Belajar dari burung-burung di langit Mempembaharuhi dinamika praksis kepemimpinan gereja oleh Markus Hildebrandt Rambe
Kepemimpinan Gereja adalah tema yang sangat luas yang dapat didekati dari segi pemahaman Alkitab tentang berbagai bentuk kepemimpinan politis dan religius; dari teologi sistematis, yaitu eklesiologi; dari etika sosial; dari sosiologi maupun dari ilmu komunikasi. Judul yang diberikan kepada saya, yaitu “Kepemimpinan Gereja yang relevan”, memberi kebebasan kepada saya untuk tidak meliputi segala aspek, melainkan memilih secara subyektif beberapa aspek yang dianggap penting dan relevan dalam konteks gereja masa kini.
Metode Penerapan Praktis
Rahasia kepemimpinan sekawanan angsa Saya ingin mulai dengan sebuah gambar. Yesus pernah mengajar kita untuk memandang burungburung di langit dan belajar dari mereka. Ini mengingatkan saya pada sebuah fenomena yang dapat disaksikan di Eropa menjelang musim dingin. Burung-burung yang biasanya hidup di Eropa Utara mulai berangkat dan menuju ke Selatan yakni ke negara-negara Laut Tengah yang suhunya lebih panas, sebelum nanti, kalau musim dingin telah berlalu, mereka akan kembali ke tempat yang sama untuk mengeram di sini. Burung-burung yang berangkat meninggalkan tempat dingin mencari tempat hangat adalah antara lain angsa-angsa yang dalam kelompok yang jumlahnya kurang lebih 100 ekor terbang bersama. Di langit mereka membentuk suatu formasi seperti huruf “V” – suatu pemandangan yang sangat indah dan menarik dan pertanda bahwa musim dingin akan segera datang. Dan yang mengherankan, dengan formasi ini mereka dapat terbang sepanjang hari tanpa istrahat dan menemukan tempat yang ditujui meskipun jaraknya yang kurang lebih dua ribu kilometer. Rahasia angsa-angsa ini berhubungan dengan sistem kepemimpinan dan kerja sama antara mereka. Dan disini terdapat beberapa aspek yang
72
INTIM - Jurnal STT Intim Makassar
dapat memperkaya refleksi kita tentang kepemimpinan gereja yang relevan.
Visioner Rahasia pertama adalah kebutuhan yang sama akan suasana yang lebih hangat dan lebih aman dan tentu saja tujuan yang sama. Sebab, tanpa tujuan yang sama maka formasi V burung-burung tersebut akan kacau. Apakah kita sebagai gereja sudah punya kerinduan dan tujuan bersama? Atau kita lebih mengutamakan konsep-konsep, kepentingan-kepentingan kita masing-masing? Kalau begitu, pembahasan tentang kepemimpinan gereja hanya akan menjadi salah satu alat dalam persaingan dan perang antar konsep dan antar kepentingan. Apakah kita dapat memahami kembali kepemimpinan gereja sebagai alat yang visioner, untuk menuju arah yang diberikan oleh Allah kepada gereja, yaitu menuju dan mewujudkan Syalom Allah (bukan hanya di surga, tetapi juga di tengah-tengah dunia ini)?
