BANTUAN LUAR NEGERI DI BIDANG ENERGI BARU TERBARUKAN* Lisbet**
*
**
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2013. Peneliti Muda Pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Dapat dihubungi melalui
[email protected]
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Sumber-sumber energi yang terdapat di dunia ini terdiri dari sumber energi yang tak terbarukan dan sumber energi yang terbarukan. Contoh dari sumber energi tak terbarukan ini antara lain energi fosil, dan coal bed methane (CBM)1. Sementara sumber energi terbarukan adalah air, angin (bayu), panas bumi, energi matahari (surya), dan biomasssa.2 Sebanyak 90 persen bahan bakar fosil berasal dari produksi energi bumi. Energi ini kebanyakan dimanfaatkan dalam sektor industri yakni untuk menggerakkan mesin-mesin industri maupun untuk kegiatan industri lainnya. Adanya peningkatan dalam aktivitas industri ini secara otomatis meningkatkan konsumsi energi pada masyarakat yang akhirnya mulai mengekspolitasi alam secara berlebihan.3 Indonesia sendiri memiliki peningkatan konsumsi energi di pulaupulau yang padat penduduk. Pulau Jawa sampai saat ini masih merupakan daerah dengan tingkat konsumsi energi yang paling banyak karena jumlah penduduknya yang banyak sehingga membutuhkan konsumsi energi yang banyak pula. Akan tetapi tidak demikian dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Hal ini yang menyebabkan statistik energy demand Indonesia tidak tumbuh dengan laju yang sama.4 Oleh karena itu, Indonesia memerlukan ketersediaan energi. Dengan adanya ketersediaan energi, maka sektor industri dapat berjalan dengan baik sehingga terciptalah pembangunan. Ketersediaan energi juga sangat diperlukan guna menjamin pembangunan nasional yang berkelanjutan. Apalagi, sektor energi memegang peranan sangat penting dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Adapun peranan dari sektor energi dalam
1 2
3
4
CBM adalah gas metana yang berada di lapisan batu bara jauh dalam tanah. Mukhlis Akhadi, “Ekologi Energi; Mengenali Dampak Lingkungan dalam Pemanfaatan Sumber-sumber Energi”, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hal 11. Ibid, hal 8-9. “Upaya Mengentaskan kemiskinan Energi di Indonesia: Hambatan dan Solusi”, dikutip dari http://www.iesr.or.id/2012/06/upaya-mengentaskan-kemiskinan-energi-di-indonesiahambatan-dan-solusi/ tanggal 10 Mei 2013.
3
Bantuan Luar Negeri di Bidang Energi Baru Terbarukan
pembangunan ekonomi, yaitu:5 sebagai sumber pendapatan Negara; sebagai bahan bakar; sebagai bahan baku industri; sebagai pemicu kegiatan ekonomi lainnya. Tahun
Satuan
Biofuel
Biomassa
Panas Bumi Energi Air Energi Surya CBM
Tabel 1 PROYEKSI PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN (ENERGI PRIMER) Juta SBM
2010
1,4
8,9
23,6 44,5 0,1 0,0
%
0,12 0,79 2,07 3,91 0,01 0,00
Juta SBM
2015
15,9
%
1,0
15,7
1,0
39,8 55,8 33,7
35,6 47,8
2,5
106,9
0,0
1,3
3,5
0,7
Juta SBM
2020
2,1
86,6 67,4
1,7
101,2
35,5
1009,8
623,1
29,3
Total
1138
100,00
1576
100,00
2126
100,00
24,74
307,9 498,1
19,5 31,6
403,2 753,8
1,8
3,2
38,6
19,97
112,3
0,1
608,4
281,4
121,9
4,1
48,39
227,2
145,9
5,0
550,5
Batubara
83,1
2,2
Minyak Gas
Juta SBM
%
2025
19,0
Sumber: Bahan Tertulis dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta.
%
3,0 5,2 4,4 4,0 0,1 3,6
659,7
23,7
2785
100,00
549,8
19,7 36,3
Berdasarkan tabel 1 di atas, dapat dilihat bahwa sampai saat ini Indonesia masih belum dapat lepas dari ketergantungan terhadap pengembangan energi fosil seperti minyak sebesar 48,39 persen pada tahun 2010. Bahkan ketergantungan terhadap minyak ini, diproyeksikan akan mengalami kenaikan yang signifikan hingga tahun 2025 yakni sebesar 23,7 persen. Tidak hanya terhadap minyak, Indonesia juga masih bergantung kepada energi fosil lainnya seperti gas dan batu bara dimana juga terdapat peningkatan hingga tahun 2025. Tahun 2010, proyeksi pengembangan gas masih sebesar 19, 97 persen dan pada tahun 2025, diproyeksikan menjadi 19,7 persen. Sementara pada tahun 2010, batu bara telah mencapai 24,74 persen dan pada tahun 2025 diproyeksikan akan mencapai 36,3 persen. Indonesia juga memiliki potensi yang berlimpah terhadap energi baru terbarukan. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional, energi baru terbarukan harus mencapai 17 persen yang terdiri dari bahan bakar nabati sebesar 5 persen, panas bumi sebesar 5 persen, nuklir, hidro, surya, angin dan energi baru terbarukan sebesar 5 persen, dan batu bara tercairkan sebesar 2 persen. Sementara
5
Bahan tertulis Focus Group Discussion Peneliti Sekretariat Jenderal DPR RI dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada tanggal 13 Mei 2013 di Jakarta.
4
Lisbet
kondisi pada tahun 2011 ini energi baru terbarukan hanya sebesar 5,03 persen. Bahkan berdasarkan Kebijakan Energi Nasional yang baru, pangsa energi primer yang berasal dari sumber energi baru terbarukan sebesar 25 persen telah ditetapkan menjadi target.6 Bahkan, diharapkan pada tahun 2050 ketergantungan Indonesia terhadap minyak bumi diproyeksikan dapat berkurang dari 48 persen hingga ke 16,5 persen.7
B. PERMASALAHAN Pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tanggal 16 Januari 2012, seluruh pemimpin dunia telah menetapkan tahun 2012 sebagai tahun energi terbarukan internasional. Untuk itu, PBB berupaya untuk menggelar berbagai aktivitas untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap isu krisis energi dan akses terhadap energi terbarukan. Dengan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap isu krisis energi, diharapkan dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang sejahtera. Indonesia merupakan salah satu negara yang tergantung pada energi minyak dan gas bumi. Indonesia harus dapat mengurangi ketergantungan ini karena energi ini telah menyebabkan pemanasan global. Hal ini semakin menegaskan pentingnya bagi Indonesia untuk beralih kepada energi baru terbarukan. Untuk itulah, Pemerintah mulai mengembangkan potensi sumber energi baru terbarukan yang terdapat di Indonesia. Untuk dapat mengembangkan sumber energi baru terbarukan, Indonesia membutuhkan bantuan dari luar negeri. Indonesia belum sanggup untuk membiayai pengembangan potensinya dan belum memiliki teknologi memadai serta kekurangan sumber daya manusia yang memahami mengenai pengembangan potensi energi tersebut. Berdasarkan permasalahan ini, pertanyaan penelitiannya adalah bagaimana bentuk bantuan luar negeri di bidang energi baru terbarukan yang ada di Indonesia? 1. Apa saja potensi sumber-sumber energi baru terbarukan yang dimiliki oleh Indonesia? 2. Apa saja upaya yang telah dilakukan serta kendala yang perlu diatasi dalam pengembangan potensi sumber-sumber energi baru terbarukan? 3. Bagaimana bentuk bantuan luar negeri di bidang energi baru terbarukan yang ada di Indonesia? D. KERANGKA TEORI Untuk menganalisa permasalahan yang terdapat pada penulisan ini akan digunakan teori bantuan luar negeri (foreign aid). Bantuan luar negeri
6 7
Ibid. “Energi Terbarukan Modal Pembangunan”, Media Indonesia, 20 April 2013, hal 17.
5
Bantuan Luar Negeri di Bidang Energi Baru Terbarukan
menurut pemahaman Hans Morgentahau adalah suatu pemenuhan kewajiban yang harus dilakukan oleh bangsa-bangsa kaya (rich nations) kepada bangsabangsa miskin (poor nations). 8 Berdasarkan pengertian tersebut, Morgenthau membagi bantuan luar negeri menjadi enam tipe, yaitu bantuan luar negeri yang bersifat kemanusiaan (humanitarian foreign aid), bantuan luar negeri yang subsisten (subsistence foreign aid), bantuan luar negeri di bidang militer (military foreign aid), penyuapan (bribery), bantuan luar negeri yang prestise (prestige foreign aid) dan bantuan luar negeri bagi pembangunan ekonomi (foreign aid for economic development). Persamaan diantara keenam tipe ini yakni adanya kegiatan transfer baik berupa uang, barang maupun jasa dari satu negara ke negara lainnya.9 Yang akan digunakan pada tulisan ini adalah tipe bantuan luar negeri bagi pembangunan ekonomi (foreign aid for economic development). Penggunaan bantuan luar negeri bagi pembangunan ekonomi harus berjalan beriringan dengan adanya perubahan politik, baik yang dilakukan secara sukarela dari dalam maupun dilakukan akibat adanya tekanan dari luar.10 Penggunaan bantuan luar negeri bagi pembangunan ekonomi lebih tepat untuk tulisan ini karena Indonesia akan menggunakan sumber energi baru terbarukan ini sebagai bagian dalam pembangunan ekonomi dalam negerinya. Sampai saat ini, pembangunan ekonomi dalam negeri di Indonesia masih terkonsentrasi ke daerah-daerah tertentu saja. Namun dengan adanya daerahdaerah di Indonesia (Provinsi Aceh dan Kalimantan Tengah) yang memiliki potensi terhadap sumber-sumber energi baru terbarukan, diharapkan dapat menambah upaya dalam pembangunan ekonomi dalam negeri. Upaya-upaya juga telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengelola potensi sumber-sumber energi baru terbarukan yang terdapat di Indonesia. Sayangnya, upaya-upaya ini belum dapat dilakukan secara maksimal. Di dalam pelaksanaannya, pemerintah mengalami kendala-kendala baik pada tahap implementasi di lapangan maupun pada tahap kebijakan di pusat. Jika bantuan luar negeri ini ingin dipergunakan secara maksimal, maka kendala-kendala tersebut perlu diatasi terlebih dahulu.
8
9
10
Hans Morgenthau, “A Political Theory of Foreign Aid”,hal 301-302, dalam The American Political Science Review Vol 56, No. 2 (Jun., 1962), hal. 301, dikutip dari http://www.jstor.org/ discover/10.2307/1952366?uid=2129&uid=2&uid=70&uid=4&sid=21102516185287. pdf tanggal 1 Agustus 2013. Ibid. Ibid, hal. 306.
6
BAB II METODOLOGI PENELITIAN
A. PROSES PENELITIAN Pengumpulan data pertama kali dilakukan melalui studi pustaka yang didapatkan melalui buku-buku, jurnal maupun koran serta jaringan internet. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data sekunder terkait dengan bantuan luar negeri di bidang energi baru terbarukan. Setelah memperoleh data yang diperlukan, penelitian dilanjutkan dengan penelitian lapangan (field research) untuk memperoleh data primer melalui wawancara secara mendalam (in-depth interview). Wawancara ini dilakukan dengan pihak-pihak yang terkait sedangkan data sekunder sebagai bahan untuk analisa diperoleh melalui studi literatur.
B. JENIS DAN SIFAT PENELITIAN Penelitian ini dilakukan menggunakan metode kualitatif karena penulis hendak menjelaskan bagaimana bentuk bantuan luar negeri di bidang energi baru terbarukan melalui data primer dan sekunder. Data primer dilakukan melalui wawancara mendalam dengan para nara sumber di lapangan yakni di Banda Aceh dan Palangkaraya. Sementara data sekunder didapatkan melalui buku, jurnal, maupun koran serta jaringan internet yang terkait dengan bantuan luar negeri di bidang energi baru terbarukan. Penelitian ini bersikap deskriptif karena penulis lebih menekankan pada jawaban atas permasalahan di atas. C. TEKNIK PENGAMBILAN DATA Teknik pengambilan data primer dilakukan melalui wawancara terhadap nara sumber yang terkait dengan bantuan luar negeri di bidang energi baru terbarukan. Oleh karena itu, penulis harus berhubungan secara langsung dengan nara sumber agar mendapatkan fakta yang terdapat di lapangan untuk dijadikan bahan penulisan.
D. PELAKSANAAN PENELITIAN DAN SUMBER INFORMASI Penelitian lapangan telah dilakukan sebanyak dua kali, yakni pada tanggal 12 - 18 Mei 2013 di Provinsi Aceh (Banda Aceh) dan tanggal 17 Juni – 23 7
Bantuan Luar Negeri di Bidang Energi Baru Terbarukan
Juni 2013 di Provinsi Kalimantan Tengah (Palangkaraya). Nara sumber dari penelitian ini dipilih secara sengaja (purposive). Nara sumber dari penelitian yang dikunjungi di lapangan merupakan para pemangku kepentingan di bidang energi baru terbarukan. Para nara sumber tersebut telah dikunjungi dan diwawancarai penulis secara langsung. Adapun nara sumber tersebut dari penelitian ini antara lain Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPEDA) Provinsi Aceh dan Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Tengah.
8
BAB III POTENSI SUMBER ENERGI BARU TERBARUKAN DI INDONESIA
Indonesia adalah negara yang memiliki sumber energi baru terbarukan yang melimpah. Sebagai contoh Indonesia memiliki cadangan sumber energi panas bumi (geothermal) terbesar di dunia sebesar 27 gigawatt (GW), air sebesar 75 GW, angin sebesar 9 GW, dan biofuel sebesar 50 GW. Selain itu masih terdapat pula energi sinar matahari dengan potensi rata-rata nasional 1.700 kWh/m2 (per tahun). Bahkan energi sinar matahari di beberapa wilayah dapat mencapai 2.000 kWh/m2. Maksud dari angka ini adalah apabila kita memiliki panel surya dengan efisiensi 100 persen seluas satu meter persegi, maka dalam waktu satu tahun akan menghasilkan energi listrik sebesar 2.000 kWh (rata-rata konsumsi kelas menengah per tahun).11 Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Provinsi Aceh dan Kalimantan Tengah, diketahui bahwa kedua daerah tersebut memiliki potensi sumber energi baru terbarukan yang sangat besar. A. TEKNOLOGI PEMANFAATAN ENERGI AIR Teknologi pemanfaatan energi air merupakan teknologi yang memanfaatkan energi potensial dan energi kinetik dari air. Salah satu pemanfaatan dari energi air adalah untuk keperluan pembangkit listrik, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). 12 Provinsi Aceh merupakan provinsi yang kaya akan sumber energi air mengingat geografinya yang terdiri dari bukit dan lembah memiliki tenaga air yang cukup besar. Sekitar 1.482 megawatt (MW) tenaga air bisa dihasilkan di Aceh. Dari energi ini, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gayo Lues telah mendapatkan penghasilan sebesar Rp75 juta/bulan untuk pendapatan daerahnya. B. TEKNOLOGI PEMANFAATAN ENERGI BIOMASSA Pengolahan biomassa sebagai sumber energi dapat dilakukan melalui tiga cara. Pertama, konversi termokimiawi yang terdiri atas produksi arang, gasifikasi, dan pirolisis. Kedua, konversi fisis-kimiawi yang berasal dari
11
12
Refi Kunaefi, “Potensi Energi Terbarukan”, Republika, 4 April 2013, hal 4. Rachmawan Budiarto, “Kebijakan Energi; Menuju Sistem Energi yang Berkelanjutan”, (Yogyakarta: Penerbit Samudera Biru, 2011), hal 120.
9
Bantuan Luar Negeri di Bidang Energi Baru Terbarukan
tekanan/ekstraksi dan esterfikasi. Ketiga, konversi bio-kimiawi yang berasal dari fermentasi alkohol, digesti anaerobik, dan dekomposisi aerobik. 13 Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi dalam pemanfaatan pengelolaan sampah. Potensi sampah yang dihasilkan penduduk Indonesia cukup besar. Sebagai upaya penyelamatan lingkungan sampah yang mengandung gas metana, harus dioptimalkan untuk diolah dan dikonversikan menjadi energi listrik yang ramah lingkungan melalui pemanfaatan landfill gas dari sampah. Landfill gas merupakan produk sampingan alami dari dekomposisi sampah di tempat pembuangan sampah. Pemanfaatan sampah sebagai salah satu penghasil sumber energi baru terbarukan masih dirasakan belum optimal. Hal ini dikarenakan masih minimnya kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan sampah dan masih rendahnya perhatian pemerintah terutama pemerintah daerah dalam mengelola keberadaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Padahal memodifikasi lahan penampungan sampah merupakan salah satu cara paling tepat untuk dapat menghasilkan energi baru terbarukan. Disebut paling tepat karena saat ini kebanyakan dari TPA sampah di Indonesia masih menggunakan open dumping.
C. TEKNOLOGI PEMANFAATAN ENERGI MATAHARI (SURYA) Indonesia memiliki potensi pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Potensi PLTS perlu dikembangkan di Indonesia karena intensitas cahaya Matahari di Indonesia rata-rata mencapai 4,8 kwh per meter persegi per hari sehingga dapat mencapai 50.000 MW. Apalagi saat ini sudah terdapat teknologi yang dapat mengkonversi radiasi sinar foton matahari menjadi energi listrik. Atas dasar hal itu, sepanjang tahun 2012 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terutama Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi telah membangun PLTS dengan total kapasitas hampir 4,8 MW yang tersebar di 117 lokasi. PLTS ini telah melayani listrik bagi 10.315 rumah tangga. Pengembangan PLTS ini bermanfaat untuk meningkatkan jumlah rumah tangga yang menerima aliran listrik, menekan kebijakan subsidi energi, dan dapat mengurangi emisi karbon.14 Dengan banyaknya manfaat yang diperoleh dalam pengembangan PLTS, maka pemerintah menargetkan penambahan kapasitas terpasang PLTS hingga Maret 2014 sebesar 150 MW. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah akan menetapkan 72 lokasi proyek PLTS fotovoltaik dengan kuota daya 150 MW di mana sebagian besar lokasinya akan berada di kawasan timur Indonesia.15 15 13 14
Op.Cit, hal 123-124. “Energi; Kurang Listrik di Negeri Penuh Terik Matahari”, Kompas, 4 Maret 2013, hal 19. “Target Kapasitas Terpasang 150 Megawatt”, Kompas, 13 Juli 2013, hal 20.
10
Lisbet
Tabel 2 PROYEKSI PENGEMBANGAN SURYA TAHUN 2012-2025
Jenis Energi
Tambahan Kapasitas
Kumulatif Kapasitas Terpasang
Satuan MW MW
2012
39 59
2015
180 239
2020
Sumber: Jawaban tertulis dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta.
380 619
2025
490
1.109
Berdasarkan tabel 2 di atas, dapat diketahui bahwa Pemerintah sudah merancang proyeksi pengembangan tenaga surya dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2025. Pemerintah memproyeksikan adanya pengembangan tenaga surya berdasarkan tambahan kapasitas dari sejumlah 39 MW tahun 2012 hingga 490 MW untuk tahun 2025. Sementara jumlah kumulatif yang telah terpasang pada tahun 2012 telah mencapai 59 MW dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1.109 MW. Oleh karena itu, pemerintah perlu mempersiapkan teknologi dan investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan potensi energi baru terbarukan seperti energi surya.
D. TEKNOLOGI PEMANFAATAN ENERGI PANAS BUMI (GEOTHERMAL) Energi ini dapat dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik. Namun, biasanya agar layak dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik, panas bumi yang dipilih adalah yang bersuhu 150o C. Secara garis besar teknologi yang memanfaatkan panas bumi untuk pembangkit listrik dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yakni: pembangkit listrik uap kering, pembangkit listrik uap basah, dan pembangkit listrik siklus binner.16 Aceh memiliki potensi panas bumi yang tinggi karena memiliki banyak gunung berapi. Tenaga panas bumi terdapat pada daerah Seulawah Agam di Aceh Besar dan Jaboi di Sabang. Pada Seulawah Agam potensi yang dihasilkan dapat mencapai 160 MW. Di daerah ini sudah terdapat ijin eksplorasi untuk mencari titik air mendidih seluas 45 ribu hektar. Sementara pada Jaboi potensi yang dapat dihasilkan sebesar 58,6 MW. Di Jaboi sudah terdapat ijin eksplorasi untuk mencari titik air mendidih, untuk pabrik, dan pemipaan seluas 200rb hektar. Pada wilayah ini, masih dalam tahap eksplorasi. Diharapkan Pengembangan di Jaboi pada tahun 2018 akan mencapai 10 MW. Pengembangan di Seulawah Agam pada tahun 2020 akan mencapai 110 MW.17 Seulawah Agam yang terletak di Aceh besar, dimana sudah terdapat ijin eksplorasi untuk mencari titik air mendidih seluas 45 ribu hektar. Sementara Sabang yang terletak di Jaboi, dimana sudah terdapat ijin eksplorasi untuk mencari titik air mendidih, untuk pabrik, dan pemipaan seluas 200ribu hektar.
16 17
Op.Cit, Rachmawan Budiarto, hal 127-128. Jawaban tertulis dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta.
11
Bantuan Luar Negeri di Bidang Energi Baru Terbarukan
Aceh punya potensi panas bumi yang tinggi karena memiliki banyak gunung berapi. Istilah panas bumi masih baru pada masyarakat Aceh. Oleh karena itu, WWF memberikan perkenalan dan pemahaman kepada masyarakat mengenai panas bumi. Dalam rangka mengatasi kekurangan energi, WWF Aceh telah membantu pemerintah Aceh dan masyarakat untuk pengembangan potensi panas bumi di Provinsi Aceh dan mensosialisasikan tentang gunanya menjaga lingkungan sambil pengembangan potensi. Yang menjadi kekhawatiran adalah apabila pengelolaan panas bumi dilakukan, harus terdapat perlindungan terhadap kawasan habitat satwa dan tanaman hutan yang memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity).18 E. TEKNOLOGI PEMANFAATAN ENERGI BIOSOLAR ATAU BIODIESEL Bahan bakar alternatif energi baru terbarukan dari biosolar maupun biodiesel yang berbahan bakar minyak sawit sampai saat ini masih termasuk ke dalam energi baru terbarukan yang potensial di Indonesia. Meskipun dari sisi nilai, harga biosolar masih kalah dengan harga solar bersubsidi, namun biosolar mampu memberikan sumbangan terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca. Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian dari pemerintah dalam membuat peraturan mengenai pengembangan energi baru terbarukan. Saat ini, produksi sawit dari Indonesia masih didominasi untuk kepentingan ekspor. Sementara dari tingkat produksi, Indonesia sudah mencapai 24 juta ton, dimana 18 juta ton digunakan untuk ekspor sedangkan 6 juta ton sisanya digunakan untuk keperluan domestik. Mengenai energi bahan bakar terbarukan seperti ini, Indonesia dapat mencontoh kepada Brasil. Brasil telah berhasil memanfaatkan produksi tebu yang berlimpah di wilayahnya untuk memproduksi bioetanol, pada saat harga gula dunia sedang anjlok.19
18 19
Wawancara dengan Dede dan Azhar, WWF Aceh di Banda Aceh tanggal 13 Mei 2013. “Energi Terbarukan; Biosolar Dinilai Berpeluang”, Kompas, 2 Mei 2013, hal 14.
12
BAB IV UPAYA DAN KENDALA DALAM PENGEMBANGAN POTENSI SUMBER ENERGI BARU TERBARUKAN
Pada bab sebelumnya, penulis telah menjelaskan bahwa Indonesia memiliki banyak potensi sumber energi baru terbarukan. Menyadari hal tersebut, pemerintah melakukan berbagai upaya dalam pengembangan potensi sumber energi baru terbarukan. Upaya-upaya ini akan penulis jelaskan pada bab ini. Selain itu, penulis juga akan menjelaskan mengenai kendala yang perlu diatasi dalam pengembangan potensi sumber energi baru terbarukan di Indonesia. A. UPAYA PENGEMBANGAN ENERGI BARU TERBARUKAN Adapun upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk pengembangan energi baru terbarukan, antara lain:
1. Pendekatan Kepada Investor Dana Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh menyadari bahwa pengembangan energi baru terbarukan memerlukan dana yang sangat besar. Oleh karena itu, dinas telah berupaya untuk melakukan pendekatanpendekatan kepada investor dalam dan luar negeri. Adapun cara-cara yang telah dilakukan, antara lain: pertama, memberikan informasi mengenai potensi energi baru terbarukan yang terdapat di Aceh kepada para calon investor; kedua, mempermudah proses perizinan terhadap investasi di bidang energi baru terbarukan; serta mengikuti pameran maupun promosi baik di dalam dan luar negeri mengenai potensi energi baru terbarukan yang terdapat di Aceh.20 Selain itu pada wilayah Seulawah Agam, Pemerintah Aceh melalui Pemerintah Pusat telah menerima bantuan luar negeri dengan Pemerintah Jerman untuk mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi 1 x 55 MW. Perjanjian ini dirintis sejak tahun 2009 dan disahkan pada tahun 2012. Perjanjian ini sekarang sedang pada tahap tender. Sementara pada wilayah Jaboi, masih dalam tahap eksplorasi.21
20 21
Ibid. Jawaban tertulis dari Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh, di Banda Aceh tanggal 14 Mei 2013.
13
Bantuan Luar Negeri di Bidang Energi Baru Terbarukan
Selain bantuan dari luar negeri, juga terdapat bantuan dari pengembangan panas bumi di PT Sabang Geo Energy dan status saat ini adalah negosiasi PPA (Power Purchase Agreement/perjanjian jual beli listrik).22
2. Pengembangan Sumber Daya Manusia Pemerintah dalam hal ini Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh telah mempunyai personil dan sumber daya manusia yang memadai sesuai dengan bidang dan disiplin ilmu untuk pengembangan energi baru terbarukan sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, pemerintah baik Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh maupun Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Tengah juga telah meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dengan cara mengikutsertakan sumber daya manusia dalam pelatihan-pelatihan maupun kursus di bidang energi baru terbarukan.23 3. Pengadaan Survei Lokasi dan Jenis Energi Upaya lain yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah mengadakan survei terhadap lokasi pengembangan potensi energi baru terbarukan. Adapun survei yang sudah dilakukan, antara lain: • Survei potensi energi air skala kecil (mikro hidro) • Survei potensi energi biomassa baik itu dari limbah pertanian maupun limbah perkebunan. Pada tahun 2013, Dinas Pertambangan dan Energi telah mengadakan survei ke Kabupaten Kotawaringin Barat dan Lamandau. • Survei potensi energi biogas khususnya limbah dari kotoran ternak sapi. • Survei potensi energi angin. Berdasarkan data-data dari hasil suvei ini sebagian dari potensi ini telah dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik bagi masyarakat di pedesaan seperti Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (Mikro Hidro), Pembangunan Listrik Tenaga Surya (Geothermal) serta Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Angin (Bayu). Di samping itu pemanfaatan energi Biogas untuk energi rumah tangga. Khusus pemanfaatan energi berbasis biomassa khususnya dari pemanfaatan limbah kelapa sawit di Kalimantan Tengah yang telah dimanfaatkan adalah pabrik-pabrik CPO sebagai bahan bakar ketel (PLTU). 24 4. Pemberian Informasi Adapun upaya lain yang telah dilakukan untuk dapat menggandeng sektor swasta untuk mau berinvestasi ke energi baru terbarukan adalah melalui
22 23
24
Jawaban tertulis dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta. Bahan Tertulis dari Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh di Banda Aceh tanggal 14 Mei 2013. Bahan Tertulis dari Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Tengah di Palangkaraya tanggal 18 Juni 2013.
14
Lisbet
pemberian informasi-informasi tentang potensi energi baru terbarukan kepada calon investor, mempermudah proses perizinan bagi investasi di bidang energi baru terbarukan, dan mengikuti pameran dan promosi potensi energi baru terbarukan di dalam dan luar negeri. 25
B. KENDALA YANG DIHADAPI Meskipun pemerintah telah melakukan upaya-upaya dalam mengelola potensi sumber energi baru terbarukan, namun pada tahap kebijakan maupun pelaksanaan di lapangan, masih ditemukan kendala-kendala yang perlu diatasi. Adapun kendala-kendala tersebut, antara lain:
1. Peraturan Pemerintah Adanya perbedaan penyebutan panas Bumi sebagai Tambang terdapat pada Undang-undang No. 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi dengan Undangundang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada Undangundang No. 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi, istilah panas bumi disebut sebagai pertambangan sementara Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan melarang aktivitas pertambangan dalam kawasan konservasi serta kurangnya optimalnya koordinasi lintas sektor. 26 Kendala dalam tahap kebijakan ini menjadi salah satu tanda kurangnya koordinasi diantara Kementerian yang terkait yakni antara Kementerian Kehutanan, Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan lainnya. Apabila undang-undangnya saja sudah tidak sesuai, secara otomatis pelaksanaan kebijakan dilapangan pun menjadi tidak sesuai. Untuk itu, Pemerintah perlu mengamandemen UU No. 27 tahun 2003, UU No. 5 tahun 1990, dan UU No. 41 tahun 1999 serta perlu mengadakan koordinasi yang lebih terarah diantara kementerian terkait seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup berikut dinas-dinas yang berada dibawahnya. Kendala lain yang terkait dengan peraturan pemerintah adalah terkendalanya produksi listrik panas bumi karena terhambatnya peraturan pembukaan lahan di hutan konservasi. Padahal sumber-sumber energi panas bumi kebanyakan terletak di wilayah hutan konservasi.27 2. Mahalnya Biaya Produksi Sumber Energi Baru Terbarukan Biaya investasi awal untuk implementasi teknologi energi terbarukan dan konservasi energi dinilai masih tinggi. Minat investor khususnya di bidang 27 25 26
Ibid. Jawaban tertulis dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta. “Gas dan Panas Bumi Terhambat Infrastruktur”, Kompas, 20 Juni 2013, hal 13.
15
Bantuan Luar Negeri di Bidang Energi Baru Terbarukan
bisnis teknologi energi terbarukan dan konservasi energi masih sangat kurang karena pasarnya masih terbatas. Sampai saat ini, dalam pemanfaatan dana untuk energi baru terbarukan, Pemerintah masih berorientasi dengan menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pemerintah masih belum berhasil meminta bantuan luar negeri baik dari dalam negeri maupun luar negeri untuk mau berinvestasi ke energi baru terbarukan. Hal ini dikarenakan biaya produksi sumber energi baru terbarukan yang relatif jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan biaya produksi pembangkit batu bara ataupun gas yang berasal dari fosil. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah lebih mengutamakan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dari batu bara dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) dalam rencana jangka pendek maupun menengah dalam kebutuhan listrik nasional. Untuk mengelola energi baru terbarukan memang diperlukan biaya investasi yang cukup besar. Untuk menekan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada Tahun 2050, pada tingkat 550 pm, maka diperlukan investasi sebesar 379 miliar dollar AS per tahun. Sementara untuk target 450 ppm dibutuhkan 542 miliar dollar AS per tahun.28 Selain itu, sampai saat ini, kapasitas pembangkit yang berasal dari energi baru terbarukan baru sebesar 5 GW. Hal ini sungguh disayangkan karena jika pemerintah mampu mengekploitasi semua pembangkit dari sumber energi baru terbarukan dan mengasumsikan semua pembangkit mampu beroperasi sebesar 70 persen sepanjang tahun, maka total energi yang dapat dihasilkan adalah 978 tera Watt per hours (tWh). Angka ini jauh melebihi konsumsi listrik nasional yang terdapat pada tahun 2011 yakni sebesar 158 tWh.29 Contoh lainnya adalah energi panas bumi. Investasi di bidang energi panas bumi menjadi tidak menarik dikarenakan tingginya risiko hulu panas bumi.30 Selain itu banyak investor yang enggan untuk membiayai proyek panas bumi karena hanya untuk membiayai tahap eksplorasi pengeboran membutuhkan biaya hingga 8 juta dollar AS – 10 juta dollar AS.31
3. Minimnya Infrastruktur Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Bank Dunia (World Bank), investasi di bidang energi baru terbarukan yang terdapat di provinsi Aceh masih mengalami penurunan. Lokasi proyek panas bumi yang biasanya tersebar di hutan maupun 30 31 28 29
Op. Cit, Rachmawan Budiarto, hal 174. Op. Cit, Refi Kunaefi Ibid. “Dongkrak pasokan melalui Diversifikasi Energi”, Media Indonesia, 22 Mei 2013, hal 188.
16
Lisbet
di dekat gunung berapi seringkali tidak memiliki akses infrastruktur seperti jalan ataupun penerangan. Kendala inilah yang terjadi di Provinsi Aceh. Akibat minimnya infrastruktur, Provinsi Aceh mengalami ketergantungan listrik ke wilayah Medan. Provinsi Aceh masih terkoneksi dengan Provinsi Sumatera Utara terkait dengan pemenuhan kebutuhan energi listrik. Dari 6541 desa yang terdapat di Provinsi Aceh, hanya sekitar 85 persen yang sudah mempunyai listrik sementara 15 persen lainnya masih belum. Akan tetapi pada tahun 2014, Pemerintah Provinsi Aceh menargetkan adanya swasembada energi. Kendati demikian, masih terjadi pemadaman listrik tiap harinya di Provinsi Aceh. Oleh karena itu, pemerintah Aceh perlu memperbaiki sarana dan prasarana umum serta mengurangi ketergantungan listrik ke wilayah Medan agar iklim investasi dapat mengalami peningkatan.32
4. Kurangnya Pengetahuan Masyarakat Kendala lainnya adalah kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai sumber energi baru terbarukan. Hal ini terjadi di banyak daerah. Sebagai contoh, masyarakat di Provinsi Aceh pada umumnya belum mengetahui tentang pontesi-potensi energi baru terbarukan apa saja yang terdapat di daerahnya masing-masing. Selain itu, sosialisasi dari pihak Pemerintah Provinsi mengenai energi baru terbarukan masih dirasakan kurang. Oleh karena itu, pada Maret 2013, WWF Aceh menginisiasi dan memperkenalkan salah satu energi baru terbarukan yakni panas bumi kepada masyarakat. Upaya WWF ini dilakukan sebagai bentuk dukungan dan bantuan WWF terhadap Pemerintah Provinsi Aceh. Kendati demikian, sudah terdapat beberapa daerah, dimana masyarakatnya sudah mengetahui tentang energi baru terbarukan karena masyarakat pada daerah tersebut sudah dapat merasakan pemanfaatan terhadap energi baru terbarukan. Selain di Provinsi Aceh, kurangnya pengetahuan masyarakat juga terjadi di daerah Kuningan Jawa Barat. Masyarakat di wilayah tersebut menentang pengelolaan sumber energi panas bumi yang terdapat di Gunung Ciremai, Kuningan, Jawa Barat. Penentangan ini disebabkan karena kekhawatiran masyarakat bahwa dengan adanya ekplorasi panas bumi akan akan memicu kerusakan lingkungan seperti menghilangkan sumber mata air di daerahnya. Apalagi daerah pengeborannya pun akan sangat luas mencakup lima desa sehingga masyarakat harus mengungsi. Sayangnya, pihak pemenang tender yakni Chevron Geothermal Indonesia (CGI) maupun Pemerintah belum memberikan sosialisasi kepada masyarakat di daerah tersebut. Untuk mengatasi penentangan ini, pihak CGI maupun
32
Wawancara dengan Sayadi dan Nanda Yuniza, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Aceh di Banda Aceh, tanggal 13 Mei 2013.
17
Bantuan Luar Negeri di Bidang Energi Baru Terbarukan
pemerintah seharusnya memberikan pengertian mengenai pentingnya potensi panas bumi. Apalagi CGI merencanakan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) dengan kapasitas 2 x 55 MW sehingga PLTPB seharusnya dapat dikelola untuk kesejahteraan masyarakat tersebut.33 5. Kurangnya Lokasi Pengembangan Kegiatan energi terbarukan sebagian besar terdapat di dalam kawasan hutan yang sering menghadapi masalah tumpang tindih, baik karena undangundang dan peraturan penggunaan lahan. Di Provinsi Aceh, Sebagai contoh, masih belum terdapat lokasi pengembangan energi surya serta belum tersedianya informasi kuota pengembangan energi surya. Oleh karena itu, instansi-instansi terkait seperti Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) perlu meningkatkan koordinasi. Selain itu, belum ada aturan mengenai pengusahaan tentang energi surya dan belum adanya aturan penetapan wilayah kerja dan kuota pengembangan. Oleh karena itu, perlu adanya percepatan penyusunan Peraturan untuk pengusahaan energi surya dan percepatan penyusunan Peraturan Menteri Wilayah Kerja dan Kuota mengenai energi surya.34
6. Kurangnya Sumber Daya Manusia Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh telah melakukan pengembangan energi baru terbarukan berupa pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro, pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya serta pelatihan-pelatihan di bidang energi baru terbarukan.35 Kendati sudah diberikan pelatihan, namun kemampuan Sumber Daya Manusia relatif rendah terutama untuk energi terbarukan yang belum komersial dan pemanfaataan energi yang efisien.
35 33 34
“Panas Bumi; Warga Khawatir Merusak”, Kompas, 23 Juli 2013, hal 24. Jawaban tertulis dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta. Jawaban tertulis dari Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh di Banda Aceh tanggal 14 Mei 2013.
18
BAB V BANTUAN LUAR NEGERI DI BIDANG ENERGI BARU TERBARUKAN
Upaya memaksimalkan potensi sumber energi baru terbarukan ini menjadi semakin penting dengan adanya komitmen dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada KTT G-20 di Pitssburgh dan COP 15 untuk mengurangi emisi karbon sebesar 26 persen pada tahun 2020 dari kondisi “Bussiness As Usual” dan sebesar 41 persen dengan adanya bantuan dari dunia internasional. Oleh karena itu, Presiden Yudhoyono telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Sebagai bagian dari strategi penurunan emisi GRK, pemerintah pun mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional. Perpres ini menargetkan perolehan energi dari energi baru terbarukan sebesar 17 persen dari target bauran energi primer nasional pada tahun 2025.36 Upaya pengembangan sumber energi baru terbarukan dilakukan bukan hanya semata-mata untuk pemenuhan komitmen Presiden SBY saja. Akan tetapi juga untuk peningkatan pembangunan ekonomi nasional karena sampai saat ini, pembangunan hanya terpusat pada wilayah bagian barat Indonesia. Dengan meningkatnya kemampuan dalam mengelola sumber energi tersebut, maka pembangunan ekonomi pun akan semakin meningkat. Untuk mencapai hal tersebut, Indonesia memerlukan bantuan dari luar negeri. Bantuan luar negeri yang telah diterima Indonesia dalam pengembangan potensi sumber energi baru terbarukan masih sangat sedikit. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Provinsi Aceh dan Kalimantan Tengah, baru beberapa negara yang memberikan bantuannya terhadap Indonesia. Pada Provinsi Aceh, bantuan luar negeri pada tenaga Mikro Hidro diperoleh dari investor Turki. Namun, bantuan luar negeri ini tidak efektif karena baru sebatas penjajakan. Penjajakan yang sudah dimulai sejak tahun 2010 pada pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di
36
Maritje Hutapea, “Pengembangan Energi Baru dan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) untuk mewujudkan Green Economy dan Mencapai Sustainable Development Goals”, Bahan Tertulis Focus Discussion Group Peneliti Setjen DPR RI dengan Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral di Jakarta tanggal 8 Mei 2013.
19
Bantuan Luar Negeri di Bidang Energi Baru Terbarukan
Aceh belum mengalami kemajuan. Hal ini sangatlah disayangkan mengingat Indonesia memiliki potensi yang cukup besar pada energi ini. Tidak jauh berbeda, bantuan luar negeri yang juga terdapat di wilayah Aceh Tengah pun belum mengalami kemajuan yang signifikan. Pada wilayah ini, Pemerintah memang telah mendapatkan bantuan luar negeri dari Korea yaitu dengan cara bekerjasama dengan salah satu investornya yakni Hyundai. Namun, bantuan ini pun kembali masih pada tahap pendekatan dan belum ada tahapan lebih lanjut. Bantuan luar negeri yang diberikan oleh negara-negara tersebut diatas belum dapat dikatakan sebagai bantuan luar negeri karena baru sebatas pada tahap penjajakan saja. Bantuan ini bisa berakhir karena belum adanya komitmen yang nyata dari negara-negara tersebut. Korea dan Turki belum merasa wajib untuk memberikan bantuan luar negeri kepada Indonesia baik berupa transfer teknologi atau pengetahuan oleh sumber daya manusia yang berkualitas serta pemberian dana, maupun barang. Lain halnya dengan bantuan luar negeri yang diperoleh Indonesia dari Pemerintah Jerman. Bantuan luar negeri ini diberikan dalam bentuk hibah. Hibah ini diperuntukkan bagi pengembangan wilayah kerja panas bumi pada wilayah Seulawah Agam. Tujuannya adalah untuk mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi yang terdapat di Aceh hingga mencapai 1 x 55 MW. Bantuan dana hibah dari Pemerintah Jerman (KFW/German Development Bank) berjumlah sebesar 7,72 juta Euro untuk kegiatan eksplorasi dan pinjaman lunak sebesar 56 juta Euro untuk kegiatan eksploitasi. Bantuan luar negeri ini sudah dimulai sejak tahun 2009 dan telah disahkan pada tahun 2012. Sekarang, semua proses administrasi sedang berjalan berikut tahap tender.37 Di Provinsi Kalimantan Tengah, sampai saat ini, baru terdapat satu negara yang telah memberikan bantuan berbentuk hibah dalam mengembangkan energi baru terbarukan, yakni Pemerintah Finlandia. Bantuan ini telah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan Finlandia melalui program Energi and Environment Partnership (EEP). Program EEP ini sudah dimulai sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2014. Manfaat dari program ini adalah Pemerintah Finlandia dapat membiayai kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pengembangan sumber energi baru terbarukan mulai dari Pelatihan, Pembangunan sampai dengan pemeliharaan namun penyalurannya harus melalui lembaga swasta atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berbadan hukum.38
37
38
Bahan Tertulis dari Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh di Banda Aceh tanggal 14 Mei 2013. Ibid.
20
BAB VI KESIMPULAN
Indonesia memiliki potensi besar dalam sumber energi baru terbarukan. Untuk pengembangannya, pemerintah melakukan upaya-upaya antara lain mengadakan pendekatan pada investor, baik dalam maupun luar negeri. Pendekatan ini telah berhasil dilakukan karena sudah ada beberapa investasi yang berasal dari luar negeri bahkan terdapat juga bantuan luar negeri. Kini tinggal bagaimana pemerintah mengelola bantuan luar negeri itu agar potensi yang dimiliki Indonesia dapat termanfaatkan dengan baik. Selain cara mengelola bantuan luar negeri, Pemerintah juga perlu mempertimbangkan beberapa kendala yang harus dihadapi Indonesia seperti besarnya biaya teknologi yang dibutuhkan, kurangnya koordinasi diantara kementerian terkait, minimnya infrastruktur, terbatasnya lokasi pengembangan potensi sumber energi baru terbarukan, serta kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai sumber energi baru terbarukan. Pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas pun sudah diupayakan melalui pelatihan dan pendidikan mengenai potensi sumber energi baru terbarukan di Indonesia. Upaya lainnya yang telah dilakukan adalah memberikan informasi kepada masyarakat bahwa wilayah tempat tinggal mereka dan sekitarnya punya potensi sumber energi baru terbarukan yang sangat besar dan perlu dikembangkan sehingga mereka pun nantinya akan mendapatkan manfaatkan dari sumber energi tersebut.
21
DAFTAR PUSTAKA
Buku Rachmawan Budiarto, “Kebijakan Energi; Menuju Sistem Energi yang Berkelanjutan”, (Yogyakarta: Penerbit Samudera Biru, 2011)
Mukhlis Akhadi, “Ekologi Energi; Mengenali Dampak Lingkungan dalam Pemanfaatan Sumber-sumber Energi”, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009)
Koran “Energi; Kurang Listrik di Negeri Penuh Terik Matahari”, Kompas, 4 Maret 2013 “Energi Listrik dari Sampah Potensial”, Kompas, 6 Maret 2013
““Lanfdil” Sampah Hasilkan Listrik Ramah Lingkungan”, Suara Pembaruan, 6 Maret 2013 “Pemanfaatan Sampah untuk energi Alternatif Minim”, Media Indonesia, 6 Maret 2013 Refi Kunaefi, “Potensi Energi Terbarukan”, Republika, 4 April 2013
“Energi Terbarukan Modal Pembangunan”, Media Indonesia, 20 April 2013 “Energi Terbarukan; Biosolar Dinilai Berpeluang”, Kompas, 2 Mei 2013
“Dongkrak pasokan melalui Diversifikasi Energi”, Media Indonesia, 22 Mei 2013 “Gas dan Panas Bumi Terhambat Infrastruktur”, Kompas, 20 Juni 2013 “Optimalkan Geothermal”, Kompas, 9 Juli 2013
“Target Kapasitas Terpasang 150 Megawatt”, Kompas, 13 Juli 2013 “Panas Bumi; Warga Khawatir Merusak”, Kompas, 23 Juli 2013
23
Bantuan Luar Negeri di Bidang Energi Baru Terbarukan
Internet “Upaya Mengentaskan kemiskinan Energi di Indonesia: Hambatan dan Solusi”, dikutip dari http://www.iesr.or.id/2012/06/upaya-mengentaskankemiskinan-energi-di-indonesia-hambatan-dan-solusi/ tanggal 10 Mei 2013.
Hans Morgenthau, “A Political Theory of Foreign Aid”,hal 301-302, dalam The American Political Science Review Vol 56, No. 2 (Jun., 1962), hal. 301, dikutip dari http://www.jstor.org/discover/10.2307/1952366?uid=2129&uid= 2&uid=70&uid=4&sid=21102516185287.pdf tanggal 1 Agustus 2013. Dokumen Bahan tertulis Focus Group Discussions Peneliti Sekretariat Jenderal DPR RI dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tanggal 8 Mei 2013 di Jakarta.
Maritje Hutapea, “Pengembangan Energi Baru dan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) untuk mewujudkan Green Economy dan Mencapai Sustainable Development Goals”, bahan Tertulis Focus Discussion Group Peneliti Setjen DPR RI dengan Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral di jakarta tanggal 8 Mei 2013.
Bahan Tertulis Focus Group Discussion Peneliti Sekretariat Jenderal DPR RI dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada tanggal 13 Mei 2013 di Jakarta. Jawaban tertulis dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta.
Jawaban tertulis dari Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh, tanggal 14 Mei 2013 di Banda Aceh. Bahan Tertulis dari Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh di Banda Aceh tanggal 14 Mei 2013. Bahan Tertulis dari Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Tengah di Palangkaraya tanggal 18 Juni 2013.
Wawancara Wawancara dengan Dede dan Azhar, World Wide Fund Aceh di Banda Aceh pada tanggal 13 Mei 2013 Wawancara dengan Sayadi dan Nanda Yuniza, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Aceh di Banda Aceh pada tanggal 13 Mei 2013 24
IMPLEMENTASI PENGELOLAAN HUTAN SECARA BERKELANJUTAN MELALUI KERJA SAMA LUAR NEGERI Humphrey Wangke*
*
Peneliti Bidang Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI.
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Pembangunan berkelanjutan merupakan sebuah konsep yang sifatnya integratif yaitu perpaduan antara pendekatan ekonomi, sosial dan ekologis dalam satu kesatuan analisis. Atau dengan kata lain keberlanjutan merupakan sebuah proses pembangunan yang bersifat integratif yang dapat dijadikan sebagai kerangka analisis dalam proses pengambilan keputusan mulai dari kebijakan yang dihasilkan, perencanaan sampai dengan program. Evaluasi keberlanjutan yang bersifat integratif dapat dilakukan melalui berbagai cara, misalnya dengan merancang agar terdapat keterkaitan antara masalah yang muncul di tingkat global dengan di tingkat lokal. Evaluasi keberlanjutan juga mempunyai potensi besar untuk membuat suatu hubungan antara penilaian yang bersifat strategis dengan penilaian di tingkat proyek. Tantangan terhadap pembangunan berkelanjutan tidak mudah untuk diatasi. Masalah pertama yang perlu penanganan segera adalah kemiskinan. Indonesia memang telah melakukan berbagai upaya mengurangi kemiskinan tetapi yang berhasil dikurangi adalah jumlah angka kemiskinan sementara kesenjangan antara kaya dan miskin semakin dalam. Optimisme untuk mengurangi kemiskinan bisa ditunjukkan dengan keinginan pemerintah untuk mengurangi tingkat emisi karbon sampai 26 persen pada tahun 2020 tetapi dengan ekspektasi pertumbuhan ekonomi pada kisaran 7 persen. Masalah lain yang dihadapi Indonesia adalah jumlah penduduk yang terus meningkat sementara lapangan pekerjaan yang tersedia masih terbatas. Akibatnya adalah ekosistem lingkungan Indonesia menjadi taruhannya sebab kekayaan sumber daya alam menjadi sumber eksploitasi ekonomi. Deforestasi dan degradasi lahan akibat eksploitasi secara masif telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pengemisi CO2 terbesar di dunia. Sumber daya alam Indonesia yang dapat diperbarui seperti hutan mengalami kerusakan luar biasa. Kegiatan industri, terutama industri kayu, merupakan penyumbang terbesar laju deforestasi di Indonesia karena memperoleh bahan baku dari sumber-sumber yang legal maupun illegal.. Penebangan hutan di Indonesia mencapai 40 juta meter kubik setahun, sedangkan laju penebangan yang 27
Implementasi Pengelolaan Hutan
sustainable (berkelanjutan) hanya 22 juta kubik meter setahun, sisanya adalah illegal logging. Penyebab deforestasi terbesar kedua di Indonesia disumbang oleh alih fungsi hutan. Dari tahun 1985–1997 hampir 30% hutan yang ada di Sumatera hilang, sementara di Kalimantan, 21% dari hutan yang ada hilang. Pada tahun 1997, hanya 35% hutan di Sumatera (16,6 juta hektar) dan 60% hutan di Kalimantan (35,1 juta hektar) yang masih utuh.1 Namun tidak banyak yang menyadari bahwa kekayaan hutan Indonesia tidaklah sebatas kayu. Keanekaragaman flora fauna ini sangat bermanfaat terutama karena jasa ekologi yang dimilikinya.2 Hutan mempunyai arti penting untuk industri farmasi/kerajinan, pariwisata, dan ilmu pengetahuan. Di samping itu, hutan juga menjaga fungsi tata air, penyerap dan penyimpan karbon dioksida, serta sumber air bagi kebutuhan makhluk hidup. Hutan Indonesia bukan hanya kaya akan keanekaragaman hayati dan menyediakann jasa ekosistem yang penting bagi manusia tetapi juga memegang peranan penting bagi kehidupan masyarakat sekitar hutan maupun ekonomi nasional.3 Tidak ada satu negarapun yang dapat mengatasi tantangan pembangunan berkelanjutan secara mandiri. Karenanya, perlu solusi yang terintegrasi pada tingkat lokal, nasional, regional dan global. Baik negara maju maupun negara berkembang harus mampu mengembangkan kerja sama untuk mengatasi masalah pembangunan berkelanjutan. Demikian pula dengan kalangan pengusaha dan LSM harus mampu bekerja untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Semua stakeholder harus mengambil tindakan yang tepat dan membentuk basis bagi kemitraan internasional. Dengan latar belakang seperti itu, tulisan ini ingin menganalisis bagaimana implementasi pengelolaan hutan secara berkelanjutan agar menguntungkan semua stakeholeder. Dengan permasalahan seperti itu, penelitian ini mempunyai beberapa pertanyaan penelitian, yaitu: 1. Bagamana kondisi kehutanan di Provinsi Aceh dan Kalimanatan Tengah? 2. Apa kendala yang dihadapi kedua provinsi ini dalam melakukan pembangunan berkelanjutan? 3. Apakah melalui kerja sama internasional pengelolaan hutan secara berkelanjutan dapat tercapai?
1
2
3
Richard G. Dudley, “Dynamics of Illegal Logging in Indonesia”, dalam Colfer, Carol J. Pierce, and Ida Aju Praqdnja Resosudarmo, Ed., Which way forward? Forests, Policy and People in Indonesia, RFF, Washington, D. C., 2001, hal. 1. William F. Laurance, “Reflections on the tropical deforestation crisis”, Biological Conservation 91 (1999), hal. 110. Mark Broich, Matthew Hansen, Fred Stolle, Peter Potapov, Belinda Arunarwati Margono and Bernard Adusei, “Remotely sensed forest cover loss shows high spatial and temporal variation across Sumatera and Kalimantan, Indonesia 2000–2008”, Environment Resolution Letter. 6, 2011, hal. 2, doi:10.1088/17489326/6/1/014010.
28
Humphrey Wangke
B. KERANGKA PEMIKIRAN Terminologi pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan dalam sebuah laporan berjudul Our Common Future yang dibuat oleh World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987. Laporan itu mendenisikan pembangunan berkelanjutan sebagai: “development which meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs.”4 Inti dari pembangunan berkelanjutan adalah adanya konvergensi antara kepentingan ekonomi, sosial dan perlindungan lingkungan hidup dalam sebuah pembangunan. Ini berarti bahwa pembangunan berkelanjutan tidak hanya mempertimbangkan faktor-faktor kepentingan jangka pendek untuk mencari keuntungan ekonomi sebesar-besarnya tetapi juga memikirkan masa depan proyek tersebut dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan perlindungan lingkungan hidup. Didalam perjalanannya, pentingnya implementasi konsep pembangunan berkelanjutan didalam berbagai kegiatan bisnis juga menjadi perhatian dari John Elkington. Melalui bukunya yang terkenal Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century Business, John Elkington memperkenalkan pemikirannya tentang triple‐bottom‐line.5 Menurutnya, kegiatan bisnis akan berkelanjutan jika perusahaan memperluas tujuan kegiatan bisnisnya dengan melibatkan 3 hal penting, yaitu: 1. People, or human capital, yaitu praktik-praktik kegiatan bisnis yang jujur, etis dan menguntungkan baik bagi karyawan, komunitas maupun negara dimana perusahaan itu beroperasi; 2. Planet, or natural capital. Tujuan dari korporasi di abad 21 bukan hanya membantu melindungi lingkungan dengan menghasilkan produk yang ramah lingkungan tetapi juga memiliki program kerja di bidang lingkungan yang berkelanjutan. Hal ini berarti bahwa sebuah perusahaan didalam operasinya menggunakan sarana yang ramah lingkungan, mengurangi kerusakan lingkungan, hemat energi dan sedikit menggunakan bahanbahan yang tidak dapat didaur ulang serta menghasilkan sampah yang seminimal mungkin. 3. Profit. Perusahaan didalam kegiatan bisnisnya tetap harus menghasilkan keuntungan. Akan tetapi didalam kerangka pembangunan berkelanjutan, keuntungan bukan hanya harus dinikmati oleh perusahaan tetapi juga oleh karyawan dan masyarakat secara keseluruhan.
4
5
Untuk lengkapnya lihat, Gro Harlem Brundtland, The U.N. World Commissionon Environment and Development: Our Common Future, Oxford University Press, 1987. Lihat juga, Centre for Environment Education, Sustainable Development: An Introduction, Gujarat, India, 2007, hal. 12 Stephen Ashkin and Cynthia Schultz, The Triple Bottom Line The rise of the “sustainability” concept, ISSAToday, March/April 2009, hal. 1-7.
29
Implementasi Pengelolaan Hutan
Pembangunan berkelanjutan dengan kata lain melibatkan aspek sosial (masyarakat), tanggung jawab lingkungan (planet) dan pertumbuhan ekonomi (profit). Didalam praktiknya, hal ini berarti bahwa produsen, distributor dan penyedia fasilitas jasa harus dapat memastikan bahwa produk yang dihasilkan melalui proses pembangunan berkelanjutan yang tercermin dari ketiga komponen triple‐bottom‐line. Sementara didalam pandangan Konstantinos Papadokis, dengan definisi yang diberikan oleh Komisi Bruntland tersebut, pilar pembangunan berkelanjutan bukan hanya mencakup 3 pilar tetapi 4 pilar, yaitu: 6 sustainability, inter-generational equity, intra-generational equity, dan public participation. Sustainability atau berkelanjutan menghendaki perubahan tingkah laku konsumen yang didasarkan atas kepedulian terhadap produksi dan konsumsi yang tidak dibatasi. Intra-generational equity merupakan hubungan yang terjadi didalam suatu generasi yang mengarisbawahi bahwa penghapusan ketidaksetaraan antara negara-negara kaya dengan negaranegara miskin maupun antara orang-orang kaya dan miskin di setiap negara, merupakan syarat penting bagi keberhasilan implementasi berkelanjutan. Inter-generational equity merupakan hubungan antar-generasi yang mengacu pada gagasan bahwa generasi saat ini harus menyesuaikan kebiasaan mereka agar tercipta kehidupan yang kondusif bagi generasi berikutnya. Elemen partisipasi ini berkaitan dengan gagasan bahwa kelompokkelompok masyarakat yang tidak mampu dan terpinggirkan harus diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya terhadap lingkungan hidup, keadilan dan perhormatan terhadap hak asasi terlebih dahulu dibandingkan dengan pertimbangan ekonomi, didalam merumuskan kebijakan ekonomi nasional. Pemikiran tentang pembangunan berkelanjutan pada dasarnya ingin menempatkan masalah degradasi lingkungan kedalam pertimbangan ekonomi, akan tetapi sebenarnya kemajuan teknologi dan ekonomi lebih bersinggungan dengan masalah sosial. Meskipun secara konsep telah diterima secara luas, akan tetapi pembangunan berkelanjutan masih menghadapi berbagai tantangan dalam implementasinya. Kalangan pemerintahan dan bisnis masih memandang pembangunan berkelanjutan dari sisi ekonomi daripada lingkungan hidup, dalam mencapai standar hidup ataupun memutus mata rantai antara kemiskinan dan degradasi lingkungan. Karena itu, meskipun beberapa kemajuan telah tercapai tetapi implementasi pembangunan berkelanjutan
6
Konstantinos Papadakis, Socially sustainable development and participatory governance: legal and political aspects, International Institute for Labour Studies, Geneva, 2006, hal. 2
30
Humphrey Wangke
masih belum berhasil.7 Dunia hanya sedikit membuat kemajuan dalam meningkatkan kehidupan kelompok miskin, dan integrasi ketiga pilar pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan hidup masih menjadi tantangan besar saat ini. Upaya untuk mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan masih diletakkan pada sisi perencanaan ekonomi. Tidak adanya kepemimpinan internasional dan masing-masing sektor masih bergantung pada sektor yang lain, telah membatasi kemajuan implementasi pembangunan berkelanjutan. Negara-negara berkembang yang mempunyai keterbatasan untuk sumber-sumber keuangan dan teknologi, ataupun mengalami ketidakadilan dalam perdagangan, dapat dipastikan akan mengalami kesulitan dalam implementasi pembangunan berkelanjutan. Kebanyakan masyarakat yang miskin dan negara miskin tidak mempunyai akses yang cukup terhadap teknologi, infrastruktur, kualitas pengaturan-pengaturan yang tumpang tindih, serta lingkungan bisnis yang dapat mendukung implementasi pembangunan berkelanjutan. Meskipun pemerintah nasional telah mengembangkan strategi dan perencanaan pembangunan berkelanjutan, dan pemerintah daerah telah dilibatkan dalam inisiatif semacam itu, akan tetapi langkah-langkah semacam ini seringkali masih belum membawa perubahan yang berarti. Lemahnya implementasi pembangunan berkelanjutan itu sebagian karena tindakan yang diambil cenderung menekankan pada gejala-gejala terjadinya degradasi lingkungan, tidak langsung pada sumber permasalahan.8
7
8
John Drexhage and Deborah Murphy, Sustainable Development: From Brundtland to Rio 2012, United Nations, New York, September 2010, hal. 12 Jim MacNeill, Our Common Future: Advance or Retreat? Sustainable Development: A New Urgency, EcoLomics International, Geneva, 2007, hal. 5.
31
BAB II METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian lapangan (field research) ini menggunakan metode kualitatif untuk menjelaskan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh Provinsi Aceh dan Kalimantan Tengah melalui analisis data primer dan sekunder. Data primer adalah hasil-hasil pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara mendalam terhadap informan yang dipilih secara purposif. Sedangkan data sekunder adalah bahan-bahan tertulis yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Sifat penelitian ini deskriptif analitis, yakni melukiskan atau menggambarkan secara jelas jawaban atas permasalahan. Pengumpulan data pertama-tama dilakukan melalui studi kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder terkait dengan permasalahan yang diteliti. Setelah memperoleh data yang diperlukan, penelitian dilanjutkan dengan penelitian lapangan untuk memperoleh data primer melalui wawancara secara mendalam (in-depth interview) dengan pihak-pihak yang terkait yang dipilih secara acak dan survei lapangan. Pengumpulan data juga dilakukan melalui Focus Group Discussion baik di Jakarta maupun di tempat penelitian. Untuk mendapatkan data yang dinginkan, penelitian ini dilakukan di Provinsi Aceh dan Provinsi Kalimantan Tengah karena kedua provinsi ini menghadapi tantangan besar terkait dengan pembangunan berkelanjutan di sektor kehutanan. Hutan hujan tropis dengan keanekaragaman hayati bernilai tinggi (high biodiversity values) di kedua provinsi mengalami deplesi karena pemanfaatannya secara masif. Deforestasi semakin mengkhawatirkan sejak muncul peraturan yang membolehkan tambang di wilayah hutan lindung sebagaimana tertuang dalam Perpu No.1/2004 tentang Perubahan Atas UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang kemudian berubah menjadi UU No.19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang. Aktivitas perusakan ini melibatkan pejabat, aparat, dan masyarakat setempat. Konsekuensinya, upaya untuk menyelamatkan hutan menjadi sulit karena banyak pihak yang terlibat dan diuntungkan dari aktivitas pengelolaan hutan, yang sebenarnya hanyalah untuk kepentingan sesaat. 33
Implementasi Pengelolaan Hutan
Penelitian di Provinsi Aceh dilakukan pada tanggal 12 Mei - 18 Mei 2013 sedangkan Provinsi Kalimantan Tengah pada tanggal 17 Juni – 23 Juni 2013. Informan yang diwawancarai di kedua Provinsi ini antara lain Dinas Kehutanan, Dinas Pendapatan Daerah, Bappeda, Dinas Lingkungan Hidup, BKSDA dan WWF for Nature, Walhi dan Greenpeace.
34
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN Pada bagian ini, akan dijelaskan kondisi hutan di Provinsi Aceh dan Kalimantan Tengah dewasa ini, terutama potensi yang dimilikinya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa hutan di kedua provinsi ini menyimpan potensi yang sangat besar jika dilihat dari sisi ekologi, sosial dan ekonomi. Namun potensi itu mengalami deplesi seiring dengan pemanfaatannya yang tidak terukur. Kedua provinsi kini tengah berupaya mengembalikan fungsi kehutanan yang dimilikinya agar sesuai dengan potensi yang dimiliki. Upaya ini antara lain ditandai dengan telah disusunnya Strategi Daerah (Strada) untuk mengantisipasi proyek REDD+ di wilayahnya. Kedua provinsi juga tengah berupaya menyusun RTRWP agar pemanfaatan SDA yang dimilikinya dapat saling melengkapi. Upaya lain yang dilakukan adalah membentuk suatu lembaga pengelolaan yang mampu secara efektif mengatur pemanfaatan sumber daya alamnya. Semua langkah ini dilakukan agar pengelolaan dan pemanfaatan SDA dapat dilakukan secara berkelanjutan.
1. Kondisi Kehutanan dan Kelembagaan di Aceh Sesuai dengan SK Menteri Kehutanan Nomor 170/KPS-II/2000 tentang Penetapan Kawasan Hutan di Provinsi Aceh, luas tutupan hutan Aceh diperkirakan mencapai 3.549.813 hektar atau 57 persen dari total luas daratannya yang 5,7 juta hektar. Di dalam SK disebutkan bahwa kawasan hutan Aceh memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dan fungsi strategis sebagai sistem pendukung kehidupan masyarakat bagi pembangunan di daerah sekitarnya. Keanekaragaman hayati yang dimiliki hutan Aceh sangat beragam mulai dari tumbuhan langka seperti bunga Raflesia (Raflesia Arnoldy), bunga bangkai (Armorphophalus Titanium), berbagai jenis anggrek langka, berbagai jenis buah-buahan dan tanaman obat-obatan yang memiliki arti penting bagi kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat. Satwa langka yang dapat ditemui di hutan Aceh antara lain Harimau Sumatera (Pantera Tigris Sumatrae), Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatrensis), Orangutan (Pongo Abelii) dan Badak Sumatera (Dicerorhinus Sumatrensis). Selain itu tercatat lebih dari 200 jenis mamalia dan lebih dari 400 jenis burung. 35
Implementasi Pengelolaan Hutan
Dari luasan hutan tersebut, ada dua kawasan hutan yang sangat penting bagi masa depan keanekaragaman hayati dan sistem pendukung kehidupan masyarakat karena nilai ekologis yang dimilikinya. Pertama adalah Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yaitu suatu kawasan kehutanan di Aceh yang memiliki luas mencapai 2,6 juta hektar dan merupakan kawasan hutan hujan tropis yang relatif masih utuh. KEL diperkirakan memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi dalam menunjang sistem pembangunan berkelanjutan. Nilai ekonomi ini antara dari berbagai kekayaan alam yang dapat diperbarui seperti kayu, rotan, damar terpentin, obat-obatan, bunga, dan buah-buahan. Selain itu, KEL juga memiliki nilai jasa ekologis yang sangat tinggi seperti memiliki fungsi hidrologi untuk menunjang pembangunan dan mencegah banjir. Jasa ekologis lainnya adalah sebagai pengatur iklim dan penyedia stok plasma nutfah. Keanekaragaman hayati KEL sangat berpotensi untuk dijual sebagai aset ekowisata. Kawasan ekosistem hutan lainnya yang dimiliki Aceh adalah Ulu Masen. Memiliki luas 750.000 hektar, Ulu Masen mempunyai nilai strategis sebagai daerah tangkapan air yang menunjang kehidupan penduduk sekitarnya. Beberapa tangkapan air yang penting antara lain Krueng Aceh, Krueng Teunom, Krueng Masen, dan Krueng Meureubo. Sebuah laporan yang komprehensif menyebutkan9, dengan luasan seperti itu, hutan Aceh kaya akan pohon kayu keras khas hutan topis basah seperti semaram, merbau, kruing, dan meranti, yang mempunyai harga tinggi di pasar internasional sehingga mendorong terjadinya pembalakan legal maupun ilegal dalam jumlah besar. Pembalakan ini dan konversi kawasan hutan untuk proyek pembangunan seperti jalan dan infrastruktur lainnya serta tanaman industri merupakan faktor utama terjadinya deforestasi dan fragmentasi hutan di Aceh. Rata-rata 21.000 hektar per tahun hutan Aceh hilang. Sepanjang tahun 2005-2006, Greenomics memperkirakan 266.000 hektar hutan hilang yang kebanyakan karena illegal logging. Sementara data lainnya menunjukkan dari tahun 1980 hingga tahun 2008 tidak kurang dari 914.422 hektar luas hutan yang sudah terkonversi (Tipereksa Aceh: 2008) Hilangnya hutan dan fragmentasi ini merupakan ancaman utama terhadap keanekaragaman hayati hutan di Aceh terutama untuk hewan besar yang memerlukan kawasan yang luas sebagai habitatnya. Laju pengurangan kawasan hutan yang cukup tinggi diikuti juga dengan peningkatan frekuensi bencana. Banjir, abrasi, longsor, konflik satwa, angin ribut dan kebakaran hutan semakin sering terjadi. Kondisi yang menunjukkan terjadi penurunan kualitas
9
Pemerintah Provinsi NAD bekerja sama dengan Fauna & Flora International & Carbon Conservation Pty. Ltd, Reducing Carbon Emissions from Deforestation in the Ulu Masen Ecosystem, Aceh, Indonesia, 2 November 2007, hal. 14.
