22
Artikel Bandar Barus dalam Catatan Sejarah J. Fachruddin Daulay Staf Pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Sastra USU BARUS, kota kecil di pantai barat Sumatera Utara ini, pernah mashur ke seluruh dunia, sebagai bandar dagang yang mengekspor hasil kapur barus dan kemenyan berkualitas tinggi, yang sangat diminati pasar dunia. Barus ramai dikunjungi pedagang-pedagang berbagai bangsa, bahkan orang-orang Tamil dari India Selatan sampai menetap untuk berdagang. Tapi sekarang, Barus hampir terlupakan, nyaris seperti punahnya pohon kapur itu.
1. Pendahuluan Gerakan-gerakan kedatangan orang-orang India ke kawasan Asia Tenggara membawa serta agama dan kebudayaan Hindu, bermula sekitar awal tarikh Masehi. Yakni saat kekuatan kebudayaan Hindu merambat dan mempengaruhi hampir semua bangsa di dunia. Ketika itu India dan Cina adalah dua kekuatan besar di Asia yang telah memiliki peradaban yang kokoh dan sudah berkembang sejak ribuan tahun sebelumnya. Kebudayaan intelektual agama Hindu mempengaruhi kawasan Asia Tenggara yang sangat jauh tertinggal. Sedemikian kuatnya dominasi politik dan kebudayaan itu, Hall menegaskan barulah dengan kedatangan pengaruh kedua bangsa besar ini, India dan Cina, negeri-negeri di Asia Tenggara mulai berkembang dan mampu mencapai tingkat yang lebih tinggi (1987: 5). Di Indonesia, setelah perhubungan dagang dengan orang-orang India berlangsung selama beberapa abad masuklah pengaruh unsur-unsur budaya Hindu itu ke tengah-tengah budaya masyarakat Indonesia. Dengan masuknya pengaruh Hindu telah menimbulkan perubahan-perubahan besar dan sangat mendasar terhadap perkembangan budaya Indonesia. Terutama tampak dalam mengantarkan Indonesia memasuki jaman sejarah, yakni dengan ditemukannya keterangan-keterangan tertulis di Kutai (pedalaman Kalimantan Timur) dan juga di Jawa Barat (kerajaan Tarumanegara). Semua keterangan-keterangan tertulis itu dengan angka tahun 400-500 Masehi. Pada permulaan kegiatan perdagangan India dengan Asia Tenggara tak segera berhubungan langsung dengan Indonesia, tetapi tumbuh secara bertahap hingga permintaan barang-barang dari Asia Tenggara (Indonesia termasuk bagian dari kesatuan wilayah perdagangan Asia Tenggara) diminati pasar internasional. Perdagangan Asia Tenggara adalah bagian dari kegiatan perdagangan internasional India dengan Asia Barat yang telah berlangsung selama beberapa abad sebelumnya. Meskipun kontak luar negeri pertama Indonesia adalah dengan India, akan tetapi keterangan mengenai perdagangan Indonesia pada umumnya berasal dari Cina. Berita Cina paling awal tentang Jawa sudah ada pada abad ke-5, sedangkan tentang Sumatera dan kepulauan Maluku baru ditemukan pada abad ke-7. Kapur barus dan kemenyan sudah termasuk HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum)
barang yang diperdagangkan Cina dengan Sumatera sekurang-kurangnya mulai abad ke-7, dan pada waktuwaktu tertentu juga dicari oleh pedagang dari India dan Timur Tengah (Drakard, 2003: 17). Dalam abad itu, pedagang-pedagang Cina melalui Filipina, juga sudah sampai ke tempat penghasil rempah-rempah di kepulauan Maluku (Putuhena, 1980: 266). Oleh karena perdagangan adalah untuk memperoleh keuntungan, maka frekuensi kunjungan para pedagang pun ke Indonesia sangat tergantung perkembangan perdagangan itu sendiri di tempat-tempat tujuan perdagangan. Barus, kota kecil di pantai barat Sumatera Utara ini, punya catatan sejarah yang panjang. Pada jaman purba sudah termashur ke seluruh dunia sebagai tempat asal kapur barus dan kemenyan yang mutunya sangat tinggi, sehingga sangat dibutuhkan kalangan elite di Eropa dan Timur Tengah. Ptolomeus telah memasukkan Barus dalam buku ilmu buminya (160 Masehi). Lama sebelum bangsa-bangsa Eropa tiba, pedagang-pedagang Cina, India, dan Arab mencari kapur barus tersebut di pusat-pusat perdagangan Asia Tenggara, sebelum