Kooperatif & komunikatif Rahasia kedua angsa-angsa kita adalah cara terbang dalam bentuk formasi “V”. Tugas yang paling berat dalam cara formasi V tersebut terletak pada burung “pemimpin” yang berada pada bagian depan karena dialah yang lebih banyak mengeluarkan tenaga untuk melawan angin. Untuk angsa-angsa yang ikut di belakang di sebelah kiri dan kanan jauh lebih ringan dalam menantang angin. Para ilmuwan pernah memperhitungkan bahwa dengan teknik ini efisiensi terbang sekawanan burung 71% lebih tinggi di banding terbang sendiri-sendiri. Jika satu angsa keluar dari formasi tersebut, dia langsung akan merasakan angin yang lebih kejam dan segera kembali ke dalam formasi untuk mendapat keuntungan dari kekuatan bersama. Tetapi bukan hanya angsa di depan yang mendukung angsa-angsa di belakang, namun angsa-angsa di bagian belakang menguatkan angsa-angsa yang berada di depannya dengan teriakan mereka supaya meneruskan kecepatan mereka. Apakah dalam kepemimpinan gereja kita telah siap untuk saling mendukung dan menguntungkan seperti kawanan burung tersebut? Bekerja keras untuk mereka yang
Edisi No. 7 - Semester Ganjil 2004
ikut di belakang? Menguatkan mereka yang ada di depan dengan penghargaan dan kritik yang konstruktif, membangung kerja sama yang kooperatif dan komunikatif? Atau kita lebih cenderung saling menjatuhkan, saling mempersulit kemajuan dan kesuksesan? Kita cemburu kepada mereka yang berada di posisi lebih di depan. Dan kita lebih cenderung mendefinisikan kepemimpinan secara statis, jabatan “di atas” dan jabatan “di bawah”, bukan secara dinamis, mereka berjuang di depan dan mereka yang bekerja di belakang. Kita harus belajar kembali dalam gereja bahwa kita hanya akan maju kalau kita semua siap untuk bekerja sama dan saling mendukung dan memberi motivasi, dan untuk memahami struktur pimpinan secara fungsional untuk kepentingan dan misi bersama. Partisipatoris
INTIM - Jurnal STT Intim Makassar
Solidaris Ada satu aspek lagi yang saya anggap relevan berhubungan dengan tema kita: Jika dalam perjalanan yang cukup jauh ada burung yang lemah atau sakit, selalu ada dua ekor burung lain yang akan mendampingi yang sakit ke bawah dan melindunginya dan membantunya sampai ia sembuh atau mati. Lalu mereka akan bersamasama meneruskan perjalanan mereka dengan bergabung dengan sekawanan angsa yang lain, sehingga tidak pernah ada yang tertinggal atau ditinggalkan begitu saja. Dalam gereja juga sangat penting bahwa pemimpin-pemimpin tidak maju sendiri tanpa memperhatikan mereka yang ikut dalam perjalanan kita. Memang ada pencobaan yang cukup besar untuk meninggalkan saja mereka yang mengganggu perencanaan kita, mereka yang tidak bisa ikut dengan kecepatan atau dengan tuntutan-tuntutan moralis dan prestasi kita. Lebih
Edisi No. 7- Semester Ganjil 2004
73
Metode Penerapan Praktis
“Ketua” angsa itu memang punya posisi yang menuntut kekuatan dan tanggung jawab yang sangat penting dan khusus. Namun ketika ia lelah, ia akan secara otomatis mundur ke belakang dan burung lainnya akan mengambil alih tugasnya, demikian juga kalau ia lelah, yang lain akan maju ke depan dan seterusnya. Kepemimpinan suatu gerakan seperti gereja adalah penting, namun yang tidak kalah pentingnya adalah peran serta yang aktif dan bertanggung jawab dari anggota-anggota lainnya. Disini yang dituntut adalah kerjasama yang baik dan kesadaran akan tanggung jawab masingmasing. Sekali lagi: tujuan bukanlah untuk menjatuhkan mereka yang berada di depan. Namun yang dituntut oleh mereka di depan adalah kesediaan untuk membagi tanggung jawab dengan yang lain, membiarkan dan menguatkan orang lain
untuk memimpin dalam bidang mereka masingmasing dan memungkinkan suatu koordinasi yang harmonis. Tidaklah sehat kalau semua hanya tergantung pada satu orang, dan yang lain hanya merasa bertanggung jawab kalau “disuruh”. Kita harus belajar dalam gereja untuk tidak memegang secara statis posisi kita masing-masing (=yang penting jangan sampai didahului orang lain) dan lebih fleksibel dalam melihat dan menjawab panggilan dan fungsi kita yang paling dibutuhkan dalam situasi tertentu (termasuk kesediaan untuk mengalihkan tanggung jawab kepada suksesor; dan mengapa, misalnya seorang ketua sinode setelah masa jabatannya, tidak bisa ditempatkan kembali ke jemaat desa, tetapi selalu harus dicarikan atau dibuatkan posisi sesuai “statusnya”?).
