UMAT AWAM DALAM DINAMIKA HIDUP GEREJA
Antonius Denny Firmanto STFT Widya Sasana, Malang Abstract: The article discusses the dignity and role of the Catholic laity. The author argues that the differentiation between the laity (laikos) and clerus (kleros) does not emerge in the Scriptures. The term used in the Scriptures is laos, which refers to the chosen people. The differentiation grew as a historical development and, to some extent, created an impression that the laity were the lower group in the Catholic Church. Second Vatican Council has promoted a fresh look at the laity. They are not simply the non-clerical members of the Church. Rather, they are equal members of the People of God with a unique vocation, stemming from one Baptism, to spread the Gospel in the temporal world. Keywords:umat awam, klerus, biarawan, Patristik, Vatikan II.
Kita menggunakan kata “awam” untuk menyebut “orang yang tidak mengerti hal yang sedang diperbincangkan”. Dalam khazanah hidup Kristiani, kita menggunakan kata “awam” untuk menyebut “orang biasa atau umat biasa”. Dengan istilah “biasa”, kata “awam” merujuk kepada gagasan “kualitas” yang biasa, tidak berbobot, tidak bermakna, tidak bermutu, atau tidak berarti. 1.
Identitas “Awam”
1.1 Latar Belakang Alkitabiah Kata Yunani “awam” adalah laikos. Namun, kata laikos tidak dapat ditemukan baik dalam Alkitab Perjanjian maupun Perjanjian Baru. Kata yang ditemukan dalam Alkitab Perjanjian Lama adalah kata benda dari laikos, yaitu kata laos yang berarti “bangsa terpilih atau bangsa yang dikuduskan”. Dalam penggunaan menurut konteks Yahudi dan Kristiani, kata laos dilawankan dengan kata ta ethne yang artinya “orang yang tidak mengenal Tuhan (=gentiles; goim: lihat Keluaran 19:4-7; Ulangan 210
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 11 No. 2, Oktober 2011
7:6-12). Dalam pengertian ini, kata laos tidak dilawankan dengan kata kleros. Kata kleros digunakan dalam Alkitab Perjanjian Lama dalam konteks “petugas ibadah di Bait Allah”, yaitu: imam-imam dan kaum Lewi. Kata laos digunakan dalam Alkitab untuk menerangkan relasi antara Allah dan Umat-Nya. Karena relasi dengan Allah yang kudus, UmatNya adalahUmat kudus. Hidup dalam relasi ini berarti hidup di dalam kekudusan Allah. Pengalaman relasi dengan Allah dalam Perjanjian Lama diwujud-nyatakan dalam Perjanjian Baru melalui pengalaman hidup bersama dan mengikuti perjalanan Yesus Kristus. Perjanjian Lama
Perjanjian Baru
Isi Gagasan
Kel 19:5-6 Im 26:12; Yer 31:33
1Ptr 2:5.9; Why 1:6; 5:10; 10:6
Kamu akan menjadi harta kesayanganKu. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus
2 Kor 6:16; Ibr 8:10; Why 21:3
Aku akan menjadi Allahmu dan kamu akan menjadi umat-Ku
Dalam konteks pengalaman bersama Yesus ini, penggunaan kata christianus (Kis 11:26) yang berarti “dia yang menjadi bagian/mempunyai relasi/mengikuti Christus”serupa dengan kata laos di Perjanjian Lama. Karena itu, kata laikos tidak ditemukan dalam Alkitab Perjanjian Baru; yang ditemukan adalah kata christianus(lihat Kis 11:26). Dalam perkembangannya, Clement dari Roma (=Uskup Roma, k.l. 88-97 M) mengintroduksi kata laikos ke dalam literatur Kristiani sebagai padanan dari konsep Yudaisme “bukan imam, bukan Lewi”. Tapi, Clement tetap mempertahankan isi kualitatif kata laikos sebagai anggota Umat Allah”. Menurut Congar, arti kualitatif tersebut dalam Alkitab Perjanjian Baru dilawankan dengan gagasan “orang-orang yang tidak benar” (1 Kor 6:1).1 Karena itu, kita dapati bahwa Alkitab Perjanjian Baru tidak mengenal pembedaan antara laikos dan kleros (=sekelompok orang yang mendapat tugas kepercayaan).2 1.2 Latar Belakang Patristik Dalam konteks patristik atau Bapa-bapa Gereja, kata laikos mempunyai pengertian “dia yang menjadi bagian dari Umat Allah, yang
1
Yves M.Congar, Lay People in the Church, terj. Donald Attwater, London: Geoffrey Chapman, 1965, 4.
2
Margaret A. Schatkin, “Laity”, dalam Everett Ferguson, ed., Encyclopedia of Early Christianity, Edisi kedua, New York: Garland Publishing, 1998, 662.
Antonius Denny Firmanto, Dinamika Hidup Gereja
211
ikut menjadi bagian penyusun dari perjanjian, dan yang menjadi pewaris dari janji keselamatan”. “Kamu, laikos, Gereja (=ekklesia; jemaat) yang terpilih oleh Allah, dengarkanlah apa yang kukatakan: Gereja adalah Umat [Allah]; kamu semualah Gereja katolik yang kudus, imamat rajawi, kumpulan orang kudus, bangsa yang dipilih sebagai anak, kumpulan dari banyak orang, mempelai terpilih untuk Tuhan” (Didascalia II, 26:1).3
Dalam konteks Didascalia ini, Congar berpendapat bahwa (1) sebagai bagian dari Umat Allah, keberadaan kaum awam terarah kepada kekudusan (bdk. Kol 1:12: “[kami berdoa supaya kamu] mengucap syukur kepada Bapa yang melayakkan kamu untuk mendapat bagian dalam apa yang ditentukan untuk orang-orang kudus di dalam kerajaan terang]” dan (2) kaum awam yang dikuduskan itu berada secara langsung di dalam arus relasi Allah-manusia dan menjadi saksi hidup kehadiran Allah.4 Gagasan Didascalia ini diteruskan di Barat oleh Tertullianus dan St. Cyprianus dari Karthago (k.l. 200-258), lalu di Timur oleh Clemens dari Alexandria (k.l. 150-215) dan Origenes (k.l. 185-251). Tertullianus (k.l. 200 M) menulis: “Bukankah kita umat awam juga termasuk golongan imam juga? Ditulis dalam Alkitab bahwa ‘Dia telah menjadikan kita rajaraja dan imam-imam’ [Why 1:6]? Otoritas Gerejalah yang membuat pembedaan antara klerus dan awam” (Tertullianus, Exh. cast. 7). Origenes menyapa Jemaatnya sebagai berikut: “Tidak tahukah engkau bahwa imamat dianugerahkan juga kepadamu, seluruh umat Gereja Allah? Jadi, kamu mempunyai karunia imamat, menjadi ‘bangsa imami’” (Origenes, Hom. 10.1 in Lev.). Menurut Yohanes Chrysostomus (k.l. 347-407), kumpulan umat yang beribadah merupakan perwujudan “kepenuhan imamat” (Hom. 3.4 in Phil.). Pada pertengahan abad ke-3, muncul gerakan kerahiban dengan tokoh St. Pakhomeus dan St. Antonius Petapa. Ketika Antonius memulai hidup soliter di padang gurun (sekitar 250-257), ia mengatakan bahwa sudah ada sekumpulan orang yang juga hidup soliter beberapa tahun sebelum dia. Berkenaan dengan ini, sejak masa ini dikenallah tiga penggolongan orang Kristiani: klerus, awam, dan biarawan.5
3
4 5
Didascalia merupakan gabungan antara tata tertib hidup gerejawi dan nasehat-nasehat pastoral yang diberi judul dalam bahasa Syria: Pengajaran Katolik dari Dua Belas Rasul dan dari Murid-Murid yang Kudus Penyelamat kita. Ditulis sekitar tahun 230-an. Setting fiksinya adalah Kis 15. Pada saat itu, Jemaat dirongrong oleh sekelompok orang Kristiani penganut paham Yudaisme. Penulis Didascalia menyatakan bahwa hukum moral Perjanjian Lama tetap berlaku, namun hukum ritual/serimonial sudah dihapuskan. Everett Ferguson, “Didascalia”, dalam Everett Ferguson, ed., Encyclopedia of Early Christianity, Edisi kedua, New York: Garland Publishing, 1998,329. Congar, op.cit.,19. Ibid.,6.