mereka berhasil mengunjungi langsung Barus. Dewasa ini Barus hampir terlupakan, sebab getah pohon yang wangi itu yang pernah membawa harum nama Barus, sudah lama punah. Dengan letak geografisnya di pesisir pantai, Barus bukan lagi sebuah pelabuhan, bahkan hasil tangkapan ikannya tak mampu membuat kehidupan ekonomi penduduknya lebih baik. Hasil pertanian dari Manduamas pun tak cukup untuk dipasarkan ke luar daerah. Objek wisata yang ada skalanya kecil, berupa kuburan-kuburan tua dan batu-batu nisan peninggalan Islam pertama dan Hindu di Makam Mahligai dan Lobu Tua. Di samping kuburan kuno Papan Tinggi, yang dipugar almarhum Adam Malik (mantan Wakil Presiden RI) semasa hayatnya, dengan membangun hampir 500 buah anak tangga untuk mencapai puncak di mana kuburan itu berada. Kemudian ada bekas kolam pemandian istana Sultan Putri Andam Dewi di Lobu Tua. Didorong untuk meraih ke-untungan dari hasil perdagangan kapur barus dan kemenyan menyebabkan orang-orang Tamil dari India Selatan telah datang dan bermukim di Barus. Berdasarkan batu bertulis Lobu Tua menunjukkan di Barus-lah ditemukan bukti tertulis paling tua tentang pengaruh J. Fachruddin Daulay Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
23
Artikel Hindu di Sumatera Utara. Melalui Barus, juga kerajaan Panei di Padang Lawas, masuk anasir-anasir budaya Hindu ke tengah-tengah budaya masyarakat tanah Batak. Terkadang Tapanuli disebut pula Tanah Batak, yang ditegaskan Castles untuk menunjukkan identitas etnisnya sebagai tempat tinggal sebagian besar orang Batak. Istilah tanah Batak (Battalanden) berasal dari Belanda dengan maksud untuk memberi batasan unit pemerintahan baru yang dibentuknya (2001: 2-3).
2. Barus Sebagai Bandar Perdagangan Untuk mengungkapkan sejarah Barus, terutama fungsinya sebagai kota pelabuhan dan perdagangan, bentuk dan sifat perdagangannya, hubungan per-dagangan luar negerinya, dan merupakan bandar tertua di Nusantara, diperlukan sumber-sumber tertulis, padahal sumber-sumbernya sangat langka. Drakard mengakui hal itu, bahwa keterangan tentang Barus barulah agak lengkap ditemukan setelah bangsa-bangsa Barat sampai di sana. Hingga abad ke-13, 14, dan 15, sumber sejarah termasuk mengenai kegiatan perdagangan di Barus masih langka (2003: 18).
2. 1 Penulisan Sejarah Akibat sumber-sumber sejarah yang langka, maka hampir tak ada penelitian tentang sejarah Barus, sehingga kita tak dapat mengetahui bagaimana unsurunsur dinamika masyarakatnya, sebab sejarah adalah menggambarkan proses perkembangan dan menjelaskan peristiwa bagaimana kita sampai kepada keadaan sekarang. Mengenai kurangnya perhatian terhadap penelitian sejarah kita, khususnya sejarah Barus, walaupun sangat tak memuaskan, tetapi sebenarnya tidak perlu terlalu dirisaukan, sebab keadaannya seolah-olah sudah terpola demikian, secara umum sama dengan yang terjadi di Asia Tenggara. Onghokham dalam Kata Pengantar buku Anthony Reid (1992: xiii) mengungkapkan dari seluruh sejarah Asia bahwa sejarah Asia Tenggara-lah yang paling tidak mendapat perhatian, bahkan boleh dibilang yang paling miskin penelitian sejarahnya dibandingkan dengan Asia Timur dan Asia Selatan. Di antara negara-negara Asia Tenggara, Indonesia masih lebih beruntung, karena agak kaya dengan karya-karya sejarahnya. Lebih jauh Onghokham mengakui ketakberdayaan sejarawan karena dianaktirikan di Indonesia termasuk di beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Oleh karena negarawan, politisi, dan juga cendekiawan, sejarah dianggap tidak relevan dan tidak dirasakan sebagai kebutuhan untuk mengenal dirinya, dan bahkan lebih aneh lagi mereka menolak untuk mengenal dirinya sendiri. Selama kaum pembuat kebijakan atau pembenar kekuasaan berpendapat sejarah hanya untuk melegitimasi dan membenarkan HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum)
