1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah Budaya organisasi merupakan suatu kekuatan sosial yang tidak tampak,
yang dapat menggerakkan orang-orang dalam suatu organisasi untuk melakukan aktivitas kerja. Budaya organisasi yang kuat akan mendukung tujuan perusahaan, sebaliknya yang lemah akan menghambat dan bertentangan dengan tujuan perusahaan. Pendekatan budaya dimunculkan dalam organisasi ketika kompleksitas perubahan dan tingkat persaingan yang dihadapi organisasi saat ini sangat tinggi. Dewasa ini organisasi telah mengalami perubahan, dimana aktivitas yang dilakukan semakin kehilangan batas-batas atau hierarki formal. Kecenderungan organisasi untuk berinteraksi secara intensif dengan lingkungan dan mengurangi jenjang hierarki yang terlalu besar adalah untuk memungkinkan organisasi melakukan respon secara cepat dan langsung atas kebutuhan pelanggan yang senantiasa berubah. Suatu perusahaan yang budaya organisasinya kuat, nilai-niai bersama dipahami secara mendalam, dianut dan diperjuangkan oleh sebagian besar para anggota organisasi. Hal ini akan berpengaruh dan menjadi pendorong bagi karyawan untuk berperilaku positif, dedikatif dan produktif.1 Nilai-nilai budaya
1
Edy Sutrisno, Budaya Organisasi, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2011, hal 21
2
itu tidak tampak, tetapi merupakan kekuatan yang mendorong perilaku untuk menghasilkan efektivitas kinerja. Beberapa penelitian yang telah dilakukan diperoleh indikasi bahwa budaya organisasi akan mudah dipahami dan diterima dengan baik oleh anggota karyawan hanya apabila di antara keduanya terdapat kesamaan, yaitu antara budaya yang tumbuh dan berkembang dalam organisasi dengan budaya yang tumbuh dalam setiap individu. Kecocokan antar budaya yang tumbuh dalam setiap individu dengan budaya yang berkembang dalam suatu organisasi menunjukkan indikasi bahwa turn over karyawan dapat diminimkan.2 Artinya semakin tinggi kecocokan antara personal dan organisasi memungkinkan karyawan untuk tetap tinggal dalam organisasi yang bersangkutan. Salah satu strategi yang dapat digunakan untuk mewujudkannya adalah dengan melakukan sosialisasi budaya organisasi. Proses sosialisasi diperlukan anggota untuk menjadikan mereka sebagai anggota organisasi yang baik, sehingga anggota tidak merasa asing dengan situasi dan budaya yang telah dimiliki organisasi. Biasanya, karyawan yang untuk pertama kalinya bergabung dengan perusahaan akan merasa asing dan diliputi ketidakmengertian yang mendalam tentang prosedur, kebijakan dan nilai-nilai yang terdapat dalam organisasi. Salah satu tujuan sosialisasi budaya organisasi adalah memperkenalkan nilai-nilai budaya organisasi secara total sehingga diharapkan karyawan akan berperilaku sesuai dengan budaya organisasi. Proses sosialisasi ini membutuhkan
2
Edy Sutrisno, ibid, hal 23
3
waktu lama serta memerlukan perhatian serius. Pada akhirnya proses sosialisasi diharapkan mampu memberikan gambaran yang tepat kepada karyawan tentang lingkungan pekerjaan dan budaya organisasi tempatnya bekerja. Untuk menciptakan proses sosialisasi yang benar, diperlukan keterlibatan karyawan, organisasi itu sendiri, dan pemimpin yang dapat memberikan dukungan serta melakukan koordinasi yang tepat selama proses sosialisasi. Persaingan dunia industri yang semakin ketat menuntut perusahaan untuk mengoptimalkan seluruh sumber daya yang dimiliki dalam menghasilkan produk berkualitas tinggi. Kualitas produk yang dihasilkan tidak terlepas dari peranan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki perusahaan. Faktor-faktor produksi dalam perusahaan seperti modal, mesin, material dan metode dapat bermanfaat bila telah diolah oleh SDM secara maksimal. SDM sebagai tenaga kerja tidak terlepas dari masalah-masalah yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatannya sewaktu bekerja. Budaya Keselamatan (safety culture) sebagai bagian dari Budaya Organisasi (organizational culture) menjadi populer dan mulai digunakan sebagai pendekatan
untuk
lebih
memantapkan
implementasi
sistem
manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja. Istilah budaya keselamatan (safety culture) pertama kali dibuat dalam laporan yang disusun oleh International Nuclear Safety Advisory Group (INSAG) pada tahun 1987 yang membahas peristiwa ‘Chernobyl’ di dalam laporan dari International Nuclear Safety Advisory Group berjudul
4
Safety Culture (SAFETY SERIES No.75-INSAG-4), yang oleh IAEA di publikasikan pada 1991.3 Secara global, berkembang berbagai konsep dan model untuk menilai maupun mengembangkan budaya keselamatan (safety culture). Begitu juga perkembangan yang terjadi didalam dunia praktis yang umumnya berlandaskan pada pendekatan keilmuan yang berkembang. Atas dasar itu International Atomic Energy Agency (IAEA) menyusun Konsep/Model dan Metode Pengukuran Budaya Keselamatan (Safety Culture) sebagai bagian dari Budaya Organisasi (Organizational Culture). Kemudian disusun model dasar pembudayaan Keselamatan Instalasi Nuklir sebagai panduan program untuk pengembangan budaya keselamatan instalasi nuklir di tingkat internasional, regional, maupun pada tingkat nasional negara-negara anggotanya. Merujuk pada konsep IAEA, BAPETEN (Badan Pengawas Tenaga Nuklir) dan BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional) di Indonesia telah mulai menyusun model budaya K3 dan alat ukurnya sebelum tahun 2005 dalam rangka meningkatkan budaya keselamatan instalasi.4 Sedangkan di sektor lain seperti Migas, Minerba, Panas Bumi, Manufaktur dan lainnya saat ini juga banyak dilakukan program pengembangan perilaku dan budaya K3, sesuai dengan rujukannya masing sektor.
