain itu kami juga butuh bantuan dalam peningkatan kemampuan dalam teknik-teknik budi daya tanaman lokal seperti kopi robusta dan juga kulit manis,” ungkapnya. Selain peningkatan kemampuan petani untuk memaksimalkan produktivitas tanaman perkebunannya seperti kopi robusta dan kulit manis, mereka juga mengalokasi manfaat langsung (Benefit Sharing) ini untuk kegiatan pengayaan tanaman pekarangan diantaranya dengan bibit buah-buahan dan juga sayur-mayur. “Sementara untuk pengayaan tanaman di hutan adatnya kita kembangkan gaharu, jernang dan jenis tanaman hutan lainnya,” jelasnya. Dalam waktu tiga bulan berikutnya, Aminijas mengatakan kelompok pengelola hutan adat akan melakukan kegiatan rutin pemantauan kawasan melalui patroli setiap bulannya. Dan juga akan melakukan pelatihan
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
35
DARI HULU KE HILIR
36
GPS untuk para anggota dan masyarakat yang berminat mengikuti. Tidak hanya itu peningkatan kapasitas kelembagaan dalam berorganisasi juga akan dilakukan. Adanya bantuan langsung (Benefit Sharing) ini juga menjadi pintu masuk bagi penguatan KPHA Rantau Kermas yang selama ini masih belum maksimal. Mengukur Kesiapan Lembaga Indonesia menargetkan pengurangan emisi nasional 26 persen dan 41 persen di bawah emisi jika tanpa intervensi. Emisi dari hutan, lahan dan gambut mencakup 78,3 persen. Dengan komitmen tersebut Indonesia digadang-gadang menjadi salah satu negara terdepan dalam inisiatif penurunan emisi melalui deforestasi dan degradasi lahan. Berbagai inisiatif dalam upaya penurunan emisi ini kemudian menjamur walalupun manfaat langsung masih menjadi pertanyaan dari semua pihak. Setelah hampir memasuki tahun keenam inisiatif REDD+ (penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan) sudah belangsung, namun belum ada mekanisme yang jelas dalam pembagian manfaat yang bisa dirasakan masyarakat. Banyak sekali masalah yang belum terselesaikan jika kita mengulik manfaat langsung yang bisa diterima masyarakat. Mulai dari pemahaman terkait dengan manfaat (benefit) di tingkat masyarakat, dari mana sumber dana, mekanisme pemberian dana hingga siapa saja yang berhak menerima dana dan keterlibatan para pihak khususnya masyarakat, hingga kesiapan lembaga di tataran masyarakat misalnya dalam bentuk KPHD, KPHA maupun LPHN dalam mengelola dana, juga meliputi mekanisme pengelolaannya agar transparan dan bertanggung jawab.
kelembagaan pengelola hutan desa, nagari dan adat ini bisa mengelola manfaat langsung ini. Tidak hanya itu, kita juga ingin melihat kesiapan masyarakat itu sendiri jika mekanisme benefit sharing ini nantinya final didiskusikan di tataran internasional,” ungkapnya.
DARI HULU KE HILIR
Memutus Mata Rantai Perdagangan Beras
Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan meningkatkan cadangan karbon (REDD+) telah menimbulkan adanya wujud pembagian manfaat khususnya secara langsung di sektor kehutanan. Telah lama, konsep berbagi manfaat ini digaung-gaungkan. Uji coba benefit sharing ini juga akan melihat bagaimana pengaturan manfaat ini dilaksanakan dengan baik melalui kelompok-kelompok pengelola hutan desa, adat dan nagari. Ini terkait dengan bagaimana bentuk pengelolaan, manfaat yang dirasakan, identifikasi penerima manfaat, dan juga tantangan dan kendala yang ada. Selain itu, uji coba benefit sharing ini juga dapat mengetahui perspektif masyarakat mengenai adanya manfaat langsung yang bisa dirasakan dengan keberadaan hutan desa, adat dan nagari yang ada. “Kita berharap ke depannya kelompok-kelompok pengelola hutan desa, adat dan nagari ini bisa mandiri. Ada tidak adanya bantuan dari manapun, mereka sudah bisa melakukan pengembangan untuk masyarakatnya. Khususnya kelompok pengelola hutan desa, adat dan nagari bisa secara berkelanjutan menyelesaikan satu per satu rencana kerja yang sudah disusun,” sebutnya. (Elviza Diana)
Adanya uji coba benefit sharing yang dilakukan KKI WARSI di lima wilayah dampingan yang meliputi, hutan adat, desa dan nagari sebagai salah bentuk uji coba benefit sharing. Ada lima desa yang sedang dalam tahapan uji coba, diantaranya Dusun Kampung Sangi dan Sungai Letung di Dusun Buat, Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, dan Desa Rantau kermas Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin. Sementara itu tiga wilayah lagi di Provinsi Sumatera Barat, Jorong Simancuang, Kecamatan Alam Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan, Nagari Sirukam, Kabupaten Solok dan Nagari Sungai Buluh, Kota Padang Pariaman. Emmy Primadona Than, selaku Koordinator Program REDD KKI WARSI menyebutkan uji coba benefit sharing ini adalah sebuah mekanisme yang dirancang untuk melihat kesiapan lembaga pengelola hutan desa,adat dan nagari dalam mengelola dana.” Meski saat ini belum ada titik temu terkait dengan manfaat langsung yang diterima masyarakat, kita mencoba mengujicobakan adanya benefit sharing ini untuk melihat sejauh mana
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
Meningkatkan pendapatan petani dengan memutus mata rantai perdagangan beras. Foto: Heriyadi/dok. KKI WARSI
B
ertani merupakan urat nadi kehidupan masyarakat di Jorong Simancuang. Kegiatan pertanian sudah berjalan sejak awal permukiman itu didirikan. Hingga kini mereka tetap menggantungkan hidup dari kegiatan pertanian.Meskipun sebenarnya mereka selalu miris setiap musim panen tiba. Harga jual beras sering kali anjlok sehingga mereka harus memupus harapan untuk meraup rupiah dalam jumlah besar dari hasil bercocok tanam. Namun mereka tak punya pilihan lain. Mekanisme pasar dikuasai penuh oleh para tengkulak. Sehingga mereka dengan leluasa menetapkan harga beras dengan harga yang tidak sesuai dengan modal produksi. Meski masyarakat sebenarnya sadar mereka dirugikan, namun selama ini mereka tidak bisa berbuat banyak. Karena tuntutan hidup,dengan berat hati mereka harus rela melepas sebagian hasil panen untuk dijual dengan harga rendah. Kondisi seperti itu terus berulang dari masa ke masa. Untuk mengatasi kondisi ini, Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) Simancuang berusaha mencari solusi guna memutus mata rantai perdagangan beras yang selama ini sangat mencekik. Yaitu dengan ikut bermain langsung dalam pasar jual beli beras. LPHN memposisikan diri sebagai penampung beras masyarakat dengan memberikan harga yang layak. Tentunya dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga beli dari para tengkulak seperti yang terjadi selama ini. Para tengkulak juga harus mengikuti harga jual seperti yang ditetapkan LPHN. Jika pihak tengkulak tetap ngotot ingin membeli dengan harga lebih murah, bisa dipastikan masyarakat
akan memilih menjual beras mereka kepada LPHN. Ini adalah strategi yang dilakukan untuk meningkatkan harga jual beras di Simancuang. Dan kegiatan ini ternyata bisa sukses memutus mata rantai perdagangan beras yang selama ini dimonopoli oleh para tengkulak. Perlahan-lahan harga beras pun mulai merangkak naik dan lebih menguntungkan masyarakat petani. Dalam menjalankan kegiatan pembelian beras ini, LPHN Simancuang mendapatkan suntikan dana melalui distribusi manfaat (benefit sharing) dari skema REDD+ sebagai bentuk kompensasi non karbon untuk tingkat komunitas. Benefit sharing ini merupakan salah satu bentuk imbal jasa lingkungan (payment for Environmental Service/PES) atas upaya masyarakat karena telah menjaga hutannya dengan baik. Ini merupakan salah satu skema REDD+ yang memberikan peluang peningkatan ekonomi bagi masyarakat karena telah memelihara hutan mereka selama ini. Menjelang skema perdagangan karbon digulirkan langsung kepada masyarakat, WARSI terlebih dahulu mencoba melakukan uji coba benefit sharing untuk lima kelompok pengelola hutan nagari, hutan adat, dan hutan desa. Di Jambi diujicobakan di Hutan Adat Rantau Kermas dan Hutan Desa Senamat Ulu. Sementara di Sumatera Barat diuji cobakan di Hutan Nagari Simancuang, Sungai Buluah dan Sirukam. Ujicoba benefit sharing ini dalam rangka mendukung kelompok pengelola hutan dalam mempersiapkan rencana kerja kawasan kelola. Selain untuk mendukung kesiapan dan kemampuan pengelolaan pendanaan dan
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
DARI HULU KE HILIR pelaporan yang bisa dipertanggungjawabkan, kegiatan ini juga bisa dimanfaatkan untuk pengembangan ekonomi masyarakat. Kesempatan itulah yang dimanfaatkan masyarakat Simancuang melalui LPHN. Selain kegiatan perdagangan beras, LPHN juga bergerak dalam kegiatan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang bahan bakunya diambil dari Hutan Nagari. Koordinator KKI WARSI Riche Rachma Dewita mengatakan, pihak LPHN Simancuang tergerak melakukan kegiatan perdagangan beras untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat.Dan yang nyata kelihatan selama ini adalah permainan harga beras oleh para tengkulak yang menetapkan nilai jual beras di tingkat petani dengan standar sangat rendah. Apalagi jika sedang panen padi serentak, bisa dipastikan harga panen akan terjun bebas karena pasokan menumpuk. Melihat fenomena seperti itu, kemudian memantik semangat pengurus LPHN untuk membantu meningkatkan nilai jual beras petani. Kesimpulannya adalah diperlukan upaya serius aksi di lapangan agar harga beras tetap stabil dan menguntungkan petani. Dan pilihannya adalah dengan melakukan pembelian beras dengan harga tinggi agar petani tidak merugi. Dari modal benefit sharing yang dikelola oleh LPHN, saat ini mereka sudah bisa mendapatkan keuntungan sebesar Rp 500.000. “Petani bisa menjual beras langsung ke LPHN dan nanti LPHN yang menjadi penampung. Dengan begitu para toke tidak bisa lagi memainkan harga pasar. Karena kalau harganya lebih rendah petani pasti lebih memilih menjual ke LPHN,” ungkap Riche. Sejak kegiatan pembelian beras ini dilakukan, masyarakat pun memiliki pilihan untuk menjual beras. Agar tersosialisasikan, LPHN juga membuat pengumuman harga jual beras sehingga bisa diketahui oleh masyarakat luas. Dan yang terpenting, harganya pun lebih tinggi dibandingkan harga jual yang ditetapkan para tengkulak. Jika sebelumnya harga beras hanya berkisar Rp 10 ribu perkilo, saat ini harga beras di Simancuang sudah naik menjadi Rp 12.500 perkilo. Dan itu diumumkan secara terbuka oleh LPHN. Dengan demikian, jika ada tengkulak beras yang datang mereka mau tidak mau harus mengikuti harga tersebut jika ingin tetap mendapatkan beras dari masyarakat. Namun, dibalik itu sebenarnya kegiatan ini juga dalam rangka mengantisipasi perpindahan lahan yang selama ini juga sering ditemukan di lapangan. Bahkan, tak jarang padi di lahan sawah yang belum dipanen sudah berpindah tangan karena pemilik sawah sedang membutuhkan uang. Dalam kasus seperti ini, pihak yang memberikan pinjaman membeli padi yang masih ada di lahan dan belum dipanen. Bahasa lainnya lahan itu digadaikan dengan uang pinjaman yang disepakati. Sawah petani menjadi agunan yang harus ditebus ke-
WAWANCARA gan perempuan akan berbeda di setiap komunitas. Hal ini yang perlu digali, didokumentasikan dan menjadi bahan advokasi agar masuk dalam proses pengambilan keputusan dalam komunitasnya, juga dalam tingkat kebijakan Negara.