ke-pentingan politik, maka para sejarawan akan tetap dianaktirikan di negaranya sendiri, sehingga suara mereka terpendam selamanya dan penelitian sejarahnya pun akan terus terbengkalai, jika tidak dilakukan oleh sejarawan sendiri. Keterangan paling tua mengenai Barus berasal dari abad ke-2 Masehi. Yaitu kitab ilmu bumi Geographike Hyphegesis karangan Ptolomeus (160 Masehi) sudah mencantumkan Barus, kemudian Pansur dan Lubuktua (= Lobu Tua). Ptolomeus tercatat sebagai pengarang Barat yang pertama menulis tentang Indonesia. Barus muncul dalam kitab yang ditulis Ptolomeus, sama sekali bukan dari hasil kunjungan langsung ke Indonesia, melainkan berdasarkan keterangan-keterangan mengenai hubungan dagang antara Mesir dan India, yang secara tidak langsung melibatkan Indonesia. Sarjana Yunani ini tinggal di Alexandria. Adapun Ptolomeus bukanlah satu-satunya pengarang Yunani atau Romawi yang pertama yang mempunyai sedikit pengetahuan mengenai Asia Tenggara. Pliny pun mempunyai catatan mengenai Timur Jauh dalam bukunya Natural Historiae, walupun keterangannya banyak salah (lihat Vlekke, 1967: 18-19). Pengarang Periplous di Lautan Hindia jelas telah melawat ke sebagian daerah Asia Selatan dan banyak mempelajari negeri-negeri yang terletak jauh di timur Ceylon, melalui saudagar-saudagar India. Laporan-nya digunakan oleh Ptolomeus yang mendapat keterangan lebih lanjut dari seorang awak kapal bernama Alexander, yang telah mengembara ke kawasan-kawasan sebelah timur Tanah Melayu. Ptolomeus menjelaskan perbedaan antara “Negeri Emas” dan “Negeri Perak”. Dalam kitab Ramayana disebutkan Yawadwipa dihiasi oleh tujuh buah negeri, Pulau Emas dan Perak, yang merupakan tempat-tempat paling jauh di dunia. Ptolomeus menyatakan, Negeri Emas dan Perak kedua-duanya terletak di benua Asia bagian tenggara. Tempat-tempat yang berdekatan dinamakan “Semenanjung Emas” di mana terdapat lima buah pulau Barousai, tiga buah pulau Sabadeibai, yang didiami oleh orang-orang yang memakan daging manusia, dan pulau Iabadiu yang berarti “Pulau Sekoi” (Yawadwipa dalam kitab Ramayana, menurut bahasa Sansekerta berarti “Pulau Sekoi”). Di pulau Iabadui terdapat sebuah kota bernama “Kota Perak”. Vlekke menegaskan bahwa Semenanjung Emas yang dimaksudkan adalah Semenanjung Tanah Melayu, sedangkan pulau-pulau yang disebutkan ialah gugusan kepulauan Indonesia. Berdasarkan keterangan yang diberikan Alexander kepada Ptolomeus, tanpa ragu-ragu menjelaskan bahwa pada kurun waktu abad pertama Masehi telah ada hubungan perdagangan antara India dan Indonesia.
J. Fachruddin Daulay Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
24
Artikel 2. 2 Perdagangan Kapur Barus Barus telah disebut-sebut Ptolomeus karena kedudukannya amat penting sebagai bandar internasional yang memperdagangkan dan mengekspor sejenis getah atau damar pohon yang wangi, yang dinamakan kamfer atau kapur barus (dryabanalops camphore), di samping damar kemenyan (styrax benzoin dryander). Kedua jenis komoditi ini nilainya sangat tinggi pada jaman purba dan hanya diperoleh di pelabuhan Barus. Ada keterangan yang menyebutkan kapur barus dari Indonesia pernah digunakan untuk pengawet mumi raja-raja Mesir purba. Dalam catatan Cina yang berdagang kapur barus dan kemenyan dari Sumatera pada abad ke-7 diketahui kapur barus dan Barus adalah yang paling murni sifatnya (Drakard, 2003: 17). Oleh karena mutunya yang tinggi itu, maka harganya jauh lebih mahal dari hasil kamfer negerinegeri lain. Siahaan yang mengutip Marco Polo menyebut harganya bahkan dibayar dengan emas sebanding beratnya (1964: 27). Marco Polo dalam perjalanan dari Cina ke Persia singgah di Aceh, karena kapalnya mengalami kerusakan dan terpaksa tinggal selama beberapa hari untuk memperbaikinya. Polo sedang mengantar seorang putri Mongol untuk Khan Persia yang permaisurinya meninggal. Dari laporan Belanda pada abad ke-17 diketahui bahwa