212
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 11 No. 2, Oktober 2011
Hidup sebagai awam adalah hidup orang Kristiani secara kebanyakan. Hidup sebagai klerus berarti hidup orang Kristiani yang menyandang pelayanan altar dan pelayanan religius bagi orang Kristiani kebanyakan. Kehidupan sebagai klerus sendiri merupakan kehidupan seseorang yang mengemban tanggung jawab; hidup klerikal bukan status atau carahidup; “pintu masuk” untuk tugas ini adalah Sakramen Tahbisan. Hidup sebagai biarawan bukanlah hidup untuk mengemban tugas pelayanan altar dan pelayanan religius seperti yang dilakukan oleh klerus. Hidup sebagai seorang biarawan adalah status atau cara hidup: seorang biarawan mengingkari “hidup duniawi” untuk memperoleh “hidup ilahi” yang diwujudkan dalam kehidupan yang menjauhi kehidupan kebanyakan orang duniawi demi mewujudkan hidup yang benar-benar tertuju hanya kepada Allah.6 Dalam perkembangannya, cara hidup biarawan ini dipandang oleh St. Agustinus atau St. Hironymus sebagai bentuk hidup yang paling cocok untuk dihidupi/dijalani oleh kaum klerus.7Lalu, karena biarawan yang ditahbiskan menjadi menjadi pemimpin upacara liturgis, kondisi ini mengakibatkan bahwa kehidupan klerus (clericus) -biarawan (monachus) ada di satu sisi dan kehidupan awam (laicus) ada di sisi lain mewarnai kehidupan Gereja Abad Pertengahan. Pada masa Paus Damasus I (366-384), seorang penulis Kristiani yang tak dikenal yang dijuluki “Ambrosiaster” membuat deskripsi yang secara tajam membedakan golongan klerus dari kaum awam dalam tugas-tugas gerejawi sebagai berikut: “Pertama-tama, semua yang terpelajar dan terbaptis dalam setiap masa dan kesempatan diharapkan... Agar umat bertambah dalam jumlah, mereka itu diizinkan untuk mewartakan Injil dan membaptis serta menerangkan Kitab Suci di gereja; tapi, dengan menyebarnya Gereja dan terbentuknya Jemaat maka kepemimpinan dan fungsi-fungsi gerejawi harus segera diadakan” (Comm. in Eph. 4.11:12). Pernyataan ini menjadi awal dari klerikalisasi fungsi-fungsi gerejawi, walaupun di banyak tempat kaum awam tetap menjalankan tugas evangelisasi, pengajaran, dan mempelajari Kitab Suci sebagaimana pada masa Origenes.8Sebenarnya,pada masa yang sama, Konstitusi Apostolik9 masih menerima seorang pengajar awam: “Seandainya ada seorang
6
Ibid., 7.
7 8
Ibid., 8. Schatkin,op.cit,661.
9
Constitutiones Apostolorum merupakan kompilasi yang terdiri atas 8 buku disusun sekitar akhir abad ke-4 dalam tradisi Syria.Tiga komponen utama dari Konstitusi Apostolik adalah DidascaliaApostolorum (k.l. abad ke-3; buku 1-6), Didache (k.l. abad ke-1; buku 7), dan Traditio Apostolik dari Hippolytus (k.l. 236 M; buku 8). George D. Dragas, “Apostolic Constitutions”, dalam Everett Ferguson, ed., Encyclopedia of Early Christianity, 92.
Antonius Denny Firmanto, Dinamika Hidup Gereja
213
awam, jika ia pandai mengajar dan hidupnya terhormat, ia boleh mengajar [hal-hal berhubungan dengan Kitab suci] sebab ada tertulis: ‘Mereka semua harus diajar mengenai Allah’” (8:31). Konsili Umum IV di Karthago (398 M) melarang awam mengajar di dalam sebuah pertemuan umum jika pertemuan itu dihadiri oleh klerus (kan. 98); lalu, kan. 99 melarang perempuan mengajar pria-pria di dalam pertemuan umum meskipun perempuan itu “sangat pandai dan hidupnya kudus”. 1.3 Latar Belakang Abad Pertengahan Pikiran Agustinus (354-430), melalui karyanya De Civitate Dei (Kota Allah) dimana kotaAllah dihadapkan dengan kota manusia,melahirkan pendekatan dikotomis antara awam dan klerus, kuasa duniawi dan kuasa ilahi, rajadan Gereja. 10 Gagasan umumnya adalah bahwa (1) Gereja menjalankan kuasa spiritualnya melalui para paus dan uskup-uskupnya: mereka adalah klerus, dan (2) raja-raja menjalankan kuasa duniawi: mereka adalah awam. Gagasan ini dinyatakan oleh Dekrit Gratianus: duo sunt genera christianorum (ada dua golongan orang Kristiani); yakni golongan dari “mereka yang menjalankan tugas-tugas ilahi, hidup dalam doa dan kontemplasi, dan jauh dari urusan duniawi” dan golongan dari “mereka yang memiliki harta duniawi, menikah, mengolah hasil bumi, menjalankan fungsi pengadilan, menyelenggarakan usaha jual beli, dan memberikan persembahan di altar”; communiter vivere (hidup dalam komunitas) dilawankan dengan saeculariter habitare (hidup di tengah dunia ramai).11 Paus Urbanus II pada tahun 1092 menegaskan pembedaan ini dengan alasan “klerus ada untuk melengkapi yang tidak dapat dilakukan oleh yang lemah [yaitu kaum awam]”12Latar belakang gagasan ini adalah bahwa kaum awam itu lemah karena mereka membuat banyak kompromi untuk hidup di dunia sehari-hari; kaum klerus itu dapat menguatkan kaum awam karena kaum klerus hidup menurut cita-cita ideal Injil. Gagasan yang muncul di masa Urbanus II ini diteruskan melalui gagasan “tangan kiri dan tangan kanan” yang kurang lebih mengatakan bahwa toh meskipun kedua tangan itu sama-sama penting dan ada dalam satu kesatuan kasih, tangan kanan (=kuasa rohani) tetaplah yang mendominasi.13 Dualisme ini menguat dengan gagasan “dua tubuh dan 10 Daniel, Bourgeois, “Laico / Laicato”, dalam Jean-Yves Lacoste, ed., Dizionario Critico di Teologia, ed. Italia oleh Piero Coda, Roma: Borla, 2005, 729. 11 Congar, op.cit.,9-12. 12 Ibid., 12. 13 Ibid., 14.