gampang meninggalkan dan menghakimi saja orang yang keluar dari “jalur” nilai dan kebiasaan kita, karena kelemahan manusiawi mereka. Namun gereja harus mengembangkan kembali sikap kepemimpinan Yesus yang siap untuk meninggalkan ke-99 domba untuk mencari satu yang hilang, berani untuk berpihak pada mereka yang lemah atau bahkan diasingkan dari persekutuan mereka (apakah karena kesalahan mereka sendiri atau kesalahan orang lain), dan melakukan fungsi integratif. Siapa tahu kapan saya sendiri menjadi lemah atau terancam jatuh? Sikap solidaritas bukan dengan mereka yang kuat, melainkan dengan mereka yang lemah, menjadi ukuran utama untuk kepemimpinan gereja yang relevan. Seorang pemimpin tidak menunggu orang datang, tetapi mencari orang yang membutuhkannya. Peta dinamika praksis kepemimpinan Gereja Berangkat dari pengamatan burung ini saya ingin “memetakan” lima aspek kepemimpinan gereja yang relevan:
Metode Penerapan Praktis
1. Kepemimpinan gereja antara pelayanan terhadap Allah dan pelayanan terhadap sesama manusia. Sudah jelas bahwa tugas pimpinan gereja “bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani” dan menjadi gembala yang tidak “memerintah atas mereka yang dipercayakan” kepadanya, melainkan yang “menjadi teladan” (bdk. Mat 20:25-28, Mrk 10:45; Yoh 13:5-15 dll), dan tidak menggunakan paksaan melainkan kesukarelaan (bdk. 1 Petr 5:2-4). Di sini gereja harus menjadi teladan untuk dunia tentang kepemimpinan yang sebenarnya, dan bukan sebaliknya (menerapkan struktur-struktur kekuasaan dan penindasan duniawi dalam gereja). Kepemimpinan dan administrasi adalah untuk melayani (Bahasa latin ad = untuk, ministrare = melayani). Tentu saja pelayanan seorang pemimpin gereja terutama dipahami sebagai pelayanan kepada Tuhan. Namun dimensi vertikal ini tidak pernah terlepas dari dimensi horizontal, karena tidak ada jalan lain untuk melayani Allah kecuali melalui melayani sesama manusia (di dalam dan di luar gereja!). Kita selalu harus mengingatkan diri dan para pemimpin kita bahwa konsep pelayanan ini memutarbalikkan struktur pikiran dan struktur hirarki masyarakat kita: seorang pejabat baru menjadi pemimpin kalau ia merendahkan diri menjadi seorang pelayan, dan ini suatu tantangan yang sangat sulit diwujudnyatakan.
74
INTIM - Jurnal STT Intim Makassar
Karena pelayanan seseorang pemimpin bukan hanya masalah antara dia dan Allah, melainkan “masalah duniawi” (antarmanusia), pelayanannya harus juga diukur dengan kriteria-kriteria duniawi. Jangan sampai kata “melayani” hanya menjadi kata kosong untuk menyelubungi kekurangan dan kegagalan kita dalam melakukan kerja dan menggunakan kuasa kita secara bertanggungjawab (ada yang sudah “alergi” dengan kata “pelayanan” dalam gereja).
