16
PENGARUH PEMBERIAN AMELIORAN PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI LAHAN GAMBUT PROVINSI JAMBI TERHADAP EMISI CO2
EFFECT OF AMELIORANT APPLICATION ON CO2 EMISSION FROM PEATLAND UNDER OIL PALM PLANTATION IN JAMBI Terry Ayu Adriany1, A. Wihardjaka1, Prihasto Setyanto1, Salwati2 1
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Jl. Jakenan-Jaken Km. 5 Jakenan, Pati 59182
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi. Jl. Samarinda Paal Lima Kotabaru Jambi
Abstrak. Pemberian amelioran di lahan gambut diharapkan dapat menekan emisi GRK dan memperbaiki produktivitas tanah gambut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian amelioran terhadap emisi CO2 pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut di Provinsi Jambi. Penelitian dilakukan di Arang-arang, Kecamatan Kumpeh Hulu, Kabupaten Muara Jambi, Provinsi Jambi pada bulan Juli 2013 sampai Juni 2014. Lokasi penelitian merupakan perkebunan rakyat yang ditanami tanaman kelapa sawit dengan jarak tanam 9 m x 7 m dan umur tanaman 6 - 7 tahun. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan amelioran yang diterapkan adalah (1) pemberian pupuk dasar (kontrol), (2) pupuk gambut, (3) tandan kosong kelapa sawit, dan (4) pupuk kandang. Pengambilan contoh gas CO2 dilakukan dengan metode sungkup tertutup setiap bulan sekali. Parameter yang diamati adalah fluks CO2, suhu dan headspace dalam sungkup. Hasil penelitian menunjukkan pemberian bahan amelioran pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut di piringan tanaman kelapa sawit memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan emisi CO2. Emisi CO2 tertinggi sampai terendah yang dihasilkan di piringan tanaman terturut-turut yaitu kontrol (24,56 ton ha-1 tahun-1), pupuk gambut (22,51 ton ha-1 tahun-1), pupuk kandang (17,58 ton ha-1 tahun-1), dan tandan kosong kelapa sawit (15,12 ton ha-1 tahun-1). Pengaruh pemberian bahan amelioran di antara tanaman kelapa sawit tidak nyata menurunkan emisi CO2. Pemberian amelioran dapat digunakan sebagai usaha peningkatan produktivitas tanah gambut dan dapat sebagai upaya mitigasi emisi CO2 pada perakaran tanaman kelapa sawit. Kata kunci: Emisi CO2, amelioran, lahan gambut, kelapa sawit. Abstract. Ameliorant application on peatland is aimed to reduce greenhouse gases (GHGs) emissions and to improve peat productivity. The purpose of this study was to determine the effect of ameliorant application on CO2 emissions in peatland planted of oil palm at Jambi province. The experiment was conducted at Arang-arang, Kumpeh Hulu Sub-District, Muara Jambi District, Jambi Province in July 2013 to June 2014. The experiment used farmer's oil palm plantations which be planted with a
225
Terry Ayu Adriany et al.
spacing of 9 m x 7 m and plant age 6 - 7 years. The experiment used a randomized block design (RBD) with 4 treatments and 4 replications. The treatments were (1) base fertilizer application (control), (2) peat fertilizer (pugam), (3) and oil palm empty fruit bunches (tankos) (4) farmyard manure (pukan). Gas samples were taken using closed chamber technique every month in the morning and afternoon. Parameters observed were CO2 flux, temperature and headspace in the chamber. The results showed that ameliorant application on oil palm plantations in peatland significantly reduce CO2 emissions. CO2 emissions sequence from the highest to the lowest around the palm were for base fertilizer application (24.56 ton ha-1 year-1), pugam (22.51 ton ha-1 year-1), pukan (17.58 ton ha-1 year-1), and tankos (15.12 ton ha-1 year-1). However, ameliorant application on area between oil palms was not significantly decreased CO2 emissions. Ameliorant application could be used to increase soil productivity and to reduce CO2 emissions on peatlands. Keywords: CO2 emissions, ameliorant, peatland, oil palm.