pohon kapur barus dan perdu kemenyan tumbuh di daerah perbukitan yang terjal, ialah terletak antara tanah pantai yang datar dan dataran tinggi Toba. Dewasa ini pohon kapur tak tumbuh lagi, tidak diketahui apa yang menyebabkannya. Kecuali pohon keme-nyan masih tumbuh bertahan di beberapa tempat di Tapanuli Utara seperti di Parlilitan, Dolok Sanggul, Pangaribuan, Pahae, dan lain-lain. Walaupun tak pernah dibudidayakan, pohon kemenyan tumbuh secara alami, tetapi sumber penghasilannya tergolong primadona bagi income kabupaten ini. Sedikit penjelasan mengenai pohon kapur barus dikemukakan Sangti bahwa jenis pohon ini juga dijumpai di Kalimantan, Korea, dan Manchuria. Tetapi jenis pohon yang tumbuh di tempat-tempat lain itu berbeda dengan yang ada di Barus. Jenis pohon di Korea dan Manchuria itu dalam bahasa Latin dikenal sebagai cinnamomum camphore dari golongan lauraceae, sedangkan kayu kapur dari Barus termasuk golongan pohon meranti jenis diperocarpaciae (1977: 76-77). Perdagangan laut antara India, Cina, dan Indonesia mulai berlangsung dalam abad pertama sesudah Masehi. Ketika itu rempah-rempah, kayu wangi, kapur barus dan kemenyan dari Indonesia telah sampai di India dan kekaisaran Romawi (Burger, 1962: 15). Kapur barus dan kemenyan hampir dipastikan berasal dari Barus, sebab tak dijumpai
HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum)
daerah lain di Indonesia yang manghasilkan kedua jenis damar pohon tersebut. Keterangan Vlekke dan Burger di atas baru sebatas hubungan perdagangan antara India dan Indonesia serta jenis barang-barang yang diperdagangkan dari Indonesia pada abad-abad pertama Masehi. Namun hingga abad ke-7, saat perdagangan Cina sudah berlangsung dengan Sumatera, di mana orang-orang India dan Timur Tengah juga mencari kapur barus dan kemenyan dari Sumatera, belum memberi kesan bahwa mereka telah berkunjung sampai di Barus. Pada awal hubungan dengan India, kapur barus dan kemenyan merupakan hasil perdagangan terpenting Indonesia sudah sampai di India dan Eropa, tapi ternyata di India kedudukannya tak cukup penting, dan tampaknya memang sebagai barang perdagangan semata. Kitab-kitab India kuno termasuk yang memuat tentang pengobatan tak menyebut pemakaian kapur barus dan kemenyan sebagai bahan ramuan. Mengenai hasil-hasil perdagangan dari Indonesia, sebuah naskah kuno India hanya menyebut kayu gaharu dan kayu cendana yang berasal dari negeri asing. Kemudian kitab Raghuvamsa (kira-kira tahun 400 Masehi) memeriksa cengkeh (lavanga) yang banyak dicari pedagang India berasal dari dwipantara, yang maksudnya adalah kepulauan Indonesia. Orang-orang India yang ber-kedudukan sebagai pedagang perantara mengambil barang-barang hasil per-dagangan Asia Tenggara dan diangkut ke India. Selanjutnya pedagang-pedagang India dan Arab membawanya ke Timur Tengah dan Asia Barat untuk diteruskan ke Laut Tengah menuju Eropa. Perdagangan internasional India ditujukan ke Asia Barat termasuk Timur Tengah sudah berlangsung semenjak lama, dan mulai abad pertama Masehi Asia Tenggara menjadi bagian dari perdagangan internasional India, di mana Indonesia termasuk di dalamnya. Dari beberapa keterangan terdapat kesan bahwa orang-orang Asia Tenggara sudah ada yang tiba di India. Apakah orang-orang Indonesia sudah ikut serta di dalamnya, masih belum jelas, tetapi kemungkinannya besar sekali terutama mengingat nenek moyang Indonesia adalah pelaut-pelaut yang ulung. Barus tak terpisahkan dengan ekspor perdagangannya, kapur barus dan kemenyan. Daerahdaerah lain juga menjadi terkenal dengan hasil perdagangannya yang utama yang menandai ciri khas daerah bersangkutan. Seperti kepulauan Maluku misalnya dengan rempah-rempahnya, kepulauan Nusa Tenggara dengan kayu cendananya, atau predikat yang disandang Majapahit dan Mataram sebagai pengekspor beras. Jadi sejak abad ke-2 Masehi, setidak-tidaknya Barus sudah merupakan sebuah kota pantai, tempat mengumpulkan kapur barus dan J. Fachruddin Daulay Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