2. Kepemimpinan gereja antara menerima tanggung jawab kekuasaan dan memberdayakan orang lain. Kuasa yang diberikan Allah kepada jemaatNya dan pemimpin-pemimpinnya menjadi nyata dalam kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka masing-masing. Sering kita berbicara seolah-olah tidak ada kekuasaan dalam gereja (“karena kita kan bersaudara, semua sama di muka Allah, saling mengasihi…” dll.). Namun di mana ada interaksi antar manusia dan kehidupan yang diatur secara organisatoris, maka di situ juga ada kekuasaan. Siapa yang menentukan penggunaan dana jemaat atau sinode, siapa yang menempatkan pendeta, siapa yang punya posisi sosial yang lebih didengar dari pada orang lain, dia juga punya kekuasaan (Hal ini juga tidak bisa ditutupi dengan mengatakan bahwa misalnya “Tuhan sendiri telah memilih pemimpin baru untuk kita…” – betulkah Tuhan yang memilih? Atau manusia yang memilih dan yang harus bertanggung jawab jika salah pilih!). Kekuasan sendiri bukan positif atau negatif, namun dapat digunakan demi kebaikan atau keburukan; yang paling berbahaya sebenarnya adalah jika kita tidak sadari atau menyangkal kekuasaan yang kita miliki. Jadi pertanyaannya, bukanlah apakah ada hal-hal duniawi seperti kekuasaan manusia dalam gereja atau tidak, melainkan bagaimana kekuasaan itu digunakan secara bertanggung jawab, secara transparan, secara jujur dan secara partisipatoris. Termasuk di sini bahwa dalam gereja juga harus ada sistem kontrol dan evaluasi kekuasaan secara teratur dan transparan. Ada dua bahaya kekuasaan: Yang pertama adalah menyangkal/melarikan diri dari tanggung jawab kekuasaan itu dan tidak menerimanya sebagai tantangan; atau menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan sendiri atau kelompok tertentu. (Contoh: Dosen STT INTIM dalam memberi nilai kepada mahasiswa --suatu kekuasaan yang memiliki konsekwensi biografis untuk mahasiswa-menghadapi dua pencobaan: meluluskan saja semua, yang berarti lari dari tanggung jawab kekuasaan, tetapi akhirnya sistem pendidikan hancur dan gereja-gereja yang akan merasakan
Edisi No. 7 - Semester Ganjil 2004
keburukannya; dan: menilai secara subyektif, berdasarkan siapa yang dekat dengan saya, simpatis, dari suku atau gender tertentu…). Tugas yang paling sulit adalah menggunakan kekuasaan secara obyektif dan bertanggung jawab.
Namun, tidak cukup jika seorang pemimpin gereja hanya percaya kepada karunia yang diberikan kepadanya. Ia juga bertanggung jawab untuk mengembangkannya, untuk memperbaiki kekurangannya dan meningkatkan kompetensinya sesuai dengan tuntutan dan tantangan yang dihadapinya. Sering kita merasa kalau kita sudah mencapai posisi tertentu, tidak perlu lagi kita belajar. Seharusnya sebaliknya: semakin tinggi posisi kita dan semakin besar tanggung jawab kita, semakin banyak harus kita belajar. Misalnya, yang sering diabaikan adalah bahwa seorang pendeta yang memimpin jemaat atau sebuah struktur gereja bersama dengan orang lain tidak hanya membutuhkan dasar teologis yang cukup kuat, tetapi juga misalnya keterampilan manajemen atau pengelolaan. Di sini juga masih terletak salah satu kekurangan dalam pendidikan teologi, yang ingin diantisipasi oleh kurikulum baru STT INTIM Makassar yang baru yang berada dalam fase implementasi. Dari kompetensi-kompetensi yang seharusnya lebih dikembangkan, saya ingin menekankan kompetensi sosial atau kompetensi komunikasi, termasuk kompetensi untuk menangani konflik secara konstruktif. Seorang pemimpin harus mampu untuk menjadi moderator atau mediator dalam konflik, dari pada hanya menghindari atau menekankan konflik, atau bahkan menyebabkan konflik dan melibatkan 3. Kepemimpinan gereja antara karisma dan emosi pribadi. Ia berada dalam posisi yang paling kompetensi. berpengaruh untuk mendukung atau menghindari Setiap orang diberi karunia atau karismata oleh Roh perkembangan suatu kultur kritik dan konflik yang konstruktif dalam gereja. Sebagai keterampilanKudus, dan ini tidak boleh diabaikan melainkan keterampilan dasar yang