36
Humphrey Wangke
lingkungan di Aceh, di samping juga pengaruh perubahan iklim. Permasalahan tersebut di tambah lagi dengan peningkatan pengangguran, terutama paska rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh karena hampir seluruh Badan Donor, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), termasuk juga Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) yang bekerja di Aceh berhenti beroperasi. Dibawah ini gambaran tingkat deforestasi di Aceh antara tahun 20062009 dan berpotensi meningkat seiring dengan keluarnya berbagai ijin pengusahaan pertambangan di wilayah kehutanan. Tabel 1 Tingkat Deforestasi di Aceh 2006-2009
Kondisi Hutan
2006
Tutupan Hutan
Deforestasi/tahun
Persentase Deforestasi Total Deforestasi Rata-rata per deforestasi
3.316.132,81
2007
Tahun
3.299.770,34 16.362,48 0,49
3.289.350,41 10.419,92
92.601,43
tahun
Sumber: Laporan Leuser International Foundation (2010).
2008
0,32
2009
3.223.531,39 65.819,03 2,00
30.867,14 (0,94)
Sumber ancaman lainnya terhadap deforestasi di Provinsi Aceh adalah tidak sinkronnya manajemen lembaga pengelolaan hutan antara pemerintah provinsi dan kabupaten, dan antara pemerintah provinsi dengan DPRA, terutama tentang luasan hutan yang berfungsi konservasi, lindung dan produksi. Beberapa kabupaten dengan alasan optimalisasi pembangunan, menginginkan pengalihan sebagian kawasan dengan fungsi konservasi, lindung dan produksi menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) yang pengelolaannya, termasuk perijinannya, menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten. Pada saat bersamaan terjadi pula konflik kepentingan antara eksekutif yang diwakili oleh gubernur dengan pihak DPRA Komisi D yang membidangi pembangunan dan tata ruang terkait luasan kawasan lindung dan kawasan budidaya di dalam RTRWP.
2. Kondisi Kehutanan dan Kelembagaan di Kalimantan Tengah Luas wilayah Kalimanatan Tengah sekitar 15 juta hektar, 70 persen diantaranya merupakan hutan. Provinsi ini juga masih mempunyai sekitar 3 juta hektar hutan gambut. Potensi keanekaragaman hayati dan jasa ekologis yang dimilikinya sangat besar. Kawasan tangkapan airnya merupakan lahan pertanian yang subur di samping sebagai penyimpan sumber energi bagi masyarakat. Tingkat pertumbuhan ekonomi Kalimantan Tengah sekitar 6 persen, tapi berasal dari praktik-praktik pertanian dan pertambangan yang tidak 37
Implementasi Pengelolaan Hutan
berkelanjutan. Agar menjadi provinsi hijau, Kalimantan Tengah harus mampu menghentikan sumber-sumber ekonomi produktif tetapi merusak lingkungan itu dan segera beralih pada pembangunan yang rendah emisi karbon. Tingginya deforestasi dan intensitas kebakaran hutan dan gambut di Kalimantan Tengah dapat dilihat dari data yang dikeluarkan WWF dibawah ini: No 1 2 3 4 5
Tabel 2 Tingkat Deforestasi di Kalimantan Tengah (1996-2006) Tahun 1990 1996 2000 2003 2006
Sumber: WWF, 2010
Luas (Ha)
11.429.003 11.028.628 9.429.653 9.049.900 8.740.004
Deforestasi (Ha)
-
400.375
1.598.975 379.753 309.896
Tingginya tingkat deforestasi di Kalimantan Tengah juga dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Borneo Orangutan Survival (BOS) dan LSM Mawas terhadap kondisi kehutanan di Blok E bekas proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah.10 Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh BOS dan LSM Mawas pada tahun 2006-2007 diketahui sebanyak 60.997 batang kayu diangkut dari kawasan Blok E proyek PLG. Panjang rata-rata kayu yang diangkut adalah 4 meter dengan diameter rata-rata 25 cm yang berarti 9.145 meter3 kayu ditebang. Bila diasumsikan bahwa rata-rata tingkat densitas pohon di hutan gambut adalah 30 meter3 per hektar, maka tingkat deforestasi di kawasan itu paling sedikit mencapai 3000 hektar per tahun. Jika diperkirakan bahwa kawasan hutan di lahan gambut Blok E tersisa 50.600 hektar dan illegal logging tidak dihentikan, maka kawasan hutan yang tersisa akan habis dalam tempo 15 tahun. Data lainnya yang memperlihatkan semakin berkurangnya luasan tutupan hutan di Kalimantan Tengah terjadi pada tanggal 31 Mei 2011 ketika Menteri Kehutanan Zulkifili Hasan melepas 1,17 juta hektar kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.292/Menhut-II/2011. Dari 1,17 juta hektar kawasan hutan yang dilepas menjadi bukan kawasan hutan tersebut, lebih dari 1 juta hektar di antaranya atau mencapai 89,24%, adalah areal konsesi sawit yang mencapai 511 blok konsesi. Dalam Kepmenhut No. SK.292/Menhut-II/2011 tersebut, Hutan
10
CKPP Consortium, Provisional Report of the Central Kalimantan Peatland Project, dalam http://ckpp.wetlands.org/Portals/16/CKPP%20products/CKPP%20Provisional%20 Report%20ENG%20final.pdf November 2008, hal. 15.
38
Humphrey Wangke
Produksi (HP) yang dilepas menjadi bukan kawasan hutan mencapai 333.261 hektar, sedangkan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang dilepas seluas 101.157 hektar. Di samping itu, Hutan Produksi Konversi (HPK) yang dilepas menjadi bukan kawasan hutan mencapai 734.238 hektar. WWF melihat jika managemen hutan di Kalimantan Tengah masih seperti sekarang maka pada tahun 2020 hutan di Kalimantan Tengah diperkirakan akan habis. Pemerintah provinsi Kalimantan Tengah memang telah memperlihatkan kesungguhan untuk menyelamatkan hutan di wilayahnya dengan kekuatan sendiri. Hal ini bisa dilihat dari 3 perkembangan penting yaitu: 1). Instruksi Gubernur tentang pelarangan membakar hutan dan gambut, 2). Revitalisasi sejuta hektar gambut, 3). Strategi Daerah tentang Pembangunan Berkelanjutan. Namun dalam perspektif WWF11, semua yang dilakukan itu kurang terintegrasi, lebih bersifat reaktif, dan tidak bersifat jangka panjang. Gubernur memang telah melarang melakukan pembakaran hutan dan gambut, tetapi tidak memberikan jalan keluar yang harus dilakukan masyarakat jika tidak boleh membuka hutan dengan membakar. Belum ada upaya dari pemerintah provinsi untuk misalnya melakukan pemanfaatan hutan dan gambut melalui teknologi baru, serta mempersiapkan SDM yang berkualitas yang menguasai teknologi baru tersebut. B. PEMBAHASAN 1. Kendala Koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Sebuah analisis menyebutkan bahwa tidak ada hubungan langsung antara desentralisasi/otonomi daerah dengan deforestasi, sebab deforestasi pada kenyataannya telah terjadi sejak jaman pemerintahan kolonial Belanda.12 Namun di masa otonomi daerah, dinamika deforestasi telah memperlihatkan hasil yang luar biasa. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 dan lemahnya pemerintah yang terbentuk pada masa awal otonomi daerah telah memberikan kontribusi terjadinya deforestasi. Kuat atau lemahnya pemerintah berdampak terhadap manajemen kehutanan karena berkaitan dengan korupsi yang terjadi di sektor kehutanan.13
11
12
13
Rasenda Ch. Kasih, Program Manager WWF Indonesia Kalimantan Tengah, wawancara di Palangkaraya, 19 Juni 2013. Krystof Obidzinski, “Illegal Logging and the Fate of Indonesia’s Forests in Times of Regional Autonomy”, draft makalah untuk diskusi panel “Nontrivial Pursuits: Logging, Profits and Politics in Local Forest Practices in Indonesia” pada pertemuan ke-10 Biennial Conference of the International Association for the Study of Common Property (IASCP), Oaxaca, Mexico, 9-13 August 2004CIFOR, Bogor, 10 Mei 2004, hal. 5 J. Smith, K. Obidzinski, Subarudi and I. Suramenggala, “Illegal logging, collusive corruption and fragmented governments in Kalimantan, Indonesia”, International Forestry Review 5 (3), 2003, hal. 294.
39
Implementasi Pengelolaan Hutan
Pemerintahan yang terbentuk paska runtuhnya pemerintahan Presiden Soeharto sangat mempengaruhi percepatan proses deforestasi dan degradasi lingkungan. Salah satu penyebabnya adalah ketidakjelasan pemerintah pusat dalam memberikan arahan tentang implementasi Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) sehingga dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk menggunakan inisiatifnya melakukan pengaturan atas beroperasinya kedua ijin konsesi penebangan itu. Konsekuensinya pemerintah daerah banyak mengeluarkan peraturan daerah terkait IUPHHK dan HPHH. Ada dua kategori konsesi untuk pemanfaatan kayu di hutan alam yaitu Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan HPHH. Pemerintah pusat terlihat masih enggan untuk sepenuhnya menyerahkan pada pemerintah daerah tentang pengelolaan hutan. Seperti hak pengusahaan hutan (HPH) yang masih dikelola pemerintah pusat tanpa melibatkan pemerintah dan masyarakat daerah. Sementara pemerintah daerah memiliki HPHH yang kemudian diganti dengan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK). Tidak adanya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan hutan berakibat tingginya tingkat deforestasi di Indonesia. Sebuah perkiraan yang sangat spektakuler menyebutkan bahwa setiap tahun Indonesia kehilangan 2,76 juta hektar atau 3 persen dari luasan hutan.14 Ketidakjelasan koordinasi pada akhirnya melahirkan konflik pengelolaan hutan antara masyarakat sekitar hutan, pemerintah daerah dan pemerintah pusat.15 Sebuah indikasi siapa saja aktor-aktor yang terlibat dalam deforestasi. Sementara penegakkan hukum lemah karena akses untuk memanfaatkan hutan sangat mudah (open access). Pembalakan liar akhirnya menjadi penyebab utama deforestasi karena hampir 70 persen dari produk kayu yang dihasilkan tidak dilengkapi dengan surat-surat. Tabel dibawah memperlihatkan perbandingan tingkat deforestasi di beberapa negara lihat tabel dibawah ini. Negara
Brazil Cina
14
15
Tabel 3 Perbandingan tingkat pembalakan liar di beberapa negara Sumbangan terhadap kayu dunia (persen)
6,8 8,2
Proporsi produksi kayu illegal (persen)
20-47 30
Indeks Korupsi (dari 180 negara)
80 72
Luke Lazarus Arnold, ‘Deforestation in Decentralised Indonesia: What’s Law Got to Do with It?’, 4/2 Law, Environment and Development Journal (2008), terutama bab IV. Sven Wunder, Bruce Campbell, P. G. H. Frost, J. A. Sayer, R. Iwan, and L. Wollenberg, “When donors get cold feet: the community conservation concession in Setulang (Kalimantan, Indonesia) that never Happened, Ecology and Society 13 (1): 12, 2008, hal. 6.
40
Humphrey Wangke Indonesia
2,9
70-80
126
Federasi Rusia
5,8
10-50
147
12,4
<1
Papua New Guinea Kepulauan Solomon
Amerika Serikat
0,2
70
0,03
151 109 18
Sumber: Krystof Obidzinski dan Ahmad Dermawan, Control of illegal logging in Indonesia: progress and challenges for effective implementation of REDD+, makalah, AFP Bali, 5-6 Augustus 2010.
Pergeseran pengelolaan hutan dari sistem sentralisasi ke desentralisasi telah memberikan keuntungan finansial untuk stakeholder yang berada di daerah seperti pemerintah daerah, masyarakat lokal dan perusahaan. Secara negatif, desentralisasi pengelolan hutan bukan hanya menimbulkan kebingungan tetapi juga korupsi.16 Terutama karena pemerintah daerah memperoleh pajak daerah dari kegiatan perkayuan. Positifnya, beberapa kegiatan ekonomi tumbuh dari pengelolaan hutan yang berada di sekitar mereka. Desentralisasi juga melahirkan beberapa masalah.17 Masalah yang paling jelas terlihat adalah munculnya konflik vertikal antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat tentang pemberian ijin pengelolaan hutan, dan konflik horisontal antara para stakeholder yang terlibat dalam kegiatan di sektor kehutanan. Otonomi daerah telah memberikan hak kepada masyarakat sekitar hutan untuk mengelola hutan, namun hal ini justru membuka ruang bagi beberapa kelompok masyarakat untuk mengungkapkan akumulasi kekecewaan mereka terhadap pemerintah orde baru yang selama berkuasa membatasi keterlibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan dan pembagian keuntungan. Beberapa kelompok masyarakat seringkali terlibat konflik kepemilikan dan pemanfaatan lahan dengan perusahaan perkebunan. Konflik ini dilakukan kedua belah pihak dengan menggunakan api untuk membersihkan lahan dan memperlihatkan klaim mereka atas lahan tersebut dengan melakukan penanaman. Dalam kasus yang lain, masyarakat lokal memperoleh imbalan keuangan, pekerjaan, dan sekolah sebagai ganti terlibat dalam kegiatan perkayuan.18
16
17
18
Lihat, Blaser, J., Sarre, A., Poore, D. & Johnson, S., Status of Tropical Forest Management 2011. ITTO Technical Series No 38, International Tropical Timber Organization, Yokohama, Jepang, 2011, hal, 184 Yasmi, Y. Institutionalization of conflict capability in the management of natural resources: Theoretical perspectives and empirical experience in Indonesia, PhD Thesis Wageningen University, Wageningen, Netherlands, 2007, ISBN 978-90-8504-720-9, hal. 23-24 Sven Wunder, et al., Op. Cit.
41
Implementasi Pengelolaan Hutan
Namun tidak jarang perusahaan perkayuan juga melakukan kolusi dengan masyarakat sekitar hutan agar dapat mengelola hutan yang menjadi milik masyarakat setempat yang berarti memperoleh konsesi yang lebih luas.19 Kolusi semacam ini menguntungkan perusahaan karena membayar royalti dan ongkos perijinan yang lebih sedikit tetapi mempercepat proses deforestasi. Meskipun otonomi daerah telah meningkatkan jumlah masyarakat lokal yang menerima keuntungan dari kegiatan bisnis perkayuan, akan tetapi sebenarnya mereka menerima bagian yang sangat kecil karena kesepakatan tidak sepenuhnya dihormati oleh perusahaan dan keuntungan tidak dibagi secara merata. Proses pelemahan masyarakat sekitar hutan ini secara perlahan merusak upaya memajukan pengelolaan hutan secara berkelanjutan sebab banyak pemilik konsesi yang menebang pohon diluar batas wilayah konsesinya. Ketidakjelasan peraturan ditambah dengan sikap aparat yang kolusif dan masyarakat sekitar hutan yang masih terjebak pada eforia otonomi membuat perusahaan semakin sulit diharapkan untuk menerapkan paradigma pembangunan berkelanjutan. Bukan hanya pemerintah pusat saja tetapi semua stakeholder bertanggungjawab terhadap deforestasi dan degradasi lingkungan. 2. Komitmen Pengelolaan Hutan Secara Berkelanjutan Dalam konteks SDGs, hutan tidak dapat dipandang sebagai kumpulan pohon saja tetapi juga nilai-nilai sosial, ekonomi dan ekologi. Karena itu menarik untuk diketahui bagaimana Provinsi Aceh dan Kalimantan Tengah menerapkan nilai-nilai pembangunan berkelanjutan di maksud. Tata kelola hutan secara berkelanjutan tidak dapat dipisahkan dari kondisi sosial masyarakat. Faktor kemiskinan seringkali ditunjuk sebagai sumber masalah terjadinya illegal logging. Bagaimana kaitan antara kemiskinan dengan deforestasi? Kemiskinan secara umum didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk mencapai standar minimum kehidupan.20 Definisi ini kemudian berkembang atau diperluas dengan mengaitkannya pada keterbatasan terhadap akses memperoleh air bersih, tingkat melek huruf, dan bahan bakar. Karena keterbatasannya, orang-orang miskin tersebut menjadi sangat tergantung
19
20
Hanya sedikit korporasi yang mau memperhatikan masalah lingkungan hidup, misalnya dengan menggunakan bukdozer untuk membersihkan hutan. Korporasi juga membangun kebutuhan sarana transportasi untuk klancaran proyek. Tetapi cara ini justru mengundang masyarakat sekitar hutan untuk masuk hutan. Untuk lengkapnya, baca, Rhett A. Butler1 and William F. Laurance, New strategies for conserving tropical Forests, dalam Trends in Ecology and Evolution Vol.23 No.9, 24 Juli 2008, hal. 470. Lihat, World Bank, World Development Report, Poverty—world development indicators, Oxford University Press, 1990.
42
Humphrey Wangke
pada kekayaan lingkungan alam dan sumber-sumber alam seperti tanah, pohon dan air. Hutan merupakan sumber daya alam yang paling banyak dimanfaatkan oleh orang-orang miskin sebagai sumber kehidupan dalam berbagai bentuk.21 Bagi jutaan orang miskin yang tinggal di sekitar hutan, mengumpulkan, mengangkut dan menjual hasil dari hutan merupakan bagian dari strategi mereka untuk bertahan hidup. Tidak mengherankan bila Bank Dunia memperkirakan pemerintah termiskin di dunia mengalami kerugian hingga 15 miliar dolar AS.22 Karena itu, untuk mencegah deforestasi dan degradasi lahan, pemerintah Aceh melibatkan lebih banyak masyarakat antara lain dengan memberlakukan hutan adat, hak ulayat serta melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dari kalangan adat yang dikenal dengan istilah panglima hutan. Di Provinsi Aceh, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan dilakukan karena banyak masyarakat yang telah menetap di kawasan hutan secara turun temurun.23 Mereka telah menjadikan hutan sebagai bagian dari kehidupannya bukan hanya secara ekonomi tetapi juga sebagai kegiatan ritual adat. Pemerintah Aceh juga menyediakan dana pemberdayaan masyarakat antara 50-100 juta se tahun. Di samping itu, masyarakat disadarkan agar memanfaatkan sumber-sumber hutan nonkayu yang dapat diperbarui saja seperti seperti rotan, damar, bambu, terpentin (getah tusam), getah kruing, obat-obatan, bunga komersial, dan buah-buahan. Pendekatan ini dilakukan karena hutan Aceh memiliki jasa ekologis yang sangat beragam mulai dari fungsi hidrologis yang sangat penting sebagai sumber energi listrik dan sumber air bersih untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga, industri maupun pertanian sampai dengan kemampuan menyerap karbon. Jasa ekologis lainnya adalah sebagai penyedia plasma nutfah sampai dengan kepentingan ekowisata. Mengingat pentingnya fungsi hutan, Dinas Sosial dan Transmigrasi Lokal telah berusaha membuat kawasan pemukiman baru bagi transmigran lokal misalnya untuk kawasan adat terpencil di Gayo Luwes. Pembinaan semacam ini dilakukan agar tidak ada illegal logging di kawasan adat terpencil. Mantanmantan combatan juga dibantu kesejahteraannya agar tidak merusak hutan. Pemerintah Provinsi juga mengeluarkan Program Pembangunan Risiko Bencana yang tujuannya agar masyarakat tidak menebang hutan secara liar.
C. K. Sreedharan and Jagannadha Rao Matta, “Poverty alleviation as a pathway to sustainable forest Management”, Environ Dev Sustain, Vol. 12, 2010, hal. 879. 22 Lihat, Penegakan Hukum, Tata Kelola, dan Perdagangan Sektor Kehutanan-Pendekatan Uni Eropa, dalam Ringkasan Kebijakan 2 EFI, terjemahan, European Forest Institute, 2008, diunduh dari http://www.efi.int/files/attachments/publications/efi_policy_brief_2_in_ net.pdf, tanggal 17 September 2013. 23 Penjelasan Monty Syurga dari KSDA Aceh, tanggal 14 Mei 2013 di Banda Aceh. 21
43
Implementasi Pengelolaan Hutan
Langkah lain yang dilakukan Provinsi Aceh adalah dengan menghentikan pembukaan lahan baru (moratorium) untuk perkebunan kelapa sawit. Pemerintah Provinsi Aceh telah melakukan hal ini sejak Irwandi Jusup menjadi Gubernur melalui instruksi Gubernur Aceh No. 05/Inst/2007. Peningkatan produksi dilakukan dengan intensifikasi bukan dengan perluasan lahan. Pembukaan lahan hutan dilakukan tanpa melihat dari sisi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) tetapi keseluruhan ekosistem di kawasan itu. Cara seperti ini dilakukan agar tidak merusak mata rantai ekosistem di hutan yang dapat mengancam keanekaragaman hayati. Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan mendapat dukungan dari Rasenda Ch. Kasih dari WWF Kalimantan Tengah. Menurutnya, mengajak masyarakat agar ikut merawat hutan yang ada di sekitarnya sangat penting karena mempunyai nilai-nilai lokal (local wisdom) seperti tidak serakah memanfaatkan hutan.24 Di samping itu, terdapat solidaritas tinggi diantara masyarakat sekitar hutan untuk selalu memelihara hutan sebab secara tradisional mereka memahami bagaimana menyelamatkan hutan. Namun sayangnya, menurut Rasenda Ch. Kasih, pemerintah provinsi kurang memberikan sosialisasi tentang pemanfaatan hutan secara berkelanjutan sehingga masih banyak masyarakat yang masuk hutan untuk mencari kayu. Namun di Provinsi Kalimantan Tengah, perusahaan kehutanan dituntut mempunyai tanggung jawab sosial melalui dana CSR untuk melakukan pelestarian hutan. Dengan demikian masyarakat setempat ikut terbantu dengan adanya bantuan perusahaan tersebut. Di Kalimantan Tengah, setiap HPH dituntut menyisihkan 5% dari kuota yang dimilikinya untuk pelestarian. Dengan cara seperti ini kebutuhan kayu di Kalimantan Tengah bisa terpenuhi termasuk untuk REI. Kebijakan seperti ini efektif dijalankan untuk Palangkaraya, Kabupaten Kapuas dan Murungraya. Sanksi yang dijatuhkan adalah pencabutann ijin HPH jika ketentuan ini tidak terpenuhi. Sayangnya Provinsi Kalimantan Tengah belum berinisiatif melakukan moratorium atau intensifikasi produksi sebab masih banyak pengusaha HPH atau HTI yang lari dari tanggung jawab melakukan revitalisasi hutan. Masalahnya belum ada sanksi bagi pengusaha hutan yang tidak melakukan revitalisasi hutan sebab belum ada definisi apa yang dimaksud dengan hutan yang rusak. Dilihat dari sisi ini, urgensi RTRWP semakin mendesak karena menjadi kunci untuk mengetahui daya dukung infrastruktur. Tata ruang harus segera dibenahi karena terkait langsung dengan masa depan Kalimantan Tengah. Upaya mitigasi maupun adaptasi dijalankan secara seimbang agar kepentingan ekologis, ekonomi dan sosial sesuai dengan tingkat kerentanan masyarakat sekitar hutan. Namun sayangnya upaya yang dilakukan kedua
24
Program Manager WWF, Rasenda Ch, Kasih, wawancara di Palangkaraya 19 Juni 2013.
44
Humphrey Wangke
provinsi terlihat masih belum responsif, mainstream masih bersifat sektoral di tingkat pusat. Perdagangan karbon yang dirumuskan dalam bentuk REDD+ lebih dilihat secara fisik, lebih kepada uang yang akan diterima, daripada tanggung jawab yang melekat. Padahal, tanggung jawab yang harus dilakukan pemerintah provinsi, baik di Aceh dan Kalimantan Tengah lebih mengarah pada Green Economic daripada sustainable development mengingat tingkat kerusakan hutan di kedua provinsi tersebut. 3. Pengelolaan Hutan Secara Berkelanjutan Melalui Kerja Sama Luar Negeri Mengapa setiap orang harus mendapat uang atau hadiah untuk tidak merusak hutan yang merupakan bagian dari ekosistem global? Jawaban dari pertanyaan itu adalah kombinasi dari ketiga hal dibawah ini:25 • Kemiskinan telah membuat orang melakukan deforestasi dan degradasi lahan karena itu perlu dibantu untuk mengembangkan sumber kehidupan yang berkelanjutan; • Beberapa negara yang melakukan deforestasi di masa lampau kini telah menjadi negara kaya; • Setiap negara mempunyai komitmen bekerja sama melindungi lingkungan dan mengurangi emisi, tetapi ada “opportunity cost” yang harus dikompensasikan. Terkait dengan ketiga hal tersebut, negara-negara maju yang tergabung dalam Uni Eropa terdorong untuk membantu negara yang memiliki hutan tropis seperti Indonesia agar tidak mengalami deforestasi lebih lanjut. Upaya penyelamatan hutan yang diingini oleg uni eropa mendapat sambutan yang baik dari Provinsi Aceh maupun Kalimantan Tengah. Walaupun kerja sama ini masih dalam bentuk proyek akan tetapi memiliki prospek yang sangat baik mengingat kedua belah pihak memiliki komitmen untuk memperbaiki kondisi hutan yang rusak. Kerja sama luar negeri yang dapat ditemui di Provinsi Aceh, antara lain dalam bentuk Aceh Forest and Environment Project (AFEP). Tujuan dibentuknya AFEP adalah untuk menciptakan keseimbangan antara perlindungan hutan, keuntungan ekonomi dan kebutuhan sosial bagi masyarakat sekitar hutan. Melalui AFEP ini diharapkan 3,3 juta hektar ekosistem hutan di KEL dan Ulu Masen dapat terhindar dari pembalakan liar. Meskipun hanya berbentuk proyek, akan tetapi kerja sama ini memperlihatkan kemampuan provinsi Aceh untuk melakukan pembangunan yang berkelanjutan.
25
Meine van Noordwijk, Herry Purnomo, Leo Peskett and Bambang Setiono, “Reducing emissions from deforestation and forest degradation (REDD) in Indonesia: options and challenges for fair and efficient payment distribution mechanisms”, Working paper 81, World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia, 2008 hal. 9.
45
Implementasi Pengelolaan Hutan
Melalui AFEP pula, organisasi nirlaba seperti Fauna and Flora International telah melakukan pelatihan terhadap mantan pejuang GAM (combatan), pelaku pembalakan liar, dan pemburu satwa yang dilindungi, menjadi masyarakat penjaga hutan. Untuk mengubah mentalitas mereka dari pembalak liar atau pemburu hewan yang dilindungi menjadi seorang konservasionis, mereka harus menjalani pelatihan selama 10 hari. Untuk kegiatan pelestarian hutan ini, Uni Eropa telah memberi bantuan 5,02 juta Euro atau 37,5 persen dari total biaya yang dibutuhkan. Sejak tahun 2006, pemerintah daerah telah mengambil tindakan terhadap pelaku kegiatan pembalakan liar dan menyita kayu hasil pembalakan liar dan peralatan yang digunakan. Pada tingkatan masyarakat, upaya pembangunan berkelanjutan antara lain dilakukan dengan mendukung proses perencanaan tata ruang dan menyediakan bibit untuk meningkatkan swasembada pangan berbasis masyarakat. Untungnya banyak orang Aceh yang bangga dengan potensi hutan mereka yang luarbiasa sehingga memiliki keinginan besar untuk mempertahankannya. Hutan Aceh harus diselamatkan bukan hanya karena nilai-nilai intrinsik dan budaya dari hutan itu sendiri tetapi juga karena menjadi penyedia dukungan ekologis yang akan meembantu pemulihan, pembangunan dan kemakmuran Aceh di masa depan. Dukungan jasa ekologis yang disediakan hutan Aceh bagi masyarakat Aceh antara lain mencakup: penyediaan air bagi kegiatan industri dan pertanian; membantu mitigasi bencana seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan; keanekaragaman hayati; perikanan dan sebagai penyimpan karbon. Keberadaan Proyek AFEP sesuai dengan komitmen masyarakat Aceh yang ingin melindungi dan melestarikan sumber daya dan jasa lingkungan yang kritis. Tujuannya adalah untuk memitigasi dampak negatif rekonstruksi hutan Aceh, mengarusutamakan masalah lingkungan kedalam proses perencanaan dan membangun kemampuan dan kelembagaan yang berkelanjutan untuk perlindungan hutan. Proyek ini membantu mengawasi dan melaporkan bila terjadi pembalakan liar. Dari laporan pengawasan terhadap pembalakan liar ini sudah 17 perkara yang telah diambil tindakan oleh pejabat berwenang. Di tingkat masyarakat, proyek ini telah turut membantu proses perencanaan tata ruang dan menginisiasi penyediaan bibit bagi masyarakat untuk meningkatkan keberlanjutan jumlah pohon yang menjadi sumber kehidupan. Implementasi proyek-proyek AFEP yang dilaksanakan oleh Indonesia dan masyarakat internasional di Aceh memperlihatkan bahwa kerja sama luar negeri dapat dijadikan sebagai salah sarana untuk mencapai sebuah pembangunan yang berkelanjutan di sektor kehutanan. Lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah bukan merupakan kendala yang 46
Humphrey Wangke
dapat menggagalkan sebuah kerja sama internasional. Proyek AFEP yang berlangsung selama lima tahun dan berakhir tahun 2010 diperkirakan menghabiskan 10 juta dolar AS. Kondisi yang sama juga bisa dilihat dari implemntasi Proyek Kalimantan Forest Carbon Partnership (KFCP) di Kalimantan Tengah. Dasar pemberian bantuan Australia ke Indonesia ini adalah karena luasan hutan di Indonesia serta yang terpenting adalah kedekatan geografis Indonesia dengan Australia. Bantuan Australia sebesar 41 juta dolar Australia lebih diperuntukkan bagi pencegahan kerusakan hutan, rehabilitasi lahan dan penanaman kembali lahan dan yang terpenting adalah implementasi sustainable forest management. Bantuan luar negeri Australia di Kalimantan ini merupakan proyek percontohan di Indonesia untuk memperlihatkan keeratan hubungan kedua negara atas dasar kepentingan yang sama. Proyek yang berlangsung selama 4 tahun ini berakhir tahun 2013, dan diharapkan dapat memberikan dasar-dasar pengelolaan hutan bagi masayarakat sekitar. Proyek ini berada di lahan seluas 120.000 hektar yang terletak di kawasan bekas proyek lahan sejuta hektar. Jika melihat kondisi kerusakan hutan dan upaya pemulihannya, maka yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah investor hijau yang mempunyai komitmen untuk menyelamatkan Indonesia dari bencana hebat akibat deforestasi dan degradasi lahan dan hutan. Bantuan luar negeri ini harus diimbangi oleh pemerintah Indonesia dengan mendorong pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan atas hutan di Indonesia untuk mewujudkan pembangunan di daerahnya secara terpadu dan berkelanjutan agar kesejahteraan rakyatnya dapat teratasi. Pengelolaan hutan secara berkelanjutan harus mampu menjamin tersedianya kebutuhan pokok masyarakat secara berkelanjutan. Untuk menunjang hal tersebut maka yang perlu dibenahi adalah penguatan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah serta antara pemerintah dengan para stakeholder. Proyek dari Australia yang berlangsung sejak tahun 2008 ini telah berakhir tahun 2013 sesuai dengan kontrak yang disepakati. Namun berbeda dengan AFEP, proyek ini tidak terlalu mendapat dukungan dari pemerintah Kabupaten Kapuas dan masyarakat Mantingan yang berdiam di sekitar proyek. Ketidakjelasan tentang proyek REDD+ ini membuat masyarakat bingung dengan program deforestasi dan degradasi hutan sehingga menganggap proyek ini merampas hak mereka untuk mengusahakan hutan.26 Kurangnya
26
Lihat, “Penghentian KFCP Pelajaran Penting”, Kompas, 8 Juli 2013, hal. 13. Baca juga, Statement of Our Stance Mantir Adat (Custom Keepers) of Kadamangan Mantangai District of Kapuas Central Kalimantan tahun 2011, sebuah penyataan sikap masyarakat Mantangai, Kabupaten Kapuas, yang tidak puas dengan implementasi proyek KFCP dan mendesak untuk dihentikan.
47
Implementasi Pengelolaan Hutan
sosialisasi atau komunikasi yang terintegrasi menjadi penyebab masyarakat sekitar proyek ini tidak merasa memperoleh manfaat. Tantangan terbesar dari bantuan asing ini adalah pengentasan masyarakat miskin yang berada di sekitar proyek pelestarian hutan. Ada kesan bahwa proyek-proyek pelestarian hutan yang berada di Aceh dan Kalimantan Tengah sangat menekankan sisi ekologis tetapi mengabaikan sisi sosial dan ekonomi terutama jasa lingkungan yang dimiliki oleh sebuah kawasan hutan. Tanpa adanya pemahaman yang sama diantara para stakeholder akan membuat proyek-proyek semacam ini hanya akan menjadi sorotan masyarakat.
48
BAB IV KESIMPULAN
Komitmen Indonesia untuk merevitalisasi hutan yang rusak sangat tinggi sehingga mendapat respon yang positif dari berbagai daerah di Indonesia. Provinsi Aceh dan Kalimantan Tengah juga menunjukkan keinginannya untuk merevitalisasi hutannya yang rusak setelah menyadari bahwa keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh sebuah hutan akan mampu menghidupi masyarakat yang berada di sekitar hutan. Selain itu dampak dari rusaknya hutan seperti banjir bandang telah dirasakan oleh kedua provinsi ini. Belum padunya koordinasi antara pemerintah pusat daerah dalam merevitalisasi hutan bukanlah halangan yang berarti karena melalui kerja sama luar negeri berbagai program perbaikan hutan dapat dijalankan. Kerja sama luar negeri dalam revitalisasi hutan menjadi sebuah model mengingat terbatasnya dana yang dimiliki pemerintah pusat dan daerah. Baik Provinsi Aceh maupun Kalimantan Tengah telah menyediakan lahan hutan yang siap direvitalisasi sehingga investor asing dapat dengan cepat menjalankan program-program yang sudah disepakati. Semua stakeholder yang berkepentingan terhadap keutuhan hutan harus turut terlibat dalam proses revitalisasi hutan terutama bagi masyarakat sekitar hutan yang berkepentingan secara langsung terhadap keutuhan sebuah hutan.
49
DAFTAR PUSTAKA
Blaser, J., Sarre, A., Poore, D. & Johnson, S., Status of Tropical Forest Management 2011. ITTO Technical Series No 38, International Tropical Timber Organization, Yokohama, Jepang, 2011. CKPP Consortium, Provisional Report of the Central Kalimantan Peatland Project, dalam http://ckpp.wetlands.org/Portals/16/CKPP%20products/CKPP%20 Provisional%20Report%20ENG%20final.pdf November 2008.
C. K. Sreedharan and Jagannadha Rao Matta, “Poverty alleviation as a pathway to sustainable forest Management”, Environ Dev Sustain, Vol. 12, 2010.
Fauna & Flora International & Carbon Conservation Pty. Ltd, Reducing Carbon Emissions from Deforestation in the Ulu Masen Ecosystem, Aceh, Indonesia, 2 November 2007.
Gro Harlem Brundtland, The U.N. World Commission on Environment and Development: Our Common Future, Oxford University Press, 1987. Lihat juga, Centre for Environment Education, Sustainable Development: An Introduction, Gujarat, India, 2007. Jim MacNeill, Our Common Future: Advance or Retreat? Sustainable Development: A New Urgency, EcoLomics International, Geneva, 2007. J. Smith, K. Obidzinski, Subarudi and I. Suramenggala, “Illegal logging, collusive corruption and fragmented governments in Kalimantan, Indonesia”, International Forestry Review 5 (3), 2003. John Drexhage and Deborah Murphy, Sustainable Development: From Brundtland to Rio 2012, United Nations, New York, September 2010.
Konstantinos Papadakis, Socially sustainable development and participatory governance: legal and political aspects, International Institute for Labour Studies, Geneva, 2006.
Krystof Obidzinski, “Illegal Logging and the Fate of Indonesia’s Forests in Times of Regional Autonomy”, draft makalah untuk diskusi panel “Nontrivial Pursuits: Logging, Profits and Politics in Local Forest Practices in Indonesia” pada pertemuan ke-10 Biennial Conference of the International 51
Implementasi Pengelolaan Hutan
Association for the Study of Common Property (IASCP), Oaxaca, Mexico, 9-13 August 2004, CIFOR, Bogor, 10 Mei 2004.
Luke Lazarus Arnold, ‘Deforestation in Decentralised Indonesia: What’s Law Got to Do with It?’, 4/2 Law, Environment and Development Journal (2008), terutama bab IV. Mark Broich, Matthew Hansen, Fred Stolle, Peter Potapov, Belinda Arunarwati Margono and Bernard Adusei, “Remotely sensed forest cover loss shows high spatial and temporal variation across Sumatera and Kalimantan, Indonesia 2000–2008”, Environment Resolution Letter. 6, 2011, hal. 2, do i:10.1088/17489326/6/1/014010.
Meine van Noordwijk, Herry Purnomo, Leo Peskett and Bambang Setiono, “Reducing emissions from deforestation and forest degradation (REDD) in Indonesia: options and challenges for fair and efficient payment distribution mechanisms”, Working paper 81, World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia, 2008. “Penghentian KFCP Pelajaran Penting”, Kompas, 8 Juli 2013.
Penegakan Hukum, Tata Kelola, dan Perdagangan Sektor KehutananPendekatan Uni Eropa, dalam Ringkasan Kebijakan 2 EFI, terjemahan, European Forest Institute, 2008, diunduh dari http://www.efi.int/files/ attachments/publications/efi_policy_brief_2_in_net.pdf, tanggal 17 September 2013. Rhett A. Butler1 and William F. Laurance, “New strategies for conserving tropical Forests”, Trends in Ecology and Evolution Vol.23 No.9, 24 Juli 2008. Richard G. Dudley, “Dynamics of Illegal Logging in Indonesia”, dalam Colfer, Carol J. Pierce, and Ida Aju Pradnja Resosudarmo, ed., Which way forward? Forests, Policy and People in Indonesia, RFF, Washington, D. C., 2001. Stephen Ashkin and Cynthia Schultz, “The Triple Bottom Line The rise of the “sustainability” concept”, ISSAToday, March/April 2009. Sven Wunder, Bruce Campbell, P. G. H. Frost, J. A. Sayer, R. Iwan, and L. Wollenberg, “When donors get cold feet: the community conservation concession in Setulang (Kalimantan, Indonesia) that never Happened, Ecology and Society 13 (1): 12, 2008.
World Bank, World Development Report, Poverty—world development indicators, Oxford University Press, 1990. 52
Humphrey Wangke
William F. Laurance, “Reflections on the tropical deforestation crisis”, Biological Conservation 91, 1999.
Yasmi, Y. Institutionalization of conflict capability in the management of natural resources: Theoretical perspectives and empirical experience in Indonesia, PhD Thesis Wageningen University, Wageningen, Netherlands, 2007, ISBN 978-90-8504-720-9.
Dokumen Statement of Our Stance Mantir Adat (Custom Keepers) of Kadamangan Mantangai District of Kapuas Central Kalimantan tahun 2011, sebuah penyataan sikap masyarakat Mantangai, Kabupaten Kapuas, Privinsi kalimantan tengah, yang tidak puas dengan implementasi proyek KFCP. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada para informan yang telah memberikan penjelasan terkait dengan topik penelitian. Informan yang dimaksud antara lain: 1. Rasenda Ch. Kasih Program Manager WWF Indonesia Kalimantan Tengah, wawancara di Palangkaraya, 19 Juni 2013. 2. Monty Syurga dari KSDA Aceh, tanggal 14 Mei 2013 di Banda Aceh.
53
ISU LINGKUNGAN GLOBAL DAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DI INDONESIA Adirini Pujayanti*
*
Peneliti Bidang Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI.
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Lingkungan hidup menjadi satu topik yang cukup dominan dalam hubungan internasional karena berkaitan dengan kelangsungan kehidupan umat manusia di bumi. Penurunan daya dukung alam terhadap lingkungan disebabkan populasi penduduk dunia yang terus meningkat, yang kemudian diikuti dengan peningkatan penggunaan sumber daya alam (SDA) untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia sehari-hari. Peningkatan pemanfaatan SDA ini yang dikhawatirkan akan merusak kelestarian alam dan menjadi penyebab musnahnya salah satu SDA penting bagi kehidupan manusia, yaitu keanekaragaman hayati. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki posisi penting dalam lingkungan hidup global. Hutan tropis Indonesia merupakan “paruparu” dunia. Hutan tropis dan laut Indonesia juga menyimpan kekayaan sumber daya alam keanekaragaman hayati yang sangat besar sehingga Indonesia dijuluki negara maha-keanekaragam hayati (megabiodiversity country). Dalam peta keanekaragaman hayati Global 200 Ecoregions yang dibuat WWF, Indonesia merupakan wilayah penting karena terdapat 19 wilayah keanekaragaman hayati dalam wilayah politik Indonesia. Program pelestarian di Indonesia terdapat pada 25 situs yang tersebar di 17 provinsi, di bidang kelautan, ekosistem air tawar dan hutan.1 Keanekaragaman hayati adalah sumber daya bersama, oleh karena itu semua pihak harus mendukung upaya penyelamatan hutan tropis dan keanekaragaman hayati di Indonesia. Ancaman kepunahan keanekaragaman hayati perlu mendapat perhatian serius karena ini merupakan kerugian besar bagi dunia. Punahnya sumber daya alam keanekaragaman hayati merupakan kerugian besar karena diartikan sebagai hilangnya sumber pengetahuan sebelum diketahui manfaat dan kegunaannya bagi umat manusia.2 Sebagai contoh, keanekaragaman hayati di hutan tropis Indonesia diketahui menyimpan potensi sumber bahan obat-obatan yang sangat bermanfaat bagi kesehatan.
1 2
Worldwildlife.org/publications/global-200, diakses 1 Oktober 2013 Robin Attfield, Etika Lingkungan Global, (terjemahan Saut Pasaribu) Edinburgh University Press, 1999, h.189
57
Isi Lingkungan Global
Laju kepunahan keanekaragaman hayati di Indonesia cukup tinggi. Pembangunan di Indonesia selama ini cenderung terfokus pada ekstraksi Sumber Daya Alam (SDA) dan berorientasi jangka pendek. Dampak degradasi lingkungan hidup akibat pola pembangunan itu sudah dirasakan dan mengancam keberlanjutan pembangunan dan keanekaragaman hayati yang masih tersisa. Di tahun 2005, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono telah memperkenalkan tiga pilar strategi pembangunan sosial-ekonomi yaitu pro-growth, pro-poor, dan pro-job. Dengan semakin meningkatnya tekanan pembangunan ekonomi terhadap lingkungan hidup diperlukan perhatian yang serius dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Oleh sebab itu di tahun 2007, pemerintah melengkapinya dengan pro-environment. Upaya menjaga kelestarian keanekaragaman hayati telah menjadi tantangan bagi masyarakat internasional dan Pemerintah Indonesia untuk segera melestarikannya. Untuk itu dituntut satu kerja sama internasional yang adil dan demokratis B. PERMASALAHAN Secara umum dapat dikatakan hampir seluruh jenis sumber daya alam dan komponen lingkungan hidup di Indonesia cenderung mengalami penurunan kualitas dan kuantitas dari waktu ke waktu. Begitu pula yang terjadi pada sumber daya alam keanekaragaman hayati, dimana sebagian besar tengah mengalami kepunahan sebelum dimanfaatkan potensinya. Hal ini tidak saja menjadi masalah bagi Indonesia tetapi juga masalah dunia. Bagaimana upaya dunia dan Indonesia untuk menjaga kelestarian sumber daya alam keanekaragaman hayati dan memanfaatkan dalam pembangunan berkelanjutan menjadi permasalahan yang ingin dibahas dalam penelitian ini. Dengan permasalahan seperti itu, pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah : 1. Apa potensi keanekaragaman hayati di Indonesia? 2. Bagaimana kerja sama internasional dalam menjaga keanekaragaman hayati di Indonesia? 3. Bagaimana pemanfaatan keanekaragaman hayati di Indonesia secara berkelanjutan? C. TUJUAN DAN KEGUNAAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya masyarakat internasional dan pemerintah Indonesia dalam melestarikan keanekaragaman hayati dalam pembangunan berkelanjutan. Penelitian ini akan membantu DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah dalam kebijakan luar negeri dan pengelolaan masalah lingkungan hidup 58
Adirini Pujayanti
khususnya tentang keanekaragaman hayati di Indonesia, serta penyiapan berbagai undang-undang terkait. Dengan demikian, laporan penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk anggota Komisi 1, Komisi IV dan Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP).
D. KERANGKA PEMIKIRAN Hubungan internasional kontemporer tidak hanya memperhatikan hubungan politik antar negara saja, tetapi juga sejumlah subjek lain diantaranya lingkungan hidup. Saat ini masalah lingkungan telah menjadi isu ketiga terpenting, setelah keamanan dan ekonomi.3 Manusia semakin menyadari bahwa eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan yang berdampak negatif bagi kehidupan manusia. Isu lingkungan hidup patut menjadi perhatian bersama karena permasalahan lingkungan hidup selalu mempunyai efek global dan bersifat transnasional.4 Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan yang terjadi di satu negara dapat berdampak negatif ke negara lain.5 Masalah lingkungan global merupakan masalah bersama, hal ini merupakan pandangan kosmopolitanisme. Tanggung jawab moral universal untuk menjaga lingkungan global berlaku dimana saja dan bagi semua pelaku moral yang mampu memikulnya.6 Pandangan ini tidak menerima pendapat bahwa pelaku yang tidak mempunyai hubungan langsung tidak mempunyai tanggung jawab, karena tanggung jawab tidak perlu dibatasi kepada komunitas khusus dan para anggotanya atau kepada lingkungan tertentu. Selanjutnya Andrew Belsey menyatakan perhatian terhadap lingkungan objektif ini merupakan dasar untuk menghadapi masalah-masalah global yang memiliki cakupan luas. Kerusakan terhadap sistem global membutuhkan solusi global. Suatu masalah menjadi masalah lingkungan global apabila suatu timbunan masalah lokal mempunyai dampak penyebaran masalah yang luas melebihi wilayah lokalnya. Hal ini menunjukan bagaimana tindakan-tindakan yang tampaknya kecil dan bersifat lokal dapat mempengaruhi lingkungan global, entah pelakunya menyadari dampak ini atau tidak. Setiap manusia mempunyai kewajiban memperhatikan dan mempedulikan lingkungan
3
4
5
6
Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional ,(terjemahan Dadan Suryadipura), Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2005, hal.324 Pamela S.Chasek, David L. Downie and Janet Welsh Brown, Global Environmental Politics, Fourth Edition, Westview Press,2006, h. 1-2 John Baylis dan Steve Smith, The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations. UK; Oxford University Press, 1999, h.314-315 dalam Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Hubungan Internasional, Bandung; Remaja Rosdakarya, 2005, h.144. Robin Attfield, Op.cit, h. 32-33
59
Isi Lingkungan Global
global meski masalah tersebut berada di tempat yang jauh karena kerusakan lingkungan mempengaruhi kehidupan umat manusia.7 Masalah lingkungan global merupakan masalah sistemik yang menuntut kesepakatan internasional dan aksi bersama. Konsep lingkungan global menghasilkan tanggung jawab yang luas pada level nasional, lintas bangsa dan internasional. Pendekatan di atas merupakan tuntutan global terhadap kelestarian lingkungan agar dapat terus dimanfaatkan oleh generasi di masa yang akan datang. Hal ini sesuai dengan upaya pembangunan berkelanjutan yang didefinisikan sebagai: “development which meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs.”8 Inti dari pembangunan berkelanjutan adalah adanya konvergensi antara kepentingan ekonomi, sosial dan perlindungan lingkungan hidup dalam sebuah pembangunan. Ini berarti bahwa pembangunan berkelanjutan tidak hanya mempertimbangkan faktor-faktor kepentingan jangka pendek untuk mencari keuntungan ekonomi sebesar-besarnya tetapi juga memikirkan masa depan proyek tersebut dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan perlindungan lingkungan hidup. Namun hal ini masih sulit diimplementasikan, karena penggunaan sumber daya alam untuk masa datang secara langsung perlu dihubungkan dengan imbangan antara penduduk dengan sumber daya alam. Apabila penduduk membutuhkan terlalu banyak barang dan jasa, maka muncul kebutuhan untuk meningkatkan penggalian sumber daya alam dengan cara eksploitasi yang merusak alam. Masyarakat juga seringkali lamban mengatasi kerusakan akibat eksploitasi alam ini. Hal ini disebabkan masyarakat lebih memilih adanya kepemilikan pribadi dan mekanisme pasar, sehingga pengertian bahwa lingkungan sebagai barang milik bersama dan dipelihara bersamasama masih sulit dipahami.9 E. METODOLOGI PENELITIAN 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) dengan menekankan pada pengumpulan bahan, termasuk dengan melakukan berbagai wawancara dengan informan yang relevan dan kompeten, dan kegiatan observasi di lapangan.
7 8
9
Ibid., h.9-10 Untuk lengkapnya lihat, Gro Harlem Brundtland, The U.N. World Commission on Environment and Development: Our Common Future, Oxford University Press, 1987. Lihat juga, Centre for Environment Education, Sustainable Development: An Introduction, Gujarat, India, 2007, hal. 12 M. Suparmoko, Ekonomi Suber Daya Alam Suatu pendekatan Teoritis, Yogyakarta;BPFE, 2012, h.5
60
Adirini Pujayanti
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menjelaskan pengaruh politik lingkungan global terhadap upaya perlindungan keanekaragaman hayati di Indonesia melalui analisis data primer dan sekunder. Data primer merupakan hasil-hasil pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara mendalam terhadap informan yang dipilih secara purposif. Sedangkan data sekunder adalah bahan-bahan tertulis yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Sifat penelitian ini deskriptif, yakni melukiskan atau menggambarkan secara jelas jawaban atas permasalahan di atas. Pengumpulan data pertama-tama dilakukan melalui studi kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder terkait dengan permasalahan yang diteliti. Setelah memperoleh data yang diperlukan, penelitian dilanjutkan dengan penelitian lapangan untuk memperoleh data primer melalui wawancara secara mendalam (in-depth interview) dengan pihak-pihak yang terkait yang dipilih secara acak dan survei lapangan. Pengumpulan juga dilakukan melalui Focus Group Discussion baik di Jakarta maupun di tempat penelitian.. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Aceh dan Provinsi Kalimantan Tengah karena kedua provinsi ini menghadapi tantangan besar terkait dengan pembangunan berkelanjutan. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan landskap sekitarnya, merupakan hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati bernilai tinggi (high biodiversity values). Keberadaan biodiversity tersebut sifatnya sangat esensial dalam rangka menunjang keberlanjutan kehidupan di bumi. Ragam biodiversity kawasan hutan Leuser akhirnya menghantarkan TNGL mendapat predikat “Situs Warisan Dunia (Tropical Rainforest Heritage of Sumatera)” oleh komite warisan dunia, UNESCO pada 2004. Dipilihnya Provinsi Kalimantan Tengah karena provinsi ini telah menjadi sebuah laboratorium berbagai eksperimen untuk menentukan formula agar Indonesia bisa beralih ke pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang lebih ramah lingkungan. Salah satu penekanan pada eksperimen di Kalimantan Tengah itu adalah bagaimana perlindungan hutan bisa berjalan bersamaan dengan peningkatan kesejahteraan dan pemasukan penduduk, terutama masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan sehingga terbebas dari kemiskinan. Pada saat bersamaan, didalam rencana induk pengembangan Kalimantan Tengah, pemerintah provinsi ingin menjadikan wilayah tersebut sebagai koridor energi dan perkebunan. 3. Waktu Pelaksanaan Penelitian di Provinsi Aceh akan dilakukan pada tanggal 12 Mei-18 Mei 2013 sedangkan Provinsi Kalimantan Tengah pada tanggal 30 Juni-6 Juli 61
Isi Lingkungan Global
2013. Informan yang akan diwawancarai di kedua Provinsi ini adalah Dinas Kehutanan, Dinas Pertambangan, Bappeda, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Kepolisian Daerah, BKSDA dan LSM WALHI dan WWF.
62
BAB II PEMBAHASAN
A. INDONESIA NEGARA MAHA-KEANEKARAGAMAN HAYATI Keanekaragaman hayati atau sering disebut sebagai biodiversity (biological diversity) terjadi sebagai hasil dari miliaran tahun proses evolusi. World Wildlife Fund (1989) mendefinisikan keanekaragaman hayati sebagai kekayaan hidup di bumi berupa jutaan tumbuhan, hewan dan mikro organisme, genetika yang dikandungnya, dan ekosistem yang dibangunnya menjadi lingkungan hidup.10 Setiap tingkatan biologi dalam keanekaragaman hayati mempunyai arti penting sebagai penyediakan sumber daya dan alternatifnya bagi keberlangsungan hidup umat manusia. Keanekaragaman hayati tidak terdistribusi secara merata di bumi, wilayah tropis memiliki keanekaragaman hayati yang lebih kaya, karena jumlah keanekaragaman hayati semakin jauh dari ekuator akan semakin menurun. Semakin kaya keragaman kehidupan hayati, semakin besar kesempatan untuk penemuan medis, pembangunan ekonomi, dan tanggapan adaptif terhadap tantangan baru seperti perubahan iklim. Manfaat keanekaragaman hayati sangat besar. Keanekaragaman hayati berupa berbagai tumbuh-tumbuhan dan hewan tropis, dikenal merupakan sumber dari alkoloida yang dipakai dalam pengobatan modern.11 Oleh karena itu penghancuran hutan hujan tropis seringkali dianalogikan sebagai penghancuran perpustakaan dunia yang menyimpan buku-buku yang belum terbaca. Keanekaragaman hayati juga memberikan modal pembangunan yang sangat penting bagi manusia, yakni ketersediaan pangan. Selama ini karena keterbatasan pengetahuan dan kebiasaan, manusia hanya memanfaatkan sangat sedikit bahan pangan dari jutaan jumlah yang disediakan alam.12 Indonesia memiliki lebih dari 10% dari hutan hujan dunia. Ini adalah salah satu alasan mengapa Indonesia merupakan salah satu negara yang
10
11
12
Jana Supriatna, Melestarikan Alam Indonesia, Jakarta; Yayasan Obor, 2008, h.3 , lihat pula Biologi Konservasi, Mochamad Indrawan dkk, Jakarta;yayasan Obor, 2007, h.15 Hadi S. Alokodra, Tehnik Pengelolaan Satwa Liar dalam Rangka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia, Bogor, IPB Press, 2010. h. 220-221 Setijati D. Sastrapraja, Memupuk kehidupan di Nusantara Memanfaatkan Indonesia, Jakarta, Pustaka Obor, 2010, h. 14-15
63
Isi Lingkungan Global
paling kaya secara biologis di bumi. Potensi keanekaragamanan hayati Indonesia sangat besar untuk menjadi sumber obat dan pangan. Berdasarkan Dokumen Biodiversity Action Plan for Indonesia (Bappenas, 1993), sekitar 10 % dari semua jenis makhluk hidup yang pada saat ini hidup dan menghuni bumi ini terkandung pada kawasan negara Indonesia, yang luas daratannya tidak sampai sepertujuh puluh lima dari luas daratan muka bumi. Indonesia memiliki 10 % dari total jenis tumbuhan berbunga di dunia, 600 spesies mamalia (280 endemik), 411 reptil (150 endemik) 270 ampibi (100 endemik) 1531 jenis burung (26 endemik) dan 25 % atau lebih dari total jenis ikan di dunia, 2906 spesies binatang tidak bertulang belakang selain ikan air tawar (927 endemik). Kurang lebih 35000 spesies tanaman dan merupakan sumber terbesar keanekaragaman jenis–jenis palem, kayu meranti. Selain itu luasnya kawasan perairan teritorial Indonesia yang merupakan kawasan laut terkaya di wilayah Indo-Pasifik juga mendukung kekayaan habitat laut dan terumbu karang dengan 450 spesies koral.13 Pulau Sumatera merupakan salah satu hotspot keanekaragaman hayati Paparan Sunda dan salah satu dari 34 wilayah di dunia yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati dengan endemisitas luar biasa namun dengan tekanan terhadap kehilangan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi pula. Kawasan hutan di Provinsi Aceh merupakan yang terbaik di Pulau Sumatera yang masih menyimpan banyak keanekaragaman hayati yang berpotensi sebagai bahan obat dan sumber pangan manusia. Aceh juga merupakan benteng terakhir bagi habitat binatang khas Sumatra, seperti harimau, gajah dan orang utan spesies Sumatera (Pongo abelii). Populasi binatang khas Sumatera dan beberapa hewan dilindungi lainnya di Aceh terpusat di Kawasan Ekosistem Leuser seluas 2,5 juta hektar (KEL) dan Ulu Masen seluas 750.000 hektar. KEL dianggap sebagai salah satu tempat yang terkaya keanekaragaman hayatinya di Asia Tenggara. Keutuhan hutan dengan kekayaan sumber daya keanekaragaman hayati Aceh tersebut sedikit banyak disebabkan oleh situasi konflik yang terjadi di Aceh di masa lalu. Hutan menjadi daerah basis kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sehingga tidak ada yang berani merambah hutan. Hutan Kalimantan Tengah kaya akan berbagai macam vegetasi tropis dan kawasan perlindungan hewan langka. Salah satu hewan yang terdapat disini dan dilindungi secara ketat adalah Orang Utan spesies Kalimantan (Pongo pygmaeus) di mana spesies ini adalah salah satu hewan endemik. Satwa ini khususnya terdapat di Taman Nasional Tanjung Puting yang mencapai 300.000 Ha di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan. Selain Orang
13
www.icem.com.au/documents/biodiversity/bioplan/Indonesia.pdf, diakses 2 Oktober 2013
64
Adirini Pujayanti
Utan juga menjadi daerah konservasi bagi Beruang, Owa, Beruk, Kera, Buaya, Kukang, Paus Air Tawar, Ikan Arwana, dan lain sebagainya. Potensi perikanan di Kalimantan Tengah sangat besar, khususnya perikanan air tawar karena merupakan provinsi yang dilewati oleh sungai besar maupun sungai kecil. Kondisi hal ini memungkinkan pertumbuhan sektor perikanan air tawar di Kalimantan Tengah. Hutan Kalimantan Tengah menyimpan berbagai jenis kayu bagus yang saat ini semakin langka, seperti kayu ulin, meranti. Kalimantan Tengah juga memiliki potensi yang tinggi dibidang tanaman obat dan mulai memanfaatkannya dalam skala industri kecil. Kekayaan flora di hutan Kalimantan Tengah yang masih terjaga terjadi karena luas wilayah provinsi ini yang merupakan provinsi terluas kedua di Indonesia, belum seluruhnya terjamah manusia. Pelestarian hutan dilakukan dengan menciptakan cagar alam di Bukit Tangling, Pararawan dan Bukit Sapat Hawung, Suaka margasatwa Sungai lamandau, Taman Wisata Alam Tanjung Keluang, Arboretrum Nyaru Menteng, Taman Nasional Sebangau. Pembukaan lahan perkebunan sawit yang menjadi prioritas Pemda saat ini juga menjadi ancaman bagi kelestarian hutan Kalimantan Tengah.14
B. KERJA SAMA INTERNASIONAL MENJAGA KEANEKARAGAMAN HAYATI 1. Political Leverage Isu Lingkungan Kekayaan keanekaragaman hayati hutan tropis yang dimiliki Indonesia menjadi political leverage yang dimanfaatkan dalam diplomasi dan politik luar negeri. Posisi penting Indonesia dalam menghadapi masalah-masalah lingkungan, khususnya keanekaragaman hayati, telah diakui dan mendapat tempat terhormat dalam diplomasi dunia. Beberapa contoh kerja sama internasional di bidang kehutanan yang dilakukan Indonesia, di antaranya Indonesia merupakan pemrakarsa dan menjadi Ketua Forest-11 periode 2009-2011, “Coral Triangle Initiative” dan “World Ocean Conference”, serta promotor Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation in Developing Countries (REDD), Lol Indonesia-Norwegia mengenai REDD+, Heart of Borneo (HoB). Indonesia juga berperan sebagai bridge builder baik dalam isu climate change, International Environmental Governance (IEG), forum UNFCCC maupun UNEP. Pada intinya berbagai upaya diplomasi telah dilakukan untuk mendukung citra positif Indonesia dalam masalah lingkungan hidup di tingkat internasional. Pemerintah Indonesia membuat berbagai peraturan perundangundangan untuk melestarikan keanekaragaman hayati tersebut, diantaranya
14
Wawancara dengan Bapak Dirgahayu, Sekertaris Bapeda Kalimanatan Tengah dan jajarannya pada tanggal 18 Juni 2013.
65
Isi Lingkungan Global
meratifikasi konvensi mengenai keanekaragaman hayati menjadi UU No. 5 tahun1994 beserta Protokol Cartagena untuk keamanan hayati menjadi UU No. 21 tahun 2004 tentang Ratifikasi Protokol Cartagena, Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978 tentang Pengesahan Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna, Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1989 tentang Pengesahan Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage dan Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1991 tentang Pengesahan Convention on Wetlands of International Importance Especially as Waterfowl Habitat. 2. Satwa Langka Dalam upaya melindungi sumber daya alam keanekaragaman hayati ini, Indonesia menjadi anggota the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Indonesia harus mengikuti peraturan-peraturan yang digariskan oleh CITES yang dituangkan dalam International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red data Book. Di kawasan hutan Aceh terdapat banyak jenis hewan yang masuk kedalam daftar CITES. Ancaman terhadap fauna yang menjadi ciri khas hutan Aceh khususnya dalam Kawasan Ekosistem Lauser (KEL) yaitu orang utan, badak, gajah dan harimau masih terus berlangsung akibat kerusakan, perambahan hutan, perubahan habitat dan perburuan liar.15 Meskipun hal ini bertentangan dengan UU No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Praktik alih fungsi hutan menjadi jalan menuju areal perkebunan dan pertambangan merusak habitat satwa sehingga terjadi konflik antara satwa dengan manusia. Gangguan satwa, terutama gajah liar yang meningkat belakangan ini diatasi penduduk dengan membunuh satwa dilindungi tersebut. Upaya melestarikan keanekaragaman hayati di Aceh, dilakukan secara mandiri maupun dengan kerja sama internasional. Proyek pelestarian lingkungan dan konservasi satwa di Indonesia mudah mendapat bantuan keuangan dari badan-badan internasional yang bergerak dalam bidang perlindungan dan pelestarian alam. Di Aceh kerja sama ini diantaranya dilakukan dengan Fauna and Flora Internasional (FFI), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bermarkas di Inggris. FFI memiliki program yang komprehensif untuk melestarikan gajah Sumatera dan habitatnya di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera Utara melalui Konservasi Response Unit (CRU). Dalam hal pelestarian harimau di Aceh, FFI mendukung Pemerintah Aceh untuk memasukkan masalah konservasi harimau dalam pengembangan kebijakan melalui produksi laporan teknis yang menilai dampak lingkungan dari pembangunan jalan yang direncanakan pada habitat hutan harimau dan penyelesaian protokol konflik manusia-harimau.16
15 16
Buku laporan SLHD Provinsi Aceh 2012, h. II - 4 http://www.fauna-flora.org/explore/indonesia/ diakses 20 Oktober 2013
66
Adirini Pujayanti
Polda Aceh secara khusus telah membuat MoU dengan FFI dalam pengelolaan hutan di Aceh Kerja sama ini juga mencakup pelatihan yang diberikan kepada polisi tentang pemetaan hutan-hutan yang telah terkomputerisasi maupun teknik perlindungan binatang langka. Pihak Polri secara ketat melarang perburuan terhadap rusa yang merupakan mangsa harimau dan hanya mengijinkan perburuan babi hutan.17 Di lain pihak, hutan Kalimantan telah menjadi perhatian internasional sejak lama, kerja sama internasional untuk pelestarian hutan Kalimantan telah berjalan sejak tahun 2007 melalui program The heart of Borneo. Program ini meliputi daerah yang membentang di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia di Pulau Kalimantan hingga Brunei. Ketiga negara sepakat akan mengelola kawasan ini berdasarkan prinsip-prinsip konservasi dan pembangunan berkelanjutan. Provinsi Kalimantan Tengah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat pada tanggal 23 Desember 2010 sebagai provinsi percontohan implementasi REDD+ di Indonesia yang berkaitan dengan Letter of Intent dengan Pemerintah Norwegia. Sebagai tindak lanjut strategis yang dilaksanakan oleh Pemda Kalteng terhadap penetapan tersebut yaitu penyusunan strategi daerah terhadap REDD+ adalah keputusan Gubernur Kalteng No. 188.44/243/2011. Selanjutnya visi, misi, strategi dan rencana aksi pelaksanaan daerah terhadap REDD+ ditetapkan melalui Peraturan Gubernur Kalteng No.10 tahun 2012. Pemda Kalimantan Tengah melaksanakan beberapa kebijakan yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan REDD+ yaitu penguatan stok karbon, konservasi dan pengelolaan hutan lestari kedalam program mamangun dan mahaga lewu untuk pengentasan desa tertinggal. Gerakan bersama memanfaatkan lahan terlantar untuk mengoptimalkan lahan terlantar dan Kalteng Harati. Dengan visi Provinsi Hijau Pemda Kalimantan Tengah membangun keselarasan pembangunan dalam aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Pemda Kalimantan Tengah memberi perhatian besar pada pelestarian orang utan spesies kalimantan. Diantaranya melalui kerja sama dengan Yayasan Penyelamatan Orang utan Borneo (BOS), Pemda melaksanakan program fasilitasi pengelolaan habitat orangutan di kawasan perkebunan kelapa sawit (program BMP). Sehingga dalam praktik pengelolaan usahanya perusahaan perkebunan dan pertambangan yang berada di Kalimantan Tengah tetap memperhatikan aspek lingkungan dan sosial. Sebagian orang utan kini hidup di luar kawasan konservasi sehingga pelestarian habitat orang utan di luar kawasan hutan konservasi harus dilakukan. Hutan yang semula kaya akan sumber pangan
17
Wawancara dengan bapak Agus Nugroho, disbinmas Polda Aceh dan jajarannya pada tanggal 15 Mei 2013.
67
Isi Lingkungan Global
orang utan menyusut menjadi kebun, hutan monokultur, tambang dan terbakar. Naluri bertahan hewan ini menyebabkan mereka berpindah ke kebun-kebun rakyat dan mampu memakan umbut sawit maupun daun dan kambium akasia. Naluri bertahan tersebut memicu konflik orang utan dengan manusia karena pemilik kebun merugi akibat kerusakan kebunnya. Tidak sedikit orang utan yang dibunuh karena dipandang sebagai hama kebun. Yayasan BOS mengikutsertakan partisipasi masyarakat melalui program adopsi orang utan. Program adopsi orang utan tersebut mendapat tanggapan baik dari masyarakat internasional. Hasil donasi digunakan untuk membiayai program rehabilitasi orang utan di Nyaru Menteng dan Program konservasi mawas.18 Program rehabilitasi orangutan di Nyaru Menteng adalah program yang fokus pada penyelamatan, rehabilitasi dan reintriduksi orang utan ke habitat alaminya. Sedangkan Program Konservasi Mawas adalah program yang ditujukan untuk melakukan perlindungan habitat orang utan liar yang berada di kawasan hutan rawa gambut eks-PLG di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Barito Selatan. Di kawasan ini diperkirakan masih ada 3000 orang utan liar beserta keanekaragaman hayati lainnya.