pada pihak pemberi pinjaman. Namun jika sampai batas waktu yang disepakati pemilik sawah belum bisa membayar, maka secara otomatis lahan tersebut akan berpindah tangan. Dan kasus seperti ini sangat merugikan masyarakat. Jika mereka kehilangan lahan, lantas ke depan apa yang akan mereka lakukan untuk mencari penghidupan. Karena sawah bagi mereka adalah barang yang sangat berharga dan menjadi tempat bergantung hidup hingga ke anak cucu. “Ketika WARSI masuk ke situ tantangan besarnya adalah maraknya perpindahan lahan. Sejak kita masuk praktek itu masih terjadi dan kita minimalisir melalui perdagangan beras,” ungkapnya. Memanfaatkan HHBK untuk Peningkatan Ekonomi Selain memanfaatkan modal yang didapatkan dari uji coba benefit sharing untuk perdagangan beras, masyarakat Simancuang juga sudah melirik kegiatan lain yang bisa meningkatkan pendapatan ekonomi mereka. Yaitu dengan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang bisa mereka dapatkan dari Hutan Nagari yang mereka kelola. Masyarakat Simancuang mulai aktif memproduksi keranjang batu dengan bahan baku rotan. Dalam pengambilan rotan pun tidak bisa sembarangan. Jika ada masyarakat yang membutuhkan bahan baku rotan, mereka harus menghubungi pengurus LPHN dan membeli bahan baku yang dibutuhkan melalui lembaga ini. Melalui kegiatan ini, LPHN bisa mendapatkan pemasukan dan masyarakat pun bisa mendapatkan keuntungan dari penjualan keranjang batu yang dihasilkan. Masyarakat lebih memilih memproduksi keranjang batu karena bisa dijual cepat. Sedangkan untuk bahan baku juga sangat mudah ditemukan di Hutan Nagari Simancuang. Masyarakat menjual keranjang batu ini kepada penampung yang datang dari luar desa. Di sinilah terjadi perputaran uang dari pemanfaatan HHBK yang juga memberi dampak penambahan nilai ekonomi bagi masyarakat. Ini adalah manfaat lain yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat dari kegiatan pelestarian hutan yang selama ini mereka lakukan. Untuk membuat sebuah keranjang batu tersebut hanya dibutuhkan dua kilo rotan. Masyarakat membeli rotan perkilosehargaRp 2.500. Jadi untuk menghasilkan satu keranjang dibutuhkan modal bahan baku sebesar Rp 5.000. Sementara harga jual satu unit keranjang dipatok sehargaRp 12.500. Sehingga masih ada keuntungan sekitar Rp. 7.500 dari masing-masing keranjang batu yang mereka produksi. (HermaYulis)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
Sebenarnya seperti apa pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan gender? Yang melihat kepentingan dan pengalaman laki-laki dan perempuan dalam pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Dasarnya adalah pengakuan bahwa kepentingan dan pengalaman mereka (laki-laki dan perempuan) akan berbeda, sehingga untuk memenuhi kebutuhan mereka diperlukan perlakukan yang berbeda.
Foto: Emmy Primadona
38 38
Apa saja yang menjadi kendala untuk mewujudkan keadilan gender dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya di beberapa kelompok adat yang ada di Indonesia?
Arimbi Heroepoetri
Perempuan dan Sumber Daya Alam
P
Secara umum budaya patriarki masih kuat di masyarakat kita, termasuk masyarakat adat. Namun saya melihat kelompok masyarakat adat yang menjalankan sistem adatnya secara egaliter atau struktur sosialnya setara, akan lebih mudah menerima ‘kehadiran’ perempuan dalam komunitas mereka.
endekatan feminis diwarnai secara kuat oleh “komitmen terhadap pemberdayaan perempuan dan kaum marginal lainnya” (Sprague dan Zimmerman 1993 dalam Hesse-Biber, Leavy, dan Yasier 2004:15). Ketidakadilan akses dan kontrol atas sumber daya khususnya hutan tidak hanya dilihat dari variabel kelas, kasta, ras, budaya dan etnisitas dan faktor lainnya namun gender seharusnya juga menjadi bagian penting dari variabel tersebut. Untuk memahami aspek gender dalam dinamika penguasaan hutan, berikut petikan wawancara Alam Sumatera bersama Arimbi Heroepoetri, perempuan ini aktif bekerja untuk isu lingkungan, masyarakat adat, konsumen, perempuan dan globalisasi.
Ketika kunjungan ke lapangan di salah satu desa dampingan WARSI, bisa sedikit diceritakan pandangan mbak terkait dengan fasilitasi yang dilakukan apakah sudah berkeadlian gender, dan jika belum apa saran ke depannya?
Dari pengalaman dan penelitian yang pernah dilakukan pada berbagai tempat, bisa diceritakan bagaimana posisi perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam di komunitasnya?
Bisa diceritakan sedikit, bagaimana kita sebagai pendamping masyarakat bisa berkeadilan gender dalam melakukan kegiatan-kegiatan pemberdayaan pengelolaan sumber daya alam? Dan apa aturanaturan yang harus diperhatikan?
Secara umum, kepentingan, pandangan, dan pengalaman perempuan belum terwakili dengan baik dalam pengelolaan sumber daya alam di komunitasnya. Misalnya pemahaman perempuan akan benih, tanaman obatobatan, tanaman pangan belum mendapatkan tempat yang layak di komunitas. Pengetahuan itu dianggap sebagai pengetahuan biasa saja. Sehingga tidak dianggap penting untuk masuk dalam proses pengambilan keputusan misalnya. Tentu saja, pengalaman dan kepentin-
Sulit menentukan sudah berkeadilan gender atau tidak dalam sebuah kunjungan yang singkat. Secara sekilas saya merasakan bahwa akses perempuan terbuka seluas-luasnya, baik dalam pemilihan fasilitator maupun dalam relasi dengan masyarakat. Tapi perlu diperiksa lebih lanjut seperti yang kemukakan di atas, apakah pengalaman perempuan dan kepentingan perempuan telah terakomodasi atau tidak.
Seorang pendamping masyarakat yang berkeadilan gender tidak dapat terjadi hanya karena inisiatif pendamping masyarakat itu, tetapi juga harus didukung oleh organisasinya. Ia harus terus melatih kepekaan akan kebutuhan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam kegiatan pemberdayaan pengelolaan sumber daya alam. Ia juga harus peka untuk menciptakan kondisi yang nyaman bagi laki-laki dan perempuan untuk me-
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
39 39
40
41 ngeluarkan pendapatnya. Kepekaan tersebut memang dapat dilatih sendiri oleh sang pendamping masyarakat, namun dengan dukungan organisasi, maka pelatihan kepekaan tersebut akan menjadi lebih tersistematis dan masif. Misalnya dibangunnya standar maupun alat-alat kerja lapangan yang berperspektif gender yang dibangun bersama oleh organisasi.
gupayakan pertanian berkelanjutan di desa mereka. Melakukan serangkaian inovasi untuk pertanian yang lebih baik dan memanfaatkan lahan terlantar merupakan kegiatan Taruna Tani dan Wanita Tani, kelompok yang dibentuk untuk membantu meningkatkan pendapatan petani. Kegiatan ini diinisiasi KKI-WARSI yang tujuannya mengajak kelompok pemuda dan masyarakat kembali mengolah lahan pertanian dan perkebunan guna menjaga kelestarian lingkungan alam sekitar desa. Pemuda dan kaum perempuan bisa menjadi motor dan berperan penting dalam pengembangan pertanian sekaligus peningkatan pendapatan masyarakat yang mayoritas menggantungkan hidup mereka dari sektor pertanian.
Apa yang menjadi kendala minimnya atau hampir tidak ada lembaga-lembaga yang fokus pada konservasi dan pemberdayaan masyarakat juga bisa menerapkan keadilan gender dalam aktifitasaktifitas yang dilakukan di lapangan? Cara berpikir dan budaya patriarki sangat kuat menancap, masuk dalam setiap sendi kehidupan kita, dalam metode penelitian, dalam pendekatan pendampingan dll. Termasuk juga kemungkinan dalam cara berpikir saya. Kita sudah terbiasa dididik untuk bicara hal-hal yang besar dengan indikator angka, dengan demikian maka apa yang kita katakan memenuhi kaidah ilmiah. Kita tidak dibiasakan untuk menghormati pengalaman individu, karena dianggap individu tidaklah sahih jika bicara soal masyarakat. Dalam konservasi yang diutamakan adalah konservasi flora dan fauna, sehingga mudah lupa untuk memasukkan unsur manusia dalam lensa konservasi. Contoh yang paling mudah adalah bagaimana Negara ini tetap menggunakan pendekatan taman nasional untuk melakukan konservasi, dan kemudian mengusir masyarakat yang telah ada di taman nasional tersebut. (Elviza Diana)
Profil Arimbi Heroepoetri Aktif bekerja untuk isu lingkungan, masyarakat adat, konsumen, perempuan dan globalisasi. Ia pernah bekerja di WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) antara tahun 1988 - 2000. Koordinator dan pengajar pada mata kuliah Feminist Political Ecology di Kajian Wanita Universitas Indonesia sejak (2001- 2011). Direktur debtWATCH Indonesia (2000 – 2008). Komisioner pada Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) selama dua periode (2007 – 2014), Arimbi juga terlibat dalam jaringan E-LAW (environmental Law Alliance worldwide) sebuah jaringan pengacara publik lingkungan internasional yang mendorong adanya penegakan hukum lingkungan dalam berbagai kasus lingkungan. Menjadi salah satu pendiri Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), dan terlibat dalam pendirian beberapa organisasi perempuan dan bantuan hukum di beberapa wilayah. Dengan latar belakang hukum lingkungan, ia menyelesaikan pendidikannya pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (1988), dan Dalhousie Law School di Halifax – Kanada (1992).
