BAHASA SEBAGAI SARANA BERPIKIR DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERDASARKAN KURIKUKUM 2013 Zulfahmi HB Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Imam Bonjol Padang
Abstract: The purpose of teaching Indonesian language to enable the student to have good skill in Indonesian, a student must cover fourth language skills listening, speaking, reading and writing. Language as the symbol of sound, means that another form is not included in the scope of language primarily. The process of thinking in as the personal effort aimed at solving the problem to find the relationship or the detail connections. An effective curriculum can fulfill the need of community. If the people require the ethical graduator and honorable, the design of the curriculum must be design by considering the needs required by community.
Key words:language, utility think, curriculum
Abstrak: Tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia yakni membentuk siswa terampil berbahasa Indonesia. Agar dapat dikatakan terampil dalam berbahasa Indonesia, seorang siswa harus memiliki empat keterampilan berbahasa yakni keterampilan menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Bahasa sebagai lambang bunyi artinya bentuk-bentuk bahasa selain yang berwujud bunyi bukan termasuk bahasa dalam arti yang primer.Berpikir adalah suatu aktivitas pribadi yang bertujuan untuk memecahkan suatu masalah hingga menentukan hubunganhubungan dan menentukan sangkut pautnya. Kurikulum dikatakan efektif manakala kurikulum tersebut mampu menyiapkan lulusan sesuai kepentingan masyarakat. Kalau pada saat ini masyarakat sangat berharap agar lulusan suatu jenjang pendidikan semakin beradab dan bermartabat maka sudah semestinya desain kurikulumnya perlu ditata dan dikembangkan untuk memenuhi kehendak masyarakat. Kata kunci: bahasa, sarana berpikir, kurikulum
A. Pendahuluan Banyak orang dapat berbahasa Indonesia, tetapi tidak banyak yang mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Dapat berbahasa Indonesia artinya bukan sekedar dapat berbicara dalam bahasa Indonesia pada situasi-situasi yang nonformal. Mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia berarti terampil menggunakan bahasa Indonesia baik pada situasi yang formal maupun yang nonformal. Keterampilan menggunakan bahasa Indonesia ini merupakan sebuah keterampilan yang sangat diperlukan oleh seorang calon guru, sebab calon guru akan senantiasa berhubungan dengan masalah penjelasan sebuah materi. Terdapat gejala yang tampak di kalangan para mahasiswa ketika berdiskusi, seminar, presentasi atau orasi ilmiah. Dalam situasi itu tampak adanya pembicaraan yang menarik dan mudah dipahami walaupun juga banyak pembicaraan yang kurang menarik dan sulit untuk di-
pahami. Berbicara pada situasi formal tidak semudah berbicara pada situasi nonformal. Seseorang yang lancar ketika berbicara pada situasi nonformal belum tentu dapat lancar pula ketika harus berbicara pada situasi formal. Oleh karena itu, biasanya orang-orang tertentu telah mempersiapkan diri sebaik mungkin ketika dirinya mendapat kesempatan atau tugas untuk tampil berbicara di depan publik. Persiapan yang dilakukan itu diantaranya membuat catatan kecil, baik sekedar untuk mengingat maupun sekedar untuk panduan. Untuk melaksanakan pembelajaran Bahasa Indonesia pada Kurikulum 2013, kemampuan menjelaskan sangat diutamakan. Hal ini sangat sesuai dengan tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia yakni membentuk siswa terampil berbahasa Indonesia. Agar dapat dikatakan terampil dalam berbahasa Indonesia, seorang siswa harus memiliki empat keterampilan berbahasa yakni keterampilan menyimak, berbicara, mem-
327
Zulfahmi: Bahasa sebagai Sarana Berfikir | 328
baca dan menulis. Namun demikian, karena bahasa dalam bentuk primer adalah berbicara, maka keterampilan utama dari dari keempat keterampilan itu adalah keterampilan berbicara. Oleh karena itu, dikatakan terampil berbahasa pada hakikatnya seseorang harus terampil berbicara. Jika tujuan pembelajaran bahasa Indonesia pada umumnya adalah membentuk siswa terampil berbahasa Indonesia, maka hal ini sama halnya dengan membentuk siswa terampil berbicara Indonesia. Seseorang dikatakan terampil berbicara, apabila orang tersebut mampu mengungkapkan gagasan dengan baik (menarik, jelas, cermat, lancar) dan benar (bahasa yang digunakan sesuai kaidah) secara spontan. Spontan ini lebih diutamakan sebab lebih natural