3. Pencegahan Biopiracy Pelestarian keanekaragaman hayati di Indonesia adalah juga upaya pencegahan pencurian plasma nutfah oleh pihak asing. Baik di Aceh maupun di Kalimantan Tengah mengalami kendala yang sama, pihak yang ingin melakukan pencurian seringkali datang dengan alasan wisata dengan menggunakan petunjuk jalan orang lokal sehingga hal ini sulit diatasi. Pencurian pengetahuan lokal sebenarnya juga terjadi melalui pemberian beasiswa untuk topik terkait manfaat keanekaragaman hayati karena hasil penelitian tersebut juga akan menjadi milik negara pemberi donor.19 Pencurian semakin sulit dideteksi bila dilakukan melalui sistem kultur jaringan. Pencurian keanekaragaman hayati Aceh yang berhasil dicegah adalah upaya pencurian kayu gaharu oleh sekelompok warga China di Aceh Tenggara di tahun 2012. 20 Di Kalimantan Tengah upaya mencegah pencurian plasma nutfah dilakukan dengan ketat melalui Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) ke kawasan konservasi. Praktik biopiracy yang mengacu kepada eksploitasi dan komersialisasi sumber daya hayati tanpa mengembalikan manfaat kepada daerah atau
18
19
20
Wawancara dengan bapak Jhangson Regalino, pelaksana tugas program konservasi mawas,pada tanggal 20 Juni 2013. Wawancara bapak Totok Sutiyoso KSB TU dan Abdul Rohim Koordinasi kawasan konservasi BKSDA Kalteng pada tanggal 19 Juni 2013. Wawancara dengan bapak Agus Nugroho, Disbinmas polda Aceh pada tanggal 15 Mei 2013.
68
Adirini Pujayanti
masyarakat asal atau pemilik sumber daya tersebut masih terus berlangsung.21 Pada umumnya pengguna keanekaragaman hayati adalah negara industri maju. Mereka menguasai teknologi canggih yang justru memperoleh manfaat paling banyak dengan menyerap sumber hayati dunia.22 Sementara negaranegara berkembang menanggung banyak biaya pelestarian jarang mendapat keuntungan ekonomis, negara maju dan korporasi industri bioteknologi meraih keuntungan dengan memasarkan produk-produk komersial keanekaragaman hayati untuk tujuan industri, termasuk melalui hak paten. Sistem seperti ini dipandang sangat tidak adil bagi negara-negara berkembang. Keuntungan yang didapat negara maju dan korporasi internasional dari usaha keanekaragaman hayati adalah hutang ekologis negara maju yang harus dibayar kepada negara tempatan untuk pemulihan lingkungan.23 Tantangan terbesar dalam mencari solusi biopiracy adalah menemukan titik temu kepentingan antara negara industri dengan negara sumber keanekaragaman hayati. Negara maju tidak ingin keuntungan komparatif yang mereka peroleh terganggu. Karena itu mereka tidak mau ada instrumen mengikat secara hukum karena mengancam bisnis mereka.24 Indonesia telah berupaya untuk mengatasi ketidakadilan pemanfaatan sumber daya alam keanekaragaman hayati dengan cara meratifikasi Protokol Nagoya pada tanggal 11 April 2013. Protokol Nagoya menjadi tonggak perjanjian dalam tata kelola internasional mengenai akses kepada sumber daya genetik dan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang dari pemanfaatannya. Protokol ini menguntungkan Indonesia sebagai pemilik kekayaan genetik dan pengetahuan tradisional karena akan mendapatkan hasil pembagian keuntungan yang adil dan seimbang dengan negara pengambil manfaat keanekaragaman hayati Indonesia.25 Pelaksanaaanya bisa berlaku mundur hingga pelaksanaan konvensi Keanekaragaman Hayati tahun 1992. Protokol Nagoya berbeda jauh dengan rezim hak kekayaan intelektual yang berlaku pada individu/perusahaan, seperti paten, merek dagang dan hak cipta. Implementasi Protokol Nagoya dilaksanakan oleh Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO). Namun hingga saat ini upaya yang dapat dilakukan baru sebatas ‘lampu hijau’ perpanjangan mandat kepada
21 22
25 23 24
“Perlindungan Hayati Butuh Terobosan”, Kompas, 5 September 2013, h. 13 Abdul Irsan, Peluang dan Tantangan Diplomasi Indonesia, Jakarta; Himmah Media Utama, 2010, h. 10 Robin Attfield, Op.cit, h. 196-197 Jauh, Perlindungan Sumber Daya Genetik, Kompas, 4 September 2013, h. 13 Perlindungan Hutan Syarat Ratifikasi Protokol Nagoya, Suara Pembaruan, 7 Februari 2013, h.27.
69
Isi Lingkungan Global
WIPO guna melanjutkan tugasnya dan belum ada sistem perlindungan yang disepakati bersama secara global. 26
C. PEMANFAATAN KEANEKARAGAMAN HAYATI 1. Inkosistensi Indonesia Kebijakan luar negeri Indonesia di bidang pengelolaan lingkungan hidup tidak luput dari jebakan polarisme posisi antar negara.27 Debat diplomasi internasional seringkali diwarnai tarik-menarik mengenai tingkat kompensasi antar negara. Sebagian besar kesepakatan kerja sama di bidang ekonomi dan politik hidup di bawah PBB menuntut syarat komitmen pelestarian lingkungan. Hal ini dilakukan dengan mengendalikan tingkat konsumsi dan eksploitasi sumber daya alam. Pengendalian disini lebih banyak diartikan sebagai penurunan pemanfaatan sumber daya alam. Hal ini berarti mengurangi hak negara pemilik hutan untuk memanfaatkan hutannya sehingga merugikan bagi negara berkembang yang perekonomiannya sedang tumbuh seperti Indonesia. Eksploitasi kayu hutan menyebabkan deforestasi hutan tropis Indonesia yang merupakan paru-paru dunia dan sumber keanekaragaman hayati. Hal ini menjadi alasan bagi negara maju untuk menekan Indonesia menurunkan pemanfaatan hutannya. Isu lingkungan di Indonesia tetap mendapat sorotan dunia, karena terus terjadi perusakan hutan di dalam negeri. Sumber daya alam dan tingkat perekonomian suatu negara memiliki kaitan yang erat, dimana kekayaan sumber daya alam secara teoritis akan menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Indonesia sebagai negara berkembang yang tengah giat melakukan pembangunan seringkali memanfaatkan wilayah hutannya untuk kepentingan pembangunan.28 Harus diakui, Indonesia cenderung terfokus pada ekstraksi Sumber Daya Alam (SDA) dan berorientasi jangka pendek dan kurang menghasilkan nilai tambah. Sebagai contoh, sebagian besar hutan di Sumatera adalah hutan produksi. Artinya, hutan yang memang akan ditebang untuk kebutuhan produksi kayu. Pemahamanan bahwa hasil hutan hanya kayu juga masih terjadi di Kalimantan Tengah. Upaya menjaga kelestarian keanekaragaman hayati tengah diupayakan Pemerintah Indonesia dengan cara melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan melalui kebijakan Ekonomi hijau (green economy). Ekonomi hijau merupakan tuntutan global yang harus dilaksanakan setiap
26 27
28
“Perlindungan Hayati Butuh Terobosan”, Kompas, 5 September 2013, h. 13 Hariadi Kartodiharjo dan Hira Jhamtani, Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia, Jakarta; equinox publishing, 2006, h.87-90 FGD P3DI dengan Bapak Ghafur Dharmaputra, Direktur Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup Kementerian Luar Negeri Indonesia pada tanggal 19 Agustus 2011.
70
Adirini Pujayanti
negara saat ini. Indonesia melaksanakan kebijakan ini melalui Indonesia biodiversity action plan dimana keanekaragaman hayati menjadi modal bagi pelaksanaan ekonomi hijau di Indonesia. Sejak masa Pemerintahan Presiden Megawati isu ini telah masuk ke dalam Propenas.29 Pada tahun 2003 atas koordinasi Bappenas, Pemerintah menyusun the Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) yang bertujuan pemanfaatan sumber daya keanekaragaman hayati untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Hal ini kemudian dilaksanakan dengan mulai mengembangkan ekowisata di Indonesia. Telah pula dibentuk kelembagaan konservasi, taman nasional dalam upaya-upaya konservasi keanekaragaman hayati.30 Namun kondisi habitat alami keanekaragaman hayati yang terus dirusak dihadapkan pada upaya konservasi yang melemah. Kerusakan hutan tak mampu lagi diimbangi konservasi taman nasional maupun kebun raya untuk penyelamatan keanekaragaman hayatinya.31 Indonesia masih bersikap inkosisten dalam melaksanakan kebijakan ekonomi hijau. Pembangunan berkelanjutan masih memiliki banyak kendala untuk dilaksanakan, terutama karena paradigma tersebut kurang dipahami sebagai memuat prinsip-prinsip kerja yang menentukan dan menjiwai seluruh proses pembangunan. Kendala lain disebabkan paradigma tersebut kembali menegaskan idiologi developmentalisme. Ini merupakan kompromi yang mengunggulkan kembali pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi.32 Hal ini terlihat di Aceh dimana pembangunan berperspektif lingkungan menjadi semboyan yang dilaksanakan pemerintahan Gubernur Dr. Zaini Abdullah di Aceh. Dan menjadi bagian dari 10 prioritas pembangunan dan ada dalam RPJM dan RPJP Aceh. 33 Kebijakan ekonomi hijau di Aceh dilaksanakan sesuai kebutuhan pembangunan daerah dan setelah dikonsultasikan melalui muswarenbang dengan seluruh satuan kerja perangkat Aceh. Upaya menjaga kelestarian lingkungan hutan dilaksanakan melalui moratorium lodging dan mengangkat tenaga kontrak polisi hutan sebanyak kurang lebih 2000 orang, meningkatkan hasil hutan non kayu dan pemberdayaan masyarakat melalui program PNPM (50 – 200 juta perdesa).34
29
30
33 34 31 32
FGD dengan Ibu Marice Hutapea Direktur Konservasi energy dari kementerian ESDM dan Ibu Wahyuningsih Darajat dari Bappenas pada tanggal 8 Mei 2013. Iwan Nugroho dan Rokhmin Dahuri, Pembangunan Wilayah, Jakarta;LP3ES, 2012, h.330 333 Habitat Hancur, Konservasi Melemah, Kompas, 20 Oktober 2013, h.14 A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Jakarta, Gramedia, 2002, h.166 -167 Tengku M Zulfikar WALHI Aceh, wawancara tanggal 16 Mei 2013 Wawancara dengan Bapak Mahruzal sekertaris Bappeda Aceh dan jajarannya pada tanggal 13 Mei 2013.
71
Isi Lingkungan Global
Namun dalam kenyataannya pelaksanaan kebijakan ekonomi hijau dalam pembangunan berkelanjutan di provinsi ini belum berjalan dengan baik. Masih marak terjadi praktek pertambangan dan illegal lodging di wilayahwilayah hutan dan pesisir yang ditetapkan oleh Pemda sebagai wilayah cagar alam konservasi yang dilindungi. Kerusakan hutan ditengarai justru terjadi setelah konflik Aceh mereda, terutama setelah Tsunami di era BRR dengan masuknya investor dari luar Aceh.35 Upaya pembangunan Aceh pasca Tsunami 90% dilakukan dengan melakukan penebangan kayu illegal dari hutan-hutan alam. Jumlah penebangan liar tersebut terus – menerus meningkat sehingga proses penggundulan hutan tersebut mengakibatkan bencana banjir hampir setiap tahun di Aceh. Dana untuk melakukan pengawasan hutan juga kecil menjadi kendala upaya menjaga kelestarian hutan, hanya tersedia dana 3,7 miliar rupiah untuk menjaga menjaga seluruh hutan di Aceh.36 Hal tersebut berupaya diatasi dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dengan memanfaatkan kearifan lokal.37 Masyarakat Aceh sendiri telah mempunyai tradisi yang baik dalam menjaga kelesetarian alam, diantaranya dikenal istilah panglima laot (laut) untuk menjaga kelestarian laut dan panglima uten (hutan) untuk menjaga kelestarian hutan, maupun larangan merambah dan menebang hutan di hari Jumat. Sedangkan di Kalimantan Tengah, upaya peningkatan pendapatan asli daerah melalui pemanfaatan sumber daya hutan non kayu belum mampu memberikan pendapatan yang sama dengan hasil kayu hutan. Banyak hasil hutan nonkayu belum memberikan pemasukan yang besar bagi daerah karena masalah tata niaga dan perijinanannya yang sulit. Selain itu, belum ada persepsi yang sama antar instansi pemerintah mengenai konsep pembangunan berkelanjutan dan ekonomi hijau menyebabkan kemajuan di bidang ini berjalan lambat.38 2. Potensi Ekonomi Keanekaragagaman Hayati Upaya melindungi keanekaragaman hayati yang terancam kepunahan kurang menarik perhatian masyarakat luas, karena mayoritas rakyat Indonesia belum merasakan secara langsung manfaat ekonomi dari upaya pelestarian keanekaragaman hayati. Pelestarian masih terbatas pada lingkup
35
36
37 38
Hendro S. Koto,“pasca perdamain ‘tekanan’ terhadap hutan terus meningkat”, Tanah Rencong, Vol. 3 Edisi XVII, September – Oktober 2012, h. 29 -30 Wawancara dengan Bapak Kariamansyah kabid program Dinas Kehutanan Aceh pada tanggal 13 Mei 2013. Wawancara dengan Bapak Affan Amsori Kasub TU BKSDA Aceh pada tanggal 16 Mei 2013. Wawancara dengan Ibu Rosenda Kasih, Program manager WWF Kalimantan Tengah pada tanggal 19 Juni 2013.
72
Adirini Pujayanti
perlindungan untuk kelangsungan hidup keanekaragaman hayati tersebut, sedangkan kebutuhan rakyat adalah pemenuhan kepentingan ekonomi. Belum adanya titik temu antara upaya pelestarian dan kebutuhan ekonomi ini menjadi ironi, karena keanekaragaman hayati Indonesia, bila dimanfaatkan secara baik dan berkelanjutan mempunyai potensi sangat besar sebagai penunjang perekonomian negara. Kelemahan Indonesia dalam pemanfaatan kekayaan sumber daya alam keananekaragaman hayati ini dimanfaatkan negara lain dengan cara biopiracy. Indonesia hendaknya fokus pada pemanfaatan secara cerdas kekayaan sumber daya alam keanekaragaman hayati. Sebagai contoh, impor bahan baku obat Indonesia didominasi bahan baku antibiotik. Padahal, bahan baku antibiotik melimpah di Indonesia karena alam Indonesia kaya akan mikroorganisme aktinomisetes yang digunakan untuk dua pertiga produksi antibiotik di dunia. Berbagai jenis flora dan fauna Indonesia memiliki potensi bahan farmasi. Diantaranya ekstrasi bisa ular weling mengandung enzim penjernih darah. Trenggiling yang termasuk dalam daftar hewan dilindungi saat ini banyak diselundupkan keluar negeri karena selain bisa dijadikan makanan dan obat, juga digunakan sebagai bahan pembuatan narkoba. 39 Pengembangan kekayaan hayati butuh sinergi pemerintah, akademisi dan industri. Aplikasi pengetahuan kekayaan hayati (bioresources) oleh lembaga penelitian tidak dibolehkan, sementara industri Indonesia tidak sigap menangkap peluang untuk memanfaatkan pengetahuan tentang kekayaan hayati. Pemerintah juga masih dihadapkan pada lemahnya infrastruktur. Ini membuat aplikasi kekayaan hayati lemah dan tidak menjadi penunjang kebijakan ekonomi hijau.40 Kekayaan alam Nusantara yang sangat besar ini dapat diarahkan sebagai keunggulan bahan baku untuk industri kosmetik dan obat-obatan tradisional Indonesia. Keunikan bahan baku di nusantara dapat menjadi peluang usaha untuk meningkatkan daya saing produk nasional, baik di pasar sendiri maupun pasar luar negeri. Bahkan bahan-bahan obat dari luar negeri yang ada saat ini banyak diambil dari hutan Indonesia,menggunakan resep tradisional masyarakat lokal yang kemudian diolah dan dikembangkan di negara maju41. Saat ini produk kosmetik dan obat-obatan tradisional buatan Indonesia memperlihatkan potensi sebagai salah satu sektor industri yang mampu menggerakan perekonomian nasional. Di tahun 2012, industri kosmetik 41 39 40
Bahan Baku Obat dari Alam, Kompas, 22 Maret 2013, h.14 Potensi Kekayaan Hayati Belum Dimanfaatkan, Kompas, 8 Februari 2013, h.13 Dr. Marius Widjajarta, SE dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia dalam FGD P3DI tentang “Ëfektifitas Kebijakan Pengawasan Obat Tradisional dan kandungan bahan Berbahaya” pada tanggal 23 April 2013
73
Isi Lingkungan Global
mampu mencetak nilai ekspor hingga Rp9 triliun rupiah. Sedangkan industri obat tradisional di tahun 2013 telah mencapai omzet 13 triliun.42 Pengenalan keanekaragaman hayati kepada masyarakat masih terbatas pada program Taman Kehati.43 Kekayaan flora tanaman obat di Aceh belum termanfaatkan dengan baik, hanya sebagian kecil saja yang dimanfaatkannya sebagai komplementer. Dalam hal ini Dinas kesehatan Aceh bersikap menunggu pembinaan dan anggaran dari Pemerintah Pusat.44 Pengambilan flora bahan obat tersebut dilakukan mengambil langsung dari hutan dan belum melalui proses budidaya dan belum ada upaya mengindentifikasi berbagai keanekaragaman hayati yang bermanfaat bagi kesehatan. Keterbatasan kemampuan yang dimilikinya seperti: keterbatasan riset, teknologi yang belum memadai, dana yang belum diprioritaskan menyebabkan manfaat keanekaragaman hayati bagi kesehatan belum termanfaatkan dengan baik. Kalimantan Tengah memiliki kekayaan tanaman obat yang sangat besar. Hasil inventarisasi daerah menunjukan masih banyak tanaman obat Kalimantan Tengah yang belum termanfaatkan dan berpotensi menjadi pemasukan daerah. Potensi tanaman obat yang paling terkenal dari Kalimantan Tengah adalah tanaman pasak bumi yang dikenal sebagai obat penambah stamina kesehatan. Pasak Bumi atau yang dikenal dengan nama latin Eurycoma longifolia. Berpotensi menjadi tanaman obat program unggulan daerah dan prioritas program dinas kesehatan. Program prioritas ini dilaksanakan melalui alokasi anggaran khusus, peningkatan kemampuan SDM melalui pendidikan dan kerja sama penelitian.45 Industri farmasi obat tradisional telah mulai dilaksanakan dalam skala industri kecil. Pemanfaatan keanekaragaman hayati untuk kepentingan kesehatan telah mulai dilakukan dengan program budidaya tanaman obat. Tumbuhnya industri obat tradisional ini dapat diharapkan akan banyak menciptakan pertumbuhan ekonomi baru dengan menciptakan banyak lapangan kerja. Masalah yang dihadapi dalam hal ini adalah hak paten, kemasan dan pemasaran produk obat tradisional tersebut sehingga belum memberikan pendapatan daerah yang besar. Di bidang ekowisata, Indonesia termasuk negara yang belum mengembangkan secara professional potensi satwa liarnya. Nilai ekonomi satwa liar dapat diperoleh melalui beberapa cara pengelolaan, misalnya pengembangan rekreasi dan olah raga berburu, pengembangan atraksi satwa liar sebagai objek pemandangan alam, pemanenan, game ranching, dan game 44 45 42 43
“Kosmetik Makin Mencerlang”, Kompas, 4 September 2013, h.18 Wawancara dengan Bapedal Aceh pada tanggal 14 Mei 2013. Wawancara dengan Kadis Kesehatan Aceh bapak dr. M Yani pada tanggal 16 Mei 2013. Wawancara dengan Kadis Kesehatan Kalimantan Tengah bapak Rian Tangkudung dan jajarannya pada tanggal 17 Juni 2013
74
Adirini Pujayanti
farming.46 Keberhasilan penyelamatan spesies yang terancam punah akan banyak ditentukan oleh partisipasi masyarakat. Masyarakat hanya akan membantu bila telah mengetahui ada manfaat besar dari spesies tersebut bagi kelangsungan hidup manusia. Pemanfaatan keanekaragaman hayati untuk meraih dana pembangunan dapat dilakukan melalui program ekowisata, misalnya yang telah dilakukan di Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah. Kawasan ini memiliki keunikan karena kawasan hutan rawa gambut ini memiliki ekosistem air hitam yang khas. Kalimantan Tengah juga berhasil menjadikan konservasi satwa langka orang utan sebagai bagian dari ekowisata di daerahnya. Orang utan adalah kera besar satu-satunya di Asia, mereka umumnya hidup di hutan-hutan Indonesia dan Malaysia. Di Aceh upaya pemanfaatan gajah jauh tertinggal dengan Lampung, yang telah berhasil membangun taman wisata dengan sajian utama atraksi gajah di Taman Nasional Way Kambas. Gajah di Aceh masih dianggap sebagai hama pertanian. Padahal bila merunut pada latar belakang sejarah, Aceh pada masa kerajaan Samudra Pasai dipimpin Sultan Iskandar Muda sangat disegani karena memiliki pasukan gajah. Kala itu Aceh merupakan satu-satunya kerajaan di Nusantara yang memiliki pasukan gajah. Saat ini simbol gajah putih (Gajah Puteh) hanya menjadi simbol Kodam Iskandar Muda.47 Ekowisata yang seharusnya dapat menjadi alternatif pemasukan daerah juga belum berjalan. Pembangunan sarana transportasi laut juga belum dilaksanakan meskipun hal tersebut diperlukan dan turut menjaga kelestarian hutan. Kedua hal yang akan sangat membantu kesuksesan pembangunan Aceh tersebut belum dikembangkan secara besar-besaran.
46 47
Alikodra, Op.cit, h. 136 “Dulu Mengawal Sultan Iskandar Muda, Kini Gajah Diracun”, Tanah Rencong, Volume 2 Edisi XIV, Maret –April 2012, h.22
75
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN Posisi Indonesia sangat unik dalam konteks ekonomi hijau. Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yaitu biodiversity (keragaman hayati) sangat besar dan jumlah penduduk yang besar, sehingga Indonesia sebenarnya mempunyai power. Indonesia bisa menjadi laboratorium percobaan untuk tes ekonomi hijau. Kalau Indonesia berhasil maka menjadi the best choice yang bisa dilakukan di beberapa negara. Indonesia merupakan salah satu negara yang dinilai memiliki kekayaan pengetahuan tradisional dan kekayaan genetik. Pemanfaatan keanekaragaman hayati yang belum maksimal harus terus ditingkatkan. Dalam kerja sama pembangunan berkelanjutan dengan pihak asing harus diarahkan kepada kerja sama yang adil dan seimbang dari keuntungan yang dihasilkan atas pemanfaatan sumber daya genetik tersebut. Keterbatasan kemampuan dalam memanfaatkan sumber daya alam keanekaragaman hayati dapat dimanfaatkan pihak asing untuk melakukan praktik biopiracy (pencurian sumber daya genetik) melalui masyarakat adat. Oleh sebab itu masalah pencurian plasma nutfah harus menjadi perhatian penting pemerintah. Dengan semakin meningkatnya tekanan pembangunan ekonomi terhadap lingkungan hidup di masa yang akan datang diperlukan perhatian yang serius dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Bercermin dari kondisi tersebut, pendekatan ekonomi hijau dalam pembangunan menjadi sesuatu yang penting untuk diimplementasikan. Selama ini pembangunan sekedar mengejar pertumbuhan ekonomi, namun tidak diiringi dengan nilai susutnya sumber daya alam (deplesi) dan rusak/tercemarnya lingkungan (degradasi). Namun kebijakan ekonomi hijau yang terjadi di kedua Provinsi Aceh dan Kalimantan Selatan belum secara maksimal dilaksanakan. Dengan implementasi tersebut kemusnahan keanekaragaman hayati tidak mustahil akan terjadi dan berakibat kerugian besar bagi Indonesia. Tidak mudah bagi negara kepulauan seluas Indonesia untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayatinya. Kendala dalam upaya perlindungan keanekaragaman hayati adalah wilayahnya yang luas dan terdiri dari banyak pulau, sedangkan sumber daya baik manusia, dana dan kemampuan yang 77
Isi Lingkungan Global
dimiliki masih terbatas. Ancaman kepunahan keanekaragaman hayati dapat memberi tekanan pada negara untuk terlibat dalam kerja sama internasional yang lebih besar, karena degradasi lingkungan dapat dikatakan telah menjadi ancaman khusus, bukan hanya ancaman bagi negara tetapi bagi manusia secara keseluruhan.
B. REKOMENDASI Sarana dan prasarana bagi pengembangan penelitian bioteknologi dengan memanfaatkan sumber daya alam keanekaragaman hayati Indonesia harus lebih ditingkatkan. Pemerintah harus mendorong dunia industri dalam negeri agar dapat memanfaatkan secara maksimal hasil penelitian terkait keanekaragaman hayati di Indonesia tersebut secara maksimal dan menjadikannya keunggulan ekspor Indonesia.
78
DAFTAR PUSTAKA
Buku Abdul Irsan, Peluang dan Tantangan Diplomasi Indonesia, Jakarta; Himmah Media Utama, 2010
Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Hubungan Internasional, Bandung; Remaja Rosdakarya, 2005. A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Jakarta, Gramedia, 2002 Buku laporan SLHD Provinsi Aceh 2012
Gro harlem Brundland, The U.N. World Commission on Environment and Development: Our Common Future, Oxford University Press, 1987
Hadi S. Alokodra, Tehnik Pengelolaan Satwa Liar dalam Rangka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia, Bogor, IPB Press, 2010.
Hariadi Kartodiharjo dan Hira Jhamtani, Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia, Jakarta; equinox publishing, 2006. Jana Supriatna, Melestarikan Alam Indonesia, Jakarta; Yayasan Obor, 2008.
John Baylis dan Steve Smith, The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations. UK; Oxford University Press, 1999.
Iwan Nugroho dan Rokhmin Dahuri, Pembangunan Wilayah, Jakarta;LP3ES, 2012. M. Suparmoko, Ekonomi Suber Daya Alam Suatu pendekatan Teoritis, Yogyakarta; BPFE, 2012
Pamela S. Chasek, David L. Downie and Janet Welsh Brown, Global Environmental Politics, Fourth Edition, Westview Press,2006 Robin Attfield, Etika Lingkungan Global, (terjemahan Saut Pasaribu) Edinburgh University Press, 1999. Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, (terjemahan Dadan Suryadipura), Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2005. 79
Isi Lingkungan Global
Setijati D. Sastrapraja, Memupuk kehidupan di Nusantara Memanfaatkan Keanekaragaman Indonesia, Jakarta, Pustaka Obor, 2010 Internet http://www.kemlu.go.id/london/Pages/CountryProfile.aspx?IDP=3&l=id, diakses 13 Juni 2011
http://www.icem.com.au/documents/biodiversity/bioplan/Indonesia.pdf, diakses 2 Oktober 2013 Worldwildlife.org/publications/global-200, diakses 1 Oktober 2013
http://www.fauna-flora.org/explore/indonesia/ diakses 20 Oktober 2013
Majalah Hendro S. Koto,“pasca perdamain ‘tekanan’ terhadap hutan terus meningkat”, Tanah Rencong, Vol. 3 Edisi XVII, September – Oktober 2012
Dulu Mengawal Sultan Iskandar Muda, Kini Gajah Diracun”, Tanah Rencong, Volume 2 Edisi XIV, Maret –April 2012 Koran Perlindungan Hayati Butuh Terobosan, Kompas, 5 September 2013.
Jauh, Perlindungan Sumber Daya Genetik, Kompas, 4 September 2013. Kosmetik Makin Mencerlang, Kompas, 4 September 2013.
Perlindungan Hutan Syarat Ratifikasi Protokol Nagoya, Suara Pembaruan, 7 Februari 2013 Habitat Hancur, Konservasi Melemah, Kompas, 20 Oktober 2013 Kosmetik Makin Mencerlang, Kompas, 4 September 2013. Bahan Baku Obat dari Alam, Kompas, 22 Maret 2013.
Potensi Kekayaan Hayati Belum Dimanfaatkan, Kompas, 8 Februari 2013 Wawancara Tengku M Zulfikar WALHI Aceh, wawancara tanggal 16 Mei 2013
Mahruzal sekertaris Bappeda Aceh dan jajarannya pada tanggal 13 Mei 2013. Kariamansyah kabid program Dinas Kehutanan Aceh pada tanggal 13 Mei 2013. 80
Adirini Pujayanti
Affan Amsori Kasub TU BKSDA Aceh pada tanggal 16 Mei 2013. Dr. M. Yani, Kepala Dinas Kesehatan Aceh 16 Mei 2013. Bapedal Aceh pada tanggal 14 Mei 2013.
Agus Nugroho, Disbinmas Polda Aceh pada tanggal 15 Mei 2013.
Dirgahayu, Sekertaris Bapeda Kalimanatan Tengah dan jajarannya pada tanggal 18 Juni 2013.
Rosenda Kasih, Program manager WWF Kalimantan Tengah pada tanggal 19 Juni 2013. Rian Tangkudung Kadis Kesehatan Kalimantan Tengah dan jajarannya pada tanggal 17 Juni 2013
Totok Sutiyoso KSB TU dan Abdul Rohim Koordinasi kawasan konservasi BKSDA Kalteng pada tanggal 19 Juni 2013.
Jhangson Regalino, pelaksana tugas program konservasi mawas, pada tanggal 20 Juni 2013.
Focus Group Discussion FGD P3DI dengan Bapak Ghafur Dharmaputra, Direktur Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup Kementerian Luar Negeri Indonesia pada tanggal 19 Agustus 2011. FGD dengan Ibu Marice Hutapea Direktur Konservasi energi dari kementerian ESDM dan Ibu Wahyuningsih Darajat dari Bappenas pada tanggal 8 Mei 2013.
Dr. Marius Widjajarta, SE dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia dalam FGD P3DI tentang “Efektifitas Kebijakan Pengawasan Obat Tradisional dan Kandungan Bahan Berbahaya” pada tanggal 23 April 2013.
81
MANAJEMEN PERIKANAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA Lukman Adam*
*
Alamat Penulis di P3DI Bidang Ekonomi & Kebijakan Publik, Jl. Jend. Gatot Subroto, Gedung Nusantara 1 Lantai 2, Sekretariat Jenderal DPR RI dan Email di:
[email protected].
BAB I PENDAHULUAN
Manajemen perikanan tidak saja terkait dengan tekanan dan permasalahan dalam kegiatan ekonomi semata, di dalamnya terkait dengan faktor ekologi dan sosial. Fauzi dalam bukunya tahun 2010 menyatakan bahwa tekanan yang masif terhadap sumber daya ikan disebabkan oleh terjadinya dua hal utama, yaitu overfishing (baik secara ekonomi maupun biologi) dan terjadinya ekses kapasitas pada perikanan ekonomis penting. Selain itu, masalah lain yang juga menjadi isu internasional adalah maraknya IUU (illegal, unreported, and unregulated) fishing. Kegiatan IUU fishing menimbulkan kerugian ekonomi yang massif, masalah lingkungan, dan dampak sosial.1 Pengelolaan perikanan berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Tanggung jawab tersebut secara global diemban oleh Food and Agricultural Organization yang fokus perhatiannya adalah keberlanjutan sistem perikanan global, dengan menerbitkan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Norma atau aturan tingkah laku ini bersifat sukarela, namun beberapa isinya disusun berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UNCLOS 1982. U n s u r utama dalam konsep CCRF adalah negara dan masyarakat nelayan bersamasama mengelola perikanan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya dibutuhkan pengawasan yang optimal dari negara agar dapat menjamin konservasi dan mengadakan tindakan-tindakan pengaturan yang tepat bagi penangkapan ikan di semua perairan Indonesia.2 Potensi perikanan merupakan sumber daya yang dapat pulih dan memiliki karakteristik unik karena memiliki dua prinsip yang saling terkait, yaitu terkait dengan hak kepemilikan dan akses terhadap sumber daya perikanan tersebut.3 Namun, walaupun dapat pulih, waktu pemulihan akan
1
2
3
Fauzi, A. Ekonomi Perikanan: Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2010. Hal. 12. Chomariyah. Prinsip-Prinsip Dalam Konservasi Perikanan dan Pelaksanaannya di Indonesia. Perspektif Hukum. 7 (1): 49 – 56. Yulisti, M., E. S. Luhur, dan A. Zulham. “Faktor-Faktor Domestik Penyebab Illegal Fishing di Kota Batam” Prosiding Seminar Nasional Riset dan Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Tahun 2011 “Peran Riset Sosial Ekonomi dalam Mengoptimalkan Dukungan Terhadap Program
85
Manajemen Perikanan Berkelanjutan
membutuhkan waktu yang lama, karena terkait dengan kondisi ekosistem yang menjadi tempat bernaung, berpijah, dan mencari makan ikan. Informasi yang disajikan oleh Pusat Data, Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa status terumbu karang, yang sangat penting sebagai tempat berlindung sumber daya ikan, sudah sangat buruk. Di seluruh wilayah Indonesia, terumbu karang yang berada pada kondisi sangat baik hanya sebesar 5,56 persen, dan yang berada pada kondisi kurang baik mencapai 31,45 persen.4 Mangrove juga berperan penting dalam peningkatan sumber daya ikan, karena terkait dengan tempat berpijah dan beruaya ikan. Data dari Pusat Konservasi Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa dari 3,8 juta hektar luasan mangrove yang berada dalam kawasan hutan, sekitar 44,73 persen telah rusak, dan dari 4,8 juta hektar mangrove non-kawasan hutan, sekitar 87,50 persen rusak.5 Oleh karena itu, manajemen perikanan yang berkelanjutan harus memerhatikan ekosistem pesisir yang berperan penting menunjang sumber daya ikan di daerah tersebut. Dari sisi peraturan perundang-undangan terdapat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, sehingga paling tidak ada dua paradigma baru dalam pengelolaan kawasan konservasi, yaitu: 1) diatur dengan sistem zonasi, dan 2) kewenangan pengelolaan kawasan konservasi, baik Pemerintah dan pemerintah daerah. Atas dasar itu, maka Pemerintah Indonesia menargetkan luasan kawasan konservasi laut mencapai 20 juta hektar pada tahun 2020. Sampai tahun 2012, Indonesia telah memiliki kawasan konservasi laut mencapai 15,78 juta hektar.6 Atas dasar latar belakang dan permasalahan tersebut di atas, maka kajian ini bertujuan untuk merumuskan manajemen perikanan yang dilakukan secara berkelanjutan dengan memerhatikan faktor lingkungan (terutama ekosistem pesisir), ekonomi, dan sosial, melalui: pemetaan keragaan perikanan di Indonesia, dan melakukan analisis bioekonomik sumber daya ikan di Indonesia. 5 4
6
Peningkatan dan Pendapatan Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan”, 2011, hal. 69. Pusat Data, Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011. Pusat Konservasi, Badan Litbang Kehutanan. “Membangun Persepsi Keberadaan Mangrove Sebagai Life Supporting System”. Materi Pertemuan Forum Komunikasi Peneliti, Widyaiswara dan Penyuluh Kehutanan, Cisarua-Bogor, 16 – 18 Juli 2012. Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. “KKP Optimis Kembangkan 20 Juta Ha Kawasan Konservasi”. Siaran Pers No. 81/PDSI/HM.310/ VI/2013, 26 Juni 2013. 2013.
86
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. PERIKANAN BERKELANJUTAN Paradigma pembangunan perikanan pada dasarnya mengalami evolusi dari paradigma konservasi ke paradigma rasionalisasi (ekonomi), kemudian ke paradigma sosial/komunitas. Konsep pembangunan perikanan yang berkelanjutan sendiri mengandung aspek:7 1. Keberlanjutan ekologi. Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutan stok/ biomassa sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem menjadi perhatian utama. 2. Keberlanjutan sosial ekonomi. Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan perikanan harus memerhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. Dengan kata lain, mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian kerangka keberlanjutan ini. 3. Keberlanjutan komunitas. Mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat harus menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan. 4. Keberlanjutan kelembagaan. Dalam kerangka ini, keberlanjutan kelembagaan menyangkut pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat ketiga pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Faktor etika memegang peranan yang penting dalam pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia, berupa keadilan sosial. Sehingga keberadaannya perlu diperhatikan dalam mengelola sumber daya perikanan di Indonesia, seperti modernisasi dan perizinan alat tangkap, penetapan zona tangkap, penetapan kawasan perlindungan laut, penetapan tingkat eksploitasi perikanan, dan penanganan hak-hak tradisional. Demikian juga dengan kegiatan dan pembangunan yang berkaitan dengan kehidupan nelayan, seperti kegiatan pertambangan dan pembangunan kawasan perumahan di pinggir
7
Fauzi, A. dan S. Anna. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan: Untuk Analisis Kebijakan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2005. Hal. 268 – 269.
87
Manajemen Perikanan Berkelanjutan
pantai. Jika suatu program menyebabkan marginalisasi dan pemiskinan sekelompok nelayan, sebaiknya program tersebut tidak dilaksanakan.8 Tujuan pembangunan perikanan dapat dikelompokkan dalam berbagai kategori tujuan, yaitu kategori ekonomi, sosial, dan lingkungan. Di dalam masing-masing kategori ada beberapa sub-kategori seperti: peningkatan pendapatan, penyediaan lapangan pekerjaan, dan konservasi sumber daya ikan. Setiap tujuan tersebut jika dilihat dari aspek pengelolaan, yaitu: aspek keberlanjutan, efisiensi, dan equity (kesetaraan), sulit untuk memenuhi seluruh aspek tersebut. Tabel 1 memperlihatkan interaksi tujuan pembangunan perikanan dengan ketiga aspek pengelolaan, yang menunjukkan bahwa dari sekian banyak tujuan pembangunan perikanan, tidak ada satu pun yang memiliki tanda checked yang berada pada semua aspek. Ini menunjukkan adanya trade off dalam pengelolaan perikanan untuk mencapai kondisi ideal.9 Tabel 1. Matriks Analitis dan Empiris Tujuan Pembangunan Perikanan Berkelanjutan Aspek Pengelolaan
No. I.
Dimensi Pengelolaan
Keberlanjutan
Ekonomi
1. Memaksimumkan rente ekonomi
V
2. Meningkatkan pendapatan nelayan
V
3. Mempertahankan harga yang baik untuk konsumen 4. Meningkatkan efektifitas pembiayaan
V
7. Meningkatkan penerimaan negara
V
5. Mengurangi overcapacity II.
III.
8
9
Efisiensi Ekonomi
Kesetaraan
V V
V
6. Meningkatkan ekspor
V
Sosial
1. Menyediakan lapangan pekerjaan 2. Mengurangi konflik antar nelayan dan stakeholder lainnya
V V
3. Meningkatkan partisipasi perempuan
V
4. Menjaga hak-hak tradisional Ekologi
1. Memaksimumkan tangkapan
V
V
Kinseng, R. Faktor Etika dalam Pengelolaan Sumber daya Perikanan di Indonesia. Jurnal Kebijakan dan Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. 2009. 4 (2): 175 – 183. Fauzi, A. Op cit. 2010. Hal. 27.
88
Lukman Adam 2. Menstabilkan stok
V
3. Memelihara ekosistem yang sehat
V
4. Memperbaiki kualitas hasil tangkapan
V
5. Konservasi sumber daya ikan
V
6. Mencegah/mengurangi buangan ikan
V
7. Menstabilkan laju penangkapan
Sumber: Clark (1985) dalam Fauzi (2010)
10
V
Satria dalam bukunya tahun 2009 menyatakan bahwa untuk menciptakan perikanan berkelanjutan, mesti bertumpu pada kekhasan perikanan dan institusi yang kita miliki. Kita mesti percaya diri untuk menciptakan model pengelolaan yang khas, yang bisa saja mengambil pelajaran dari berbagai model, khususnya model Asia.11
B. PENELITIAN SEBELUMNYA Hasil penelitian Suseno yang dipublikasikan tahun 2007 menyebutkan permasalahan dalam pengelolaan sumber daya ikan, terkait dengan: konflik nelayan, IUU fishing, degradasi lingkungan, keakuratan data perikanan, krisis sumber daya manusia, kemiskinan nelayan, dan kebijakan harga BBM.12 Sari, et al. dalam penelitian yang dilakukan tahun 2009 menyebutkan bahwa ikan lemuru di Selat Bali merupakan sumber daya ikan yang sangat spesifik, karena hanya terdapat di Selat Bali. Dengan jumlah produksi ikan lemuru pada tahun 2007 mencapai 39,75 ton dengan harga antara Rp1.500 sampai Rp2.000 per kilogram, dan melalui mekanisme atau keseimbangan supply dan demand diperoleh tingkat harga ikan lemuru seharusnya Rp5.889 dengan jumlah produksi mencapai 10.149 ton per tahun. Sehingga untuk memproduksi jumlah kuantitas tersebut hanya 38 unit purse seine yang boleh dioperasikan. Setiap armada yang ada hanya boleh melakukan penangkapan sesuai jadwal yang ditentukan, dengan jumlah trip penangkapan tidak melebihi jumlah trip dari 38 unit armada purse seine.13 Penangkapan ikan kerapu di perairan Kepulauan Seribu telah melebihi tingkat pemanfaatan yang optimal pada rezim pengelolaan Maximum Economic 12 10 11
13
Ibid. Hal. 28. Satria, A. Ekologi Politik Nelayan. Cetaka I. Yogyakarta: Penerbit LKiS. 2009. Hal. 28. Suseno. Menuju Perikanan Berkelanjutan. Penerbit Pustaka Cidesindo. Jakarta. Cetakan Pertama. 2007. Hal. 50 – 70. Sari, Y. D., S. Koeshendrajana, dan B. O. Nababan. Optimalisasi Pengaturan Perikanan Lemuru Berdasarkan Mekanisme Supply dan Demand di Selat Bali. Jurnal Kebijakan dan Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. 2009. 4 (1): 1 – 12.
89
Manajemen Perikanan Berkelanjutan
Yield (MEY). Banyaknya jumlah upaya penangkapan yang diusahakan oleh nelayan di perairan Kepulauan Seribu adalah 164 unit dengan hasil tangkapan 63,38 ton, sedangkan jumlah upaya penangkapan optimal secara ekonomi adalah 82 unit dengan hasil tangkapan 29,94 ton per tahun.14 Musyafak, et al. dalam penelitiannya tahun 2009 menyebutkan bahwa dalam jangka panjang maupun jangka pendek perikanan pukat cincin di PPN Pekalongan telah mengalami kondisi kapasitas berlebih. Dengan kondisi input aktual yang ada, kapal-kapal pukat cincin mempunyai kapasitas untuk menghasilkan produksi ikan lebih besar dari produksi aktual.15 Subekti dalam kajian yang dilakukan tahun 2010 menyatakan bahwa tujuan pengelolaan sumber daya ikan tidak dapat dicapai secara otomatis, tanpa melalui beberapa kegiatan yang intinya merupakan komponen manajemen sumber daya perikanan. Kegiatan tersebut adalah:16 a. Pengumpulan dan analisis data. Data tersebut meliputi data biologi, produksi dan penangkapan ikan, data sosial ekonomi nelayan, dan aspek legal perikanan. b. Penetapan cara-cara pemanfaatan sumber daya perikanan. Kegiatan ini meliputi perizinan (siapa yang diizinkan menangkap ikan), waktu (kapan diizinkan menangkap ikan), dan lokasi penangkapan ikan. c. Penetapan alokasi penangkapan ikan. Kegiatan ini dalam bentuk jumlah ikan yang boleh ditangkap antara nelayan dalam satu kelompok, antar kelompok nelayan yang berbeda, antar nelayan lokal dan nelayan pendatang dari tempat lain, atau antara nelayan yang berbeda alat tangkap dan metode penangkapan ikan. d. Perlindungan terhadap sumber daya ikan. Kegiatan ini berupa perlindungan terhadap: sumber daya ikan yang telah mengalami tekanan ekologis akibat penangkapan maupun akibat kejadian alam, dan habitat ikan. e. Penegakan hukum. Merupakan umpan balik yang digunakan untuk meningkatkan kualitas hukum. f. Pengembangan dan perencanaan pengelolaan. Evaluasi terhadap program kerja jangka pendek atau yang sedang diimplementasikan. g. Pengambilan keputusan manajemen. Memberikan batasan pengertian dan aspek yang berpengaruh atau dipengaruhi dalam pemanfaatan sumber daya ikan.
14
15
16
Sari, Y. D., T. Kusumastanto, dan L. Adrianto. Maximum Economic Yield Sumber daya Perikanan Kerapu di Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Jurnal Kebijakan dan Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. 2008. 3 (1): 69 – 12. Musyafak, A. Rosyid, dan A. Suherman. Kapasitas Penangkapan Kapal Pukat Cincin di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan. Jurnal Saintek Perikanan. 2009, 4 (2): 16 - 23. Subekti, I. Implikasi Pengelolaan Sumber daya Perikanan Laut di Indonesia Berlandaskan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Jurnal Ilmiah Hukum QISTI, 2010, hal. 38 -51.
90
BAB III KERAGAAN PERIKANAN DI INDONESIA
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi sumber daya ikan yang sangat besar dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Perairan Indonesia memiliki 27,2 persen dari seluruh spesies flora dan fauna yang terdapat di dunia, meliputi 12 persen mamalia, 23,8 persen amfibi, 31,8 persen reptilia, 44,7 persen ikan, 40 persen moluska, dan 8,6 persen rumput laut. Potensi sumber daya ikan meliputi: pelagis besar17, pelagis kecil18, udang penaeid dan krustasea lainnya, demersal19, moluska dan teripang, cumi-cumi, ikan konsumsi perairan karang, ikan hias, penyu laut, mamalia laut, dan rumput laut.20 Selain itu, lndonesia juga memiliki keunggulan komparatif yang tinggi terkait dengan garis pantai Indonesia yang mencapai 80.791 km, luas perairan Indonesia yang mencapai 3,25 juta km2, luas perairan kepulauan yang mencapai 2,95 juta km2, luas laut territorial yang mencapai 0,30 juta km2, dan luas ZEE yang mencapai 2,55 juta km2.21 Namun, faktanya produksi perikanan tangkap dan perikanan budi daya Indonesia masih berada di bawah negaranegara yang tidak memiliki potensi sumber daya ikan dan keanekaragaman hayati sebesar Indonesia. Produksi perikanan tangkap Indonesia berada di bawah Cina, Banglades, India, Myanmar, Uganda, dan Kamboja. Pada tahun
17
18
19
20
21
Menurut Bakosurtanal tahun 1998 dan Mukhsin tahun 2002, ikan pelagis besar adalah ikan yang hidup pada lapisan permukaan perairan sampai tengah, hidup secara bergerombol, perenang cepat, mempunyai ukuran 100 – 250 cm (ukuran dewasa). Contohnya yang dominan adalah tongkol, tenggiri, dan cakalang. Menurut Bakosurtanal tahun 1998 dan Mukhsin tahun 2002, ikan pelagis kecil adalah ikan yang hidup pada lapisan permukaan sampai kedalaman 30 – 60 cm, hidup secara bergerombol, perenang cepat, mempunyai ukuran 5 – 50 cm (ukuran dewasa). Contoh jenis ikan pelagis kecil yang dominan adalah layang, selar, kembung, dan tembang. Menurut Widodo tahun 1980, ikan demersal habitatnya di lapisan dasar laut yang relatif stabil, daerah ruayanya sempit, dan tidak membentuk kelompok besar. Contohnya yang dominan adalah kakap merah, bawal, kerapu, manyung, peperek, kurisi, dan pari. Mallawa, A. “Pengelolaan Sumber daya Ikan Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat”. Disampaikan dalam Lokakarya Agenda Penelitian Program COREMAP II, Kabupaten Selayar, 9 – 10 September 2006. Hal. 1. Statistik Kelautan dan Perikanan 2011.
91
Manajemen Perikanan Berkelanjutan
2008, produksi perikanan tangkap di Indonesia sebesar 323.150 ton, jauh di bawah Cina yang mencapai 2.248.177 ton dan juga India yang mencapai 953.106 ton. Sedangkan potensi perikanan budi daya Indonesia, masih di bawah Cina, India, dan Vietnam. Pada tahun 2008, produksi perikanan budi daya Indonesia mencapai 1,690 juta ton, jauh di bawah Cina yang mencapai 32,736 juta ton dan juga Vietnam yang mencapai 2,462 juta ton.22 Produksi perikanan di Indonesia, seperti pada Tabel 2, sampai tahun 2009 masih bergantung pada perikanan tangkap. Sesudah tahun 2010, produksi perikanan budidaya mulai memberikan kontribusi besar bagi produksi perikanan di Indonesia, namun nilai produksi perikanan tangkap masih melebihi komoditas perikanan budidaya. Komoditas primadona perikanan tangkap adalah udang, tuna, cakalang, tongkol, ikan lainnya, dan kepiting, dengan udang masih menjadi komoditas terpenting.23 Tabel 2. Volume dan Nilai Produksi Perikanan, Tahun 2007 – 2011 Tahun
Rincian 2007
Perikanan Tangkap
Perikanan Budidaya
Total
Volume (Ribu ton) Nilai (Rp Juta)
Volume (Ribu ton) Nilai (Rp Juta)
Volume (Ribu ton) Nilai (Rp Juta)
2008
2009
2010
2011
Kenaikan rata-rata (%) 2007 – 2011
2010 – 2011
5.045
5.003
5.108
5.385
5.714
3,20
6,13
48.431.935
50.742.232
53.929.366
64.549.401
70.031.283
9,81
8,49
3.194
3.855
4.709
6.278
7.929
25,62
26,30
27.928.287
37.842.768
40.584.216
63.329.191
66.549.923
25,97
5,09
8.238
8.858
9.817
11.662
13.643
13,53
16,99
76.360.222
88.585.001
94.513.582
127.878.592
136.581.206
16,20
6,81
Sumber: Statistik Kelautan dan Perikanan Tahun 2011
Jumlah pembudidaya ikan di Indonesia terus mengalami peningkatan signifikan dibandingkan jumlah nelayan (Tabel 3). Hal ini sejalan dengan
22
23
FAO. “The State of World Fisheries and Aquaculture 2010”, FAO Fisheries and Aquaculture Department, Food and Agriculture Organization of The United Nations, Rome, 2010. p. 17 and p. 21. Ibid. Hal. 35.
92
Lukman Adam
pergeseran paradigma Kementerian Kelautan dan Perikanan yang mulai berorientasi mengembangkan perikanan budi daya. Di masa depan, sub sektor perikanan budi daya akan menjadi masa depan pengembangan sektor perikanan di Indonesia, khususnya komoditas udang dan rumput laut. Tabel 3 Jumlah Nelayan dan Pembudidaya Ikan, Tahun 2007 – 2011
Rincian Nelayan
Pembudidaya Ikan
Kenaikan rata-rata (%)
Tahun
2007
2.231.967 2.357.063
2008
2.240.067 2.586.462
2009
2.169.279 2.493.193
Sumber: Statistik Kelautan dan Perikanan Tahun 2011
2010
2.162.442 3.351.448
2011
2.265.213 3.018.358
2007 – 2011
0,41 7,65
2010 2011
4,75
-9,94
Upaya untuk memodernisasi armada perikanan di Indonesia sudah mulai dilakukan dan menunjukkan hasil yang signifikan. Jumlah perahu tanpa motor dan kapal motor tempel semakin menurun, dan mulai digantikan oleh kapal motor. Namun, penggunaan kapal motor di atas 200 GT masih sangat sedikit. Kegiatan modernisasi kapal perikanan harus dilakukan secara seksama dengan memerhatikan potensi estimasi wilayah pengelolaan perikanan. Tabel 4 Jumlah Kapal Penangkap Ikan di Laut, Tahun 2007 – 2011 Tahun
Rincian Perahu Tanpa Motor Motor Tempel Kapal Motor • • • • •
Dibawah 5 GT 5 – 10 GT 10 – 50 GT 50 – 200 GT Diatas 200 GT
Total
2007
2008
241.889
212.003
162.916
154.846
185.509 114.273 30.617
14452 3154 420
590.314
2009
2011
193798
172.907
170.938
-32,93
-1,14
159.922
166.587
185.121
-24,38
11,13
4,27
14,04
236.632
107.934
105.121
13675 2.895 406
596.184
Kenaikan rata-rata (%) 2007 – 2010 – 2011 2011
2010
229.335
29.936
Satuan: Unit
32.214
18652 3.587 348
590.352
Sumber: Statistik Kelautan dan Perikanan Tahun 2011
93
231.333 110.163 31.460
20747 3.809 408
570.827
225.786 123.748 35.877
-18,86 2,24
-2,40
12,33
22137
20,47
-10,93
354
-3,40
-13,24
3.005
581.845
0,105 -0,34
-20,45 1,93
Manajemen Perikanan Berkelanjutan
Produksi perikanan tangkap di Laut Jawa lebih besar dibandingkan di wilayah pengelolaan perikanan lainnya. Padahal potensi sumber daya ikan di wilayah tersebut sudah semakin menurun. Berdasarkan hasil evaluasi Komisi Nasional Pengkajian Sumber daya Ikan tahun 2010, kawasan Laut Jawa sudah mengalami overfishing dan jumlah nelayannya terbanyak. Sedangkan produksi perikanan tangkap di Teluk Cenderawasih dan Samudera Pasifik masih dapat ditingkatkan, karena produksinya masih sangat rendah, yaitu hanya mencapai 148.942 ton pada tahun 2011. Untuk dapat meningkatkan produksi penangkapan ikan di wilayah yang masih potensial, maka kebijakan yang dapat dilakukan adalah: 1) meningkatkan kemampuan kapal dan alat penangkapan ikan, menjadi ratarata diatas 100 GT, 2) menerapkan izin penangkapan ikan terhadap sumber daya ikan ekonomis yang masih tersedia dan tidak lagi memberikan izin terhadap alat penangkapan ikan yang sudah terdeplesi, 3) memberikan insentif berbentuk subsidi bahan bakar minyak dan kemudahan kredit kepada nelayan tradisional untuk memiliki kapal dan alat penangkapan ikan modern, 4) menerapkan kawasan konservasi di wilayah penangkapan ikan yang sudah terdeplesi dan menerapkan sanksi bagi yang melanggar. Tabel 5 Produksi Perikanan Tangkap di Laut Menurut Wilayah Pengelolaan Perikanan, Tahun 2007 – 2011
Wilayah Pengelolaan Perikanan
1. Selat Malaka dan Laut Andaman
2. Samudera Indonesia Sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda 3. Samudera Indonesia Sebelah Selatan Jawa sampai Sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu dan Laut Timor Bagian Barat
Kenaikan Ratarata
Tahun
2007
2008
2009
2010
2011
386.404
384.276
350.130
316.833
461.848
2007 – 2011 6,71
497.216
510.215
545.108
541.476
558.592
2,99
3,16
425.902
404.192
481.361
436.613
506.882
5,20
16,09
94
2010 - 2011 45,77
Lukman Adam 4. Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut China Selatan
510.605
581.037
572.617
572.209
588.711
3,79
2,88
772.953 586.632
802.701 596.852
793.594 611.453
806.420 624.736
823.681 614.341
1,62 1,17
2,14 -1,66
455.145
416.752
401.691
427.580
536.992
5
25,59
8. Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau 9. Laut Sulawesi dan Sebelah Utara Pulau Halmahera
395.968
404.480
391.710
418.508
443.260
2,94
5,91
175.931
179.900
197.252
214.272
213.294
5,02
-0,46
117.181
122.993
142.753
142.835
148.942
6,34
4,28
11. Teluk Aru, Laut Arafuru dan Laut Timor Bagian Timur Total
410.343
298.535
324.566
537.964
449.186
7,68
-16,50
4.734.280
4.701.933
4.812.235
5.039.446
5.345.729
3,12
6,08
5. Laut Jawa 6. Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Bali 7. Teluk Tolo dan Laut Banda
10. Teluk Cenderawasih dan Samudera Pasifik
Sumber: Statistik Kelautan dan Perikanan Tahun 2011
Tabel 6 sangat diperlukan sebagai acuan untuk memberikan izin terhadap nelayan yang melakukan penangkapan ikan di wilayah yang sudah terbatas potensi sumber daya ikannya. Izin tersebut terkait dengan jenis kapal dan jenis alat tangkap yang diperbolehkan. Izin penangkapan ikan merupakan kewenangan Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Pemerintah dan pemerintah daerah harus mengkaji jumlah izin yang diberikan, termasuk potensi pelanggaran izin yang mungkin terjadi. Kajian tersebut merupakan dasar bagi penataan perizinan yang menjadi wewenang Pemerintah dan pemerintah daerah. 95
Lobster
Ikan Karang Konsumsi
Udang Penaeid
Ikan Pelagis Besar
Ikan Pelagis Kecil
Ikan Demersal
Kelompok Sumber daya Ikan
96
1,9 276
0,4
5
11,4
27,7
147,3
82,4
WPP 571
1,7 565,2
0,6
8,4
4,8
164,8
315,9
68,9
WPP 572
2,1 491,7
1
4,5
5,9
201,4
210,6
66,2
WPP 573
2,7 1.059
0,4
21,6
11,9
66,1
621,5
334,8
WPP 711
5 836,6
0,5
9,5
11,4
55
380
375,2
WPP 712
3,9 929,7
0,7
34,1
4,8
193,6
605,4
87,2
WPP 713
132
0,1 278
0,4
32,1
-
104,1
9,3
WPP 714
7,1 595,6
0,3
12,5
0,9
106,5
379,4
88,8
WPP 715
0,2 333,6
0,2
6,5
1,1
70,1
230,9
24,7
WPP 716
0,3 299,1
0,2
8
1,4
105,2
153,9
30,2
WPP 717
3,4 855,5
0,1
3,1
44,7
50,9
468,7
284,7
WPP 718
28,3 6.520,1
4,8
145,3
98,3
1.145,4
3.645,7
1.452,5
Total
(ribu ton/tahun)
24
WPP 571 (Selat Malaka), WPP 572 (Samudera Indonesia-Pantai Barat Sumatera), WPP 573 (Samudera Indonesia-Selatan Jawa), WPP 711 (Laut China Selatan), WPP 712 (Laut Jawa), WPP 713 (Selat Makassar dan Laut Flores), WPP 714 (Laut Banda), WPP 715 (Teluk Tomini dan Laut Seram), WPP 716 (Laut Sulawesi), WPP 717 (Samudera Pasifik), dan WPP 718 (Laut Arafura dan Laut Timor).
Sumber: Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 45 Tahun 2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
7. Cumi-Cumi Total Potensi (1.000 ton/tahun)
6.
5.
4.
3.
2.
1.
No.
Tabel 6 Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan pada Masing-Masing Wilayah Pengelolaan Perikanan024 Tahun 2010
Manajemen Perikanan Berkelanjutan
BAB IV ANALISIS BIOEKONOMI SUMBER DAYA IKAN DI INDONESIA
Selain analisis kualitatif, dalam kajian ini digunakan analisis bioekonomi, dengan tujuan pemanfaatan sumber daya ikan adalah memaksimumkan manfaat ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian sumber daya ikan. Pendekatan yang dilakukan dalam analisis ini adalah pendekatan dinamik, yang menggabungkan parameter biologi dan ekonomi dalam analisisnya, dengan memasukkan faktor waktu. Berdasarkan data yang diperoleh sebagaimana yang disajikan pada Tabel 7, koefisien pertumbuhan alami (r) sumber daya ikan pelagis kecil sebesar 1,20 yang berarti sumber daya ikan pelagis kecil akan tumbuh secara alami tanpa ada gangguan dari gejala alam maupun kegiatan manusia dengan koefisien sebesar 1,20 ton per tahun. Koefisien alat tangkap (q) sebesar 0,0003, mengindikasikan bahwa setiap peningkatan satuan upaya penangkapan akan berpengaruh sebesar 0,0003 ton per trip terhadap hasil tangkapan sumber daya ikan pelagis kecil. Daya dukung lingkungan (K) sebesar 12.440,32, ini menunjukkan bahwa lingkungan mendukung produksi sumber daya ikan pelagis kecil sebesar 12.440,32 ton per tahun dari aspek biologinya, di antaranya kelimpahan makanan, pertumbuhan populasi dan ukuran ikan. Begitu pula yang terjadi dengan sumber daya ikan pelagis besar. Khusus untuk sumber daya ikan demersal dan udang, nilai K sangat kecil, sehingga perlu ada kebijakan khusus terkait dengan pengelolaan sumber daya ikan jenis ini. Teknologi pembudidayaan sumber daya ikan demersal di darat telah mulai dilakukan dan perlu disosialisasikan kepada masyarakat dan pelaku usaha. Karena modal yang dibutuhkan sangat besar, maka pemerintah daerah dapat mendorong pembudidaya ikan untuk berkelompok, melalui koperasi atau kelompok usaha bersama. Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil Pelagis Besar Demersal Udang
Tabel 7 Hasil Estimasi Parameter Biologi
Sumber: Data Primer diolah (2013)
r (ton/tahun) 1,20 1,97 1,48 1,68
97
Parameter Biologi q (ton/trip) 0,0003 0,001 0,0004 0,0013
K (ton/tahun) 12.440,32 12.044,85 5.062,96 1.346,54
Manajemen Perikanan Berkelanjutan
Dari Tabel 8 secara berturut-turut dapat diketahui besaran rata-rata biaya riil dari sumber daya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal dan teri, yaitu Rp0,71 juta per ton; Rp0,99 juta per ton; Rp0,79; Rp0,79 juta per ton. Dari Tabel 8 juga dapat diketahui bahwa biaya input tertinggi dan biaya input terendah untuk melakukan eksploitasi sumber daya ikan selama tahun 2001-2012 pada masingmasing sumber daya ikan terjadi pada tahun yang sama yaitu tahun 2012 untuk biaya input tertinggi dan tahun 2001 untuk biaya input terendah. Rendahnya biaya input pada tahun 2001 disebabkan IHK yang rendah pada tahun tersebut. Tabel 8 Hasil Estimasi Parameter Ekonomi (Data Series Biaya Riil Input Sumber Daya Ikan) Tahun
IHK
Pelagis Kecil (Rp juta/ton)
Pelagis Besar (Rp juta/ton)
Demersal (Rp juta/ton)
Udang (Rp juta/ton)
2001
30,96
0,27
0,38
0,30
0,30
2004
53,58
0,47
0,66
0,52
0,52
2002 2003 2005 2006 2007
31,96 31,28 64,69 86,47 98,39
2008
100,00
2011
110,43
2009 2010 2012
Rataan
109,70 120,51 129,88 85,17
Sumber: Data Primer diolah (2013)
0,28
0,39
0,28
0,38
0,57
0,80
0,76
1,06
0,87
1,21
0,88
1,23
0,97
1,35
1,06
1,48
0,98
1,36
1,15
1,60
0,71
0,99
0,31 0,31 0,63 0,84 0,96 0,98 1,07 1,17 1,08 1,27 0,79
0,31 0,30 0,63 0,84 0,96 0,97 1,07 1,17 1,08 1,27 0,79
Hasil estimasi secara keseluruhan dari harga output masing-masing sumber daya ikan pada kajan ini dapat dilihat pada Tabel 9. Dari Tabel 9 secara berturut-turut dapat diketahui besaran rata-rata harga output dari sumber daya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal, dan udang, yaitu Rp5,93 juta per ton, Rp7,71 juta per ton, Rp8,90 juta per ton, Rp3,26 juta per ton. Harga output tertinggi dan terendah selama tahun 2001-2012 untuk masing-masing sumber daya ikan terjadi pada tahun tahun 2012 untuk harga output tertinggi dan tahun 2001 untuk harga output terendah.
98
Lukman Adam
Tabel 9 Hasil Estimasi Parameter Ekonomi (Data Series Harga Riil Output Sumber Daya Ikan) Tahun
IHK
2002
31,96
2001
30,96
2003
86,47 98,39
100,00
2011
110,43
2010 2012
Rataan
2,99
64,69
2008 2009
2,30
53,58
2005 2007
Pelagis Besar (Rp juta/ton)
31,28
2004 2006
Pelagis Kecil (Rp juta/ton)
109,70 120,51 129,88 136
Sumber: Data Primer diolah (2013)
2,28 2,35
2,96 3,06
3,94
5,12
4,76
6,18
6,36
8,27
7,23 7,35
3,45 5,91 7,13 9,54
11,52
13,29
10,49
9,55
12,42
10,56
5,93
3,53
10,85
8,07 8,12
3,42
9,41 9,56
8,86
Demersal (Rp juta/ton)
7,71
11,03 12,10 12,18 14,33 8,90
Udang (Rp juta/ton)
1,25 1,29 1,27 2,17 2,62 3,50 3,98 4,04 4,44 4,87 4,47 5,25 3,26
Dari hasil kajian nilai optimal pemanfaatan masing-masing sumber daya ikan dengan pendekatan optimasi dinamik pada tingkat discount rate sebesar 2,82%, 12,18%, dan 15% diperoleh data pemanfaatan pengelolaan optimal sumber daya perikanan, sebagaimana yang tersaji pada Tabel 10. Dari data tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa pemanfaatan optimal sumber daya perikanan dengan pendekatan dinamik sangat dipengaruhi oleh discount rate yang berlaku. Semakin rendah discount rate, maka pemanfaatan sumber daya ikan akan lebih bersahabat dengan lingkungan, dan semakin meningkatkan rente ekonomi yang diperoleh. Sebaliknya, semakin tinggi discount rate yang digunakan, maka berdampak pada semakin tingginya tingkat effort, sehingga akan menurunkan produksi dan rente ekonomi yang bisa diperoleh. Pada Tabel 11 terlihat bahwa rente ekonomi optimal pada masing-masing sumber daya ikan diperoleh pada tingkat discount rate sebesar 2,82% . Tabel 10 Pemanfaatan Optimal Dinamik Sumber Daya Ikan
Jenis Sumber Daya Ikan
Aktual
Optimal Dinamik
δ = 2,82%
δ = 12,18%
δ = 15%
Pelagis Kecil Produksi (h) (ribu ton) Effort (E) (trip) CPUE (kg/trip)
1.565,25
3.724,57
4.146
2.010
377,53
1.853,02
99
3.713,65 2.145
1.731,31
3.703,72 2.186
1.694,29
Manajemen Perikanan Berkelanjutan Rente (π) (Rp juta)
7.634,41
742.749,60
180.843,76
146.008,46
Produksi (h) (ribu ton)
3.159,03
5.928,03
5.918,94
5.911,93
21.154,51
1.590.491,99
388.945,63
314.858,92
Produksi (h) (ribu ton)
1.068,04
1.867,23
1.866,99
1.864,83
Rente (π) (Rp juta)
7.378,47
548.062,86
141.244,23
114.212,49
267,19
558,85
563,09
564,05
12.324,88
9.976,11
Alat tangkap (unit) Pelagis Besar
Effort (E) (trip) CPUE (kg/trip)
Rente (π) (Rp juta)
Alat tangkap (unit) Demersal
Effort (E) (trip) CPUE (kg/trip)
Alat tangkap (unit) Udang
Produksi (h) (ribu ton) Effort (E) (trip) CPUE (kg/trip)
Rente (π) (Rp juta)
Alat tangkap (unit)
Sumber: Data Primer diolah (2013)
4.380 3.061
1.032,03 4.230 1.680
635,74 4.230 1.640
162,92 58,11 21
2.123 1.504
3.941,51 2.078 1.749
1.067,60 4.404 537
1.040,69
50.412,12 7
2.266 1.567
3.777,24 2.165 1.844
1.012,47 4.463 560
1.005,52 7
2.309 1.587
3.725,22 2.193 1.873
995,64 4.716 567
994,80 7
Scherzer dan Sinner dalam penelitiannya tahun 2006 menyebutkan ada tiga jenis alokasi yang tidak efisien dalam pengelolaan sumber daya alam. Pertama, alokasi yang berlebihan dari sumber daya yang ditimbulkan oleh eksploitasi yang berlebihan dan dampak kepadatan (congestion effect). Inefisiensi juga terjadi karena misalokasi sumber daya yang bisa ditimbulkan oleh gagalnya pasar dalam mengalokasikan kuota atau izin penangkapan. Misalokasi ini sering terjadi karena favourtisme dimana satu pihak memperoleh privilege lebih daripada pihak lain. Selain itu, terdapat inefisiensi dinamis yaitu terhambatnya insentif untuk melakukan inovasi dalam memanfaatkan sumber daya ikan. Inovasi yang positif dapat memengaruhi kelanjutan ekstraksi sumber daya dan jika inovasi ini tersumbat yang terjadi adalah inefisiensi.25 Dari hasil analisis bioekonomik, ini dapat dinyatakan bahwa pengelolaan sumber daya ikan demersal dan udang harus dilakukan secara cermat, mengingat komponen daya dukung lingkungan (K) yang rendah. Pengelolaan terhadap sumber daya ikan jenis ini harus sudah diarahkan pada perikanan
25
Scherzer, J., and J. Sinner. “Resource Rent: Have you paid any lately? Ecologic Research Report No. 8. New Zealand.