Berlatih membuat Trichoderma lokal untuk mengatasi Jamur Akar Putih. Foto HarioTamtomo/dok. KKI WARSI
SUARA RIMBA
Trichoderma Lokal dari Nasi Hampir Basi Alternatif Penanganan JAP yang Rendah Biaya dan Ramah Lingkungan
J
Berawal dari berbagai diskusi yang dilakukan oleh fasilitator unit desa KKI-WARSI, mayoritas masyarakat mengeluhkan serangan Jamur Akar Putih (JAP) pada tanaman karet mereka, sehingga menurunkan kualitas harga karet. Apalagi di tengah anjloknya harga karet. Dari diskusi ini muncullah ide pembuatan trichoderma lokal, berbiaya rendah dan ramah lingkungan. Selama ini, sebenarnya PPL telah melakukan penyuluhan mengenai trichoderma dan praktek penggunaannya pada tanaman karet yang telah terinfeksi JAP. Sayangnya, trichoderma yang diberikan hasilnya kurang memuaskan. Ditambah lagi, untuk mendatangkan trichoderma berbiaya tinggi. Satu karung trichoderma seberat 20 kg saja, petani harus mengeluarkan biaya Rp 350,000,-. Tentulah biaya ini sangat mahal bagi petani, di tengah menurunnya harga karet yang cukup signifikan belakangan ini. “Saya yakin, dengan menggunakan produk lokal akan lebih mudah pembuatan dan penggunaannya, berbiaya rendah dan yang terpenting ramah lingkungan,” kata Hario Tamtomo Fasilitator Desa KKI WARSI yang melakukan pendampingan di sejumlah desa penyangga TNBD.
ari-jari tangan Maya terlihat sigap membulatkan nasi sisa yang sudah hampir basi. Gadis dari Desa Tanjung Ilir Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin ini, tak risih mengaduk-aduk nasi yang sudah mulai berubah warna kekuningan dan berair. Setelah membuat sepuluh gumpalan nasi, Maya mengambil kardus yang setengahnya telah terisi serasah daun bambu hampir lapuk. Maya lalu menyusun gumpalan nasi basi di atas daun kering yang hampir busuk. Berikutnya, nasi kembali ditutup dengan daun bambu kering. Terakhir, kardus ditutup dan disimpan selama lima hari di tempat yang tidak terkena matahari langsung dan terlindung dari hujan. Demikianlah cara Maya mempraktekkan pembuatan trichoderma, jamur yang bermanfaat untuk mengatasi Jamur Akar Putih (JAP) yang menyerang akar tanaman karet.
Disebutkan Hario, selanjutnya fasilitator mencari informasi dan diskusi dengan PPL yang kemudian mengantarkannya berkenalan dengan Pak Isah, petani Desa Seling. “Kemudian, beliau memperkenalkan saya dengan Pak Reki yang menurutnya telah berpengalaman dalam pembuatan Mikro Organisme Lokal (MOL) dan pengembangan jamur trichoderma berbahan lokal, yang ada di sekitar masyarakat. Karenanya, kami meminta Pak Reki untuk mengajarkan pembuatan trichoderma kepada para petani, pemuda dan kaum perempuan di beberapa desa ini, sekaligus mempraktekkannya di lahan petani,” lanjut Hario.
Maya merupakan anggota Taruna Tani Desa Tanjung Ilir. Alumni Akademi Kebidanan Merangin ini, bersama sejumlah pemuda desa lainnya terlibat aktif untuk men-
Setelah dua bulan masyarakat mengikuti pelatihan pembuatan trichoderma lokal dan mengaplikasikannya pada kebun karet mereka, hasilnya cukup menggembira-
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
kan. Jamur Akar Putih (JAP) terlihat berkurang, karena trichoderma memakan jamur akar putih dan merangsang pertumbuhan akar baru. Jamur Akar Putih (JAP) merupakan penyakit yang disebabkan oleh jamur Rigidoporus microporus. Sesuai namanya, jamur ini memiliki ciri khas yaitu jaringan benang-benang (mycelium) berwarna putih. Miselia jamur mampu melakukan penetrasi langsung ke dalam jaringan akar. Pada masa awal serangan, akan ditandai dengan daun-daun yang menjadi kusam (tidak mengkilat), agak menggulung, layu dan gugur. Ada kalanya tanaman membentuk bunga/buah lebih awal, dan bertajuk tipis. Apabila akar tanaman dibuka, maka pada permukaan akar terdapat semacam benang-benang berwarna putih kekuningan menempel dan pipih, menyerupai akar rambut yang menempel kuat dan sulit dilepas. Gejala lanjut, akar akan membusuk, lunak dan berwarna cokelat. Serangan jamur akan putih biasanya disebabkan karena lahan yang telah tercemar jamur, baik saat pembibitan maupun dibawa oleh hewan. Bisa juga disebabkan lahan yang memang terdapat habitat jamur dan tidak diketahui oleh petani. Jika dalam satu kawasan terserang jamur ini, sangat mungkin untuk menyebar pada tanaman lain. Apabila tidak dilakukan isolasi terhadap tanaman yang sudah terserang, akar yang terkena Jamur Akar Putih (JAP) dapat kontak dengan akar tanaman karet yang sehat. Karena spora jamur yang ada di sekitar perkebunan, juga dapat terbawa angin dan hewan. Tanaman karet yang terserang penyakit ini akan mati, jika tidak segera ditanggulangi. Selain itu, juga sangat potensial untuk menulari tanaman disekitarnya. Menebang pohon dan membongkar tanaman yang terserang jamur, kemudian membakar lobang bekas galian tanaman karet merupakan cara ampuh untuk menghilangkan sporaspora yang masih berada di dalam tanah. Namun penanganan ini berbiaya tinggi dan merugikan petani. Oleh karenanya, cara lain penanganan penyakit ini adalah dengan pengendalian Jamur Akar Putih (JAP) melalui penggunaan trichoderma lokal yang tentunya murah, mudah dan terjangkau oleh masyarakat. Inilah yang kini mulai dikembangkan diberbagai desa penyangga TNBD, di mana tanaman karet masyarakat terserang Jamur Akar Putih (JAP) dengan prinsip rendah biaya, mudah dalam proses pembuatannya, mudah digunakan, berkualitas, dan ramah lingkungan. (Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
42
SUARA RIMBA
Ngilo, Pejuang Orang Rimba
Pembentukan kelompok-kelompok kecil ini, sebagai salah satu cara untuk mencukupkan sumber daya yang tersisa dalam rangka mencukupi kebutuhan seharihari mereka. Adat budaya Orang Rimba mereka akan berpindah tempat untuk mencari sumber penghidupan baru, namun tetap dalam satu wilayah tertentu. Luasnya perkebunan yang di bangun di wilayah penghidupan mereka, menyebabkan ke mana pun mereka beranjak, selalu bertemu dengan perkebunan kelapa sawit. Akibatnya Orang Rimba tinggal di dalam perkebunan sawit, dengan membuat pondok-pondok beratap terpal tanpa dinding. Ada kalanya mereka harus membongkar pondoknya jika perusahaan memanen buah sawit di sekitar pondok, sudah bisa dipastikan pondok akan rusak jika tertimpa buah sawit yang sedang di panen. Melihat kondisi ini, pada tahun 2004 Orang Rimba kelompok Mansur di Desa Pauh Menang dan kelompok Nungkai dari Desa Pelakar Jaya, keduanya dalam Kecamatan Pamenang dibangunkan rumah-rumah sederhana. Lokasi perumahan berada di area tanah R desa setempat dengan masing-masing kelompok seluas 2 ha. Tanah ini hanya cukup untuk perumahan dan tidak mencukupi untuk lahan usaha seperti yang didapatkan peserta transmigrasi lainnya. Meski demikian, kedua kelompok ini jauh lebih beruntung dari kelompok Roni, Sikap dan Harun yang hingga saat ini masih belum memiliki tempat tinggal apalagi lahan usaha.
Orang Rimba bersama WARSI membangun perladangan dan pemukiman baru di tanah harapan Sepintun. Foto Kristiawan/dok. KKI WARSI
Tanah R, demikian sebutan untuk untuk tanah restan di ujung lokasi transmigrasi yang berada di SPA Pauh Menang Kecamatan Pemenang Kabupaten Merangin Jambi. Tanah R merupakan tanah sisa dari transmigrasi yang mulai di bangun sejak tahun 1982. Pada tahun-tahun berikutnya pemerintah membangun sejumlah satuan pemukiman lain di daerah ini hingga SP E Desa Tanah Abang. Peserta transmigrasi berasal dari Pulau Jawa.
S
eiring kehadiran transmigrasi, pemerintah juga menggalakkan perkebunan kepala sawit di sepanjang Jalan Lintas tengah Sumatera. Salah satunya adalah PT Kresna Duta Agroindo yang membangun perkebunan kelapa sawit secara bertahap dengan total lahan lebih dari 23 ribu ha, baik perkebunan inti maupun pola plasma yang melibatkan para peserta transmigrasi yang sudah lebih dahulu dihadirkan di wilayah ini. Sekilas kehadiran jalan lintas tengah Sumatera, pembangunan desa-desa transmigrasi dan perkebunan kepala sawit menggeliatkan perekonomian di wilayah ini. Namun ada yang terabaikan yaitu keberadaan Orang
Rimba, masyarakat asli yang mendiami wilayah-wilayah hutan di Provinsi Jambi. Kegiatan pembangunan skala besar yang dilakukan pemerintah di wilayah ini secara nyata telah menyebabkan Orang Rimba kehilangan sumber penghidupannya. Di Kecamatan Pemenang terdapat sejumlah kelompok Orang Rimba.