214
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 11 No. 2, Oktober 2011
dua kepala: tubuh rohani dan tubuh materi pada abad ke-12 - ke-14 yang akhirnya mempengaruhi lahirnya Reformasi Protestan.14 1.4 Krisis Reformasi dan Penemuan Kembali Gagasan “Imamat Umum” Martin Luther (1483-1546) menyampaikan pendapat bahwa “Kristus tidak mempunyai dua tubuh, atau dua jenis tubuh, yakni tubuh ilahi dan tubuh duniawi”.15Luther menempatkan imamat umum sebagai buah dari baptis yang lebih tinggi dibandingkan dengan imamat ministerial para klerus. Luther berpendapat: “Semata-mata adalah murni ciptaan baru bahwa paus, uskup, imam, dan rahib disebut sebagai golongan spiritual sedangkan raja-raja, tuan-tuan, pengrajin dan petani disebut sebagai golongan duniawi [=tem-poral]... Semua orang Kristiani adalah golongan spiritual. Tidak ada pembedaan apapun di antara mereka selain pembedaan tugas... Kita semua dikuduskan sebagai imam melalui pembaptisan sebagaimana dikatakan oleh 1 Petrus 2:9”16
Sekalipun tetap mengakui adanya kebutuhan administratif, Luther tetap menggaris-bawahi bahwa perbedaan dalam keanggotaan Gereja semata-mata hanyalah pada tugasnya, bukan statusnya. Luther berkeyakinan: “Paulus berkata dalam 1 Korintus 12:12-13 bahwa kita semua adalah satu tubuh, dimana tiap-tiap bagian mempunyai tugas masing-masing yang dengan tugas itu tiap-tiap orang melayani saudara-saudarinya. Hal ini disebabkan oleh alasan bahwa kita ada dalam satu baptisan, mengenal satu Injil dan satu iman, dan semua orang Kristiani adalah setara satu sama lain; sebab baptis, Injil dan iman membuat kita menjadi golongan spiritual dan Kristiani”.17
Luther mengingatkan bahwa awam juga dapat melakukan sesuatu bagi Gereja. Konsili Nicea (325) diselenggarakan atas undangan dan ajakan Konstantinus (yang adalah awam). Lalu, pada tahun 1520, Luther bertanya “mengapa bangsawan-bangsawan Kristiani Jerman tidak melakukan hal yang sama yakni untuk membuat konsili dalam rangka pembaruan Gereja?” Pembaruan yang mengikuti PembaruanKatolik dan Konsili Trente (1545-1563) melahirkan warna baru dalam kehidupan Gereja Katolik. Konsili Trente mengatur norma dogmatik-yuridis seluruh kehidupan gerejawi. Dalam era pembaruan itu, Robertus Bellarminus menampilkan
14 Reformasi Protestan adalah akibat dari sekian banyak endapan malapetaka di Eropa: wabah pes (1348), perang seratus tahun di Perancis, ada tiga paus sekaligus pada masa yang sama, keyakinan salah mengenai bahaya dari “tukang-tukang sihir” dan hidup rohani imam yang merosot. 15 Panggilan kepada Para Bangsawan Kristiani Jerman, 1520. 16 Alister E. McGrath, Reformation Thought, London: Blackwell Publishing, 1999, 222. 17 Ibid.
Antonius Denny Firmanto, Dinamika Hidup Gereja
215
kesatuan organis Gereja yang menonjolkan peran hirarki dengan rumusan: “Hanya ada satu Gereja. Satu Gereja yang sejati itu adalah himpunan orang yang bersatu dalam pernyataan iman Kristiani yang sama dan dalam persekutuan sakramental yang sama dibawah kepemimpinan gembala-gembala yang sah khususnya wakil Kristus di dunia yakni Sri Paus”.18 Inti gagasan Bellarminus adalah Gereja sebagai societas juridice perfecta: “Gereja merupakan persona yuridis atau institusi sebagai keseluruhan saranasarana dan penetapan-penetapan yang mempunyai tugas dan wewenang untuk menggunakan sarana-sarana keselamatan dan menerapkan pedomanpedoman tingkah laku.”19
Dalam konteks ini, Gereja “mempunyai” sejumlah sarana, khususnya sakramen-sakramen, yang diberikan Kristus untuk menyampaikan rahmat kepada umat dan setiap anggota hirarki memiliki wewenang menggunakan sarana itu untuk men-”distribusi”-kan rahmat/ keselamatan itu kepada individu-individu yang memerlukannya. Meskipun menampilkan sisi klerikalis Gereja, Pembaruan Katolik dan Konsili Trente melahirkan aneka bentuk spiritualitas umat seperti ziarah, persaudaraan saleh, devosi kepada Sakramen mahakudus. Kaum awam baik pria maupun wanita menguduskan diri melalui aksi kerasulan Katolik atau mengambil bagian dalam kehidupan paroki.20 Gagasan ini dimunculkan oleh Konsili Trente yang memandang bahwa kehidupan parokial merupakan tempat istimewa bagi orang Katolik dalam mempraktikkan iman mereka.21 Lalu, kesadaran ini melahirkan kesadaran baru mengenai kewajiban moral bagi orang Katolik untuk memperhatikan masalah-masalah sosial.22 Lebih lanjut, Konsili Trente juga memberi saran kepada uskup-uskup agar menggiatkan kehidupan devosional “dan hal-hal yang berhubungan dengan doa permohonan melalui pengantaraan para kudus serta pemanfaatan secara benar gambar-gambar kudus”.23 Pendek kata, masa ini melahirkan banyak mistikus Kristiani yang mengabdi Allah melalui kerasulan sosial.24 Situasi pemikiran yang melingkupi zaman ini berubah dari budaya kosmosentris menjadi budaya antroposentris yang ditandai oleh pikiran 18 Roger Haight,Christian Community in History 2, London: Continuum, 2005, 283. 19 George Kirchberger, “Jemaat dan Pastornya Dalam Terang Eklesiologi Konsili Vatikan II”, dalam George Kirchberger, ed., Gereja Dalam Perubahan, Seri Pastoralia, Ende: Nusa Indah, 1992, 62. 20 Congar,op.cit., 50. 21 Haight, op.cit., 272. 22 Ibid., 275. 23 Ibid.,272. 24 Congar,op.cit.,50.