100
Lukman Adam
budi daya, dan tidak lagi menggunakan perikanan tangkap yang cenderung menggunakan alat tangkap yang dapat mengambil sumber daya ikan yang masih kecil. Rezim perizinan juga seharusnya diarahkan dengan memerhatikan ketersediaan sumber daya ikan, dengan memperhitungkan catch per unit effort dan estimasi potensi sumber daya ikan, sehingga potensi lestari ikan dapat dijaga.
101
BAB V ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERIKANAN
Kebijakan pengelolaan perikanan di Indonesia belum sepenuhnya mengarah kepada aspek-aspek pengelolaan perikanan berkelanjutan. Aspek tersebut terutama mengarah pada: estimasi potensi sumber daya perikanan, karakteristik nelayan dan pembudi daya ikan, karakteristik kapal dan alat penangkapan ikan, serta kualitas ekosistem penunjang sumber daya ikan di wilayah pesisir, seperti ekosistem terumbu karang dan hutan mangrove. Upaya meningkatkan dan menjaga kualitas ekosistem wilayah pesisir dilakukan dengan membentuk kawasan konservasi, baik yang dikelola oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, maupun Kementerian Kehutanan. Beddington, et al tahun 2007 dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kegagalan pengelolaan menyebabkan terjadinya krisis dalam perikanan. Kegagalan ini antara lain berupa kegagalan dalam mengakomodasikan dampak ekosistem dalam pengelolaan perikanan, ketiadaan insentif berbasis hak dalam mengelola sumber daya ikan serta kegagalan dalam mengendalikan input perikanan yang telah mengalami overcapacity.26 Berdasarkan data Statistik Kelautan dan Perikanan Tahun 2011, luasan taman nasional laut mencapai 4,043 juta hektar, luasan taman wisata alam laut mencapai 491 ribu hektar, taman wisata perairan dengan luas mencapai 1,541 juta hektar, luasan suaka margasatwa laut mencapai 5,678 ribu hektar, cagar alam laut dengan luas mencapai 154 ribu hektar, luas kawasan konservasi laut daerah mencapai 5,210 juta hektar, suaka perikanan yang memiliki luas 453 hektar, suaka alam perairan dengan luas 445 ribu hektar, dan luas taman nasional perairan mencapai 3,521 juta hektar. Yusmanto, et al. tahun 2012 menyebutkan bahwa keberlanjutan suatu kawasan konservasi laut dipengaruhi oleh komitmen pengelolaan keanekaragaman hayati sejak ditetapkan dengan melibatkan instansi pemerintah terkait, swasta dan masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi secara komprehensif. 27 Efektifitas dari
26
27
Beddington, J.R., D.J. Agnew, and C.W. Clark. Current Problems in the Management of Marine Fisheries. Science 316, 2007, pp. 1713 – 1716. Yusmanto, S. Anggoro, dan T. Taruna. Kerawanan dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Ujungnegoro-Roban Kabupaten Batang. Jurnal Ekosains, IV (3), hal. 48 - 59, 2012.
103
Manajemen Perikanan Berkelanjutan
kawasan konservasi sangat tergantung pada: penegakan hukum; sosialisasi, kesadaran dan keterlibatan masyarakat; peningkatan ekonomi nelayan; dan penetapan rencana zonasi wilayah pesisir. Estimasi potensi sumber daya ikan terhadap jenis ikan demersal, ikan pelagis kecil, dan ikan pelagis besar, di wilayah pengelolaan perikanan menjadi dasar penentuan perizinan dan peningkatan kapasitas perikanan, seperti kapal dan alat penangkapan ikan. Hasil evaluasi Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan Tahun 2010 menunjukkan di wilayah Selat Malaka, Samudera Indonesia Bagian Barat dan Selatan Sumatera, Selat Makassar dan Laut Flores, Laut Seram dan Teluk Tomini, dan Samudera Pasifik sudah mengalami moderately exploited, fully exploited, dan over exploited untuk semua jenis ikan, sehingga perlu dipulihkan dulu status pemanfaatannya. Sedangkan di Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Laut Arafuru-Laut Timor masih memungkinkan eksploitasi terhadap jenis ikan pelagis besar, dan di Laut Sulawesi masih memungkinkan untuk eksploitasi terhadap jenis udang, karena masih berstatus uncertainty. Untuk jenis ikan demersal, ikan pelagis kecil, dan ikan pelagis besar sudah mengalami moderately exploited, fully exploited, dan over exploited. Menurunnya potensi sumber daya perikanan di wilayah pengelolaan perikanan menyebabkan perlunya dilakukan: peningkatan kapasitas kapal perikanan dan alat tangkap, yang berbentuk peningkatan kapasitas gross ton kapal, pembatasan mata jaring dan larangan menggunakan alat tangkap yang dapat menangkap jenis ikan tertentu yang sudah dalam kondisi exploited, serta alih profesi nelayan perikanan tangkap menjadi pembudi daya ikan. Keberhasilan dari kebijakan ini ditentukan oleh itikad dari Pemerintah dan pemerintah daerah, yang berbentuk pemberian bantuan modal dan penetapan rencana zonasi wilayah pesisir yang memberikan perlindungan kepada pembudi daya ikan, khususnya di daerah yang telah ditetapkan sebagai kawasan strategis perikanan dalam dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 - 2025. Peningkatan kapasitas kapal ikan dilakukan agar nelayan dapat menangkap ikan di laut teritorial dan laut ZEE yang mencapai 2,85 juta km2. Sedangkan pembatasan mata jaring dan larangan menggunakan alat tangkap tertentu dilakukan agar jenis ikan kecil dan sumber daya ikan tertentu dapat pulih. Syah dalam penelitiannya yang dilakukan tahun 2012 menyatakan bahwa tidak boleh ada dominasi penguasaan laut oleh para pihak yang memiliki teknologi tinggi, apalagi terhadap pihak yang memiliki pukat harimau, teknologi sonar dan Global Positioning System (GPS) untuk mencari ikan, sehingga nelayan kecil tidak memperoleh jumlah ikan memadai. Untuk itu, 104
Lukman Adam
negara harus mengatur agar kompetisi berjalan sehat, misalnya nelayan berteknologi tinggi hanya boleh beroperasi di lokasi yang nelayan kecil tidak sanggup mencapainya. Sistem konsesi ini harus diawasi dengan ketat, jangan sampai merusak ekosistem dan merugikan nelayan.28 Pengelolaan sumber daya ikan dipengaruhi oleh lingkungan biofisik dan ekosistem yang ada didalamnya, termasuk sumber daya manusia. Eksploitasi terhadap lingkungan akan memengaruhi ketersediaan sumber daya ikan, dan sangat tergantung pada kebijakan Pemerintah dan pemerintah daerah. Harus dihindari adanya eksploitasi sumber daya alam yang berlebih dan eksploitasi lingkungan biofisik yang merusak. Semakin menurunnya populasi sumber daya ikan di wilayah pesisir dan rusaknya ekosistem penunjang membuat perhatian diarahkan pada peningkatan kapasitas kapal dan alat penangkapan ikan, pola pemungutan sumber daya ikan yang arif, dan peningkatan perikanan budi daya untuk menggantikan secara bertahap perikanan tangkap. Diagramatik manajemen perikanan berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Implementasi Manajemen Perikanan Berkelanjutan
Kearifan lokal yang berkembang di masyarakat pesisir merupakan kelembagaan sosial yang perlu dipertahankan dan ditingkatkan statusnya
28
Syah, A. F. “Alternatif Pengelolaan Kelautan dan Perikanan dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional”. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012, Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo, Madura, Juni 2012, hal. 10.
105
Manajemen Perikanan Berkelanjutan
menjadi hukum tertulis. Beberapa kearifan lokal yang berkembang di masyarakat terkait dengan pengelolaan perikanan antara lain:29 • Hukum adat laot di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Hukum adat ini meliputi larangan untuk: a. Melakukan pemboman, peracunan dan pembiusan, penyetruman dengan listrik terhadap ikan, pengambilan terumbu karang dan bahan-bahan lain yang dapat merusak lingkungan hidup dan biota laut lainnya. b. Menebang atau merusak kayu di wilayah pesisir, seperti ketapang dan bakau. c. Menangkap ikan atau biota lainnya yang terancam punah, seperti lumba-lumba dan penyu. d. Sasi di Maluku, yang merupakan larangan memasuki, mengambil atau melakukan sesuatu dalam kawasan tertentu untuk periode waktu tertentu. • Pamali mamanci ikang Desa Bobaneigo, Maluku Utara, yang berbentuk larangan memancing ikan teri dan cumi-cumi pada musim pemijahan, pembatasan jumlah alat tangkap, pembatasan frekuensi penangkapan, tidak dibenarkan orang luar memiliki usaha bagan, dan pelarangan penebangan hutan bakau (soki) karena luluhan daun dan dahan pohon bakau dianggap sebagai asal-usul ikan teri. • Awig-awig di Lombok Barat: Tradisi awig-awig merupakan aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan masyarakat, untuk mengatur pola penangkapan ikan di lokasi dan waktu tertentu. Dalam awig-awig diatur perbuatan yang boleh dan yang dilarang, sanksi serta orang atau lembaga yang diberi wewenang oleh masyarakat untuk menjatuhkan sanksi.
29
Sanis, S. “Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Laut Melalui Pemberdayaan Kearifan Lokal di Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur”. Tesis. Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro, 2005, hal. 29 - 32.
106
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN 1. Indonesia memiliki potensi sumber daya ikan yang sangat besar dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, dengan perikanan tangkap masih menjadi primadona nasional, khususnya untuk udang, tuna, cakalang, tongkol, dan kepiting. Produksi perikanan tangkap di Laut Jawa lebih besar dibandingkan di wilayah pengelolaan perikanan lainnya. Padahal potensi sumber daya ikan di wilayah tersebut sudah semakin menurun, sedangkan produksi perikanan tangkap di Teluk Cenderawasih dan Samudera Pasifik masih dapat ditingkatkan, karena produksinya masih sangat rendah. 2. Upaya untuk memodernisasi armada perikanan di Indonesia sudah mulai dilakukan dan menunjukkan hasil yang signifikan. Jumlah perahu tanpa motor dan kapal motor tempel semakin menurun, dan mulai digantikan oleh kapal motor. Namun, penggunaan kapal motor di atas 200 GT masih sangat sedikit. 3. Hasil analisis bioekonomik menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya ikan demersal dan udang harus dilakukan secara cermat, mengingat komponen daya dukung lingkungan (K) yang rendah. Pengelolaan terhadap sumber daya ikan jenis ini harus sudah diarahkan pada perikanan budi daya, dan tidak lagi menggunakan perikanan tangkap yang cenderung menggunakan alat tangkap yang dapat mengambil sumber daya ikan yang masih kecil. 4. Rezim perizinan juga seharusnya diarahkan dengan memerhatikan ketersediaan sumber daya ikan, dengan memperhitungkan catch per unit effort dan estimasi potensi sumber daya ikan, sehingga potensi lestari ikan dapat dijaga.
B. SARAN 1. Kebijakan pengelolaan perikanan di Indonesia belum sepenuhnya mengarah kepada aspek-aspek pengelolaan perikanan berkelanjutan. Aspek tersebut semestinya mengarah pada: estimasi potensi sumber daya perikanan, karakteristik nelayan dan pembudi daya ikan, karakteristik 107
Manajemen Perikanan Berkelanjutan
kapal dan alat penangkapan ikan, serta kualitas ekosistem penunjang sumber daya ikan di wilayah pesisir, seperti ekosistem terumbu karang dan hutan mangrove. Upaya meningkatkan dan menjaga kualitas ekosistem wilayah pesisir dilakukan dengan membentuk kawasan konservasi, baik yang dikelola oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, maupun Kementerian Kehutanan. 2. Untuk dapat meningkatkan produksi penangkapan ikan di wilayah yang masih potensial, maka kebijakan yang dapat dilakukan adalah: 1) meningkatkan kemampuan kapal dan alat penangkapan ikan, menjadi rata-rata diatas 100 GT, 2) menerapkan izin penangkapan ikan terhadap sumber daya ikan ekonomis yang masih tersedia dan tidak lagi memberikan izin terhadap alat penangkapan ikan yang sudah terdeplesi, 3) memberikan insentif berbentuk subsidi bahan bakar minyak dan kemudahan kredit kepada nelayan tradisional untuk memiliki kapal dan alat penangkapan ikan modern, 4) menerapkan kawasan konservasi di wilayah penangkapan ikan yang sudah terdeplesi dan menerapkan sanksi bagi yang melanggar. 3. Estimasi potensi sumber daya ikan terhadap jenis ikan demersal, ikan pelagis kecil, dan ikan pelagis besar, di wilayah pengelolaan perikanan menjadi dasar penentuan perizinan dan peningkatan kapasitas perikanan, seperti kapal dan alat penangkapan ikan. Menurunnya potensi sumber daya perikanan di wilayah pengelolaan perikanan menyebabkan perlunya dilakukan: peningkatan kapasitas kapal perikanan dan alat tangkap, yang berbentuk peningkatan kapasitas gross ton kapal, pembatasan mata jaring dan larangan menggunakan alat tangkap yang dapat menangkap jenis ikan tertentu yang sudah dalam kondisi exploited, serta alih profesi nelayan perikanan tangkap menjadi pembudi daya ikan. Keberhasilan dari kebijakan ini ditentukan oleh itikad dari Pemerintah dan pemerintah daerah, yang berbentuk pemberian bantuan modal dan penetapan rencana zonasi wilayah pesisir yang memberikan perlindungan kepada pembudi daya ikan, khususnya di daerah yang telah ditetapkan sebagai kawasan strategis perikanan dalam dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 - 2025. 4. Keberadaan kawasan konservasi sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas ekosistem pesisir. Efektifitas dari kawasan konservasi tersebut sangat tergantung pada: penegakan hukum; sosialisasi, kesadaran dan keterlibatan masyarakat; peningkatan ekonomi nelayan; dan penetapan rencana zonasi wilayah pesisir. 108
DAFTAR PUSTAKA
Buku Fauzi, A. dan S. Anna. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan: Untuk Analisis Kebijakan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2005.
Fauzi, A. Ekonomi Perikanan: Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2010. Satria, A. Ekologi Politik Nelayan. Cetaka I. Yogyakarta: Penerbit LKiS. 2009.
Suseno. Menuju Perikanan Berkelanjutan. Penerbit Pustaka Cidesindo. Jakarta. Cetakan Pertama. 2007.
Artikel dalam Jurnal, Working Paper, Majalah, dan Surat Kabar Beddington, J.R., D.J. Agnew, and C.W. Clark. Current Problems in the Management of Marine Fisheries. Science 316, 2007, pp. 1713 – 1716.
Chomariyah. Prinsip-Prinsip Dalam Konservasi Perikanan dan Pelaksanaannya di Indonesia. Perspektif Hukum. 7 (1): 49 – 56.
Musyafak, A. Rosyid, dan A. Suherman. Kapasitas Penangkapan Kapal Pukat Cincin di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan. Jurnal Saintek Perikanan. 2009, 4 (2): 16 - 23.
Kinseng, R. Faktor Etika dalam Pengelolaan Sumber daya Perikanan di Indonesia. Jurnal Kebijakan dan Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. 2009. 4 (2): 175 – 183. Sari, Y. D., S. Koeshendrajana, dan B. O. Nababan. Optimalisasi Pengaturan Perikanan Lemuru Berdasarkan Mekanisme Supply dan Demand di Selat Bali. Jurnal Kebijakan dan Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. 2009. 4 (1): 1 – 12.
Sari, Y. D., T. Kusumastanto, dan L. Adrianto. Maximum Economic Yield Sumber daya Perikanan Kerapu di Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Jurnal Kebijakan dan Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. 2008. 3 (1): 69 – 12. 109
Manajemen Perikanan Berkelanjutan
Scherzer, J., and J. Sinner. “Resource Rent: Have you paid any lately? Ecologic Research Report No. 8. New Zealand. Subekti, I. Implikasi Pengelolaan Sumber daya Perikanan Laut di Indonesia Berlandaskan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Jurnal Ilmiah Hukum QISTI, 2010, hal. 38 -51. Yusmanto, S. Anggoro, dan T. Taruna. Kerawanan dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Ujungnegoro-Roban Kabupaten Batang. Jurnal Ekosains, IV (3), hal. 48 - 59, 2012.
Artikel dalam Seminar/Pertemuan Mallawa, A. “Pengelolaan Sumber daya Ikan Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat”. Disampaikan dalam Lokakarya Agenda Penelitian Program COREMAP II, Kabupaten Selayar, 9 – 10 September 2006.
Pusat Konservasi, Badan Litbang Kehutanan. “Membangun Persepsi Keberadaan Mangrove Sebagai Life Supporting System”. Materi Pertemuan Forum Komunikasi Peneliti, Widyaiswara dan Penyuluh Kehutanan, Cisarua-Bogor, 16 – 18 Juli 2012.
Syah, A. F. Alternatif Pengelolaan Kelautan dan Perikanan dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012, Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo, Madura, Juni 2012.
Yulisti, M., E. S. Luhur, dan A. Zulham. “Faktor-Faktor Domestik Penyebab Illegal Fishing di Kota Batam” Prosiding Seminar Nasional Riset dan Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Tahun 2011 “Peran Riset Sosial Ekonomi dalam Mengoptimalkan Dukungan Terhadap Program Peningkatan dan Pendapatan Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan”, 2011. Tesis Sanis, S. “Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Laut Melalui Pemberdayaan Kearifan Lokal di Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur”. Tesis. Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro, 2005. Dokumen FAO. “The State of World Fisheries and Aquaculture 2010”, FAO Fisheries and Aquaculture Department, Food and Agriculture Organization of The United Nations, Rome, 2010. 110
Lukman Adam
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 45 Tahun 2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Pusat Data, Statistik dan Informasi. 2011. “Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2011”. Kelompok Kerja Penyelarasan Data Kelautan dan Perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. “KKP Optimis Kembangkan 20 Juta Ha Kawasan Konservasi”. Siaran Pers No. 81/PDSI/HM.310/VI/2013, 26 Juni 2013. 2013. Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
111
Manajemen Perikanan Berkelanjutan
Lampiran 1. Rumus yang digunakan dalam perhitungan Bioekonomi. 1. Estimasi Parameter Biologi Estimasi parameter biologi dari model surplus produksi dapat dilakukan dengan teknik pendugaan koefisien yang dikembangkan oleh Clark, Yoshimoto dan Pooley (model CYP). Secara matematis, model ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Ln (Ut+1) = [2r/(2+r)] ln (qK) + [(2-r)/(2+r)] ln (Ut) – [q/(2+r)] (Et+Et+1) di mana: r = laju pertumbuhan intrinsik ikan q = koefisien daya tangkap K = kapasitas daya dukung lingkungan E = upaya (effort) dengan meregresikan tangkap per unit upaya pada periode t+1 (Ut+1), U pada periode t, dan penjumlahan input pada periode t dan t+1, akan diperoleh nilai koefisien r, q, dan K. Besaran koefisien r, q, dan K dalam model CYP diperoleh melalui rumus: r = [(2-2β1)/(1+ β1) q = - [β2/(2+r)] K = [e(β0(2+r)/2r)/q]
2. Estimasi Parameter Ekonomi a. Estimasi biaya input Biaya penangkapan didefinisikan sebagai variabel hari operasi dan dianggap konstan. Biaya penangkapan alat tangkap utama diperoleh dari data sekunder terhadap nelayan yang menggunakan alat tangkap yang dominan digunakan nelayan, seperti pukat kantong (payang), jaring insang, dan pancing, yang kemudian dikonversi dalam pengukuran riil dengan cara menyesuaikannya dalam Indeks Harga Konsumen (IHK) dengan tujuan mengeliminir pengaruh inflasi. Biaya riil pada tahun t diperoleh dari proses perkalian antara biaya riil pada tstat yang didapatkan dari hasil perkalian rata-rata biaya effort per tahun dengan share dari produksi sumber daya dengan IHK pada tahun t. Biaya per unit upaya standar per tahun alat tangkap: Cpj = Ʃ trip x (Ʃ biaya/trip) Rumus proporsi produksi alat tangkap: Çpj = (hpj/hz)1/t Biaya standar dinotasikan sebagai: Cstd = (Cpj x Çpj)/1.000.000 Sehingga diperoleh nilai biaya riil sebagai berikut: Ct = (Cstd x IHK)/IHKn 112
Lukman Adam
di mana: Cpj = biaya produksi Ct = biaya pada tahun t Cstd = biaya standar hpj = produksi total alat tangkap ke-j IHKt = IHK komoditas ikan pada tahun t hz = produksi total t = 1, 2, 3, … n IHKn = IHK komoditas ikan pada tahun standar b. Estimasi harga output Harga output penangkapan masing-masing alat tangkap utama diperoleh dari data sekunder terhadap nelayan yang menggunakan alat tangkap yang dominan digunakan nelayan, seperti pukat kantong (payang), jaring insang, dan pancing, yang kemudian dikonversi dalam pengukuran riil dengan cara menyesuaikannya dalam Indeks Harga Konsumen (IHK) dengan tujuan mengeliminir pengaruh inflasi. Pendekatan untuk mendapatkan data series harga ikan pada kajian ini dilakukan dengan cara mengalikan rasio harga ikan saat ini (Pt) dan IHK tahun ini dengan IHKt+1. Secara matematis rumusnya adalah sebagai berikut: Pn = ƩPt/n i = 1, 2, 3, … , n Pt = (Pn/IHKn) x IHKt di mana: i = jumlah produksi ikan Pt = harga ikan pada tahun t Pn = harga ikan berlaku IHKn = IHK komoditas ikan pada tahun standar IHKt = IHK komoditas ikan pada tahun t 3. Analisis Optimasi Dinamik Optimalisasi pemanfaatan sumber daya ikan dengan menggunakan formula dinamik dalam bentuk fungsi kontinyu adalah: max π (t) = ʃ π [x(t), h (t)]e-δt dt …… (1) dengan kendala: ∂x/∂t = x = F (x)(t) – h(t) 0 ≤ h ≤ hmax dengan menggunakan teknik Hamiltonian, model kontinyu di atas menghasilkan golden rule untuk pengelolaan sumber daya ikan, dengan rumus: 113
Manajemen Perikanan Berkelanjutan
dan
(∂F/∂x) + [(∂π /∂x)/(∂π/∂h)] = δ …. (2)
F(x) = h …. (3) di mana ∂π/∂x adalah rente marjinal akibat perubahan biomassa, ∂π/∂h adalah rente marjinal akibat perubahan tangkap, ∂F/∂x produktivitas dari biomassa. Sehingga fungsi rente sumber daya sebagai: π (x, h) = ph – c (h/qx) = [p – (c/qx)]h dan fungsi pertumbuhan sebagaimana persamaan (∂x/∂t) = F (x) = rx [ 1 – (x/K)], maka dengan melakukan penurunan sesuai kaidah pada persamaan (2) akan menghasilkan rumus: (∂F/∂x) = r [1 – (2x/K)] …. (4) (∂π/∂x) = (ch/qx2) …. (5) (∂π/∂h) = [p – (c/qx)] …. (6) dengan mensubstitusikan persamaan (4), (5), dan (6), ke dalam persamaan (2) maka diperoleh: r [1-(2x/K)] + [(ch/(qx2)]/[p-(c/qx)] = δ ch = δ – r [1 – (2x/K)] qx2 [p-(c/qx)] h* = (x/c) (pqx-c) {δ-r[1- (2x/K)]} …. (7) kemudian persamaan (∂x/∂t) = F (x) = rx [ 1 – (x/K)] dan persamaan (2) disubstitusikan ke persamaan (7), sehingga menghasilkan solusi untuk nilai stok ikan optimal, yaitu: rx [1-(x/K)] = (x/c) (pqx-c){δ-r[1-(2x/K)]} x* = {(c/Kpq)+1-(δ/r)+√[(c/Kpq)+(1-(δ/r)]+(8cδ/Kpqr)} dengan diketahuinya nilai stok dan produksi optimal, maka nilai upaya sebagai berikut: E* = h*/qx*
114
PERSPEKTIF GENDER DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PADA SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS (SDGS) Dina Martiany* “Women and Girls Are Thirsty for Available, Accessible and Affordable Clean and Safe Water.” Lakshmi Puri, Deputy Executive Director of UN Women
A. PENDAHULUAN Air adalah Hak Asasi Manusia. United Nations General Assembly mendeklarasikan pernyataan tersebut melalui Resolusi Nomor 64/292, pada tanggal 28 Juli 2010. Diserukan kepada seluruh negara dan organisasi internasional agar mengalokasikan anggaran dan membantu peningkatan kapasitas, serta melakukan transfer teknologi kepada negara lain, terutama negara berkembang dalam hal penyediaan air minum dan sanitasi yang bersih, aman, mudah diakses, dan terjangkau. United Nations (UN) sejak lama telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi krisis global yang disebabkan oleh kekurangan ketersediaan air bersih. UN memiliki berbagai forum pertemuan khusus untuk membahas mengenai akses dan ketersediaan air bersih, antara lain: The United Nations Water Conference (1977), The International Drinking Water Supply and Sanitation Decade (1981-1990), The International Conference on Water and the Environment (1992) dan The Earth Summit (1992). Isu peningkatan akses terhadap ketersediaan air bersih juga menjadi salah satu tujuan yang ingin dicapai melalui Millennium Development Goals (MDGs) atau Tujuan Pembangunan Milenium, yang dideklarasikan sejak tahun 2000.1 Untuk mencapai target nomor tujuh MDGs memastikan kelestarian lingkungan hidup (Ensuring Environmental Sustainability), salah satu *
1
Peneliti Bidang Kesejahteraan Sosial pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI. Data diambil dari Ikhtisar mengenai Air (WATER) pada http://www.un.org/en/ globalissues/water/, diakses tanggal 4 September 2013.
115
Perspektif Gender dalam Pengelolaan Sumber Daya Air
indikatornya adalah pencapaian Target 7C, yaitu: Menurunkan Proporsi Rumah Tangga tanpa Akses Air Bersih dan Sanitasi yang Layak. Selanjutnya, pada tahun 2003, Chief Executives Board of United Nations (CEB) mendirikan UN-Water yang bertugas melakukan mekanisme koordinasi antar-negara di dunia, mengenai isu air bersih dan sanitasi. Dalam rangka mendukung percepatan pencapaian MDGs, Sidang Umum UN juga menetapkan Tahun 2005-2015 sebagai periode International Decade for Action: “Water for Life”. Dasawarsa ini dimulai pada tanggal 22 Maret 2005, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Air Sedunia (World Water Day).2 Isu pengelolaan sumber daya air juga merupakan salah satu butir Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs disepakati oleh negara-negara di dunia dalam United Nations Conference on Sustainable Development (UNCSD) atau Rio+20 di Rio de Janeiro, Brazil pada tanggal 20-22 Juni 2012. Hasil dari konferensi ini akan dilaksanakan mulai tahun 2015, setelah periode MDGs selesai. Di Indonesia pengaturan mengenai pengelolaan Sumber Daya Air telah dimuat dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Selain itu, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA). Konsiderans Menimbang Huruf (b) UU SDA menyebutkan: “bahwa dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, sumber daya air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras”. Pengelolaan sumber daya air di Indonesia merupakan kewajiban dan tanggung jawab negara, yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Meskipun demikian dalam praktiknya, sangat dibutuhkan keterlibatan masyarakat. Konsideran Menimbang Huruf (d) UU SDA menyebutkan: “bahwa sejalan dengan semangat demokratisasi, desentralisasi, danketerbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, masyarakat perlu diberi peran dalam pengelolaan sumber daya air”. Ditegaskan kembali dalam Pasal 11 Ayat (3) UU SDA yang menyebutkan bahwa penyusunan pola pengelolaan sumber daya air dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat. Peran masyarakat, baik perempuan dan lakilaki dianggap penting karena masyarakat merupakan pengguna, pengumpul, sekaligus pengelola air. Setiap komunitas masyarakat memiliki perilaku dan local wisdom tersendiri dalam pengelolaan sumber daya air.
2
Ibid.
116
Dina Martiany
Dalam kelompok masyarakat, seringkali perempuan dan laki-laki dianggap memiliki perbedaan tanggung jawab dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya air. Pada umumnya, perempuan membutuhkan air untuk kebutuhan rumah tangga, seperti: memasak, mandi, menjaga kesehatan anak-anak dan keluarga. Laki-laki membutuhkan air untuk irigasi dan ternak.3 Meskipun demikian, perempuan memiliki kebutuhan khusus terhadap air, yaitu untuk keperluan kesehatan reproduksinya, seperti pada saat menstruasi dan kehamilan. Apabila ketersediaan air bersih berkurang atau terkontaminasi, seringkali perempuan berupaya mencari sumber daya air alternatif.4 Hal ini menjelaskan mengapa hampir di seluruh komunitas masyarakat, perempuan dianggap memiliki tanggung jawab utama dalam pengelolaan sumber daya air. Pentingnya keterlibatan perempuan dan integrasi perspektif gender dalam pengelolaan sumber daya air telah dibahas dan disepakati dalam berbagai forum pertemuan negara-negara di dunia. Dimulai dari United Nations Water Conference at Mar del Plata tahun 1977, The International Drinking Water and Sanitation Decade (1981-1990), dan The International Conference on Water and the Environment di Dublin pada Januari 1992. Selain itu, sejak tahun 1979, The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) pada Article 14 telah mencantumkan kewajiban negara-negara peserta untuk menjamin agar perempuan terutama di pedesaan, dapat berpartisipasi dan memperoleh manfaat pembangunan, termasuk ketersediaan air bersih. Hasil studi yang dilakukan oleh the International Water and Sanitation (IRC) terhadap 88 proyek air dan sanitasi masyarakat di 15 negara menunjukkan bahwa desain dan pelaksanaan proyek yang melibatkan partisipasi penuh dari perempuan hasilnya lebih efektif dan berkelanjutan.5 Pada tahun 2008, UNICEF menyatakan bahwa tujuan MDGs terkait dengan air dan sanitasi tidak akan dapat tercapai tanpa adanya keterlibatan penuh perempuan.6 Masih banyak contoh lain yang menunjukkan pengelolaan sumber daya air menjadi lebih baik ketika perempuan dilibatkan. Meskipun
3
4
5
6
Women and Water Management: an Integrated Approach (Chapter V), http://www.unep. org/pdf/women/ChapterFive.pdf Gender and Water -Securing Water for Improved Rural Livelihoods: The Multiple-Uses System Approach, International Fund for Agricultural Development (IFAD), 2007, hal. 6. Van Wijk-Sijbesma, Christine, 1998. Gender and Resource Management, Water Supply and Sanitation: Roles and Realities Revisited. International Research Centre for Water and Sanitation, Delft, The Netherlands, dalam UN WATER-Gender, Water, and Sanitation: A Policy Brief, tanpa tahun. UNICEF-Wash and Women, http://www.unicef.org/wash/index_womenandgirls.html, diakses pada tanggal 16 September 2013.
117
Perspektif Gender dalam Pengelolaan Sumber Daya Air
keterlibatan peran perempuan telah diakui secara global sebagai isu penting dalam pengelolaan sumber daya air, demi untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan manusia, namun hingga saat ini masih terjadi kesenjangan besar antara retorika dan praktiknya. Tanggung jawab untuk mengambil dan menyediakan air bersih di rumah tangga berada di tangan perempuan, tetapi laki-laki memegang kendali dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya air. Keterlibatan perempuan dalam pengelolaan sumber daya air masih sangat rendah. Program pengelolaan air bersih yang dilakukan oleh pemerintah pun belum banyak yang melibatkan perempuan. Hal ini tentu saja menjadi salah satu permasalahan serius dalam pencapaian target-target pembangunan yang terkait ketersediaan air bersih. 780 juta orang di seluruh dunia mengalami kekurangan akses terhadap air minum dan 2,5 miliar orang tidak memiliki akses terhadap sanitasi yang layak.7 Di Indonesia, Laporan Pencapaian MDGs Tahun 2012 yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan pencapaian tujuan ke 7 terkait akses terhadap air bersih masih sulit dicapai hingga Tahun 2015. Proporsi Rumah Tangga dengan akses air berkelanjutan terhadap air minum layak di Indonesia hanya mencapai 41,66% (2012) dari target MDGs yang ingin dicapai sebesar 68,87% pada tahun 2015. Dengan proporsi penduduk di kota sebesar 38,96% (2012) dari target sebesar 75,29% (2015) dan di desa sebesar 44,28% (2012) dari target 65,81% (2015). Melihat pada kondisi kenyataan di atas, keterlibatan peran perempuan dan pengintegrasian perspektif gender dianggap dapat menjadi salah satu solusi dalam mengatasi permasalahan pengelolaan sumber daya air. Oleh karena itu, melalui tulisan ini akan ditelaah lebih dalam bagaimana peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya air dan bagaimana mengintegrasikan perspektif gender dalam pengelolaan sumber daya air. B. SUMBER DAYA AIR DALAM SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS (SDGS) Sumber daya air yang bersih dan sehat merupakan kebutuhan vital untuk menjamin ketahanan dan kesejahteraan manusia.Pada November 2002, The UN Committee on Economic, Social, and Cultural Rights mengadopsi General Comment No. 15 mengenai Hak Atas Air (Rights to Water) menyatakan, bahwa setiap orang berhak atas air yang layak dan bersih. Air sebagai unsur pemenuhan kebutuhan dasar manusia, harus memenuhi beberapa hal
7
Data diperoleh dari Joint Monitoring Progress (JMP) Report on Water and Sanitation. JMP Report Progress on Sanitation and Drinking Water (2012 Update) http://www.wssinfo. org/documentslinks/documents/. Diakses pada tanggal 17 September 2013.
118
Dina Martiany
sebagai berikut8: cukup/memadai (sufficient); aman (safe); dapat diterima (acceptable); mudah diakses secara fisik (physically accessible); dan mudah dijangkau (affordable), baik untuk kebutuhan pribadi dan rumah tangga. Pentingnya pengelolaan sumber daya air menjadi perhatian besar bagi seluruh negara di dunia. Pada tanggal 20-21 Agustus 2013, di Dushanbe, Tajikistan diselenggarakan Konferensi Internasional Tingkat Tinggi dalam Kerja sama Pengelolaan Air (High-Level International Conference on Water Cooperation). Dalam konferensi ditegaskan bahwa kerja sama pengelolaan air pada tingkat nasional dan global sangat penting untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan. The Associate Administrator of the UN Development Programme (UNDP), Rebeca Grynspan, mengatakan bahwa negara-negara di dunia harus bekerja sama untuk meningkatkan akses terhadap air bersih dan sanitasi. Termasuk memperbaiki pengelolaan air irigasi dan penggunaan untuk tujuan produktif.9 Sumber daya air dan yang dikelola dengan manajemen yang baik, akanmemberikan pengaruh yang besar terhadap hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat, yaitu: ekonomi, kesehatan, produksi makanan dan ketahanan pangan, ketersediaan air bersih dan sanitasi, energi, industri, dan keseimbangan ekosistem.10 Akses terhadap sumber daya air bersih dan mudah dijangkau akan membantu mengurangi kemiskinan. Masyarakat dapat menghemat waktu mereka dan lebih fokus pada aktivitas produktif yang menghasilkan pendapatan. Ketersediaan sumber daya air bersih juga mencegah orang dari berbagai penyakit yang dapat menyebabkan kehilangan waktu produktif. Kemudahan akses terhadap air bersih bagi perempuan pada saat kehamilan dan melahirkan dapat mencegah terjadinya kematian ibu dan bayi.11 Sejalan dengan hal tersebut, Ban Ki Moon, UN Secretary General mengatakan bahwa air minum yang aman dan sanitasi layak merupakan dua
8
9
10
11
Diambil dari artikel: The Human Right to Water and Sanitation: Media Brief, pada situs http://www.un.org/waterforlifedecade/pdf/human_right_to_water_and_sanitation_ media_brief.pdf, hal. 2-6. Diakses pada tanggal 10 September 2013 Pernyataan Rebeca Grynspan, The Associate Administrator of the UN Development Programme (UNDP), dalamberita:’Water Cooperation Must be a Priority on Sustainable Development Agenda” – UN official http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=45664&Cr=water&Cr1=#. UhV-sH-FQZE, diakses pada tanggal 16 September 2013. Dari Artikel “Climate Change Adaptation is Mainly About Water..”, diakses melalui:http://www. unwater.org/downloads/UNWclimatechange_EN.pdf, pada tanggal 10 September 2013. Data diperoleh dari Makalah ”Ensuring Rights to Water and Sanitation for Women and Girls”. Disampaikanoleh Lyla Mehta, Fellow Institute of Development Studies, UK dan Visiting Professor di Norwegian University of Life Sciences, pada forum INTERACTIVE EXPERT PANEL: Challenges and Achievements in the Implementation of the Millennium Development Goals for Women and Girls. United Nations Commission on the Status of Women, Fifty-seventh Session, Tanggal 4-15 Maret 2013, New York.
119
Perspektif Gender dalam Pengelolaan Sumber Daya Air
hal krusial dalam mengurangi kemiskinan, serta krusial dalam pencapaian Sustainable Development dan beberapa atau setiap butir MDGs.12 Dalam Sustainable Development Goals/SDGs, sumber daya air secara eksplisit disebutkan sebagai salah satu tujuan pembangunan global yang ingin diwujudkan oleh seluruh negara di dunia. Sustainable Development merupakan pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri (development which meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs). Agenda 21 Deklarasi Rio, menyebutkan Sustainable Development merupakan konvergensi antara tiga pilar pembangunan: ekonomi, keadilan sosial, dan perlindungan lingkungan.13 Sustainable Development merupakan konsep cair dan memiliki berbagai definisi yang terus berkembang. Meskipun demikian, terlepas dari berbagai perdebatan mengenai pengertian Sustainable Development, ada beberapa prinsip umum yang perlu diperhatikan. Ketiga prinsip tersebut, yaitu:14 1) diperlukan komitmen terhadap keadilan dan kejujuran, yang harus menjadi prioritas dalam meningkatkan kondisi negara miskin, tetapi dengan memperhitungkan hak generasi masa depan; 2) pandangan jangka panjang yang menekankan prinsip pencegahan: dimana jika terjadi ancaman kerusakan serius atau tidak dapat diperbaiki, kekurangan kepastian/datailmiah tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk menunda langkah-langkah efektif untuk mencegah degradasi lingkungan (Rio Declaration on Environment and Development, Prinsip ke 15); dan 3) Sustainable Development dapat mewujudkan integrasi, dan memahami dan bertindak dengan mengkaitkan dimensi lingkungan, ekonomi, dan masyarakat. SDGs diharapkan dapat membantu mendorong agar area sustainable development menjadi lebih fokus dan dapat dilaksanakan padatataran praktis. Apabila MDGs dilaksanakan hanya di negara-negara berkembang, maka SDGs akan dilaksanakan oleh seluruh negara di dunia. Butir-butir SDGs perlu dirumuskan dengan seksama agar dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan dalam penyusunan kebijakan nasional mengenai sustainable development di seluruh negara.
12
13
14
Dari artikel: The Human Right to Water and Sanitation: Media Brief, pada situs http:// www.un.org/waterforlifedecade/pdf/human_right_to_water_and_sanitation_media_ brief.pdf, diakses pada tanggal 10 September 2013. John Drexhage dan Deborah Murphy dari International Institute for SustainableDevelopment (IISD). “Sustainable Development: From Brundtland to Rio 2012”, Background Paper dipersiapkan untuk Pertemuan Pertama High Level Panel on Global Sustainability pada tanggal 19 September 2010, Kantor Pusat United Nations, New York.hal. 2. Ibid.
120
Dina Martiany
C. PERAN PEREMPUAN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR Sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan sumber daya air yang berkelanjutan, keterlibatan peran perempuan sangat diperlukan. Pentingnya peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya air, sanitasi, dan kebersihan tidak dapat dipungkiri lagi. Hampir di seluruh komunitas masyarakat di dunia, memastikan akses dan ketersediaan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga umumnya menjadi tanggung jawab perempuan. Rata-rata perempuan dan anak perempuan dapat menghabiskan waktu antara tiga menit sampai dengan tiga jam per hari hanya untuk mengumpulkan air bersih. Apabila digabungkan di 25 negara, diperkirakan perempuan menghabiskan waktu sekitar 16 juta jam per hari untuk mengumpulkan air. Lebih dari 18% penduduk Sub-Sahara di Afrika masih harus mengambil air sejauh lebih dari 30 menit.15 Di Afrika, 90% pekerjaan mengumpulkan kayu dan air dilakukan oleh perempuan.16 Tidak jarang bagi perempuan untuk menghabiskan waktu empat hingga enam jam per hari untuk berjalan, mengantri, dan membawa air dari sumber air. Meskipun telah melalui perjalanan panjang, tidak menjamin air yang dibawa tersebut berkualitas baik. Belum lagi ancaman kesehatan perempuan akibat membawa air dalam jumlah yang banyak dan berat, serta penyakit yang disebabkan karena kualitas air yang tidak baik. Padahal dengan waktu selama itu, seharusnya perempuan dapat melakukan banyak pekerjaan produktif atau mengurus rumah tangga dan anak-anak. Di Aceh dan Sumatera Utara, Indonesia, perempuan merupakan pengumpul, pengguna, dan pengelola utama air. Pada tahap rehabilitasi fasilitas air dan sanitasi pasca bencana tsunami di Aceh tahun 2004 dan di Nias tahun 2005, perempuan dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan air bersih. Bantuan pembangunan sistem air masyarakat yang diberikan oleh Community Water Services and Health Loan Project (CWSHP) memberikan kemudahan akses air bersih bagi perempuan. Sebelum Maret 2010, telah dibangun sekitar 65.000 rumah tangga dengan fasilitas air bersih di 382 desa di Aceh dan Nias.17 Proyek ini berhasil mengurangi waktu perempuan untuk
15
16
17
Data diperoleh dari Makalah ”Ensuring Rights to Water and Sanitation for Women and Girls”. Disampaikanoleh Lyla Mehta, Fellow Institute of Development Studies, UK dan Visiting Professor di Norwegian University of Life Sciences, pada forum INTERACTIVE EXPERT PANEL: Challenges and Achievements in the Implementation of the Millennium Development Goals for Women and Girls. United Nations Commission on the Status of Women, Fifty-seventh Session, Tanggal 4-15 Maret 2013, New York. Fact Sheet: Water and Gender.September 2013. Diakses dari situs UN WATER tanggal 20 September 2013 pada alamat http://www.unwater.org/downloads/water_and_gender.pdf “Indonesia: Making Water Supply and Sanitation Women’s Business in Aceh and Nias”. Oktober, 2010. Artikel pada situs http://www.adb.org/themes/gender/case-studies/indonesiawater-supply-sanitation-womens-business. Diakses pada tanggal 12 September 2013.
121
Perspektif Gender dalam Pengelolaan Sumber Daya Air
mengumpulkan air, sehingga mereka dapat melakukan aktivitas lainnya dan lebih produktif. Selain peran penting perempuan dalam mengumpulkan air bersih, perempuan merupakan pengguna yang memiliki tingkat kebutuhan air bersih yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Perempuan membutuhkan air bersih setidaknya untuk kebutuhan reproduksinya seperti pada saat menstruasi, kehamilan, dan higenitas. Keterbatasan akses terhadap air bersih dan sanitasi yang layak merupakan permasalahan akut yang dialami perempuan dan anak perempuan di pemukiman padat penduduk dan pedesaan di negara berkembang. Mereka harus menunggu hari mulai gelap untuk pergi ke sanitasi umum atau sumber air, bahkan seringkali harus menghadapi ancaman kekerasan seksual. Di beberapa negara, tingkat kehadiran anak perempuan di sekolah menurun dan angka putus sekolah meningkat di sekolah yang tidak memiliki akses terhadap air bersih dan fasilitas toilet yang terpisah antara anak laki-laki dan perempuan. Di Tanzania, tingkat kehadiran di sekolah meningkat 12% sebagai dampak dari pengurangan waktu ke sumber air dari 30 menit menjadi 15 menit.18 Dengan berbagai kondisi dan kebutuhan khusus perempuan, maka keterlibatan perempuan dalam setiap proses pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan adalah keharusan. Kenyataannya sampai saat ini, perempuan masih terpinggirkan dari pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan terkait sumber daya air dan sanitasi. Akibatnya kebutuhan spesifik perempuan tidak masuk perhitungan dalam pembangunan program air dan sanitasi. Padahal dengan melibatkan peran perempuan, sangat banyak keuntungan yang dapat diperoleh bagi masyarakat secara umum dan khususnya bagi kelompok perempuan itu sendiri. Perempuan lebih mengetahui apa yang dibutuhkan dan bagaimana sistem pengelolaan air yang baik bagi masyarakat setempat. Selama ini perempuan yang bertanggung jawab memastikan ketersediaan air bersih, merawat anggota keluarga yang sakit, mengurusi anak-anak, dan menangani kebersihan lingkungan rumah tangga. Apabila tanggung jawab perempuan tersebut difasilitasi dengan baik, dengan adanya akses sumber daya air yang memadai dan mudah dijangkau, maka pelayanan dan kualitas hidup masyarakat setempat akan meningkat. UN Water dalam kertas fakta atau Fact Sheet: Gender and Water yang dikeluarkan bulan September 2013 menyebutkan dengan adanya kesamaan akses terhadap sumber daya produktif, seperti laki-laki, salah satunya akses terhadap sumber daya air, perempuan dapat meningkatkan 20-30% keuntungan dari pertaniannya dan
18
Fact Sheet: Water and Gender.September 2013. Diakses dari situs UN WATER tanggal 20 September 2013 pada alamat http://www.unwater.org/downloads/water_and_gender.pdf
122
Dina Martiany
mengeluarkan 150 juta orang dari kelaparan.19 Keterlibatan peran perempuan akan memberikan dampak positif dalam peningkatan kesehatan masyarakat, karena perempuan memiliki pengetahuan yang baik mengenai sumber daya air lokal dan berbagai permasalahannya. Kepentingan perempuan untuk menjaga kesehatan keluarga akan mendorong perempuan untuk terus berupaya meningkatkan kualitas pengelolaan sumber daya air dan sanitasi. Bersama-sama dengan komunitas perempuan yang ada di masyarakatnya, perempuan dapat saling tukar pengetahuan mengenai pengelolaan sumber daya air untuk kesehatan keluarga dan masyarakat. Selain itu, perempuan juga dapat mengajak laki-laki untuk terlibat dan mau peduli terhadap pengelolaan air bersih untuk rumah tangga, demi peningkatan kualitas hidup keluarga dan masyarakat. Sementara itu, esensi peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan akan memberikan keuntungan bagi perempuan itu sendiri dalam beberapa hal, sebagai berikut:20 a. privasi dan harkat perempuan(privacy and dignity); Permasalahan buang air besar dan kebutuhan dasar akan sumber daya air dan sanitasi adalah sangat esensi bagi setiap orang, terutama perempuan dan anak perempuan. Masa menstruasi, kehamilan dannifaslebih berpotensi mengalami permasalahan, apabila perempuan tidak memiliki akses terhadap sumber air dan sanitasi yang memadai. Di banyak tempat, akses perempuan ke sumber daya air dan sanitasi yang layak sangat terbatas, bahkan harus menghadapi ancaman kekerasan seksual dan kejengahan di fasilitas umum yang terbuka. Meskipun demikian, hal ini dapat diatasi dengan merancang fasilitas yang memenuhi tuntutan fisik dan psikologis perempuan. Melibatkan perempuan dalam pengelolaan sumber daya air bersih yang berkelanjutan akan meningkatkan privasi dan harkat perempuan, karena: • kebutuhan khusus perempuan menjadi pertimbangan; • gejala yang berhubungan dengan menstruasi, kehamilan dan kelahiran anak dapat diatasi dengan baik; • perempuan terhindar dari ancaman pelecehan seksual dan risiko kesehatan yang membahayakan akibat menunda buang air besar dan buang air kecil; • kerentanan perempuan terhadap pelecehan seksual dan bentuk kekerasan lainnya, dapat berkurang; dan
19 20
Ibid. Evidence Report: “For Her It’s The Big Issue: Putting Women at The Centre of Water Supply, Sanitation, and Hygiene (WASH). Tanpa tahun. Dipublikasikan oleh UNICEF, Gender And Water Alliance (GWA), Norwegian Ministry of Foreign Affair, dan Water Supply and Sanitation Collaborative Council.
123
Perspektif Gender dalam Pengelolaan Sumber Daya Air
•
lebih mudah untuk memelihara kebersihan pribadi, dan meningkatkan percaya diri dan harkat perempuan dalam menjaga kebersihan diri sendiri.
b. kesehatan dan kesejahteraan (health and well being); Intervensi terhadap seumber daya air akan mengakibatkan peningkatan kesehatan yang signifikan bagi seluruh masyarakat. Hal ini akan menguntungkan bagi perempuan, bukan hanya untuk kesehatan mereka sendiri, tetapi kesehatan keluarga yang biasa mereka jaga. Melibatkan perempuan sebagai sentral dalam pengelolaan sumber daya air bersih yang berkelanjutan akan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan perempuan, karena: • menjadi lebih sehat pada masa kehamilan; • pengalaman melahirkan lebih baik; • angka kematian dan morbiditas (ketidak-normalan) saat melahirkan dapat berkurang; • perempuan terhindar dari bahaya dan ancaman kekerasan seksual pada saat mengambil air dari tempat yang jauh; • perempuan terhindar dari risiko penyakit yang timbul akibat membawa beban air yang berat dan menempuh jarak yang jauh; dan • bagi perempuan dengan kemampuan terbatas, akan lebih mudah, aman, dan nyaman dalam menjaga kesehatan reproduksi dan kebersihan diri mereka sendiri.
c. meningkatkan kehadiran anak perempuan di sekolah (girls’ school attendance); Dari 120 juta anak usia sekolah yang tidak bersekolah, mayoritas adalah perempuan. Secara regional, berarti 41% dari anak perempuan usia SD di seluruh dunia, yang tidak dapat bersekolah berada di Asia Selatan, dan 35% tinggal di Sub-Sahara Afrika. Efek dari kurangnya pendidikan menyebabkan dua pertiga dari semua orang yang buta huruf di dunia adalah perempuan. Keterlibatan peran perempuan pada pusat pengelolaan sumber daya air, baik sebagai pengguna maupun pengelola, dapat meningkatkan kehadiran anak perempuan di sekolah, karena: • mereka tidak harus melakukan perjalanan jauh mengambil air untuk kebutuhan rumah tangga, sehingga mereka dapat bersekolah dengan baik; • apabila sekolah memiliki sumber air dan fasilitas sanitasi yang baik, maka anak perempuan akan lebih nyaman saat berada di sekolah; • anak perempuan yang sedang mengalami menstruasi tidak harus merasa malu dan kesulitan air dan sanitasi pada saat di sekolah; dan • akan lebih merekrut dan mempertahankan guru perempuan di sekolah yang memiliki sumber daya air dan sanitasi layak. 124
Dina Martiany
d. meningkatkan penghasilan rumah tangga (income generation); dan Menyediakan sumber daya air yang mudah dijangkau, akan berdampak positif terhadap peningkatan waktu produktif perempuan. Perempuan memiliki keuntungan langsung dan tidak langsung dari keterlibatannya dalam aktivitas produktif atau yang dapat menghasilkan uang. Keuntungan langsungnya, perempuan akan lebih mudah dalam mengerjakan kegiatan rumah tangga atau kegiatan produktif yang membutuhkan sumber daya air, seperti memasak atau mencuci pakaian. Adapun keuntungan tidak langsungnya, yaitu perempuan memiliki waktu yang lebih banyak, karena tidak perlu mengambil air dari sumber yang jauh, sehingga mereka dapat lebih cepat menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, bahkan dapat bekerja yang produktif dan menghasilkan uang.
e. perempuan menjadi role model (women as positive role model). Perempuan yang berperan dalam perencanaan, desain danimplementasi pengelolaan sumber daya air, sanitasi dan kebersihan seringkali merasakan hal ini sebagai pengalaman yang memberdayakan. Ada perubahan pandangan bagi perempuan itu sendiri dan komunitas perempuan di masyarakatnya, karena memiliki keterampilan dan potensi. Padahal sebelumnya mereka seringkali terpinggirkan dan dianggap tidak mampu. Peningkatan keterampilan dan potensi ini memberi peluang bagi perempuan, antara lain untuk meningkatkan pendapatan dan meningkatkan partisipasi publik perempuan. Keterlibatan peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya air dapat meningkatkan status dan menjadikan perempuan role model bagi yang lainnya, karena: • perempuan diakui memiliki keterampilan dan pengetahuan di luar ruang lingkup peran tradisional mereka; • perempuan dapat memperkuat pendapat dan suara mereka untuk menegosiasikan kepentingan mereka dalam keluarga dan kelompok masyarakat; • perempuan menjadi lebih percaya diri untuk tampil dalam berbagai aktivitas publik dan mengambil kesempatan untuk menjadi pemimpin, serta menjadi contoh bagi perempuan lainnya; • peluang untuk mendapatkan pekerjaan, otonomi, dan kebebasan; dan • perubahan dan pemberdayaan perempuan akan berpengaruh positif pada pola relasi antara perempuan dan laki-laki di tengah masyarakat. Dari berbagai uraian mengenai esensi keterlibatan perempuan dalam pengelolaan sumber daya air bersih, dapat dilihat dengan jelas bahwa peran perempuan memberikan dampak yang sangat baik. Program pengelolaan sumber daya air di berbagai negara menjadi lebih sukses dan berkelanjutan ketika perempuan berperan aktif. UN Water menyebutkan apabila perempuan 125
Perspektif Gender dalam Pengelolaan Sumber Daya Air
berperan dalam proyek pengelolaan sumber daya air di suatu daerah, maka efektivitas proyek tersebut meningkat 6-7%.21 Di satu sisi, melalui keterlibatan ini, perempuan memperoleh pemberdayaan yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka, keluarga, dan masyarakat. Dalam lingkup yang lebih luas, keadaan ini akan mendorong perubahan peran gender tradisional dan relasi sosial antara perempuan dan laki-laki. Perempuan lebih percaya diri mengambil kesempatan untuk berperan dalam pengambilan keputusan di keluarga dan masyarakat, bahkan terlibat dalam proses penyusunan kebijakan publik.
D. PERSPEKTIF GENDER DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR Keterlibatan peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya air merupakan bagian dari mengintegrasikan perspektif gender. Sebagaimana yang telah dibahas pada bab sebelumnya, adanya peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya air terpadu dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi proyek. Tanpa perhatian khusus terhadap isu-isu gender, dapat menyebabkan ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki, bahkan meningkatkan disparitas gender. Dalam beberapa dekade terakhir, telah banyak bukti yang menunjukkan adanya peran perempuan dapat mendorong pengelolaan sumber daya air lebih berkelanjutan dan memastikan manfaat sosial dan ekonomi yang maksimal dari suatu pembangunan infrastruktur. Berbagai konferensi internasional pun telah mengamanatkan pengintegrasian perspektif gender dalam pengelolaan sumber daya air. 1. Perspektif Gender dalam Konferensi Internasional Terkait Sumber Daya Air Konferensi Internasional tentang Air dan Lingkungan (International Conference on Water and the Environment) di Dublin pada Januari 1992, secara eksplisit mengakui peran esensial perempuan dalam penyediaan, pengelolaan dan pengamanan sumber daya air. Prinsip Ketiga dalam Dublin Statement on Water and Sustainable Development22 menyebutkan bahwa peran penting perempuan sebagai penyedia, pengguna air, dan penjaga lingkungan hidup selama ini jarang tercermin dalam peraturan institusi (negara) untuk pengembangan dan pengelolaan sumber daya air. Penerimaan dan penerapan prinsip ini memerlukan kebijakan positif untuk mengatasi kebutuhan spesifik perempuan, serta untuk melengkapi dan memberdayakan perempuan untuk berpartisipasi di semua tingkatan pengelolaan sumber daya air, termasuk pengambilan keputusan dan pelaksanaan, dengan cara yang ditentukan oleh mereka.
21
22
Fact Sheet: Water and Gender. September 2013. Diakses dari situs UN WATER tanggal 20 September 2013 pada alamat http://www.unwater.org/downloads/water_and_gender.pdf The Dublin Statement on Water and Sustainable Development, dibaca secara online pada http://www.wmo.int/pages/prog/hwrp/documents/english/icwedece.html
126
Dina Martiany
Selain itu, prinsip kesetaraan gender tertuang pula dalam Chapter 18 Agenda 21 mengenai pentingnya melibatkan perempuan dan laki-laki secara bersamasama dalam pengelolaan sumber daya air. Termasuk memberdayakan perempuan dengan memberikan capacity building pengelolaan sumber daya air. Chapter 24 secara khusus menyebutkan peran perempuan dalam sustainable development, perempuan dianggap memiliki pengetahuan yang cukup dan pengalaman dalam mengelola dan melestarikan sumber daya alam. Resolusi untuk mendirikan Dekade Internasional untuk Aksi, ‘Water for Life’ (2005-2015) merupakan bukti pengakuan dunia internasional akan partisipasi dan keterlibatan perempuan dalam pengelolaan sumber daya air. UN-CSD 12(Commission on Sustainable Development) mengakui secara tegas bahwa “air berwajah perempuan (water has a women face)”. Melalui tangan perempuan aktivitas rumah tangga, komunitas, dan seluruh aktivitas ekonomi dapat berkelanjutan.23 Hasil dari The United Nations Conference on Sustainable Development (UNCSD) yang lebih dikenal dengan Rio 20+ yaitu The Future We Want: Rio+20 Outcome24 menyebutkan dalam beberapa poin komitmen yang mengakui bahwa kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, sumber daya air dan pengelolaan air yang berkelanjutan, diidentifikasi sebagai prioritas dalam sustainable development, demi untuk masa depan yang lebih baik. Dokumen Hasil Rio+20 (Angka 120) jelas menekankan komitmen masyarakat internasional terhadap realisasi progresif akses terhadap air minum yang aman dan terjangkau, sangat diperlukan untuk pengentasan kemiskinan, pemberdayaan perempuan dan perlindungan kesehatan manusia. Ditegaskan pula (Angka 31) komitmen masyarakat internasional untuk menjamin persamaan hak perempuan, akses, partisipasi dan kepemimpinan dalam perekonomian, masyarakat dan politik pengambilan keputusan. Lakshmi Puri, Deputi Direktur Eksekutif UN Women dalam pidato yang disampaikan pada Sesi Penutupan World Water Week di Stockholm, Swedia pada 31 Agustus 2012 mengatakan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan merupakan hal yang penting dalam sustainable development.25 Keduanya
23
24
25
Mainstreaming Gender in Water Management: A Critical View, ditulis oleh Smita Mishra Panda dalam Jurnal Gender Technology and Development, 2007 11:321. DOI: 10.1177/097185240701100302. Dipublikasikan oleh SAGE Publication atas nama Asian Institute and Technology (AIT) dan Gender And Development Studies (GDS). Dokumen hasil The United Nations Conference on Sustainable Development (UNCSD) di Rio de Janeiro-Brazil, pada tanggal 20-22 Juni 2013. “Outcome of the Conference: The Future We Want”. Dikeluarkan oleh United Nations, A/CONF.216/L.1. Gender Perspective on Water and Food Security, Pidato disampaikan oleh Lakshmi Puri Deputy Executive Director of UN Women pada acara penutupan Minggu Air Se-dunia/Closing Plenary Session of World Water Week, di Stockholm, Swedia, 31 August 2012. Diakses dari http:// www.unwomen.org/en/news/stories/2012/8/gender-perspectives-on-water-and-foodsecurity/#sthash.5IvRW5vh.dpuf, pada tanggal 26 September 2013.
127
Perspektif Gender dalam Pengelolaan Sumber Daya Air
penting karena ini bukan hanya merupakan masalah sosial, melainkan juga masalah ekonomi dan lingkungan. Berdasarkan hasil Rio+20 perlu ditekankan pada negara-negara di dunia untuk memastikan kepemimpinan perempuan dan partisipasi efektif dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan, program dan pengambilan keputusan di semua tingkatan. Oleh karena itu, keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam perencanaan, desain, manajemen dan pelaksanaan proyek-proyek dan program-program pengelolaan sumber daya air harus dilaksanakan dalam berbagai situasi dan tempat. Integrasi perspektif gender dalam setiap tahapan pengelolaan sumber daya air, diharapkan dapat mempercepat perwujudan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan berkelanjutan/sustainable development.
2. Integrasi Perspektif Gender dalam Pengelolaan Sumber Daya Air Pengintegrasian perspektif gender atau dikenal dengan istilah pengarusutamaan gender/gender mainstreaming adalah suatu proses menilai implikasi bagi perempuan dan laki-laki dari setiap perencanaan, termasuk legislasi, kebijakan atau program, di semua bidang dan pada semua tingkatan. Ini adalah strategi untuk membuat kebutuhan dan pengalaman perempuan dan laki-laki menjadi suatu dimensi integral dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program di semua bidang, sehingga perempuan dan laki-laki mendapatkan manfaat yang sama. Sementara itu, sesuai dengan Ketentuan Umum UU SDA disebutkan bahwa pengertian pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Integrasi perspektif gender dalam pengelolaan sumber daya air berarti mengarusutamakan kebutuhan dan pengalaman perempuan dan lakilaki dalam setiap proses dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, pendayagunaan, dan pengendalian daya rusak air. Idealnya proses perencanaan suatu program pengelolaan sumber daya air yang berperspektif gender dimulai dengan suatu analisis gender. Analisis gender bertujuan untuk memahami relasi gender, dampak perbedaan gender dan hubungan sosial yang melingkupinya, serta untuk mengetahui apabila terjadi ketidakadilan gender akibat suatu program. Perspektif gender dan pemberdayaan perempuan harus tercermin dengan adanya tujuan kesetaraan gender dan indikator keterlibatan penuh perempuan dalam pengelolaan sumber daya air. Termasuk ketersediaan infrastruktur dan layanan yang berperspektif gender. Data terpilah sebagai data awal untuk merumuskan perencanaan juga dibutuhkan, sehingga setiap program pengelolaan sumber daya air lebih dapat dirasakan manfaatnya secara merata 128
Dina Martiany
oleh perempuan dan laki-laki. Pengintegrasian perspektif gender dalam seluruh tahapan pengelolaan sumber daya air sangat penting dan dibutuhkan. Sampai saat ini, cukup banyak negara di dunia yang telah mengintegrasikan perspektif gender dalam berbagai program pengelolaan sumber daya air. Sejak tahun 2003, Uganda telah menerapkan Strategi Gender Sektor Air Minum, yang menekankan pentingnya keterlibatan perempuan pada seluruh tingkatan pengelolaan air minum. Di Lesotho dan Afrika Selatan, telah ada pengaturan mengenai kuota persentase staf perempuan dalam program pengelolaan sumber daya air. Di Republik Dominika, Otoritas Air Minum negara mempersyaratkan setidaknya 40 persen dari Komite Air minum harus perempuan.26 Di Indonesia, perspektif gender pun telah diintegrasikan menjadi salah satu prinsip dasar Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat (AMPL-BM). Disebutkan bahwa perempuan mempunyai peran dalam pengambilan keputusan pengelolaan sumber daya air bersih. Perspektif gender diterapkan pula dalam beberapa program pengelolaan sumber daya air yang telah dilaksanakan pemerintah, bekerjasama dengan organisasi nonpemerintah. Program CWSH (Community Water Services and Health Project) menempatkan kelompok perempuan sebagai posisi kunci untuk fasilitator program pengelolaan sumber daya air, yang keterlibatannya diharapkan disetiap level. Proyek WSLIC III (Water and Sanitation for Low Income Communities) atau PAMSIMAS (Program Nasional Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) salah satu isunya adalah gender dan kemiskinan.27 Proyek ini bertujuan untuk memperkuat peran perempuan dan masyarakat miskin dalam memperoleh hak dan kewajiban yang sama. Terutama untuk menyampaikan pendapat dan pengambilan keputusan dalam program. Pada prinsipnya, program penyediaan air minum, sanitasi, dan kesehatanakan efektif dan berkelanjutan, apabila dilakukan dengan berbasis masyarakat. Seluruh masyarakat, perempuan dan laki-laki, kaya dan miskin dilibatkan secara penuh dan dilakukan melalui pendekatan yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat (demand responsive approach), dengan mengintegrasikan perspektif gender. Integrasi perspektif gender perlu dilakukan oleh semua pihak dan pada semua tingkat, yaitu: pemerintah pusat; pemerintah daerah; masyarakat dan organisasi masyarakat sipil; lembaga donor dan organisasi internasional. UN
26
27
Isu Gender dalam Penyediaan Air Minum dan Sanitasi.Laporan Utama dalam Majalah PERCIK, Edisi April 2007. Media Informasi Air Minum, dan Penyehatan Lingkungan yang diterbitkan oleh Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL), Jakarta. ISSN I829-5967.Hal. 6. Implementasi Gender dalam Proyek AMPL di Indonesia. Opcit. Hal. 7.