dibutuhkan hanya dapat seharusnya menentukan pembagian tanggung jawab dalam kepemimpinan gereja. Perjanjian Baru disebut secara singkat di sini: Keterampilan untuk mendengarkan secara aktif; keterampilan untuk menyebut beberapa karunia, seperti mengajar, melayani, membuat hal ajaib atau menyembuhkan, menyadari kebutuhan, motivasi dan persepsi diri kita sendiri; keterampilan untuk membedakan antara berkata-kata dengan hikmat, berkata-kata dengan pengetahuan, bernubuat, membedakan bermacam- “dimensi hubungan” dan “dimensi masalah/isi” dalam komunikasi atau konflik; keterampilan untuk macam roh dll. (bdk 1 Kor 12; 1 Tim 4:14), dan sudah menyadari dan mengendalikan emosi; keterampilan dikembangkan dalam Perjanjian Baru bermacamuntuk menyampaikan pesan secara jelas (baik macam fungsi atau jabatan gerejawi seperti apostolat, diakonat, presbiter, pastorat, episkopat dll, dalam isyarat verbal maupun nonverbal) dan sensitif (sesuai dengan konteks). untuk memimpin gereja dalam panggilan duniawi,
INTIM - Jurnal STT Intim Makassar
Edisi No. 7- Semester Ganjil 2004
75
Metode Penerapan Praktis
Kalau di satu sisi seorang pemimpin harus mampu untuk menerima kekuasaan yang dipercayakan kepadanya secara bertanggung jawab (tidak “angkat tangan” dan melemparnya kepada orang lain), maka di sisi lain ia harus juga mampu untuk membagi kekuasaan dan mendelegasikan tanggung jawab. Tidak ada juga gunanya kalau seorang pemimpin memikul semua beban kekuasaan sendiri (mau menjadi “super(wo)man”), mengorbankan kesehatannya dan keluarganya, tetapi akhirnya semua tergantung pada dia dan orang lain tidak dibutuhkan, tidak berdaya lagi dan hanya menjadi penonton. Seorang pemimpin gereja tidak boleh menghindari orang lain maju hanya karena merasa posisinya terancam, tetapi ia harus memotivasi dan memberdayakan orang lain, menemukan kelebihan dan karunia mereka dan mengembangkannya. Kita harus mampu untuk melibatkan orang lain dalam keputusan-keputusan dan dalam realisasinya secara partisipatoris. Profesionalisme dalam kepemimpinan gereja sangat penting, namun jangan sampai profesionalisme itu hanya terbatas pada kelompok elite kecil, dan tanggung jawab dan imamat am orang percaya atau kaum awam semakin diabaikan. Kelebihan gereja Indonesia, dibanding misalnya gereja-gereja di Jerman, adalah, bahwa anggota-anggota jemaat masih merasa bahwa “gereja itu adalah kita”; namun dalam pengamatan saya, ada kecenderungan untuk lebih banyak “mensosialisasikan” sesuatu dari atas ke bawah (top down approach) dari pada “memberdayakan” (mengembangkan dan membangkitkan dari bawah, bottom up approach).
dalam dimensi pelayanan (diakonia), kesaksian (marturia) dan pengayuban (koinonia) termasuk kehidupan beribadah (leiturgia). Dalam tubuh Kristus tidak ada fungsi dan karunia yang lebih tinggi atau lebih penting dari pada yang lain, sehingga kepemimpinan gereja adalah fungsi untuk memberdayakan, mengkoordinasi dan mengorganisir karunia-karunia yang ada dengan baik sehingga “Tubuh Kristus” ini dapat melakukan misinya di dunia ini secara optimal. Jangan dilupakan bahwa kepala gereja tidaklah lain dari pada Kristus sendiri.
Semua ini adalah kompetensi-kompetensi yang dapat dilatih, dan dalam dunia modern dan semakin rumit tidaklah cukup kalau seorang pemimpin sudah puas dengan karunianya dan pengalamannya.
4. Kepemimpinan gereja antara konservasi dan transformasi.
Metode Penerapan Praktis
Kepemimpinan gereja berada dalam ketegangan yang kreatif antara upaya untuk menjamin kontinuitas dan tradisi gereja di satu sisi, dan menjadi motor perubahan dan transformasi sosial di sisi lain.
membaca tanda-tanda zaman, memiliki “sense of crisis” dari pada hanya sibuk dengan masalahmasalah intern gereja. Kepemimpinan gereja harus mendengar, mengangkat dan menyuarakan suarasuara kenabian dalam gereja sehingga gereja dapat menjadi motor untuk perubahan atau transformasi masyarakat, dan sekaligus berani untuk ditransformasikan atau mengalami perubahan sesuai dengan konteks di mana kita berada.