25
Artikel kemenyan, sekaligus sebagai pelabuhan yang membarternya. Dengan demikian Barus telah tumbuh dan berkembang menjadi pusat dan bandar perdagangan terkemuka di bagian barat Indonesia. Hingga saat itu belum tercatat adanya kota-kota pelabuhan lain di Indonesia berkedudukan sebagai pusat perdagangan. Artinya, Barus merupakan bandar perdagangan pertama dan yang tertua di Nusantara. Jika bukan karena Ptolomeus, lama sekali baru diperoleh keterangan mengenai Barus. Setelah keterangan Ptolomeus, keterangan mengenai Barus barulah ditemukan pada abad ke-7, berasal dari sumber Cina, itu pun tidak menyebutkan secara langsung nama Barus, kecuali perdagangan kapur barus dan kemenyan dari Sumatera, dalam kaitan ini tentulah yang dimaksudkan Barus. Sumber-sumber Arab menyusul pada abad ke-9. Ibn Chord Hadhbeh menyebut Balus (maksudnya Barus), tahun 846. Kemudian tahun 851, seorang Arab lainnya bernama Suleman menyebut Fansur dekat Barus (beberapa sumber menuliskan Barus mempersamakannya dengan Fansur, terkadang dieja dengan Pansur, atau Panchur). Ibn Bathutah ada pula mencatat Cakola (= Angkola), tahun 1345. Dari catatan-catatan Cina maupun Arab yang disebutkan, tetap menyisakan pertanyaan, apakah sampai abad ke-9 orang-orang Cina, Arab, dan India, benar-benar telah mengunjungi Barus, masih belum jelas. Kecuali sekitar abad ke-10 ada bukti yang memberikan kesan bahwa para pedagang dari Timur Tengah secara langsung telah mendatangi pantai barat Sumatera untuk mencari kapur barus dan kemenyan. Orang-orang Eropa berikutnya (kecuali Tome Pires) seperti Nicola Di Conti (1449), Advardus Barbosa (1516), De Barros (1563), dan Beaulieu (1622), pada umumnya meriwayatkan tanah Batak.
3. Orang-Orang Tamil di Barus Temuan arkeologi yang paling terkenal dari Barus ialah sebuah batu bertulis dari Lobu Tua (kirakira 12 kilometer dari Barus). Ditemukan oleh kontelir G.J.J. Deutz di Lobu Tua pada tahun 1872. Pada tahun 1932, K.A. Nilakanta Sastri, seorang guru besar ahli purbakala di Madras berhasil mener-jemahkannya. Batu bertulis dengan angka tahun 1088 itu menurut penafsiran Nilakanta Sastri berasal dari sebuah serikat dagang orang-orang Tamil berjumlah 1.500 orang yang tinggal menetap di Barus untuk berdagang. Mereka bermukim di Barus dan Kalasan, yang menyebut daerah ini dengan Kalasapura. Ini memberi kesan bahwa mereka telah membentuk perkampungan sendiri. Seperti lazimnya terjadi di kota-kota pusat perdagangan, para saudagar asing hidup berkelompokkelompok membentuk perkampungan-perkampungan menurut daerah asal atau bangsanya. Pada umumnya tempat tinggal mereka demikian terpisah dari permukiman penduduk setempat. HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum)
Perdagangan mengandung unsur persaingan untuk meraih keuntungan. Orang-orang Tamil datang ke Barus bertujuan untuk berdagang, maka guna mencegah dan menghindarkan persaingan di antara sesama mereka dalam perdagangan kapur barus dan kemenyan, mereka membentuk kesatuan di kalangannya sendiri, yaitu perkumpulan berbentuk korporasi atau semacam “merchant guild”. Drakard memperkirakan orang-orang Tamil sudah mulai tiba di Barus lebih dini dari angka tahun batu bertulis Lobu Tua, yakni sejak abad ke-8 atau ke-9 dan berdiam sampai paruh pertama abad ke-12 (2003: 17). Mereka berasal dari daerah-daerah di India Selatan seperti Cola, Pandya, Malayalam, dan lain-lain. Menurut hasil penyelidikan Nilakanta Sastri, batu bertulis Lobu Tua sejaman dengan pemerintahan raja Cola, Kulottunga I yang menguasai wilayah Tamil di India Selatan. Pada waktu terjalin persahabatan kerajaan Cola dan Sriwijaya banyak orang-orang Tamil menetap di Barus. Ketika itu Barus berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Sebelum