129
Perspektif Gender dalam Pengelolaan Sumber Daya Air
merekomendasikan berbagai hal yang dapat dilakukan untuk mengintegrasikan perspektif gender, sebagaimana di bawah ini: 28 1. Pemerintah Pusat Pemerintah harus memiliki komitmen untuk menyusun agenda pengelolaan sumber daya air yang jelas dalam strategi pembangunan nasional, dan memastikan pengintegrasian perspektif gender di dalamnya. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat, yaitu sebagai berikut: a. memobilisasi sumber daya untuk meningkatkan akses terhadap air bersih dan sanitasi, antara lain melalui tindakan: • memfasilitasi akses kehibah atau kredit dengan persyaratan konsesi, bagi kelompok perempuan untuk instalasi dan pemeliharaan fasilitas air yang memadai; • mengalokasikan sumber daya untuk organisasi masyarakat sipil dan penyedia pelayanan air dan sanitasi skala kecil, terutama yang melibatkan perempuan sebagai mitra penuh; dan • Menyediakan mekanisme pembiayaan alternatif kredit mikro dan kreatif bagi organisasi kesetaraan gender, untuk pengelolaan sumber daya air berbasis masyarakat dan layanan sanitasi. b. Memperkuat legislasi dan memfasilitasi akses masyarakat terhadap tanah dan air untuk keperluan produktif, antara lain melalui tindakan: • mengakui peran penting perempuan dalam pertanian, peternakan dan perikanan, kemudian membantu mereka dalam memperoleh akses ke sumber daya air untuk keperluan produktif dan kesepakatan perempuan hak yang sama untuk kepemilikan lahan; • mendukung dan mempromosikan pengaturan tanah yang adil dan kepemilikan yang memungkinkan produsen perempuan dapat menjadi pembuat keputusan dan pemilik; dan • meningkatkan produktivitas perempuan dalam menggunakan air untuk pertanian dan usaha kecil melalui pelatihan, membuka akses pasar, dan akses terhadap informasi. c. meningkatkan akses masyarakat terhadap sanitasi yang layak; • memastikan program sanitasi di seluruh daerah berperspektif gender; • menyediakan dana untuk pendidikan kesehatan dalam kurikulum sekolah dan fasilitas sanitasi yang terpisah untuk anak perempuan dan laki-laki; dan
28
UN WATER-Gender, Water, and Sanitation: A Policy Brief, tanpa tahun.Policy Brief ini dikembangkan oleh The Inter-agency Task Force on Gender and Water (GWTF),a subprogramme of both UN-Water and the Interagency Network on Women and Gender Equality (IANWGE), untuk mendukung pelaksanaan TheInternational Decade for Action, ‘Water for Life,’ 2005–2015.
130
Dina Martiany
•
mengidentifikasi, melalui analisis gender, kelompok-kelompok sosial dan ekonomi yang secara kronis terpinggirkan dari akses terhadap sanitasi yang layak. d. Mengembangkan kapasitas dan mendorong partisipasi masyarakat, antara lain dapat dilakukan dengan: • memperkenalkan tindakan afirmatif bagi perempuan dalam pelatihan teknis dan manajerial terkait pengelolaan sumber daya air; • memastikan persentase minimum partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan dari menteri ke tingkat desa; • memberikan bantuan untuk memfasilitasi penelitian kesetaraan gender dalam pengelolaan sumber daya air; • mengalokasikan dana untuk pengembangan kapasitas perempuan dan anak perempuan; dan • mendorong perempuan dan laki-laki untuk berpartisipasi dalam usaha yang terkait pengelolaan sumber daya air. 2. Pemerintah Daerah antara lain dapat melakukan hal sebagaimana di bawah ini: a. mendorong pengarusutamaan gender di pemerintahan daerah dan masyarakat; b. mempromosikan pesan-pesan pendidikan kesehatan melalui kelompok perempuan, sekolah dan klinik kesehatan; c. merancang dan mengimplementasikan pembangunan kapasitas untuk mempertimbangkan kebutuhan perempuan dan laki-laki dalam desain air, sanitasi dan program pendidikan kebersihan; d. menghapus bias gender internal dan diskriminasi dalam organisasi sektor publik; e. mendorong anggaran berperspektif gender, sehingga pemerintah daerah dapat menilai nilai ekonomi dari komitmen kebijakan tentang kesetaraan gender. 3. Masyarakat dan Organisasi Masyarakat Sipil antara lain dapat melakukan hal sebagaimana di bawah ini: a. melobi penyediaan pelayanan yang lebih baik untuk perempuan dan anak; b. membantu mengumpulkan informasi mengenai akses, kebutuhan, prioritas dan perspektif dari perempuan dan laki-laki mengenai pengelolaan sumber daya air; c. dukungan kesetaraan bagi perempuan dalam proses pengambilan keputusan di tingkat lokal; d. memampukan perempuan dan anak perempuan untuk memperoleh akses terhadap informasi, pelatihan dan sumber daya yang berkaitan dengan air. 131
Perspektif Gender dalam Pengelolaan Sumber Daya Air
4. Lembaga Donor dan Organisasi Internasional a. melibatkan para pemimpin perempuan, terutama menteri dan ilmuwan lingkungan dan sumber daya air, sebagai role model dalam upaya pengintegrasian gender dalam pengelolaan sumber daya air di semua tingkatan; b. mempromosikan Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam air dan sanitasi melalui kerja sama dengan MDG-3: mempromosikan kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan. c. mengumpulkan dan menyebarluaskan contoh/praktik yang baik dan mengembangkan norma-norma dan pedoman untuk pengarusutamaan; d. berinvestasi dalam pembangunan kapasitas sektor air, dengan penekanan pada pemberdayaan perempuan miskin dan laki-laki; e. mendorong media, baik di negara maju dan berkembang, untuk menyediakan pemberitaan yang lebih luas mengenai isu genderdan air; f. mempromosikan kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki dalam sektor donor; g. memberikan dukungan peningkatan kapasitas staf penghubung gender; h. bekerja sama dengan organisasi mitra untuk mengembangkan kerangka kebijaksanaan konvensional mengenai gender dan air, untuk staf dari setiap organisasi; dan i. mendukung pengembangan dan implementasi kerangka kebijakan air berperspektif gender, di tingkat nasional dan tingkat internasional selama dekade 2005-2015 (The International Decade for Action, ‘Water for Life’ 2005–2015). Merujuk pada berbagai hal yang diuraikan di atas, maka semakin dapat diyakini bahwa segala upaya pengintegrasian perspektif genderakan mendorong kebijakan dan program yang dapat mewujudkan kesetaraan gender dan mencapai tujuan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Selain itu, akan mendorong terbentuknya lembaga dan organisasi pengelolaan sumber daya air menjadi lebih sensitif gender. Akan terjadi peningkatan kebutuhan analisis gender sebagai permulaan dalam menyusun kebijakan dan program pengelolaan sumber daya air. Perencanaan anggaran program pengelolaan sumber daya air juga akan mencerminkan perspektif gender di dalamnya.
E. PENUTUP 1. Kesimpulan Kebutuhan akan air bersih untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, komersial, dan pertanian, di seluruh dunia mengalami peningkatan. Sumber daya air merupakan isu global yang selalu mendapat perhatian khusus, bahkan 132
Dina Martiany
termasuk dalam salah satu butir Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs disepakati oleh negara-negara di dunia dalam United Nations Conference on Sustainable Development (UNCSD) atau Rio+20, di Rio de Janeiro, Brazil pada tanggal 20-22 Juni 2012. Adanya Sustainable Development mendorong agar seluruh negara di dunia melaksanakan pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengabaikan keberlangsungan untuk generasi masa depan. Pengelolaan sumber daya air dalam pembangunan berkelanjutan harus melibatkan peran masyarakat, baik perempuan dan laki-laki. Berbagai hasil penelitian menunjukkan pengaruh yang sangat signifikan dari peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya air. Perempuan dan laki-laki dianggap memiliki perbedaan tanggung jawab dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya air dalam kelompok masyarakat. Hampir di seluruh komunitas masyarakat di dunia, perempuan bertanggung jawab memastikan akses dan ketersediaan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga. Selain itu, perempuan merupakan pengguna yang memiliki tingkat kebutuhan air bersih yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Perempuan membutuhkan air bersih untuk kebutuhan reproduksinya, seperti pada saat menstruasi, kehamilan, dan higenitas. Keterbatasan akses terhadap air bersih dan sanitasi yang layak merupakan permasalahan akut yang dialami perempuan dan anak perempuan di pemukiman padat penduduk dan pedesaan di negara berkembang. Adanya peran perempuan akan memberikan keuntungan bagi perempuan itu sendiri dan bagi masyarakat sekitar. Keterlibatan peran perempuan dan isu gender diakui secara global sebagai isu penting dalam pengelolaan sumber daya air. Rio+20 Outcome: The Future We Want menyebutkan bahwa kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan, diidentifikasi sebagai prioritas dalam sustainable development. Hasil Rio+20 menekankan agar negara-negara di dunia memastikan kepemimpinan perempuan dan partisipasi efektifnya dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan, program dan pengambilan keputusan di semua tingkatan. Oleh karena itu, sangat diperlukan integrasi perspektif gender untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam pengelolaan sumber daya air. Integrasi perspektif gender dalam pengelolaan sumber daya air berarti mengarusutamakan kebutuhan dan pengalaman perempuan dan laki-laki dalam setiap proses dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, pendayagunaan, dan pengendalian daya rusak air. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat, serta kesetaraan gender dalam pembangunan berkelanjutan. 133
Perspektif Gender dalam Pengelolaan Sumber Daya Air
2. Saran Perspektif gender dan pemberdayaan perempuan dalam pengelolaan sumber daya air harus tercermin dengan adanya tujuan dan indikator kesetaraan gender. Pengintegrasian yang dilakukan mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, pendayagunaan, dan pengendalian daya rusak air, perlu diawali dengan adanya data terpilah. Integrasi perspektif gender idealnya dilakukan oleh semua pihak dan pada semua tingkat, yaitu: pemerintah pusat; pemerintah daerah; masyarakat dan organisasi masyarakat sipil; lembaga donor dan organisasi internasional. Sebagai upaya untuk mendukung tujuan pembangunan global yang tertuang dalam SDGs dan untuk mencapai kesetaraan gender, maka perlu disusun suatu pengaturan khusus mengenai pengintegrasian perspektif gender dalam pengelolaan sumber daya air. Hal ini dapat dimasukkan dalam rancangan perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air atau Undang-Undang lain yang terkait, termasuk dalam peraturan turunannya.
134
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Panda, Smita Mishra. 2007. Mainstreaming Gender in Water Management: A Critical View, Jurnal Gender Technology and Development, 11:321. DOI: 10.1177/097185240701100302. Dipublikasikan oleh SAGE Publication atas nama Asian Institute and Technology (AIT) dan Gender And Development Studies (GDS).
Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA).
Dokumen Joint Monitoring Progress (JMP) Report on Water and Sanitation.JMP Report Progress on Sanitation and Drinking Water (2012 Update) http://www. wssinfo.org/documentslinks/documents/. Diakses pada tanggal 17 September 2013. Evidence Report: “For Her It’s The Big Issue: Putting Women at The Centre of Water Supply, Sanitation, and Hygiene (WASH). Tanpa tahun. Dipublikasikan oleh UNICEF, Gender And Water Alliance (GWA), Norwegian Ministry of Foreign Affair, dan Water Supply and Sanitation Collaborative Council. The Dublin Statement on Water and Sustainable Development, dibaca secara online pada http://www.wmo.int/pages/prog/hwrp/documents/english/ icwedece.html
Outcome of the Conference: The Future We Want.2012.Dokumen Hasil The United Nations Conference on Sustainable Development (UNCSD) di Rio de Janeiro-Brazil, pada tanggal 20-22 Juni 2012. Dikeluarkan oleh United Nations, A/CONF.216/L.1. Makalah, Artikel, dan Policy Brief Climate Change Adaptation is Mainly About Water…., Artikel pada situs http:// www.unwater.org/downloads/UNWclimatechange_EN.pdf, diakses pada tanggal 10 September 2013. 135
Perspektif Gender dalam Pengelolaan Sumber Daya Air
Drexhage, John dan Deborah Murphy, dari International Institute for Sustainable Development (IISD). 2010. Sustainable Development: From Brundtland to Rio 2012. Background Paper dipersiapkan untuk Pertemuan Pertama High Level Panel on Global Sustainability pada tanggal 19 September 2010, Kantor Pusat United Nations (UN), New York. IFAD (International Fund for Agricultural Development). 2007. Gender and Water - Securing Water for Improved Rural Livelihoods: The Multiple-Uses System Approach. hal. 6. Implementasi Gender dalam Proyek AMPL di Indonesia. April 2007. Laporan Utama dalam Majalah PERCIK. Media Informasi Air Minum, dan Penyehatan Lingkungan yang diterbitkan oleh Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL), Jakarta. ISSN I829-5967.Hal. 7.
Mehta, Lyla. 2013. Ensuring Rights to Water and Sanitation for Women and Girls. Fellow Institute of Development Studies, UK dan Visiting Professor di Norwegian University of Life Sciences, pada forum Interactive Expert Panel: Challenges and Achievements in the Implementation of the Millennium Development Goals for Women and Girls. United Nations Commission on the Status of Women, Sesi ke-57, tanggal 4-15 Maret 2013, New York.
UN (United Nations), The Human Right to Water and Sanitation: Media Brief, pada situs http://www.un.org/waterforlifedecade/pdf/human_right_to_ water_and_sanitation_media_brief.pdf, hal. 2-6. Diakses pada tanggal 10 September 2013. UN (United Nations), Global Issue: Water, pada http://www.un.org/en/ globalissues/water/, diakses tanggal 4 September 2013. UN-Water, Fact Sheet: Water and Gender. September 2013. Pada situs UNWaterhttp://www.unwater.org/downloads/water_and_gender.pdf, diakses pada tanggal 20 September 2013.
UN Water, Gender, Water, and Sanitation: A Policy Brief, tanpa tahun. Diterbitkan oleh The Inter-agency Task Force on Gender and Water (GWTF), sub program dari UN-Water dan The Interagency Network on Women and Gender Equality (IANWGE), untuk mendukung pelaksanaan TheInternational Decade for Action, ‘Water for Life,’ 2005–2015. UNICEF(The United Nations Children’s Fund) -Wash and Women, pada situs http://www.unicef.org/wash/index_womenandgirls.html, diakses pada tanggal 16 September 2013. 136
Dina Martiany
Van Wijk-Sijbesma, Christine, 1998. Gender and Resource Management, Water Supply and Sanitation: Roles and Realities Revisited. International Research Centre for Water and Sanitation, Delft, The Netherlands, dalam UN WATER-Gender, Water, and Sanitation: A Policy Brief. Women and Water Management: an Integrated Approach(Chapter V), http:// www.unep.org/pdf/women/ChapterFive.pdf Pidato
Puri, Lakshmi. 2012. Gender Perspective on Water and Food Security. Pidato disampaikan oleh Deputy Executive Director of UN Women pada acara penutupan Minggu Air Se-dunia/Closing Plenary Session of World Water Week, di Stockholm, Swedia, 31 August 2012.Diakses dari http://www. unwomen.org/en/news/stories/2012/8/gender-perspectives-onwater-and-food-security/#sthash.5IvRW5vh.dpuf, pada tanggal 26 September 2013. Berita (Surat Kabar, Majalah, dan Internet) Grynspan, Rebeca. The Associate Administrator of the UN Development Programme (UNDP), dalam berita: ’Water Cooperation Must be a Priority on Sustainable Development Agenda” – UN officialhttp://www.un.org/ apps/news/story.asp?NewsID=45664&Cr=water&Cr1=#.UhV-sH-FQZE, diakses pada tanggal 16 September 2013.
Indonesia: Making Water Supply and Sanitation Women’s Business in Aceh and Nias. Oktober, 2010.Artikel pada situs http://www.adb.org/themes/ gender/case-studies/indonesia-water-supply-sanitation-womensbusiness. Diakses pada tanggal 12 September 2013.
137
PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN BERKELANJUTAN MELALUI PENGUATAN SUMBER DAYA LOKAL Dinar Wahyuni*
A. PENDAHULUAN Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi manusia, karena itu pemenuhan hak atas pangan menjadi hak asasi manusia. Isu hak atas pangan sudah dikenal sejak keluarnya Deklarasi Univeral Hak Asasi Manusia 1948. Deklarasi ini semakin menguatkan bahwa setiap manusia di dunia ini berhak atas pangan. Artinya, setiap orang mempunyai akses atas pangan yang bermutu dalam jumlah yang cukup guna meningkatkan kualitas hidupnya. Dengan demikian negara sebagai penyelenggara pemerintahan wajib menjamin ketersediaan pangan yang berkualitas bagi seluruh warganya. Selain itu negara wajib menghormati kebebasan warga dalam upaya memenuhi hak atas pangan. Persoalan pangan semakin menjadi perhatian dunia dewasa ini. Perubahan iklim global, ledakan jumlah penduduk yang tidak diimbangi dengan peningkatan luas lahan dan produksi pertanian mewarnai ancaman kerawanan pangan global. Seperti dilaporkan World Food Programme atau WFP (Program Pangan Dunia) tahun 2008 sebanyak 57 negara di dunia (29 di Afrika, 19 di Asia, 1 negara di Amerika Latin) mengalami banjir dan bencana ekologis. Sementara kekeringan dan gelombang panas juga melanda sebagian Asia, Eropa, Cina, Mozambik dan Uruguay. Tidak terkecuali Australia sebagai salah satu produsen gandum menurunkan produksinya sekitar 40 persen atau sekitar 4 juta ton akibat kekeringan yang melanda.1 Kondisi ini secara tidak langsung akan mempengaruhi penurunan jumlah produksi pangan dunia. Sementara permintaan pangan semakin meningkat. Sejumlah negara-negara pengekspor pangan kemudian mengambil langkah pembatasan ekspor bahan pangan demi menjaga ketahanan pangan dalam negeri. Akibatnya, harga pangan dunia
*
1
Peneliti Bidang Kesejahteraan Sosial pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2010-2014, http://docsfiles.com/view.php?view= http://bkp.bangka.go.id/donlot/KEBIJAKANUMUMKETAHANANPANGAN20092014. pdf&keyword=pembangunan%20ketahanan %20pangan&count=, diakses 29 Agustus 2013.
139
Peningkatan Ketahanan Pangan Berkelanjutan
bergejolak. Gejala peningkatan harga komoditas pangan terutama dirasakan oleh negara-negara miskin, berkembang dan berbasis impor. Kenaikan harga pangan dunia dikhawatirkan akan menjadi ancaman kerawanan pangan global. WFP menyatakan bahwa sekitar 854 juta jiwa di dunia terancam kelaparan. Kelompok rawan pangan bertambah sekitar 4 juta jiwa per tahun.2 Pangan sebagai barang ekonomi yang semakin langka dapat menjadi barang politik yang nilainya strategis dan menjadi dasar pemicu konflik sosial politik. PBB dalam laporan pangan 17 April 2008 memprediksi kerusuhan akibat kelangkaan pangan akan merebak di 40 negara.3 Kelangkaan pangan juga akan berdampak pada lingkungan. Tingkat pertumbuhan penduduk yang tidak berbanding lurus dengan tingkat perluasan lahan dan produksi pertanian dapat mengakibatkan tindakan-tindakan pemanfaatan sumber daya alam di luar batas kewajaran demi memenuhi kebutuhan pangan. Tindakan ini akan berdampak pada kelangsungan sumber daya alam bagi genenasi masa depan. Misalnya, alih fungsi lahan yang dilakukan tanpa mempertimbangkan ekologi akan berakibat rusaknya sumber persediaan air bersih. Begitu juga penggunaan pupuk kimia secara berlebihan menyebabkan kerusakan komposisi tanah. Hal-hal inilah yang akan menjadi wacana dunia untuk menjawab tantangan global dalam pengelolaan lahan pertanian bagi ketahanan pangan. Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris tidak terlepas dari ancaman krisis pangan. Pertumbuhan penduduk yang pesat akan meningkatkan permintaan atas pangan. Peningkatan ini tidak hanya untuk kebutuhan konsumsi, namun juga untuk memenuhi kebutuhan sektor lain seperti ekonomi dan industri. Sampai saat ini beras sebagai makanan pokok utama penduduk Indonesia sejak tahun 1950 belum tergantikan. Tahun 1950 konsumsi beras nasional baru sekitar 53 persen. Angka ini meningkat tajam pada 2011 yang telah mencapai 95 persen. Laporan BPS menunjukkan bahwa tingkat konsumsi beras di Indonesia pada 2011 mencapai 139 kg per kapita per tahun lebih tingi dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang hanya berkisar 65kg-70 kg per kapita per tahun.4 Ketergantungan masyarakat akan beras menyebabkan permintaan terus meningkat. Sementara ketersediaan beras semakin lama semakin berkurang karena tidak didukung perluasan lahan pertanian dan peningkatan produksi pangan dalam negeri. Kebijakan yang telah digulirkan pemerintah belum
2 3
4
Ibid. Herman Khaeron, Politik Ekonomi Pangan Menggapai Kemandirian, Mewujudkan Kesejahteraaan, Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2012, hlm. 21. Kebijakan Pemerintah Dalam Pencapaian Swasembada Beras Pada Program Peningkatan Ketahanan Pangan, http://Jdih.Bpk.Go.Id/Wp-Content/Uploads/2012/03/Tulisan-HukumKetahanan-Pangan.Pdf, diakses 29 Agustus 2013.
140
Dinar Wahyuni
berhasil mengganti beras sebagai makanan pokok mayoritas masyarakat Indonesia. Jika tingkat konsumsi beras tidak menurun, bisa dipastikan akan mengancam ketahanan pangan nasional. Kondisi demikian tidak hanya menimpa beras. Komoditas pangan lain seperti gandum, kedelai, singkong juga mengalami hal yang sama. Negara belum mampu mencukupi kebutuhan pangan nonberas di dalam negeri. Dalam kondisi demikian, pemerintah sebagai penyelenggara negara harus mengambil langkah tepat guna memastikan pasokan pangan yang cukup dan bermutu bagi seluruh warga negara.
B. PERMASALAHAN Sektor pertanian masih memegang peranan penting dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional. Sejak Pelita I kebijakan pangan difokuskan pada peningkatkan produksi beras. Kebijakan ini mengantarkan Indonesia pada pencapaian swasembada beras tahun 1984. Di sisi lain, kebijakan ini telah mengubah pola konsumsi mayoritas penduduk Indonesia ke beras. Kondisi ini berlaku juga di daerah yang bukan penghasil beras. Permintaan beras menjadi meningkat. Tanpa dibarengi peningkatan produksi beras dan perluasan luas lahan pertanian, maka ketersediaan beras tidak akan mencukupi kebutuhan nasional. Pemerintah kemudian mengambil langkah kebijakan impor demi mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri. Kebijakan impor pangan menyebabkan Indonesia rentan terhadap gejolak pangan dunia. Perubahan harga pangan global akan mempengaruhi kondisi pangan dalam negeri. Indonesia telah menyatakan komitmen untuk melaksanakan aksi mengatasi kelaparan, kekurangan gizi serta kemiskinan guna mewujudkan ketahanan pangan nasional melalui Millenium Development Goals (MDGs). Kesepakatan ini kemudian disempurnakan dalam komitmen untuk memperhatikan keberlanjutan lingkungan hidup atau yang dikenal dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Penurunan daya dukung lingkungan terhadap kehidupan manusia akan mengganggu kehidupan generasi masa depan. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya alam harus dibarengi konservasi lingkungan. Berdasarkan uraian tersebut, maka dirumuskan permasalahan bagaimana upaya meningkatkan ketahanan pangan berkelanjutan melalui penguatan sumber daya lokal? Ketahanan pangan selain sebagai syarat pemenuhan hak azasi pangan rakyat juga merupakan pilar bagi kedaulatan bangsa. Pembangunan ketahanan pangan dilakukan dengan tetap memperhatikan konsep keberlanjutan. Kemampuan sumber daya alam dalam memenuhi kebutuhan manusia terbatas sehingga perlu dilestarikan agar masa depan generasi penerus tidak akan terganggu. 141
Peningkatan Ketahanan Pangan Berkelanjutan
C. KERANGKA PEMIKIRAN 1. Perkembangan Konsep Ketahanan Pangan Pangan mempunyai dimensi yang luas karena berbagai nilai strategis yang terkandung di dalamnya. Luasnya dimensi pangan, menjadikan konsep ketahanan pangan terus berkembang. Conference of Food and Agriculture 1943 menyatakan bahwa ketahanan pangan adalah “secure, adequate and suitable supply of food for everyone.”5 Kemudian tahun 1974 Perserikatan BangsaBangsa (PBB) mencanangkan istilah ketahanan pangan sebagai sebuah konsep kebijakan baru, saat berlangsungnya Konferensi Pangan Dunia. Ketahanan pangan didefinisikan: “availability at all times of adequate world food supplies of basic foodstuffs to sustain a steady expansion of food consumption and to offset fluctuations in production and prices.” Fokus ketahanan pangan pada volume dan stabilitas suplai pangan.6 Krisis pangan yang melanda Afrika lagi pada pertengahan tahun 1980an menunjukkan keterbatasan pasokan pangan. Ketersediaan pangan yang cukup di tingkat nasional belum bisa diterjemahkan sebagai ketahanan pangan di tingkat individu dan rumah tangga. Kerawanan pangan merupakan situasi di mana makanan tersedia namun tidak ada akses masyarakat untuk mendapatkannya karena hak masyarakat tidak diakui.7 Amartya Sen merupakan tokoh yang menggagas faktor akses pangan dalam konsep ketahanan pangan. Menurut Sen, ketidaktahanan pangan dan kelaparan justru terjadi karena ketiadaan akses atas pangan bahkan ketika produksi pangan berlimpah. Peningkatan ketersediaan pangan bukan jaminan bagi ketahanan pangan suatu negara.8 Pendapat Sen telah mengubah konsep ketahanan pangan. Tahun 1983, FAO menambahkan faktor akses dalam ketahanan pangan sehingga ketahanan pangan didefinisikan: “to ensure that all people at all times have both physical and economic access to the basic food they need.”9
5
6
7
8
9
Marion Napoli, Towards A Insecurity Multidimensional Index, http://www.fao.org/ fileadmin/ templates/ERP/uni/FIMI.pdf, diakses 11 Oktober 2013. Food Security: Concept And Measurement, http://www.fao.org/docrep/005/y4671e/ y4671e06.htm, diakses 25 Oktober 2013. Timothy R. Frankenberger &M. Katherine McCaston, From Food Security to Livelihood Security: The Evolution of Concepts, www.ieham.org/html/docs/from_food_security_ to_ livelihoods_security.doc, diakses 11 Oktober 2013. Christopher B. Barret and Daniel G. Maxwell, Food Aid After Fifty Years: Recasting its Role, dalam Sri Nurhayati, Qodriyatun, Pembangunan Pangan Indonesia, Kemanakah Akan Dibawa? Dalam Buku Kebijakan Strategis Bidang Pendidikan Tinggi, Transfer Dana, Perminyakan, dan Pembangunan Pangan Dalam Menghadapai Globalisasi, Jakarta: Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI, 2011, hlm. 114. Monitoring Acces to Food and Household Food Security, http://www.fao.org/docrep/ u8050t/ u8050t02.htm, diakses 11 Oktober 2013.
142
Dinar Wahyuni
Konsep ketahanan pangan berkembang dari fokus pada ketersediaan dan penyediaan ke arah hak dan akses. Definisi ketahanan pangan diperluas sebagaimana hasil rumusan International Conference of Nutrition 1992 yang disepakati oleh pimpinan negara anggota PBB. Ketahanan pangan tidak hanya sebatas akses pangan, namun menyangkut keamanan pangan dan keseimbangan gizi. Dengan demikian ketahanan pangan adalah tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang baik dalam jumlah dan mutu pada setiap saat untuk hidup sehat, aktif dan produktif.10 Tahun 1996 World Food Summit mengeluarkan definisi ketahanan pangan pada individu, rumah tangga, tingkat nasional, regional, dan global adalah ketika semua orang, setiap saat memiliki akses fisik dan ekonomi yang memadai terhadap makanan yang aman dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sesuai dengan preferensi pangan untuk hidup aktif dan sehat.11 Sementara ketahanan pangan yang berkembang di Indonesia seperti tercantum dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan Pasal 1 angka 17 adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Kedua definisi tersebut samasama menggunakan dimensi penyediaan dan pemenuhan konsumsi pangan sebagai indikator ketahanan pangan. Perbedaannya terletak pada kedalaman tujuan (dimensi pangan atau gizi), kedalaman sasaran (individu atau rumah tangga), cakupan mutu (gizi dan keamanan/kesehatan), pertimbangan waktu, dan pertimbangan nilai-nilai masyarakat setempat yang kondusif bagi kesehatan (pola makan, budaya makan).12 Food Agricultural Organization (FAO) kemudian menentukan empat komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan, yaitu: pertama, kecukupan ketersediaan pangan; kedua, stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun; ketiga, keterjangkauan terhadap pangan; dan keempat, kualitas atau keamanan pangan.13 Pada tahun yang sama, La Via Campesina (organisasi buruh tani dan petani dunia) menyusun konsep kedaulatan pangan sebagai counter proposal atas konsep ketahanan pangan yang disusun FAO dalam World Food Summit
10 11
12
13
Herman Khaeron, op. cit., hlm. 82-83. Food Security, http://www.who.int/trade/glossary/story028/en/, diakses 23 September 2013. Lexand Ofong, Menuju Ketahanan Pangan Berkelanjutan Di NTT, Kertas Kerja 2, NTT: Institute of Indonesia Tenggara Studies, 2007, hlm. 6. Ketahanan Pangan dan Upaya Mewujudkannya, http://agrimedia.mb.ipb.ac.id/archive/ vie wAbstrakArchive?id=3303e15f948f18bd68b986cfe30094e2, diakses 23 September 2013.
143
Peningkatan Ketahanan Pangan Berkelanjutan
Rome. Konsep ini disusun sebagai jawaban atas krisis pangan yang melanda dunia saat itu. Menurutnya, kedaulatan pangan adalah konsep pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan secara budaya diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Artinya, kedaulatan pangan sangat menjunjung prinsip diversifikasi pangan sesuai dengan budaya lokal yang ada. Dalam prinsip kedaulatan pangan, hak petani untuk menentukan sistem pertanian dijamin. Sistem pertanian lebih menekankan sistem pertanian keluarga yang tidak hanya berdasarkan keuntungan semata.14
2. Ketahanan Pangan dan Pembangunan Berkelanjutan Seiring dengan kemajuan zaman, kebutuhan penduduk dunia akan pangan semakin meningkat. Kebutuhan pangan tidak lagi sekedar tercukupinya pangan bagi setiap individu, namun meluas menjadi tersedianya pangan yang bermutu. Permintaan akan pangan yang bermutu terkait dengan semakin meningkatnya pendapatan dan kesadaran manusia akan kehidupan yang berkualitas. Permasalahannya kemudian adalah pertumbuhan penduduk yang pesat tidak dibarengi dengan perluasan lahan pertanian. Akibatnya, muncul kompetisi pemanfataan lahan, baik sebagai tempat pemukiman, lahan pertanian, industri maupun pembangunan sarana publik. Kompetisi pemanfataan lahan khususnya konversi lahan pertanian yang tidak terkendali akan menyebabkan penurunan kualitas lahan pertanian. Apabila dibiarkan, penurunan kualitas lahan pertanian akan mempengaruhi kemampuan produksi pangan, sementara permintaan pangan terus bertambah. Ancaman terhadap kerawanan pangan mendorong pemerintah mengimpor pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu di masa mendatang, dibutuhkan tambahan ketersediaan pangan yang bermutu sekaligus lahan pertanian yang memadai. Atau dengan kata lain, pembangunan ketahanan pangan harus diimbangi dengan keberlanjutan. Ketahanan pangan berkaitan erat dengan pembangunan keberlanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan menyeimbangkan sumber alam dan sumber manusia dalam pembangunan. Ada beberapa asumsi dasar dari konsep ini, yaitu pertama, proses pembangunan harus berlangsung secara berlanjut, terus menerus, ditopang sumber daya alam, kualitas lingkungan dan manusia yang berkembang secara berkelanjutan. Kedua, sumber daya alam memiliki batasan dalam penggunaannya. Ketiga, kualitas lingkungan berkorelasi
14
UU Pangan Baru Tidak Sesuai Dengan Konsep Kedaulatan Pangan, Isi Lama Kemasan Baru, http://www.spi.or.id/?p=5699, diakses 22 Oktober 2013.
144
Dinar Wahyuni
langsung dengan kualitas hidup. Pembangunan berkelanjutan mengharapkan pengembangan kualitas lingkungan secara berkelanjutan untuk memberi pengaruh positif terhadap kualitas hidup. Keempat, pola penggunaan sumber daya masa kini harus membuka kemungkinan pilihan sumber daya lain di masa depan. Kelima, pembangunan berkelanjutan mengharapkan solidaritas transgenerasi. Artinya, pemanfaatan sumber daya alam masa kini dilakukan dengan memelihara kelestariannya sehingga tetap terjaga untuk generasi mendatang.15 Tujuan yang harus dicapai untuk keberlanjutan pembangunan mencakup lima hal sebagai berikut:16 a. Keberlanjutan ekologis, dilakukan dengan memelihara integritas tatanan lingkungan dan memelihara keanekaragaman hayati. Tiga aspek yang harus diperhatikan, yaitu daya dukung, daya asimilatif dan keberlanjutan pemanfataan sumber daya terpulihkan. b. Keberlanjutan ekonomi, mencakup keberlanjutan ekonomi makro dan keberlanjutan ekonomi sektoral. c. Keberlanjutan sosial budaya, dengan empat sasaran, yaitu stabilitas penduduk, memenuhi kebutuhan dasar manusia, mempertahankan keanekaragaman budaya, dan mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan. d. Keberlanjutan politik, tujuannya adalah menghormati hak asasi manusia, kebebasan individu dan sosial untuk berpartisipasi di bidang ekonomi, sosial dan politik; demokrasi; serta kepastian ekologis, kepastian ketersediaan pangan, air dan pemukiman. e. Keberlanjutan pertahanan dan keamanan dalam menghadapi tantangan, ancaman dan gangguan baik dari dalam maupun luar yang dapat membahayakan integritas dan kelangsungan bangsa dan negara. Dengan demikian pembangunan berkelanjutan tidak hanya terbatas pada penyelamatan lingkungan, namun terkait juga dengan masalah sosial, ekonomi dan politik. Pembangunan berkelanjutan harus dilaksanakan secara terintegrasi antara sosial, ekonomi, politik dan lingkungan sehingga tercapai keseimbangan berbagai sektor terkait. Dalam konteks ketahanan pangan, pembangunan ketahanan pangan dilakukan dengan memperhatikan konsep keberlanjutan. Pemenuhan kebutuhan pangan dilakukan dengan meningkatkan potensi produksi
15
16
Sujatmoko, Pembangunan Berkelanjutan, Mencari Format Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Yayasan SPES, 1992, hlm. 3-4. Surna Tjahja Djajaningrat dan Sutanto Hardjolukito, Demi Bumi, Dari Kita, Dari Pembangunan Berkelanjutan Menuju Ekonomi Hijau, Jakarta: Media Indonesia Publishing, 2013, hlm. 68-75.
145
Peningkatan Ketahanan Pangan Berkelanjutan
masyarakat sekaligus menjaga kecukupan pasokan pangan dalam jangka panjang tanpa merusak kualitas lingkungan hidup. Pemanfaatan sumber daya alam untuk mencukupi kebutuhan pangan harus memperhatikan daya dukung lingkungan. Sumber daya yang terpulihkan dimanfaatkan dengan prinsip pengelolaan berkelanjutan, sedangkan sumber daya alam yang tidak dapat dipulihkan dimanfaatkan secara efisien dan dikembangkan subsitusi dengan sumber daya terpulihkan.
D. PASANG SURUT KETAHANAN PANGAN NASIONAL Indeks kelaparan global yang dikeluarkan PBB menempatkan Indonesia sebagai negara yang terancam kerawanan pangan. Dalam kurun waktu 20032012, posisi Indonesia hanya turun dari 12,47 menjadi 12 sehingga Indonesia masuk kategori kelaparan serius. Selisih penurunan jauh di bawah angka penurunan negara Asia Tenggara lain, seperti Vietnam yang 15 kali lebih baik, Thailand 9 kali, Malaysia 4 kali, bahkan Laos 9 kali lipat lebih baik.17 Kondisi rawan pangan mulai dialami daerah timur Indonesia seperti Papua, Maluku dan Nusa Tenggara Timur. Upaya penyediaan pangan bagi penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 200 juta jiwa bukan persoalan mudah. Pembangunan pangan merupakan masalah kompleks yang tidak hanya terkait masalah produksi pangan, tetapi juga akses pangan dan distribusi yang merata ke seluruh daerah Indonesia. Sebagai negara agraris, Indonesia kaya akan potensi sumber daya pangan. Kondisi ini menyebabkan potensi pangan lokal sangat beragam. Meskipun demikian, kebijakan pangan lebih difokuskan pada peningkatan produksi beras. Sejak tahun 1960 sampai dengan 1980an, kebijakan beras ditujukan pada pencapaian swasembada beras. Hasilnya, Indonesia mencapai swasembada beras tahun 1984. Pencapaian swasembada beras merupakan suatu prestasi karena beras adalah makanan pokok negara dengan jumlah penduduk sangat besar, yaitu peringkat kelima terbesar di dunia. Beras menjelma menjadi sektor ekonomi strategis bagi perekonomian dan ketahanan pangan nasional.18 Kebijakan beras yang didukung penuh pemerintah telah mengubah pola konsumsi masyarakat dari nonberas menjadi beras meskipun daerahnya bukan penghasil beras. Saat ini Indonesia termasuk negara dengan pola konsumsi beras yang sangat tinggi. Ketergantungan pada salah satu komoditas pangan, yaitu beras dapat mengganggu ketahanan pangan, baik di tingkat
17
18
Indonesia Termasuk Kategori Negara Dengan Kategori Serius, http://lintasjateng.info/ index.php/nasional/16-berita-nasional/162-indonesia-termasuk-kategori-negaradengan-kelaparan-serius.pdf, diakses 24 September 2013. Herman Khaeron, op. cit., hlm. 23.
146
Dinar Wahyuni
rumah tangga maupun nasional. Kondisi ini diperparah dengan produksi beras nasional yang cenderung turun dan semakin tidak stabil sehingga Indonesia sudah tidak lagi berswasembada beras. Selain itu, lahan pertanian semakin lama semakin berkurang karena maraknya alih fungsi lahan menjadi tempat pemukiman, industri maupun pembangunan fasilitas umum. Perluasan wilayah perkotaan telah menjangkau wilayah dengan ekologis yang vital bagi keberlanjutan. Apabila lahan yang dikonversi merupakan lahan potensial penghasil pangan, maka berdampak pada berkurangnya sumber daya penghasil pangan. Persaingan dalam pemanfaatan lahan akan muncul sebagai risiko pertumbuhan penduduk yang pesat dan seringkali tidak didukung upaya pelestarian lingkungan. Akibatnya, daya dukung lingkungan semakin menurun. Ketergantungan masyarakat akan beras mendorong pemerintah mengambil kebijakan demi menjaga ketersediaan pangan. Salah satunya dengan mengimpor beras. Kebijakan diambil karena tingginya pola konsumsi beras di Indonesia tanpa diikuti peningkatan produksi pangan dan kemudahan akses atas pangan. Hal yang sia-sia apabila ketersediaan beras cukup, namun masyarakat miskin tidak mampu mengaksesnya. Di sisi lain, penggunaan beras lokal terhambat harga produksi petani lokal yang berada di atas harga standar Bulog. Tak hanya beras, komoditas lain seperti jagung, kedelai, gandum, susu, gula pasir, daging ayam juga masih diimpor dari negara lain. Total impor bahan pangan periode Januari sampai Juni 2013 mencapai 28 komoditas.19 Berikut nilai impor beberapa komoditas pangan. Tabel 1. Impor Komoditas Pangan Periode Januari-April 201320
Komoditas Pangan Beras Jagung Kedelai Gula Pasir Daging Ayam
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013
Nilai Impor 167,51 juta kg 897,35 juta kg 502,02 juta kg 25,9 juta kg 26,27 ribu kg
Persoalan yang masih hangat dalam ingatan kita adalah melonjaknya harga kedelai pada pertengahan tahun ini. Kenaikan harga kedelai sangat memukul para pengrajin tahu dan tempe yang memakai bahan baku kedelai untuk usahanya. Awal ketergantungan impor pangan dimulai tahun 1999
19
20
Daftar 28 Komoditas Pokok yang Masih Diimpor Indonesia, http://bisnis.liputan6. com/read/657271/daftar-28-bahan-pokok-yang-masih-diimpor-indonesia, diakses 27 September 2013. Firman Subagyo, Pemerintah Tidak Serius Wujudkan Swasembada Pangan, Parlementaria Edisi 106 TH.XLIII, 2013, hlm. 66.
147
Peningkatan Ketahanan Pangan Berkelanjutan
ketika pemerintah dengan kebijakan pasar bebas mulai membuka impor pangan dan menurunkan bea masuk hingga nol persen dengan tujuan mencukupi kebutuhan dalam negeri. Kebijakan yang diambil pemerintah ini merupakan babak baru dimulainya liberalisasi pertanian. Harga kebutuhan pangan diserahkan kepada mekanisme pasar. Pemerintah hanya berperan sebagai regulator dalam pengelolaannya. Melalui SK Menperindag Nomor 439 tentang Bea Masuk, Bulog yang selama ini berperan sebagai pihak yang memonopoli beras dan pengawas langsung harga-harga produk pertanian lain, tidak lagi diberikan wewenang melakukan intervensi langsung atas komoditas pangan. Langkah ini menyebabkan pasar nasional diserbu kedelai impor dan produksi kedelai dalam negeri turun drastis. Sejak tahun 2002 hingga 2011, produksi kedelai nasional tertinggi hanya sebesar 974.512 ton pada tahun 2010, sementara kebutuhan nasional sudah mencapai tiga juta ton per tahun. Data BPS menunjukkan impor kedelai pernah hanya sebesar 541 ton pada 1990. Angka ini melonjak menjadi 2,088,616 ton dengan nilai Rp5,9 triliun pada tahun 2011 dan di triwulan I 2012 sebesar 374,870 ton dengan nilai Rp1,8 triliun.21 Untuk lebih jelasnya, perbandingan ketersediaan beberapa bahan pangan dan konsumsi pangan penduduk Indonesia tahun 2010 akan ditunjukkan dalam tabel berikut. Tabel 2. Perbandingan Ketersediaan dan Kebutuhan Pangan Tahun 2010
Komoditas
Beras
Jagung
Kedelai
Kacang Tanah
Ketersediaan
Kebutuhan
Ketersediaan terhadap Kebutuhan
Perimbangan
(ton)
(ton)
(%)
(%)
37.096 15.725 821 708
Gula
2.262
Telur
1.267
Daging Sapi
Daging Ayam Susu
310 829 782
32.586
113,8
851
83,2
16.472 2.198 3.603 359
1.019 2.081 1.859
95,5
12,16 -4,7
42,5
-135,02
86,2
-15,95
72,7 81,4 60,9 42,1
-20,18 -37,52 -22,89 -64,28
-137,65
Sumber: Data diolah Kementerian Pertanian, 2010 dalam buku Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2011, hlm. 61.
21
Pangan 2012 Tersandung Impor Kedelai, Singkong, Gandum, http://www.spi.or.id/?p=5851, diakses 24 September 2013.
148
Dinar Wahyuni
Dari tabel 2, tampak bahwa kebutuhan beberapa bahan pangan lebih besar dibanding ketersediaan. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai angka di atas 200 juta jiwa dan diperkirakan akan terus bertambah diindikasi sebagai salah satu faktor penyebab kebutuhan pangan berbanding terbalik dengan ketersediaan pangan. Tanpa didukung upaya peningkatan produksi, pemerataan distribusi, dan kemudahan akses pangan, maka Indonesia akan terus menjadi negara pengimpor pangan. Apabila hal ini berlanjut akan menganggu ketahanan pangan nasional. Era kepemimpinan SBY, kebijakan sektor pertanian kembali berorientasi pada swasembada beras. Meskipun wewenang Bulog sudah dikembalikan untuk memonopoli impor beras pada akhir tahun 2007, namun belum bisa mengatasi dinamika harga beras dalam negeri yang sudah terkena pengaruh harga pasar global. Harga beras nasional terus bergejolak. Sementara ketergantungan masyarakat akan beras masih cukup tinggi. Dalam kondisi demikian, kebijakan impor pangan masih terus dilakukan demi mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri. Untuk mencapai kemandirian pangan, bukan berarti menafikkan kebijakan impor, namun perlu ditegaskan besaran dan jenis produk yang diimpor sehingga tidak merugikan negara khususnya petani. Dan mengingat potensi keragaman pangan yang dimiliki bangsa kita, kebutuhan pangan pokok lebih baik dipenuhi dari produksi lokal. Selain kebijakan impor, ancaman lain ketahanan pangan nasional adalah pergeseran peran sektor pertanian. Dulu sektor pertanian sangat berperan dalam menyerap tenaga kerja, penyedia bahan baku pangan dan industri. Sejumlah fakta menunjukkan betapa pentingnya sektor pertanian. Tahun 1980, sektor pertanian menyumbangkan 24,8 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB), dan tahun 1990 sebesar 19,6 persen. Sedangkan dalam penyerapan tenaga kerja, sektor pertanian mampu menyerap 54,8 persen dari total tenaga kerja nasional pada 1980, dan dalam kurun waktu sepuluh tahun kemudian tenaga kerja di sektor pertanian masih sebesar 53,4 persen.22 Dengan demikian pertanian memiliki kontribusi yang besar dalam pembangunan nasional saat itu. Masuknya globalisasi mendorong perubahan gaya hidup masyarakat. Masyarakat yang tinggal di pedesaan lebih memilih bekerja di sektor industri di perkotaan. Profesi petani dipandang sebagai pekerjaan yang kurang menjanjikan. Tenaga kerja usia muda mulai meninggalkan sektor pertanian. Hanya kelompok penduduk usia lanjut yang tetap bertahan sebagai petani dan sebagian dari mereka tergolong petani miskin. Saat ini sektor pertanian hanya mampu menyerap kurang dari lima
22
Peran Pertanian Di Indonesia, http://ocw.usu.ac.id/course/download/312-EKONOMIPERTANIAN/sep_203_handout_peran_pertanian_di_indonesia.pdf, diakses 22 Oktober 2013.
149
Peningkatan Ketahanan Pangan Berkelanjutan
puluh persen angkatan kerja nasional. Kementerian Pertanian dalam laporan kerjanya tahun 2011 mencatat sektor pertanian menyerap 39,3 juta orang atau sebesar 33,51 persen dari total angkatan kerja nasional. Berikut jumlah penyerapan angkatan kerja di sektor pertanian dari tahun 2009 sampai 2011. Tabel 3. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian Tahun 2009-2011
Sektor Usaha Pertanian
Non Pertanian Tidak Bekerja
Total Angkatan Kerja
Presentase Pertanian dengan Total Angkatan Kerja
Tahun (orang)
2009
2010
41.611.840
41.494.941
39.330.000
113.744.408
116.530.000
117.370.000
63.258.823 8.873.745
Sumber: Laporan Kinerja Kementerian Pertanian 2011.
36,58
66.712.826 8.322.233 35,61
2011
70.340.000 7.700.000 33,51
E. UPAYA PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN BERKELANJUTAN Ketersediaan pangan merupakan hal penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan, baik secara individu, rumah tangga maupun nasional. Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi peningkatan kualitas hidup manusia, sehingga tuntutan akan pangan yang cukup, bermutu, dan bergizi semakin meningkat. Secara nasional, pembangunan ketahanan pangan merupakan prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 20102014, yang difokuskan pada peningkatan ketersediaan pangan, peningkatan distribusi serta percepatan penganekaragaman pangan sesuai dengan karakteristik daerah.
1. Diversifikasi Pangan Berbasis Kearifan Lokal Diversifikasi pangan merupakan upaya menyediakan beragam pangan bermutu guna mengembalikan ketahanan pangan rumah tangga menuju ketahanan pangan nasional. Melalui penataan pola konsumsi yang tidak hanya bergantung pada satu jenis pangan, memungkinkan masyarakat memilih jenis bahan pangan yang sesuai dengan kebutuhan dan budaya setempat. Hal ini akan mengurangi ketergantungan pada salah satu komoditas pangan. Diversifikasi pangan memang bukan kebijakan baru di Indonesia. Kebijakan ini sudah berlangsung cukup lama, namun terjadi pasang surut dalam pelaksanaannya. Sejak era pemerintahan Presiden Soekarno, kebijakan diversifikasi pangan mulai digulirkan. Sebagai negara agraris dan maritim, Indonesia memiliki keragaman pangan. Karbohidrat tersedia mulai dari 150
Dinar Wahyuni
beras, jagung, gandum, sagu, singkong, kentang maupun ubi jalar. Kebutuhan protein juga berlimpah seperti ikan, tahu dan tempe. Setiap daerah memiliki potensi sebagai penghasil pangan tertentu sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing. Namun, upaya diversifikasi pangan belum mampu mengurangi impor bahan pangan. Beberapa faktor yang disinyalir menjadi penyebabnya adalah kebijakan swasembada beras. Sejak zaman Orde Baru, pemerintah memprioritaskan kebijakan sektor pertanian pada produksi beras. Beras menjadi bahan pangan utama di Indonesia. Pencapaian swasembada beras diupayakan maksimal sehingga produksi pangan nonberas seperti dikesampingkan. Kebijakan ini lambat laun mengakar dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat yang sebelumnya mengkonsumsi makanan pokok nonberas beramai-beramai pindah ke beras. Mereka mulai meninggalkan budaya dan kebiasaan yang sudah berlangsung turun temurun. Dalam pandangan masyarakat, mengkonsumsi beras mempunyai prestise tersendiri. Pandangan-pandangan seperti inilah yang semakin mendorong ketergantungan masyarakat pada beras. Beras menjadi komoditas yang bernilai strategis, karena fokus ketahanan pangan selalu dikaitkan dengan beras. Ardhian dkk. mengungkapkan bahwa ada tiga alasan utama yang menjadikan beras komoditas strategis di Indonesia, yaitu: pertama, beras merupakan makanan pokok bagi sekitar 230 juta jiwa penduduk Indonesia sehingga beras memperkuat ketahanan pangan nasional; kedua, sektor beras merupakan sumber penghidupan bagi sekitar 13,6 juta petani, dimana sebagian sebagian besar petani merupakan petani dengan skala usaha kecil dengan rata-rata penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar/keluarga; dan ketiga, sektor perberasan memberikan sumbangan terbesar bagi perekonomian nasional, baik PDB maupun dalam penyerapan tenaga kerja.23 Faktor penyebab kedua adalah distribusi pangan. Persoalan distribusi menjadi krusial mengingat pangan merupakan kebutuhan pokok yang harus tersedia setiap hari. Masyarakat harus mendapatkan pasokan pangan yang cukup, bermutu dan tepat waktu. Namun, mengingat kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari pulau dan lautan, distribusi pangan memang menjadi persoalan yang dihadapi petani. Tidak mudah melakukan distribusi pangan ke pulau terpencil dan memerlukan waktu yang lebih lama. Tingginya biaya transportasi, menyebabkan harga jual pangan lebih mahal. Sementara kondisi sosial ekonomi penduduk tersebut pada umumnya masih rendah. Akibatnya, tidak semua penduduk bisa mengakses pangan. Selain itu, kelangkaan informasi pasar akan melemahkan posisi tawar petani. Petani
23
Purwanto, dkk., Pengurangan Kemiskinan Melalui Penguatan Ketahanan Pangan, Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2009, hlm. 173-174.
151
Peningkatan Ketahanan Pangan Berkelanjutan
sebagai produsen mutlak mendapatkan informasi yang cukup baik terkait harga, tanaman yang berpotensi, maupun perkembangan pasar pangan global. Apabila hal ini terus berlanjut, maka kehidupan petani akan sulit meningkat. Pulau Jawa yang notabene sudah memiliki sarana dan prasarana yang baik, juga tidak terlepas dari masalah distribusi. Distribusi sarana produksi pangan sering terkendala ulah para spekulan. Hal ini dapat menghambat proses produksi pangan. Oleh karena itu, pemerintah harus mulai membangun infrastruktur dasar yang mendukung peningkatan pertanian seperti pembangunan jalan, irigasi maupun sistem informasi. Pembangunan tidak lagi terkonsentrasi di Pulau Jawa, tetapi mencakup daerah luar Jawa. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah pembangunan infrastruktur disesuaikan dengan budaya dan karakteristik masyarakat setempat sehingga sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Berbagai faktor penyebab belum berhasilnya upaya diversifikasi pangan membuat pemerintah harus bekerja keras dalam pelaksanaan diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan tidak hanya sebatas mengganti pangan pokok beras dengan nonberas, tetapi lebih luas lagi sebagai upaya menganekaragamkan konsumsi pangan sehingga dapat memenuhi kebutuhan gizi. Segala kekayaan alam yang ada di Indonesia sebenarnya mendukung upaya diversifikasi pangan. Dari total daratan Indonesia yang seluas 188,2 juta ha, 100,8 juta ha lahan berpotensi untuk pertanian baru, yang terdiri dari 24,5 juta ha untuk lahan basah (sawah) dan 76,3 juta ha untuk lahan kering. Saat ini diperkirakan sekitar 64 juta ha sudah dijadikan lahan pertanian.24 Sedangkan 36 juta ha belum dimanfaatkan secara optimal dan sebagian besar berada di luar Jawa. Diperkirakan masih lambatnya upaya perluasan lahan pertanian di luar Jawa disebabkan infrastruktur yang belum memadai. Oleh karena itu, untuk menghadapi tantangan krisis pangan ke depan, pembangunan infrastruktur dan peningkatan sumber daya pertanian di luar Jawa mendesak segera diupayakan. Perluasan lahan pertanian dilakukan dengan menyesuaikan karakteristik sumber daya alam dan budaya setempat. Selain itu, upaya perluasan lahan pertanian harus memperhatikan keberlanjutan ekologis sehingga sumber daya alam tetap dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa depan. Selain kekayaan alam, kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia juga memperkuat pengembangan sektor pertanian. Pengetahuan lokal yang diturunkan nenek moyang kita menguntungkan petani dan selaras dengan alam. Pengetahuan seperti ini berkembang dalam lingkup lokal, menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat. Misalnya,
24
Ibid., hlm. 36.
152
Dinar Wahyuni
musim pertanian ditunjukkan dengan bintang-bintang maupun satwa. Dalam masyarakat Jawa Tengah, pergantian musim dikenal sebagai pranata mangsa, masyarakat Bali menyebut kerta mas, sementara masyarakat Dayak menyebutnya bulan berladang. Budaya dan kebiasaan masyarakat inilah yang disebut dengan istilah kearifan lokal. Kearifan lokal merupakan bagian dari gaya hidup masyarakat setempat yang berasal dari pengalaman hidup secara turun temurun. Kearifan lokal diperlukan sebagai penyaring budayabudaya luar yang masuk ke masyarakat dan tidak sesuai dengan norma sosial yang ada. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki keragaman kearifan lokal yang bersahabat dengan alam. Pemanfataan kearifan lokal berorientasi pada ekologis yang terkandung dalam sistem pengetahuan lokal perlu dikembangkan dalam upaya penguatan ketahanan pangan. Kearifan lokal masih banyak ditemukan di daerah perdesaan. Salah satunya adalah kelembagaan sosial di perdesaan. Kelembagaan sosial ini berupa tradisi gotong royong yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat sejak dulu. Selain mempererat kekeluargaan, budaya gotong royong juga berpotensi besar dalam meningkatkan produksi pertanian. Transfer pengetahuan antarpetani akan membuka pola pikir petani. Cara bertani yang benar, pemakaian biaya produksi yang minimal untuk hasil yang maksimal, pemilihan pupuk dan bibit unggul akan meningkatkan produksi pertanian. Dengan dukungan karakteristik yang dimiliki masyarakat petani yang taat pada aturan yang berlaku di daerahnya, maka lebih mudah mengembangkan diversifikasi pertanian. Kearifan lokal lain adalah kemampuan adaptasi petani pada alam. Banyak petani yang sukses bukan karena pendidikan tinggi yang mereka tempuh, namun adaptasi mereka terhadap alam sekitar. Pengetahuan tentang musim tanam dan panen yang tepat, pola angin, bibit tanaman yang cocok untuk musim tertentu diperoleh dari pengalaman beradaptasi dengan alam, di samping pengetahuan yang diajarkan secara turun temurun dari nenek moyangnya. Pola diversifikasi pangan mengacu pada ketersediaan bahan baku lokal. Masyarakat Nusa Tenggara Timur misalnya, memiliki kepercayaan terhadap manfaat padi lokal yaitu untuk pengobatan dan kecantikan tradisional, adat dan budaya. Padi lokal dikembangkan bersamaan dengan jagung, sorgum, labu serta beberapa jenis ubi dalam sistem tumpang sari. Dengan pola diversifikasi pertanian akan menghasilkan beragam pangan lokal. Di sini peran pemerintah daerah diperlukan untuk mengkampanyekan konsumsi pangan beragam. Gerakan cinta pangan lokal harus digalakkan. Berbagai kebijakan pemerintah diarahkan pada pengembangan tanaman lokal dan peningkatan citra pangan lokal sehingga menumbuhkan kecintaan dan kesadaran masyarakat terhadap produk pangan lokal. 153
Peningkatan Ketahanan Pangan Berkelanjutan
Diversifikasi pertanian yang berbasis kearifan lokal akan mengurangi dampak kerusakan lingkungan. Kepercayaan masyarakat lokal terhadap alam turut memberikan kontribusi akan arti penting menjaga lingkungan. Perilaku menjaga alam terpola melalui kebiasaan hidup mereka. Misalnya, masyarakat di kabupaten Waropen, Nabire menghormati pohon sagu. Penghormatan ini tidak terlepas dari legenda pahlawan mereka yang dikenal sebagai KuriPasai. Kedua pahlawan ini dipercaya yang memperkenalkan sagu sehingga sagu dianggap sebagai sumber kehidupan. Terdapat keyakinan jika pohon sagu dirusak akan mendatangkan malapetaka.25 Keyakinan penduduk lokal ini ternyata membawa pengaruh postif bagi keberlanjutan ekosistem. Mata rantai ekosistem di Papua meletakkan ketergantungan pada sagu sehingga ketersediaan sagu harus dijaga untuk keberlanjutan pangan. Kesadaran untuk diversifikasi pangan sebenarnya sudah tercermin dalam beberapa kebijakan Kementerian Pertanian. Diversifikasi pangan dilaksanakan melalui upaya-upaya percepatan penganekaragaman konsumsi pangan (P2KP), untuk menurunkan konsumsi beras. Beberapa program aksinya antara lain: internalisasi P2KP melalui advokasi, kampanye, promosi, sosialisasi, pendidikan formal dan nonformal; pengembangan bisnis dan industri pangan lokal melalui advokasi, sosialisasi dan penerapan standar mutu dan keamanan pangan serta memfasilitasi UMKM dalam pengolahan pangan lokal. Bahkan Presiden mengeluarkan peraturan untuk merealisasikan diversifikasi pangan. Melalui Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Diversifikasi Pangan, diharapkan pemerintah daerah mampu menyusun program implementasi keanekaragaman pangan.26 Terkait program P2KP, beberapa daerah telah menyusun rencana aksi. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya, telah memiliki gerai pusat informasi pangan nusantara pangan lokal untuk mempromosikan berbagai produk pangan nusantara dan lokal sekaligus memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pangan yang berbasis sumber daya lokal. Selain itu, Kabupaten Depok, Jawa Barat juga memperkenalkan gerakan one day no rice. Program ini bertujuan untuk mengurangi konsumsi beras masyarakat. Dengan makan beras sehari sekali, akan meningkatkan konsumsi pangan nonberas. Masyarakat mulai menganekaragamkan konsumsi pangan seharihari. Kebijakan pemerintah akan berhasil apabila didukung oleh semua pihak terkait. Apabila yang menjadi permasalahan adalah sulitnya mengubah
25
26
Rachmad K. Dwi Susilo, Sosiologi Lingkungan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008, hlm. 164. Memulai Gerakan Pangan Lokal Dari Keluarga, http://beranda.miti.or.id/memulaigerakan-pangan-lokal-dari-keluarga/, diakses 30 September 2013.
154
Dinar Wahyuni
kebiasaan konsumsi masyarakat terhadap beras, maka perlu dilakukan kampanye penganekaragaman pangan bermutu.
2. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Sumber Daya Lokal Salah satu faktor pendukung pembangunan ketahanan pangan adalah sumber daya manusia. Akan tetapi, jumlah masyarakat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan masih cukup tinggi. Data BPS tahun 2011 menunjukkan bahwa dari 30.018 juta penduduk miskin Indonesia, sebanyak 18.900 juta di antaranya adalah penduduk miskin yang tinggal di pedesaan.27 Mayoritas mata pencaharian penduduk desa adalah petani yang memiliki tanah sempit, bahkan ada yang sekedar menjadi buruh tani. Mereka kurang memiliki akses yang luas terhadap pinjaman dana sehingga masih sulit memperoleh kebutuhan produksi pertanian seperti pupuk, bibit unggul, dan pembasmi hama. Akibatnya, pasokan pangan yang dihasilkan terbatas. Dalam kondisi demikian, petani belum mampu meningkatkan pendapatannya. Padahal petani merupakan kunci ketahanan pangan. Di sisi lain, rendahnya pendapatan akan berpengaruh pada daya beli komoditas pangan. Kemiskinan menyebabkan pilihan mengkonsumsi beras menjadi pilihan tepat karena harganya lebih terjangkau dan akses untuk mendapatkan beras lebih mudah. Tidak demikian dengan komoditas pangan nonberas seperti sagu, jagung, kentang ataupun kedelai. Berbagai jenis pangan nonberas tersebut sulit didapat dan harganya relatif lebih mahal. Karena itu, dibutuhkan upaya peningkatan kehidupan petani baik dari segi peningkatan produktivitas maupun peningkatan ketahanan rumah tangga. Pemberdayaan merupakan salah satu strategi peningkatan kesejahteraan petani. Pemberdayaan bertujuan meningkatkan kapasitas masyarakat agar mampu mandiri. Dalam pembangunan ketahanan pangan, pemberdayaan dipusatkan pada petani dengan memanfaatkan sumber daya lokal. Petani berperan sebagai pelaku utama proses pemberdayaan karena petani yang paling mengetahui apa yang menjadi kebutuhannya, permasalahan yang dihadapi, sumber-sumber daya yang dimiliki serta solusi dari permasalahannya. Sementara fasilitator berperan sebagai pendamping dari proses pemberdayaan. Pemberdayaan bisa dimulai dengan menanamkan kepercayaan diri kepada petani bahwa mereka merupakan aktor kunci dalam pembangunan pertanian. Peranan mereka sangat diperlukan dalam mencapai ketahanan pangan. Stigma negatif bahwa sektor pertanian identik dengan kemiskinan, keterbelakangan harus bisa diubah. Motivasi dan ketertarikan pada sektor pertanian harus ditumbuhkan kembali terutama bagi penduduk usia muda. Pemerintah harus mampu menampilkan potret positif sektor pertanian.
27
Herman Khaeron, op. cit., hlm. 62.
155
Peningkatan Ketahanan Pangan Berkelanjutan
Selanjutnya pemberdayaan dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada dalam proses produksi pertanian. Dalam hal ini fasilitator membantu petani mengidentifikasi nilai-nilai positif dari kemampuan dan pengetahuan lokal. Pengalaman dan pengetahuan tradisional masyarakat harus diakui dan dijadikan acuan sehingga proses pemberdayaan sesuai dengan karakteristik dan kebiasaan masyarakat setempat. Pengetahuan atau inovasi yang masuk dari luar disaring terlebih dahulu agar tidak bertentangan dengan budaya masyarakat setempat, tetapi dapat melengkapi budaya yang ada. Pemanfaatkan sumber daya lokal akan menurunkan biaya produksi dan mengurangi ketergantungan petani dari produk buatan pabrik seperti pupuk, pestisida sehingga petani mendapatkan keuntungan maksimal. Mengingat kepemilikan lahan sebagian besar petani sangat sempit, maka perlu dilakukan reformasi agraria. Reformasi agraria disini diartikan sebagai upaya redistribusi pemilikan tanah yang semula banyak dikuasai pemilik modal kepada petani. Alokasi lahan diprioritaskan pada petani gurem disertai dengan perbaikan sistem produksi pertanian seperti penyediaan fasilitas produksi, pinjaman dana maupun perbaikan akses distribusi hasil pertanian. Dengan reformasi, konsep pembangunan yang mengarah pada liberalisasi sektor agraria diharapkan dapat diformulasi ulang. Kebijakan redistribusi lahan sebenarnya sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Pasal 7 dan Pasal 17. Namun sampai saat ini implementasi UUPA masih belum efektif. Fakta menunjukkan bahwa dari sekitar 40 juta petani, total luas sawah hanya 8 juta hektar. Artinya, rata-rata kepemilikan lahan sawah hanya sekitar 0,2 hektar atau 0,5 hektar, jauh dari luas lahan yang seharusnya untuk tanaman pangan khususnya padi yang minimal 2 hektar.28 Karena itu reformasi agaria mendesak untuk dilakukan. Endriatmoko Soetarto dan Moh. Shohibudin mengungkapkan beberapa dampak dari pelaksanaan land reform adalah sebagai berikut: pertama, land reform kan menciptakan pasar atau daya beli. Kedua, petani dengan aset tanah yang terjamin dan memadai akan mampu menciptakan kesejahteraan bagi keluarganya dan menghasilkan surplus untuk ditabung. Ketiga, berkembangnya ekonomi pedesaan sebagai dampak dari pertanian yang baik, akan meningkatkan pajak pertanian. Keempat, pelaksanaan land reform memungkinkan terjadinya proses diferensiasi yang meluas dan tumbuhnya pembagian kerja di pedesaan karena kebutuhan pedesaan itu sendiri. Kelima, tanpa land reform, tidak akan terjadi investasi di dalam pertanian oleh petani. Sebaliknya akan terjadi disinvestasi karena
28
Djoko Suseno dan Hempri Suyatna, Quo Davis Petani Indonesia! Terhempasnya Anak Bangsa Dari Sektor Pertanian,Yogyakarta: Aditya Media, 2006, hlm. 99.