216
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 11 No. 2, Oktober 2011
rasional yang merencanakan masa depan dan menempatkan manusia sebagai subjek bebas di pusat dunia yang mulai menjadi otonom.25Dalam suasana yang demikian, Ignasius dari Loyola melihat cita-cita kesucian dalam rangka karya keselamatan yang dikerjakan Tuhan bukan tanpa perantaraan manusia, termasuk kegiatan insani seperti merencanakan dan mengadakan eksperimen. Menurut spiritualitas ignasian, orang yang suci, yang bersatu dengan Allah, mengambil bagian dalam karya keselamatan Tuhan di dunia ini dan “menemukan Tuhan dalam segala hal”. Untuk itu memang diperlukanlah karunia “membeda-bedakan bermacam-macam roh” (1Kor 12:10), yakni pengaruh yang baik dan yang jahat di dalam hati kita. Maka, seluruh kegiatan kita harus dipertimbangkan dalam doa di hadapan Tuhan. Lalu, pemeriksaan batin memungkinkan kita untuk bersikap kontemplatif di tengah keaktifan rasuli. Sikap batin seperti ini membentuk gaya hidup Gereja abad ke-XVIXVIII ke kehidupan yang condong mementingkan bagian-bagian (dari latihan rohani) dan detail-detail (dari tindakan manusia) dan bukan keseluruhan sehingga harmoni hilang. 26 Hidup beragama semakin menjadi bentuk kehidupan tersendiri yang dibedakan dari hidup “biasa” dan dari masyarakat, dengan akibat bahwa masyarakat semakin kehilangan ciri-ciri religiusnya. 27Keadaan ini memunculkan banyak perkumpulan religius yang baru, seperti dari Philipus Neri dan Pierre de Berulle (Oratorium), Vincentius a Paulo (para Lazaris), Yohanes Baptista de la Salle (Bruder-bruder Sekolah Kristiani). 1.5 Awam Dan Gerakan-Gerakan Gerejawi Abad Ke-19 Pasca Konsili Vatikan I (1869-1870), dalam konteks bahwa Paus sudah kehilangan kuasa duniawinya dengan jatuhnya kota Roma pada tahun 1870 karena serbuan tentara Italia, ensiklik Sapientiae Christianae (1890) merumuskan Gereja sebagai “himpunan sempurna (=societas perfecta), yang lebih tinggi dari semua himpunan, yang diberi mandat oleh Pendirinya untuk berjuang bagi keselamatan umat manusia seperti sebuah angkatan bersenjata dalam sebuah pertempuran”.28 Meskipun berwarna hirarkis, rumusan ini memberi ruang kepada pemahaman bahwa “tiap-tiap anggota bertugas menurut fungsinya masing-masing”. Pengertian ini memberi ruang gerak bagi kaum awam. Frederic Ozanam memulai gerakan awam di bidang sosial (Perhimpunan Vincentius).
25 Nico Syukur Dister,Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2005, 265. 26 Nico Syukur Dister, op.cit., 265. 27 Ibid., 266. 28 Congar, op.cit.,306.
Antonius Denny Firmanto, Dinamika Hidup Gereja
217
Namun demikian, semua inisiatif baik dan berani itu tidak berhasil mengubah suasana zaman: cita-cita kesucian pada waktu itu tetap bersifat apologetis, asketis, dan adi duniawi. Cita-cita kesucian zaman itu kurang berhubungan dengan hidup kemasyarakatan dan perkembangan dunia. Akibat yang terjadi adalah Gereja kehilangan segala hubungan dengan kaum buruh dan para cendekiawan.29 1.6 Awam Dan Gerakan-Gerakan Gerejawi Abad Ke- 20 Pada masa ini, ada beberapa hal yang turut memberikan suasana baru semangat pembaruan di dalam Gereja.30 Gerakan pembaruan Liturgi dan semangat Ekaristi. Pada tahun 1900an, Pius X mendorong penerimaan komuni sesering mungkin dan pemberian komuni kepada anak. Berkat gerakan ini, banyak umat beriman perlahan-lahan ikut membina suatu corak hidup rohani yang berpusat pada Ekaristi. Memajukan peran awam dalam bidang karya kerasulan, khususnya dalam “Aksi Katolik” yang dianjurkan dan didukung oleh Pius XI pada tahun 1930-an. Meskipun masih tetap harus dalam kerangka struktur keuskupan atau dengan “restu” dari Hirarki, akar spiritual dari gerakan ini perlahan-lahan mengatasi sikap dan pandangan antiklerikalisme abad ke-19. Sejak akhir Perang Dunia I, bermunculan imam-imam pribumi nonEropa. Kondisi ini mendapat dukungan dari Pius XI. Pada tahun 1940-an, Gereja Katolik mulai terlibat dalam gerakan Ekumenisme. Gerakan Ekumenisme muncul sejak 1910. Dewan Ekumenis Katolik terbentuk tahun 1951 yang juga didukung oleh Yohanes XXIII. 2.
Kaum Awam dalam Eklesiologi Konsili Vatikan II Konsili Vatikan II yang dimulai oleh Paus Yohanes XXIII (11 Oktober 1962) dan yang dilanjutkan oleh Paus Paulus VI (ditutup pada tanggal 8 Desember 1965) mengubah wajah Gereja di zaman modern. Konsili ini merupakan konsili pastoral yang bertujuan untuk meningkatkan kehidupan Kristiani, menyesuaikan diri dalam menanggapi situasi aktual dunia, dan meneguhkan persatuan persaudaran dalam iman. Paus Yohanes XXIII sendiri menghendaki konsili ini “membarui Gereja Katolik
29 Dister,op.cit.,266. 30 A. Eddy Kristiyanto, “Overview Tentang Konsili Vatikan II. Sebuah Introduksi”, dalam A. Eddy Kristiyanto,ed., Konsili Vatikan II: Agenda yang Belum Selesai, Seri Teologi Driyarkara 01, Obor: Jakarta, 2006, 4-5.
218
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 11 No. 2, Oktober 2011
hingga menjadi up-to-date”.31 Lebih lanjut, menurut Paus Yohanes XXIII, Konsili ini “membicarakan langkah ke masa depan menuju pendalaman dan pembinaan kesadaran” yang setia pada ajaran otentik Gereja tetapi yang “harus dipelajari dan diuraikan melalui metode-metode penelitian dan bentuk-bentuk literer (sastra) pemikiran modern”.32 Konsili Vatikan II membangkitkan minat yang besar sekali dengan kadang-kadang membalikkan pendirian yang diajarkan oleh paus-paus sebelumnya.33 Perubahan pandangan ini terjadi pula dalam cara Gereja memandang dan memahami keberadaan kaum awam. Dekrit tentang Kerasulan Awam, Apostolicam Actuositatem, dideklarasikan oleh Konsili Vatikan II pada 18 November 1965. Untuk memahami dekrit ini, kita harus mengerti Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, Lumen Gentium, khususnya bab 4 (artikel 30-38) dan Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Dewasa Ini, Gaudium et Spes, khususnya bagian kedua, bab ke-4 dan ke-5. Keterkaitan ini menerangkan bahwa identitas, panggilan dan perutusan awam dalam Gereja dan dunia harus dilihat dalam konteks identitas, panggilan dan perutusan Gereja sendiri.34 Definisi AA atas jati diri kaum awam berupa ungkapan positif bukan sebagai “bukan imam” -yakni: “bagian dari Umat Allah yang mengambil bagian secara penuh dalam tugas perutusan Gereja untuk berpartisipasi aktif dalam karya penyelamatan Allah di dunia ini” (bdk. AA,1). Kaum awam ialah semua orang beriman Kristiani, kecuali mereka yang termasuk golongan imam atau status religius yang diakui dalam Gereja; karena sakramen Baptis, mereka: menjadi anggota Tubuh Kristus, terhimpun menjadi Umat Allah, dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi Kritus, dan sesuai dengan kemampuan mereka melaksanakan perutusan segenap Umat Kristiani dalam Gereja dan di dunia (bdk. LG,31). Ciri khas dan istimewa kaum awam yakni sifat keduniaannya, yaitu: menjalankan segala macam tugas dan pekerjaan duniawi, dan berada dibtengah kenyataan hidup berkeluarga dan sosial (bdk. LG,31).
31 Thomas P. Rausch, Katolisisme: Teologi Bagi Kaum Awam, Kanisius: Yogyakarta, 2001, 32. 32 Ibid., 34. 33 Ibid., 35. 34 Piet Go, Spiritualitas Awam, Malang: Sekretariat Kelompok Kerja Awamisasi, 1986, 1.