hubungan baik itu, Cola menyerang Sriwijaya (1024), tetapi tidak berhasil menaklukkannya. Memang saat itu India Selatan punya hubungan erat dengan kepulauan Nusantara dan cukup berpengaruh dalam bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan. Sewaktu batu bertulis Lobu Tua dibuat, di India terdapat berbagai perkumpulan dagang orangorang Tamil, salah satunya yang menetap di Barus ialah perkumpulan bernama “Mupakat 500”. Perkumpulan dagang ini sangat kuat organisasinya dan berdiri sendiri serta tidak tunduk secara politis kepada seseorang raja mana pun, sehingga mereka diterima dengan tangan terbuka di negeri-negeri yang dikunjunginya. Perkumpulan dagang ini pun mempunyai pasukan tentara bayaran sendiri yang bertugas menjaga barang-barang terutama sewaktu transit dari satu tempat ke tempat lain. Keterangan batu bertulis Lobu Tua sangatlah penting artinya karena merupakan bukti yang menunjukkan bahwa orang-orang Tamil dalam kegiatan perdagangannya sudah tiba di Sumatera, bahkan sudah ada perkampungan mereka di Barus. Di antara para pedagang terdapat juga seniman yang memahat batu bertulis tersebut. Dengan demikian, selain orang-orang Tamil yang menetap di Barus, yang sudah barang tentu tercatat sebagai pedagangpedagang India, maka pedagang asing lain yang sudah mengunjungi langsung Barus ialah saudagar-saudagar asal Timur Tengah (abad ke-10). Melalui kontak orang-orang Tamil di Barus dengan orang-orang Batak di pedalaman, dan setelah terputus hubungan orang-orang Tamil dengan tanah leluhurnya (India Selatan), juga termasuk melalui kerajaan Panei di Padang Lawas, tersebarlah pengasuh unsur-unsur budaya Hindu ke tengah-tengah budaya orang-orang Batak. Di antaranya adalah aksara Batak, J. Fachruddin Daulay Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
26
Artikel pengetahuan astrologi, sejumlah kata-kata Sansekerta, pertanian irigasi termasuk beberapa alat pertanian, pertenunan dan kesenian, permainan catur, beberapa konsep dan praktek keagamaan, sebagian marga Sembiring, upacara kurban dalam hubungan pertanian, organisasi masyarakat dalam klen-klen berkaitan dengan totemisme, adat perkawinan eksogami, dan lain-lain (Neumann, 1972: 25-27; Sangti, 1977: 85; Castles, 2001: 5; Siahaan, 1964: 23, 27). Perkataan marga (klen) sendiri dalam istilah bahasa Batak berasal dari bahasa Sansekerta, “varga”. Mengenai dari mana masuknya orang-orang Tamil hingga sampai di Barus, masih belum dapat diketahui dengan jelas. Dalam Kronik Hulu (Asal Keturunan Raja Barus) dikisahkan di Lobu Tua, Guru Marsakot (salah seorang dari dua putera Raja Alang Pardoksi, pendiri garis keturunan baru di Barus) berjumpa dengan orang Tamil dan Hindu yang terdampar kapalnya. Kemudian Guru Marsakot dijadikan raja mereka (Drakard, 2003: 28). Menurut keterangan ini diperkirakan orang-orang Tamil tiba di Barus dengan menyusuri pantai barat Sumatera, bukan melalui jalan darat.
4. Sifat dan Bentuk Perdagangan Hingga abad ke-13 sampai abad ke-15 keterangan mengenai perdagangan di daerah Barus masih langka, meskipun terdapat acuan yang menunjukkan ada juga pedagang-pedagang asing yang mengun-jungi pelabuhan-pelabuhan pesisir barat Sumatera. Dalam dokumen Geniza dikisahkan bahwa pada abad ke-13 ada seorang pedagang Yahudi asal Kairo yang melakukan perjalanan ke Fansur lewat India, dan meninggal di sana. Perkembangan dalam dunia pelayaran abadabad berikutnya, di samping perdagangan semakin maju, telah membawa pedagang-pedagang asing tiba di Barus. Pada awal abad ke-16 pelawat Portugis, Tome Pires berkunjung ke Barus mengisahkan Barus sebagai pelabuhan yang ramai dan makmur. Di sana berkumpul pedagang-pedagang bangsa Parsi, Arab, Bengali, Keling, dan lain-lain. Keterangan bagaimana kapur barus dan kemenyan diperdagangkan dan diekspor dari Barus barulah lebih lengkap diperoleh setelah