Bau Nyale : Sacrifice, Culture, Pancasila Disusun oleh : (Jayantika Soviani, Said Nabil Khalifa, Qarel Muhammad Hawari, Arisko Fathurrahman) A. Ringkasan Tradisi Bau Nyale merupakan tradisi tahunan masyarakat Sasak di Lombok Tengah yang dirayakan setiap tahun pada tanggal 20 bulan ke-10 menurut penanggalan Sasak. Tradisi ini berasal dari sebuah legenda yang hidup ditengah masyarakat tentang pengorbanan seorang putri dalam menjaga kedamaian dan persatuan negrinya. Pemaknaan atas pengorbanan tersebut merupakan suatu ajaran yang diwariskan secara turun-temurun yang sarat akan makna filosofis sebagai ajaran bagi kehidupan masyarakat setempat. Ajaran tersebut juga dapat menjadi acuan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme masyarakat Sasak dengan cara mengaitkan nilai yang terdapat pada tradisi ini dengan nilai-nilai Pancasila. Pemaknaan tradisi Bau Nyale dikaji dengan menemukan asal muasal tradisi tersebut dilaksanakan. Penelusuran tradisi dilaksanakan dengan konsep analisa kearah historis dan kultural. Dengan basis historical culture akan mengarahkan pada pemahaman, perkembangan serta perjalanan eksistensi suatu tradisi dari awal perkembangan hingga zaman kontemporer atau kekinian. Dalam pemaknaan historis dan kultural, penelitian ini diupayakan mampu menggali nilai-nilai (values) yang tersirat dalam tradisi Bau Nyale secara aksiologi (klasifikasi nilai). Suatu tradisi yang dijadikan panutan dan way of life bagi kehidupan masyarakat Sasak di Lombok, sehingga melahirkan nilai-nilai yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Analisa historical culture dan eksplorasi relevansi nilai moral dan sosial terhadap nilai-nilai Pancasila pada tradisi Bau Nyale dilakukan dengan pendekatan fenomenologi. Hasil yang ingin didapatkan adalah transfer knowledge dari keterlibatan langsung pelaksanaan tradisi tersebut serta menggali lebih lanjut pengaruhnya dalam kehidupan, terutama dalam pengimplementasian nilai Pancasila.
B. Latar Belakang Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagai ideologi dan dasar negara, Pancasila mempunyai fungsi acuan bersama, yakni memecahkan pertentangan dan perbedaan yang ada untuk
menjaga, memelihara, dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila dilahirkan dari gagasan kepribadian bangsa Indonesia. Nilai-nilai Pancasila dijadikan pedoman oleh penyelenggara negara dalam bertingkah laku dan pengambilan keputusan dengan tetap memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur serta memegang teguh cita-cita moral bangsa. Saat ini nilai–nilai Pancasila mulai tergerus oleh dampak buruk globalisasi yang membawa karakter masyarakat menjadi individualistik dan liberal. Realitas „keterpinggiran‟ nilai–nilai Pancasila dianggap dalam ambang batas mengkhawatirkan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai permasalahan bangsa yang tidak kunjung usai, seperti konflik antarwarga, korupsi, dan ketidakharmonisan pemerintah dengan masyarakat. Fenomena lunturnya nilai–nilai Pancasila dari bangsa Indonesia menjadi sangat layak untuk dikaji dalam upaya pengembalian kedudukan Pancasila sebagai dasar ideologi negara. Upaya yang ditawarkan dalam penelitian ini adalah kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi daerah, yaitu tradisi Bau Nyale di Lombok Tengah. Kearifan lokal adalah warisan masa lalu yang berasal dari leluhur, yang tidak hanya terdapat dalam sastra tradisional (sastra lisan atau sastra tulis) sebagai refleksi masyarakat penuturnya, namun terdapat juga dalam berbagai bidang kehidupan nyata, salah satunya adalah pandangan hidup (Pancasila). Bau Nyale berasal dari bahasa Sasak, bau artinya menangkap dan nyale artinya cacing warna. Jadi tradisi Bau Nyale adalah tradisi menangkap cacing warna. Tradisi ini sangat melegenda dan diyakini memiliki nilai sakral yang tinggi bagi masyarakat Lombok. Keberadaan tradisi Bau Nyale ini memiliki hubungan langsung