Di sini kita dituntut untuk menjadi seorang “pemimpin yang kreatif”. Kreatifitas tidak berarti kita selalu harus melakukan hal-hal yang spektakuler, Di sini, seorang pemimpin harus menjadi menggunakan metode-metode yang terbaru dan “konservatif” dalam arti yang sebenarnya: membongkar segala kebiasaan yang ada. mempertahankan dan menjamin nilai, tradisi dan Kreatifitas pada dasarnya adalah upaya yang tidak aturan gereja yang menjadi identitas persekutuan. Di berhenti untuk menghubungkan prinsip dan nilai sini sering dituntut bahwa seorang pemimpin harus dasar yang menjadi isi (atau “teks”) panggilan kita menjadi teladan yang baik (atau bahkan sempurna) dengan kebutuhan dan pergumulan umat yang dalam menaati nilai-nilai persekutuannya. Dan ini menjadi konteks panggilan kita. tidak hanya berlaku jika konformitas dituntut oleh 5. Kepemimpinan gereja dalam transisi antara nilai-nilai etika Kristen, namun juga jika dituntut oleh paradigma lama dan paradigma baru. kebiasaan atau tradisi masyarakat setempat yang harus diperhatikan (misalnya: di kota tidak apa-apa Masyarakat dan gereja di Indonesia sedang berada pendeta ke bioskop atau pendeta perempuan dalam proses transformasi (sebenarnya bukan memakai jeans, dan tidak ada larangan dari etika reformasi) paradigma kepemimpinan, yaitu dari apa Kristen; namun di desa hal tersebut bisa melanggar yang biasanya dikotakkan sebagai sistem “Orde nilai-nilai masyarakat). Mungkin dalam hal nilai-nilai Baru” kepada paradigma kepemimpinan yang budaya seperti itu, meskipun tidak diharuskan oleh demokratis. (tetapi juga tidak bertentangan dengan) nilai-nilai injil, sebaiknya kita mengikuti nasehat Paulus: demi mereka yang “lemah”, hindarilah menjadi batu sandungan dan hambatan untuk pemberitaan firman. Di sisi lain, seorang pemimpin gereja selalu harus sadar bahwa formalisme aturan, kelembagaan yang statis dan sikap yang eksklusif adalah lawan gereja sebagai gerakan misi Allah dan dinamika Roh Kudus. Kadang-kadang kita tidak sadar, bahwa dengan mempertahankan secara kaku bentuk-bentuk lama yang sudah “berkarat”, kita justru bukan menjadi “konservatif”, tetapi menghalangi proses mengaktualisasikan dan merelevansikan nilai-nilai inti dalam bentuk yang lebih kontekstual, dan demikian inti yang sebenarnya perlu “dikonservasi” justru mengalami kemerosotan. Injil Yesus Kristus selalu menantang kita untuk menerobos dan mentransformasikan nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan kita sesuai dengan inti perintah kasih terhadap Allah dan sesama manusia. Disini kepemimpinan gereja harus selalu siap untuk
76
INTIM - Jurnal STT Intim Makassar
Pergumulan dan gejala-gejala yang menyertai transisi ini kita saksikan baik di dunia politik, maupun dalam gereja-gereja, dan tidak mengherankan bahwa kita merasakannya juga dalam kehidupan
Edisi No. 7 - Semester Ganjil 2004
kampus STT Intim Makassar. Masa transisi ini tidak bebas dari krisis, ketegangan dan konflik, khususnya tentang arah dan kecepatan proses pergeseran paradigma ini. Hal ini sering tercermin dalam konflik generasi, tetapi tidak berarti bahwa kedua paradigma ini dapat diidentikkan dengan kelompok umur ataupun kelompok-kelompok tertentu lainnya. (Oleh karena itu, “tipologi” yang digambarkan di atas ini dimaksud untuk memperjelas arah yang ingin kita tempuh bersama, bukan untuk mengklaim keidentikan salah satu pradigma dengan orang atau kelompok tertentu). Ketegangan atau konflik yang terjadi juga bukan konflik yang kelihatan sebagai konflik pergeseran paradigma, melainkan konflik yang tersembunyi di belakang masalah-masalah yang dipertengkarkan di “permukaan”, meskipun merupakan hal-hal kecil atau kasus yang sebenarnya mempunyai solusi yang tidak terlalu sulit.
tidak akan mampu kita ubah atau yakinkan secara keseluruhan, meskipun kita coba melibatkan dan memperhatikan kebutuhan mereka dalam proses itu.