PENDAHULUAN Keterbatasan lahan produktif, peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kebutuhan pangan mendorong pemanfaatan lahan marjinal sebagai perluasan areal pertanian. Lahan gambut merupakan salah satu lahan marjinal yang memiliki potensi untuk perluasan lahan pertanian (ekstensifikasi). Luas lahan gambut di Indonesia yaitu 14,9 juta hektar (Ritung et al., 2011). Pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan pertanian memiliki dilema yang harus dihadapi. Kebutuhan akan pangan, pengembangan bioindustri dan pengembangan ekonomi menyebabkan pembukaan lahan gambut. Di sisi lain pembukaan dan pengolahan lahan gambut tanpa memperhatikan aspek lingkungan dapat memberikan ancaman lebih besar terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) dari lahan tersebut. Lahan gambut pada kondisi alami merupakan penyimpan (sink) karbon yang stabil dengan laju dekomposisi yang menghasilkan GRK relatif seimbang dengan penyerapan oleh vegetasi alami dalam bentuk CO2. Apabila kondisi alami pada lahan gambut terganggu akan mempercepat proses dekomposisi, sehingga karbon yang tersimpan tersebut teremisi membentuk gas rumah kaca (GRK) terutama CO2. Emisi GRK yang berhubungan dengan alih fungsi lahan dan pengelolaan lahan gambut mendekati 50% dari emisi nasional Indonesia (Hooijer et al., 2006). Tanah gambut merupakan penyumbang emisi CO 2 yang tinggi (Langeveld et al., 1997). Perkebunan kelapa sawit diyakini dapat meningkatkan emisi GRK dengan tingkat emisi tertinggi di antara tanaman perkebunan lainnya. Hasil penelitian Marwanto dan Agus (2014) menunjukkan bahwa emisi CO2 di lahan gambut dengan vegetasi tanaman kelapa sawit di Jambi dengan menggunakan Infrared Gas Analyzer (IRGA) adalah 46 ± 30 ton ha-1 tahun-1. Oleh karena itu, diperlukan upaya mitigasi GRK di lahan gambut
226
Pengaruh Pemberian Amelioran pada Perkebunan Kelapa Sawit
untuk menekan emisi GRK yang dapat menelan laju pemanasan global. Salah satu upaya mitigasi GRK di lahan gambut adalah dengan pemberian bahan amelioran. Bahan amelioran merupakan bahan yang dapat ditambahkan ke dalam tanah sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah melalui perbaikan kondisi fisik, kimia tanah, dan biologi tanah. Pemberian amelioran pada tanah gambut digunakan untuk menekan tingginya kemasaman tanah dan rendahnya kesuburan tanah untuk meningkatkan produktivitas lahan gambut (Barchia, 2006). Beberapa jenis amelioran yang dapat menekan emisi GRK di lahan gambut adalah pupuk gambut (pugam), pupuk kandang (pukan), hasil kompos tandan kosong kelapa sawit (tankos), tanah mineral, dan dolomit. Beberapa bahan amelioran mengandung kation polivalen seperti Fe3+, Cu2+, Al3+, Zn2+, dan Mg2+ yang dapat mengkhelat asam organik dalam tanah gambut, sehingga laju dekomposisi gambut dikurangi dan pelepasan gas rumah kaca dapat ditekan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian beberapa bahan amelioran terhadap penurunan emisi CO2 pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut di Provinsi Jambi.
BAHAN DAN METODE Deskripsi Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di Desa Arang-arang Kecamatan Kumpeh Hulu, Kabupaten Muara Jambi, Provinsi Jambi pada bulan Juli 2013 sampai Juni 2014. Lokasi penelitian terletak pada titik kordinat S 01o40’55,1” dan E 103o49’07.3” yang merupakan perkebunan rakyat kelapa sawit sejak tahun 2005 dan berasal dari konversi hutan gambut sekunder menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Total luasan petak percobaan yang diperlakukan amelioran adalah 2,4 ha. Gambut di lokasi penelitian mempunyai ketebalan gambut ± 2,24 m dengan tipe kematangan gambut saprik. Tanaman kelapa sawit yang digunakan dalam penelitian berumur 6 - 7 tahun dengan jarak tanam 9 m x 7 m. Di antara tanaman kelapa sawit dilakukan penanaman nenas pada bulan Sepetember 2013 dengan jarak tanam 1,5 m x 1,75 m. Rancangan Percobaan dan Perlakuan Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan empat perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan amelioran terdiri atas kontrol, pupuk gambut (pugam), tandan kosong kelapa sawit (tankos) yang dikomposkan, dan pupuk kandang ayam (pukan). Pemberian amelioran dilakukan dua kali yaitu tanggal 25 Juli 2013 dan 21-30 Januari 2014. Dosis pemberian amelioran dan pupuk pada lahan kelapa sawit disajikan pada Tabel 1.