Antonius Denny Firmanto, Dinamika Hidup Gereja
219
Kaum awam wajib mencari kerajaan Allah dengan mengurusi halhal yang fana dan mengaturnya seturut kepada kehendak Allah. Mereka dipanggil oleh Allah untuk menunaikan tugas mereka sendiri dengan dijiwai semangat Injil seperti ragi yang menguduskan dunia dari dalam. Mereka memancarkan iman, harapan dan cintakasih terutama dengan kesaksian hidup mereka (bdk. LG, 31). Keterangan ini menunjukkan bahwa kesucian kaum awam terletak pada upaya kaum awam membudidayakan rahmat Sakramen Baptis. 3.
Pendekatan Dogmatis atas Jati Diri Kaum Awam
3.1 Perspektif Kristologis Kristuslah inti pengalaman manusia dan satu-satunya kunci untuk mengerti pengalaman itu. Dialah pusat sejarah umat manusia dan hanya dalam Dia sejarah ini dapat ditafsirkan dengan tepat. Dialah titik pusat semesta alam dan maknanya hanya ditemukan dalam Dia.35 3.2 Perspektif Eklesial Keberadaan Kaum Awam Dalam Hidup Gereja Konsili Vatikan II menampilkan Gereja sebagai misteri (LG, 1) dan sebagai Umat Allah (LG, 2). Dalam visi Gereja ini, kebersamaan (dinamika) dan kesamaan (martabat) semua anggota Umat Allah mendapatkan penekanan. Yang hendak digaris-bawahi adalah aspek kesatuan seluruh anggota Gereja atau aspek communio. Meskipun akhirnya ada uraian mengenai perbedaan, pembahasannya berpegang teguh pada konteks kesamaan dan kebersamaan yang lebih mendasar. Pembedaan ini akhirnya bersifat “aksentuasi” (=kekhasan) bukan bersifat eksklusif. Sakramen Baptis merupakan awal hidup baru seorang Kristiani.36 Melalui pembaptisan, seorang Kristiani dipersatukan dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitanNya “karena dalam Roh kita semua telah dibaptis menjadi satu tubuh” (I Kor 12:13). Dan melalui pemecahan Roti Ekaristi, seorang Kristiani secara nyata ikut serta dalam Tubuh Kristus; maka dia diangkat untuk bersatu dengan Dia dan bersatu dengan anggota Tubuh Kristus yang lain: “karena roti adalah satu, maka kita yang banyak ini merupakan satu tubuh; sebab kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu” (1 Kor 10:17). Melalui pembaptisan ada kebersamaan sejati dalam martabat/ identitas kita sebagai anak-anak Allah. Kesatuan tubuh tidak meng-
35 Pendapat D. Bonhoeffer dalam A. Heuken, Spiritualitas Kristiani, Jakarta: CLC, 2002, 198. 36 Gereja awali memahami pembaptisan sebagai: penyucian (Ef 5:26; Ibr 10:22; bdk. 1Kor 6:11; Tit 3:5), kelahiran kembali (Yoh 3:5; Tit 3:5; bdk 1Ptr 1:3; 2:2), dan penerangan /pencerahan (Ibr 6:4; 10:32; bdk. Ef 5:14).
220
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 11 No. 2, Oktober 2011
hapuskan perbedaan antara anggota-anggota. Dalam pembentukan Tubuh Kristus ada perbedaan fungsi dan pelayanan. Satu Roh yang membagi-bagikan anugerahnya kepada setiap anggota Tubuh Kristus sesuai dengan kebutuhan pelayanan demi kepentingan Jemaat. Keragaman pelayanan tidak menghapuskan kesatuan tubuh karena kita semua dibaptis dalam Kristus. 3.3 Perspektif Sekular Keberadaan Kaum Awam Unsur positif yang kedua adalah ciri khas keduniaan. Gereja yang berada di dunia adalah Gereja yang mendunia (GS). Aspek mendunia ini terlihat lebih jelas dalam kehadiran kaum awam yang memang berkecimpung dalam hal-hal keduniawian. AA art. 4 menyatakan: kaum awam diharapkan “dalam melaksanakan tugas-tugas keduniaan sebaik-baiknya dalam keadaan biasa kehidupan tidak memisahkan persatuan dengan Kristus dari hidup ini, melainkan justru makin tumbuh dalam persatuan ini dengan melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan kehendak Allah”. GS art. 43 mengecam dualisme atau dikotomi kehidupan keduniaan dan kebakaan: “Sesatlah mereka yang dalam kesadaran bahwa mereka tak mempunyai pemukiman tetap di sini, melainkan mencari kediaman masa mendatang, karenanya berpendapat bahwa mereka dapat melalaikan tugas-tugas keduniaannya, dan dengan demikian menyangkal bahwa mereka sesuai dengan panggilan masing-masing justru oleh iman sendiri makin diwajibkan memenuhi kewajibankewajiban itu.” Kemudian, panggilan khas kaum awam adalah “bertugas mencari Kerajaan Allah dengan mengusahakan hal-hal duniawi dan mengaturnya sesuai kehendak Allah.” Lebih lanjut, mereka hidup dalam situasi hidup sehari-hari yang biasa dimana mereka merajut seluruh keberadaan mereka, baik sebagai seorang anggota keluarga, anggota masyarakat, anggota profesi atau pekerjaan tertentu. Kekhasan kedudukan kaum awam dalam Gereja nampak dalam keterlibatan mereka secara langsung dalam dinamika kehidupan masyarakat di mana mereka tinggal. Kaum awam menjadi tanda kehadiran Gereja yang nyata dalam masyarakat. Di dalam situasi hidup harian itu, mereka dipanggil Allah, agar – sambil menjalankan tugas khasnya dan dibimbing oleh semangat Injil. “Bagi banyak orang zaman kita, jalan menuju kesucian mau-tak-mau harus melalui kegiatan-kegiatan dalam dunia kita ini”.37 37 Dag Hammarskjöld (†1961), sekretaris jendral PBB, yang meninggal akibat kecelakaan pesawat terbang di Zambia (Afrika) memperlihatkan cara bagaimana orang dapat membina hidup rohani dan doa di antara kesibukannya. Hari-harinya dijejali dengan masalah dan
Antonius Denny Firmanto, Dinamika Hidup Gereja
221
3.4 Perspektif Sakramental Keberadaan Kaum Awam Gereja bernilai sakramental. Artinya, Gereja merupakan tanda dan sarana keselamatan. Dalam konteks ini, Gereja merupakan titik temu antara Allah dan manusia. Kaum awam bertemu Allah dalam kesunyian dan kontemplasi, bukan sebagai petapa, melainkan sebagi orang yang hidup dalam dunia ramai. Dan kita mengalami dunia ini dalam diri kita. Maka, segala masalah dan apapun yang mungkin terjadi di dunia ini terdapat juga dalam batin kita. Kenyataan ini melahirkan kesadaran bahwa sebagai anggota Gereja yang adalah Tubuh Kristus kehadiran kaum awam juga sebentuk tanda dan sarana keselamatan di medan karya dimana mereka menjadi ujung pertemuan antar manusia. 3.5 Perspektif Eskatologis Hidup Sebagai Awam Kekudusan kaum awam terletak pada kenyataan bahwa Allah yang mahakudus memanggil manusia untuk menjadi kudus, yakni hidup bersatu dengan Allah. Dengan sendirinya sumber dan pusat segalanya berkisar kepada Allah Tritunggal sendiri yang telah menganugerahkan Diri-Nya sendiri dan hidup-Nya kepada manusia. Keyakinan ini membuat kita berani untuk terus mempersembahkan hidup bagi pelayanan sesama dan dengan demikian kita berbakti kepada Allah. 4.
