Benarkah Tahun 2002 akan Terjadi El-Niño dengan Intensitas Lemah? Oleh : Gatot Irianto
Detail pertanyaan itu antara lain meliputi (1) bagaimana perkembangan indikator anomali iklim lebih lanjut dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya El-Niño dengan intensitas lemah seperti yang disampaikan Badan Meteorologi dan Geofisika pada saat jumpa pers awal musim kemarau bulan Februari 2002; (2) adakah pergeseran musim hujan dan kemarau dibandingkan dengan kondisi normalnya, kapan dan kemungkinan berapa lama musim kemarau akan terjadi pada tahun ini?; (3) berapa penyimpangan curah hujan musim kemarau dibandingkan rata-ratanya? Kepastian ini penting bagi pengambil kebijakan dan petani sebelum menentukan pola dan masa tanam serta teknologi antisipasinya. Selanjutnya, bagaimana dampaknya bagi keberhasilan pencapaian program sektor pertanian? Pertanyaan ini semakin mengemuka karena berdasarkan hasil prakiraan musim, awal kemarau semestinya terjadi bulan pada April. Sementara itu faktanya curah hujan di sebagian wilayah di Jawa masih relatif tinggi.
Indikator anomali iklim Ada tiga indikator utama yang dapat digunakan sebagai petunjuk tentang kemungkinan terjadinya El-Niño sekaligus prediksi tingkat kekeringan yang mungkin terjadi, yaitu (1) anomali suhu muka laut (Sea surface temperature/SST) di Niiño 3.4 (2) indeks osilasi selatan (Southern Oscillation Index) dan (3) angin pasat (Trade wind). Perkembangan ketiga indikator sampai dengan 3 April 2002 berturut-turut disajikan pada Gambar 2, Gambar 3, Gambar 4 dan Gambar 5. 0.4 0.2 0 -0.2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
2
3
-0.4 -0.6 -0.8 -1
2001
2002
Gambar 1. Perkembangan anomali suhu muka laut (sea surface temperature) di Niño 3.4. sampai dengan 3 April 2002
3 2 1 0 -1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
1
2
3
-2 -3
2001
2002
Gambar 2. Perkembangan indeks osilasi selatan sampai dengan 3 April 2002
Gambar 3. Perkembangan angin pasat sampai dengan 3 April 2002
Gambar 4. Kondisi angin pasat pada saat terjadi El-Niño kuat tahun 1997 Berdasarkan Gambar 2, Gambar 3, dan Gambar 4 terlihat bahwa sampai saat ini indikator anomali suhu muka laut masih di bawah 0,2 0C. Menurut kriteria sementara Tim Pokja antisipasi anomali iklim, El-Niño dengan intensitas lemah mulai terjadi apabila anomali suhunya lebih besar 0,5-1,5 0C selama enam bulan berturut-turut, dengan indeks osilasi selatan antara –10 sampai dengan –20 dengan kecenderungan negatif (rapid falling). Sebagian arah angin pasat berbalik ke arah Ekuator, maka di kawasan
Indonesia tidak menerima curah hujan. Resume dari ketiga indikator kemungkinan terjadinya anomali iklim disajikan pada Tabel 4. Tabel 1.
Perbandingan indikator terjadinya El-Niño dengan kondisi saat ini No Indikator 1 Anomali SST di Niiño 3.4 2 Indeks Osilasi Selatan 3 Angin pasat
El-Niño >0,5 0C selama 6 bulan <-10 konsisten negatif Berbalik arah ke timur (Equador)
Kondisi saat ini <0,2 0C -5 konsisten negatif Ke barat (Indonesia) dan tidak konsisten
Berdasarkan hasil perbandingan antara indikator terjadinya El-Niño dengan kondisi saat ini dapat disimpulkan bahwa tanda-tanda peluang terjadinya El-Niño tahun 2002 dengan intensitas lemah sekalipun belum ada. Kesimpulan sementara tentang belum adanya tanda-tanda El-Niño ini sejalan dengan fakta masih tingginya curah hujan di beberapa wilayah di Indonesia. Bahkan Jakarta baru-baru ini juga menerima hujan yang cukup tinggi sehingga sempat tergenang beberapa saat. Kalau demikian halnya, apakah relevan bulog meminta untuk mengimpor beras secara berlebihan? Bagaimana pula dengan permintaan daerah untuk mendanai rehabilitasi saluran, mengantisipasi kekeringan secara berlebihan sementara tanda-tanda El-Niño belum muncul. Kalaupun peluang terjadinya El-Niño lemah sangat kecil, bagaimana dengan kemungkinan terjadinya pergeseran musim hujan dan kemarau serta dampaknya terhadap curah hujan?
Pergeseran musim dan perubahan karakteristik curah hujan Pemerintah dan masyarakat perlu mengetahui secara kuantitatif pergeseran musim sebagai dampak anomali iklim El-Niño sehingga kalaupun terjadi El-Niño, kita sudah dapat menyiapkan teknologi antisipasinya. Berdasarkan hasil analisis data curah hujan di beberapa sentra produksi pangan, maka dampak anomali iklim El-Niño pada tiga macam kondisi yaitu El-Niño kuat (tahun 1997), sedang (tahun 1994), dan lemah (tahun 1991) terhadap pergeseran musim hujan dan kemarau dan perubahan karakteristik curah hujan umumnya berbeda (Tabel 5). Tabel 5 memperlihatkan bahwa musim kemarau berpeluang mengalami percepatan sampai dengan 4 dasarian, demikian juga awal musim hujannya juga dapat mundur sampai dengan 4 dasarian. Artinya musim kemarau menjadi lebih lama sekitar 80 hari dibandingkan kondisi normalnya. Dengan kata lain periode musim hujan akan mengalami pengurangan yang sama, sedangkan penurunan curah hujan maksimum yang pernah terjadi mencapai 21 milimeter selama 21 dasarian (210 hari). Pergeseran musim dan penurunan curah hujan musim kemarau ini perlu diantisipasi agar risiko pertanian yang mungkin terjadi dapat diminimalkan dampaknya.