227
Terry Ayu Adriany et al.
Tabel 1. Dosis amelioran dan pupuk yang digunakan dalam penelitian. Dosis pemberian amelioran dan pupuk (kg pohon -1) Perlakuan
Pemberian I (25 Juli 2013)
Amelioran Kontrol Pupuk gambut (pugam) Pupuk kandang (pukan) Tandan kosong kelapa sawit (tankos) Pupuk Dasar Urea SP36 KCl Kieserit (MgSO4.H2O) Pupuk Mikro CuSO4 ZnSO4 Borax (Na2B4O7.10H2O)
Pemberian II (25-30 Januari 2014)
5 10
3 6
15
9
2 2 2.5 1.2
2 2 2.5 -
0.15 0.15 0.30
-
Keterangan: Semua perlakuan diberi pupuk dasar SP-36 kecuali perlakuan pupuk gambut (pugam).
Pengukuran Gas Rumah Kaca (GRK) Secara garis besar pengukuran GRK (CO 2) terdiri atas dua tahapan, yaitu pengambilan contoh gas. Contoh gas dianalisis menggunakan Portabel Mikro GC Varian CP-4900. Contoh gas diambil dengan metode sungkup tertutup (close chamber technique) yang diadopsi dari IAEA (1993). Contoh gas diambil setiap bulan sekali pada pagi hari (jam 06.00-09.00 WIB) dan siang hari (12.00-15.00 WIB) dengan interval pengambilan contoh (3, 6, 9, 12, 15, 18, 21 menit). Sebelum peletakan sungkup, penampang sungkup diletakkan secara permanen di lokasi yang akan diambil contoh gasnya. Sungkup yang digunakan berukuran 50 cm x 50 cm x 30 cm untuk daerah piringan tanaman kelapa sawit dan 50 cm x 15 cm x 30 cm untuk daerah antara tanaman kelapa sawit. Sungkup dilengkapi oleh fan (kipas) untuk menghomogenkan udara, termometer untuk mengetahui suhu di dalam sungkup, dan jarum suntik dengan ukuran 10 ml yang dibungkus dengan kertas perak. Parameter yang diamati adalah fluks dan emisi CO2, suhu dan headspace di dalam sungkup pada saat pengambilan sampel. Contoh gas dianalisis konsentrasinya dengan alat kromatografi gas Portabel Mikro GC CP-4900 yang dilengkapi dengan detektor TCD (thermal conductivity detector). Gas pembawa (carrier gas) yang digunakan adalah Helium UHP (ultra high purity) degan kemurnian 99,99%. Fluks (F)
228
Pengaruh Pemberian Amelioran pada Perkebunan Kelapa Sawit
dari gas CO2 yang lepas dari satu luasan tanah gambut dihitung berdasarkan persamaan yang diadopsi dari IAEA (1993) sebagai berikut: dc F =
Vch x
dt
x Ach
mW
273,2
x mV
(273,2+T)
Keterangan : F : Fluks gas CO2 (mg m-2 hari-1), emisi gas CO2 (ton ha-1 tahun-1) dc/dt : Perbedaan konsentrasi CO2 per waktu (ppm menit-1) Vch : Volume sungkup (m3) Ach : Luas sungkup (m2) mW : Berat molekul CO2 (g) mV : Volume molekul CO2 (l) T : Temperatur rata-rata di dalam sungkup saat pengambilan contoh gas (oC) Analisis Data Data emisi CO2 dianalisis statistik dengan sidik ragam untuk mengetahui pengaruh perlakuan dan dilanjutkan dengan uji t-Test (LSD) dengan tingkat kepercayaan 95%. Analisis data statistik menggunakan software SAS (system analysis statistic) versi 9.1.3 (SAS, 2005).