dan lebih mencerminkan kemampuannya dalam berbicara. Abdulhayi dkk (1979:20) mengatakan bahwa keruntutan kaitan kalimat dalam pembicaran para siswa atau mahasiswa sering kurang jelas. Akibatnya, ada kalimat yang kurang fungsinya atau mengandung kerancuan. Hal itu menandakan bahwa para siswa atau mahasiswa tersebut belum terampil dalam berbicara. Kurang terampilnya para mahasiswa dalam berbicara tersebut tampak sekali ketika dosen mengajukan pertanyaan secara klasikal. Pada umumnya, mahasiswa cenderung diam. Apabila ditunjuk secara spontan, maka tetap cenderung diam. Baru mau menjawab pertanyaan apabila sudah diam beberapa saat dan dengan dipaksa untuk menjawab. Kenyataan-kenyataan di atas, menunjukan bahwa mahasiswa kurang terampil dalam berbahasa Indonesia, khususnya dalam hal keterampilan berbicara. Ada sebagian mahasiswa yang terampil dalam berbicara, tetapi juga banyak yang tidak terampil berbicara. Kenyataan-kenyataan yang demikian itu tidak dapat dibiarkan begitu saja sebab sebagai calon guru, terlebih menghadapi Kurikulum 2013 keterampilan berbicara (menjelaskan) sangat diperlukan. Selain kemampuan menjelaskan, kemampuan berpikir juga sangat dibutuhkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia Kurikulum 2013. Materi bahasa Indonesia pada Kurikulum 2013 sudah berorientasi pada ranah kognitif tataran analisis dan sintesis serta ranah psikomotor. Tataran ranah ini, sangat membutuhkan
kemampuan dan keterampilan guru dalam hal membuat analogi-analogi, menganalisis dan menyintesis pembicaraan siswa dalam menjelaskan berbagai topik yang mungkin topik itu berada di luar bahasa Indonesia. Selain itu, seorang guru harus mampu memberikan saran perbaikan apabila siswanya mengalami kerancuan dalam berpikir pada waktu menjelaskan sebuah topik. Sementara itu, bahasa merupakan sarana untuk berpikir. Peranan bahasa dalam hal ini menjadi sangat istimewa yakni sebagai sarana untuk menjelaskan materi dan sebagai sarana untuk melogikakan materi. Oleh karena itu, tulisan ini bermaksud membahas bagaimana peranan bahasa dalam berpikir dan dalam pembelajaran bahasa Indonesia berdasarkan Kurikulum 2013. B. Pembahasan 1. Pengertian Bahasa Bahasa adalah suatu lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang bersifat arbitrer dan konvensional. Bahasa sebagai lambang bunyi artinya bentuk-bentuk bahasa selain yang berwujud bunyi bukan termasuk bahasa dalam arti yang primer. Tulisan, gambar, isyarat gestur, atau semaphore misalnya, bukan termasuk bahasa sebab tidak berwujud lambang bunyi. Lambang bunyi yang dimaksud dalam hal itu harus yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bunyi kentongan, peluit, atau tepuk tangan sekalipun memiliki makna bukan terkategori bahasa sebab tidak dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa itu bersifat arbitrer dan konvensional artinya penamaan konsep atau benda tertentu bersifat bebas. Konsep binatang berkaki empat yang biasa digunakan orang untuk menarik kereta, oleh orang Minangkabau dinamai kudo; oleh orang jawa jaran; dalam bahasa Indonesia kuda; dan orang Inggris dinamai horse. Penamaan konsep atau benda tersebut bersifat bebas namun kebebasan yang dimaksud harus konvensional artinya mendapat kesepakatan para pemakai bahasa yang bersangkutan. 2. Fungsi Bahasa a. Fungsi Umum Bahasa Fungsi umum bahasa adalah sebagai alat komunikasi sosial. Sebagai alat komunikasi so-
329 | Jurnal Tarbiyah al-Awlad, Volume IV, Edisi 1, hlm. 327-335
sial, bahasa menghubungkan antar anggota masyarakat. Untuk keperluan itu dipergunakan suatu wahana yang dinamakan bahasa. Dengan demikian setiap masyarakat dipastikan memiliki dan menggunakan alat komunikasi sosial tersebut. Tidak ada masyarakat tanpa bahasa, dan tidak ada pula bahasa tanpa masyarakat. Dua hal itu bagai dua sisi mata uang. Bahasa tanpa masyarakat tidak dapat berkembang, sedangkan masyarakat tanpa bahasa tidak akan saling berhubungan. Persoalan lain yang muncul yakni mana yang menentukan ―bahasa menentukan corak suatu masyarakat, ataukan masyarakat menentukan corak suatu bahasa‖. Pada umumnya orang lebih cenderung memilih gagasan yang kedua. Akan tetapi, lain halnya Whorf dan Sapir, dua ahli ini mengemukakan suatu hipotesis yang terkenal dengan nama Hipotesis Whorf-Sapir. Menurut hipotesis ini bahasalah yang menentukan corak suatu masyarakat. Hipotesis ini memang agak mengejutkan dan melawan arus. Walaupun begitu kebenaran hipotesis itu masih harus diuji.