156
Dinar Wahyuni
semakin lama banyak petani yang kehilangan tanah sehingga kemiskinan akan meluas.29 Reformasi agraria tidak sekedar pengaturan kepemilikan lahan tetapi mencakup peningkatan produktivitas, perbaikan sistem produksi, pembangunan infrastruktur, jaminan akses informasi dan teknologi, serta pelestarian lingkungan. Penyusutan luas lahan pertanian harus diantisipasi. Demikian juga kerusakan struktur tanah akibat eksploitasi sumber daya tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Karena itu kebijakan pemerintah yang berpihak pada petani akan mendukung keberhasilan reformasi agraria. Pemerintah harus bisa menjamin penguasaan dan pemanfataan lahan bagi kesejahteraan rakyat. Bukan sebaliknya, melegitimasi kepentingan swasta atas sumber-sumber ekonomi strategis. Namun, persoalannya tidak bisa berhenti sampai di situ, karena persoalan petani cukup kompleks sehingga program reformasi agraria harus dikelola secara berkesinambungan. Konsep reformasi agraria perlu dicarikan format ideal yang mendukung pencapaian ketahanan pangan yang adil dan berkelanjutan. Upaya peningkatan produktivitas seringkali terhambat pada masalah modal. Rendahnya pendapatan petani menyebabkan mereka kesulitan membeli kebutuhan proses produksi seperti pupuk, pestisida maupun bibit unggul. Padahal semua itu merupakan kebutuhan vital untuk produksi. Kondisi ini diperparah dengan keberadaan lembaga keuangan yang masih terbatas jumlahnya dan pemanfaatannya juga belum maksimal. Adanya pandangan negatif para penyedia dana bahwa sektor pertanian merupakan sektor high risk menyebabkan penyaluran kredit sektor pertanian masih minim. Karena itu, petani meminjam dari para tengkulak dengan bunga yang cukup tinggi. Tidak jarang, mereka membayar pinjaman beserta bunga dengan hasil panen. Untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga saja pasokan pangan petani terbatas, belum lagi untuk membayar pinjaman ke tengkulak. Hal inilah yang menyebabkan petani belum mampu meningkatkan pendapatannya. Dalam rantai perdagangan, keberadaan tengkulak sulit untuk dihilangkan. Tengkulak memberikan kemudahan akses dalam masalah dana dan pembelian hasil pertanian. Bahkan tidak jarang tengkulak menawarkan sistem tebas, yaitu menjual hasil panen secara borongan pada saat padi masih tertanam di sawah dengan biaya produksi ditanggung pembeli.30 Faktor kemudahan inilah yang mendorong petani lebih memilih menjual hasil panen kepada tengkulak. Dalam kondisi demikian, peran pemerintah diperlukan. Pemerintah diharapkan dapat mempermudah akses petani untuk mendapatkan pinjaman
29
30
Endriatmo Soetarto & Moh. Shohibudin, 2004, dalam Djoko Suseno dan Hempri Suyatna, Ibid., hlm. 100. Purwanto, dkk., Op. cit., hlm. 133.
157
Peningkatan Ketahanan Pangan Berkelanjutan
modal. Misalnya, melalui koperasi tani yang melayani pinjaman para petani untuk keperluan produksi. Melalui koperasi ini pula, petani mendapat kemudahan dalam memasarkan hasil panen. Dengan adanya koperasi petani, diharapkan dapat mempermudah akses petani dalam memperoleh kebutuhan proses produksi pertanian sekaligus mengurangi ketergantungan dari para tengkulak. Selain koperasi, lembaga-lembaga keuangan mikro harus lebih banyak ditumbuhkan di pedesaan. Pemberdayaan petani juga menyentuh masalah distribusi. Distribusi berkaitan dengan ketersediaan pangan yang cukup dan terjangkau. Selama ini distribusi masih terhambat masalah infrastruktur. Pemerintah dapat berperan membangun infrastruktur dasar di pedesaan sehingga mempermudah akses petani untuk memasarkan hasil produksinya. Infrastruktur yang belum memadai akan menghambat petani dalam distribusi hasil produksi. Tingginya biaya distribusi menyebabkan harga jual pangan lebih tinggi. Pembangunan yang selama ini berpusat di wilayah perkotaan, harus mulai diprioritaskan ke pedesaan dan daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau. Selain itu dalam pemasaran, informasi pasar juga diperlukan petani sebagai produsen. Tanpa informasi harga yang memadai, maka akan sulit mengurangi biaya transaksi. Karena itu, pemerintah harus berupaya mempermudah akses petani dalam memperoleh informasi pasar yang diperlukan. Ketersediaan informasi pasar harus dijamin dan terbuka bagi seluruh petani. Terkait masalah harga pasar, campur tangan pemerintah akan menentukan posisi harga pangan di pasar dalam negeri. Dalam konteks komoditas pangan beras, harga beras dituntut untuk selalu berada pada tingkat yang masih dapat dijangkau oleh masyarakat. Campur tangan pemerintah dalam menentukan harga beras di pasaran, di satu sisi menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada masyarakat konsumen, namun di sisi lain merugikan petani sebagai produsen. Cap beras murah dengan harga jual sesuai dengan kemampuan konsumen, akan membuat petani tidak bisa mencapai keuntungan maksimal. Dalam kondisi demikian, diperlukan upaya memperkuat petani, misalnya melalui penguatan sarana prasarana produksi di tingkat hulu. Pemerintah dapat membantu melalui pemberian subsidi atas faktor produksi. Dengan cara ini, akan mengurangi biaya produksi yang selama ini sering memberatkan petani. Upaya pemberdayaan dapat juga dilakukan melalui pengembangan teknologi pertanian. Teknologi dikembangkan berdasarkan keunggulan yang dimiliki daerah setempat dengan tetap memperhatikan keseimbangan ekologi. Petani bekerjasama dengan peneliti teknologi pertanian dan penyuluh pertanian untuk mengembangkan produktivitasnya. Pengembangan teknologi mencakup pengembangan instrumen-instrumen di sektor hulu 158
Dinar Wahyuni
maupun sektor hilir. Instrumen sektor hulu antara lain penggunaan padi bibit unggul yang berkembang menjadi padi yang tahan hama penyakit. Pada saat pengolahan tanah, petani dapat memanfaatkan sumber daya alam lokal seperti dedaunan dan kotoran ternak sebagai pupuk alami. Kemudian pengelolaan tanaman dibuat beragam sesuai kebutuhan. Tanaman pangan utama dilengkapi dengan tanaman-tanaman sela dan tanaman pelindung. Upaya ini dilakukan untuk mengantisipasi penurunan harga tanaman pangan utama. Pemanfaatan kekayaan alam lokal akan menurunkan biaya produksi sehingga diharapkan meningkatkan pendapatan petani. Sedangkan penguatan sektor hilir misalnya transformasi produk pertanian menjadi barang olahan bernilai tambah lebih besar dan program in-house trading yang akan membantu petani untuk melakukan transaksi dan penentuan harga.31 Selama ini posisi tawar petani masih rendah. Petani sering kesulitan dalam proses tawar menawar karena keterbatasan informasi pasar dan kemampuan petani dalam negosiasi. Dengan adanya in-house trading, diharapkan petani mempunyai mempunyai informasi pasar yang memadai dan terbantu dalam bertransaksi dengan pihak lain sehingga akses pemasaran produk pertanian akan meluas sampai ke pasar internasional.
3. Konservasi Sumber Daya Untuk Menjaga Ketahanan Pangan Berkelanjutan Pembangunan ketahanan pangan selalu dikaitkan dengan masalah konservasi sumber daya dan lingkungan. Globalisasi yang diiringi kemajuan teknologi telah membawa pembangunan ke arah modernisasi. Target produksi jangka pendek lebih diutamakan dengan mengesampingkan keseimbangan ekologi. Sementara, pertumbuhan penduduk semakin pesat dan kebutuhan pangan ikut meningkat setiap tahunnya. Dalam kondisi inilah dapat terjadi eksploitasi sumber daya dan lingkungan. Secara umum, kemampuan sumber daya dan lingkungan dalam menopang kehidupan manusia terbatas. Ada sumber daya yang dapat pulih, tetapi ada juga sumber daya yang tidak dapat pulih. Pemanfaatan sumber daya yang tidak dapat pulih ini jelas mengurangi jumlah yang tersedia bagi generasi mendatang. Namun tidak berarti sumber daya ini tidak boleh digunakan. Pemanfataan sumber daya yang tidak dapat pulih harus memperhitungkan kekritisan sumber daya, ketersediaan teknologi untuk meminimalkan pengurasannya dan kemungkinan pengganti yang tersedia. Sedangkan untuk sumber daya yang bisa pulih lebih tepat dimanfaatkan dalam batas-batas regenerasi dan pertumbuhan alam.32
31 32
Ibid, hlm. 48. Surna Tjahja Djajaningrat dan Sutanto Hardjolukito, op.cit., hlm. 63.
159
Peningkatan Ketahanan Pangan Berkelanjutan
Oleh karena itu, untuk menghadapi tantangan masa depan perlu dilakukan perubahan strategi pembangunan sektor pertanian yang mengarah pada pertanian berwawasan lingkungan. Pembangunan pertanian harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan kemampuan sumber daya dan lingkungan dalam menopang kehidupan generasi sekarang dan masa depan. Pemanfaatan potensi lokal yang ada di daerah ditingkatkan. Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah tersedianya pangan secara berkelanjutan dan aman bagi seluruh masyarakat. F. PENUTUP Masalah ketahanan pangan merupakan isu yang tidak pernah habis dibicarakan dalam pertemuan internasional. Krisis pangan semakin tidak terkendali dan berkembang ke arah ketidakstabilan ekonomi, sosial dan politik. Di satu sisi, ledakan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan konsumsi pangan. Dan di sisi lain, perubahan iklim global dan berkurangnya lahan pertanian menyebabkan penurunan produksi pangan. Sebagai negara agraris, Indonesia ikut terkena dampak krisis pangan. Peningkatan konsumsi pangan mendorong pemerintah mengambil kebijakan impor demi memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Kebijakan impor menunjukkan ketahanan pangan nasional masih perlu diperkuat. Upaya peningkatan ketahanan pangan dilakukan melalui diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal, pemberdayaan masyarakat berbasis sumber daya lokal, dan konservasi sumber daya. Diversifikasi pangan tidak hanya sebatas mengganti pangan pokok beras dengan nonberas, tetapi lebih luas lagi sebagai upaya menganekaragamkan konsumsi pangan sehingga dapat memenuhi kebutuhan gizi. Segala kekayaan alam yang ada di Indonesia didukung kearifan lokal yang dimiliki setiap daerah akan mendukung upaya diversifikasi pangan. Peran pemerintah diperlukan dengan menyusun kebijakan yang diarahkan pada pengembangan tanaman lokal dan peningkatan citra pangan lokal sehingga menumbuhkan kecintaan dan kesadaran masyarakat terhadap produk pangan lokal. Peningkatan ketahanan pangan juga dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat berbasis sumber daya lokal. Permasalahan yang sering dihadapi petani adalah sempitnya lahan yang dimiliki, modal usaha, distribusi, akses pasar, dan kemiskinan akibat rendahnya pendapatan. Karena itu, pemberdayaan dipusatkan pada petani dengan memanfaatkan sumber daya lokal. Strategi pembangunan sektor pertanian diubah ke arah pertanian berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan kemampuan sumber daya dan lingkungan dalam menopang kehidupan generasi sekarang dan masa depan. 160
Dinar Wahyuni
Konsep ketahanan pangan yang dianut harus dapat memenuhi kebutuhan pangan bermutu dengan harga terjangkau bagi seluruh masyarakat. Mekanisme harga pangan tidak bisa begitu saja diserahkan ke pasar, tetapi ditentukan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan kepentingan seluruh rakyat. Pemerintah harus bisa menemukan titik keseimbangan harga pangan yang sesuai dan terjangkau untuk produsen dan konsumen sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Di lain pihak, masyarakat sebagai konsumen harus mulai mengkonsumsi beraneka ragam pangan yang bermutu sehingga membentuk suatu pola kebiasaan yang tertanam dalam kehidupannya. Pers dapat membantu melalui kampanye di media massa bahwa mengkonsumsi nonberas bukanlah simbol kemiskinan. Pada akhirnya, upaya peningkatan ketahanan pangan akan berhasil apabila didukung semua pihak terkait.
161
DAFTAR PUSTAKA
Buku Dwi Susilo, Rachmad K., Sosiologi Lingkungan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.
Khaeron, Herman, Politik Ekonomi Pangan Menggapai Kemandirian, Mewujudkan Kesejahteraaan, Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2012.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 20112015, Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2011.
Kementerian Pertanian, Laporan Kinerja Kementerian Pertanian 2011, Jakarta: Kementerian Pertanian, 2012. Qodriyatun, Sri Nurhayati, Pembangunan Pangan Indonesia, Kemanakah Akan Dibawa? Dalam Buku Kebijakan Strategis Bidang Pendidikan Tinggi, Transfer Dana, Perminyakan, dan Pembangunan Pangan Dalam Menghadapai Globalisasi, Jakarta: Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI, 2011. Purwanto, dkk., Pengurangan Kemiskinan Melalui Penguatan Ketahanan Pangan, Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2009. Subagyo, Firman, Pemerintah Tidak Serius Wujudkan Swasembada Pangan, Parlementaria Edisi 106 TH.XLIII, 2013.
Sujatmoko, Pembangunan Berkelanjutan, Mencari Format Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Yayasan SPES, 1992.
Suseno, Djoko dan Hempri Suyatna, Quo Davis Petani Indonesia! Terhempasnya Anak Bangsa Dari Sektor Pertanian, Yogyakarta: Aditya Media, 2006.
Tjahja Djajaningrat, Surna dan Sutanto Hardjolukito, Demi Bumi, Dari Kita, Dari Pembangunan Berkelanjutan Menuju Ekonomi Hijau, Jakarta: Media Indonesia Publishing, 2013. 163
Peningkatan Ketahanan Pangan Berkelanjutan
Jurnal Pujayanti, Adirini, Politik Pangan di Era Globalisasi, Jurnal Politica Vol.2 No.1, Mei 2011. Internet Daftar 28 Komoditas Pokok yang Masih Diimpor Indonesia, http://bisnis. liputan6.com/read/657271/daftar-28-bahan-pokok-yang-masihdiimpor-indonesia, diakses 27 September 2013.
Food Security, http://www.who.int/trade/glossary/story028/en/, diakses 23 September 2013.
Food Security: Concept And Measurement, http://www.fao.org/docrep/005/ y4671e/y4671e06.htm, diakses 25 Oktober 2013. Frankenberger, Timothy R. & M. Katherine McCaston, From Food Security to Livelihood Security: The Evolution of Concepts, www.ieham.org/html/ docs/ from_food_security_to_livelihoods_security.doc, diakses 11 Oktober 2013. Indonesia Termasuk Kategori Negara Dengan Kelaparan Serius, http:// lintasjateng.info/index.php/nasional/16-berita-nasional/162indonesia-termasuk-kategori-negara-dengan-kelaparan-serius.pdf, diakses 24 September 2013. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2010-2014, http://docsfiles. c o m / v i e w. p h p ? v i e w = h t t p : / / b k p . b a n g k a . g o . i d / d o n l o t / KEBIJAKANUMUMKETAHANANPANGAN20092014.pdf&keyword= pembangunan%20ketahanan%20pangan&count=, diakses 29 Agustus 2013.
Kebijakan Pemerintah Dalam Pencapaian Swasembada Beras Pada Program Peningkatan Ketahanan Pangan, http://Jdih.Bpk.Go.Id/Wp-Content/ Uploads/2012/03/Tulisan-Hukum-Ketahanan-Pangan.Pdf, diakses 29 Agustus 2013.
Ketahanan Pangan dan Upaya Mewujudkannya, http://agrimedia.mb.ipb. ac.id/archive/viewAbstrakArchive?id=3303e15f948f18bd68b986cfe30 094e2, diakses 23 September 2013. Memulai Gerakan Pangan Lokal Dari Keluarga, http://beranda.miti.or.id/ memulai-gerakan-pangan-lokal-dari-keluarga/, diakses 30 September 2013. 164
Dinar Wahyuni
Monitoring Acces to Food and Household Food Security, http://www.fao.org/ docrep/u8050t/ u8050t02.htm, diakses 11 Oktober 2013.
Napoli, Marion, Towards A Insecurity Multidimensional Index, http://www.fao. org/ fileadmin/templates/ERP/uni/FIMI.pdf, diakses 11 Oktober 2013. Pangan 2012 Tersandung Impor Kedelai, Singkong, Gandum, http://www.spi. or.id/ ?p=5851, diakses 24 September 2013.
UU Pangan Baru Tidak Sesuai Dengan Konsep Kedaulatan Pangan, Isi Lama Kemasan Baru, http://www.spi.or.id/?p=5699, diakses 22 Oktober 2013. Sumber Lain Ofong, Lexand, Menuju Ketahanan Pangan Berkelanjutan Di NTT, Kertas Kerja 2, NTT: Institute of Indonesia Tenggara Studies, 2007.
165
POLA KONSUMSI MASYARAKAT INDONESIA SEBAGAI INSTRUMEN PENGENDALI DALAM PEMBANGUNAN BEKELANJUTAN Mohammad Teja*
*
Peneliti Bidang Kesejahteraan Sosial pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI.
BAB I PENDAHULUAN
Hubungan pola konsumsi masyarakat dengan lingkungan sangat erat kaitannya, bahkan sejak manusia masih melakukan pembukaan lahan secara tradisional. Pemanfaatan lahan secara tradisional pun masih berdampak terhadap keberlangsungan lingkungan di masa depan apalagi penggunaan lahan (eksploitasi) yang terjadi sekarang ini. Keberlangsungan lingkungan terhadap kemaslahatan manusia dalam kajian-kajian akademik tentunya dapat dianalisa dari berbagai sudut pandang keilmuan dan berbagai metodologi yang menjadi alat analisa dari bidang keilmuan yang berbeda pula. Penggunaan sumber daya alam untuk konsumsi memiliki peran yang sangat penting bagi pertumbuhan perekonomian, konsumsi yang tinggi akan berdampak terhadap perubahan kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan produksi barang-barang kebutuhan manusia. Pemenuhan kebutuhan barang dan jasa dari keluarga tentu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan keseharian mereka dan juga menjadi salah satu indikator dalam menentukan tingkat kesejahteraan keluarga. Jika begitu, semakin besar konsumsi keluarga atau masyarakat dalam sebuah wilayah atau bahkan negara, semakin sejahtera kehidupan penduduk negara tersebut. Kebutuhan terhadap barang-barang konsumsi dari masyarakat seakan tak berbatas, jika kebutuhan tertentu sudah bisa dipenuhi maka akan muncul kebutuhan-kebutuhan baru yang berjalan lurus dengan meningkatnya tingkat pendapatan keluarga. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di negaranegara miskin, tetapi juga terjadi di negara-negara maju. Untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak hanya kebutuhan hayati seperti pakaian, rumah, kesehatan dan masih banyak lagi tentu berbeda pada setiap keluarga. Indonesia sebagai negara yang memiliki penduduk cukup banyak, meskipun memiliki cukup wilayah, tetapi konsentrasi penduduk di area tertentu melebihi kapasitas wilayah yang tersedia, sehingga menimbulkan persoalan lain di perkotaan. Dampak terhadap konsentrasi penduduk dan jumlah populasi yang terus berdampak pula terhadap wilayah penghasil bahan kebutuhan pokok masyarakat menjadi agenda penting dalam pembangunan ketahanan pangan di Indonesia. Penggunaan bahan-bahan kimia penyubur tanah demi 169
Pola Konsumsi Masyarakat Indonesia
pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat sudah pasti memberikan dampak perusakan kesuburan tanah ke depan. Keadaan seperti di atas hanya untuk kebutuhan pangan, masih banyak kebutuhan konsumsi manusia secara individu atau sosial yang memiliki dampak yang begitu mengkawatirkan demi kemaslahatan hidup manusia dan terjaganya sumber daya alam. Kegiatan manusia dalam kehidupannya selalu terikat dengan kegiatan konsumsi, baik pada saat melakukan aktivitas dan bahkan saat mereka tertidur. Dalam masyarakat, tingkatan pola konsumsi juga berbeda antara yang kaya dan miskin. Pola konsumsi tentunya sangat dipengaruhi oleh berapa besar pendapatan seseorang. Logikanya, semakin besar pendapatan seseorang semakin banyak juga kebutuhan barang yang dikonsumsinya. Belum lagi kebutuhan akan gaya hidup yang dipengaruhi oleh tingkat pendapatan itu sendiri. Barang-barang konsumtif yang berubah setiap waktu mengikuti perkembangan teknologi, bahkan gaya konsumsi pangan yang semakin beragam menuntut produsen barang kebutuhan-kebutuhan tersebut mencari alternatif solusi terhadap bahan mentah atau mengeruk lebih banyak lagi sumber daya alam demi ketersediaan untuk “kebutuhan” konsumsi manusia dan keuntungan perusahaan. Indonesia yang sedang berkembang pesat ini menjadi target pasar potensial bagi produsen-produsen yang berasal dari negara maju. Dengan keadaan seperti ini, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi keranjang sampah di masa datang jika kita tidak mulai membatasi dan memberikan pengetahuan kepada masyarakat terhadap dampak yang akan ditimbulkan dari barang-barang konsumsi dari pola-pola konsumsi masyarakat yang tidak terkendali, baik barang yang tahan lama (durable goods) dan barang yang tidak tahan lama (non-durable goods). Menuntut tanggung jawab perusahan penyedia barang dalam menyediakan tempat pembuangan khusus sebagai fasilitas bagi konsumen yang membeli produk-produk konsumsi dari mereka merupakan kebijakan yang bisa disyaratkan pada saat mereka memulai investasinya di negara-negara tertentu. A. RUMUSAN MASALAH Dalam tulisan ini, penulis mencoba menjelaskan gagasan tentang kaitan pola konsumsi masyarakat terhadap keberlanjutan lingkungan hidup di masa depan. Konsep sustainable sangat erat hubungannya dengan pembangunan dan memiliki interpretasi dan makna yang berbeda dari setiap bidang keilmuan. Secara sempit, keberlanjutan dapat didefinisikan dengan lingkungan dan pemeliharaannya, memastikan bahwa segala tindakan manusia tidak berdampak buruk terhadap kelangsungan hidup jangka panjang bumi 170
Mohammad Teja
dan biosfer.1 Dan secara lebih luas dapat juga dijelaskan sustainable dapat dijabarkan sebagai penyeimbangan kegiatan ekonomi, ekologi juga sosial dengan segala konsekuensinya (Elkington 1998).2 Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah kualitatif yang mendeskripsikan bagaimana pola konsumsi berdampak terhadap keberlanjutan lingkungan untuk kita wariskan kepada generasi selanjutnya. Sedangkan data yang diperoleh dalam tulisan ini berasal dari berbagai macam sumber seperti jurnal, buku dan berbagai artikel yang terkait dengan fokus penulisan.
1
2
Schefer and Crane, Addressing Sustainability and Consumpsion, Journal of Macromarketing. Vol 25 No. 1, June 2005, Sage Publication,. hal. 77 Ibid., hal. 77
171
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Dalam kajian sosiologi, lingkungan menjadi perhatian sejak tahun 1922 dengan munculnya artikel berjudul The Significance or Environment as a Social Factor oleh Bernard, sedangkan dalam pendirian cabang ilmu sosiologi lingkungan dua orang yang paling berjasa adalah Riley Dunlap dan William Catton pada tahun 1978. Menurut mereka sosiologi lingkungan dibangun dari beberapa konsep yang saling berhubungan satu sama lain;3 1. Persoalan lingkungan dan ketidakmampuan sosiologi konvensional untuk membicarakan persoalan-persoalan tersebut merupakan cabang dari dunia yang gagal menjawab dasar-dasar biofisik struktur sosial dan kehidupan sosial. 2. Masyarakat modern tidak berkelanjutan, sebab mereka hidup dengan sumber daya yang sangat terbatas dengan penggunaan pelayanan ekosistem jauh lebih cepat dibandingkan ekosistem memperbaharui dirinya. Diperparah dengan pertumbuhan populasi yang begitu cepat 3. Masyarakat menuju tingkatan lebih besar atau lebih kurang berhadapan dengan kondisi yang rentan ekologis. 4. Persoalan lingkungan telah menjadi perhatian dan menjadi kebutuhan jika krisis lingkungan ingin dihindari. 5. Pengenalan dimensi-dimensi krisis lingkungan yang menyumbang pada “pergeseran paradigm” dalam masyarakat secara umum, seperti yang terjadi dalam sosiologi (penolakan pandangan dunia barat dominan dan penerimaan sebuah paradigm ekologi baru) 6. Perbaikan dan reformasi lingkungan akan dilahirkan lewat perluasan paradigma ekologi baru di antara publik, massa, dan akan dipercepat oleh pergeseran paradigma yang dapat dibandingkan antara ilmuan sosial dan ilmuan alam. Sementara itu, sosiologi lingkungan Schnainberg memberikan perhatian pada konsep kunci yaitu produksi secara terus-menerus yang menyebabkan degradasi lingkungan oleh kapitalisme dan negara modern yang memperhatikan logika pertumbuhan ekonomi dan akumulasi modal
3
Susilo,. Dwi., Rachmad K, Sosiologi Lingkungan, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2008, 6-8
173
Pola Konsumsi Masyarakat Indonesia
pribadi. Sedangkan kecenderungan korporasi untuk selalu memperluas usahanya karena sifat kompetitif kapitalisme dan di sisi lain sebuah logika pertumbuhan komplementer dalam lingkup negara yang lebih memilih pertumbuhan daripada stagnasi pembangunan demi pendapatan pajak dan kemungkinan terpilihnya kembali atau keberlangsungan kekuasaan dengan cara membelanjakan pada subsidi atau mensosialisasikan pengeluara produksi pribadi dan akumulasi melalui subsidi publik pada penelitian dan pengembangan infrastruktur transportasi, militer, dan insentif pajak. Selanjutnya akumulasi yang dikembangkan cenderung pada intensifikasi modal, yang mengarah kepada otomatisasi, pengangguran, dan secara potensial menuntut untuk penciptaan pekerjaan atau program negara kesejahteraan (wallfare state) bagi mereka yang tertinggal atau terpinggirkan oleh proses akumulasi modal. Dan menurut Schnainberg keadaan seperti ini menyebabkan krisis legitimasi yang berturut-turut mendikte bahwa lebih banyak subsidi terhadap akumulasi modal swasta secara progresif agar menyediakan pekerjaan dan pajak negara cukup untuk membayar ongkos sosialnya. Sehubungan dengan hal tersebut ia menyatakan kegiatan produksi berhubungan langsung dengan krisis ekologi, sejak proses akumulasi ini mensyaratkan penurunan sumber daya alam dan menghasilkan polusi.4 Berdasarkan uraian di atas manusia sebagai aktor yang memainkan peranan penting dalam kerusakan lingkungan akibat proses produksi yang tidak memperhatikan dampaknya pada masa depan. Semakin besar populasi dan kegiatan produksi dalam lingkaran kebutuhan kehidupan keseharian manusia, baik secara individu ataupun sosial, tentunya sebagai pemilik modal akan berusaha se”baik” mungkin untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhan tersebut. keadaan lingkungan yang secara terus menerus di ekspansi oleh jumlah pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi manusia yang didukung oleh kegiatan perluasan modal demi pertumbuhan perekonomian berdampak terhadap keterbatasan ketersediaan lingkungan dan sumber dayanya. Paradigma sosiologi klasik tentang hubungan manusia dan alam dianggap sudah tidak lagi relevan, paradigm ini dikenal dengan Human Exceptionalisme Paradigm (HEP) dengan gagasan “manusia cukup unik di antara spesiesspesies di mana kita terbebas dari kekuasaan kekuatan lingkungan”. Keberadaan manusia yang bisa beradaptasi dengan lingkungannya dibandingkan dengan mahluk lain tentunya diyakini ilmu sosiologi, tetapi pendapat lain yang dikemukakan oleh Riley Dunlop dan William Catton beranggapan bahwa kemampuan lingkungan fisik akan mempengaruhi
4
Ibid., hal. 8
174
Mohammad Teja
kehidupan manusia menjadi pandangan yang masuk akal sekarang ini. Dengan kata lain keterbatasan manusia terhadap lingkungan sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial vice versa. New Environmental Paradigm (NEP).5 NEP beranggapan bahwa manusia memang memiliki pengecualian dan saling bergantung dalam ekosistem, dan manusia tidak hanya di bentuk oleh kekuatan sosial tetapi juga sebab akibat dan arus balik keterhubungan jaringan alam. Manusia mampu memahami orang lain dan dirinya sendiri hal ini ditandai dengan kemampuan manusia untuk memaknai simbol-simbol bahasa dan kebendaan. Dalam paradigm interaksi simbolik Blumer6 tiga premis yang menjadi perhatiannya, pertama, manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu bagi mereka, kedua, makna tersebut berasal dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”, tiga, makna-makna tersebut disempurnakan pada saat proses interaksi sosial berlangsung. Makna tersebut berasal dari interaksi dengan orang lain, sebagaimana yang dinyatakan Blumer, “ Bagi seseorang, makna dari sesuatu berasal dari cara-cara orang lain bertindak terhadapnya dalam kaitannya dengan sesuatu itu”. Manusia baik secara sosial ataupun individu dalam melakukan interaksinya berusaha memberikan makna pada semua tindakannya kepada orang lain dan dirinya. Keadaan seperti ini memberikan ruang kepada setiap individu untuk memasang atribut-atribut untuk menunjang proses komunikasinya dalam interaksi tersebut. makna simbol suatu barang atau produk tertentu diharapkan dapat dimaknai oleh orang lain dengan harapan mendapatkan umpan balik yang sama atau bisa saja lebih dari orang lain. Tuntutan-tuntutan seperti ini tentu saja dapat menjadi pertimbangan agar seorang individu memilih produk dengan mempertimbangkan persepsi orang atau dirinya sendiri.
5 6
Ibid., hal. 10-11 Wirawan., Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma, Fakta Sosial, Definisi Sosial & Perilaku Sosial, Kencana, Jakarta, 2012,. Hal 129
175
BAB III PEMBAHASAN
A. POLA KONSUMSI Sifat konsumtif merupakan ciri dari masyarakat modern, dan bukan berdasarkan dari kebutuhan dasar dan fungsi kegunaannya bagi manusia. Kebijakan pasar yang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pola konsumsi masyarakat merupakan penyebab paling berpengaruh dalam merubah aturan-aturan sosial masyarakat. Masyarakat yang telah terinformasikan dengan berbagai serangan produsen terhadap barangbarang konsumsi baik dari media tv ataupun surat kabar dan internet, iklaniklan yang terpampang di pinggir-pinggir jalan membuat ruang pilihan gaya hidup menjadi semakin liar dan variatif. Gaya hidup bergerak bersamaan dengan tumbuhnya kemajuan ekonomi masyarakat, kegiatan konsumsi masyarakat memang dapat menunjukkan adanya pertunbuhan kehidupan ekonomi yang lebih baik dalam masyarakat. Fenomena tersebut dalam kacamata lain dianggap sebagai kemunduran rasionalitas masyarakat, orientasi gaya hidup menjadi dasar dari kebutuhan konsumsi.7 Keadaan seperti ini tidak terjadi hanya di negara maju saja tetapi di Indonesia pun sudah menjadi trend yang sudah menjadi kebutuhan dalam kehidupan keseharian. Konsumsi pada kenyataannya sudah menjadi kebutuhan dalam relasi-relasi sosial, prestise menjadi hal yang paling dipentingkan ketimbang kebutuhan yang mendasar, barang yang dibeli menjadi penilaian masyarakat terhadap orang yang menggunakan produk tersebut, menentukan siapa dan dengan siapa mereka bergaul, menentukan tingkatan nilai sosial yang mana mereka didudukkan. Mau tidak mau simbol, status dan prestise menjadi pola konsumsi masyarakat dalam memilih dan membeli barang untuk mereka gunakan.8 Sementara itu produsen barang-barang tersebut terus memproduksi demi mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat yang cenderung mengikuti pola “teknik” pemasaran korporasi. Tidak hanya itu, sikap dari fanatisme mulai ditumbuhkan oleh mereka yang tentunya menuntut perusahaan agar terus berinovasi terhadap produk mereka jika tidak ingin ditinggalkan oleh konsumen.
7
8
Lihat,” Posmoderisme dan Budaya Konsumen”, http://id.scribd.com/doc/52665465/ POSMODERNISME-DAN-BUDAYA-KONSUMEN, hal. 2, diakses pada 21 Oktober 2013 Bandingkan, Ibid., hal. 3.
177
Pola Konsumsi Masyarakat Indonesia
Pada intinya sustainable development adalah bagaimana menselaraskan tiga pilar9 yang saling ketergantungan dalam kehidupan yaitu, masyarakat, perekonomian dan lingkungan. Apapun konteksnya ide dasarnya bagaimana orang dengan kebiasaannya dan sistem ekonomi saling terikat satu dengan lainnya. Beberapa dekade ke belakang tentunya kita tidak terlalu memikirkan dampak yang akan terjadi di masa depan, tetapi dengan berjalannya waktu kita diingatkan oleh tanda-tanda krisis yang terjadi akibat eksploitasi sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan konsumsi manusia yang terus meningkat populasi dan ragam kebutuhan yang semakin cangih. Pada konferensi PBB tentang Pembangunan dan Lingkungan, beberapa kepala negara sepakat dan menjadi keprihatinan bersama adalah kerusakan yang terjadi terhadap lingkungan akibat pola konsumsi dan produksi dari negara-negara industri yang memperparah kemiskinan dan ketidakseimbangan lingkungan global. Dalam pertemuan tersebut setiap negara harus berupaya untuk mengurangi dan menghilangkan pola-pola pemanfaatan lingkungan untuk produksi dan konsumsi dengan cara mempromosikan kebijakan demografis yang tepat demi kualitas hidup yang lebih baik untuk semua orang. Menurut beberapa ilmuan yang hadir pada tahun 1992 tersebut keadaan kemajuan dalam mengubah pola konsumsi dan produksi berjalan secara lambat, mereka memberikan pernyataan bahwa kegiatan manusia menimbulkan kerusakan yang berdampak buruk dan sulit untuk diubah dan menyebabkan sumber daya dalam keadaan kritis. Jika hal tersebut dibiarkan berlanjut makan akan menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan masa depan. Generasi mendatang akan hidup berbeda sama sekali dengan cara hidup yang kita tahu dan jalani pada masa sekarang. Selama 20 tahun terakhir dampak ekologi dan sosial akibat terus meningkatnya penggunaan sumber daya alam, meningkatnya ketegangan geopolitik atas akses yang semakin langka seperti, minyak bumi, air dan sumber-sumber mineral yang menyebabkan kerusakan dan berkurangnya spesies, perubahan iklim, langkanya sumber makanan, meningkatnya migrasi akan sangat mengkhawatirkan dan terus meningkat. Terbatasnya pemanfaatan energi terbarukan dan membatasi penggunaan energi tidak terbarukan akan menciptakan kerusakan ekologi pada skala global, dalam konteks yang berkaitan hampir sepertiga dari umat manusia masih hidup dalam kemiskinan dan belum mendapatkan keuntungan dari janji-janji pembangunan dan pertunbuhan ekonomi yang tinggi.10
9
10
Strange, Tracey and Bayle Anne, Sustainable Development, Linking economy, society, environment, Organisation For Economic Co-Operation and Development (OECD), 2008, hal. 27 Prinet, Emmanuel, Sustainable Consumption & Production, One Earth Initiative Society, Canada, 2011, hal. 8.
178
Mohammad Teja
B. MERUBAH POLA KONSUMSI MASYARAKAT DEMI PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN. Dalam kehidupan manusia, konsumsi telah menyatu dan tak bisa dipisahkan. Keberadaannya selalu mengikuti untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dimanapun kita berada, dan memiliki tingkatan yang berbeda dalam status kehidupan ekonominya. Tentunya, pola dan dampak dari konsumsi yang semakin lama semakin mengawatirkan dan dengan berjalannya waktu untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat kita harus mulai waspada terhadap akibat negatif yang ditimbulkan oleh proses produksi barang-barang konsumtif tersebut. Pola konsumsi tentunya dapat berbeda dari setiap individu, budaya, nilai-nilai dan gaya hidup bahkan berbeda di setiap negara. Secara makro hal ini dipengaruhi oleh perubahan struktur lingkungan11 di mana masyarakat tersebut menetap. Sebaliknya, pola konsumsi masyarakat yang dipengaruhi hal-hal tersebut di atas tentunya memiliki dampak yang berbeda khususnya terhadap lingkungan dari setiap wilayah. Dalam pemanfaatan sumber daya alam, jika dilakukan dalam memenuhi kebutuhan keseharian setiap individu tentunya alam akan memiliki kemungkinan meregenerasi dengan sendirinya. Tetapi, keadaan populasi yang meningkat juga sangat mempengaruhi ketersediaan lingkungan dalam memenuhi semua kebutuhan dasar manusia secara bersamaan. Cara berfikir dan mengorganisasi diri secara berkelanjutan mempunyai implikasi yang sangat besar bagi kehidupan manusia dengan dimensi kehidupan. Dalam masyarakat nomaden, kebutuhan keseharian diberikan dan diambil oleh masyarakat dari alam dan subsisten. Saat kehidupan masyarakat pada masa ini, manipulasi terhadap alam dan lingkungan tidak banyak dilakukan, semua kebutuhan hidup diambil berdasarkan apa yang diberikan oleh alam. Kemudian mulailah masyarakat hidup dengan hasil bercocok tanam, dan mulai membangun tempat tinggal yang menetap, dan dimulailah mereka memberikan sentuhan-sentuhan yang merusak alam. Sekarang, sistem ekonomi kapitalis sebagai “tertuduh” atas rusaknya kondisi lingkungan akibat dari rasionalitas masyarakat modern yang berawal dari imbas pencerahan Barat menjadikan alam hanya sebagai alat pemuasan kebutuhan manusia.12 Definisi dari “sustainable consumption” sendiri semenjak pertemuan internasional Rio Earth Summit pada tahun 1992 banyak terdeskripsikan, secara lentur dan mempersilahkan semua pernyataan mengenai definisi
11
12
Karwala, Sabastian, Changing Consumtion Patterns, Sustainable Management, Windisch (2005),. Hal. 2 Winarno, Budi Prof., Drs., MA, P.hD, Etika Pembangunan, Center for Academic Phublising Service, Jakarta, 2013, hal. 139-140.
179
Pola Konsumsi Masyarakat Indonesia
ini dari berbagai pendapat dan metode. Seperti yang diusulkan oleh Oslo Ministerial Roundtable pada tahun 1994 mendefinisikan sustainable consumption sebagai penggunaan pelayanan terhadap produk yang berhubungan dengan kebutuhan dasar untuk meningkatkan kualitas hidup manusia sambil meminimalisasi penggunaan sumber daya alam dan bahanbahan berbahaya seperti emisi yang berlebihan berdampak pada polusi yang membahayakan bagi generasi mendatang. Pendapat lainnya mengatakan bahwa keberlanjutan konsumsi tidak hanya berada pada kurangnya konsumsi, tetapi berkenaan dengan cara mengkonsumsi yang berbeda, bagaimana konsumsi yang efisien berkaitan dengan meningkatkan kualitas hidup, ini juga termasuk di dalamnya saling berbagi antara yang kaya dan miskin. Secara faktual, sustainable consumption bermuara pada kebebasan untuk mengkonsumsi secara seimbang dengan tanggung jawab terhadap sesama juga bertanggung jawab terhadap kelangsungan kelestarian bumi.13 Kaitan antara pola konsumsi terhadap lingkungan menjadi salah satu perhatian dari berbagai kalangan saat ini, baik politisi, pemerintah (termasuk di dalamnya pembuatan kebijakan), korporasi yang jika tidak dimulai dari sekarang, akibat yang akan dialami oleh generasi mendatang akan sangat merugikan. Pada dasarnya permintaan akan produk-produk yang berada dipasaran tergantung sepenuhnya oleh konsumen, mereka menentukan produk/barang mana saja yang akan dibeli, sementara itu produsen sebagai penyedia terus menyediakan semua kebutuhan yang diminta oleh konsumennya, hal ini tentunya sangat mempengaruhi proses-proses produksi yang menggunakan sumber daya alam dengan tingkat polusi yang cukup mencemaskan. Ide tentang pembangunan berkelanjutan diawali dari kritik terhadap proses pembangunan (termasuk di dalamnya kegagalan distribusi dan keadaan terburuk dari kemiskinan), dari ide radikal seperti teori ketergantungan sampai kritik terhadap kajian proyek pembangunan dan implementasinya. Dalam pembangunan berkelanjutan lebih terikat dengan bagaimana pembangunan berimplikasi terhadap lingkungan, ekosistem dan keanekaragaman makhluk hidup, yang pada saat sekarang ini telah sampai kepada dampak dari pelaksanaan pembangunan bekaitan dengan sumber daya alam untuk digunakan manusia.14 Eksploitasi terhadap lingkungan untuk digunakan sebagian besar dalam memenuhi kebutuhan manusia tentunya secara bijaksana harus diawasi demi kelangsungan lingkungan itu sendiri. Meskipun kebutuhan manusia
13
14
Bentley., M. D., Sustainable Consumption Indicator, Dimension Of Sutainable Development., Encylopedia of Life Support System (EOLSS)- Vol II., hal 5 Adam,. W., M, Green Development, Environment and Sustainability in a Developing World, Routledge, London and New York, 3rd edition 2009., hal. 15
180
Mohammad Teja
terus meningkat, baik di negara maju dan negara berkembang, pemerintah sebagai pembuat kebijakan diharapkan dapat memberikan policy yang berpihak kepada masa depan demi kelangsungan manusia dan lingkungan. Keprihatinan serius terhadap kerusakan lingkungan terutama di negaranegara industri adalah pola konsumsi dan produksinya yang mengakibatkan parahnya kemiskinan dan keseimbangan lingkungan dalam hal memperbaiki kualitas hidup bagi setiap orang di masa mendatang. Di masyarakat modern saat ini meminjam istilah Ulrich Beck15 adalah sebagai masyarakat yang penuh risiko. Hal ini tentunya dialami pada generasi yang hidup pada saat ini dan kemungkinan besar risiko tersebut terjadi pada generasi mendatang. Penggunaan lahan memakai pupuk kimia yang berlebihan akan merusak hara tanah, penggunaan lahan untuk pembangunan fasilitas konsumerisme yang tidak terkontrol menjadi perhatian banyak pihak dengan segala kepentingan berbeda. Kebijakan-kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah tentunya diharapkan memberikan solusi dan alternatif untuk menjaga kelestarian lingkungan dengan baik. Salah satu sumber lain diketahui perubahan pola konsumsi terkait dengan Sustainable Consumption and Production adalah untuk memisahkan pertumbuhan ekonomi dari degradasi lingkungan, gunanya untuk pemanfaatan kesejahteraan manusia dengan mempertahankan pembangunan ekonomi (misalnya dengan menciptakan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, peningkatan kesehatan dan pendidikan) mempertemukan antara kebutuhan dasar manusia dan cara mempertahankan keberlanjutan lingkungan sebagai jantung dari Sustainable Consumption and Production.16 Yang tentunya memberikan kesempatan kepada Tujuan Pembangunan Milenium dengan memberikan lebih banyak pilihan produk dengan cara yang ramah, aman juga bersih dalam menggunakan energi dan bahan lainnya. Misalnya, permintaan produk dari hasil pertanian yang terus meningkat khususnya untuk konsumsi bahan makanan yang secara langsung meningkatkan tekanan terhadap ekosistem tanah dan air dan sumber daya lainnya. Sektor pertanian secara global menggunakan sumber daya alam secara intensif yang memberikan kontribusi besar terhadap konsumsi dari air tawar sebanyak 70%, 80% penggundulan hutan dan penyebab tunggal hilangnya keanekaragaman spesies dan hayati, juga memproduksi lebih dari
15
16
Beck, Ulrich, Living in The World Risk Society, Economy and Society Vol. 35 Number 3, August 2006. Ottawa, Ontario, International Processes on Sustainable Consumption and Production, “A Background Paper for the North American Sustainable Consumption and Production Workshop on Green Building”, United Nations Environment Programme, 31 January – 1 February 2011, hal. 1.
181
Pola Konsumsi Masyarakat Indonesia
30% emisi global gas rumah kaca. Keadaan seperti ini terus menjadi penyebab terbesar dari perubahan penggunaan lahan (Nellemann et al, 2009).17 Keberadaan hutan atau lahan kosong bisa jadi merupakan faktor yang dapat merubah pola konsumsi masyarakat, kemerosotan sumber-sumber hasil pertanian untuk kebutuhan manusia sangat bergantung pada kualitas ekosistem yang sehat. Makanan yang sehat tentunya dapat dihasilkan dari kualitas pengolahan dan ketersediaan lahan yang sehat pula. Bagi masyarakat urban biasanya makanan yang selalu menjadi pilihan untuk di konsumsi adalah makanan cepat saji, yang sebagian besar tidak memperhatikan dampak dari makanan tersebut. Berbeda dengan masyarakat yang tinggal di pedesaan, dengan pola hidup yang sehat, makanan yang tidak banyak mengandung bahan-bahan pengawet tentunya mereka memiliki kesempatan hidup lebih baik dan sehat. Selain itu, persoalan lingkungan juga muncul pasca konsumsi manusia, yaitu sampah, yang menurut Kementerian Lingkungan Hidup rata-rata penduduk di Indonesia menghasilkan 2,5 liter sampah per hari atau 625 juta liter dari total jumlah penduduk dan terus bertambah sesuai dengan kondisi lingkungan.18 Belum lagi menyangkut kesadaran masyarakat dan produsen penyedia barang kebutuhan dasar terhadap dampak kerusakan lingkungan dari hasil produksi dan buangan konsumsi manusia. Budaya sebagian masyarakat yang masih membuang sampah tidak pada tempatnya menjadi salah satu kendala dalam proses daur ulang, meskipun sampah yang baru bisa di daur ulang hanya 10%19, sedangkan menurut direktur Perumahan dan Permukiman Bappenas Nugroho, volume sampah di Indonesia sekitar 1 juta meter kubik setiap harinya, dan baru sebanyak 42 persen di antaranya yang terangkut dan diolah dengan baik, dan sampah yang tidak terangkut setiap harinya sebanyak 348.000 meter titik atau sekitar 300.000 ton.20 Selanjutnya ia menjelaskan bahwa hampir 75% badan air di Indonesia sudah dalam keadaan tercemar, di mana 60% sampai 80% di antaranya adalah limbah rumah tangga, dan sisanya dari industri. Sekitar 76,3% dari 53 sungai di Jawa, Sumatera, Bali dan Sulawesi oleh bahan organik dan 11 sungai utama oleh amonium.
17
18
19
20
UNEP, The Critical Role og Global Food Consumption Pattern in Achieving Sustainable Food System and Food for All, A UNEP Discussion Paper, 2012., hal. 18. Lihat Tempo.co, Indonesia Hasilkan 625 Juta Liter Sampah Sehari, http://www.tempo.co/ read/news/2012/04/15/063397147/, diakses pada 11-10-1013 Menurut majalah National Geographic Indonesia pada tahun 2011, http:// nationalgeographic.co.id/berita/2011/11/90-persen-sampah-di-indonesia-belumdidaur-ulang, diakses pada 11-10-2013 www.suarapembaharuan.com, Setahun Volume Sampah Indonesia Setara dengan 122 Gelora Bung Karno, http://www.suarapembaruan.com/home/setahun-volume-sampahdi-indonesia-setara-dengan-122-gelora-bung-karno/21707, diakses pada 11-10-2013.
182
Mohammad Teja
Masalah migrasi dan tumpukan sampah tentunya menjadi masalah setiap negara, baik negara yang sudah berkembang maupun negara yang sedang berkembang. Bencana banjir, hasil dari penumpukan sampah akibat kesadaran masyarakat yang masih belum bisa menjaga lingkungannya, memberikan pemandangan bagi warga yang tinggal di bantaran sungai. Hal ini juga menyebabkan penduduk yang tinggal di sisi sungai harus hidup menyesuaikan keadaan tersebut (maladaptasi). Penggunaan air untuk mencuci, mandi dan kegiatan rutinitas keseharian seakan sudah biasa dengan kondisi air yang kotor dan tidak sehat. Yang menjadi pertanyaan besar adalah, apakah tidak ada kesadaran pada masyarakat untuk lebih meningkatkan kesehatan dalam lingkungan mereka? Pertanyaan ini tentunya dapat dijawab dengan berbagai macam alasan, misalnya kegiatan mereka keseharian yang mengharuskan masyarakat mencari sumber-sumber penghidupan demi kelangsungan hidup keluarga mereka tidak menyisakan waktu untuk memperhatikan keadaan lingkungan. Keadaan penghasilan yang pas-pasan dan tingginya harga tanah dan rumah atau kontrakan yang layak huni. Hanya sedikit saja yang memiliki perhatian lebih dari mereka untuk memberikan kontribusi positif terhadap kondisi kesehatan lingkungannya. Agen-agen yang sedikit ini (community worker)21 diharapkan menjadi educator dalam mengubah pemahaman masyarakat untuk hidup dengan baik. Aktor perubahan menjadi penting dalam memberikan stimulan terhadap masyarakat yang masih terlalu banyak tidak sadar dan peduli terhadap keberlanjutan kehidupan manusia, persoalan sampah konsumsi misalnya tentu masih akan dibicarakan sampai kapanpun selama manusia masih berada di planet bumi ini. Penumpukan sampah dan persoalan tempat akhir pembuangan sampah-pun masih menjadi polemik yang terus berkelanjutan dan menjadi persoalan sosial pada daerah tertentu di Indonesia. Konflik sampah tidak hanya dipicu oleh Tempat Pembuangan Akhir nya saja, tetapi dari sampah tersebut juga memunculkan persoalan kemiskinan dan mata pencaharian hidup bagi mereka yang menggantungkan kehidupannya pada limbah sampah. Merubah pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan memerlukan kerja keras dan menuntut perubahan secara mendasar dan holistik dengan daya dukung lingkungan yang berpihak kepada sistem yang adil dan berkeadilan sosial-ekonomi yang dapat memenuhi kebutuhan semua orang harus terdefinisikan secara baik melalui kebijakan pemerintah yang tepat. Perubahan mendasar dalam berinvestasi untuk produksi, dipasarkan dan
21
Baca, Adi, Isbandi Rukminto, Kesejahteraan Sosial, “Pekerjaan Sosial, Pembangunan Sosial dan Kajian Pembangunan”, PT. RajaGrafindo Perkasa, Jakarta, 2013, hal. 66
183
Pola Konsumsi Masyarakat Indonesia
didistribusikan, bagaimana digunakan dan dibuang memerlukan pemikiran ulang sistem perekonomian secara keseluruhan dan tindakan yang diperlukan pada semua skala geografis, politik dan, semua tingkatan masyarakat termasuk pemerintah, korporasi dan masyarakat. Blue print European Sustainable Consumption and Production (2008:3) dilaporkan mengenai jenis perubahan yang dapat mengubah pola konsumsi dan produksi pertama, hidup dalam batasan, kedua, membentuk masyarakat yang berkelanjutan bukan konsumen berkelanjutan, ketiga, mengatasi masyarakat sebagai warga negara, bukan sebagai konsumen, keempat, mengatasi konsumsi dan produksi, kelima, menciptakan sistem yang mengarah pada perilaku berkelanjutan.22 Intervensi yang dilakukan oleh individu ataupun masyarakat secara sosial memiliki dampak potensial dalam mendorong proses perubahan pola konsumsi, hal ini menjadi alasan penting dan dimasukkan dalam agenda pertemuan 178 negara sewaktu Konferensi UNCED (United Nations Conference on Environment and Development). Pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan yang menjadi agenda ke 4 dalam pertemuan tersebut didedikasikan untuk memperbaiki dan lebih mempertajam keberlanjutan pembangunan melalui pola konsumsi dan produksi tersebut yang melibatkan dua program, fokus pertama adalah merubah pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan, fokus selanjutnya adalah membangun kebijakan nasional dan strategi untuk merubah pola konsumsi dan produksi.23 C. APA YANG DILAKUKAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT UNTUK MERUBAH POLA KONSUMSI MASYARAKAT? Untuk menjawab bagaimana merubah pola konsumsi masyarakat membutuhkan pekerjaan yang tidak mudah dalam implementasinya. Kebiasaan masyarakat dalam menggunaan dan peduli terhadap proses produksi juga limbah dari pembuatan dan pengunaannya harus mulai dibangun melalui kebijakan yang tepat dan adil bagi seluruh tingkatan masyarakat. Membangun pola konsumsi yang bertanggung jawab tentunya harus diikuti oleh kebijakan pemerintah dalam memberikan dorongan yang sedikit memaksa kepada pihak tertentu (korporasi), perlakuan yang berbeda tentunya diterapkan kepada individu sebagai bagian dari masyarakat. Menumbuhkan kesadaran terhadap dampak yang ditimbulkan oleh barang yang dikonsumsi melalui cara-cara yang efektif dan bertanggung jawab baik terhadap barang yang digunakan, sudah digunakan serta barang yang akan dibuang. Tentu informasi mengenai pola konsumsi yang bertanggung jawab
22 23
Prinet, Emmanuel, Op Cit., hal. 11. Karwala, Sabastian, Op. Cit., hal. 5.
184
Mohammad Teja
menuntut peran dan kerja sama pemerintah dan korporasi dalam membangun kultur pola konsumsi yang bertanggung jawab. Mereka (pemerintah dan korporasi) harus memberikan informasi kepada konsumen dan mendampingi baik secara individu dan rumah tangga (sebagai konsumen publik) antara lain: a, menyediakan informasi mengenai perilaku konsumen terhadap pilihan konsumsi yang mendorong penggunaan produk ramah lingkungan b, membangun kesadaran konsumen akan kesehatan yang berorientasi kepada konsumen melalui membuat kebijakan/undang-undang konsumen c, mendorong program seperti daur ulang dan sistem pengembalian dana d, memberikan contoh dimulai dari pemerintah.24 Campur tangan dari pemerintah dan perusahaan industri dibutuhkan dalam mengubah persepsi masyarakat dan bahkan korporasi mengenai pola konsumsi yang berkelanjutan. Misalnya, pemerintah, organisasi pemerintah, NGO dan swasta bekerja sama dalam mempromosikan sikap-sikap berkelanjutan melalui pendidikan, program-program peduli terhadap lingkungan yang berkelanjutan seperti iklan-iklan yang lebih mengajak untuk mengunakan produk-produk dan teknologi yang ramah lingkungan dalam pola konsumsi masyarakat. Selain itu hubungan gaya hidup dan nilai-nilai pola konsumsi berkelanjutan hubungannya dengan perubahan pola konsumsi memerlukan upaya yang sinergis antara pemerintah, konsumen dan produsen. Peranan yang besar diberikan oleh konsumen sebagai pengguna produk yang potensial untuk menentukan pembelian yang bertanggung jawab. Untuk mencapai tujuan dari kualitas lingkungan dan pembangunan berkelanjutan membutuhkan efisiensi dalam produksi dan perubahan pola konsumsi guna menekan optimasisasi penggunaan sumber daya dan meminimalisasi limbah/sampah. Merubah reorientasi produksi yang telah tertanam pada masyarakat industri dan kemudian diadaptasi oleh di negara-negara lain sebagai bentuk dari dampak globalisasi yang tidak dapat dihindari. Perubahan dari trend yang tidak berkelanjutan ke pola konsumsi yang berkelanjutan menuntut proses yang dapat di mulai dari pemerintah, korporasi (pola konsumsi industri) dan masyarakat (rumah tangga dan individu) dengan kebijakan yang adil dan mendukung sustainable development ke arah yang lebih positif. Keberpihakan pemerintah untuk menunjukkan keseriusannya dalam efisiensi penggunaan energi listrik misalnya ditunjukkan melalui penghematan penggunaan listrik pada gedung-gedung perkantoran milik pemerintah, pengunaan pendingin ruangan yang hanya digunakan jika aktifitas kerja
24
Dalam Changing Consumption Patterns, hal. 58. http://www.regency.org/earth_ summit_92/chapter4.pdf, diakses pada 22-Oktober-2013
185
Pola Konsumsi Masyarakat Indonesia
dimulai dan dipadamkan saat berakhir waktu kerja, menggunakan lampu yang hemat energi dan seterusnya. Kemudian masalah baru yang terjadi dalam menggunakan teknologi yang hemat dan ramah terhadap lingkungan memiliki persoalan lain yaitu, harga yang harus dibayar untuk menggunakan teknologi yang ramah lingkungan dan hemat energi sangat “mahal”. Disinilah peran pemerintah dan perusahan dibutuhkan dalam menentukan kebijakankebijakan yang pro-rakyat. Kemunculan produk-produk yang ramah lingkungan dan kesadaran sebagian masyarakat dalam menggunakannya tentunya perlu diberikan apresiasi, selain itu perusahan yang memproduksi barang-barang tersebut perlu mendapatkan kebijakan khusus dari pemerintah agar daya beli masyarakat dapat terjangkau. Sebuah metodologi atau penilaian tertentu disiapkan oleh pemerintah, organisasi internasional bersama dengan sektor swasta untuk menilai dampak dari produk tersebut terhadap lingkungan dan diinformasikan kepada pembeli agar mereka dapat menentukan barang yang akan dibeli dan memberikan alternatif yang terukur kepada calon pembeli.
Sumber: Karwala, Sabastian, Changing Consumtion Patterns, Sustainable Management, Windisch (2005),. Hal.8
Empat pendekatan utama dalam membangun tanggung jawab masyarakat terhadap pola konsumsi menurut Sabastian Karwala, 1. 186
Mohammad Teja
Mengurangi konsumsi dan pengelolaan limbah, 2. Berhenti mengunakan produk-produk yang merusak dan berbahaya, 3. Membeli dan menggunakan barang secara bertanggung jawab, 4. Memulai untuk bertindak proaktif. Pada point ketiga dan empat tidak hanya ditujukan kepada barangnya saja tetapi kepada perusahaan dan pendistribusian barang-barang tersebut. ini berarti menyangkut tanggung jawab dari sosial dan lingkungan termasuk etika dalam berinvestasi.25 Kembali ke atas, untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat, melalui program-program antara pemerintah, organisasi sosial juga korporasi sebagai penyedia produk diperlukan usaha untuk membangun kepedulian dan tanggung jawab terhadap lingkungan dan generasi mendatang. Masyarakat sebagai pengguna produk dituntut untuk lebih bisa memilih produk-produk mana yang bisa digunakan dan bisa mengurangi dampak penggunaan energi yang efisien. Tentunya pilihan ini juga berdampak terhadap daya beli masyarakat yang sangat beragam di Indonesia. Keadaan pendapatan ekonomi yang beragam tentunya menentukan juga produk yang dapat dibeli oleh mereka. Segala sesuatu yang berhubungan dengan pembangunan dan keberlanjutan tampaknya selalu dalam lingkaran konsumsi. Kemudian etika dalam mengkonsumsi menjadi menarik untuk dibahas dan menjadi penting dalam mendorong perubahan pola konsumsi masyarakat. Konsumsi dapat dilihat dari dua aspek konsumsi, yakni kebutuhan diri dan kebutuhan orang lain.26 Ini dapat dipahami bahwa konsumsi selalu harus berpijak pada kebutuhan-kebutuhan rasional dan tidak berlebihan, dengan kata lain kita harus berhemat sebagai sebuah kebijakan subversif (Nash, 2007:225).27 Penghematan ini dikatakan subversif karena revolusi melawan sistem ekonomi yang bergantung pada sistem produksi dan konsumsi yang intensif untuk menjaga agar sistem tetap berfungsi dan tumbuh. Berhemat merupakan titik temu yang tidak selaras dengan etos ekonomi yang menjunjung tinggi pertumbuhan. Menurut Nash, ada empat sifat subversif, pertama, bahwa berhemat adalah sifat yang sangat bertolak belakang bahwa manusia adalah makhluk yang tidak pernah puas, yang tidak pernah henti-hentinya untuk mencukupi barang dan keuntungan ekonominya dan selalu mementingkan dirinya sendiri untuk memaksimalkan kesenangnnya. Kedua, berhemat melawan bujukanbujukan promosionalisme konsumtif-khususnya iklan yang merebak kemanamana, yang menekan kita melalui teknik canggih agar meningkatkan lebih 27 25 26
Op.Cit., Karwala, Sabastian, hal.9. Op. Cit., Winarno, Budi Prof., Drs., MA, P.hD, hal.158. Op. Cit., hal. 158
187
Pola Konsumsi Masyarakat Indonesia
banyak, lebih besar, lebih baik, lebih cepat, lebih baru, lebih menarik, atau yang “terkini”. Ketiga, berhemat berjuang melawan berbagai dinamika psikologi dan sosiologis, melampaui promosionalisme pasar yang menstimulus konsumsi yang berlebihan. Keempat, berhemat secara sadar-etis menolak ideologis arus utama yang berlaku, yakni pertumbuhan ekonomi material yang tidak pandang bulu.28 Kesulitan utama memang datang dari konsumen yang masih terus mengikuti rayuan produk-produk yang memiliki kekuatan psikologis dalam menarik pembeli. Program dan kebijakan yang strategis serta kesadaran dalam memilih barang tentunya menjadi pekerjaan semua pihak. Banyak cara untuk dapat mengurangi dampak dari konsumsi masyarakat, seperti mendaur ulang, pengembalian barang yang tak terpakai dan berbahaya ke satu tempat tertentu yang disediakan oleh perusahan yang memproduksi barang tersebut, sampai memperpendek jalur pembuangan sampah. Gerakan hemat dan pentingnya menjaga lingkungan yang dimulai dari masyarakat (konsumen) dapat berdampak signifikan terhadap proses produksi, mulai dari pemilihan bahan baku yang ramah lingkungan, penggunaan sumber daya alam yang bertanggung jawab tanpa merusak alam sampai pada pemanfaatan energi untuk kepentingan hidup keseharian. Memang terbaca agak sulit melakukan hal-hal tersebut pada saat Indonesia menjadi target pasar dan segala kebijakan investasi terhadap eksploitasi sumber daya alam, bayangkan saja selama tahun 2012 dorongan otonomi daerah memacu pemerintah daerah untuk berusaha mengejar investasi, pemerintah Provinsi Bengkulu misalnya menerbitkan 100 izin eksplorasi tambang batu bara karena dianggap mempunyai potensi paling besar di kawasan itu. Akibatnya kerusakan lingkungan tidak dapat dihindari. Dana yang cukup besar pasti akan lebih banyak jika dibandingkan dengan keuntungan-keuntungan yang diterima oleh pemerintah daerah.29 Yang lebih membahayakan lagi adalah izin-izin yang dikeluarkan terhadap eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam tak terbarukan ini tidak disertai dengan kewajiban pengusaha/perusahaan untuk memperbaiki kembali kondisi yang sudah rusak tersebut.
28 29
Ibid., hal. 159 Ibid., hal. 315
188
BAB IV PENUTUP
Simpulan Upaya untuk merubah pola konsumsi masyarakat tentunya memberikan pekerjaan rumah yang panjang dan tidak mudah. Disisi lain kegiatan konsumsi adalah kegiatan yang penting dalam kehidupan manusia, mencerminkan ukuran keberhasilan dan gaya hidup setiap individu. Disaat yang sama pola konsumsi juga sangat berperan dalam mempercepat kemerosotan dan mengancam pembangunan berkelanjutan. Fokus dari sustainable development selain dari dampak yang ditimbulkan oleh proses produksi, eksploitasi yang begitu masif adalah merubah pola konsumsi masyarakat yang kian hari menjadi perilaku yang sangat konsumtif. Komitmen masyarakat/individu menjadi penting dalam mendorong perubahan pola konsumsi tetapi strategi politik yang mendukung pertumbuhan ekonomi seakan bertolak belakang dalam mempromosikan gerakan pembangunan yang berkelanjutan. Sementara masyarakat diarahkan untuk berhemat dan memilih produkproduk yang ramah terhadap lingkungan, baik proses dan limbahnya, disisi lain pemerintah terus membuka eksplorasi terhadap energi tak terbarukan, meneruskan impor barang-barang berbahaya saat sudah tidak terpakai atau saat digunakan masih memiliki dampak merusak. Mendorong korporasi sebagai penyedia barang dan jasa untuk lebih peduli dan aktif dalam memberikan pengertian, informasi juga pendidikan terhadap produk-produk yang aman digunakan dan diproses dengan materi yang tidak menganggu ekosistem. Membentuk masyarakat dalam memilih dan merubah pola konsumsi masyarakat harus diikuti dengan kebijakan nasional yang sistematis dan holistik. Industri yang mengkonsumsi banyak sumber daya alam harus mendapatkan perhatian khusus agar tidak memperdalam degradasi lingkungan secara ekstrem. Sebagai sebuah proses pilihan yang alami tetapi tidak terlambat, diharapkan pemerintah dan masyarakat, terutama korporasi yang mengunakan sumber daya alam yang tak terbarukan dengan bijaksana dan berkeadilan.
189
DAFTAR PUSTAKA
Buku Schefer and Crane, Addressing Sustainability and Consumpsion, Journal of Macromarketing. Vol 25 No. 1, Sage Publication, June 2005. Susilo,. Dwi., Rachmad K, Sosiologi Lingkungan, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2008 Strange, Tracey and Bayle Anne, Sustainable Development, Linking economy, society, environment, Organisation For Economic Co-Operation and Development (OECD), 2008.
Prinet, Emmanuel, Sustainable Consumption & Production, One Earth Initiative Society, Canada, 2011.
Karwala, Sabastian, Changing Consumtion Patterns, Sustainable Management, Windisch (2005). Winarno, Budi Prof., Drs., MA, P.hD, Etika Pembangunan, Center for Academic Phublising Service, Jakarta, 2013. Bentley., M. D., Sustainable Consumption Indicator, Dimension Of Sutainable Development., Encylopedia of Life Support System (EOLSS)- Vol II.
Adam,. W., M, Green Development, Environment and Sustainability in a Developing World, Routledge, London and New York, 3rd edition 2009.
Beck, Ulrich, Living in The World Risk Society, Economy and Society Vol. 35 Number 3, August 2006.
Ottawa, Ontario, International Processes on Sustainable Consumption and Production, “A Background Paper for the North American Sustainable Consumption and Production Workshop on Green Building”, United Nations Environment Programme, 31 January – 1 February 2011. UNEP, The Critical Role og Global Food Consumption Pattern in Achieving Sustainable Food System and Food for All, A UNEP Discussion Paper, 2012.
191
Pola Konsumsi Masyarakat Indonesia
Internet Tempo.co, Indonesia Hasilkan 625 Juta Liter Sampah Sehari, http://www. tempo.co/read/news/2012/04/15/063397147/, diakses pada 11-101013 Menurut majalah National Geographic Indonesia pada tahun 2011, http:// nationalgeographic.co.id/berita/2011/11/90-persen-sampah-diindonesia-belum-didaur-ulang, diakses pada 11-10-2013
www.suarapembaharuan.com, Setahun Volume Sampah Indonesia Setara dengan 122 Gelora Bung Karno, http://www.suarapembaruan.com/ home/setahun-volume-sampah-di-indonesia-setara-dengan-122-gelorabung-karno/21707, diakses pada 11-10-2013. Adi, Isbandi Rukminto, Kesejahteraan Sosial, “Pekerjaan Sosial, Pembangunan Sosial dan Kajian Pembangunan”, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2013.
Changing Consumption Patterns., http://www.regency.org/earth_summit_92 /chapter4.pdf, diakses pada 22-Oktober-2013
Posmoderisme dan Budaya Konsumen”, http://id.scribd.com/doc/52665465/ POSMODERNISME-DAN-BUDAYA-KONSUMEN, hal. 2, diakses pada 21 Oktober 2013
192
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENGATASI PERMASALAHAN PERMUKIMAN KUMUH
Teddy Prasetiawan*
*
Peneliti Bidang Kesejahteraan Sosial pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI.