HASIL DAN PEMBAHASAN Fluks CO2 Harian di Piringan dan Antara Tanaman Kelapa Sawit Gambar 1. memperlihatkan keragaman fluks CO2 antar perlakuan di piringan tanaman dan antara tanaman kelapa sawit dan tinggi muka air pada saat pengambilan contoh gas. Fluks CO2 di piringan tanaman kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan di antara tanaman kelapa sawit yang ditanami nenas dengan tinggi muka air yang seragam pada setiap pengamatan. Secara umum fluks CO2 akan meningkat seiring dengan kedalaman tinggi muka air tanah. Namun, hasil penelitian Jauhiainen et al., (2008) menyatakan bahwa hubungan antara kedalaman air dengan laju emisi tidak selalu linear.
229
Terry Ayu Adriany et al.
Gambar 1. Rata-rata fluks CO2 di piringan dan antara tanaman kelapa sawit (Pugam = pupuk gambut, Tankos = tandan kosong kepala sawit, Pukan = pupuk kandang, Garis terputus menunjukkan waktu pemberian amelioran).
Perbedaan fluks CO2 yang dihasilkan di piringan dan antara tanaman kelapa sawit menunjukkan adanya perbedaan laju respirasi perakaran tanaman. Laju respirasi di piringan kelapa sawit melepaskan CO2 lebih tinggi dibandingkan di antara tanaman kelapa sawit. Dariah et al., (2013) melaporkan bahwa perbedaan distribusi perakaran tanaman dan pemberian pupuk di sekitar tanaman mempengaruhi fluks CO 2 yang dihasilkan. Semakin rapat distribusi perakaran tanaman dan pemberian pupuk di daerah sekitar perakaran akan meningkatkan pelepasan CO2 dari hasil respirasi perakaran tanaman dan aktivitas mikroba tanah. Selain adanya pengaruh faktor tinggi muka air tanah dan laju respirasi perakaran tanaman, ketersediaan bahan organik di dalam tanah juga akan mempengaruhi fluks CO2 yang dihasilkan. Rata-rata fluks CO2 pada pemberian amelioran I dan II tampak mengalami peningkatan secara signifikan di piringan tanaman dan antara tanaman kelapa sawit yang ditanami nenas. Pemberian bahan amelioran berperan sebagai bahan pembenah tanah sekaligus sumber karbon atau energi bagi mikroorganisme dalam melakukan aktivitasnya, serta dapat menambah ketersediaan unsur hara bagi pertumbuhan tanaman (Tabel 2). Pemberian amelioran bertujuan untuk memperbaiki kesuburan tanah gambut juga dapat memacu emisi karena ameliorasi akan menurunkan rasio C/N dan memacu dekomposisi tanah gambut (Widyati, 2011). Kandungan bahan organik di dalam tanah berkorelasi positif dengan emisi CO2 yang dihasilkan dari dalam tanah (Irawan &
230
Pengaruh Pemberian Amelioran pada Perkebunan Kelapa Sawit
June, 2011). Bahan organik merupakan sumber energi bagi mikroorganisme dalam proses respirasi yang menghasilkan CO2. Selain kandungan bahan organik, peningkatan fluks CO2 dipengaruhi oleh ketersediaan oksigen pada kondisi aerob di dalam tanah sebagai hasil dari dekomposisi tanah gambut (Kechavarzi et al., 2007). Pembentukan gas CO2 terjadi dalam kondisi aerob, dimana mikroorganisme dekomposer seperti bakteri dan jamur dapat beraktivitas secara optimal. Tabel 2. Hasil analisis bahan amelioran yang digunakan dalam penelitian. Parameter
Unit
pH H2O (1:5)
Pugam
Pukan
Kompos Tankos
8,6
8.5
7.0
Kadar Air
%
3,8
70.08
55.89
As. Humat
%
-
1.37
1.43
As. Fulfat
%
-
1.60
2.42
C-Organik
%
-
6.13
19.23
NH4
%
-
0.06
0.15
NO3
%
-
0.03
0.08
C/N
%
-
12
11
P2O5 K2O
% %
13,15 0,08
0.56 0.49
4.75 0.45
Ca
%
18,9
0.72
1.29
Mg
%
6,53
0.33
0.80
%
0,56
0.10
0.20
S Sumber: BPTP Jambi
Fluks CO2 Harian pada Pagi dan Siang Hari Rata-rata fluks CO2 pada pagi dan siang dari semua perlakuan terlihat pada Gambar 2. Rata-rata fluks CO2 pada pagi hari lebih rendah dibandingkan siang hari. Suhu rata-rata dalam sungkup pada siang hari berkisar 35 – 50oC dan lebih tinggi dibandingkan pada pagi hari yang berkisar 20 – 30oC. Tingginya suhu dalam sungkup merupakan faktor yang mempengaruhi konsentrasi CO2 yang dihasilkan. Makin tinggi suhu tanah menyebabkan makin tinggi fluks CO2 yang dihasilkan. Suhu tanah berpengaruh terhadap reaksi fisiologi mikroba tanah dan karakteristik fisika-kimia tanah, misalnya volume tanah, tekanan, potensi reduksi-oksidasi, difusi, viscositas, struktur tanah, dan tekanan permukaan. Suhu yang meningkat dapat menyebabkan terjadinya percepatan reaksi metabolisme oleh mikroorganisme seperti aktivitas enzim. Suhu tanah memiliki korelasi positif terhadap fluks CO2 pada tanaman kelapa sawit (Melling et al., 2013).