dengan cerita rakyat suku Sasak pada abad ke-16 Masehi. Penelitian ini memfokuskan pada kajian historisitas kebudayaan terhadap tradisi Bau Nyale. Dalam menilik penelitian ini, didapatkan aspek penting bahwa nilai-nilai penyusun Pancasila yang menjadi falsafah bangsa berasal dari nilai-nilai luhur masyarakat Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan eratnya hubungan sila ke-3 dan ke-5 dari Pancasila terhadap tradisi ini. Melalui beberapa konfik kesukuan yang terjadi di Indonesia, tradisi Bau Nyale diharapkan mampu menjadi parameter bangsa Indonesia yang mulai meninggalkan sikap tenggang rasa, peduli sesama dan musyawarah untuk mufakat. Oleh karena itu, penelitian ini diharapakan mampu menjadi wadah baru dalam memahami Pancasila dan nilai historis kedaerahan di Indonesia. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan mampu memberikan inspirasi tentang cara bermasyarakat ditengah kehidupan modern dengan tetap menjaga identitas Indonesia sebagai negara dengan ribuan budaya dalam koridor nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui makna pengorbanan Putri Mandalika pada tradisi Bau Nyale ditinjau secara aksiologi. 2. Mengetahui masyarakat Lombok Tengah mengimplementasikan makna tradisi Bau Nyale. 3. Mengetahui upaya menumbuhkan kembali nilai Pancasila pada masyarakat Indonesia.
D. Metode penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam rentang waktu selama 5 bulan dan dilakukan dengan penggalian informasi di lapangan. Wilayah penelitian ini adalah di daerah Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. 2. Pendekatan Perspektif Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian ilmiah dengan menggunakan metode kualitatif, yang ditinjau melalui konsep historical culture serta menggali nilai-nilai aksiologi yang terkandung dalam tradisi Bau Nyale, baik sebagai tradisi, festival, dan bidang pendidikan serta pembelajaran kehidupan. Nilai yang didapatkan pada tradisi ini akan dikaitkan dengan nilai-nilai Pancasila. 3. Teknik Pengumpulan Data Untuk menemukan informasi tentang makna pengorbanan Baiq Mandalika pada tradisi Bau Nyale dengan menggunakan analisa historical culture dalam perspektif aksiologi dalam upaya penanaman nilai Pancasila pada kehidupan masyarakat Sasak, peneliti menggunakan teknik wawancara secara mendalam. Teknik ini digunakan karena menuntut peneliti untuk mampu bertanya sebanyak-banyaknya dengan perolehan jenis data tertentu sehingga diperoleh data atau informasi yang rinci. Hubungan antara peneliti dengan para informan harus dibuat akrab, sehingga subjek penelitian bersikap terbuka dalam menjawab setiap pernyataan (Hamidi, 2008). Teknik lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi terhadap perilaku atau tindakan baik dalam bentuk verbal, non verbal dan aktivitas individual mereka dalam masyarakat/kelompok (Hamidi, 2008). Dan teknik ketiga adalah menggunakan teknik informasi dokumentasi, untuk mengumpulkan informasi tentang pelaksanaan upacara Bau Nyale. Sumber informasi dokumentasi adalah
dokumen lembaga di daerah yang berbentuk sumber pustaka tentang tradisi Bau Nyale dan hubungan antara aksiologi tradisi ini dengan nilai Pancasila. 4. Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode perbandingan tetap yaitu suatu analisa data yang secara tetap membandingkan satu datum dengan datum yang lain, dan kemudian secara tetap membandingkan kategori dengan kategori lainnya (Moeleong, 2010 :288). Proses analisa mencakup: a. Reduksi data, yaitu melakukan identifikasi data yang kemudian memberikan kode pada setiap satuan agar dapat ditelusuri data satuannya berasal dari sumber mana. b. Ketegorisasi, yaitu memilah–milah setiap satuan ke dalam bagian yang memiliki kesamaan, lalu setiap kategori diberi label. c. Sintesiasi, yaitu mencari kaitan antara satu kategori dengan kategori lainnya d. Menyusun hipotesis kerja untuk menemukan teori substantif.