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Kebutuhan terhadap rumah kian meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk. Melalui Dokumen Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum 2010-2014 diinformasikan bahwa rata-rata setiap tahun terdapat 1,15 juta unit rumah yang perlu difasilitasi. Saat ini pembangunan/pengembangan rumah baru mencapai 600.000 unit per tahun. Sementara itu, setiap tahun terjadi penambahan kebutuhan rumah akibat penambahan keluarga baru rata-rata sekitar 820.000 unit rumah. Terdapat backlog1 pembangunan perumahan yang terus meningkat dari 4,3 juta unit rumah pada tahun 2000 menjadi sebesar 7,4 juta unit rumah pada akhir tahun 2009.2 Terdapat simpang-siur data mengenai nilai backlog rumah hingga saat ini. Data BPS menyebutkan backlog hingga tahun 2012 berkisar 14 juta unit3. Data Kementerian Sosial menyebutkan dengan istilah “jumlah angka rumah yang tidak layak huni” sebanyak 22,5 juta rumah4. Bahkan beberapa lembaga memiliki pandangan berbeda soal angka backlog rumah. Data yang dimiliki Indonesia Property Watch (IPW), backlog rumah justru telah bertambah menjadi 21,8 juta unit dari data milik BPS. Sementara itu, data backlog Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) bahkan lebih gawat lagi yakni 48,96 juta unit.5 Namun terlepas dari perbedaan data dan persepsi di atas, kesimpulan yang dapat diambil adalah permintaan terhadap rumah lebih besar dibandingkan dengan penyediaannya. Untuk kota besar seperti Jakarta, yang merupakan pusat dari sebagian besar aktivitas di Indonesia, yang menaungi lebih dari 10 juta jiwa, dan
Backlog dapat diartikan sebagai kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan rakyatsecara akumulatif pada tahun-tahun sebelumnya . 2 Kementerian Pekerjaan Umum. Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pekerjaan Umum 2010–2014. 3 “Perbedaan Backlog Versi Kemenpera dan BPS”. Diunduh melalui: www.rumah.com/. Pada 9 Oktober 2013. 4 “Data BPS untuk Evaluasi Backlog Perumahan”. Diunduh melalui: www.regional.kompas. com/. Pada 7 Oktober 2013. 5 “Menelisik Masalah Backlog di Indonesia”. Diunduh melalui: www.m.beritasatu.com/. Pada 3 Oktober 2013. 1
195
Kebijakan Pemerintah dalam Mengatasi Permasalahan Permukiman Kumuh
menjadi tempat bekerja bagi lebih dari 4,65 juta orang, penyediaan fasilitas rumah merupakan permasalahan yang serius. Daya pikat Jakarta yang tinggi menyebabkan kota ini harus berupaya keras dalam menyediakan perumahan yang layak huni bagi penduduknya. Perumahan, dalam kaitannya dengan alokasi pengeluaran anggaran rumah tangga, nilainya dapat mencapai sekitar seperempat dari pengeluaran konsumsi. Bagi sebagian keluarga rumah merupakan barang konsumsi biasa yang dipandang sebagai barang konsumsi jangka panjang atau suatu investasi. Namun bagi sebagian lainnya rumah merupakan investasi tunggal terbesar.6 Bagaimana dengan kondisi sebagian besar penduduk Jakarta? Kenyataannya, memiliki rumah bagi sebagian besar penduduk Jakarta bukanlah perkara mudah. Keterbatasan lahan, mengakibatkan harga rumah melonjak tajam dari waktu ke waktu. Belum lagi dari ‘secuil’ tanah yang tersisa di Jakarta ternyata tidak semuanya diperuntukan untuk perumahan. Masih ada pusat perbelanjaan atau perkantoran yang mengantre untuk dibangun. Sementara itu, perumahan yang dibangun oleh pengembang lebih diprioritaskan untuk membangun rumah mewah. Pengembang enggan membangun rumah sederhana karena keuntungan yang sangat kecil, sedangkan membangun rumah mewah memberikan keuntungan luar biasa, mungkin tertinggi didunia.7 Lalu bagaimana masyarakat kelas menengah dan masyarakat kelas bawah mendapatkan rumah? Dalam UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dinyatakan bahwa perumahan dan kawasan permukiman diselenggarakan di antaranya untuk mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), serta menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan. Negara adalah pihak yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dalam UU tersebut, yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah. Oleh karena itu intervensi pemerintah dalam mewujudkan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang berimbang sangat diperlukan agar terhindar dari berkembang luasnya kawasan permukiman kumuh di kota-kota besar seperti Jakarta.
6
7
Selengkapnya dapat dilihat: Adisasmita, Raharjo. Pembangunan Kota Optimum, Efisien dan Mandiri. Percetakan: Graha Ilmu. Yogyakarta. 2010. “Tolong! Tolong! Anak dan Cucu Kami Tidak Mampu Memiliki Rumah”. Diunduh melalui: www.birokrasi.kompasiana.com/. Pada 5 Oktober 2013.
196
Teddy Prasetiawan
Secara umum tingkat kepemilikan rumah di Indonesia mengalami perubahan bila ditinjau dalam kurun waktu 1999 hingga 2011. Menurut data BPS, terdapat kecenderungan penurunan status rumah milik sendiri dan peningkatan status rumah kontrak/sewa (lihat Gambar 1). Data ini menunjukkan terjadi penurunan kemampuan membeli rumah bagi sebagian penduduk Indonesia. Penurunan kemampuan membeli tersebut disebabkan harga rumah yang tinggi dan masyarakat mengatasinya dengan cara mengontrak atau menyewa rumah. Tidak salah bila kita menyimpulkan bahwa hal ini terjadi khususnya di kota-kota besar seperti jakarta.
Gambar 1. Persentase status kepemilikan rumah di Indonesia (1999-2011)
Kondisi seperti inilah yang menyebabkan terciptanya kawasan permukiman kumuh di balik kemegahan dan kemewahan Ibu Kota Jakarta. Data lain Ditjen Cipta Karya8 menyebutkan bahwa luas kawasan kumuh tertinggi di Indonesia terdapat di Propinsi DKI Jakarta. Bahkan empat dari lima kota dengan kawasan kumuh tertinggi merupakan bagian dari Provinsi DKI Jakarta (Gambar 2) disusul Kota Makasar.
8
Diunduh melalui: http://ciptakarya.pu.go.id/kumuh/main.php?module=home. Pada 7 Oktober 2013.
197
Kebijakan Pemerintah dalam Mengatasi Permasalahan Permukiman Kumuh
Gambar 2. Luas kawasan kumuh kota di Indonesia (1999-2011)
Secara terminologi permukiman kumuh didefinisikan sebagai permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkatkepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Sementara itu, perumahan kumuh didefinisikan sebagai perumahan yang mengalami penurunan kualitas fungsi sebagai tempat hunian. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi yang menyebabkan sebuah perumahan atau permukiman menjadi kumuh atau tidak layak huni tidak hanya disebabkan oleh ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, atau kualitas bangunan yang rendah, namun juga sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Sektor perumahan dan kawasan permukiman merupakan salah satu sektor yang mendapatkan perhatian dalam Tujuan Pembangunan Milenium atau Millenium Development Goal’s (MDG’s) yang kemudian kembali menjadi prioritas dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goal’s (SDG’s). Dalam target 7D MDG’s disebutkan perlunya mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh pada tahun 2020 melalui proporsi rumah tangga kumuh perkotaan. Melalui Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011 disebutkan bahwa target 7D MDG’s termasuk target yang telah menunjukkan kemajuan namun masih diperlukan kerja keras untuk mencapainya. Proporsi rumah tangga kumuh perkotaan telah menurun 8,18% dari 20,75% pada tahun 1993 menjadi 12,57% pada tahun 2011. Gambaran tersebut memberikan indikasi besaran laju rata-rata penurunan proporsi 198
Teddy Prasetiawan
rumah tangga kumuh perkotaan 0,50% per tahun. Tanpa suatu terobosan yang berarti, target 6% akan sulit dicapai pada waktu yang telah ditetapkan, yaitu pada tahun 2020.9 Sementara itu, tujuan SDG’s yang hingga saat ini masih dalam pembahasan dan penyempurnaan, yang gagasannya disampaikan oleh Pemerintah Kolombia dan Guatemala sebagai inisiator SDG’s dalam pertemuan tidak resmi di Solo, Juli 2011 yang lalu, menyebutkan bahwa salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam SDG’s adalah Promoting Sustainable Human Settlement Development. Tujuan ini merupakan tujuan yang erat kerkaitan dengan target 7D MDG’s yang disampaikan sebelumnya. Menurunkan proporsi rumah tangga kumuh di perkotaan memang tidak semata-mata persoalan membangun fasilitas perumahan dan permukiman, namun juga terdapat aspek ekonomi dan sosial di dalamnya. Melalui kajian ini akan diuraikan mengenai kebijakan yang telah diterapkan Pemerintah dalam upaya mencapai target 7D MDG’s 2015 dan menyongsong tujuan Promoting Sustainable Human Settlement Development yang rencananya dicanangkan melalui SDG’s yang ditinjau dari aspek pengurangan jumlah permukiman kumuh, aspek penyediaan fasilitas perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), dan aspek penyediaan sarana dan prasarana, terutama sarana dan prasarana sanitasi yang layak bagi sebuah permukiman. B. PERMASALAHAN Permasalahan yang diangkat melalui kajian ini adalah sebagai berikut: 1. Apa kebijakan diterapkan Pemerintah dalam mengurangi jumlah permukiman kumuh? 2. Apa kebijakan diterapkan Pemerintah dalam menyediakan fasilitas perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)? 3. Apa kebijakan diterapkan Pemerintah dalam menyediakan sarana dan prasarana sanitasi yang layak bagi perumahan dan permukiman kumuh yang dikembangkan oleh Pemerintah?
C. METODOLOGI Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif, yakni melukiskan atau menggambarkan secara jelas jawaban atas rumusan masalah. Analisis diarahkan kepada deskripsi tentang obyek penelitian, yaitu kebijakan bidang perumahan dalam rangka dalam mengurangi jumlah permukiman kumuh, pengadaan perumahan bagi MBR, serta penyediaan sarana dan prasarana sanitasi yang layak layak pada perumahan bagi MBR.
9
Badan Perencana Pembangunan Nasional. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011.
199
Kebijakan Pemerintah dalam Mengatasi Permasalahan Permukiman Kumuh
Dalam pembahasannya, kajian ini akan banyak mengambil contoh kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang merupakan barometer pembangunan di Indonesia.
200
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN
Permukiman kumuh bukan fenomena baru. Beberapa istilah permukiman kumuh di negara lain adalah barios (Venezuela), favela (Brazil), katchi abadi (Pakistan), basti (Bangladesh), kampung kumuh (Indonesia), skidrow (UK), ghetto (USA), shanty town.10 Namun, masalah indikator kumuh tetap saja menjadi topik pembahasan yang tak terentaskan walaupun telah dibahas berulang kali. Ukuran dan indikator kekumuhan sebenarnya bukan lagi hal yang baru untuk didefinisikan kembali tetapi masih dipandang perlu dilakukan penyepakatan sehingga ada satu indikator sama untuk menentukan kawasan kumuh. Penyepakatan tersebut menjadi langkah awal penyediaan data kumuh yang kemudian akan mendukung perumusan kebijakan penanganan kumuh.11 Pengertian permukiman kumuh dapat dipandang dari berbagai dimensi, baik sosial, ekonomi, atau bahkan lingkungan fisik. Dimensi sosial dapat menggambarkan permukiman kumuh melalui perilaku sosial masyarakatnya yang identik dengan kekerasan dan tingkat kejahatan yang tinggi. Sementara itu, dimensi ekonomi dapat memotret permukiman kumuh dari penghasilan penghuninya yang relatif rendah atau profesi sebagian besar penghuninya di sektor informal. Pengertian yang terkandung dalam UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman cenderung memandang melalui dimensi lingkungan fisik, yaitu mendefinisikan permukiman kumuh sebagai permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Dimensi lingkungan fisik inilah yang dijadikan batasan dalam kajian ini. Sebelum kita berbicara tentang permukiman kumuh lebih jauh, ada baiknya kita memahami dua istilah yang hampir bermakna sama namun
10
11
Winayanti, L. 2010. Menuju Kota Bebas Kumuh. Buletin Online Tata Ruang, Edisi Mei-Juni, hal: 2. Siregar, J. Kebijakan, Strategi, dan Pengembangan Sistem dalam Penanganan Kumuh Berbasis Pendekatan Skala Kota. Makalah dalam Seminar Nasional Percepatan Penanganan Perumahan dan Permukiman Kumuh Menuju Kota-Kota Tanpa Kumuh 2020. Jakarta: 1 Oktober: Kementerian Perumahan Rakyat Indonesia.
201
Kebijakan Pemerintah dalam Mengatasi Permasalahan Permukiman Kumuh
memiliki batasan yang berbeda, yaitu slum (pemukiman kumuh) dan squatter (pemukiman liar). Status permukiman kumuh seringkali tidak jelas baik dari status administrasi dan hukum tanah, maupun kesesuaian dengan rencana tata ruang kota. Terkait status hukum atas tanah, biasanya hal ini yang membedakan permukiman kumuh dengan pemukiman liar.12 Sehingga pengertian permukiman kumuh yang dimaksud pun merujuk pada istilah slum, yang sah bila ditinjau dari status administrasi dan hukum tanah, maupun kesesuaian dengan rencana tata ruang kota. Hal ini diperkuat dengan UU No.1 Tahun 2011 Pasal 98 yang menyebutkan bahwa penetapan lokasi perumahan dan permukiman kumuh wajib memenuhi persyaratan: a. kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota; b. kesesuaian dengan rencana tata bangunan dan lingkungan; c. kondisi dan kualitas prasarana, sarana, dan utilitas umum yang memenuhi persyaratan dan tidak membahayakan penghuni; d. tingkat keteraturan dan kepadatan bangunan; e. kualitas bangunan; dan f. kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Sementara itu, pengertian permukiman kumuh menurut UN-Habitat13 adalah sebagai kelompok individu yang tinggal seatap di daerah perkotaan yang tidak memiliki salah satu atau lebih indikator berikut ini: 1. Rumah yang kuat dan permanen yang melindungi penghuninya dari kondisi iklim yang ekstrim; 2. Ruang huni yang cukup dengan batasan tidak lebih dari tiga orang dalam satu kamar; 3. Akses yang mudah terhadap bersih dalam jumlah yang cukup dan harga yang terjangkau; 4. Akses terhadap sanitasi yang memadai dalam bentuk toilet pribadi atau MCK umum dengan proporsi pengguna yang wajar; 5. Kepastian status rumah yang terhindar dari penggusuran paksa. Faktor penyebab tumbuhnya permukiman kumuh menurut Khomarudin14 antara lain adalah: 1. Urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah;
12 13
14
Winayanti, L. Op Cit., hal: 3. Diunduh melalui: www.unhabitat.org/documents/media_centre/sowcr2006/SOWCR%205. pdf. Pada 2 oktober 2013. Khomarudin. 1997. Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman. Yayasan Real Estate Indonesia. PT. Rakasindo, Jakarta, h 83-112.
202
Teddy Prasetiawan
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Sulit mencari pekerjaan; Sulitnya mencicil atau menyewa rumah; Kurang tegasnya pelaksanaan perundang-undangan; Perbaikan lingkungan yang hanya dinikmati oleh para pemilik rumah; Disiplin warga yang rendah; Kota sebagai pusat perdagangan yang menarik bagi para pengusaha; dan Semakin sempitnya lahan permukiman dan tingginya harga tanah.
Ada dua alasan mengapa permukiman kumuh tetap berkembang, yaitu pertumbuhan penduduk dan tata-kelola kepemerintahan.15 Pertumbuhan penduduk perkotaan dalam hal ini juga termasuk urbanisasi penduduk yang didorong oleh daya tarik kota. Semantara itu, tata kelola pemerintahan berkaitan dengan respon pemerintah yang dinilai lamban dalam menyikapi urbanisasi. Sikap pemerintah terhadap urbanisasi selama ini sangat bervariasi. Ada yang membuat kebijakan ‘kota tertutup’, seperti Jakarta di tahun 1970an, ada yang menggusur masyarakat miskin di permukiman liar, ada pula yang pasif dan cenderung mendiamkan pertumbuhan permukiman spontan karena tidak mempunyai instrumen untuk menanganinya. Namun permasalahan pertumbuhan penduduk, urbanisasi, atau tata kelola pemerintahan yang buruk dalam menyikapi perkembangan yang ada bermuara pada satu faktor yang menyebabkan dampak lanjutan terhadap faktor lainnya, yaitu keterbatasan lahan. Kota dengan jumlah penduduk banyak tetapi memiliki lahan luas tentu saja tidak menjumpai permasalahan yang sama dengan kota dengan jumlah penduduk banyak tetapi memiliki lahan terbatas. Pertumbuhan penduduk dan urbanisasi akan menjadi masalah saat lahan yang tersedia untuk permukiman semakin terbatas. Keterbatasan lahan berimplikasi pada kenaikan harga lahan dan rumah yang mengikuti hukum ekonomi. Lonjakan harga yang tinggi yang tidak diimbangi dengan naiknya pendapatan akan menyebabkan daya beli masyarakat terhadap rumah menurun. Ditambah lagi dengan orientasi pengembang perumahan yang lebih memilih membangun rumah kelas mewah dibandingkan dengan rumah yang diperuntukan bagi MBR karena menjanjikan keuntungan yang lebih, seperti yang telah dijelaskan pada bagian pendahuluan. Gambar di bawah ini menggambarkan kerangka pemikiran dalam kajian ini.
15
Winayanti, L. Op Cit., hal: 3.
203
Kebijakan Pemerintah dalam Mengatasi Permasalahan Permukiman Kumuh
Gambar 3. Kerangka pemikiran kajian
Kesulitan dalam mengakses rumah murah yang layak bagi MBR menyebabkan terbentuknya permukiman yang tidak teratur. Keterdesakan mengakibatkan lapisan masyarakat ini tidak lagi mempertimbangkan kelayakan rumah, status kepemilikan lahan, sarana dan prasarana pendukung, serta kualitas lingkungan huniannya. Pertimbangan yang dikedepankan dalam memilih hunian adalah dekat dengan lokasi mencari nafkah dan murah. Mungkin hanya itu. Mengadakan rumah bagi MBR merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh dalam mengurangi permukiman kumuh yang bermunculan di setiap sudut kota besar. Kesempatan untuk memiliki rumah layak huni dengan harga terjangkau perlu dibuka bagi masyarakat perkotaan seluas mungkin. Dalam UU No.1 Tahun 2011 pemerintah diamanatkan untuk mengalokasikan dana dan/atau biaya pembangunan untuk mendukung terwujudnya perumahan bagi MBR serta memfasilitasi penyediaan perumahan dan permukiman bagi masyarakat, terutama bagi MBR. Bahkan pada tingkat provinsi dan 204
Teddy Prasetiawan
kabupaten/kota, pemerintah daerah juga diberikan wewenang melakukan pencadangan atau penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan permukiman bagi MBR. Salah satu karakteristik permukiman kumuh adalah minim sarana dan prasarana penunjang, seperti jaringan jalan, air bersih, air limbah, persampahan, dan saluran drainase. Meningkatkan akses permukiman terhadap sarana dan prasarana penunjang memungkinkan kualitas permukiman kumuh menjadi lebih baik sehingga dapat mengubah status permukiman kumuh tersebut. Sebagai informasi, data BPS 2011 menunjukan akses sanitasi yang layak di Indonesia baru sebesar 55,6%. Padahal target MDGs untuk bidang sanitasi sebesar 62,41%. Dari target pelayanan akses air minum air minum sebesar 68,8% baru tercapai 55%. Sehingga masih sekitar 30 juta orang yang harus dilayani sanitasi dan air minum dalam satu-dua tahun ke depan. Data lain dari UNICEF pada tahun 2011 mengungkapkan, masih sekitar 26% masyarakat masih buang air besar di tempat terbuka. Hal tersebut juga didukung dengan tingginya tingkat pencemaran air di Indonesia yang mencapai 76% dari 53 sungai di Pulau Jawa, Sumatera, Bali dan Sulawesi oleh bahan organik dan 11 sungai utama oleh bahan alumunium.16 Pemerintah melakukan pengendalian perkembangan permukiman kumuh melalui upaya pencegahan dan peningkatan kualitas perumahan kumuh dan permukiman kumuh. Di Indonesia, menurut data dari Podes tahun 2011, hingga tahun tersebut tercatat 5.560 titik lokasi kumuh perkotaan di 1.975 kelurahan/desa, pada 78 kota dan 158 kabupaten. Dalam laporan yang sama tercatat 27.378.677 jiwa atau setingkat 7.065.981 kepala keluarga tinggal di wilayah kumuh tersebut.17 Fakta lain menyatakan bahwa pada tahun 2004 luas permukiman kumuh yang mulanya 54.000 ha telah berkembang menjadi 59.000 ha pada tahun 2009. Bahkan diperkirakan apabila tidak dilakukan penanganan maka luas perumahan dan permukiman kumuh akan tumbuh menjadi 71.860 ha pada tahun 2025 dengan pertumbuhan 1,37% per tahun.18 Pencegahan dan peningkatan kualitas perumahan kumuh dan permukiman kumuh guna meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan “Menggugah Kesadaran Pentingnya Sanitasi Bersih: Revitalisasi Permukiman Kumuh”. Diunduh melalui: www.unhabitat.org/documents/media_centre/sowcr2006/SOWCR%205. pdf. Pada 2 Oktober 2013. 17 Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum, 2013. Siaran Pers Peringatan Hari Habitat Dunia (HHD) 2013: Momentum Menggalang Dukungan demi Terciptanya Kota Tanpa Permukiman Kumuh 2020. 18 Deputi Bidang Pengembangan Kawasan, Kementerian Pekerjaan Umum. 2013. Panduan Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan (PLP2KBK). 16
205
Kebijakan Pemerintah dalam Mengatasi Permasalahan Permukiman Kumuh
masyarakat penghuni dilakukan untuk mencegah tumbuh dan berkembangnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh baru, serta untuk menjaga dan meningkatkan kualitas dan fungsi perumahan dan permukiman.
206
BAB III PEMBAHASAN
A. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENGURANGI JUMLAH PERMUKIMAN KUMUH Pada awal pencanangannya, Millenium Development Goals (MDG’s) menargetkan untuk mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh (minimal 100 juta) pada tahun 2020 melalui pengurangan proporsi rumah tangga kumuh. Kontribusi Indonesia sejauh ini dalam menurunkan proporsi rumah tangga kumuh perkotaan masih perlu mendapatkan perhatian. Berdasarkan Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011, Indonesia hingga kini baru menurunkan 8,18% saja dari target sebesar 14,75% penurunan, seperti yang dideskripsikan Gambar 4 berikut ini.
Gambar 4. Proporsi rumah tangga kumuh perkotaan Indonesia (1993-2011)
Indonesia telah mengalami sejarah yang panjang dalam rangka pembangunan perkotaan, termasuk di dalamnya penataan perkotaan dan kawasan kumuh. Harus diakui bahwa peran bantuan luar negeri sangat penting untuk hal ini. Apabila dicermati lebih lanjut dalam tiga dekade terakhir 207
Kebijakan Pemerintah dalam Mengatasi Permasalahan Permukiman Kumuh
telah terjadi pergeseran fokus dari bantuan luar negeri yang diberikan seiring dengan adanya perubahan paradigma pembangunan. Di awal tahun 1970an, ketika Repelita I dimulai, fokus utama bantuan luar negeri lebih kepada pembangunan fisik, berupa perbaikan kampung, penyediaan prasarana kota dan peningkatan kualitas permukiman kota. Selanjutnya pada tahun 1980an sampai pertengahan 1990-an, fokus bantuan luar negeri diperluas tidak hanya pembangunan fisik saja tapi juga memberikan bantuan pendanaan dan pengembangan kelembagaan melalui pendekatan pembangunan perkotaan secara terpadu. Pergeseran fokus bantuan luar negeri kembali terjadi setelah masa krisis ekonomi dan memasuki era desentralisasi saat ini, dimana proyek-proyek pembangunan perkotaan lebih menekankan pada program jaring pengaman sosial, pengentasan kemiskinan, peningkatan partisipasi masyarakat, penerapan good governance, pengembangan kapasitas, pengembangan ekonomi kecil, dan lingkungan perkotaan.19 Pemerintah dalam menurunkan proporsi permukiman kumuh menempuh dua upaya, yaitu pencegahan terhadap berkembangnya permukiman kumuh baru dan peningkatan kualitas permukiman kumuh yang ada, seperti yang diamanatkan UU No.1 Tahun 2011. Pencegahan dilaksanakan melalui pengawasan dan pengendalian terhadap perizinan, standar teknis, dan kelaikan fungsi hunian secara berkala oleh kementerian terkait beserta dengan jajarannya. Sedangkan pemberdayaan masyarakat dilakukan terhadap pemangku kepentingan bidang perumahan dan kawasan permukiman melalui pendampingan dan pelayanan informasi. Beberapa kegiatan yang telah dan sedang dilakukan pemerintah yang mendukung penanganan rumah tangga kumuh perkotaan melalui pemberdayaan masyarakat adalah Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Program (NUSSP), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Community Based Initiatives for Housing and Local Development (Co-Build), Program Peningkatan Kehidupan Masyarakat Miskin Perkotaan serta Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan (PLP2K-BK)20. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.
19
20
Mulyana, W. 2005. “Proyek-proyek Pembangunan Perkotaan dalam Tiga Dekade Terakhir”. Bagian dari buku: Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21: Pengalaman Pembanguna Perkotaan di Indonesia (Buku 2). URDI-YSS-Jakarta:Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Badan Perencana Pembangunan Nasional. Op.Cit., 103-104.
208
Teddy Prasetiawan
Tabel 1. Capaian pelaksanaan program penanganan kawasan permukiman kumuh (2011) PROGRAM
TAHUN PELAKSANAAN
P2KP / PNPM Mandiri Perkotaan Pada 33 Provinsi, 268 Kota/Kabupaten dan 10.923 Kelurahan/ Desa
1999 – saat ini
USSP Pada 32 Kota/ Kabupaten 1353 Kelurahan
2005 – 2010
Co – BILD 12 Kota
2000 – 2003
Pembangunan Rusunawa
PLP2K-BK Pada 20 Provinsi 31 kota/kabupaten 33 lokasi
2003 – saat ini
2010 - 2011
KOMPONEN KEGIATAN
A. Peningkatan kualitas lingkungan (Infrastruktur) B. Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia dan Kesehatan C. Peningkatan aksesibilitas terhadap kegiatan usaha
A. Peningkatan kualitas lingkungan (Infrastruktur) B. Peningkatan aksesibilitas terhadap sumber daya keuangan A. Peningkatan kualitas hunian B. Peningkatan akses masyarakat terhadap kepastian kepemilikan lahan A. Pembangunan unit Rusunawa (TB) B. Pembangunan PSD penunjang Rusunawa
A. Peningkatan Prasarana, Sarana dan utilitas umum (PSU) lingkungan B. Peningkatan kualitas lingkungan C. Peningkatan aksesibiltas kegiatan perekonomian.
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan Rakyat, 2011.
PENCAPAIAN
Penerima Manfaat: 14.805.923 KK
Penerima Manfaat: 1.226.817 KK Luas: 7.608 Ha Penerima Manfaat: 10.000 KK Penerima Manfaat: 13.720 KK Penerima Manfaat: 33.000 KK Luas: 165 Ha
Peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh dilakukan dengan pola-pola penanganan sebagai berikut: a. Pemugaran, dilakukan melalui perbaikan atau pembangunan kembali perumahan dan permukiman sehingga lebih layak huni; 209
Kebijakan Pemerintah dalam Mengatasi Permasalahan Permukiman Kumuh
b. Peremajaan; dilakukan untuk mewujudkan kondisi rumah, perumahan, permukiman, dan lingkungan hunian yang lebih baik guna melindungi keselamatan dan keamanan penghuni dan masyarakat sekitar c. Pemukiman kembali, dilakukan dengan sasaran rumah tangga kumuh perkotaan yang menempati lahan ilegal, salah satu caranya dengan menyediakan rumah susun sederhana sewa (Rusunawa).
Belajar dari pengalaman yang telah ada, seharusnya fokus penanganan permukiman kumuh di Indonesia tidak lagi berorientasi pada fisik atau kita akan mengalami kemunduran tiga dekade ke belakang. Pelibatan masyarakat dan pengembangan kelembagaan perlu tetap terus dikembangkan agar fasilitas terbangun akhirnya dapat dikelola oleh masyarakat untuk masyarakat secara mandiri. Kampung Deret Mengambil contoh Program Kampung Deret yang menjadi program andalan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di era kepemimpinan Gubernur Joko Widodo saat ini, program tersebut merupakan program yang layak dijadikan referensi penataan permukiman kumuh walaupun program ini baru bergulir dan masih dalam tahap percobaan. Pendataan permukiman kumuh dilakukan pada tahap awal pelaksanaan program. Pemprov DKI Jakarta menginstruksikan lurah dan camat untuk mendata daerah kumuh di wilayahnya. Penetapan status rumah menggunakan kriteria tertentu untuk menilai sebuah rumah termasuk kumuh atau bukan. Selain itu, proses penetapan juga mempertimbangkan status lahan dan kesesuaiannya dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi DKI Jakarta. Lahan yang ditinggali warga tersebut harus tidak dalam sengketa. Perencanaan desain bangunan walaupun tidak melibatkan warga secara langsung, namun dalam penentuannnya partisipasi warga tetap dijadikan pertimbangan. Kurang lebih terdapat 10 desain yang diajukan kepada warga untuk kemudian dipilih. Konsep Kampung Deret adalah kampung hijau dengan infrastruktur tertata. Selain hunian, direncanakan pula fasilitas pendukung yang memadai dan fasilitas umum seperti ruang terbuka hijau. Untuk menjaga kesinambungan program, Pemprov DKI Jakarta menerapkan perjanjian dengan warga agar tidak memindahtangankan rumah setidaknya dalam kurun waktu 5 (lima) tahun setelah dibangun walaupun aturan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum kuat. Ketika melanggar kesepakatan itu, warga tidak serta-merta dikenakan sanksi. Di sinilah peran dari kelembagaan yang dikembangkan di masyarakat dibutuhkan. Kontrol sosial masyarakat jauh lebih efektif dibandingkan pengawasan oleh pemerintah daerah melaui penerapan sanksi. 210
Teddy Prasetiawan
Pembangunan rumah warga di Kampung Deret menelan anggaran rata-rata Rp54 juta tiap rumah atau tiap kepala keluarga. Namun warga sama sekali dibebankan biaya sepeser pun. Kesediaan masyarakat untuk secara sukarela ikut dalam program penataan kawasan kumuh sebenarnya merupakan investasi besar. Perkara pendanaan, Pemprov. DKI Jakarta melalui APBD berkomitmen untuk mengalokasikan anggaran bagi terselenggaranya pembangunan percontohan pada tahun 2013 ini. Namun tidak menutup kemungkinan pendanaan pada tahap selanjutnya juga memanfaatkan sumber APBN melalui Kementerian Perumahan Rakyat atau Kementerian Pekerjaan Umum. Selain itu, terbuka luas pendanaan melalui dana corporate social responsibility (CSR) yang berasal dari perusahaan-perusahaan yang ada di Provinsi DKI Jakarta. Potensi kerja sama tentu dapat dikembangkan bagi perusahaan yang bergerak di sektor properti atau perumahan. Sebagai bentuk tanggung jawab dunia usaha dalam menyediakan hunian bagi masyarakat kelas bawah. Program Kampung Deret pertama di Jakarta telah dilaksanakan di Kelurahan Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat dengan masa pembangunan yang ditargetkan selesali dalam waktu 3 bulan. Sebanyak 85 kepala keluarga di lokasi ini ditata menjadi kampung atau pemukiman berderet pasca-kebakaran hebat yang terjadi di kampung itu pada 4 Maret 2013 yang lalu. Dan program ini akan terus digulirkan dengan sementara ini menyasar 26 lokasi lainnya yang menyebar di Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur dalam waktu dekat ini. Pola peningkatan kualitas hunian di permukiman kumuh seperti ini mungkin dapat dijadikan salah satu contoh dalam mengatasi masalah kekumuhan kota di Indonesia pada masa mendatang. Namun untuk menerapkan hal itu perlu dukungan dan komitmen dari semua pihak, baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, maupun masyarakat dan dunia usaha. B. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENYEDIAKAN FASILITAS PERUMAHAN BAGI MBR Selain melakukan upaya peningkatan kualitas terhadap perumahan dan permukiman kumuh seperti yang dijelaskan sebelumnya, pemerintah juga bertanggung jawab dalam menyediakan perumahan yang khusus diperuntukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Upaya ini merupakan upaya yang bersifat preventif atau mencegah terbentuknya permukiman kumuh baru. UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman pada intinya memberikan dua amanat dalam kaitannya dengan penyediaan rumah bagi MBR, yaitu memberikan kemudahan/bantuan pembangunan rumah 211
Kebijakan Pemerintah dalam Mengatasi Permasalahan Permukiman Kumuh
bagi MBR dan memberikan kemudahan/bantuan MBR untuk mengakses rumah tersebut. Kemudahan/bantuan yang dimaksud meliputi: (a)subsidi perolehan rumah; (b) stimulan rumah swadaya; (c)insentif perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; (d) perizinan; (e) asuransi dan penjaminan; (f) penyediaan tanah; (g) sertifikasi tanah; dan/atau (h) prasarana, sarana, dan utilitas umum. Berikut ini akan diuraikan mengenai kebijakan pemerintah dalam menindaklanjuti kedua permasalahan pokok tersebut.
Konsep Hunian Berimbang Konsep hunian berimbang merupakan konsep yang telah lama diperkenalkan, yaitu dengan menetapkan pola pembangunan yang berimbang antara rumah mewah, rumah sejahtera. Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri PU dan Menteri Perumahan Rakyat, tertanggal 16 November 1992, yang diperkuat oleh SK Menteri Perumahan Rakyat No.04/1995, Pemerintah mewajibkan pengembang menerapkan pola 1: 3: 6, yang bermakna membangun rumah dengan perbandingan 1 rumah mewah, 3 rumah menengah, dan 6 rumah sederhana/sangat sederhana (RS/RSS). Bagi pengembang yang memiliki lahan diatas 200 ha wajib membangun dengan proporsi tersebut di satu kawasan yang sama. Sedangkan bagi pengembang yang memiliki lahan di bawah 200 ha dapat membangun proporsi tersebut di kawasan yang terpisah malalui kemitraan dengan pengembang menengah dan kecil. Namun dalam praktiknya, banyak terjadi pelanggaran. Para pengembang sering kali mengacuhkan SKB tiga menteri tersebut sehingga berujung pada tidak dijalankannya aturan tersebut. Alasannya antara lain, pertama, tentunya penerapan hukum yang tidak tegas. Kedua, tidak tersedia insentif bagi pengembang yang mematuhi aturan hunian berimbang. Ketiga, kondisi setiap daerah beragam, terutama ketersediaan lahan, sementara pengaturannya bersifat seragam.21 Kenyataan bahwa penerapan konsep hunian berimbang kurang berhasil selama ini mendorong perlunya dilakukan revitalisasi terhadap konsep itu sendiri. Belajar dari pengalaman selama ini, beberapa hal perlu mendapat perhatian. Pertama, kondisi daerah beragam sehingga dibutuhkan fleksibilitas dalam pengaturannya. Hal ini sebaiknya tercermin dalam perda yang akan dibuat oleh masing-masing pemerintah daerah. Kedua, rumah susun bisa menjadi salah satu pilihan dalam penerapan konsep hunian berimbang. Ketiga, pengaturan tidak hanya bergantung pada aspek penegakan hukum tetapi juga sebaiknya mengedepankan penyediaan insentif yang memadai. Keempat,
21
“Hunian Berimbang: Bukan Suatu yang Mustahil”. Majalah Inforum Edisi 2. 2011, hal:6-7.
212
Teddy Prasetiawan
konsep hunian berimbang tidak terlepas dari keberadaan aturan tata ruang di masing-masing daerah. Kelima, hunian berimbang juga terkait dengan aspek sosial sehingga dampak pembauran hunian juga perlu mendapat perhatian. Keenam, mitos komposisi hunian berimbang 1:3:6 perlu ditinjau kembali. Ketujuh,penerapan good governance harus menjadi bagian dari penerapan hunian berimbang, sehingga keterbukaan harus dikedepankan.22 Dalam perkembangannya, kebijakan tentang konsep hunian berimbang mengalami transformasi yang signifikan. Pertama, dikeluarkannya Keputusan MK terkait batasan ukuran luas lantai untuk rumah sederhana dengan membatalkan ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Keputusan MK tersebut menetapkan batasan minimal ukuran luas lantaiuntuk rumah sederhana adalah 21 m2, tidak lagi 36 m2 seperti yang tercantum dalam UU tersebut. Keputusan tersebut tentunya meningkatkan jumlah pembangunan hunian bagi MBR yang selama ini tertahan, terutama bagi para pengembang kecil yang bermain di ukuran rumah sederhana dibawah 36 m2. Kedua, lahirnya Permenpera No. 10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman dengan Hunian Berimbang yang telah mulai berlaku sejak 7 Juni 2012. Permenpera tersebut telah mengubah komposisi hunian berimbang yang semula 1:3:6 menjadi 1: 2: 3. Perturan ini diharapkan menjadi payung hukum bagi sektor perumahan dan permukiman di Indonesia di masa yang akan datang dengan catatan bahwa penyesuaian yang telah dilakukan perlu diikuti dengan penegakan hukum dan harmonisasi aturan yang berlaku selama ini, terutama dengan peraturan daerah. Melalui kebijakan yang saat ini berlaku, diharapkan implementasi terhadap penyediaan rumah bagi MBR akan semakin meningkat. Sehingga akses MBR terhadap rumah sederhana yang tinggi akan berkontribusi pada menurunnya potensi terbentuknya perkiman kumuh baru. Namun ada satu hal lagi yang perlu didukung melalui kebijakan seperti yang disampaikan sebelumnya, yakni meningkatkan kemampuan MBR untuk memiliki rumah sederhana.
Tabungan Perumahan Rakyat Salah satu upaya pemerintah yang ditempuh melalui kebijakan dalam rangka meningkatkan kemampuan MBR untuk memiliki rumah sederhana adalah RUU tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Hingga saat ini RUU tersebut masih dalam tahap pembahasan di DPR. Terdapat tujuh isu pokok di dalam RUU Tapera yang dianggap penting yang dikemukakan oleh Menteri Perumahan Rakyat, yaitu menyangkut sifat kepesertaan dalam
22
Ibid.
213
Kebijakan Pemerintah dalam Mengatasi Permasalahan Permukiman Kumuh
Tapera, besaran iuran dan pemanfaatan dana Tapera, kontribusi pemberi kerja, badan pengelola Tapera, sistem pengelolaan dana Tapera oleh badan pengelola, penyidikan, dan sanksi.23 Dalam RUU Tapera dijelaskan bahwa RUU ini bertujuan untuk:24 a. menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang bagi pembiayaan perumahan yang terjangkau; b. memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap perumahan; c. memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam mengakses pembiayaan perumahan; d. meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat; e. memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dalam mendapatkan pembiayaan perumahan; f. memberikan kepastian hukum kepada peserta dalam mendapatkan pembiayaan perumahan; dan g. memberikan perlindungan kepada peserta dalam mendapatkan pembiayaan perumahan. RUU ini diharapkan banyak pihak sebagai salah satu intervensi pemerintah dalam melindungi hak rakyatnya untuk mendapatkan hunian layak dan sehat di tengah-tengah komersialisasi sektor perumahan yang kian mengkhawatirkan akhir-akhir ini. Namun, tidak sedikit pula pihak yang mengkhawatirkan implementasi dari RUU ini. Menurut pengamat properti dari Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda, tanpa mekanisme yang jelas, dengan atau tanpa badan baru, Tapera berpotensi menjadi lahan korupsi. Padahal, Tapera seharusnya menjadi bagian dari ‘tabungan-tabungan lain’ yang saat ini membebani karyawan.25 Terlepas dari pro dan kontra terhadap substansi yang terkandung dalam RUU Tapera, payung hukum yang melindungi hak rakyat, terutama MBR, dalam mengakses hunian yang layak merupakan hal yang mutlak diperlukan.
C. SARANA DAN PRASARANA SANITASI PADA PERUMAHAN KUMUH Sarana dan prasarana seperti apa yang harus dimiliki oleh perumahan dan permukiman secara umum, tidak mengenal apakah perumahan dan permukiman tersebut mewah atau kumuh sekalipun?. Terkait sarana bagi permukiman, paling sedikit meliputi rumah ibadah dan ruang terbuka
23
24
25
“7 Masalah dalam UU Tabungan Perumahan Rakyat”. Diunduh melalui: properti.kompas. com/read/2013/06/07/17135487/. Pada 17 September 2013. Diunduh melalui: http://www.dpr.go.id/complorgans/baleg/pembahasan_RUU_TENTANG__ TABUNGAN_PERUMAHAN_RAKYAT.pdf. Pada 3 Oktober 2013. “Tanpa Mekanisme yang Jelas, Tapera Berpotensi Jadi Lahan Korupsi!”. Diunduh melalui: http://properti.kompas.com/read/2013/06/07/16142357/. Pada 17 September 2013.
214
Teddy Prasetiawan
hijau. Sementara itu, menurut Pusbindiklatren Bappenas, standar minimal komponen fisik prasarana lingkungan permukiman diantara lain adalah jaringan jalan, air bersih, air limbah, persampahan, dan saluran drainase. Tabel 2 berikut ini menguraikan tentang kriteria teknis komponen prasarana yang dimaksud. Tabel 2 Standar minimal komponen fisik prasarana lingkungan permukiman
No 1
KOMPONEN Jaringan Jalan
2
Air bersih (kran umum)
3
Air Limbah
4
Persampahan
KRITERIA TEKNIS • Jarak minimum setiap rumah 100 m dari jalan kendaraan satu arah dan 300 m dari jalan 2 arah. • Lebar perkerasan minimum untuk jalan 2 arah 4 m. • Kepadatan jalan minimal 50-100 m/ha untuk jalan 2 arah. • Pedestrian yang diperkeras minimal berjarak 20 m,dengan perkerasan 1-3 m • Kapasitas layanan minimum 201/org/hari • Kapasitas jaringan jaringan minimum 60 lt/org/hr • Cakupan layanan 20-50 kk/unit. • Fire Hidrant dalam radius 60120 m • Tangki septik individu, resapan individu. • Tangki septik bersama, resapan bersama Mini IPAL. • Minimal jarak TPS/Transfer • Depo 15 menit perjalanan gerobak sampah • Setiap gerobag melayani 30 sampai 50 unit rumah • Pengelolaan sampah lingkungan ditangani masyarakat setempat.
215
KETERANGAN Pada prinsipnya, jaringan jalan harus mampu melayani kepentingan mobil kebakaran. Disamping itu, maksimal 15 menit jalan kaki harus terlayani oleh angkutan umum. Dimensi minimal pejalan kaki sebanding dengan lebar gerobag dorong/beca. Perehitungan kebutuhan lebih rinci mengenai kran umum didasarkan atas jumlah pelanggan PAM dan kualitas air setempat.
Pada prinsipnya, lingkungan harus bersih dari pencemaran limbah rumah tangga. Pelayanan sampah sangat tergantung pada sistim penanganan lingkungan/ sektor kota. Pada prinsipnya pelayanan sampah yang dikelola lingkungan mampu dikelola oleh lingkungan yang bersangkutan
Kebijakan Pemerintah dalam Mengatasi Permasalahan Permukiman Kumuh No 5
KOMPONEN Drainase
KRITERIA TEKNIS • Jaringan drainasi dibangun memanfaatkan jaringan jalan dan badan air yang ada. • Dimensi saluran diperhitungkan atas dasar layanan (coverage area) blok/lingkungan bersangkutan. • Penempatan saluran memperhitungkan ketersediaan lahan (dapat disamping atau dibawah jalan). • Jika tidak tersambung dengan sistim kota,harus disiapkan resapan setempat atau kolam retensi.
KETERANGAN Bentuk penangananya dapat merupakan bagian dari sistim jaringan kota atau sistim setempat.
Sumber : Dasar-dasar Perencanaan Perumahan oleh Pusbindiklatren Bappenas (2003: 2-4)
Program penyediaan dan peningkatan kualitas sarana dan prasana perumahan dan permukiman diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan daerah melalui Kementeriam dan SKPD. Kementerian Perumahan Rakyat dalam upaya penyediaan sarana dan prasarana menyelenggarakan Bantuan Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU) perumahan dan kawasan permukiman khususnya bagi masyarakat berpenghasilan menengah-bawah (MBM) dan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) pada periode 2010 hingga 2014. Fasilitasi pembangunan PSU perumahan dan kawasan permukiman tahun2012 adalah 145.000 unit rumah, dari total target 700.000 unit rumah yangakan diberikan stimulan PSU sepanjang tahun 2010-2014, sebagaimana telah ditetapkan dalam Rencana Strategis Kementerian Perumahan Rakyat. Namun target ini merupakan target tahun jamak (multi years), dimana kekurangan pelaksanaan tahunan dapat dilaksanakan pada tahun berikutnya sampai tahun 2014.26 Tabel 3 Standar minimal komponen fisik prasarana lingkungan permukiman TAHUN
PSU PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN (UNIT)
2010
90.374
2011
117.010
2012
26
145.000
2013
161.616
Deputi Bidang Pengembangan Kawasan, Kementerian Perumahan Rakyat. 2013. Bantuan Prasarana, Sarana Dan Utilitas Umum (PSU) Perumahan Dan Kawasan Permukiman.
216
Teddy Prasetiawan
TAHUN
PSU PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN (UNIT)
2014
186.000
TOTAL
700.000
Sumber: Rencana Strategis Kementerian PerumahanRakyat Tahun 2010-2014
Begitu pula dengan Kementerian Pekerjaan Umum. Melalui Direktorat Jendral Cipta Karya, program yang menyentuh pada penyediaan prasarana sanitasi permukiman kumuh salah satunya adalah kegiatan Sanitasi Berbasis Masyarakat (SANIMAS). Kegiatan ini merupakan kegiatan yang berorientasi kepada penanganan air limbah rumah tangga dan industri rumah tangga yang memiliki karakteristik buangan bersifat mudah terurai (biologis). SANIMAS mulai digulirkan sejak 2003 dan telah melakukan replikasi kegiatan di 30 provinsi yang menyebar di hampir 575 lokasi pada tahun 2012 lalu. Program ini telah berhasil mengubah pola pembuangan air limbah di masyarakat sasaran, termasuk masyarakat di permukiman kumuh, menjadi lebih sistematis melalui penyaluran limbah ke instalasi pengolahan limbah skala kawasan atau dengan menyediakan fasilitas MCK umum yang memiliki unit biodigester yang mampu mengkonversi kotoran manusia menjadi energi berupa gas metan. Permukiman padat atau permukiman kumuh identik dengan sarana dan prasarana yang terbatas. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, diantaranya adalah: (1) Ketersediaan lahan yang terbatas untuk membangun sarana dan prasarana; (2) Status lahan permukiman kumuh yang ilegal; dan (3) kapasitas masyarakat dalam berinteraksi dengan pemerintah. Namun rendahnya akses masyarakat terhadap sanitasi bersih bukan hanya karena persoalan sarana dan prasarana, tetapi sulitnya mengubah paradigma masyarakat tentang pentingnya sanitasi bersih. Untuk itu pola penyediaan sarana dan prasarana di permukiman kumuh hendaknya juga menyentuh kesadaran masyarakat melalui pelibatan masyarakat secara langsung. Banyak fasilitas sanitas dasar yang telah dibangun melalui program kerja pemerintah tidak berdaya optimal karena masyarakat tidak dilibatkan dalam proses perencanaan maupun pembangunan. Hal ini juga menyebabkan masyarakat tidak ingin terlibat dalam proses pemeliharaan fasilitas. Padahal pemeliharaan fasilitas merupakan kunci kesinambungan sebuah program pembangunan.
217
BAB IV PENUTUP
Melalui uraian pada bagian pembahasan dapat disimpulkan bahwa payung hukum kebijakan bidang perumahan dan permukiman telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Keberpihakan terhadap masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) lebih ditekankan melalui UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Tantangan pembangunan di bidang perumahan dan permukiman dalam rangka mengurangi jumlah permukiman kumuh bukan lagi sepenuhnya ada pada aspek legal, melainkan pada pendekatan program yang berbasis masyarakat. Untuk itu, dalam upaya mencapai tujuan MDG’s 2015 dan menyambut skema baru SDG’s pada masa yang akan datang diperlukan perhatian khusus dalam mengatasi masalah perumahan dan permukiman kumuh, yaitu dengan cara mempermudah proses penyediaan hunian bagi MBR, meningkatkan akses MBR untuk memiliki hunian yang layak, serta meningkatkan akses terhadap penyediaan sarana dan prasarana dasar di permukiman kumuh melalui program-program yang melibatkan partisipasi masyarakat secara langsung.
219
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal Adisasmita, Raharjo. 2010. “Pembangunan Kota Optimum, Efisien dan Mandiri”. Percetakan: Graha Ilmu. Yogyakarta.
Khomarudin. 1997. “Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman”. Yayasan Real Estate Indonesia. PT. Rakasindo, Jakarta.
Mulyana, W. 2005. “Proyek-proyek Pembangunan Perkotaan dalam Tiga Dekade Terakhir”. Bagian dari buku: Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21: Pengalaman Pembangunan Perkotaan di Indonesia (Buku 2).URDI-YSS-Jakarta:Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Siregar, J. Kebijakan, Strategi, dan Pengembangan Sistem dalam Penanganan Kumuh Berbasis Pendekatan Skala Kota. Makalah dalam Seminar Nasional Percepatan Penanganan Perumahan dan Permukiman Kumuh Menuju Kota-Kota Tanpa Kumuh 2020. Jakarta: 1 Oktober: Kementerian Perumahan Rakyat Indonesia.
Winayanti, L. 2010. “Menuju Kota Bebas Kumuh. Buletin Online Tata Ruang”, Edisi Mei-Juni, hal:2. Laporan Badan Perencana Pembangunan Nasional. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011. Kementerian Pekerjaan Umum. Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pekerjaan Umum 2010–2014.
Kementerian Pekerjaan Umum, Deputi Bidang Pengembangan Kawasan. Panduan Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan (PLP2K-BK). 2013.
Kementerian Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Cipta Karya. Siaran Pers Peringatan Hari Habitat Dunia (HHD) 2013: Momentum Menggalang Dukungan demi Terciptanya Kota Tanpa Permukiman Kumuh 2020. 221
Kebijakan Pemerintah dalam Mengatasi Permasalahan Permukiman Kumuh
Situs Daring “Perbedaan Backlog Versi Kemenpera dan BPS”. Diunduh melalui: www. rumah.com/. Pada 9 Oktober 2013.
“Data BPS untuk Evaluasi Backlog Perumahan”. Diunduh melalui: www. regional.kompas.com/. Pada 7 Oktober 2013.
“Menelisik Masalah Backlog di Indonesia”. Diunduh melalui: www.m.beritasatu. com/. Pada 3 Oktober 2013.
“Tolong! Tolong! Anak dan Cucu Kami Tidak Mampu Memiliki Rumah”. Diunduh melalui: www.birokrasi.kompasiana.com/. Pada 5 Oktober 2013. “7 Masalah dalam UU Tabungan Perumahan Rakyat”. Diunduh melalui: properti. kompas.com/read/2013/06/07/17135487/. Pada 17 September 2013. Diunduh melalui: http://ciptakarya.pu.go.id/kumuh/main.php?module=home. Pada 7 Oktober 2013.
Diunduh melalui: www.unhabitat.org/documents/media_centre/sowcr2006/ SOWCR%205.pdf. Pada 2 oktober 2013. Diunduh melalui: http://www.dpr.go.id/complorgans/baleg/pembahasan_ RUU_TENTANG__TABUNGAN_PERUMAHAN_RAKYAT.pdf. Pada 3 Oktober 2013.
222
UPAYA PEMERINTAH DAN KERJA SAMA LUAR NEGERI DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN MENUJU PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Sita Hidriyah*
*
Penulis adalah Peneliti Bidang Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi, (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR RI.
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Permasalahan yang masih dihadapi dan berusaha diselesaikan oleh pemerintah Indonesia hingga saat ini adalah kemiskinan. Sebagian penduduk Indonesia dan dunia masih hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan sehari maksimal US$ 1,25. Dengan pendapatan sebesar itu, bukan hanya kecukupan nutrisi yang tidak bisa dipenuhi. Namun juga pada pelayanan kesehatan serta pendidikan.1 Berdasar penilaian tersebut, pemerintah terlebih oleh masyarakat dianggap belum mampu menyelesaikan permasalahan tersebut. Padahal dalam setiap pergantian pemimpin negara Indonesia, kemiskinan menjadi salah satu misi utama mereka disamping misi-misi yang lainnya.2 Pembangunan di Indonesia kian terus digencarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebagai salah satu negara yang pertumbuhannya terus tumbuh dan dikenal sebagai emerging economy countries, pengurangan kemiskinan sebagai bagian pembangunan adalah pilihan. Beragam upaya kerap dilaksanakan, antara lain yaitu berkomitmen dalam pelestarian lingkungan pada pembuatan dan implementasi kebijakan, penambahan lapangan pekerjaan, serta bantuan yang diberikan pemerintah lewat pemerintah daerah beserta lembaga yang telah ditunjuk oleh pemerintah pusat maupun daerah. Penambahan lapangan pekerjaan tersebut disediakan karena menurut SBY jika semakin banyak tenaga kerja yang diserap maka masyarakat mendapatkan sumber penghasilan. Seiring dengan penghasilan yang diterima, artinya masyarakat juga semakin mampu memperbaiki ekonomi keluarga dan sekitarnya.3 Keberadaan Millenium Development Goals (MDGs) sampai 2015 akan dilanjutkan dengan program Sustainable Development Goals (SDGs). PBB telah
1
2
3
“Kemiskinan Masih Menjadi Isu Dunia”, http://www.investor.co.id/home/kemiskinanmasih-jadi-isu-dunia/62053, diakses tanggal 20 Agustus 2013. “Program Penanggulangan Kemiskinan Kabinet Indonesia Bersatu II”. 2011. Kementerian Komunikasi Dan Informatika RI. “SBY Janji Kasih Insentif Bagi Industri Padat Karya”, http://ditpk.bappenas.go.id/?nav=3& m=content&s=berita&a=view&id=340, diakses tanggal 3 September 2013.
225
Upaya Pemerintah dan Kerja Sama Luar Negeri
merumuskan agenda pembangunan dunia dalam mengakhiri kemiskinan pada forum High Level Panel (HLP) on Post 2015 Development Agenda. Forum telah menyepakati kerangka baru sebagai kelanjutan keberadaan MDGs yang akan berakhir di 2015 dengan SDGs. SDGs berisikan visi, agenda dan tujuan pembangunan berkelanjutan untuk pengentasan kemiskinan paska MDGs 2015. Tujuannya hampir sama dengan MDGs, namun SDGs lebih fokus terhadap hal-hal yang belum dikembangkan dalam MDGs. Untuk mewujudkan pengentasan kemiskinan di Indonesia, pemerintah memerlukan dukungan bantuan luar negeri baik dalam bentuk hibah, pinjaman, maupun peningkatan kapasitas (capacity building). MDGs kemudian menjadi dasar bagi adanya kerja sama pembangunan yang komprehensif antara negara maju dan berkembang untuk mengentaskan kemiskinan global. Keadaan ini mendorong semakin kuatnya kerja sama pembangunan dan pengentasan kemiskinan Indonesia dengan berbagai pihak, baik dari negara maupun institusi donor, baik antara bilateral maupun multilateral. Tergantinya MDGs menjadi SDGs diperlukan karena masalah degradasi lingkungan dalam skala global. Jumlah penduduk yang terus bertambah tetapi Sumber Daya Alam (SDA) justru mengalami kelangkaan. Apabila permasalahan lingkungan tidak terkendali dengan baik, nantinya akan merusak pencapaian SDGs tersebut.
B. PERUMUSAN MASALAH DAN PERTANYAAN PENELITIAN Isu kemiskinan masih mendapatkan perhatian yang sangat besar pada tingkat dunia. Selain konferensi yang dihadiri oleh perwakilan negara berkembang dan maju seperti Bali Roadmap4, PBB dengan misi MDGs yang melakukan program pengentasan kemiskinan hingga 50% di tahun 2015, kerja sama bilateral antara dua negara juga dilakukan oleh Indonesia. Hal ini dikarenakan jika kerja sama global seperti ini dikatakan dapat sebagai kunci pengurangan angka kemiskinan. SDGs beserta idenya secara tepat disambut sebagai urgensi pertumbuhan pembangunan berkelanjutan bagi bangsa di dunia. Walaupun diartikan berbeda-beda, tujuannya tetaplah pada pengkombinasian akan pemberantasan kemiskinan, pembangunan ekonomi secara merata, permasalahan sosial serta pelestarian lingkungan.5 Di samping itu, SDGs dapat membuka mata para generasi muda terhadap adanya perubahan iklim, punahnya keanekaragaman hayati serta pencegahan bencana alam.
4
5
Bali Roadmap adalah kesepakatan yang dihasilkan melalui sidang PBB yang dilaksanakan di Bali, Indonesia pada tahun 2007 mengenai upaya untuk menyelamatkan bumi dari dampak perubahan iklim. “UN Special Adviser Issues Recommendations for SDGs”, http://post2015.iisd.org/news/ un-special-adviser-issues-recommendations-for-sdgs/, diakses tanggal 1 November 2013.
226
Sita Hidriyah
Bagaimana penduduk dapat menyelamatkan bumi jika mereka masih dalam kondisi miskin tentunya memerlukan usaha untuk menanggulanginya. Dari latar belakang tersebut, tulisan ini akan mengkaji permasalahan kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Dengan permasalahan seperti itu, yang menjadi pertanyaan penelitian dalam tulisan ini adalah: 1. Apa sajakah hambatan pada pengentasan kemiskinan di Indonesia? 2. Bagaimana upaya pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan pengentasan kemiskinan, khususnya di provinsi Aceh dan Kalimantan Tengah? 3. Bagaimana kerja sama yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan luar negeri untuk pengentasan kemiskinan menuju pembangunan berkelanjutan di Indonesia?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui permasalahan seputar pengentasan kemiskinan di Indonesia. 2. Upaya pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan pengentasan kemiskinan khususnya di provinsi Aceh dan Kalimantan Tengah. 3. Kerja sama yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan luar negeri untuk pengentasan kemiskinan dalam pembangunan berkelanjutan. Hasil penelitian ini akan menjadi masukan bagi Komisi VIII pada bidang yang berkaitan dengan permasalahan sosial, Komisi IX pada bidang berkaitan dengan kesehatan dan yang terakhir bagi Komisi XI pada bidang yang berkaitan dengan perencanaan pembangunan.
D. KERANGKA PEMIKIRAN Upaya pengentasan kemiskinan menjadi pembahasan yang selalu muncul setiap tahunnya. Salah satu faktor penyebab kemiskinan adalah akses terhadap SDA seperti lahan, air, dan hutan. Selain itu, ketimpangan distribusi telah terjadi sejak lama.6 Kemiskinan dan globalisasi memang sudah lama menjadi bahan perdebatan, bukan hanya di kalangan ekonom-ekonom dalam negeri, tapi juga dunia. Perdebatannya pun tak pernah jauh-jauh dari bagaimana dampak globalisasi terhadap kemiskinan; menekan kemiskinan atau justru memperbesar kemiskinan. Sejak proses globalisasi mulai berlangsung, kondisi kehidupan di hampir semua negara terkesan meningkat, apalagi jika diukur dengan indikatorindikator lebih luas. Negara-negara maju dan kuat memang bisa meraih keuntungan, tapi tidak negara-negara berkembang seperti Indonesia.
6
Nainggolan, Kaman Dr.Ir. 2008. “Melawan Kelaparan dan Kemiskinan Abad ke-21”. Bogor: Kekal Press. Hal.9
227
Upaya Pemerintah dan Kerja Sama Luar Negeri
Bukannya kondisi perekonomiannya membaik, namun justru semakin terjerumus dalam jurang kemiskinan. Ekpansi di bidang perdagangan dan investasi luar negeri, pembangunan negara mengakibatkan kesenjangan yang makin lebar. Sedangkan, di negara industri pengangguran terus meningkat dan ketidakseimbangan pendapatan tidak tercatat selama akhir abad ini. Sekian pernyataan kerap dikeluarkan para penganjur globalisasi ekonomi maupun pemimpin lembaga-lembaga internasional. Tujuan utama mereka mendesak globalisasi ekonomi adalah untuk membantu kaum miskin di dunia. Mereka berpendirian bahwa dengan menghilangkan sejumlah hambatan terhadap perdagangan perusahaan besar dan berbagai investasi keuangan, maka itulah gagasan terbaik menuju pertumbuhan serta jalan terbaik untuk keluar dari kemiskinan. Mereka juga berpendapat bahwa berjuta-juta orang yang menentang model globalisasi ekonomi akan merugikan kaum miskin sendiri. Menurut Jagdish Bhagwati, mantan penasihat untuk PBB pada globalisasi, globalisasi mengakibatkan percepatan pertumbuhan ekonomi. Walaupun masih banyak masalah yang mengikuti di belakangnya, globalisasi merupakan kekuatan yang sangat positif yang mengangkat bagi negara dari kemiskinan. Menurutnya, hal itu menyebabkan siklus ekonomi saleh terkait dengan pertumbuhan ekonomi lebih cepat. Dalam artikelnya “Poverty: Enhanced or Diminished” mengungkapkan persoalan globalisasi dan persepsi pertumbuhan ekonomi negara berkembang terletak pada integrasi faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan respon kebijakan pemerintah terhadap situasi dan kondisi yang mempengaruhinya. Prospek pertumbuhan ekonomi dalam globalisasi dipahami dalam tiga konteks, yaitu globalisasi ialah mesin pertumbuhan ekonomi, globalisasi dalam perdagangan memicu pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan ekonomi akhirnya mengurangi kemiskinan.7 Realisasi ketiga poin di atas ialah peningkatan bagian atau porsi pendapatan (parsial atau perseorangan). Akan tetapi, porsi pendapatan ini sangat sulit direalisasikan di negara berkembang mengingat kurangnya koleksi data statistik yang mendukung sehingga menurut Bhagwati hal yang paling mungkin dilakukan ialah meningkatkan porsi secara keseluruhan. Pertumbuhan sendiri seharusnya diiringi dengan diversifikasi, tidak hanya berpatok pada kuantitas karena bertambahnya porsi total juga diikuti oleh bertambahnya porsi lain untuk pertumbuhan. Jika salah satu aspek diabaikan maka yang terjadi ialah tidak hanya kejenuhan pasar yang berakibat pada terjadinya minimnya data statistik dan distribusi pendapatan yang bermanfaat untuk memproyeksikan rencana pembangunan yang tepat sasaran. Karena hal tersebut, mereka akhirnya memproyeksikan
7
Bhagwati, Jagdish. 2004. “Poverty: Enhanced or Diminished?”, dalam In Defense of Globalization, Oxford: Oxford University Press, pp. 51-67
228
Sita Hidriyah
pertumbuhan pada hasil akhir, yakni indikator pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi kemiskinan itu sendiri. Negara berkembang melihat wacana globalisasi sebagai kesempatan untuk meningkatkatkan intensitas perdagangan yang selanjutnya menyerap tenaga kerja untuk mengurangi kemiskinan. Nyata sekali kebijakan tersebut berdampak kecil sekali terhadap usaha mengentaskan kemiskinan. Konsentrasi kebijakan negara menjadi terfokuskan pada perdagangan, pertumbuhan ekonomi, dan ketenagakerjaan saja daripada upaya yang secara langsung ditujukan untuk mengurangi kemiskinan. Pada dasarnya Bhagwati menyalahkan kebijakan pemerintah yang seringkali tidak teliti menangani persoalan sesungguhnya dan lebih menekankan kebijakan untuk sematamata menaikkan pendapatan nasional. Terkait dengan pertumbuhan, terdapat dua tipe orientasi pertumbuhan: industri berat terhadap industri ringan dan investasi modal intensif dengan investasi tenaga kerja intensif, yang keduanya berdampak berbeda terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang berorientasi ekspor besar-besaran hasil industri berat hanya akan mengurangi permintaan tenaga kerja kasar yang sebenarnya merupakan komposisi besar kemiskinan itu sendiri. Sumbangan terhadap ketidakmerataan distribusi pendapatan juga semakin besar. Sedangkan pertumbuhan ekonomi yang berorientasi ekspor industri ringan akan menggerakkan segmen industriindustri kecil dan lebih memaksimalkan pemberdayaan banyak pekerja tidak terlatih (tidak memerlukan pelatihan). Upaya yang demikian akibatnya akan meningkatkan permintaan pekerjaan dari sektor kalangan bawah, dan oleh karenanya lebih efektif dalam membantu mengatasi kemiskinan. Pengentasan kemiskinan bukan hanya menjadi problem ekonomi, melainkan juga problem struktural. Diasumsikan standar hidup dan barang-barang mengalami pertambahan nilai, diversifikasi fungsi, dan dibuat dari sumber daya yang menipis yang mengakibatkan harga di tingkat konsumen menjadi tinggi. Sementara itu, peningkatan pendapatan warga di negara berkembang mengalami nol peningkatan bahkan menurun, yang artinya penduduk miskin semakin bertambah jumlahnya. Maka yang terjadi ialah ketimpangan ekonomi yang semakin besar. Gagasan terpenting diungkapkan oleh Martin Wolf berisi bahwa penyebab sepenuhnya tidak terletak pada proses dan fenomena globalisasi itu sendiri. Melainkan terletak pada interaksi pendukung globalisasi dan anti-globalisasi.8 Negara yang anti-globalisasi cenderung tidak menganut strategi berorientasi mendukung globalisasi. Sedangkan negara yang menganut globalisasi akan cenderung untuk memanfaatkan utamanya dengan terjun langsung ke dalam integrasi ekonomi internasional.
8
Wolf, Martin. 2005. “Incensed about Inequality”, dalam Why Globalization Works, New Haven: Yale Notabene, pp. 138-172
229
BAB II METODOLOGI PENELITIAN
A. METODE ANALISIS DATA Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menjelaskan tentang dinamika permasalahan serta upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia khususnya di provinsi Aceh dan Kalimantan Tengah. Pengumpulan data di penulisan ini pertama-tama dilakukan melalui studi kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Setelah memperoleh data yang diperlukan, penelitian dilanjutkan dengan wawancara mendalam dengan pihak-pihak yang dianggap berkompeten dan memiliki informasi dan data yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Studi kepustakaan dilakukan di Jakarta melalui penelusuran informasi beserta pengumpulan data tertulis yang diperoleh melalui buku-buku dan jurnal ilmiah serta laporan-laporan penelitian sebelumnya, dan juga melalui artikel surat kabar dan situs internet. B. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di dua wilayah yaitu di ibu kota Provinsi Aceh yaitu Kota Banda Aceh pada tanggal 12-18 Mei 2013. Berikutnya penelitian dilakukan ke Kabupaten Palangka Raya di Provinsi Kalimantan Tengah pada tanggal 17-23 Juni 2013. Kedua provinsi tersebut dipilih karena merupakan dua lokasi dengan jumlah kemiskinan yang dikatakan cenderung rendah yang terdapat di Indonesia. Penelitian dilakukan di Banda Aceh karena daerah ini merupakan ibukota dari Provinsi Aceh dan menjadi lokasi untuk wawancara penelitian ke beberapa kantor pemerintahan. Kemudian di wilayah penelitian kedua di Palangka Raya. Palangka Raya merupakan ibu kota dari Provinsi Kalimantan Tengah. Di Banda Aceh, penulis mewawancarai pejabat dari Badan Lingkungan Hidup Provinsi (BLHP) Aceh, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bappedal), Dinas Kesehatan (Dinkes), Dinas Sosial (Dinsos), Kepolisian Daerah (Polda) serta perwakilan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Di Palangka Raya, penulis mewawancarai pejabat dari instansi-instansi yang sama dengan Provinsi Aceh yang berkaitan dengan pembahasan penelitian. 231
Upaya Pemerintah dan Kerja Sama Luar Negeri
Dengan dipilihnya kedua provinsi ini diharapkan akan mendapat masukan yang signifikan mengenai bagaimana pengentasan kemiskinan berjalan di kedua wilayah provinsi di Indonesia serta kerja sama yang dapat dilakukan di kemudian hari dalam menangani permasalahan kemiskinan yang masih terjadi di wilayah tersebut namun dapat menjadi pembelajaran bagi provinsiprovinsi lainnya di Indonesia khususnya dengan kerja sama luar negeri. Selain itu akan diliat pula bagaimana pemerintah Indonesia melakukan upaya pengentasan kemiskinan. Wawancara secara mendalam (in-depth interview) dengan para informan yang berkedudukan di Banda Aceh dan Palangka Raya dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini. C. METODE ANALISIS DATA Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menjelaskan tentang upaya pengentasan kemiskinan beserta pembahasan kerja sama luar negeri yang dilakukan khususnya di Provinsi Aceh dan Kalimantan Tengah melalui analisis data primer dan sekunder. Pengumpulan data melalui data primer merupakan hasil-hasil pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara mendalam terhadap beberapa informan yang dipilih dan dianggap berkompeten dan memiliki informasi dan data yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Sedangkan data sekunder adalah bahanbahan tertulis yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Sifat penelitian ini deskriptif, yakni melukiskan atau menggambarkan secara jelas jawaban atas permasalahan di atas. Studi kepustakaan dilakukan melalui penelusuran informasi beserta pengumpulan data tertulis yang diperoleh melalui bukubuku dan jurnal ilmiah serta laporan-laporan penelitian sebelumnya, dan juga melalui artikel surat kabar dan situs internet.