Orang Rimba yang sudah ‘dirumahkan’ ini mengalami kesulitan untuk mempertahankan hidup mereka. Berburu sebagaimana yang diwariskan nenek moyang tetap menjadi pilihan, meski hasil buruan jauh berkurang, menjadi petani sebagaimana layaknya masyarakat transmigrasi mereka sama sekali tidak memiliki lahan. Padahal sebagian Orang Rimba kelompok ini sudah menyadari bahwa mereka harus berdaya saing untuk bertahan hidup, salah satunya dengan peningkatan pendidikan dan merubah pola kehidupan menjadi petani menetap. Di kelompok ini muncul semangat untuk merubah peruntungan mereka, ketertinggalan dan kalah dalam persaingan hidup mulai di lawan. Adalah Ngilo salah satu aktor yang berjuang keras untuk merubah pola hidup menjadi petani menetap. Ngilo, termasuk yang menempati tanah R ini, sangat yakin bahwa kehidupan mereka bisa berubah menjadi
lebih baik, jika saja mereka juga hidup dengan berbasis lahan. Ngilo sangat sadar kehidupan berburu dan meramu hasil hutan akan sangat sulit di masa datang menyusul semakin sempitnya hutan dan alih fungsi kawasan yang berlangsung sangat cepat. Ngilo terus berjuang untuk mengajak kelompok Orang Rimba yang lain untuk mulai merubah nasib mereka. Perjuangan ini ada yang menyambut baik, namun banyak juga yang mencaci dan menuduhnya sebagai orang yang kurang waras. Namun Ngilo tak patah semangat. Baginya hidup berbasis lahan dengan pertanian berkelanjutan merupakan pilihan yang harus diambil jika tidak ingin terdepak dari kehidupan dan menjadi marginal di tanah sendiri. Harus ada aksi nyata dan juga kesempatan untuk menjalankan pola hidup baru. Pilihan rasional bagi Orang Rimba adalah daerah baru dengan adanya akses mereka untuk mengelola lahan untuk lahan pertanian. Inilah yang kemudian membakar semangat Ngilo untuk terus meyakinkan anggota kelompoknya dan Orang Rimba lainnya yang sudah kehilangan sumber penghidupan untuk mengakses lahan baru yang bisa mereka kelola seperti peserta transmigrasi mengelola lahan usaha mereka. Kondisi ini juga yang kemudian mendorong WARSI untuk menyediakan lahan seluas 15 ha. yang diperuntukkan bagi Orang Rimba, yang berada di Desa Sepintun Kecamatan Sarolangun. Selain tanah ini WARSI terus mengupayakan supaya adanya kawasan yang dimitrakan oleh perusahaan dengan Orang Rimba. Penyediaan Orang Rimba ini juga bukanlah persoalan mudah, mengingat ada hubungan erat antara Orang Rimba dan tanah kelahiran mereka, meski tanah kelahiran sekarang sudah menjadi areal perkebunan. Ngilo bersama fasilitator WARSI bahu membahu untuk meyakinkan dan mencontohkan pertanian menetap sehingga bisa mendukung kehidupan Orang Rimba di masa datang. Kini ada 14 kk Orang Rimba yang menempati lokasi baru di Desa Sepintun, membangun rumah yang sesuai dengan keinginan Orang Rimba, juga membangun areal perkebunan untuk kehidupan mereka. Saat ini, padi ladang yang di tanam orang Rimba sudah berbuah, karet sebagai tanaman kehidupan juga terlihat subur. Di hamparan inilah harapan Orang Rimba untuk bisa mandiri terhampar. (Sukmareni/Kristiawan)
Pada awalnya kelompok Orang Rimba yang berada di wilayah ini berasal dari Sungai Kejumat yang di pimpin oleh Mendiang Rincan. Namun untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari kelompok besar ini berkembang menjadi lima kelompok kecil yang dipimpin oleh Sikap, Mansur, Nungkai, Roni dan Harun.
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
43
44
AKTUAL
AKTUAL
WARSI keluar dari Pokja SFMP
K
KI WARSI memutuskan untuk keluar dari Kelompok Kerja ISFMP (Integrated Sustainable Forest Management Plan) Provinsi Jambi. Keluarnya WARSI dari kelompok Kerja ini karena setelah melakukan perjalanan lapangan menemukan kondisi di lapangan tidak sepenuhnya masuk ke dalam rekomendasi tim ahli, validitas atau akurasi data yang digunakan tim ahli masih diragukan dan konflik sosial tidak terpetakan dengan baik.
B
upati Merangin mengeluarkan keputusan Nomor 146/Disbunhut/2015 tentang penetapan areal hutan adat Rantau Kermas Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin seluas 130 ha. Dalam surat keputusan yang ditandatangani pada 4 Maret 2015, Bupati menyebutkan bahwa masyarakat berhak untuk mengelola dan memanfaatkan kawasan tersebut berdasarkan aturan adat dan tidak bertentangan dengan perundangan yang berlaku. Masyarakatpun berkewajiban untuk menjaga kelestarian hutan adat.
WARSI mulai bergabung dengan Kelompok Kerja yang merupakan multi stakeholder yang terdiri dari unsur pemerintah yaitu Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, BKSDA, Balai Taman Nasional Bukit Tigapuluh, perwakilan APHI, perwakilan NGO yang terdiri dari WWF, Green Peace, ZSL, Forum Gajah dan akademisi dalam hal ini Universitas Jambi, serta sejak Desember 2014. ISFMP merupakan Rencana Pengelolaan Hutan Lestari yang Terintegrasi, yang akan mengatur tata cara pengelolaan dan pemeliharaan daerah konsesi pemasok Asia Pulp and Paper.
Sebelumnya Masyarakat Rantau Kermas sudah dua kali mengajukan permohonan legalisasi hutan adat kepada Bupati. Pengajuan pertama dilakukan Januari 2000 namun belum ada tanggapan dari Bupati Sarolangun Bangko waktu itu. Pengajuan kedua dilakukan pada September 2013, inilah yang kemudian di respons Bupati dengan keluarnya SK penetapan hutan adat. Hutan Adat Desa Rantau Kermas memiliki dua lokasi. Pertama terletak di sebelah Selatan hingga Barat pemukiman desa mulai dari Sungai Manden sampai Sungai Limau Ruso dan berbatasan langsung dengan TNKS. Lokasi kedua, terletak disebelah Utara hingga Timur pemukiman, mulai dari Muara Sungai Mengkeruh hingga Pal Batas TNKS No. 3891.
Dibentuknya ISFMP merupakan kelanjutan dari program kerja Asia Pulp & Paper Group (APP) dalam melaksanakan Kebijakan Konservasi Hutan (Forest Conservation Policy/FCP) dengan para pihak untuk terlibat memantau langsung kegiatan APP. Selama ini banyak tudingan miring kepada APP yang lebih mementingkan kepentingan bisnis dibandingkan perlindungan ekosistem, maka sejak 2013 lalu APP sudah menyatakan komitmennya untuk melakukan perbaikan tata kelola kehutanan diantaranya penghentian pembukaan hutan alam secara permanen di seluruh rantai pasokannya melalui peluncuran kebijakan FCP. Untuk memastikan komitmennya APP telah meminta tim ahli untuk memberikan penilaian independent terhadap komitmen APP, terutama penilaian terintegrasi terhadap keanekaragaman hayati dan konservasi yang terbesar yang pernah dilakukan, sosial dan pengelolaan berkelanjutan pada kawasan pemasok APP. Hasil penilaian tim ahli ini kemudian di tindaklanjuti oleh Kelompok Kerja untuk memberikan pilihan terbaik guna keberlanjutan pengelolaan kawasan pemasok APP sehingga memberikan keuntungan secara ekonomi, ekologi dan masyarakat. Namun dalam perjalanannya WARSI melihat beberapa ketidaksesuaian antara rekomendasi tim ahli sehingga memutuskan untuk keluar dari kelompok kerja ini. (Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
Rantau Kermas dapat SK Hutan Adat
Beberapa kegiatan yang dilakukan Sinar Mas Forestry di Provinsi Jambi. Foto: dok. KKI WARSI
Hutan Adat dikelola oleh Kelompok Pengelola Hutan Adat yang dipilih dalam rapat desa. Untuk pemanfaatannya, salah satu hak yang diberikan kepada KPHA adalah hak untuk pemanfaatan kawasan. Kehadiran keputusan bupati yang melegalkan hutan adat ini, tentu disambut baik oleh masyarakat Rantau Kermas. Bagi masyarakat sejak lama kawasan hutan yang berada di APL ini sudah dilindungi dan dikelola dengan nilainilai adat. Bahkan masyarakat sudah memiliki Peraturan Desa (Perdes) Rantau Kermas nomor 01/kades/ RK/3/2000 tentang penetapan kawasan hutan adat. Dalam Perdes ini juga ditetapkan kelompok pengelola hutan adat, sistem pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat. Perdes yang ditetapkan pada tanggal 16 April 2000, hingga kini masih berlaku di masyarakat. Legalitas yang diberikan Bupati Merangin akan semakin menguatkan masyarakat dalam melanjutkan pengelolaan hutan secara arif dan bijaksana.