231
Terry Ayu Adriany et al.
Gambar 2. Rata-rata fluks CO2 pada pagi dan siang hari dengan pemberian amelioran yang berbeda (Pugam = pupuk gambut, Tankos = tandan kosong kepala sawit, Pukan = pupuk kandang).
Perlakuan tanpa pemberian amelioran (kontrol) menghasilkan rata-rata fluks CO2 tertinggi pada pagi hari yaitu 5.256 mg m-2 hari-1 dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pemberian amelioran selain memperbaiki produktivitas gambut juga dapat menekan emisi GRK. Kandungan kation polivalen dan unsur mikro yang terkandung dalam bahan amelioran berfungsi untuk menetralisasi asam organik beracun dalam gambut. Kation polivalen berfungsi dalam khelasi asam organik sehingga tanah gambut lebih stabil, laju dekomposisi berkurang dan emisi GRK turun (Subiksa, 2010). Namun, berbeda dengan rata-rata fluks CO2 pada siang hari yang tertinggi ditunjukkan pada perlakuan pupuk gambut (pugam) yaitu 6.486 mg m-2 hari-1. Pugam merupakan bahan amelioran yang banyak mengandung bahan organik serta unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman. Pemberian pugam yang kaya akan unsur hara dan suhu yang lebih tinggi pada siang hari meningkatkan aktivitas mikroba tanah dan meningkatkan ratarata fluks CO2. Pemberian amelioran tandan kosong kelapa sawit (tankos) menghasilkan rata-rata fluks CO2 terendah baik pada pagi maupun siang hari dengan fluk masingmasing sebesar 3.494 mg m-2 hari-1 dan 3.892 mg m-2 hari-1. Total Emisi CO2 Emisi CO2 yang dihasilkan di piringan tanaman kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan di antara tanaman kelapa sawit pada semua perlakuan (Gambar 3). Respirasi pada zona perakaran pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut menghasilkan emisi CO2 lebih tinggi dibanding di luar zona perakaran, yaitu sekitar 38%
232
Pengaruh Pemberian Amelioran pada Perkebunan Kelapa Sawit
dari emisi gas CO2 merupakan hasil respirasi akar (Handayani, 2010). Semakin dekat jarak pengukuran GRK dengan tanaman kelapa sawit, semakin tinggi fluks CO 2 yang dihasilkan dari respirasi akar tanaman (Dariah et al., 2014). Emisi CO2 di piringan kelapa sawit dari yang tertinggi sampai terendah secara berurutan adalah kontrol, pugam, pukan, dan tankos, sedangkan di antara tanaman kelapa sawit yang ditanami nenas urutan emisi tertinggi sampai terendah adalah pukan, pugam, kontrol, dan tankos.