232
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN MASALAH
Kemiskinan merupakan suatu masalah bagi negara-negara di seluruh dunia, kemiskinan merupakan penyakit sosial ekonomi bagi negara berkembang dan negara maju bahkan di negara Eropa seperti Inggris dan juga Amerika. Kemiskinan merupakan isu yang krusial untuk dicari solusinya ditengah-tengah tingginya implikasi era globalisasi yang semakin luas, yang mengancam kehidupan umat manusia. Pembangunan telah membawa dampak positif bagi perekonomian masyarakat. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada perkembangannya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), presentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 344,5 juta orang.9 Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen dengan jumlah penduduk yang lebih besar yaitu 37,4 juta orang. Angka-angka ini mengindikasikan bahwa program-program pengentasan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia. Pembangunan yang memberi dampak pada perekonomian dapat membawa masalah bagi sektor lingkungan. Padahal masalah lingkungan ini berpengaruh tidak saat ini saja, tetapi untuk di masa depan. Banyaknya kerusakan lingkungan terjadi akibat tingginya tuntuan hidup serta rendahnya pengetahuan akan lingkungan hidup itu sendiri. Pendidikan yang terbatas serta desakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup membuat masyarakat miskin terus mempertahankan hidup tanpa adanya upaya pelestarian lingkungan. Tak terkecuali pada masyarakat sekitar hutan dimana hutan menjadi sasaran eksploitasi sebagai penyebab kerusakan hutan. Kemiskinan menjadi salah
9
Wawancara dengan Bpk.Hakim, BPS Aceh, di Banda Aceh, 15 Mei 2013.
233
Upaya Pemerintah dan Kerja Sama Luar Negeri
satu penyebab rusaknya lingkungan dan kerusakan itulah menjadi salah satu permasalahan dalam upaya pengentasan kemiskinan.
A. BERBAGAI PERMASALAHAN DALAM UPAYA PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA Kemiskinan merupakan masalah sangat kompleks yang mengalami sedikit kemajuan. Kesulitan yang dihadapi Indonesia dalam pengentasan kemiskinan bervariasi. Mulai dari terbatasnya kebutuhan dasar hingga keterbatasan kemampuan masyarakat miskin untuk mengembangkan komunitasnya sendiri. Sementara menyalahkan krisis ekonomi global semata sebagai penyebab bagi terhalangnya berbagai upaya pengentasan kemiskinan bukanlah sikap yang adil. Sebab masih banyak faktor lain yang lebih bersifat fundamental yang menjadikan sejumlah besar rakyat Indonesia kian larut dalam kemiskinan.10 Beragam kebijakan dan strategi dalam pengentasan kemiskinan sudah dirumuskan baik secara nasional maupun internasional. Hal ini dapat ditinjau seperti pada pembuatan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) tahun 2005.11 Sementara dari Bank Dunia serta PBB lewat pembentukan deklarasi MDGs di tahun yang sama.12 Namun, upaya-upaya tersebut terkendala oleh berbagai konflik sosial-politik ataupun bersenjata, bencana alam baik didalam maupun luar negeri serta isu perubahan iklim. Hal ini mengakibatkan persoalan kemiskinan global menjadi semakin kompleks dan pengentasannya menjadi kian sulit.13 Dari beragam penyebab kemiskinan di Indonesia, upaya yang dilakukan pemerintah mempunyai hambatan ataupun kendala pada pelaksanaannya. Hambatan tersebut antara lain : 1. Masih tingginya angka kemiskinan dan pengangguran Fenomena kemiskinan yang terjadi di Indonesia, tidak selalu sama dengan fenomena pengangguran. Keduanya berkaitan, namun tidak selalu dalam arah yang sejalan. Kemiskinan menonjol di pedesaan sedangkan pengangguran adalah fenomena yang menonjol di perkotaan. Namun pada perkembangannya, kemiskinan dan pengangguran sama-sama terjadi juga di perkotaan.
10
11
12
13
Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi 9P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. 2009. ”Krisis Ekonomi Global dan Tantangan Dalam Penanggulangan Kemiskinan”. Jakarta: Hal.21 SNPK disusun oleh Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kesejakteraan Rakyat Republik Indonesia. Shalendra D. Sharma. “The Promise of Monterrey, Meeting the Millenium Development Goals”, World Policy Journal 21, 3, Research Library 2004. Hlm. 51-53. “Kemiskinan Jadi Pekerjaan Rumah Terberat”. Kompas, 22 Mei 2013.
234
Sita Hidriyah
Perbandingan tersebut berada pada puncaknya antara kemiskinan perkotaan dan pedesaan. Bahkan dengan angka kemiskinan antar provinsi. Seperti pada tahun 2012, provinsi yang berpenduduk padat di Pulau Jawa presentase kemiskinannya rendah dibandingkan banyak daerah di luar Jawa diantaranya Papua 32 persen, Papua Barat 31,9 persen dan Maluku 23 persen.14
2. Semakin tingginya degradasi SDA Isu kemiskinan mendapatkan perhatian yang sangat besar dalam setiap konferensi-konferensi ekonomi tingkat dunia. Di tengah tingginya implikasi era globalisasi, globalisasi ekonomi bisa diartikan sebagai ekspansi ekonomi, yang juga berarti lebih banyak lagi sumber daya yang dibutuhkan dan emisi yang dikeluarkan. Lingkungan sebagai objek dari kebutuhan ekonomi, tentu akan mengalami degradasi terus menerus akibat eksploitasi ekonomi yang berlebihan. Sudah pasti, dalam jangka panjang rusaknya lingkungan hidup akan menjadi bumerang bagi kehidupan manusia itu sendiri. Dalam Agenda 21 Global15 yang disepakati pada KTT Bumi, diungkapkan hal-hal penting dalam mencapai pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Lebih jauh yaitu bahwa kemiskinan dipandang sebagai penyebab dan hasil dari penurunan kualitas lingkungan. Penanganannya tidak dapat dilakukan secara terpisah-pisah, melainkan harus secara bersama-sama dengan memasukkan isu-isu pelayanan kesehatan, kependudukan, hak perempuan, dan pengelolaan SDA oleh masyarakat lokal.16
3. Semakin tingginya persaingan global Di Indonesia dan di berbagai tempat di penjuru dunia, persoalan agraria dalam bentuk konflik dan perebutan hak milik, konversi lahan, intensifikasi dan modernisasi pertanian, penetrasi dan ekspansi usaha-usaha agribisnis multinasional raksasa, eksploitasi sumber daya alam tambang, secara pasti menuju pada muara yang sama, yaitu pemiskinan dan kemiskinan yang berkelanjutan. Pada saat yang sama proses industrialisasi dalam rangka kompetisi global dan upaya meningkatkan daya saing internasional yang terjadi di Indonesia dan menarik orang-orang desa bergabung dalam barisan tenaga kerja penggerak mesin-mesin kapitalisme global. Asumsi bahwa bekerja di sektor formal akan memberikan kondisi kerja dan kesejahteraan yang lebih
14
15
16
“Masalah Kemiskinan Pekerjaan Serius Pemerintah”, http://erabaru.net/nasional/119peristiwa/29014-masalah-kemiskinan-pekerjaan-serius-pemerintah-, diakses tanggal 13 Agustus 2013. Agenda 21 Global adalah suatu dokumen komprehensif setebal 700 halaman yang berisikan program aksi pembangunan berkelanjutan menjelang abad 21. Djajadiningrat, Surna Tjahja. Hardjolukito, Sutanto. 2013. “Demi Bumi, Demi Kita: Dari Pembangunan Berkelanjutan Menuju Ekonomi Hijau”. Jakarta: Media Indonesia Publishing. Hal.14
235
Upaya Pemerintah dan Kerja Sama Luar Negeri
baik harus dikoreksi sebab yang dapat pula terjadi adalah pemiskinan dan kemiskinan yang berkelanjutan. 4. Kurangnya komitmen pemerintah dan kesadaran masyarakat untuk mengentaskan kemiskinan Komitmen pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan di Indonesia patut dipertanyakan. Keadaan menunjukkan kegagalan pemerintah seperti dalam menyediakan lapangan pekerjaan serta masih banyaknya rakyat miskin yang belum tersentuh program pelayanan kesehatan gratis. Kemiskinan tidak jarang menjadi polemik yang diambil keuntungan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sehingga pada akhirnya kemiskinan ditanggulangi dengan pendekatan program pendek. Sudah saatnya pendekatan pengentasan kemiskinan didekati dengan pendekatan pemberdayaan, sehingga masyarakat berperan secara aktif dalam menanggulangi persoalan kemiskinan. Pendekatan pemberdayaan ini nantinya mensyaratkan adanya kesadaran diri dari berbagai pihak terhadap peran masing-masing, baik dari pemerintah (eksekutif, legislatif), partai politik, akademisi, masyarakat yang diwakili oleh organisasi kemasyarakatan dan organisasi-organisasi yang sudah berdiri dalam masyarakat.17
B. UPAYA PEMERINTAH DALAM MENGENTASKAN KEMISKINAN DI INDONESIA Permasalahan kemiskinan merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan pembangunan. Presiden SBY pada HLP on Post 2015 Development Agenda tanggal 18 Juni 2013 juga telah menyatakan bahwa kemiskinan ekstrem yang dialami berbagai negara di dunia dapat dihapuskan melalui pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan. Oleh sebab itu, agenda pembangunan yang baru harus meneruskan semangat Deklarasi Milenium dan hal-hal terbaik dari MDGs, dengan menitik beratkan pada isu-isu seperti kemiskinan. Konsepsi kemiskinan yang bersifat multidimensional kiranya lebih tepat jika digunakan sebagai pisau analisis dalam mendefinisikan kemiskinan serta merumuskan kebijakan penanganan kemiskinan di Indonesia.18 Pemerintah telah memiliki sejumlah program yang bertujuan untuk menurunkan angka kemiskinan. Tetapi yang terpenting adalah implementasinya. Pemerintah bahkan diyakini bisa menurunkan angka kemiskinan mengingat besarannya terus menunjukkan tren penurunan. Bank Dunia memproyeksikan tanpa kompensasi akibat kenaikan harga BBM, angka kemiskinan akan dapat
17
18
Mulyadi, Muhammad, 2011, “Kemiskinan: Identifikasi Penyebab dan Strategi Penanggulangannya”, Jakarta: Publica Institute, hal. 49. Suharto, Ph.D, Edi, 2009, “Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial”, Bandung: PT Refika Aditama, hal. 133.
236
Sita Hidriyah
diturunkan dari 12 persen pada Maret 2012 menjadi 10,5 persen di Maret 2014. Namun, dengan adanya kompensasi yang sifatnya jangka pendek, Bank Dunia memproyeksikan akan turun hingga 9,4 persen pada Maret 2014. Kalkukasi tersebut dijelaskan didasari oleh data Maret 2012 dan Bank Dunia melihat data historis penurunan kemiskinan.19 Pemerintah tetap memegang komitmen dalam menurunkan target kemiskinan. Meski target pertumbuhan ekonomi tidak tinggi, dana yang disiapkan untuk pengentasan kemiskinan sebesar Rp273 triliun.20 Untuk menurunkan angka kemiskinan, pihak Bappenas memberdayakan programprogram yang sudah ada, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Beasiswa Siswa Miskin (BSM) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Selain itu, Bappenas akan terus memperluas ruang lingkup dan memaksimalkan program-program pengentasan kemiskinan. Program-program seperti PKH, BSM, PNPM, dalam konteks itu dicoba untuk menurunkan angka kemiskinan dan terus diperkuat. Hal ini dengan maksud memperluas ruang lingkup, seperti PNPM. Upaya tersebut dapat terlihat pada wilayah provinsi di Indonesia yang dilakukan provinsi Aceh dan Kalimantan Tengah untuk pengentasan kemiskinan yang dijelaskan pada penjabaran di bawah ini. 1. Upaya Pengentasan Kemiskinan di Provinsi Aceh Angka kemiskinan di provinsi Aceh menurun setiap tahunnya. Angka kemiskinan di Aceh hingga pada bulan Maret tahun 2013 menurun sekitar 1,86 persen dibanding tahun 2012.21 Angka kemiskinan di Aceh tahun 2012 lalu, tercatat 19,46 persen atau sebesar 909,04 ribu jiwa. Sementara tahun ini menurun menjadi 17,60 persen atau 840,70 ribu jiwa.22 Turunnya angka kemiskinan tersebut, dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi Aceh yang meningkat pada triwulan pertama 2013. Perkembangan ini ditambah lagi adanya intervensi pemerintah untuk pengentasan kemiskinan di Aceh juga menunjukan tingkat efektifitas peningkatan daya beli penduduk miskin dari tahun 2012 hingga tahun 2013.23
19
20
21
22 23
Republika, 3 Juli 2013, “Ingin Kurangi Kemiskinan, Pemerintah Akselerasi Pembangunan Infrastruktur”. “Bappenas: Pemerintah Komitmen Pangkas Kemiskinan”, http://ekbis.sindonews.com/ read/2013/04/08/33/735655/bappenas-pemerintah-komitmen-pangkas-kemiskinan, diakses tanggal 30 September 2013. Angka Kemiskinan Aceh Menurun”, http://atjehpost.com/meukat_read/2013/07/03/ 57813/18/7/Angka-kemiskinan-Aceh-menurun-186-Persen#sthash.bSNNqHWF.dpuf, diakses tanggal 22 Agustus 2013. Data dari BPS Aceh, di Banda Aceh, 15 Mei 2013. Pemprov Aceh Fokus Turunkan Angka Kemiskinan dan Pengangguran”, http://otda. kemendagri.go.id/index.php/categoryblog/743-pemperov-aceh-fokus-turunkan-angkakemiskinan-dan-pengangguran, diakses tanggal 26 Agustus 2013.
237
Upaya Pemerintah dan Kerja Sama Luar Negeri
Dengan secara berjenjang, pemerintah provinsi fokus kepada wilayahwilayah yang memiliki angka kemiskinan tinggi dengan program sektorsektor unggulan sesuai potensi wilayah tersebut.24 Beberapa isu strategis pembangunan Aceh dalam rencana kerja 2014 antara lain penurunan angka kemiskinan dan pengangguran, reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan, peningkatan infrastruktur yang terintegrasi, ketahanan pangan dan nilai tambah produk pertanian, peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat, keberlanjutan perdamaian yang terus dioptimalkan, serta pengurangan risiko bencana. Artinya akan banyak menciptakan lapangan kerja yang kemudian akan meningkatkan pendapatan masyarakat. Dalam memberantas kemiskinan, Pemerintah Daerah (Pemda) provinsi Aceh memiliki beberapa program antara lain Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), pembinaan dan pelatihan-pelatihan, program pendidikan serta pemberatasan kemiskinan dari program nasional dengan cara pembagian (sharing) ke daerah. Dana sebesar Rp50 juta/desa juga diberikan yang terutama untuk perbaikan infrastruktur seperti jalan, jembatan serta transportasi sebagai penopang kebutuhan hidup. Pembangunan rumah layak huni yang berlaku lima tahun juga menjadi program pengentasan kemiskinan yang diharapkan dapat membangun 20.000 rumah bagi masyarakat. Melalui program-program tersebut, diharapkan kemiskinan Provinsi Aceh dapat turun 2% walaupun masih berada diatas rata-rata nasional.25 Dinas Kesehatan Provinsi Aceh sendiri memiliki beberapa program untuk memberantas kemiskinan:26 1. Program Nasional Jaminan Kesehatan Masyarakat Aceh Program tersebut meng-coverage semua lapisan penduduk secara gratis mulai dari pelayanan dasar sampai spesialis khususnya untuk masyarakat miskin dan tidak mampu yang bertempat tinggal dan berKTP di provinsi Aceh. Hal ini menangani mulai dari penyakit ringan hingga berat termasuk pada operasi jantung. 2. Program Kekhususan Aceh Angka penduduk sakit provinsi Aceh turun hingga 20% dari sebelumnya 30%. Walaupun angka kekurangan gizi masih tinggi, namun provinsi ini termasuk baik dalam masalah kesehatan. Aceh memfokuskan diri pada kesehatan dan juga insfrastruktur. Pada bidang kesehatan, Aceh menjalankan beberapa program seperti penanganan kesehatan pada penanganan gizi
24
25 26
Wawancara dengan Bapak Ilyas, dari Dinas Sosial Provinsi Aceh, di Banda Aceh, 15 Mei 2013. Wawancara dengan Bapak Mahruzal, Sekretaris BAPPEDA Aceh, 13 Mei 2013. Wawancara dengan Ibu Evi Syafrida, Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan dan Kefarmasian, Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, 16 Mei 2013.
238
Sita Hidriyah
buruk, usaha menurunkan angka kematian ibu bahkan pencegahan HIV. Semua program ini dijalankan dengan melihat kondisi lapangan dan kebutuhan yang diperlukan bagi masyarakat provinsi Aceh. Indikator Kinerja
Tingkat Kemiskinan
Tingkat Kemiskinan Di Provinsi Aceh
2005
28,69
2006
28,28
Capaian/Tahunan
2007
26,65
2008
23,53
2009
21,80
2010
20,98
2011
19,48
2012
18,58
Pengurangan Kemiskinan serta pengangguran di Aceh melalui beragam cara, antara lain: 1. Peningkatan keahlian dan daya saing tenaga kerja serta pengembangan jiwa 2. Peningkatan akses kesempatan kerja dan perlindungan tenaga kerja 3. Pengembangan usaha ekonomi kreatif masyarakat: 4. Peningkatan daya saing produk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan Koperasi 5. Penguatan kelembagaan keuangan mikro dan akses permodalan: 6. Pemberdayaan masyarakat gampong: 7. Pengembangan Pemukiman Sehat:
Koordinasi antara lembaga pemerintah provinsi Aceh rutin dilakukan. Melalui rapat-rapat koordinasi, pembahasan dilaksanakan. Keistimewaan provinsi Aceh adalah memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Kota (DPRK). Keduanya saling berhubungan untuk membuka rapat dan memimpin koordinasi bagi permasalahan di provinsi Aceh, tak terkecuali pada upaya pemberantasan kemiskinan. Kerja sama dengan pihak luar negeri kerap sebagai donor dilakukan karena melekat dengan permasalahan gizi. Hal ini berlangsung sejak tsunami hingga Desember 2012 bersama UNICEF. Selain itu ada kerja sama dengan pemerintah Negara Belanda untuk pemberantasan malaria yang bersifat monetary evaluation. Semua kerja sama ini bermuara dari angka kesakitan yang diharapkan dapat mendongkrak angka kemiskinan. Terdapat tantangan yang dihadapi pemerintah provinsi Aceh. Tantangan tersebut diantaranya adalah pasca tsunami, dimana ketergantungan donor masih tinggi sampai sekarang.27 Oleh karenanya, pada saat JKA diluncurkan, kasus-kasus tidak terdeteksi bermunculan. Selanjutnya adalah pemda Aceh merasa koordinasi telah berjalan, tetapi justru hal ini menjadi masalah terutama koordinasi bersifat integral, sehingga terdapat kesalahpahaman (missed-link). Terakhir adalah kondisi geografis Aceh. Masih banyak daerah
27
Wawancara dengan Bpk Hassan, Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, 16 Mei 2013.
239
Upaya Pemerintah dan Kerja Sama Luar Negeri
dan pantai yang rawan banjir. Seharusnya, saat bencana atau tidak, semua koordinasi harus berjalan, sehingga tidak menunggu hingga bencana tiba.
2. Upaya Pengentasan Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Tengah Dalam memberantas kemiskinan, peranan lembaga pemerintah seperti Dinas Sosial adalah melaksanakan program pemberdayaan sosial bagi Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) atau keluarga fakir miskin melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dengan melalui Bimbingan Sosial atau Bantuan secara kelompok dalam bentuk uang tunai secara cash transfer melalui Bank.28 Disamping itu juga melaksanakan program-program lainnya yang sasarannya adalah keluarga miskin seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, Asuransi Kesejahteraan Sosial dan perlindungan sosial bagi anak terlantar, lanjut usia dan penyandang disabilitas. Pada perkembangannya, sejak diluncurkannya otonomi daerah, Pemda secara konsisten masih mempertahankan Dinas Sosial sebagai lembaga yang berdiri sendiri untuk menangani di bidang sosial atau tidak digabung dengan urusan lain. Hal ini dikarenakan Pemda Kalimantan Tengah memandang bahwa permasalahan sosial di Kalimantan Tengah masih cukup banyak yang harus ditangani.29 Sementara itu, berkaitan dengan penganggaran, Dinas Sosial mendapatkan alokasi dana yang bersumber dari APBN baik dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan serta APBD Provinsi. Koordinasi antara lembaga pemerintah di Provinsi Kalimantan Tengah dalam memberantas kemiskinan telah diwadahi melalui pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi Kalimantan Tengah, sehingga dalam pelaksanaan penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan secara terpadu dan terintegrasi sebagaimana Program Mamagun Tuntang Mahaga Lewu (PM2L)30 yang difokuskan pada desa tertinggal yang telah ditetapkan oleh Gubernur, seluruh SKPD Provinsi maupun Kabupaten/Kota secara bersama-sama memasukkan program/kegiatannya di lokasi PM2L tersebut. Upaya serta rekomendasi yang dapat dilakukan untuk memberantas kemiskinan antara lain: a. Perlunya penguatan sumber daya manusia bagi keluarga miskin melalui program-program yang dapat menyentuh seluruh permasalahan sosial yang dihadapi dalam sebuah keluarga, seperti pemberdayaan sosial
28
29
30
Wawancara dengan Ibu Lies Fatimah, Kepala UPT Bina Sosial Bina Remaja Dinas Sosial Kalimantan Tengah beserta staff Dinsos, di Palangka Raya, 20 Juni 2013. Wawancara dengan Bpk Prasetyo, Kepala Seksi Rehabiitasi Tuna Sosial Dinas Sosial Kalimantan Tengah, 20 Juni 2013. PM2L adalah sebuah program yang berarti membangun dan memelihara desa, yang dikoordinir oleh Bappeda.
240
Sita Hidriyah
bagi fakir miskin, penanganan masalah anaknya dan lanjut usia yang mengalami keterlantaran, sehingga diperlukan penanganan program secara terpadu dan terintegrasi untuk menangani masalah dalam satu lokasi, dengan didukung penganggaran yang memadahi serta didahului dengan riset atau analisis kebutuhan pembangunan yang diperlukan, sehingga tidak terjadi tumpang tindih program. b. Perlunya penganggaran yang proporsional bagi SKPD yang memiliki urusan wajib dan terlibat dalam penanggulangan kemiskinan, baik APBN maupun APBD. c. Perlunya validasi data kemiskinan dan identitas keluarga miskin, sehingga mudah dalam menentukan sasaran program.
Kerja sama yang dilakukan dengan pihak atau lembaga luar negeri dalam memberantas kemiskinan belum ada hingga saat ini. Selain itu, tidak ada bantuan pula yang diberikan dari pihak luar negeri. Dana bantuan berupa hibah pernah diberikan negara Finlandia ke Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah atas undangan dari pemerintah pusat. Sampai saat ini, pemerintah masih membutuhkan hibah tetapi diharapkan hibah tersebut sesuai dengan tujuan sehingga tidak salah sasaran. Tantangan yang dihadapi Pemda Kalimantan Tengah dalam memberantas kemiskinan adalah masih tingginya angka kemiskinan di Kalimantan. Merujuk pada data BPS, jumlah penduduk miskin pada 2011 adalah sebanyak 146.910 orang, sedangkan pada 2012 jumlahnya turun menjadi 141.900 atau turun sebesar 0,37 persen. Hambatan yang dihadapi adalah masih terbatasnya alokasi anggaran untuk penanganan kemiskinan, serta terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM) pada Dinas Sosial Kabupaten/Kota sebagai pelaksana di lapangan.
C. KERJA SAMA PEMERINTAH INDONESIA DENGAN LUAR NEGERI PADA PENGENTASAN KEMISKINAN DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Beragam pertemuan dan kerja sama telah dilaksanakan antara pemerintah negara Indonesia dan beberapa negara termasuk badan PBB atau United Nation (UN) untuk program pengentasan kemiskinan. Kerja sama tersebut antara lain dengan negara Amerika Serikat (AS), Australia, India, Jepang dan negara-negara Eropa. Selain itu pelaksanaan strategi dan beragam kebijakan pengentasan kemiskinan tidak terlepas dari kerja sama internasional dengan negara donor dan lembaga internasional sebagai pemeran di dalamnya. Lembaga-lembaga keuangan internasional kembali menyerukan peningkatan kerja sama pembangunan yang bermanfaat untuk mengatasi kemiskinan 241
Upaya Pemerintah dan Kerja Sama Luar Negeri
global. Lembaga tersebut antara lain International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB), Asian Development Bank (ADB), International Labour Organization (ILO) dan lembaga lainnya yang berada di bawah naungan PBB. Untuk mengurangi angka kemiskinan yang ekstrim adalah dengan kerja sama global. Kerja sama ini mengarah kepada agenda pembangunan pasca 2015 mendatang. Dengan menekankan pentingnya pertumbuhan berkelanjutan, HLP on Development Agenda Post 2015 menyatakan jika pertumbuhan ekonomi saja tidak akan dapat menjamin kesejahteraan dan stabilitas. Menurut PM Inggris, David Cameron, ketiga ketua bersama untuk menekankan pentingnya mendengarkan masyarakat sipil, sektor swasta dan masyarakat muda dalam upaya untuk mencapai consensus seluas mungkin sebagai tindak lanjut MDGs yang akan berakhir tahun 2015 mendatang. Berbagai prakarsa baik bilateral dan multilateral telah diambil untuk mengatasi masalah global. Negara-negara maju memberikan bantuan ke berbagai negara berkembang dan miskin untuk pembangunan berbagai sektor yang berkaitan dengan upaya pembangunan. Salah satu kerja sama yang dilakukan untuk pengentasan kemiskinan di Indonesia adalah pemberian hibah. Hibah ini dapat diartikan sebagai penerimaan negara yang diterima pemerintah dari badan, lembaga, pemerintah atau negara asing baik dalam bentuk devisa atau yang dirupiahkan maupun dalam bentuk barang atau jasa termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali.31 Hibah yang diperoleh Indonesia antara lain dari AS. Misalnya pada November 2012 dimana Indonesia mendapatkan hibah melalui Millennium Challenge Corporation (MCC) sebesar USD 600 juta (Rp5,8 triliun) melalui program Millennium Challenge Corporation. Program tersebut ditujukan untuk mengurangi kemiskinan, dengan cara meningkatkan perekonomian dengan skema ramah lingkungan. Program tersebut mencakup tiga hal yaitu proyek kemakmuran hijau, kesehatan dan nutrisi berbasis masyarakat untuk mencegah anak pendek, serta proyek modernisasi pengadaan. Setelah melalui proses seleksi, terpilih dua provinsi yang diberi untuk menjalankan program ini. Kedua provinsi tersebut adalah Provinsi Jambi dan Sulawesi Barat. Alasannya yaitu melihat resources dan geografis kedua daerah tersebut. Tapi, yang paling penting, komitmen pemerintah daerah untuk mengembangkan ekonomi hijau.32 Harapan pada program ini adalah kedua daerah tersebut dapat mempersiapkan proyek tersebut dengan baik. Sebab, Indonesia mendapatkan hibah ini melalui kompetisi dengan negara lain.
31
32
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah. FGD Tim Penelitian dengan Direktur Lingkungan Hidup, Kementerian PPN/BAPPENAS, di Setjen DPR RI, 8 Mei 2013.
242
Sita Hidriyah
Walau secara umum MDGs telah berhasil, masalah degradasi lingkungan menjadi masalah penting yang dapat mengganggu peningkatan kinerja tersebut. Selanjutnya bermasalah pula pada SDGs. Terlebih kepada Indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati. Jumlah penduduk yang terus bertambah, sementara SDA untuk penopang kehidupan mulai dari air, pangan dan energi kian mengalami kelangkaan. Jika masalah lingkungan tidak dikendalikan dengan baik, pencapaian SDGs pada gilirannya akan rusak. Sementara itu, pemanfaatan keahlian dari seluruh sistem PBB dan berbagai komunitas ilmiah menjadi sangat penting.33 Konferensi PBB untuk pembangunan berkelanjutan (Rio+20) telah menyepakati dokumen “The Future We Want” yang menjadi dasar bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Upaya mewujudkan harapan tersebut tersusun dalam kesepakatan elemen Green Economy. Elemen dokumen yang mendapat perhatian adalah bahwa Green Economy adalah perangkat penting dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan. Dokumen juga mengakui bahwa Green Economy diterapkan sesuai kebutuhan serta kondisi masing-masing negara. Untuk memajukannya, pengembangan kapasitas dilakukan lewat pertukaran informasi, termasuk finansial, teknis dan teknologi. Penguatan elemen Green Economy ini menjadi upaya negara-negara baik negara maju, negara berkembang, negara berpenghasilan menengah saling bekerja sama serta memulai untuk membantu negara-negara berpenghasilan rendah dan sangat rendah. Kerja sama global menjadi kunci dalam pengentasan kemiskinan di dunia. Dalam pertemuan terakhir, penggerak HLP menyepakati untuk menyelesaikan misi MDG’s, yakni, menghilangkan kemiskinan absolut di dunia. Untuk menuntaskan itu, HLP masih perlu menyepakati bentuk kerja sama global yang akan diambil. Salah satu kelemahan MDG’s adalah tidak efektifnya kerja sama global. Tanggungjawab hanya diserahkan kepada negara-negara berkembang, dan itu tidak mungkin karena seharusnya seluruh negara harus terlibat untuk melaksanakan kerangka pembangunan baru yang disusun oleh HLP.
33
UN Department for Economic and Social Affairs. “Global Sustainable Development Report Building the Common Future We Want”. 2013. Hal.15
243
BAB IV KESIMPULAN
Terdapat berbagai permasalahan dalam upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia. Permasalahan tersebut antara lain masih tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, semakin tingginya degradasi SDA, semakin tingginya persaingan global, serta kurangnya komitmen pemerintah dan kesadaran masyarakat untuk mengentaskan kemiskinan. Faktor penyebab kemiskinan di Kalimantan Tengah, mungkin ada kesamaan dan mungkin pula banyak perbedaannya bila dibandingkan dengan faktor penyebab kemiskinan di Aceh. Namun demikian berbagai konsep dan teori tentang kemiskinan akan sangat bermanfaat sebagai acuan untuk penyusunan kebijakan dan program pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan pemerataan pembangunan secara adil dan meningkatkan kesejahtaraan hidup masyarakat. Masyarakat harus secara langsung dilibatkan melalui program pemberdayaan. Programprogram yang dijalankan harus sesuai dengan karakteristik wilayah, dimana masing-masing wilayah memiliki karaktristik yang berbeda, baik dari segi kerakteristik SDM, SDA dan sosiokultur yang ada di masyarakat. Dalam memberantas kemiskinan, pemerintah harus mengutamakan implementasi. Pemberdayaan program-program seperti PKH, BSM, dan PNPM dari Bappenas dapat menjadi acuan bagi Pemda untuk pengentasan kemiskinan. Pendekatan pengentasan kemiskinan didekati dengan pendekatan pemberdayaan, sehingga masyarakat berperan secara aktif dalam menanggulangi persoalan kemiskinan. Pemda Provinsi Aceh dan Kalimantan Tengah memiliki berbagai program. Pemda provinsi Aceh memiliki beberapa program antara lain Program JKA, program pendidikan, pembangunan rumah layak huni serta pemberatasan kemiskinan dari program nasional dengan cara pembagian ke daerah. Sementara itu, lembaga pemerintah di Kalimantan Tengah seperti Dinas Sosial melaksanakan program pemberdayaan sosial melalui KUBE dengan melalui Bimbingan Sosial atau Bantuan secara kelompok dalam bentuk uang tunai secara transfer tunai melalui Bank. Pada perkembangannya, sejak diluncurkannya otonomi daerah, Pemda secara konsisten masih mempertahankan Dinas Sosial sebagai lembaga yang berdiri sendiri untuk menangani di bidang sosial atau tidak digabung dengan urusan lain. 245
Upaya Pemerintah dan Kerja Sama Luar Negeri
Beragam pertemuan dan kerja sama yang telah dilaksanakan antara pemerintah negara Indonesia dan beberapa negara termasuk badan PBB bertujuan untuk mengurangi angka kemiskinan yang ekstrim. Kerja sama ini mengarah kepada agenda pembangunan pasca 2015 mendatang. Sementara itu, masalah degradasi lingkungan menjadi masalah penting bagi pembangunan berkelanjutan. Elemen dokumen Green Economy sebagai perangkat penting dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan diterapkan sesuai kebutuhan serta kondisi masingmasing negara. Dalam pelaksanaannya memerlukan pertukaran informasi, termasuk finansial, teknis dan teknologi. Melalui Green Economy, hal ini menjadi upaya negara-negara dunia untuk saling bekerja sama. Kerja sama global menjadi kunci dalam pengentasan kemiskinan di dunia. Salah satu kelemahan MDG’s adalah tidak efektifnya kerja sama global. Tanggungjawab tidak mungkin hanya diserahkan kepada negaranegara berkembang karena seharusnya seluruh negara harus terlibat untuk melaksanakan kerangka pembangunan baru. Kerja sama global sangat dibutuhkan untuk merealisasikan agenda pembangunan pasca 2015. Pasca MDGs, model pembangunan baru yaitu SDGs menjadi suatu pilihan untuk diadopsi. Kerja sama global menjadi salah satu kunci dalam pengadopsian tersebut dengan mengentaskan kemiskinan. Dengan perwujudan SDGs melalui kesepakatan Green Economy, semua bangsa harus mengentaskan kemiskinan dan melakukan transformasi ekonomi melalui pembangunan berkelanjutan.
246
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Laporan Ilmiah Bhagwati, Jagdish. 2004. “Poverty: Enhanced or Diminished?”, dalam In Defense of Globalization, Oxford: Oxford University Press, pp. 51-67.
Djajadiningrat, Surna Tjahja. Hardjolukito, Sutanto. 2013. “Demi Bumi, Demi Kita: Dari Pembangunan Berkelanjutan Menuju Ekonomi Hijau”. Jakarta: Media Indonesia Publishing. Elisabeth, A. 2009. “Peran Internasional Dalam Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia”. Jakarta: LIPI.
Mulyadi, Muhammad, 2011, “Kemiskinan: Identifikasi Penyebab dan Strategi Penanggulangannya”, Jakarta: Publica Institute. Nainggolan, Kaman Dr.Ir. 2008. “Melawan Kelaparan dan Kemiskinan Abad ke-21”. Bogor:Kekal Press.
Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. 2009. ”Krisis Ekonomi Global dan Tantangan Dlam Penanggulangan Kemiskinan”. Jakarta Shalendra D.Sharma. “The Promise of Monterrey, Meeting the Millenium Development Goals”, World Policy Journal 21, 3, Research Library 2004
Suharto,Ph.D, Edi, 2009, “Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial”, Bandung: PT Refika Aditama.
Wolf, Martin. 2005. “Incensed about Inequality”, dalam Why Globalization Works, New Haven: Yale Notabene. UN Department for Economic and Social Affairs. “Global Sustainable Development Report Building the Common Future We Want”. 2013 Surat kabar 1. “Kemiskinan Jadi Pekerjaan Rumah Terberat”. Kompas, 22 Mei 2013.
2. Australia Bantu Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia”. Kompas, 4 April 2013. 247
Upaya Pemerintah dan Kerja Sama Luar Negeri
Internet “Angka Kemiskinan Aceh Menurun”, http://atjehpost.com/meukat_ read/2013/07/03/57813/18/7/Angka-kemiskinan-Aceh-menurun186-Persen#sthash.bSNNqHWF.dpuf, diakses tanggal 22 Agustus 2013. “Bappenas: Pemerintah Komitmen Pangkas Kemiskinan”, http://ekbis. sindonews.com/read/2013/04/08/33/735655/bappenas-pemerintahkomitmen-pangkas-kemiskinan, diakses tanggal 30 September 2013.
”Kemiskinan Masih Menjadi Isu Dunia”, http://www.investor.co.id/home/ kemiskinan-masih-jadi-isu-dunia/62053, diakses tanggal 20 Agustus 2013. “Masalah Kemiskinan Pekerjaan Serius Pemerintah”, http://erabaru.net/ nasional/119-peristiwa/29014-masalah-kemiskinan-pekerjaan-seriuspemerintah-, diakses tanggal 13 Agustus 2013.
“Pemperov Aceh Fokus Turunkan Angka Kemiskinan dan Pengangguran”, http:// otda.kemendagri.go.id/index.php/categoryblog/743-pemperov-aceh-fokusturunkan-angka-kemiskinan-dan-pengangguran, diakses tanggal 26 Agustus 2013. “SBY Janji Kasih Insentif Bagi Industri Padat Karya”, http://ditpk.bappenas. go.id/?nav=3&m=content&s=berita&a=view&id=340, diakses tanggal 3 September 2013. “UN Special Adviser Issues Recommendations for SDGs”, http://post2015. iisd.org/news/un-special-adviser-issues-recommendations-for-sdgs/, diakses tanggal 1 November 2013. Informan 1. Ibu Wahyuningsih Darajat, BAPPENAS, di Jakarta, 8 Mei 2013.
2. Bpk Mahruzal, Sekretaris BAPPEDA Aceh, di Aceh, 13 Mei 2013. 3. Bpk.Hakim, BPS Aceh, di Banda Aceh, 15 Mei 2013.
4. Bpk dr. M. Yani, M.Kes, PKK, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, di Banda Aceh, 16 Mei 2013. 5. Bpk. Ilyas, Dinas Sosial Provinsi Aceh, di Banda Aceh, 15 Mei 2013.
6. Ibu Evi Syafrida, Kepala Bidang Sumber Data Kesehatan dan Kefarmasian, Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, di Banda Aceh, 16 Mei 2013.
7. Bpk Hassan, Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, di Banda Aceh, 16 Mei 2013. 248
Sita Hidriyah
8. Bpk dr. ADM. Tangkudung, M.Kes, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah, di Palangka Raya, 17 Juni 2013. 9. Ibu Nurliani, Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah, di Palangka Raya, 17 Juni 2013. 10. Ibu Lies Fatimah, Kepala UPT Bina Sosial Bina Remaja Dinas Sosial Kalimantan Tengah, di Palangka Raya, 20 Juni 2013.
11. Bpk Prasetyo, Kepala Seksi Rehabiitasi Tuna Sosial Dinas Sosial Kalimantan Tengah di Palangka Raya, 20 Juni 2013. 12. Bpk Sukarno, Kepala Seksi Pemberdayaan Keluarga dan Fakir Miskin Kalimantan Tengah, di Palangka Raya, 20 Juni 2013.
249
EPILOG
Masalah yang dihadapi suatu negara ketika harus menerapkan SDGs adalah penggunaan teknologi bersih lingkungan. Salah satu aspek yang harus ditangani adalah proses produksi yaitu mencegah terjadinya pencemaran dan mengurangi dampak terhadap lingkungan. Upaya pencegahan pencemaran, terutama pencemaran oleh industri, dapat dilakukan dengan menerapkan konsep produksi bersih baik pada proses produksi maupun pada produk yang dihasilkan. Konsep produksi bersih dihasilkan dari penjabaran lebih lanjut dari konsep pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan. Hal ini merupakan upaya perubahan pendekatan teknologi menjadi teknologi ramah lingkungan dalam produksi barang dan jasa pada suatu kegiatan pembangunan sehingga menjadi: 1. teknologi berlimbah rendah dan nir-limbah 2. upaya pengurangan limbah dalam proses industri 3. pencegahan pencemaran industri Hal ini berarti bahwa salah satu pencapaian dari konsep pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan akan sangat tergantung pada kemampuan untuk mengurangi dampak lingkungan akibat pemanfaatan sumber daya melalui perubahan pendekatan teknologi. Pertumbuhan yang kontinu dalam lingkungan yang serba terbatas dapat dicapai melalui kekuatan pengembangan teknologi dalam rangka mencapai sumber atau alternatif baru jika suatu sumber daya sudah terlihat menipis persediaannya. Hal tersebut dicapai melalui upaya-upaya daur ulang (recycle), minimisasi limbah, subtitusi bahan, perubahan proses-proses produksi, pengendalian pencemaran dan penggunaan sumber daya dengan lebih efisien. Pengembangan teknologi yang ramah lingkungan harus diikuti pula dengan pengetahuan terhadap siklus ekologi dari suatu jenis bahan (material) dan sesuai dengan sistem alami. Undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 11 Maret 1982, bertujuan mencegah kerusakan lingkungan, meningkatkan kualitas lingkungan hidup, dan menindak pelanggaran-pelanggaran yang menyebabkan rusaknya lingkungan. Upaya pengelolaan lingkungan melalui 251
undang-undang belumlah berarti bila tidak diikuti dengan kesadaran manusia tentang arti penting lingkungan dalam rangka untuk meningkatkan kualitas lingkungan, serta kesadaran bahwa lingkungan yang ada saat ini merupakan titipan dari generasi yang akan datang. Pada konsep ini, pemanfaatan sumber daya alam harus menjadi lebih efektif dan efisien dengan cara menerapkan proses re-use, recycle dan recovery yang diharapkan dapat meminimalkan jumlah limbah. Metode penggarapan dilaksanakan dengan pemilihan bahan mentah dan bahan baku, perbaikan proses produksi, persebaran produk, transportasi produk dan pengolahan limbah. Sedangkan rekayasa dapat berupa konsep produksi, rancangan pengelolaan limbah dan rancangan sistem industri. Strategi lainnya adalah berusaha meminimalkan limbah, yang kemudian dikenal dengan istilah waste minimization. Secara teknis, aspek ini menitik beratkan pengendalian lingkungan pada bagian hulunya bukan bagian hilir (the end-pipe technology). Hal ini dilandasi pada asumsi bahwa pemilihan bahan baku yang tepat (environmentally friendly), akan menghasilkan limbah yang seminimal mungkin, sehingga otomatis pengolahannya pun relatif akan lebih mudah dan ekonomis. Perkembangan ini kemudian menghasilkan pengklasifikasian produk-produk bahan baku industri yang bersahabat dan tidak bersahabat terhadap lingkungan. Pihak industri dihimbau untuk menggunakan bahan-bahan yang bersahabat lingkungan tersebut, dari pada harus memikirkan jenis teknologi canggih apa lagi yang harus digunakan untuk mengolah limbahnya agar memenuhi baku mutu yang ditetapkan. Usaha lain dalam mengurangi polusi adalah memanfaatkan energi baru terbarukan seperti tenaga matahari, air terjun dan lainnya. Tenaga panas matahari disimpan dalam sel-sel solar untuk kemudian dimanfaatkan dalam keperluan memasak, memanaskan ruangan, dan tenaga gerak. Tenaga matahari ini tidak menimbulkan polusi. Selain tenaga matahari, tenaga angin dapat pula digunakan sebagai sumber energi dengan menggunakan kincirkincir angin. Karena itu berbagai upaya dilakukan agar pencemaran terhadap tanah, air dan udara terus dilakukan agar tidak mengganggu kesehatan masyarakat sementara pembangunan terus berjalan. Upaya pelestarian tanah dan air dilakukan dengan mencegah terjadinya erosi di daerah pegunungan melalui pelestarian hutan dengan mencegah terjadinya deforestasi dan degradasi lahan. Pelestarian hutan ini juga penting mengingat jasa lingkungan yang dimiliki oleh sebuah kawasan hutan. Pelestarian terutama harus dilakukan terhadap hutan di sekitar sungai, danau, mata air, dan rawa. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan bukan untuk masa kini saja tetapi yang terpenting adalah mengelolanya secara berkelanjutan agar pemanfaatan 252
sumber daya alam dapat dilakukan secara berkelanjutan. Bukan hanya terhadap alam, manusia juga harus mengubah perilaku buruk selama ini dengan cara mengubah pola konsumsi dan produksi, membangun perumahan yang layak huni dengan perhatian pada aspek ekologi dan kesehatan, serta dengan pemberdayaan semua lapisan masyarakat termasuk kaum perempuan agar pembangunan berkelanjutan dapat dilaksanakan oleh semua dan dimanfaatkan oleh semua.
253
TENTANG PENULIS
Humphrey Wangke, adalah Peneliti Utama bidang Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPRRI sejak tahun 1 April 2013. Jenjang pendidikan S1 diselesaikan tahun 1987 dari FISIP Universitas Jember, jurusan Hubungan Internasional. Mulai menekuni isu lingkungan hidup sejak menyelesaikan studi S2 di Kajian Amerika UI tahun 1998. Saat ini sedang melanjutkan studi program doktoral pada Pusat Studi Ilmu Lingkungan (PSIL) UI. Publikasi yang dilakukan pada tahun 2012 dan 2013 antara lain: a. “Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan Pada PT Freeport Indponesia dan PT Newmont Nusa Tenggara”, dalam Humphrey Wangke (ed.), Upaya Peningkatan Kerja sama Indonesia-AS di Sektor Pertambangan (Studi di PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara), Penerbit Setjen DPRRI dan Azza Grafika, 2012. b. “Pengaturan Perdagangan Lintas batas Antar-Negara: Memacu Pembangunan Ekonomi Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Belu”, Jurnal Politica, edisi Mei 2013. Dapat dihubungi melalui email
[email protected]
Adirini Pujayanti, Dra, MSi, adalah Peneliti Madya bidang Masalah-masalah Hubungan Internasional di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Menyelesaikan studi S1 di Fisip Universitas Nasional tahun 1999. dan menyelesaikan S2 di Kajian Wilayah Amerika di Universitas Indonesia. Anggota tim penulis buku, diantaranya yaitu Pemanasan Global dan Perubahan Iklim, Jakarta: Sekertariat Jenderal DPR RI dan Azza Grafika 2009; Masalah Negara Kepulauan Di Era Globalisasi, Jakarta: Sekertariat Jenderal DPR RI dan Azza Grafika 2011; Masalah Penyelundupan dan Perdagangan Orang Di Indonesia, Jakarta; Sekertariat Jenderal DPR RI dan Azza Grafika, 2012; Potensi dan Masalah Pulau Perbatasan – Kabupaten Pulau Morotai dan Kabupaten Pulau Raja Ampat, Jakarta: Sekertariat Jenderal DPR RI dan Azza Grafika, 2012; Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Di Indonesia,Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI dan Azza Grafika, 2012. 254
Sita Hidriyah, S.Pd, M.Si adalah seorang peneliti muda bidang Hubungan Internasional di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR-RI sejak Februari 2010. Lahir di Surabaya, pada tanggal 18 Oktober 1982. Menyelesaikan kuliah pendidikan Sarjana pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Bahasa Inggris di Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta, lulus tahun 2005. Kemudian melanjutkan pendidikan Magister pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) jurusan Hubungan Internasional di Universitas Indonesia, Jakarta, lulus tahun 2008. Dina Martiany, S.H., M.Si., peneliti muda bidang Kesejahteraan Sosial pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jendral DPR RI. Menyelesaikan Magister Studi Kajian Wanita Universitas Indonesia tahun 2007. Minat professional isu-isu gender, anak dan keluarga dengan kekhususan politik, hukum, perempuan dan kebijakan publik.
Dinar Wahyuni, S.Sos., M.Si., peneliti muda bidang Kesejahteraan Sosial pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jendral DPR RI. Magister Sosiologi kekhususan Kebijakan dan Kesejahteraan Sosial Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2007. Sarjana Sosiatri Universitas Gadjah Mada tahun 2004. Minat professional dalam Studi Kemasyarakatan, isu-isu masalah sosial dan kebijakan sosial. Teddy Prasetiawan adalah seorang peneliti muda pada Tim Kesejahteraan Sosial di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jendral DPR RI dengan kepakaran bidang Kebijakan Lingkungan. Lahir di Rejang Lebong, pada 25 Maret 1980, dan menyelesaikan pendidikan sebagai Sarjana Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (2004), dan Magister Teknik Lingkungan di institusi yang sama (2008). Tulisan yang dihasilkan banyak mencermati permasalahan perubahan iklim dan sanitasi lingkungan.
Mohammad Teja, adalah peneliti muda pada bidang Kesejahteraan Sosial pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jendral DPR RI dengan kepakaran bidang Sosiologi. Lahir di Muara Enim, pada 21 Juli 1976, dan menyelesaikan pendidikan sebagai Sarjana Hubungan Internasional Universitas Jayabaya (2000), dan Magister Sosiologi Universitas Padjadjaran (2002). Tertarik terhadap masalah-masalah sosial terutama tentang kemiskinan, anak, kebencanaan, daerah tertinggal dan permasalahan sosial lainnya. Lisbet S.IP, M.Si, adalah peneliti muda bidang Hubungan Internasional di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR-RI sejak Februari 2010. Lahir di Jakarta, pada tanggal 31 Januari 1983. Menyelesaikan kuliah pendidikan Sarjana (Strata 1) pada Fakultas Ilmu 255
Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) jurusan Hubungan Internasional di Universitas Nasional, Jakarta, lulus tahun 2005. Kemudian melanjutkan pendidikan Magister (Strata 2) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) jurusan Hubungan Internasional di Universitas Indonesia, Jakarta, lulus tahun 2008. Peneliti tertarik pada semua isu hubungan internasional. Lukman Adam, adalah seorang peneliti Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI dengan kepakaran bidang Ilmu Kebijakan. Lahir di Jakarta, pada 3 Maret 1978, beliau menyelesaikan pendidikan Sarjana Sosial Ekonomi Perikanan di Institut Pertanian Bogor, kemudian dilanjutkan dengan menyelesaikan Pendidikan Magister Ekonomi Pertanian di Institut Pertanian Bogor.
256
INDEKS
A Acceptable, 119 Aceh, 6, 7, 8, 9, 11, 12, 13, 14, 16, 17, 18, 19, 20, 24, 28, 33, 34, 35, 36, 37, 42, 43, 44, 45, 46, 48, 49, 51, 53, 61, 64, 66, 67, 68, 71, 72, 74, 75, 77, 106, 121, 227, 231, 232, 233, 237, 238, 239, 245 Affordable, 115, 119 Afrika, 121, 124, 129, 139, 142 Afrika Selatan, 129 Agraria, 156, 157, 235 Air, 3, 4, 9, 11, 14, 17, 28, 36, 42, 43, 46, 57, 64, 65, 75, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 140, 145, 178, 181, 182, 183, 205, 215, 216, 217, 227, 243 Ali Tranghanda, 214 Amartya Sen, 142 Amerika Latin, 139 Andrew Belsey, 59 Apersi, 195 Armada, 89, 93, 107 Asia, 64, 75, 89, 124, 139, 146 Asia Tenggara, 64, 146 Australia, 47, 139, 241, 247 Awig-awig, 106
B
Backlog, 195, 222 Bagus, 65 Bali, 41, 89, 95, 109, 153, 182, 205, 226 Ban Ki Moon, 119
Bangladesh, 201 Barios, Venezuela, 201 Basti, Bangladesh, 201 Beddington, 103, 109 Beras, 140, 141, 146, 147, 148, 149, 151, 152, 154, 155, 158, 160, 164 Berkelanjutan, 3, 9, 23, 27, 28, 29, 30, 31, 33, 35, 36, 38, 39, 42, 44, 45, 46, 47, 58, 60, 61, 67, 70, 71, 72, 73, 77, 85, 86, 87, 88, 89, 91, 103, 105, 107, 109, 110, 117, 118, 119, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 133, 141, 143, 144, 145, 146, 150, 152, 157, 159, 160, 163, 165, 173, 179, 180, 183, 184, 185, 189, 196, 198, 226, 227, 235, 236, 241, 242, 243, 246 Bernard, 28, 52, 173 Bilateral, 226, 242 Biodiversity, 12, 33, 61, 63, 64, 71, 77, 80 Biofisik, 105, 173 Biofuel, 4, 9 Biomassa, 4, 9, 14, 87, 114 Biopiracy, 68, 69, 73, 77 Bioteknologi, 69, 78 Bobaneigo, 106 BPS, 140, 148, 155, 195, 197, 205, 222, 233, 237, 241, 248 BSM, 237, 245 Budidaya, 37, 74, 92 Bukit Sapat Hawung, 65 Bukit Tangling, 65 Bulog, 147, 148, 149
257
C Cenderawasih, 94, 95, 107 Cina, 40, 91, 92, 139 CITES, 66 Consumption, 142, 178, 179, 180, 181, 182, 184, 185, 191, 192
D
Daerah Istimewa Yogyakarta, 154 Deforestasi, 27, 28, 33, 36, 37, 38, 39, 40, 42, 43, 45, 47, 70, 252 Degradasi, 27, 30, 31, 40, 42, 43, 45, 47, 58, 59, 77, 78, 89, 120, 173, 181, 189, 226, 235, 243, 245, 246 Deklarasi, 120, 139, 234, 236 Demersal, 91, 96, 97, 98, 99, 100, 104, 107, 108 Deplesi, 33, 35, 77 Desa, 17, 67, 106, 118, 121, 131, 155, 205, 209, 235, 238, 240 Desentralisasi, 39, 41, 116, 208 Development, 6, 19, 20, 24, 29, 30, 31, 40, 42, 45, 51, 52, 60, 79, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 126, 127, 128, 133, 135, 136, 137, 141, 178, 180, 184, 185, 189, 191, 198, 199, 207, 208, 225, 226, 234, 236, 242, 243, 247 Dinas, 8, 13, 14, 15, 18, 20, 24, 34, 43, 62, 72, 74, 80, 81, 231, 238, 239, 240, 241, 245, 248, 249 Dublin, 117, 126, 135 Dushanbe, Tajikistan, 119
E
Ekologi, 3, 23, 28, 35, 42, 85, 87, 88, 89, 109, 140, 158, 159, 171, 173, 174, 178, Ekonomi, 3, 4, 6, 19, 27, 28, 29, 30, 31, 35, 36, 37, 38, 39, 41, 42, 43, 44, 45, 48, 58, 59, 60, 61, 63, 67, 70, 71, 72, 73, 74, 77, 79, 81, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 97, 98, 99, 104, 108, 109, 110, 112, 116, 119, 120, 126, 127, 128, 131,
140, 143, 145, 146, 149, 151, 156, 157, 160, 163, 169, 171, 173, 177, 178, 179, 181, 183, 187, 188, 189, 199, 201, 202, 203, 208, 221, 226, 228, 229, 233, 234, 235, 237, 239, 242, 246, 247 Ekonomi hijau, 70, 71, 72, 73, 77, 145, 163, 235, 242, 247 Ekonomi sosial, 27, 29, 31, 60, 67, 88, 145, 160 Ekosistem, 27, 28, 36, 44, 45, 57, 63, 64, 66, 75, 86, 87, 89, 103, 105, 108, 119, 154, 173, 175, 180, 181, 182, 189 Ekowisata, 36, 43, 71, 74, 75 Eksploitasi, 20, 27, 59, 60, 68, 70, 87, 98, 100, 104, 105, 157, 159, 169, 178, 180, 188, 189, 233, 235 Endriatmoko Soetarto, 156 Energy, 3, 14, 71 Eropa, 43, 45, 46, 52, 139, 233, 241 Etika, 57, 71, 79, 87, 88, 109, 179, 187, 191 Evaluasi, 27, 90, 94, 103, 104, 128, 133, 134, 195, 222
F
Favela, Brazil, 201 Flora, 28, 36, 46, 51, 65, 66, 73, 74, 80, 91
G
Gayo luwes, 43 Gender, 117, 118, 121, 122, 123, 126, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137 Geothermal, 9, 11, 14, 17, 23 Ghetto, USA, 201 Gizi, 141, 143, 144, 148, 152, 160, 163, 238, 239 Globalisasi, 142, 149, 159, 163, 164, 185, 227, 228, 229, 233, 235 Guatemala, 199 Gubernur, 37, 39, 44, 67, 71, 210, 240
258
H Harimau, Hayati, 12, 15, 28, 33, 35, 36, 37, 44, 46, 49, 57, 58, 59, 61, 63, 64, 65, 66, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 77, 78, 79, 80, 91, 103, 107, 145, 169, 181, 226, 243 HLP, 226, 236, 242, 243 Hutan, 12, 15, 16, 18, 27, 28, 33, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 57, 61, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 80, 86, 103, 106, 108, 181, 182, 227, 233
I
Ikan, 64, 65, 85, 86, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 110, 111, 112, 113, 114, 151 Illegal, 27, 28, 36, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 51, 52, 72, 85, 110 Impor, 73, 140, 141, 147, 148, 149, 151, 160, 165, 189 India, 29, 51, 60, 91, 92, 241 Indo-Pasifik, 64 Indonesia, 3, 4, 5, 6, 9, 10, 12, 13, 16, 17, 19, 20, 21, 23, 24, 27, 28, 36, 39, 40, 41, 45, 46, 47, 49, 51, 52, 53, 57, 58, 59, 61, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 77, 78, 79, 80, 81, 85, 86, 87, 88, 90, 91, 92, 93, 94, 96, 97, 103, 104, 107, 108, 109, 110, 111, 116, 118, 121, 129, 136, 137, 140, 141, 142, 143, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 155, 156, 160, 163, 164, 165, 169, 170, 177, 182, 183, 187, 188, 192, 195, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 205, 207, 208, 210, 211, 213, 214, 221, 222, 225, 226, 227, 231, 232, 233, 234, 235, 236, 237, 241, 242, 243, 245, 246, 247
Industri, 3, 4, 27, 28, 36, 43, 46, 65, 69, 73, 74, 78, 119, 140, 144, 147, 149, 154, 178, 181, 182, 185, 189, 217, 225, 228, 229, 248 Infrastruktur, 15, 16, 17, 21, 23, 31, 36, 44, 73, 126, 128, 152, 157, 158, 174, 209, 210, 237, 238 Inkosistensi, 70 IUCN, 66
J
Jagdish Bhagwati, 228 Jakarta Barat, 211 Jakarta Pusat, 211 Jakarta Selatan, 211 Jakarta Timur, 211 Jakarta Utara, 211
K
Kalimantan, 6, 8, 9, 14, 19, 20, 24, 28, 33, 34, 35, 37, 38, 39, 40, 42, 44, 45, 47, 48, 49, 51, 52, 53, 61, 64, 65, 67, 68, 70, 72, 74, 75, 77, 81, 227, 231, 232, 237, 240, 241, 245, 249 Kamboja, 91 Kampung Deret, 210, 211 Kampung Kumuh, Indonesia, 201 Karbon, 10, 19, 27, 28, 38, 43, 45, 46, 67 Katchi Abadi, Pakistan, 201 Kayu, 27, 28, 36, 38, 40, 44, 46, 64, 65, 68, 70, 71, 72, 106, 121 Keanekaragaman, 12, 28, 33, 35, 36, 37, 44, 46, 49, 57, 58, 59, 61, 63, 64, 65, 66, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 77, 78, 79, 80, 91, 103, 107, 145, 154, 180, 181, 226, 243 Kearifan Lokal, 72, 105, 106, 110, 150, 153, 154, 160 Kedelai, 141, 147, 148, 155, 165 KEL, 36, 45, 64, 66 Kelautan, 57, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 95, 96, 103, 105, 108, 109, 110, 111
259
Kemiskinan, 3, 24, 27, 30, 42, 45, 61, 89, 119, 120, 127, 129, 141, 151, 155, 157, 160, 161, 163, 178, 180, 181, 183, 208, 225, 226, 227, 228, 229, 231, 232, 233, 234, 235, 236, 237, 238, 239, 240, 241, 242, 243, 245, 246, 247, 248 Kepulauan Seribu, 89, 90, 109 Ketersediaan, 3, 63, 101, 105, 107, 115, 116, 117, 118, 119, 121, 122, 128, 133, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 147, 148, 149, 150, 153, 154, 158, 159, 170, 174, 179, 182, 212, 216, 217 Kolombia, 199 Komunitas, 29, 59, 87, 116, 117, 121, 123, 125, 127, 133, 240, 243 Konservasi, 10, 15, 16, 19, 24, 37, 63, 65, 66, 67, 68, 71, 72, 75, 80, 81, 85, 86, 87, 88, 89, 94, 103, 104, 108, 109, 110, 111, 128, 141, 159, 160 Konvensi, 66, 69 Koordinasi, 15, 18, 21, 39, 40, 46, 47, 49, 68, 71, 81, 116, 234, 239, 240 Kosmopolitanisme, 59 Krustasea, 91 KTT, 19, 235
L
Laos, 146 Laut Jawa, 94, 95, 96, 104, 107 Lemuru, 89, 109 Lesotho, 129 Limbah, 14, 182, 183, 184, 185, 187, 205, 215, 217 Lingkungan, 3, 10, 12, 15, 17, 23, 27, 29, 30, 31, 34, 37, 38, 40, 42, 43, 45, 46, 48, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 65, 66, 67, 69, 70, 71, 77, 78, 79, 81, 85, 86, 88, 89, 97, 99, 100, 105, 106, 107, 112, 115, 116, 120, 122, 126, 128, 129, 132, 136, 140, 141, 144, 145, 146, 147, 154, 157, 159, 160, 163,
169, 170, 171, 173, 179, 180, 181, 182, 187, 188, 189, 191, 203, 204, 205, 208, 216, 221, 225, 226, 235, 242, 243, 246 Lombok Barat, 106
174, 183, 196, 209, 231,
175, 185, 201, 210, 233,
178, 186, 202, 215, 234,
M
Malaysia, 67, 75, 140, 146 Maluku, 95, 106, 146, 235 Maluku Utara, 106 Mangrove, 86, 103, 108, 110 Martin Wolf, 229 MBR, 196, 199, 203, 204, 205, 211, 212, 213, 214, 216, 219 Miskin, 6, 27, 30, 31, 42, 43, 48, 120, 129, 132, 140, 147, 149, 155, 169, 170, 180, 198, 203, 207, 208, 227, 228, 229, 233, 234, 236, 237, 238, 240, 241, 242, 249 Moluska, 91 Mozambik, 139 Multilateral, 226, 242 Musyafak, 90, 109 Myanmar, 91
N
Nabire, 154 Nash, 187 Nelayan, 85, 87, 88, 89, 90, 92, 93, 94, 95, 103, 104, 105, 107, 108, 109, 112, 113 Nias, 121, 137 Norwegia, 65, 67 Nusa Tenggara Timur, 106, 110, 146, 153 Nusantara, 63, 73, 75, 80, 90, 109, 154 Nutrisi, 225, 242
O
Ocean, 65 Orang Utan, 64, 66, 67, 68, 75 Orde Baru, 41, 151
260
P Pamali, 106 Pangan, 46, 63, 64, 67, 105, 110, 119, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 163, 164, 165, 169, 170, 238, 243 Papua, 41, 146, 154, 235 Pararawan, 65 Partisipasi, 29, 30, 60, 68, 72, 75, 88, 117, 125, 127, 128, 131, 133, 145, 208, 210, 219 Pembangunan, 3, 4, 5, 6, 8, 14, 17, 18, 19, 20, 23, 24, 27, 28, 29, 30, 31, 33, 35, 36, 37, 38, 39, 42, 43, 45, 46, 47, 58, 60, 61, 63, 66, 67, 70, 71, 72, 75, 77, 79, 81, 87, 88, 104, 108, 115, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 126, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 139, 141, 142, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 152, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 163, 164, 167, 169, 170, 174, 178, 179, 180, 181, 183, 184, 185, 187, 189, 191, 192, 195, 196, 198, 199, 200, 202, 204, 205, 207, 208, 209, 211, 212, 213, 216, 217, 219, 221, 223, 225, 226, 227, 228, 231, 233, 235, 236, 237, 238, 241, 242, 243, 245, 246, 247 Penaeid, 91, 96 Penduduk, 3, 10, 27, 36, 57, 60, 61, 66, 77, 118, 121, 122, 133, 139, 140, 141, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 151, 154, 155, 159, 160, 169, 174, 182, 183, 195, 196, 197, 198, 203, 207, 225, 226, 227, 229, 233, 237, 238, 241, 243 Perempuan, 88, 116, 117, 118, 119, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 235 Perikanan, 46, 65, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 99, 100, 101,
103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 130 Pesisir, 72, 86, 103, 104, 105, 106, 108, 110 Physically accessible, 119 PKH, 237, 240, 245 PNPM, 71, 209, 237, 245 Political leverage, 65 Poverty, 42, 43, 51, 52, 228, 247
R
Rebeca Grynspan, 119 Resolusi, 115, 127 Riley Dunlap, 173 Rusunawa, 209, 210
S
Safe, 115, 119 Sampah, 10, 23, 29, 170, 182, 183, 185, 188, 192, 215 Samudera Pasifik, 94, 95, 96, 104, 107 Sari, 89, 90, 109, 153 Satria, 89, 109 Satwa, 12, 35, 36, 46, 63, 64, 66, 74, 75, 79, 153 Scherzer, 100, 110 SDA, 35, 57, 58, 70, 116, 128, 135, 226, 227, 235, 243, 245 Security, 127, 137, 142, 143, 164, 165 Shanty Town, 201 Shohibudin, 156, 157 Sinner, 100, 110 Skidrow, UK, 201 Soekarno, 150 Soesilo Bambang Yudhoyono, 58 Solo, 199 Sufficient, 119 Susilo Bambang Yudhoyono, 19, 225 Stockholm, Swedia, 127, 137 Sumatera, 17, 28, 35, 52, 61, 64, 66, 70, 94, 96, 104, 121, 182, 205 Sumatera Utara, 17, 66, 121 Suseno, 89, 109, 156, 163 Sustainable Development Goal’s, 198
261
Swasembada, 17, 46, 140, 141, 146, 147, 149, 151, 163, 164
T
Tapera, 213, 214 Terumbu karang, 64, 86, 103, 106, 108 Thailand, 140, 146
U
Uganda, 91, 129 Ulrich Beck, 181 Uruguay, 139
V Vietnam, 92, 146
W
Waropen, 154 Water resources, William Catton, 173, 174 Wisata, 65, 68, 75, 103
Y
Yusmanto, 103
262