3
A.I Glendon, N.A Stanton, Perspective on Safety Culture, Safety Science, Pergamon, 2000, hal 193 4 Annick Carnino, Management of Safety, Safety Culture and Self-assessment, International Conference Nuclear Energy in Central Europe, Bled, Slovenia, Sept. 11-14, 2000
5
Berdasarkan wawancara pra riset dengan pimpinan PT. Kofuku Abadi memberikan penjelasan tentang program K3 yaitu:5 “Program K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) adalah suatu program yang dibuat pengusaha dan pekerja sebagai upaya mencegah timbulnya kecelakaan dan penyakit akibat kerja dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta tindakan antisipatif apabila terjadi kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Tujuan dari dibuatnya program K3 adalah untuk mengurangi biaya perusahaan apabila timbul kecelakaan dan penyakit akibat kerja.” Lebih lanjut dikatakan oleh beliau bahwa budaya K3 di suatu perusahaan sebagai bagian dari budaya organisasi perusahaan bisa dilihat dari 3 komponen, yaitu:6 a) Pertama, diri sendiri/pribadi, seperti apa yang dirasakan oleh seseorang, contohnya: cara pikir, nilai, pengetahuan, motivasi, harapan, dan lain-lain. b) Kedua, perilaku sehari-hari, seperti sikap dan tingkah laku sehari-hari di perusahaan, kebiasaan dalam K3 dan lainnya. c) Ketiga, lingkungan kerja, seperti apa yang dimiliki perusahaan tentang K3, contohnya: Sistem Manajemen K3 (SMK3), SOP (Standar Operasional Prosedur), Komite K3, peralatan, lingkungan kerja, dan lain-lain. Dari ketiga komponen diatas saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Budaya K3 yang kuat tentunya akan ditandai dengan kuatnya tiga aspek tersebut. Oleh karena itu, setiap perusahaan diharapkan mempunyai budaya yang selalu meningkatkan K3 secara berkesinambungan sebab K3 sudah menjadi nilai-nilai pribadi dan muncul dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya menjadikan K3 sebagai bagian dari visi dan misi perusahaan yang tampak dari keberadaan sistem manajemen, SOP dan sebagainya di perusahaan apalagi hanya
5 6
Hasil Wawancara Pra Riset dengan Bapak Eko Sulistiyono, 25-06-2012, 12.30 wib Hasil Wawancara Pra Riset dengan Bapak Eko Sulistiyono, 25-06-2012, 12.30 wib
6
menjadikan K3 sekedar mematuhi peraturan. Oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur dan industri jasa yang berada di kawasan industri Cikarang, PT. Kofuku Abadi memiliki potensi bahaya kebakaran dan kecelakaan kerja. Potensi bahaya kebakaran di perusahaan ini dapat disebabkan oleh benda padat bukan logam (kayu, kertas dan plastik), bahan cair yang mudah terbakar (alkohol, thinner, oil press), atau benda dan barang yang berhubungan dengan listrik (panel listrik, travo, komputer). Dengan mengetahui dan memahami hal tersebut diatas, maka diperlukan penanganan terhadap semua potensi bahaya. Berdasarkan informasi dan data yang diperoleh peneliti untuk kecelakaan kerja yang terjadi di PT. Kofuku Abadi yang dimulai dari Januari 2012 hingga Juli 2012 telah terjadi beberapa kecelakaan kerja ringan yang berakibat pada diri karyawan seperti tangan yang terkilir saat sedang melakukan adjusment mesin karena salah penanganan mesin sebanyak 2 kasus, luka pada jari akibat terkena benda tajam sebanyak 1 kasus. Ada pula tangan yang melepuh akibat bersentuhan dengan mesin karena tidak menggunakan sarung tangan sebanyak 1 kasus. Selanjutnya ada pula kecelakaan yang berakibat pada alat atau produk yang dihasilkan sebanyak 2 kasus seperti part mesin yang broken akibat salah handling, produk yang jatuh karena penanganan produk yang tidak sesuai dengan WI. PT. Kofuku Abadi telah melakukan berbagai upaya untuk meminimalisir resiko kerja. Seperti salah satunya program K3 yang sedang dan masih terus diupayakan di perusahaan ini yaitu inpeksi K3. Program ini bertujuan untuk
7