Gambar 3. Emisi CO2 di piringan dan antara tanaman kelapa sawit (Pugam = pupuk gambut, Tankos = tandan kosong kepala sawit, Pukan = pupuk kandang). Pemberian bahan amelioran pada perkebunan kelapa sawit di piringan tanaman memberikan pengaruh nyata terhadap emisi CO2. Sedangkan pemberian amelioran di antara tanaman kelapa sawit menghasilkan emisi CO2 yang tidak berbeda nyata antara perlakuan. Emisi CO2 dari tanah merupakan hasil intergrasi beberapa faktor antara lain aktivitas respirasi mikroorganisme tanah dan hasil respirasi rizosfer tanaman (Ding et al., 2007). Faktor lain yang mempengaruhi besarnya emisi CO 2 dari tanah adalah suhu tanah, kelembaban tanah, kedalaman muka air tanah, pemupukkan, tipe vegetasi dan kualitas tanah, aktivitas dan biomassa mikroba serta pengelolaan tanah. Tabel 3. Persentase penurunan emisi CO2 dari pemberian bahan amelioran di lahan gambut di Jambi. Rata-rata Emisi CO2 (ton ha-1 tahun-1)
Perlakuan
Piringan Kontrol Pupuk gambut (pugam) Tandan kosong kelapa sawit (tankos) Pupuk kandang (pukan)
24,56 22,51 15,12 17,84
a ab c cb
Antara tanaman 12,50 16,88 10,01 15,84
a a a a
% Penurunan Emisi CO2 Piringan 8 38 27
Antara tanaman -35 20 -27
Angka dalam lajur sama diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji t-Test
233
Terry Ayu Adriany et al.
Tanpa pemberian amelioran (kontrol) menghasilkan emisi CO 2 tertinggi di piringan tanaman yaitu sebesar 24,56 ton ha-1 tahun-1. Sedangkan di antara tanaman kelapa sawit pemberian amelioran pupuk gambut (pugam) menghasilkan emisi CO2 tertinggi yang sebesar 16,88 ton ha-1 tahun-1. Emisi CO2 terendah dihasilkan perlakuan amelioran tandan kosong kelapa sawit (tankos) di piringan 15,12 ton ha -1 tahun-1 dengan persentase penurunan emisi CO2 38% dan di antara tanaman kelapa sawit 10,01 ton ha-1 tahun-1 dengan persentase penurunan emisi CO2 20% (Tabel 3). Tankos merupakan bahan amelioran berupa kompos dari tandan kosong kelapa sawit yang dicampur dengan pupuk kandang dan dolomit dengan perbandingan 100 : 30 : 5 yang dikomposkan selama 3 bulan (BPTP Jambi, 2013). Hasil penelitian yang terdahulu di lokasi yang sama dengan umur tanaman kelapa sawit 3 - 5 tahun pada piringan tanaman menunjukkan bahwa pemberian amelioran pukan mampu menurunkan emisi CO2 sebesar 26,6%, tanah mineral 13,5%, tankos 6,5% dan pugam A 5,7% dari perlakuan kontrol (Susilowati et al., 2012). Ketersediaan tandan kosong kelapa sawit yang melimpah di perkebunan sawit sebagai limbah dapat dimanfaatkan secara optimal dengan membuat kompos tankos sebagai bahan amelioran. Kombinasi tandan kosong kelapa sawit, pukan, dan dolomit menjadi kompos tankos diyakini dapat menurunkan emisi CO2 di lahan gambut yang ditanami kelapa sawit.
KESIMPULAN Pemberian bahan amelioran pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut Jambi nyata menurunkan emisi CO2 di piringan tanaman kelapa sawit. Pemberian amelioran tandan kosong kelapa sawit menghasilkan emisi CO 2 terendah sebesar 15,12 ton ha-1 tahun-1 di piringan tanaman dan 10,01 ton ha-1 tahun-1 di antara tanaman kelapa sawit. Penurunan emisi CO2 dari pemberian amelioran tankos adalah 38% di piringan tanaman dan 20% di antara tanaman kelapa sawit dibandingkan dengan kontrol. Pemberian bahan amelioran di antara tanaman kelapa sawit tidak memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan emisi CO2.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada ICCTF dalam kegiatan kerjasama penelitian antara Badan Litbang Pertanian dengan BAPPENAS atas dukungan biaya penelitian. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada tim kelompok peneliti emisi dan absorbsi gas rumah kaca (EAGRK) Balai Penelitian Lingkungan Pertanian dan tim pengukuran gas rumah kaca di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi atas bantuannya dalam pelaksanaan penelitian ini.