E. Hasil 1. Sejarah dan Perkembangan Tradisi Bau Nyale Tradisi Bau Nyale adalah tradisi menangkap cacing (nyale) yang dilakukan oleh warga Lombok. Tradisi ini dilakukan setahun sekali, yakni setiap tanggal 19/20 bulan ke-9 atau ke-10 menurut penanggalan Sasak. Tradisi ini bermula dari kepercayaan warga Lombok yang mempercayai adanya kerajaan Sekar Kuning yang dipimpin oleh raja Beberu. Raja ini memiliki seorang putri yang cantik parasnya dan baik budinya bernama Mandalika. Banyak pangeran dari penjuru negeri ingin meminangnya. Hal ini menjadikan Mandalika bimbang karena ia memikirkan akibat yang ditimbulkan jika ia memilih salah satu diantara mereka. Singkat cerita, ia memutuskan untuk mengumpulkan seluruh warga Lombok di sebuah bukit Batu Angkus. Disana ia akan mengumumkan keputusan yang telah ia ambil. Pada hari yang telah ditetapkan, ia berseru dengan suara yang lantang di atas bukit tersebut. “Wahai para pangeran dan rakyatku, aku tidak akan memilih salah satu dari para pangeran yang melamarku. Demi kebaikan bersama, demi kebaikan negeri ini, aku tidak memilih seorangpun dari kalian. Aku akan menjadi milik semua orang, jika kalian mencintaiku, temui aku ditempat ini tanggal 20 bulan 10 setiap purnama
tiba” (Taufan, 2012:63). Tak lama setelah itu, Mandalika menceburkan dirinya ke laut. Seluruh rakyat yang hadir terkejut dan segera terjun ke laut untuk menyelamatkan sang putri, namun mereka tidak menemukannya, justru keluar cacing berwarna-warni yang cukup banyak. Hingga saat ini mereka mempercayai bahwa cacing-cacing tersebut merupakan jelmaan dari putri Mandalika. Seiring perkembangan zaman, tradisi menangkap cacing ini dijadikan festival kebudayaan tahunan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lombok Tengah. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan antusiasme dari masyarakat lokal serta upaya menjaga kearifan lokal di Lombok. 2. Makna Pengorbanan Baiq Mandalika secara Aksiologi Aksiologi merupakan teori tentang nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai (Kunaryo, 1994). Secara aksiologi, tradisi Bau Nyale memiliki dua nilai dominan, yakni nilai sosial dan nilai moral. Nilai moral merupakan nilai kebaikan. Dalam tradisi Bau Nyale, nilai ini terlihat pada tindakan yang diambil Mandalika saat memutuskan untuk menceburkan diri kedalam laut agar tidak ada pertumpahan darah di negerinya. Niat baik sang putri adalah sebuah realisasi nilai moral yang dapat di implementasikan pada masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Lombok Tengah. Tradisi Bau Nyale memiliki nilai sosial yang nyata pada persatuan masyarakat Lombok untuk berkumpul saat prosesi Bau Nyale berlangsung. Tradisi ini masih mereka lestarikan hingga saat ini karena Nyale yang mereka dapatkan diyakini memiliki banyak manfaat. Manfaat yang paling terlihat yaitu: a. Dapat digunakan sebagai penyubur tanaman. b. Dapat dikonsumsi karena memiliki protein yang tinggi. c. Memiliki nilai jual. Dengan demikian, manfaat nyata dari Bau Nyale memberikan kontribusi siginifikan terhadap taraf hidup masyarakat Lombok.
3. Implementasi Tradisi Bau Nyale pada Kehidupan Mewarisi nilai nilai leluhur yang terkandung dalam tradisi Bau Nyale, antara lain perlakuan yang adil di segala bidang kehidupan, menghormati hak milik orang lain, dan tidak mementingkan keputusan pribadi. Selain itu, setelah melakukan
tradisi Bau Nyale ini, masyarakat Lombok merasakan lebih sejahtera, sehingga mereka akan berusaha lebih giat untuk mendapatkan nyale-nyale tersebut. 4. Upaya Menumbuhkan Kembali Nilai Pancasila pada Masyarakat Indonesia Dengan memahami dan mempelajari kearifan lokal yang ada di suatu daerah seperti tradisi Bau Nyale, sudah seharusnya masyarakat kembali berpegang teguh pada apa yang seharusnya menjadi falsafah hidupnya, yakni Pancasila, karena sejatinya, nilai-nilai positif yang terdapat pada kearifan lokal merupakan potensi dan modal dasar dalam pembentukan nilai–nilai dasar yang sesuai denga sila sila Pancasila. Untuk itulah diperlukan inventarisasi maupun revitalisasi dari nilai-nilai kearifan lokal dengan cara menempatkannya ataupun menghidupkannya kembali dalam konteks masa kini. Nilai–nilai itu dapat digali maupun diperhatikan dari tradisi berbagai etnis baik lisan maupun tulisan, seperti budaya gotong–royong, budaya malu, musyawarah untuk mencapai mufakat (demokrasi), toleransi, sopan santun dan saling menghormati. Dengan demikian, penggalian nilai kearifan lokal tersebut diharapkan dapat memberikan arah bagi perwujudan identitas nasional dan jati diri bangsa yang sesuai dengan nilai–nilai Pancasila.