Kaum Awam dalam Dinamika Hidup Jemaat
4.1 CommunioSebagai Dasar Hidup Jemaat 4.1.1 Communio: persekutuan dengan Allah Sinode luar biasa para Uskup tahun 1985 menyatakan: “Pada dasarnya, communio berarti persekutuan dengan Allah dalam Roh Kudus. Persekutuan ini terjadi dalam Sabda Allah dan sakramen-sakramen. Baptis adalah pintu masuk ke dalam dan dasar bagi persekutuan gerejani; Ekaristi adalah sumber dan puncak seluruh hidup Kristiani (bdk. LG 11). Persekutuan dalam Tubuh Kristus Ekaristi memperlihatkan dan menyebabkan atau membangun communio semua orang beriman dalam Tubuh Kristus, yaitu Gereja (bdk. 1 Kor 10:16)” (Sinode para uskup 1985, II.c.1). 4.1.2 Communio ini terlaksana di dalam sejarah manusia dalam diri Yesus Kristus Yesus Kristus adalah pengantara. Sebagai Putra Allah, Ia menerima kodrat manusia supaya kita, manusia, bisa mengambil bagian di dalam intrik politik dunia, namun ia tetap menemukan Tuhannya. Dalam penerbangan terakhirnya, ia menyimpan dalam sakunya buku Imitatio Christi karangan Thomas à Kempis. Heuken,op.cit., 199-200.
222
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 11 No. 2, Oktober 2011
kodrat ilahi. “Maka melalui jalan inkarnasi, Putra Allah berusaha menjadikan manusia mengambil bagian dalam kodrat ilahi” (Ad Gentes 3). “Karena di dalam penjelmaan-Nya menjadi daging, Putra Allah telah mempersatukan diri-Nya atas cara tertentu dengan setiap orang” (Gaudium et Spes 22). Communio antara Allah dan manusia yang diciptakan Yesus Kristus dalam hidup-Nya yang unik dan historis konkret, dilanjutkan oleh Roh Kudus yang berdiam di dalam hati orang yang beriman. “Sesuai tugas, yang diberikan Bapa kepada Putra untuk ditunaikan di dunia (bdk. Yoh 17:4), diutuslah Roh Kudus pada hari Pentakosta, agar Ia senantiasa menyucikan Gereja, dan dengan demikian para beriman menemukan jalan kepada Bapa melalui Kristus dalam satu Roh (bdk. Ef 2: 18)” (LG,4). 4.1.3 Communio: Mengambil bagian dalam hidup ilahi melalui Sabda dan Sakramen Communio yang terdapat di dalam Gereja adalah rahmat. Communio itu diciptakan oleh pengambilbagian dalam kebenaran, hidup, dan cinta yang diberikan kepada kita oleh Allah melalui Yesus Kristus dalam Roh Kudus dengan perantaraan Sabda dan Sakramen. LG,7 menyatakan: “Dalam memecahkan roti Ekaristi, kita benarbenar mengambil bagian dari Tubuh Tuhan dan diangkat ke dalam persatuan dengan Dia dan antara kita”. Konsili Vatikan II berbicara tentang roti kehidupan yang disajikan kepada umat beriman dari dua meja: “baik dari meja Sabda maupun dari meja Tubuh Kristus” (Dei Verbum 21; Sacrosanctum Concilium 51). Sabda Allah merupakan daya yang mempersatukan kita dengan Allah dan di antara kita satu sama lain. Karena di dalam Kitab Suci: “Bapa, yang ada di surga dengan penuh kasih sayang menjumpai putraputri-Nya dan berbicara dengan mereka” (Dei Verbum 21). 4.2 Gagasan teologis “Umat Allah” (Laos Theou) Hidup Kristiani memuat gagasan “hidup baru”, yakni suatu persekutuan yang mengikuti panggilan Allah, menghadirkan Roh Kudus, dan menghayati semangat dan cara kerja Yesus Kristus di tengah dunia. Konsili Vatikan II dalam LG,9 menyatakan gagasan itu dengan ungkapan: “Memang dalam semua bangsa, tiap orang yang takut akan Allah dan melaksanakan keadilan, berkenan kepada-Nya (bdk. Kis 10:35). Namun Allah berkenan menguduskan dan menyelamatkan manusia, bukan orang demi orang, tanpa hubungan apapun satu sama lain, melainkan Ia menghimpun mereka, yang mengakui Dia dalam kebenaran dan mengabdi kepada-Nya dengan suci, menjadi umat”.
Antonius Denny Firmanto, Dinamika Hidup Gereja
223
Maka dalam panggilan menjadi murid Kristus, menjadi manusia baru dalam daya Roh Kudus, kita sekaligus dan dengan sendirinya dipanggil menjadi anggota umat Allah. Tidak ada panggilan yang tidak sekaligus memanggil ke dalam communio orang beriman. Dan semua yang dipanggil ke dalam communio itu dipanggil kepada actuosa participatio, peran serta yang sadar dan aktif (SC,14) yang tidak hanya berlaku untuk liturgi melainkan untuk seluruh hidup dan tugas Gereja. Seluruh Jemaat sebagai communio di dalamnya setiap anggota berperan serta, dipanggil, dan ditugaskan untuk memperagakan Kristus sebagai imam, nabi, dan raja di tengah-tengah dunia (LG,10-12;34-36). Atas dasar kesadaran ini, iman Kristiani tidak kita hayati secara terisolir melainkan secara bersama-sama. Karena itu, sesudah Konsili Vatikan II dimana-mana diusahakan pembentukan umat basis, yaitu kelompok orang Kristen yang tidak terlalu besar jumlahnya, sehingga mereka sungguhsungguh bisa menghayati iman itu bersama-sama sebagai communio. 4.3 Kaum Awam dan Pastornya 4.3.1 Dua model relasi dari perspektif keanggotaan dalam kehidupan masyarakat a. Model Majelis Gagasan pokok model majelis dalam gereja-gereja Protestan adalah bahwa Jemaatlah yang mempunyai kuasa tertinggi. Jemaat yang berhimpun dan diwakili oleh para pemuka Jemaat merupakan bentuk sepenuh-penuhnya dari Gereja. Karena itu, tugas seorang pemimpin hanyalah salah satu bentuk tugas pelayanan bagj Jemaat. Jika majelis tidak berkenan dengan keberadaan salah seorang pemimpin, majelis dapat menggantinya. b. Model demokrasi Gagasan model demokrasi adalah bahwa semua anggota harus mempunyai kesamaan dan kewajiban. Dalam memperbincangkan suatu pokok masalah, semua anggota harus mendapat kesempatan bersuara yang sama dan suara mereka setara dengan suara semua anggota kelompok itu. Jika terdapat kebuntuan untuk pemecahan suatu masalah, rapat dapat memungut suara. Masalah dipecahkan dengan mengindahkan suara yang paling banyak. 4.3.2 Keberadaan Hirarki dalam Gereja Kata “hirarki” (hieron = suci; archon = pemimpin) dalam pemahaman Gereja adalah: bukan suatu kelas sekelompok orang yang memiliki keistimewaan tertentu, namun mereka adalah bagian dari umat Allah yang memiliki “potestas” (= kekuasaan) merayakan perbuatan sakramental karena kuasa tahbisan. Dari perspektif ini, kuasa ministeria (para uskup, 224
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 11 No. 2, Oktober 2011
para imam dan para diakon) tidak bisa dianggap oleh umat beriman satu beban, melainkan sebagai suatu pelayanan. Hal itu dinyatakan oleh LG 18: “Dalam rangka memelihara dan selalu menambah umat Allah, Kristus Tuhan telah mengadakan berbagai jabatan di dalam Gereja, yang diarahkan kepada kepentingan seluruh Tubuh. Karena pejabat, yang memiliki kuasa suci, melayani saudara-saudarinya, supaya semua anggota umat Allah, yang karenanya benar-benar menikmati martabat Kristen, mengejar dengan bebas dan teratur tujuan yang sama, lalu mencapai keselamatan.”