234
Pengaruh Pemberian Amelioran pada Perkebunan Kelapa Sawit
DAFTAR PUSTAKA Barchia, M.F. 2006. Gambut. Agroekosistem dan Transformasi Karbon. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. BPTP Jambi. 2013. Leaflet: Teknologi Pembuatan Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Jambi. Dariah, A., F. Agus, E. Susanti, and Jubaedah. 2013. Relationship between distance sampling and carbon dioxide emission under oil palm plantation. Journal Tropica Soils. 18(2). ISSN: 0852-257X. Dariah, A., S. Marwanto, and F. Agus. 2014. Root-and peat-based CO2 emissions from oil palm plantations. Mitigation Adaptation Strategi Global Change 19: 831–843. Ding, W., Lei Meng, Yunfeng Yin, Zucong Cai, and Xunhua Zheng. 2007. CO2 emission in an intensively cultivated lLam as affected by long-term application of organic manure and nitrogen fertilizer. Soil Biology and Biochemistry 3: 669-679. Handayani, E. Meine V. Noowidwijk, K. Idris, S. Sabiham, and S. Djuniwati. 2010. The Effet of various water table depth on CO2 emission at oil palm plantation on West Aceh Peat. J. Trop. Soils. 15(3): 255-260. Hooijer, A., M. Silvius, H. Wosten, and S. Page. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 Emissions from Drained Peatlands in SE Asia, Delft Hydraulics report Q3943. IAEA. 1993. Manual on Measurement of Methane and Nitrous Oxide Emission from Agricultural Vienna: International Atomic Energy Agency (IAEA). Irawan, A., dan T. June, 2011. Hubungan iklim mikro dan bahan organik tanah dengan emisi CO2 dari pembukaan tanah di hutan alam Babahaleka Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Jurnal Agricultural Metelorogi 25(1): 1-8. Jauhiainen, J., S. Limin, H. Silvennoinen, and H. Vasander. 2008. Carbon dioxide and methane fluxes in drained tropical peat before and after hydrological restoration. Ecology. 89(12): 3503-3514. Kechavarzi, C., Q. Dawson, P.B. Leeds-Harrison, J. SzatyLowicz, and T. Gnatowski. 2007. Water-table management in lowland UK peat soils and its potential impact on CO2 emission. Soil Use Management 23: 359-367. Langeveld, CA., R. Segers, B.O.M. Dirks, A. Van den Pol-van Dasselar, G.L. Velthof, and A. Hensen, 1997. Emissions of CO2, CH4, and N2O from pasture on drained peat soils in the Netherlands. European Journal of Agronomy 7: 35-47. Marwanto, S., dan F. Agus. 2014. Is CO2 flux from oil palm plantations on peatland controlled by smil Moisture and/or soil and air temperatures?. Mitigation Adaptation Strategi Global Change 19: 809–819. Ritung, S., Wahyunto, K. Nugroho, Sukarman, Hikmatullah, Suparto, dan C. Tafakresnanto. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1 : 250.000. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Edisi Desember 2011. ISBN: 978-602-8977-16-6.
235
Terry Ayu Adriany et al.
SAS Institute Inc. 2005. SAS® 9.1.3 Language Reference: Consepts, Third Edition. Cary NC. USA. SAS Institute Inc. Subiksa, I G., Made, 2010. Pengembangan Formula Amelioran dan Pupuk “Pugam” Spesifik Lahan Gambut Diperkaya Bahan Pengkhelat untuk Meningkatkan Serapan Hara dan Produksi Tanaman >50% dan Menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) >30%. http://km.ristek.go.id/index.php/klasifikasi/detail/20885. Susilowati., H. L., J. Hendri, D. Nursyamsi, dan P. Setyanto. 2012. Pengaruh pemberian bahan amelioran terhadap fluks CO2 pada pertanaman kelapa sawit tanah gambut di perkebunan rakyat Kabupaten Muara Jambi Provinsi Jambi. Prosiding Seminar Nasional: Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Bogor, 4 Mei 2012. ISBN: 978-602-8977-42-5. Widyati, E. 2011. Kajian optimasi pengelolaan lahan gambut dan isu perubahan iklim. Tekno Hutan Tanaman. 4(2) : 57 – 68.
236