Tabel 2. Dampak anomali iklim terhadap pergeseran musim dan karakteristik curah hujan di beberapa sentra produksi pangan nasional Pergeseran musim Intensitas ElKemarau Hujan Niño Subang Kuat Maju 3 dasarian Mundur 2 dasarian ( Maret II) (Desember I) Sedang Normal (April II) Mundur 2 dasarian (Desember I) Lemah Normal (April II) Normal (November I) Pati Kuat Mundur 1 Mundur 2 dasarian dasarian (Desember I) (Mei II) Sedang Normal Mundur 2 dasarian (Mei I) (Desember I) Lemah Normal Mundur 2 dasarian (Mei I) (Desember I) Malang Kuat Maju 1 dasarian Mundur 3 dasarian (April III) ( November III) Sedang Maju 1 dasarian Mundur 3 dasarian (April III) ( November III) Mundur 3 dasarian Lemah Mundur 1 ( November III) dasarian (Mei I) Mojokerto Kuat Maju 1 dasarian Mundur 2 dasarian (Mei II) (November III) Normal Sedang Maju 1 dasarian (Mei II) (November I) Lemah Maju 1 dasarian Normal (Mei II) (November I) BanyuKuat Normal Mundur 4 dasarian (November III) wangi (Mei I) Sedang Normal Mundur 3 dasarian (Mei I) (November II) Lemah Mundur 1 Mundur 3 dasarian dasarian (November II) (Mei II) Menggala Kuat Maju 2 dasarian Mundur 2 dasarian (April III) (Desember I) Sedang Maju 2 dasarian Normal (April III (November II) Lemah Normal Normal (Mei I) (November II) Daerah
Lama musim kemarau
Intensitas kekeringan
26 dasarian 172 mm/26 das. 23 dasarian 240 mm/23 das. 21 dasarian 253mm/21 das. 20 dasarian 141 mm/20 das.
21 dasarian 146 mm/21 das. 21 dasarian
21 mm/21 das.
21 dasarian 174 mm/21 das. 21 dasarian 186 mm/21 das. 19 dasarian 197 mm/19 das.
21 dasarian 213 mm/19 das. 19 dasarian 271 mm/19 das. 19 dasarian 328 mm/19 das. 20 dasarian 209 mm/20 das. 19 dasarian 232 mm/19 das. 18 dasarian 233 mm/18 das.
23 dasarian 269 mm/23 das. 20 dasarian 267 mm/20 das. 19 dasarian 217 mm/19 das.
Lanjutan Tabel 5.
Daerah Natar
Maros
Sidrap
Intensitas ElNiño Kuat
Pergeseran musim Kemarau
Normal (Mei III) Sedang Normal (Mei III) Lemah Normal (Mei III) Kuat Maju 1 dasarian (Mei I) Sedang Maju 1 dasarian (Mei I) Lemah Normal (Mei II) Kuat Maju 1 dasarian (Mei I) Sedang Maju 1 dasarian (Mei I) Lemah Normal (Mei II)
Hujan Mundur 4 dasarian (Desember II) Mundur 1 dasarian (November III) Mundur 2 dasarian (November II) Mundur 3 dasarian (Desember I) Mundur 1 dasarian (Nopember I) Mundur 2 dasarian (November III) Mundur 3 dasarian (Desember I) Mundur 1 dasarian (November 2) Mundur 2 dasarian (Novemver III)
Lama musim kemarau
Intensitas kekeringan
20 dasarian 220 mm/20 das. 18 dasarian 213 mm/18 das. 17 dasarian 186 mm/17 das. 21 dasarian 109 mm/21 das. 19 dasarian
97 mm/19 das.
19 dasarian 113 mm/19 das. 21 dasarian 109 mm/21 das. 19 dasarian 101 mm/19 das. 19 dasarian 113 mm/19 das.
Teknologi antisipasi Mengingat dampak anomali iklim El-Niño terhadap sektor pertanian sangat luas dan komplek, maka diperlukan upaya yang sistematis dan terencana untuk antisipasinya. Ada 3 pendekatan antisipasi kekeringan yang dapat dilakukan yaitu (1) pendekatan strategis, (2) pendekatan taktis, dan (3) pendekatan operasional. Pendekatan strategis dapat dilakukan melalui identifikasi wilayah rawan kekeringan dan dampaknya terhadap pergeseran musim serta curah hujan. Pendekatan taktis dapat diimplementasikan melalui peningkatan kemampuan prakiraan iklim utamanya curah hujan. Pendekatan operasional dapat dilakukan melalui pengembangan panen hujan dan aliran permukaan. Implementasinya dapat diwujudkan melalui pemanfaatan bekas galian C, alur sungai, cekungan alami untuk menampung air hujan, dan aliran permukaan untuk kemudian dimanfaatkan pada musim kemarau. Untuk mendukung keberhasilan usaha tersebut, perlu ditopang sistem budidaya pertanian yang antisipatif terhadap kekeringan sehingga penanggulangan kekeringan tidak bersifat sementara (ad hoc) melainkan melekat (built in) dengan sistem budidaya.
Gatot Irianto, PhD Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Telah dimuat pada Surat Kabar harian Kompas edisi Rabu, 22 Mei 2002)