Hingga kini, kawasan hutan adat ini memiliki tutupan hutan bagus yang baik, meski berada bukan dalam kawasan hutan, namun berada di dalam areal pemanfaatan lain. Namun secara bentang alam, hutan adat ini menempati posisi yang bersisian dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Terdapat sejumlah alasan penting bagi masyarakat untuk memproteksi kawasan hutan adat mereka. Alasan utama adalah melindungi sumber air. Dengan posisi geografis yang berada diketinggian 900-1.400 mdl dan berada dipinggir hutan serta jauh dari ibukota kabupaten sekitar 4 jam berkendara, desa ini tidak tersentuh jaringan listrik negara. Sumber daya air yang melimpah dimanfaatkan masyarakat untuk pembangkit listrik. Dengan didukung oleh proyek ICDP TNKS, masyarakat memanfaatkan Pembangkit Listrik tenaga Mikro Hidro (PLTMH), yang memanfaatkan memanfaatkan aliran Sungai Batang Langkup. Aliran air sungai yang stabil sepanjang tahun mampu menggerakkan turbin yang berkapasitas 40 ribu watt yang menerangi 100 rumah di desa ini. Tak hanya listrik, sumber air juga dimanfaatkan sebagai sumber air bersih yang dialirkan ke rumah-rumah warga. Masyarakat bisa menikmati aliran air bersih langsung ke rumah masing-masing sepanjang waktu. Sungai Batang Langkup juga sangat bermanfaat oleh masyarakat untuk mengairi sawah-sawah yang menjadi lumbung pangan dan penopang perekonomian masyarakat Rantau Kermas. Sejak zaman dahulu, bahkan ketika Indonesia belum merdeka, Wilayah Marga Serampas termasuk Rantau Kermas, sudah terkenal sebagai penghasil padi. Fungsi hutan adat Rantau Kermas lainnya yang juga penting bagi masyarakat adalah untuk melindungi kawasan hutan masyarakat dari ekspansi penguasaan lahan oleh pihak luar. Sekaligus menjaga keberlangsungan plasma nutfah yang berada di dalam kawasan tersebut. Dibagian bawah kawasan ini, ekspansi kawasan sudah dilakukan oleh sejumlah stakeholder lain yang membuka hutan di Jangkat. Masyarakat tentu juga cemas dengan tingginya laju ekspansi sehingga merasa perlu membentengi wilayah mereka dengan aturan hukum yang mampu melindungi kawasan dari gangguan pihak luar. Bersamaan dengan Rantau kermas, Bupati Merangin juga melegalisasi Hutan Adat Bukit Selebu Desa Baru Kibul seluas 147 ha Desa Baru Kibul Kecamatan Tabir Barat dengan SK nomor No.489/DISBUNHUT/2015. Juga keluar SK penetapan areal kelola Hutan Adat Penghulu Marajo Lelo Serumpun Pusako Desa Tanjung Beringin Kecamatan Tabir Barat, seluas 33.8 ha dengan SK nomor No.147/DISBUNHUT/2015. (Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
45
46
47
AKTUAL
Tumpang Tindih Penguasaan Lahan di Selatan TNBT
T
aman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) secara geografis berada di Provinsi Riau dan Jambi. Di Jambi kawasan TNBT berada di Kabupaten Tebo dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar). Keberadaan bentang alam Bukit Tigapuluh ini sangat penting. Ia adalah tempat tinggal dua masyarakat adat: Orang Rimba dan Talang Mamak.
eks HPH PT IFA di Kabupaten Tebo dibangun koridor sepanjang 56,6 km dan di eks HPH PT Dalek Hutani Esa yang tumpang tindih dengan konsesi HTI PT Wira Karya Sakti (WKS) ditemukan koridor sepanjang 8,3 km. Sedangkan di luar konsesi PT WKS juga dibangun koridor sepanjang 6,9 km. Sehingga total panjang jalan koridor di TNBT Riau dan Jambi mencapai 169,2 km.
Selain itu, bentang alam ini juga menjadi habitat satwa dilindungi. Di dalam kawasan ini ditemukan sebanyak 59 jenis mamalia. Sebagian sudah terancam punah seperti harimau sumatera, gajah sumatera, tapir melayu, siamang, dan kelinci. Tak hanya itu, di dalam ekosistem TNBT juga ditemukan macan dahan, babi hutan, burung rangkong, kuaw raja dan 192 jenis burung. Sebagai benteng pertahanan terakhir satwa penting yang sudah terancam punah, maka sudah sepatutnya bentang alam ini dipertahankan.
Pantauan di lapangan beberapa waktu lalu, jalur koridor yang semula dibangun untuk mobilisasi perusahaan, kini sudah memiliki banyak fungsi di luar itu. Pembangunan jalur koridor ini ditengarai sebagai salah satu penyebab terjadinya kekacauan dalam penguasaan lahan di selatan TNBT. Antara lain membuat akses masuk ke kawasan taman semakin mudah, termasuk sebagai jalur akses masyarakat yang melakukan perambahan di dalam konsesi milik PT Lestari Asri Jaya (LAJ). Saat ini, bagian selatan taman nasional ini menjadi kancah perebutan kawasan yang sangat memprihatinkan. Dampak yang sangat jelas terlihat adalah maraknya aksi perambahan lahan. Aksi perambahan semakin ramai di sepanjang koridor APP sejak dibangunnya jembatan Muara Sekalo, Kecamatan Sumay. Jarak jembatan ini hanya sekitar 15 km dari jalur koridor. Pembangunan jambatan beton itu kian memperlancar akses para pihak menuju kawasan TNBT. Awalnya mereka hanya membuka hutan di sepanjang sisi kiri dan kanan koridor dan menjadikannya lahan perkebunan. Lambat laun, dengan menjalin kerjasama dengan penduduk setempat aktivitas jual beli lahan pun mulai marak terjadi. Sehingga perambahan akhirnya menjadi tak terkendali. Akibatnya, ruang jelajah Orang Rimba dan satwa lang-
Ironisnya, selama beberapa tahun terakhir kondisi bagian selatan TNBT sudah sangat memprihatinkan. Perebutan lahan dan penghancuran kawasan melengkapi karut-marut penguasaan lahan di daerah ini. Jika ditelusuri ke belakang, terjadinya perebutan lahan ini tak lepas dari adanya pembangunan jalur koridor oleh PT Asia Pulp & Paper (APP) yang dimulai sejak tahun 2006. Di wilayah TNBT Riau, PT APP dan mitranya membangun koridor sepanjang 15,6 km, tepatnya di areal konsesi PT Artelindo Wiratama Riau. Kemudian di kawasan Hutan Lindung Bukit Batabuh dibangun koridor sepanjang 7,6 km dan di Hutan Lindung Bukit Limau (Jambi) sepanjang 21,2 km. Selain itu, di areal konsesi
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
Kasus perambahan lahan sudah nyaris menghabiskan semua penyangga TNBT yang notabene selama ini menjadi tempat berdiam satwa liar seperti gajah, harimau, orangutan dan satwa dilindungi lainnya. Foto: Aulia Erlangga/dok. KKI WARSI ka yang ada di TNBT pun semakin sempit. Hal itu kemudian memicu satwa liar keluar hingga ke permukiman dan perkebunan penduduk. Dampak setelah itu adalah terjadinya konflik antara satwa dengan masyarakat di daerah ini. Di satu sisi, ada sejumlah perusahaan yang memiliki izin konsesi dari pemerintah. Sementara di sisi lain, ada Orang Rimba, masyarakat desa, dan masyarakat pendatang yang juga mengklaim bahwa mereka memiliki lahan di kawasan tersebut. Saat ini ada beberapa kelompok masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani mengklaim penguasaan lahan di dalam konsesi milik PT LAJ. Pertama, terdapat klaim lahan oleh masyarakat dari Desa Semambu mengatasnamakan Kelompok Tani Desa Semambu seluas 3000 hektar. Klaim sepihak tersebut menandakan bahwa terjadinya konflik batas konsesi PT LAJ dengan pihak lain pada lokasi yang diklaim oleh masyarakat tersebut. Masyarakat telah melakukan penebangan hutan dengan cara tebang dan bakar. Sebagian lahannya telah ditanami karet oleh masyarakat. Kedua, terdapat areal klaim masyarakat Serai Serumpun. Lokasi lahan ini sama dengan yang terjadi di Kelompok Tani Desa Semambu. Terdapat penebangan dan pembakaran lahan. Namun, ini dibiarkan begitu saja oleh PT LAJ blok Sumay. Kegiatan tebas tebang dan bakar masih menjadi pilihan yang dianggap menguntungkan bagi petani.Karena akan menghemat biaya jika dibandingkan melakukan land clearing menggunakan alat berat. Kegiatan bakar lahan ini semakin tidak
terkendali karena tidak ada petugas yang menertibkan pelaku pembakaran hutan pada konsesi PT L AJ ini. Ketiga, ada kelompok Tani Endelang Jaya yang juga mengklaim kepemilikan lahan di areal LAJ. Kelompok tani ini pada awalnya terdiri dari Orang Rimba, namun belakangan sudah banyak yang mereka jual kepada para stakeholder lain. Banyaknya klaim dan tumpang tindihnya kepemilikan lahan seperti ini ibarat bom waktu. Pada waktunya kelak ia bisa meledak dalam rupa konflik perebutan sumber daya alam. Dan itu mulai terasa sekarang ini. Dengan kata lain, jika kondisi seperti ini terus berlanjut, maka ada potensi konflik agraria di selatan TNBT jika itu tidak segera diatasi oleh semua pihak yang memiliki kepentingan. Bahkan, selama beberapa tahun terakhir rentetan konflik juga sudah sangat panjang dengan melibatkan banyak pihak dengan agenda mereka masing-masing. Jika hal itu tak segera ditangani dengan serius, maka keberadaan bentang alam Bukit Tigapuluh yang selama ini digadang-gadangkan sebagai benteng terakhir satwa kunci Sumatera, akan semakin terancam punah. Sekarang saja kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Kasus perambahan lahan sudah nyaris menghabiskan semua penyangga TNBT yang notabene selama ini menjadi tempat berdiam satwa liar seperti gajah, harimau, orangutan dan satwa dilindungi lainnya. Dan yang yang tak kalah penting, selain bisa meningkatkan eskalasi konflik satwa dengan masyarakat, kehancuran hutan di kawasan ini juga akan menimbulkan bencana ekologi seperti banjir dan longsor (Herma Yulis).
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
48
MATAHATI
MATAHATI
Orang Rimba Berlatih Pembibitan Jernang
T
umenggung Grip terlihat sangat kagum dengan mata tunas yang menyembul dari biji jernang yang baru tiga hari lalu di congkelnya. Tumenggung Orang Rimba kelompok Kedudung Muda Taman Nasional Bukit Duabelas ini takjub dengan cepatnya pertumbuhan yang terjadi. Padahal menurut pengalaman Orang Rimba, jika ada buah jernang yang jatuh ke tanah sewaktu mereka panen, kecambah dari biji jernang baru akan muncul setelah enam bulan. Kemunculan kecambah semakin menambah semangat 20 peserta yang terdiri dari kelompok Ngrip dan Kelompok Betaring, mengikuti pelatihan pembibitan Jernang yang dilakukan oleh WARSI belum lama ini. Adalah Erinaldi Ramli, Spesialis Pengembangan Ekonomi Hijau KKI WARSI yang memiliki ide untuk mempersingkat cara pembibitan jernang bersama Orang Rimba. Jernang merupakan salah satu tanaman bernilai ekonomi tinggi. Sejak zaman dahulu nenek moyang Orang Rimba sudah terlibat dalam tata niaga perdagangan jernang dengan pihak luar, meski waktu itu dengan menggunakan sistem barter.