F. Kesimpulan Secara aksiologi, tradisi Bau Nyale memiliki dua nilai dominan, yakni nilai sosial dan nilai moral. Nilai moral dalam tradisi bau nyale nilai ini terlihat pada tindakan yang diambil putri Mandalika untuk menceburkan diri ke dalam laut demi mencegah pertumpahan darah di negerinya. Tradisi Bau Nyale memiliki nilai sosial yang nyata pada persatuan masyarakat ketika mereka berkumpul saat prosesi Bau Nyale. Maka dengan demikian, penggalian nilai kearifan lokal ini diharapkan dapat memberikan arah bagi perwujudan identitas nasional dan jati diri bangsa yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila Penelitian ini dilakukan mengingat mulai tergerusnya nilai-nilai Pancasila di Indonesia, sehingga perlu adanya pengembalian nilai-nilai Pancasia. Pancasila bukanlah lahir dari suatu yang asing, akan tetapi Pancasila itu lahir dari kearifan lokal yang berakar pada masyarakat itu sendiri. Hasil penelitian mengenai tradisi Bau Nyale dalam analisa historis dan kebudayaan yang bertujuan untuk mengupas nilai Pancasila pada kehidupan masyarakat Sasak, diharapkan mampu memberikan inspirasi dan contoh terhadap cara bermasyarakat ditengah kehidupan modern, sehingga identitas Indonesia sebagai negara dengan ribuan budaya namun tetap dalam koridor nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika selalu terjaga. Hasil yang ingin didapatkan adalah transfer knowledge dari yang terlibat langsung dalam pelaksanaan serta menggali lebih lanjut
atas pengaruh tradisi tersebut dalam kehidupan, terutama dalam implementasi nilai Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA : Bertens, K. 2005. Panorama Filsafat Modern. Jakarta: Penerbit Teraju. Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Frondizi, Risieri. 2011. Pengatar Filsafat Nilai. Diterjemahkan oleh Cuk Ananta Wijaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Hamidi. 2008. Metode Penelitian Kualitatif. Malang : UMM Press Kaelan. 2009. Filsafat Pancasila. Yogyakarta : Paradigma Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: P.T. Gramedia. Magnis-Suseno, Franz. 2009. 12 Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta : Kanisius Moleong, Lexy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosda Mukromin, Ngutsman. 2012. “Aksiologi Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu Dalam Lakon Alap-Alap Suksi oleh Ki Nartosabdho: Relevansinya terhadap Perkembangan Moralitas Bangsa Indonesia”. Thesis. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada Sartini. 2009. Mutiara Kearifan Lokal NUSANTARA. Yogyakarta: Kepel Press. Sutardi, Tedi. 1999. Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya. Bandung: PT Setia Puma Inves. Syukri. 2002. Landasan Aksiologis Demokrasi Pancasila dalam Membangun Masyarakat Indonesia Baru, Tesis S2. Yogyakarta:Program Studi Ilmu Filsafat Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Program Pascasarjana UniversitasGadjah Mada.
Riwayat Penulis : 1. Jayantika Soviani, Mahasiswi Jurusan Sastra Arab, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Angkatan 2013,
[email protected] 2. Said Nabil Khalifa, Mahasiswa Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Angkatan 2014,
[email protected] 3. Qarel Muhammad Hawari, Mahasiswa Jurusan Teknik Pengelolaan dan Pemeliharaan Infrastruktur Sipil, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Angkatan 2013,
[email protected] 4. Arisko Fathurrahman, Mahasiswa Jurusan Sastra Arab, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Angkatan 2013,
[email protected]