Pdt. Markus Hildebrandt Rambe, M.Th adalah dosen Misiologi STT INTIM Makassar yang juga mengajar beberapa mata kuliah keterampilan praktis. Artikel di atas adalah aktualisasi dari ceramah yang dibawakan pada Seminar Sehari GTM Badan Pekerja Klasis Makassar pada tgl. 7 Mei 2001 dengan judul “Kepemimpinan yang Relevan”.
Literatur terpilih: A.J. Anggui, “Jabatan Gerejawi Ditinjau Dari Segi Perjanjian Baru”, dalam: Zakaria J. Ngelow (ed): Seberkas Cahaya di Ufuk Timur. Pemikiran Teologi Dari Makassar, Makassar: STT INTIM, 2000, hlm 569-577. Michael A. Cowan, Kepemimpinan dalam Jemaah, Yogyakarta: Kanisius, 1994. Eka Darmaputera dkk., Kepemimpinan Kristiani. Spiritualitas, Etika dan Teknik-teknik kepemimpinan dalam Era penuh Perubahan, Jakarta: UPI STT Jakarta, 2002. Pada akhir refleksi ini saya ingin memberi penguatan Ernst-Georg Gaede & Thomas Listing, Gruppen khususnya kepada mereka yang tidak capek erfolgreich leiten, Mainz: Gruenewald, 1993. memperjuangkan suatu perubahan paradigma Phillip L. Hunsaker dan Anthony J. Alessandra, Seni kepemimpinan ke arah yang lebih demokratis, Komunikasi Bagi Para Pemimpin, Yogyakarta: meskipun perjuangan itu sering berarti harus Kanisius, 1986. mengalami berbagai tantangan, bahkan sampai Sutan M. Hutagalung, Identitas Kepemimpinan dipersulit dan diasingkan karena sikap seperti ini Pelayan Gereja Dalam Konteks Kemandirian Teologi, tidak populer dan membuat orang yang ingin Daya dan Dana, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997. mempertahankan status quo merasa diri terancam. Andar Ismail, Awam & Pendeta – Mitra Membina Kita tidak perlu bermusuhan dengan mereka (kita Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999. tidak menghindari konflik, tetapi kita juga tidak suka Charles J. Keating, Kepemimpinan. Teori dan mencari konflik), namun kita yakin bahwa proses Pengembangannya, Yogyakarta: Kanisius, 1986. pembaharuan paradigma ini tidak mudah dibalik John C. Maxwell, The 21 Indispensable Qualities a begitu saja (meskipun kita kadang-kadang frustrasi Leader: 21 Kualitas Kepemimpinan Sejati, Menjadi jika tidak langsung merasakan kemajuan atau Panutan Bagi Orang Lain, Batam: Inter Aksara, 2001. bahkan mengalami kemunduran). Sebuah Henry J.M. Nouwen, Pelayanan Yang Kreatif, pembaharuan seperti itu membutuhkan waktu dan Yogyakarta: Kanisius, 1986. kesabaran, karena kita membangunnya dari bawah, Emanuel Gerrit Singgih, Reformasi dan Transformasi dari pendidikan anak-anak dan orang muda, jadi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad ke-21, mungkin saja generasi “kepemimpinan model lama” Yogyakarta: Kanisius, 1997.
INTIM - Jurnal STT Intim Makassar
Edisi No. 7- Semester Ganjil 2004
77
Metode Penerapan Praktis
Pergumulan tentang kepemimpinan gereja ternyata tidak mungkin bebas dari ketegangan dan konflik. Dalam bahasa Cina, kata yang digunakan untuk konflik adalah wei ji, yang diambil dari kata “bahaya” (wei) dan “kesempatan” (ji). Pertanyaan adalah apakah kita ingin dan mampu untuk mentransformasikan konflik-konflik ini secara konstruktif atau secara destruktif? Cara yang sering menjadi populer dalam gereja, yaitu menutupi semua ketegangan dan perbedaan yang muncul dengan “harmoni persaudaraan”, sepertinya hanya membuat kita memendam ketidakpuasan, menjadi munafik atau melampiaskan ketegangan pada kesempatan atau kepada orang lain (misalnya berbicara di belakang).