Dari uji coba yang berhasil dilakukan, suasana kedap selama masa perkecambahan namun tetap ada air yang akan membantu mata kecambah keluar cukup membantu mempercepat keluarnya kecambah. Caranya buah jernang yang sudah tua dimasukkan ke kantong plastik besar yang di dalamnya di beri air dan kemudian kantong di tutup dengan rapat kantong dibiarkan dalam keadaan gembung. Jika hanya dengan perlakuan ini kecambah akan keluar dalam waktu tiga bulan. Untuk lebih mempersingkat lagi, maka di bantu dengan cara menggerinda jaringan di sekitar mata kecambah. Bisa juga dengan mencongkel jaringan yang terdiri dari zat tanduk yang sangat keras yang berada di sekitar tempat kecambah akan keluar dengan menggunakan cutter. Proses ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati supaya tidak merusak jaringan bakal kecambah.
Rimba yaitu Pak Tarip sudah melihat bahwa adanya kecen-derungan semakin sulit menemukan tanaman-tanaman yang menjadi sumber pendapatan Orang Rimba yang tumbuh di alam, maka budidaya merupakan pilihan yang harus dilakukan. Untuk itulah kemudian Pak Tarip juga sangat antusias untuk melakukan pembibitan jernang. Untuk itulah kemudian Erinaldi yang sudah sangat akrab dengan dunia Orang Rimba, merasa terpanggil untuk melakukan penelitian kecil-kecilan yang bisa memberikan inovasi baru bagi pengembangan ekonomi Orang Rimba. Dari hasil mengamati dan membaca berbagai literatur dan membuat sejumlah percobaan, akhirnya Erinaldi menemukan cara baru dalam pembibitan jernang.
Jerneng (Dhaemorhopdraco) merupakan tumbuhan merambat yang hidup di hutan-hutan tropis pada ketinggian tak lebih dari 800 mdpl. Hutan dataran rendah Jambi yang merupakan juga rumah bagi Orang Rimba merupakan tempat yang cocok untuk tumbuh jernang. Dahulu Orang Rimba dengan mudah menemukan rumpun jernang dan memanen buahnya dalam dua kali setahun. Tumbuhan ini sebagaimana jenis rotan lainnya tumbuh merambat dengan ketinggian bisa mencapai 25 meter mengikuti pohon tegakannya. Berkurangnya pepohonan di dalam hutan akibat berbagai aktivitas baik penebangan maupun alih fungsi hutan menyebabkan keberadaan jernang juga semakin sedikit. “Untuk tumbuh alami di hutan jernang butuh waktu lama, makanya kita menggagas untuk adanya pembibitan yang akan mempercepat proses budaya jernang, karena ketersediaan jernang di alam semakin sedikit, sangat sayang jika salah satu sumber ekonomi mereka ini hilang begitu saja, sedangkan sumber ekonomi lainnya untuk Orang Rimba juga belum berkembang dengan baik,”sebut Erinaldi. Sejauh ini Orang Rimba belum terlalu mengenal teknik budi daya Orang Rimba merupakan komunitas yang mengantungkan hidupnya dari berburu dan meramu hasil hutan. Namun salah satu Tumenggung Orang ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
“Dengan mencongkel jaringan tanduk ini mata kecambah akan muncul dalam waktu tiga hari, prosesnya setelah di congkel bibit di tempatkan di dalam kantong plastik yang sudah diberi air kemudian diikat,” sebut Erinaldi yang sebelum membagi ilmunya dengan Orang Rimba terlebih dahulu menguji coba ketahanan bibit dan menanamnya, sehingga bisa menghasilkan tanaman yang juga baik layaknya tanaman jernang di alam. Setelah kecambah keluar, tanaman tetap ditempakan di dalam kantong yang kedap udara selama 1-1,5 bulan, selanjutnya bibit di pindahkan ke dalam polibag. Tumbuhan siap ditanam setelah empat daunnya tumbuh, yang biasanya memerlukan waktu selama 4-6 bulan. Di alam jernang muda tergolong tanaman yang sangat di gemari hama, terutama monyet, babi dan hewan besar lainnya yang memakan umbut jernang yang rasanya sangat manis. Untuk itulah setelah memindahkan dari polibag ke tanah, bibit jernang yang ditanam di dalam hutan harus dipagari dengan baik untuk menghindari serangan hama. (Foto atas) Jernang merupakan salah satu mata pencaharian Orang Rimba, ketersediaan di alam semakin tipis, perlu upaya budi daya. Foto Erinaldi Ramli/dok. KKI WARSI (Foto kiri) Hasil panen jernang Orang Rimba. Foto: Aulia Erlangga/dok. KKI WARSI
Inovasi untuk percepatan pembibitan tumbuhan penghasil resin yang dalam dunia perdagangan dikenal dengan istilah dragon blood inilah yang kemudian di tularkan Erinaldi kepada Orang Rimba. “Selama ini jernang butuh waktu panjang untuk berkecambah, setelah diamati rupanya terdapat jaringan yang terdiri dari zat tanduk pada sekitar bakal kecambah muncul. Jaringan yang menutup mata tunas merupakan jaringan yang sangat keras dan kedap air, sehingga butuh waktu panjang untuk membukanya secara alami,”sebut Erinaldi.
Dengan pelatihan harapannya Orang Rimba bisa sendiri membudidayakan tanaman jernang, sehingga bisa menjadi tumpuan ekonomi Orang Rimba. Biasanya dari satu rumpun jernang, Orang Rimba bisa mendapatkan hasil satu karung buah jernang yang jika di olah akan menghasilkan 1,5 kg resin. Harga di pasaran Orang Rimba sekitar Rp 3,3 juga per kilo gram. Tindak lanjut dari pelatihan ini Orang Rimba kerudung Muda yang akan panen jernang dua bulan ke depan, berencana untuk meninggalkan sebagian buah untuk di bibitkan. (Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
49
50
SELINGAN
SELINGAN
Warga Sabah Belajar Ke Simancuang
D
ulu, nama Jorong Simancuang belum banyak dikenal orang. Itu dikarenakan Simancuangmasih sulit diakses dari pusat kota. Secara georafis daerah ini berada di Kecamatan Alam Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan, Provinsi Sumatera Barat. Simancuang mulai ditempati penduduk pada 1974, sebagai tujuan untuk kegiatan pertanian. Setelah sekian puluh tahun berlalu, daerah ini berubah menjadi sebuah perkampungan, yang di Sumatera Barat dinamakan Jorong. Hingga kini, meski sudah menjadi perkampung-
an dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, masyarakat Simancuang tetap mempertahankan identitas mereka sebagai petani dengan tetap mengelola hamparan sawah di sekeliling permukiman mereka. Selain terletak cukup jauh dari pusat kota, Jorong Simancuang juga berada di lembah bukit. Perkampungan yang sekaligus menjadi lahan sawah ini berada di lembah yang pada bagian kiri dan kanan menjulang tinggi kawasan perbukitan. Suasananya masih sangat asri dan sejuk karena hutannya masih terawat dengan baik. Walaupun jauh, nyatanya daerah ini tak pernah sepi dari kunjungan para stakeholder dan masyarakat dari luar daerah yang ingin belajar model pengelolaan hutan dari masyarakat Simancuang. Bahkan, masyarakat Simancuang saat ini sudah dikenal hingga ke mancanegara sebagai masyarakat yang bisa mempertahankan kearifan lokal dalam mengelola hutan. Mereka tidak terpengaruh dengan bujuk rayu penghancuran hutan yang akan merugikan anak keturunan mereka di masa yang akan datang. Alhasil, atas kekonsistenan mereka dalam menjaga hutan, selama beberapa tahun belakangan ini Simancuang bisa menjadi daerah percontohan bagi masyarakat dunia dalam pengelolaan hutan yang arif dan berkelanjutan. Pada tahun 2014, Jorong Simancuang mendapat kunjungan dari 13 negara. Ini menjadi suatu kebanggaan yang tak pernah terbersit dalam pikiran mereka selama ini. Jorong mereka dikunjungi orang dari luar negeri untuk tujuan belajar. Namun itu bukan mimpi. Selama beberapa tahun ini Simancuang bukan lagi Simancuang yang dulu, bukan lagi Simancuang yang terisolir dan jauh dari pembangunan. Tapi kini, ia menjelma menjadi Simancuang yang dihargai dan menjadi sorotan banyak pihak atas keberhasilan mereka mengelola Hutan Nagari dengan berbasis kearifan lokal setempat.
Potensi kayu di hutan Nagari Jorong SImancuang, pola pengelolaan yang diterapkan setempat menjadi tempat belajar sejumlah pihak. Foto: Heriyadi/dok. KKI WARSI
Setelah mendapat kunjungan dari perwakilan 13 negara pada tahun 2014, pada bulan Januari 2015 lalu Simancuang kembali mendapat kunjungan belajar dari rombongan masyarakat yang berasal dari luar negeri. Kali ini yang datang adalah masyarakat dari beberapa kampung di Negeri Sabah, Malaysia. Selama dua hari mereka tinggal dan meresapi kehidupan masyarakat di Simancuang. Selain menyaksikan langsung keindahan alam Simancuang dan merasakan keramahan penduduknya, mereka juga memanfaatkan waktu yang singkat itu untuk bertukar pikiran dan belajar cara mengelola hutan berbasis kearifan lokal yang selama ini bisa mengharumkan nama Simancuang hingga ke man-
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
Pengelolaan sawah organik oleh masyarakat Simancuang. Foto: dok. KKI WARSI
ca negara. Padahal, dulu daerah ini termasuk daerah terisolir yang sulit diakses oleh masyarakat luar. Kondisi itu menjadi berbalik sejak Simancuang memiliki izin Hutan Nagari seluas 650 hektar. Dengan seringnya terjadi kunjungan belajar ke daerah ini sebenarnya banyak hal yang bisa didapatkan. Selain pertukaran budaya dan transfer pengalaman terkait cara pengelolaan hutan yang arif dan bijaksana,masyarakat setempat juga bisa mendapatkan manfaat secara ekonomi dan penguatan kelembagaan. Penguatan ekonomi bisa didapat karena setiap ada pengunjung yang datang akan diinapkan di rumah masyarakat. Dari sini masyarakat bisa mendapatkan biaya homestay dan konsumsi selama tamu menginap. Keuntungan lainnya, keberadaan hutan nagari juga akan semakin dikenal oleh masyarakat luas dengan seringnya orang luar berkunjung. Karena sudah dikenal hingga berbagai daerah bahkan menjadi percontohan hingga luar negeri, secara tidak langsung dukungan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat juga akan tertuju ke daerah ini. Saat ini Simancuang berhasil menjadi model pengelolaan hutan yang ramah lingkungan dan dapat dicontoh oleh banyak pihak yang memimpikan pengelolaan hutan berkelanjutan hingga masa-masa yang akan datang.