kedatangan orang-orang Barat, khususnya bangsa Belanda lewat VOC-nya yang berdagang di sana sejak abad ke-17. Dari laporan Belanda abad ke-17 diketahui bahwa getah pohon kapur barus dan kemenyan dipungut di daerah terjal dataran tinggi Toba oleh berbagai kelompok Batak dan diangkut ke tepi laut, adakalanya dengan melalui beberapa daerah lain (Drakard, 2003: 21). Orang-orang Batak di pedalaman menjualnya kepada pedagang-pedagang yang datang ke Barus untuk membelinya, yaitu orang-orang India, Cina, Melayu, dan Jawa (Siahaan, 1964: 27). Kapur barus dan kemenyan ditukarkan dengan barang-barang HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum)
kebutuhan mereka seperti kain, besi, dan garam. Pada waktu yang relatif belum lama, beberapa daerah Batak membawa persembahan simbolis berupa kuda ke Barus, sebagai gantinya mereka menerima berkah (Castles, 2001: 5; Drakard 2003: 21). Pada awal abad ke-16 bentuk kegiatan perdagangan dikemukakan Tome Pires, bahwa barang-barang dagangan dikumpulkan kerajaankerajaan untuk diperdagangkan kepada orang-orang Gujarat yang datang setiap tahun dan melakukan perdagangan yang ramai. Pires mengungkapkan, orang-orang Keling yang lebih menguasai perdagangan Malaka, mereka juga mengangkut kapur barus dari Pansur, yang letaknya di daerah baratdaya dan pulau Sumatera (1977: 52). Orang Batak yang disebut-sebut sebagai pemungut kapur barus dan kemenyan dahulu kala, menurut Sangti, mereka adalah orang-orang Pakpak, yang mengumpulkan dan mengangkut hasil kapur barus sampai ke Lamuri (Aceh) untuk diperjualbelikan dengan barang-barang dari luar negeri. Diperkirakan Lobu Tua merupakan pusat puak Pakpak yang menjadi pribumi asli penghasil kapur barus dan kemenyan yang pertama sekali di kawasan tersebut. Lobu Tua hampir sama tuanya dengan bandar Barus maupun Fansur (1977: 103). Drakard menguatkan, raja-raja Barus, raja di Hulu dan raja di Hilir (sebelum ditetapkan oleh wakil VOC hanya satu orang raja Barus yang resmi, menjabat secara bergiliran sejak tahun 1693) masing-masing mempunyai daerahdaerah pengaruhnya sendiri di pedalaman. Raja di Hulu mempunyai hubungan khusus dengan orangorang Batak-Dairi yang memungut kapur barus di pedalaman Barus baratlaut, sedangkan raja di Hilir mempunyai pengaruh terbesar atas orang-orang Batak di Pasaribu dan Silindung yang memungut kemenyan di perbukitan di Barus timurlaut serta di pedalaman Sorkam dan Korlang (2003: 22-23). Sejak dahulu Barus lebih komunikatif dan terbuka dengan Pakpak, terus ke Aceh melalui Lipatkajang dan Singkil. Dalam hubungan komunitasnya pun demikian, setelah dengan puak Pakpak adalah Minangkabau (dari Tarusan), dan orang-orang Aceh pesisir barat. Mengenai daerah pedalaman Batak, Siahaan mengemukakan bahwa daerah pesisir Tapanuli dan Sumatera Timur, juga Singkil dan Air Bangis dari jaman ke jaman sudah dikunjungi pedagang-pedagang Nusantara maupun bangsa-bangsa asing, tetapi daerah pedalaman Tapanuli yang merupakan dataran tinggi yang sukar dimasuki, menyebabkannya tetap berada dalam “spelendid isolation” (1964: 114). Memperhatikan berbagai kete-rangan dengan jelas dapat dikemukakan bahwa sifat perdagangan bandar Barus sama halnya seperti kota-kota pelabuhan atau pusat-pusat perdagangan lainnya di Nusantara pada jaman kuno, bahkan di Asia pada umumnya. J. Fachruddin Daulay Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
27
Artikel Para penguasa pribumi (dalam konteks ini raja-raja Barus) sebagai penguasa pemerintah, juga adalah penguasa perdagangan. Mereka berkedudukan sebagai pedagang perantara kapur barus dan kemenyan yang dikumpulkan oleh orang-orang Batak dari pedalaman, kemudian memperdagangkannya kepada para pedagang asing. Meskipun di antara raja di Hulu dan raja di Hilir terpendam perasaan cemburu mengenai rejeki hasil perdagangan, tetapi itu tidak menyebabkan pecahnya peperangan.