4.3.3 Kepemimpinan partisipatif sebagai model kepemimpinan gerejawi a. Wahyu Allah bersifat partisipatif: “Allah yang memberikan hidup dan nafas serta segala sesuatu pada semua orang” (Kis 17:25). Allah itu tidak tinggal tersembunyi tetapi perlahan menyatakan diri kepada manusia. Allah menyatakan dirinya bukan hanya untuk menyatakan dirinya saja tetapi juga mengungkapkan kepada manusia rencana keselamatan-Nya. Wahyu Allah bukan informasi melainkan komunikasi partisipatif. Partisipasi manusia sebagai tanggapan atas komunikasi Allah itu diwujudkan dalam simbol-simbol. Hanya oleh simbol-simbol, seorang Kristiani dapat memperoleh pengetahuan intelektual tentang yang ilahi. b. Imamat Ministerial menurut Konsili Vatikan II Konsili Vatikan II mengoreksi sakramentalisme dan yuridisme yang menenggelamkan gagasan alkitabiah bahwa seluruh umat Allah merupakan “suatu imamat rajawi, suatu bangsa yang kudus” yang memaklumkan perbuatan-perbuatan besar Penebus (1Ptr 2:9). Karena “wajah” Gereja bukan hanya “wajah kaum tertahbis saja melainkan keseluruhan Umat Allah, Konsili Vatikan II menegaskan bahwa “Gereja dibentuk dari suatu realitas yang kompleks” (LG,8). Lebih lanjut, imamat umum para beriman dan imamat jabatan walaupun berbeda dalam kodrat mengambil bagian dalam satu imamat Kristus (bdk. LG 10). Konsili Vatikan II menempatkan kaum tertahbis sebagai mereka yang”mengumpulkan keluarga Allah sebagai persaudaraan yang dipenuhi semangat kesatuan dan mengantarnya kepada Allah Bapa dengan perantaraan Kristus, di dalam Roh Kudus”(Presbyterorum Ordinis 6). Imam bukanlah individu yang mengisolasi diri dengan meninggalkan dunia demi kesucian luar-duniawi. Seorang imam adalah seorang pastor yang erat bekerja sama dengan kaum awam, seorang anggota dari kolegium imam, dan seorang rekan kerja bagi uskup untuk membangun kehidupan komunitas Gereja.38 38 Avery Dulles, “Model-model Imamat Pelayanan”, dalam G. Kirchberger, ed., Gereja Dalam Perubahan, Seri Pastoralia, Ende: Nusa Indah, 1992, 46.
Antonius Denny Firmanto, Dinamika Hidup Gereja
225
c.
Imam di tengah Jemaatnya Gereja sebagai suatu realita sosial dan publik dalam dunia menghadirkan Kristus lewat tindakan-tindakan resmi Gereja.39 Kehadiran itu dilembagakan oleh Kristus melalui imam.Uskup menahbiskan seseorang menjadi imam agar yang bersangkutan dapat berpartisipasi dalam karya kerasulannya. Karena penumpangan tangan dan doa tahbisan dari uskup, seorang imam berbicara dan bertindak atas nama Kristus (PO, 2) di tengah Jemaatnya. Di dalam segala tindakan dan kegiatan sebagai pemimpin rohani umatnya, seorang imam merupakan sarana dan tanda pribadi yang melaluinya menjadi nyata konkret secara indrawi Yesus yang hadir di tengah umat-Nya untuk memelihara, menguduskan, dan menyelamatkan.40 “Gereja Kristus sungguh hadir dalam semua jemaat beriman setempat yang sah, yang mematuhi para gembala mereka, dan dalam Perjanjian Baru disebut Gereja (bdk. Kis 8:1; 14:22-23; 20:17)” (LG, 26).
Hirarki merupakan tanda hidup kehadiran Kristus di tengah umat. Jemaat yang berkumpul tanpa imam bukanlah Gereja lagi.41 Sebaliknya, imam yang lepas dari Jemaat bukanlah alter Christus lagi. Dalam konteks ini, keberadaan imam tidak mengaburkan peranan Kristus sebagai satusatunya pengantara antara Allah dan manusia. Imam bukan menempati tempat Kristus, melainkan memperagakan secara sakramental peranan Yesus sebagai pengantara. Dalam segala perbuatan, tindakan, dan usaha imam demi keselamatan manusia, tindakan dan usaha Kristus sebagai penyelamat manusia menjadi nyata secara indrawi. Kesesuaian dengan Kristus ini tidak terjadi secara otomatis. Kecuali menyangkut pelayanan sakramental, tidak dengan sendirinya seorang imam bertindak secara otentik atas nama Kristus karena ia harus senantiasa berdoa untuk menghidupkan dan memelihara panggilannya serta “mengobarkan karunia Allah” yang diperolehnya melalui karunia penumpangan tangan (bdk. 2Tim 1:6). 4.4. Paroki Sebagai Tempat Kaum Awam Berakar 4.4.1 Kaum Awam dan Sesama Anggota Jemaat Melalui pembaptisan, kita dipersatukan dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitanNya “karena dalam Roh kita semua telah dibaptis menjadi satu tubuh” (1Kor 12:13). Dan melalui pemecahan Roti Ekaristi, kita secara nyata ikut serta dalam Tubuh Kristus; maka kita