Kearifan Lokal dan Pelestarian Hutan Sejak awal mengelola hutan, masyarakat Simancuangsudah menyadari bahwa ketersediaan air untuk sawahsawah mereka sangat bergantung dengan keseriusan dalam menjaga kawasan hutan yang ada. Kesadaran itu menjadi salah satu motivasi masyarakat untuk membuat beberapa aturan dalam penjagaan kawasan hutan. Misalnya dengan menerapkan larangan melakukan penebangan di hulu sungai dan penetapan bukit panjang di sebelah barat Simancuang sebagai hutan adat. Dalam perkembangannya, untuk mendapatkan kepastian hukum bagi kawasan hutan tersebut, bukit panjang kemudian diusulkan dalam skema Hutan Desa pada tahun 2008. Di wilayah Sumatera Barat Hutan Desa biasa disebut Hutan Nagari. Perjuangan itu akhirnya membuahkan hasil, warga Simancuang berhasil mendapatkan SK Pencadangan areal kerja Hutan Nagari dari Menhut RI, seluas 650 hektar dan SK Hak Pengelolaan Hutan Nagari dari Gubernur Sumbar. Di sini mereka dapat membuktikan bahwa dengan kerjasama yang baik dan sikap konsisten yang terus dijaga, meski tinggal jauh dari poros informasi dan keramaian, tetapi mereka bisa tetap eksis merawat hutan.
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
51
52
SELINGAN
KAJIAN
Implikasi UU Pemerintah Daerah dan Surat Edaran Mendagri Dalam Pelaksanaan PHBM
L
Hamparan sawah di Jorong Simancuang yang dikelilingi perbukitan, kearifan lokal penting untuk melindungi kawasan dari bencana ekologis. Foto Dok KKI WARSI.
Siapa sangka daerah ini bisa menjadi magnet yang berhasil menarik orang-orang dari berbagai daerah untuk berkunjung dan belajar. Simancuang yang dulu terisolir di belakang punggung bukit, kini menjelma sebagai tujuan belajar yang tak bisa dipandang sebelah mata. Keberhasilan mereka melestarikan Hutan Nagari dan merawat kearifan lokal menjadi nilai tawar yang tak dimiliki daerah lain. Di tengah pesatnya laju kehancuran kawasan hutan selama beberapa tahun terakhir ini, keberadaan Nagari Simancuang dengan Hutan Nagarinya menjadi semacam oase di padang tandus. Ia akan mengobati kehausan para pencinta lingkungan yang ingin belajar banyak bagaimana hidup berdampingan dengan alam tanpa harus merusak. Riche Rachma Dewita, Koordinator Projek KKI WARSI mengatakan, meski sudah memiliki Hutan Nagari yang dikelola dengan baik, namun ke depan masih akan banyak tantangan yang perlu dihadapi oleh masyarakat Simancuang. Sehingga tetap diperlukan kekompakan dan keseriusan semua lapisan masyarakat untuk tetap mengelola hasil jerih payah mereka dalam memperjuangkan Hutan Nagari tersebut selama ini. ”Inilah yang dilakukan WARSI bersama komunitas sejak 2009. Namun meski sudah jadi Hutan Nagari tapi tetap masih banyak tantangan. Karena 200 hektar sawah milik masyarakat bergantung hulu airnya dari sini,” katanya kepada para peserta studi banding dari Malaysia beberapa waktu lalu. Selama kegiatan studi banding tersebut, para peserta mengaku cukup puas dengan apa yang mereka pelajari dari masyarakat Simancuang. Mereka bisa melihat secara langsung bagaimana masyarakat membentengi
perkampungan dari longsor dengan membangun dam penahan longsor yang dikerjakan secara swadaya, kemudian melihat pemanfaatan air untuk PLMH, biogas untuk memasak, anyaman rotan untuk peningkatan ekonomi, serta udara bersih tanpa polusi udara karena hutannya dirawat dengan baik. “Banyak ilmu yang kami dapatkan di sini. Di sini kami seperti berada di kampung sendiri. Sistem kepemimpinannya sangat kuat,” puji Tije, salah seorang warga Sabah di sela-sela kunjungan. Hal serupa juga dirasakan Marusin, warga pedalaman Sabah. Ia merasa bahwa kunjungan yang mereka lakukan ke Simancuang adalah sebuah keberuntungan yang tak ternilai. Mereka bisa mendapatkan pelajaran positif yang sangat berguna untuk diterapkan dalam keseharian mereka di Sabah.”Ini adalah pelajaran yang pertama dalam hidup kami. Ada berbagai masalah di negeri kami. Dan hari ini kami mendapat pelajaran yang sangat perlu kami terapkan di negeri kami. Kami akan pertahankan hutan kami seperti yang tuan lakukan disini. Tidak sia-sia kami datang kesini,” ungkapnya. Ini adalah sebuah bukti. Bahwa merawat hutan berarti merawat masa depan. Masyarakat Simancuang sudah membuktikan itu. Mereka tetap bisa memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa harus merusak lingkungan. Sementara di tempat lain orang berlomba-lomba menghancurkan alam demi mengais secercah harapan yang belum tentu bisa didapat. Sementara masyarakat Simancuang memilih jalan berbeda. Mereka telah memilih bersahabat dengan alam demi menggapai masa depan yang gemilang. (HermaYulis)
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
ahirnya Undang-Undang 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah pada 30 September 2014, membawa pengaruh dalam pelaksanaan pemerintahan daerah baik provinsi maupun kota/kabupaten. Salah satu hal menarik dalam UU Pemda ini adalah pengalihan titik berat otonomi daerah dari sebelumnya di Kabupaten atau Kota kepada Provinsi. Sehari sebelumnya yaitu 29 September 2014 lahir Permenhut 88 tahun 2014 tentang Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Permenhut 89 tahun 2014 tentang Hutan Desa (HD), dimana dalam pengelolaan HD dan Hkm terdapat peran dari Kepala Daerah berserta jajarannya. Empirisnya pada tataran pemerintah daerah dan SKPD memandang bahwa tidak semua ketentuan dalam Permenhut HD dan Hkm dapat diterapkan karena dinilai bertentangan dengan UU Pemda. Hal ini dikarenakan ada kewenangan pengesahan dokumen perizinan seperti Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kemasyarakatan (IUPHHKm) yang dikeluarkan oleh bupati, padahal dalam UU Pemda Bupati/walikota hanya memiliki tugas pengawasan dan koordinasi tidak ada memberikan izin. Begitu juga pelaksanaan ketentuan dalam Permenhut HD, bahwa kepala daerah dan SKPD tidak berani menandatangani dokumen pengesahan Rencana Kerja Hutan Desa (RKHD) dan Rencana Tahunan Hutan Desa (RTHD) karena kewenangan itu bertentangan dengan UU Pemda atau belum ada petunjuk teknis dari Kemendagri. Menyikapi ini perlu dilihat dengan metode pendekatan yuridis normatif yaitu mengkaji suatu persoalan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta melihat implikasi lahirnya UU Pemda terhadap pengelolan PHBM khususnya HD dan HKm dan apa maksud dari diterbitkan SE 120/2.53/Sj tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan setelah Ditetapkan UU 23 Tahun 2014 Tentang Pemda (SE UU Pemda) Lahirnya UU Pemda membawa pengaruh dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah khususnya dalam kewenangan pengelolaan hutan. Hal menarik di level daerah adalah bagaimana pemberlakukan UU Pemda terhadap pemerintah daerah. Berbagai pendapat melihat bahwa UU Pemda ini harus diberlakukan akan tetapi pemerintah di daerah berserta jajarannya belum memberlakukannya secara utuh karena belum ada Per-
aturan pelaksananya. Begitu juga peraturan teknis yang menjelaskan pemberlakukan UU a quo. Kebingungan ini pun berimplikasi dalam pelaksanaan PHBM di Daerah, karena berdasarkan UU 32 tahun 2004 tetang Pemda penitik beratan Otonomi daerah masih di Kabupaten/kota. Ketika lahirnya UU 23/2014 penitik beratan Otonomi Daerah berada di provinsi. Hal ini akan berimplikasi pada kewenangan kabupaten/kota yang selama ini menjadi aktor otonomi daerah sekarang beralih ke provinsi. Begitu juga kewenangan di bidang kehutanan khususnya PHBM seperti dalam memberikan legalisasi dokumen pengelolaan dan pemanfaatan areal PHBM seperti ada pengesahan RTHD oleh dinas kehutanan kabupaten atas nama Bupati atau Walikota (Pasal 24 ayat (1) Permenhut 89 tahun 2014)IUPHHkm oleh bupati (Pasal 14 ayat (1) Permenhut 88 Tahun 2014 tentang HKm). Kewenangan Pemda dalam kedua Permenhut inilah yang menjadi kebingungan bagi pemerintah daerah beserta SKPD khususnya yang memiliki tupoksi di bidang PHBM. Untuk menjernihkan kebimbangan ini Mendagri mengeluarkan SE UU Pemda pada 16 Januari 2015 yang pada intinya menjelaskan pemberlakukan UU Pemda. SE UU Pemda sejatinya menjelaskan maksud dari Pasal 404 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan bagaimana pelaksanaan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Dalam tulisan ini kita fokus pada pembagian kewenangan di bidang kehutanan khususnya pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam Permenhut 89/2014 dan Permenhut 88/2014 pasca terbitnya UU 23/2014. Pada angka 1 SE tentang UU Pemda menitik beratkan penjelasan terhadap pasal 404 UU 23/2014 perihal adanya peralihan waktu pelaksanaan urusan pemerintah daerah khususnya penyerahan personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen (P3D). pasal 404 mengatakan: Serah terima personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen sebagai akibat pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota yang diatur berdasarkan Undang-Undang ini dilakukan paling lama
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
53
54