5. Kemunduran Bandar Barus Pada abad ke-16 perdagangan Barus mulai terganggu akibat ekspansi Aceh ke pesisir timur dan barat Sumatera. Selama periode ini perdagangan luar negeri Barus lebih tertuju dengan pedagang-pedagang Islam dari India dan Timur Tengah. Orang-orang Inggris dan Belanda sekalipun tak berkutik terhadap hegemoni Aceh. Ketika mereka ingin mengunjungi pelabuhan-pelabuhan pesisir barat pada awal abad ke17, mereka harus mendapat izin Aceh. Pada umumnya raja-raja pesisir barat tidak senang atas kekuasaan Aceh di kawasan ini. Terutama ditempatkannya wakil-wakil Aceh untuk mengamatamati gerak-gerik mereka dan pihak militer Aceh adakalanya melakukan tindakan kekerasan dengan alasan penertiban keamanan. Pada tahun 1668 mereka bergabung dengan meminta bantuan VOC untuk mengusir Aceh guna memperoleh daerah-daerah pesisir barat kembali ke tangan Minangkabau. Namun VOC memanfaatkan situasi ini untuk menanamkan monopolinya atas ekspor lada daerah ini yang menguntungkan. Sejak itu VOC pun terlibat secara politis dengan kerajaan-kerajaan pesisir barat Sumatera, sehingga di Barus ditempatkan pegawaipegawai VOC. Menghadapi persaingan dagang Inggris dan penyelundup Aceh di pantai baratlaut ini selama abad ke-18, VOC semakin memperkeras monopolinya di Barus. Akibat sistem monopoli VOC, maka Barus mengalami kemunduran sebagai pusat perdagangan, sebaliknya pusat-pusat perdagangan yang lebih kecil memperoleh kemajuan. Dengan demikian sistem monopoli VOC telah meng-hancurkan perdagangan Barus, sehingga para pedagang meninggalkannya, dan mengalihkan kegiatan perdagangan ke tempat-tempat lain. Faktor lain penyebab Barus semakin tidak penting adalah Singkil dijadikan pusat pemerintahan administratif regional dan kemajuan pelayanan modern, ditambah lenyapnya kekuasaan dan wewenang raja-rajanya. Setelah Barus dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda, maka berdasarkan sistem pemerintahan kolonial yang dijalankan, maka dengan kedudukan Barus sebagai sebuah onderafdeeling, raja di Hulu dan raja di Hilir daerahnya hanya setingkat kuria, dan HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum)
mereka pun menjabat kepala kuria (kepala distrik), sebagai pegawai negeri Belanda yang memperoleh gaji.
6. Penutup Barus sebagai pusat perdagangan kapur barus dan kemenyan sejak jaman purba ramai dikunjungi para pedagang, termasuk pedagang asing seperti Cina, India, Arab, dan lain-lain. Raja-raja Barus menjadi penguasa perdagangan dan berkedudukan sebagai pedagang perantara dengan para pedagang asing. Orang-orang Batak mengumpulkan kapur barus dan kemenyan di pedalaman, kemudian mengangkutnya ke pantai. Meskipun antara kedua raja di Barus terdapat persaingan, tetapi sifatnya terselubung, sehingga perdagangan tak pernah terganggu, sebab mereka mempunyai daerah pengaruh masing-masing penghasil kapur barus dan kemenyan di pedalaman. Kemunduran Barus sebagai pusat perdagangan terjadi secara bertahap, berawal ekspansi Aceh ke wilayah pesisir barat Sumatera, menyusul monopoli VOC dan lenyapnya wewenang dan kedudukan raja-rajanya.
Daftar Pustaka Burger, D.H.; Prajudi Atmosudirdjo, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, jilid I, Jakarta: Pradnya Paramita, 1962. Castles, Lance, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera : Tapanuli 1918-1940, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2001. Drakard, Jane, Sejarah Raja-Raja Barus: Dua Naskah dari Barus, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. Hall, D.G.E., Sejarah Asia Tenggara, Kuala Lumpur; Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, 1987. Harahap, E. St., Perihal Bangsa Batak, Jakarta: Dep. PP. dan K., 1960. Loeb, Edwin M., Sumatera Its History and People, Kuala Lumpur: Oxford University Press / Oxford in Asia Paperbacks, 1981. Neumann, J.H., Sejarah Batak Karo Sebuah Sumbangan, Jakarta: Bhratara, 1972. Pires, Tome, “Tentang Malaka”, dalam Sartono Kartodirdjo, ed., Masyarakat Kuno & Kelompok-kelompok Sosial, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1977. Putuhena, M. Saleh A., “Sejarah Agama Islam di Ternate”, dalam Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, Jakarta: Bhratara, no. 3, jilid VIII, 1980. Reid, Anthony, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, terj. Mochtar Pabotinggi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992. Sangti, Batara, Sejarah Batak, Balige: Karl Sianipar Company, 1977. J. Fachruddin Daulay Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
28
Artikel Siahaan, N., Sejarah Kebudayaan Batak, Medan: CV Napitupulu & Sons, 1964. Vlekke, Bernard H.M., Nusantara (Sejarah Indonesia), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, 1967.
HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum)
J. Fachruddin Daulay Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005