mengidentifikasi potensi bahaya sejak dini dan berupaya untuk menurunkan tingkat resiko dan bahaya bagi pekerja. Inpeksi K3 ini dilakukan satu bulan sekali secara rutin dan dilakukan oleh staf yang ditunjuk oleh pimpinan dan dapat menguasai dan memahami kondisi lingkungan kerja. Kegiatan ini dipimpin langsung oleh direktur sebagai penanggungjawab inspeksi K3. Selain itu perusahaan juga memberikan pelatihan bagi setiap karyawan yang akan menggunakan alat-alat kerja dan present test saat mereka bekerja dengan menggunakan alat tersebut serta penjelasan tentang dampak yang akan terjadi bila karyawan tidak mengikuti prosedur dari penggunaan alat kerja tersebut. Memperhatikan hal tersebut, maka budaya K3 perlu disosialisasikan untuk meningkatkan produktivitas kerja karyawan dalam tujuannya mencapai visi dan misi perusahaan. Pada penelitian ini bertujuan untuk mengkomunikasikan bagaimana aktivitas sosialisasi budaya organisasi safety culture pada PT. Kofuku Abadi. Berhasil atau tidaknya budaya K3 dalam budaya organisasi salah satunya dapat bergantung dari kemampuan seorang Public Relations yang bertindak sebagai komunikator, mediator, dan didukung dengan tingkat penguasaan pengetahuan tentang manajemen teknis dan managerial skill.7 Public Relations bukanlah sepenuhnya merumuskan budaya organisasi namun tetap berperan untuk mengkoordinasikan dengan divisi lainnya untuk membantu pimpinan puncak dalam upaya pemeliharaan budaya organisasi dengan cara mengelolanya.
7
Rosady Ruslan, Manajemen Public Relations & Media Komunikasi Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal 325
8
Seperti dalam perusahaan industri dan manufaktur pada umumnya, PT. Kofuku Abadi tidak mempunyai divisi atau departemen khusus Public Relations (PR) atau Hubungan Masyarakat (Humas). Peran dan fungsi PR di PT. Kofuku Abadi dalam hal budaya K3 menjadi tanggung jawab staf Engineering yang ditunjuk oleh perusahaan sebagai staf K3. Staf ini berfungsi sebagai penunjang dan mediator yang ada di perusahaan untuk melaksanakan sosialisasi K3 terhadap seluruh karyawan dalam upaya menekan resiko yang timbul saat dan selama proses kerja di perusahaan. Dengan adanya sosialisasi K3 maka diharapkan dapat membantu berbagai permasalahan K3 yang ada di lingkungan perusahaan. Keberadaan K3 diupayakan untuk menjamin keselamatan dan kesehatan kerja serta lingkungan untuk mewujudkan nuansa kerja yang dinamis dan kondusif. Seluruh karyawan diharapkan ikut berpartisipasi guna mensukseskan program sosialisasi K3 yang telah dirumuskan oleh manajemen. Alasan peneliti melakukan penelitian pada PT. Kofuku Abadi karena sebagai sebuah perusahaan yang memiliki struktur organisasi yang simple (terdiri dari direktur dan beberapa staf pendukung dalam operasional perusahaan) dengan jumlah karyawan yang terbatas namun tetap berupaya melaksanakan budaya K3 seperti yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu peneliti ingin mengetahui apa saja kendala-kendala yang dihadapi oleh Departemen Engineering dalam mensosialisasikan budaya K3. Penulis ingin menganalisa pengetahuan yang telah didapatnya selama masa perkuliahan dengan periode penelitian pada Januari 2012 hingga Oktober 2012.
9
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan, maka yang menjadi
rumusan permasalahan adalah: “Bagaimana sosialisasi budaya organisasi safety culture (budaya K3) PT. Kofuku Abadi di Cikarang ?”
1.3
Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, maka tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah: untuk mengetahui dan mendeskripsikan sosialisasi budaya organisasi safety culture (budaya K3) PT. Kofuku Abadi di Cikarang.
1.4
Kegunaan Penelitian
1.4.1
Kegunaan Akademis Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, diharapkan dapat
memperkaya dan menambah wawasan dalam ilmu Public Relations khususnya budaya K3 dalam penerapannya pada budaya organisasi di suatu perusahaan serta sebagai bahan referensi untuk penelitian lanjutan.
1.4.2
Kegunaan Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diupayakan agar dapat memberikan
dapat memberikan masukan yang berguna kepada PT. Kofuku Abadi dalam peningkatan budaya organisasi sehingga PT. Kofuku Abadi dapat lebih berkembang untuk kedepannya.