39 Ibid.,53. 40 Kirchberger,op.cit.,72. 41 Ibid., 83.
226
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 11 No. 2, Oktober 2011
diangkat untuk bersatu dengan Dia dan bersatu antara kita “karena roti adalah satu, maka kita yang banyak ini merupakan satu tubuh; sebab kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu” (1Kor10:17). Demikian-lah kita semua dijadikan anggota Tubuh Kristus (bdk. LG,7). Melalui pembaptisan ada kebersamaan sejati dalam martabat/ identitas kita sebagai anak-anak Allah dan mengambil bagian dalam misi Kristus sebagai raja, nabi dan imam. Kesatuan tubuh tidak menghapuskan perbedaan antara anggota-anggota. Tidak ada pemisahan sosial/ kelas sosial dalam Tubuh Kristus ini. Satu Roh yang membagi-bagikan anugerahnya yang bermacam ragam, sesuai dengan kebutuhan pelayanan demi kepentingan Gereja. Keaneka-ragaman pelayanan tidak menghapuskan kesatuan tubuh. Keaneka-ragaman merupakan gambaran dari Jemaat yang saling terbuka terhadap keperluan tiap-tiap anggota Jemaatnya. Keaneka-ragaman ini merupakan bentuk cinta dan keinginan ikut terlibat dalam keprihatinan Jemaat yang sedang berproses menjadi satu Tubuh Kristus. Kondisi ini juga merupakan undangan untuk masuk ke dalam keluarga Umat Allah. Kerelaan ini mengatasi segala pemisahan di antara manusia karena kita semua dibaptis dalam Kristus. 4.4.2 Tanggung Jawab Bersama Segenap Umat Paroki Tugas Gereja untuk melaksanakan perutusan Kristus diserahkan untuk diemban seluruh Umat Allahdi dalam Gereja Partikular, yakni keuskupan, yang tersusun dari paroki-paroki. Paroki adalah komunitas umat beriman yang dibentuk secara tetap dalam batas-batas tertentu di wilayah keuskupan, yang reksa pastoralnya dipercayakan kepada Pastor paroki, sebagai gembalanya sendiri, di bawah otoritas uskup diosesan (bdk. KHK kan. 515). Paroki menjadi semacam “sel” keuskupan yang harus menunjukkan teladan kerasulan komunitas, karena paroki mengumpulkan dalam kesatuan semua umat dari aneka kategori umur, profesi, kondisi sosial, golongan, suku, dan budaya, serta memasukkan dimensi kebhinekaan itu ke dalam universalitas Gereja. Sebagai Jemaat yang reksa pastoralnya dipercayakan kepada Pastor paroki dalam kesatuan dan di bawah otoritas Uskup diosesan, seluruh kehidupan paroki dipahami dan dihayati sebagai persekutuan organik dan kolaborasi dinamis dalam semangat persaudaraan antara Pastor paroki dan umat, dengan menghormati hak, kewajiban, dan fungsi masing-masing, serta dengan mengakui secara timbal balik kompetensi dan tanggung jawab khasnya (bdk. SC,42). 4.5 Kerasulan Awam Komitmen awam dalam tata keduniaan bukan hanya karena alasan Antonius Denny Firmanto, Dinamika Hidup Gereja
227
strategi atau taktik atau perjuangan untuk golongan tertentu; melainkan sungguh-sungguh sebagai ungkapan pandangan hidup yang lebih mendalam, yakni kesadaran dan paham mengenai makna iman dan hidup Kristiani di dunia ini.Kerasulan awam merupakan sebentuk ungkapan untuk melangsungkan kehidupan setingkat lebih mendalam daripada yang tampak di permukaan. “Adapun kerasulan awam merupakan partisipasi dalam perutusanpenyelamatan Gereja; dan semua ditugaskan oleh Tuhan sendiri lewat baptis dan krisma untuk kerasulan itu... Tetapi kaum awam terus secara khusus dipanggil untuk menghadirkan dan mengefektifkan Gereja di tempat-tempat dan keadaan dimana Gereja tak dapat menjadi garam dunia selain melalui mereka” (LG, 33).
Keterlibatan kaum awam dalam urusan sekular tidak dapat dilepaskan dari rahmat panggilan yang lahir dari Sakramen Baptis dan perutusan dari Sakramen Krisma. Berkat Roh Kudus, kita dipanggil, diutus, dan dikuatkan untuk ikutserta mengembangkan, memanusiakan, atau menguduskan dunia kita. “Gereja didirikan agar dengan menyebarkan Kerajaan Kristus di seluruh dunia demi kemuliaan Allah Bapa, semua orang mengambil bagian dalam penebusan dan keselamatan dan lewat mereka dunia sungguh-sungguh diarahkan kepada Kristus. Setiap kegiatan Tubuh Mistik yang terarah pada tujuan ini disebut kerasulan dan Gereja mewujudkannya dengan pelbagai cara lewat para warganya” (AA, 2).
Memajukan yang baik manapun di dunia ini membawa kita lebih dekat pada Yang Mahabaik. 5.
Penutup Pemahaman kaum awam mengenai keberadaan dirinya dalam kehidupan Gereja mendorong kita untuk mengakui bahwa kehadiran kaum awam dalam hal ikhwal keduniaan tidak cukup berupa fakta kehadiran saja, melainkan sebagai ragi, garam, dan cahaya dunia.”Karena penciptaan dan lebih karena inkarnasi tiadalah yang profan semata-mata”. 42
*)
Antonius Denny Firmanto Licensiatus teologi dari Universitas Urbaniana, Roma; sedang menyelesaikan program doktor di universitas yang sama.
42 Pendapat Pierre Teilhard de Chardin [† 1955] dalam Heuken,op.cit., 206.
228
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 11 No. 2, Oktober 2011
BIBLIOGRAFI Bourgeois, Daniel. “Laico / Laicato”.Dalam Jean-Yves Lacoste,ed., Dizionario Critico di Teologia,ed. Italia oleh Piero Coda, Roma: Borla, 2005,728-732. Bouyer, Louis.The Church of God. Chicago: Franciscan Herald Press, 1982. Congar, Yves M, Lay People in the Church.Terj. Donald Attwater, London: Geoffrey Chapman, 1965. Dister, Nico Syukur.Teologi Sistematika 2. Yogyakarta: Kanisius, 2005. Dulles, Avery. “Model-model Imamat Pelayanan”.Dalam G. Kirchberger, ed., Gereja Dalam Perubahan, Seri Pastoralia, Ende: Nusa Indah, 1992, 40-56. Go, Piet.Bahan Pengembangan Kerasulan Awam. Malang: Dioma, 1992. Go, Piet.Spiritualitas Awam. Malang: Sekretariat Kelompok Kerja Awamisasi, 1986. Haight, Roger.Christian Community in History 2. London: Continuum, 2005. Heuken, A.Spiritualitas Kristiani. Jakarta: CLC, 2002. Hypher, Paul. “The Parish: Cell and Sacrament of Just Living”.Priests & People. Vol. 18, No. 11, 2004, 410-416. Keightley, Georgia M. “Laity”.Dalam Joseph A. Komonchak,ed.The New Dictionary of Theology.Bangalore: TPI, 2003, 558-564. Keuskupan Malang.Anggaran Dasar Dewan Pastoral Paroki Keuskupan Malang. Malang: Sekretariat Keuskupan Malang, 2007. Kirchberger, G. “Jemaat dan Pastornya Dalam Terang Eklesiologi Konsili Vatikan II”. Dalam G. Kirchberger, ed.Gereja Dalam Perubahan. Seri Pastoralia. Ende: Nusa Indah, 1992, 57-91. Kristiyanto, A. Eddy. “Overview Tentang Konsili Vatikan II. Sebuah Introduksi”. A. Eddy Kristiyanto,ed.Konsili Vatikan II: Agenda yang Belum Selesai. Seri Teologi Driyarkara 01. Jakarta:Obor, 2006, 1-14. Magnis-Suseno, Franz,.Menjadi Saksi Kristus Di Tengah Masyarakat Majemuk. Jakarta: Obor, 2004. McGrath, Alister E.Reformation Thought. London: Blackwell Publishing, 1999. O’Collins, Gerald. “The Holy Ghost is in the Fields”.The Pastoral Review. Vol. 1, Issue 3, 2005, 3-5. Paver, Kristian.”Mandated Lay Ministry”.The Pastoral Review. Vol. 1, Issue 2, 2005, 3-7. Rausch, Thomas P. Katolisisme: Teologi Bagi Kaum Awam. Kanisius: Yogyakarta, 2001. Antonius Denny Firmanto, Dinamika Hidup Gereja
229
Reid, Alcuin.The Organic Development of the Liturgy. Ignatius: San Francisco, 2005. Schatkin, Margaret A. “Laity”. Dalam Everett Ferguson, ed. Encyclopedia of Early Christianity. Edisi kedua, New York: Garland Publishing, 1998, 661-662.
230
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 11 No. 2, Oktober 2011