KAJIAN 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang- Undang ini diundangkan. Pasal 404 UU Pemda dan SE UU Pemda pada angka 1 (satu) ini bermaksud supaya ada sinergi Pemerintah Pusat dan Daerah dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Daerah dimaksud di sini adalah adanya peralihan otonomi daerah dari kabupaten ke provinsi. Oleh karena itu pasal 404 memberikan rentan waktu 2 tahun sejak UU Pemda ini disahkan untuk persiapan penyerahan personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen (P3D). Lebih lanjut SE menjelaskan bahwa siklus anggaran dalam APBN dan APBD, serta untuk menghindari stagnasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berakibat terhentinya pelayanan kepada masyarakat, maka penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren (urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah provinsi/ kabupaten/kota, yang sekaligus juga menjadi dasar bagi pelaksanaan Otonomi Daerah sebagaimana pasal Pasal 9 ayat (3) UU 23/2014) yang bersifat pelayanan kepada masyarakat luas dan masif, yang pelaksanaannya tidak dapat ditunda dan tidak dapat dilaksanakan tanpa dukungan P3D, tetap dilaksanakan oleh tingkatan/susunan pemerintahan yang saat ini menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren tersebut sampai dengan diserahkannya P3D. Secara garis besar ada 3 (tiga) urusan Pemerintahan yang diatur dalam UU 23/2014 ini, yaitu Urusan Pemerintahan Absolut, Konkuren dan Umum. Urusan pemerintahan Absolut adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, seperti politik luar negeri; pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional; dan agama. Urusan Umum adalah urusan yang menjadi urusan pemerintahan baik di Pusat, Provinsi atau Kabupaten/Kota, seperti: penanganan konflik, pembinaan kebangsaan, koordinasi tugas antar instansi Pemerintah. UU 23/2014 memberikan kewenangan yang luas dalam pelaksanaan otonomi daerah kepada Gubernur (terdapat dalam Pasal91-93). Adapun tugas tersebut melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Tugas Pembantuan di Kabupaten/Kota, melakukan monitor-evaluasi dan supervisi, melakukan evaluasi APBD dan lain-lain, dapat membatalkan Perda dan memberikan persetujuan terhadap Ranperda Kabupaten/Kota, serta dapat memberikan sanksi kepada Bupati/Walikota. Gubernur memegang dua peran yaitu sebagai kepala daerah otonom provinsi dan sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah. Sebagai kepala daerah provinsi, gubernur memegang kewenangan memimpin penye-
lenggaraan pemerintahan daerah provinsi sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi. Sedangkan sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah, gubernur menjalankan peran Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintahan daerah kabupaten/kota. Dalam konteks melaksanakan peran sebagai wakil Pemerintah Pusat, hubungan gubernur dengan pemerintahan daerah kabupaten/kota bersifat hirarki. Sebelum dilaksanakannya UU 23/2014 ini, maka harus ada peralihan dari kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat, Provinsi dan kabupaten/kota yang di atur dalam UU 32/2014 khususnya terkait P3D. Maka dari ini pasal 404 memberikan ruang waktu selama 2 tahun setelah UU a quo disahkan. Akan tetapi terkait urusan pemerintah konkuren yang sifatnya pelayanan kepada masyarakat luas, tidak dapat ditunda dapat dilaksanakan oleh provinsi atau kabupaten/kota. SE UU Pemda menjelaskan Adapun urusan pemerintahan konkuren tersebut meliputi penyelenggaraan sub urusan: a.pengelolaan pendidikan menengah; b.pengelolaan terminal penumpang tipe A dan tipe B; c.pelaksanaan rehabilitasi diluar kawasan hutan negara; d.pelaksanaan perlindungan hutan di hutan lindung dan hutan produksi; e.pemberdayaan masyarakat dibidang kehutanan; f. pelaksanaan penyuluhan kehutanan provinsi; g.pelaksanaan metrologi legal berupa tera, tera ulang dan pengawasan; h.pengelolaan tenaga penyuluh KB/petugas lapangan KB (PKB/PLKB); i. pengelolaan tenaga pengawas ketenaga kerjaan; j. penyelenggaraan penyuluhan perikanan nasional; dan k.penyediaan dana untuk kelompok masyarakat tidak mampu, pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik belum berkembang, daerah terpencil dan perdesaan. Dari ke 11 (sebelas) urusan konkuren yang tetap dilaksanakan terlihat bahwa pemerintah daerah hanya melaksanakan urusan yang sifatnya pelayanan. Pertanyaan mendasar bagaimana pelayanan pemerintah khususnya di bidang pengelolaan Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan? Pertama Hutan Desa. Adapun kewenangan Pemerintah daerah berdasarkan Permenhut 89/2014 dapat dibagi dua yaitu kewenangan yang sifatnya layanan dan kewenangan yang sifat perizinan. Dalam Permenhut 89/2014 yang sifatnya pelayanan adalah seperti Pemberian HPHD oleh Gubenur, Pengesahan RKHD oleh dinas kehutanan provinsi dan RTHD oleh dinas kehutanan kabupaten/kota. Yang sifatnya perizinan adalah
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
KAJIAN terkait dengan IUPHHK HD yang secara kewenangan diberikan kepada gubernur. Artinya Permenhut ini sudah sejalan dengan UU 23/2014 dimana gubenur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah sekaligus pelaksanan otonomi daerah. Kedua Hutan Kemasyarakatan, lebih banyak menitik beratkan pemberian perizinan pemanfaatan pada areal HKm kepada Bupati/walikota. Hal ini tergambar dalam pasal 14 ayat (1) mengatakan Berdasarkan PAKHKm, Bupati/Walikota menerbitkan IUPHKm sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1). Lebih lanjut pasal 20 ayat (1) mengatakan (1) Menteri mendelegasikan kewenangan menerbitkan IUPHHKKm kepada Bupati/ Walikota. Dalam sebelas urusan konkuren yang disebut SE a quo tidak ada kewenangan dalam hal perizinan. IUPHHKm yang dikeluarkan oleh Bupati/walikota sifatnya adalah perizinan. Padahal penetip beratan otonomi daerah dalam UU 23/2014 berada di provinsi. Hal ini ditegaskan dalam angka 2 SE tentang UU Pemda tentang UU Pemda mengatakan : Penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilaksanakan oleh susunan/tingkatan pemerintahan sesuai dengan pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Lebih lanjut angka 4 SE a quo mengatakan : Khusus penyelenggaraan perizinan dalam bentuk pemberian atau pencabutan izin dilaksanakan oleh susunan/tingkatan pemerintahan sesuai dengan pembagian urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 dengan mengutamakan kecepatan dan kemudahan proses pelayanan perizinan serta mempertimbangkan proses dan tahapan yang sudah dilalui. Berdasarkan pembagian urusan pemerintah di bidang kehutanan pada angka 2 tentang pengelolaan hutan khusus dalam pelaksanaan perizinan di bidang kehutanan seperti di sebut dalam huruf c lampiran a quo mengatakan bahwa Pelaksanaan pemanfaatan hutan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung, merupakan kewenangan gubenur meliputi: 1) Pemanfaatan kawasan hutan 2) Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu; 3) Pemungutan hasil hutan; 4) Pemanfaatan jasa lingkungan kecuali pemanfaatan penyimpanan dan/atau penyerapan karbon. Artinya kewenangan dalam pengelolan hutan berdasarkan UU 23/2014 berada di gubenur, sehingga segala
pemberian atau pencabutan perizinan di bidang kehutanan khususnya Hkm menjadi kewenangan Gubenur bukan Bupati. Jika dalam implementasi UU 23/2014 daerah kurang memahami pelaksanaannya atau ada kesimpang siuran berdasarkan SE tentang UU Pemda pada angka 7 huruf b mengatakan kepada Gubernur, bupati/walikota segera berkoordinasi terkait dengan pengalihan urusan pemerintahan konkuren. Begitu juga dalam huruf c nya mengatakan agar melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait yang membidangi masingmasing urusan pemerintahandan dapat difasilitasi oleh Kementerian Dalam Negeri. Jika pemerintah daerah beserta jajarannya memiliki penafsiran berbeda dan ada keraguan dalam implementasi UU 23/2014 menurut penulis agar melakukan koordinasi sebagaimana dikatakan dalam SE a quo. Berdasarkan UU 23/2014 dan penegasan dalam SE tentang UU Pemda menjadi terang dalam pelaksanaan pemerintah daerah baik provinsi dan kabupaten/kota terkait urusan pelayanan masih tetap dilakukan berdasarkan urusan kewenangan daerah konkuren. Akan tetapi terkait pemberian izin harus mengacu kepada kewenangan susunan/tingkatan di UU 23/2014. Oleh karena itu berdasarkan Permenhut HD 89/2014 hal yang sifatnya pelayanan seperti pengesahan RTHD oleh dinas kehutanan kabupaten tetap dilaksanakan sesuai dengan pengaturan UU Pemda dan SE a quo. Terkait dengan perizinan seperti IUPHHK HD tetap mengacu kepada Permenhut HD karena merupakan kewenangan Gubernur yang sudah dilegasikan dari Menteri Kehutanan sebelumnya. Dan secara pembagian urusan kewenangan daerah dan Pusat khusus kehutanan Gubernur berkewenangan dalam pelaksanaan perizinan di bidang kehutanan. Sedangkan pada Permenhut 88/2014 tentang Hkm bertentangan dengan UU 23/2014 dan tidak relevan dengan penjelasan di SE tentang UU Pemda khususnya pemberian IUPHHKM. Karena Permenhut 88/2014 memberikan kewenangan kepada bupati dalam menerbitkan IUPHHKm. Berdasarkan penjelasan SE a quo mengatakan bahwa pemerintah daerah hanya bisa melaksanakan kewenangan urusan konkuren yang sifatnya kepada pelayanan yang tidak bisa ditunda atau harus dilaksanakan bukan terkait pemberian atau pencabutan izin. Sedangkan penerbitan IUPHHKm merupakan rezimnya perizinan. Jika mengacu kepada pembagian urusan pemerintah pusat dan daerah di bidang kehutanan kewenangan ini dapat dilaksanakan oleh Gubernur setelah terdapatnya PAK Hkm. Artinya ketentuan dalam Permenhut 88/2014 mutatis mutandis (perubahan yang penting telah dilakukan) harus mengikuti kepada UU 23/2014. (Ilham Kurniawan Dartias).
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015
55
ALAM SUMATERA, edisi JUNI 2015