menyampaikan suatu amanat atau pesan tertentu fungsi bahasa yang terlibat adalah fungsi puitik. Istilah puitik ini barangkali agak membingungkan karena di dalam bidang sastra sudah dipergunakan untuk konsep tertentu yang sangat berbeda dengan istilah puitik yang dipergunakan di dalam fungsi bahasa versi Jakobson ini. Selanjutnya apabila kita di dalam berbicara sekedar ingin mengadakan kontak dengan orang lain, maka fungsi bahasa yang terlibat adalah fungsi fatik. Orang Minang apabila berpapasan dengan orang yang sudah dikenal selalu menggunakan fungsi fatik ini, dengan ucapan: assalamualaikum atau dengan kalimat tanya: ka pai kama? Yang semuanya itu tiada maksud lain kecuali sebagai alat kontak semata. Apabila kita berbicara masalah bahasa dengan menggunakan bahasa tertentu, maka fungsi bahasa di situ adalah metalingual. Selanjutnya apabila kita berbicara dengan berbahasa dengan tumpuan pada lawan tutur misalnya agar orang yang kita ajak berbicara tidak tersinggung agar lawan bicara kita senang, maka fungsi bahasa tersebut adalah kognitif.
b. Fungsi Khusus Bahasa Fungsi khusus bahasa menurut Jacobson dibedakan menjadi enam macam, yakni fungsi emotif, kognitif, referensial, puetik, fatik, dan metalingual. Hal ini didasarkan atas tumpuan perhatian atau aspek. Menurut ahli ini, bahasa memiliki enam aspek, yakni aspek addresser, context, message, contact, code, dan addresce. Apabila tumpuannya pada si penutur (addresser), maka fungsi bahasanya emotif. Apabila tumpuan pembicara pada konteks (context), maka fungsi bahasanya referensial. Apabila tumpuan pembicaraan pada amanat (message), maka fungsi bahasanya puitik (poetic). Apabila tumpuan pembicaraan pada kontak (contact), maka fungsi bahasanya fatik (phatic). Apabila tumpuan pembicaraan pada kode (code), maka fungsi bahasanya metalingual. Apabila tumpuan pembicaraan pada lawan bicara (addresce), maka fungsi bahasanya konatif. Fungsi emotif misalnya apabila kita mengungkapkan rasa gembira, kesal, sedih, dan sebagainya. Jika kita membicarakan suatu permasalahan dengan topik tertentu maka hal tersebut tercakup di dalam fungsi referensial. Jika kita
3.
Pengertian Berpikir Berpikir adalah suatu aktivitas pribadi yang bertujuan untuk memecahkan suatu masalah hingga menentukan hubungan-hubungan dan menentukan sangkut pautnya (Dakir, 2006:76). Dari konsep ini diketahui bahwa seseorang yang berpikir itu pada dasarnya didahului oleh adanya suatu masalah, keaktifan pribadi diarahkan untuk menemukan jawaban dari suatu masalah dalam berpikir. Hal demikian ini berbeda apabila dibandingkan dengan mengingat. Keaktifan pribadi diarahkan untuk menemukan kembali sesuatu yang telah terlupakan pada mengingat. Namun demikian, kedua kegiatan tersebut – mengingat dan berpikir—pada dasarnya samasama merupakan suatu aktivitas pribadi untuk menemukan. Yang satu menemukan sesuatu yang belum pernah diketahui, sementara yang lain untuk menemukan sesuatu yang sudah pernah diketahui. Berpikir untuk memecahkan suatu masalah, seseorang akan menemukan unsur-unsur yang berbeda dan yang sama. Unsur yang berbeda akan cenderung disisihkan sementara unsurunsur yang sama akan dicari sangkut-pautnya
Zulfahmi: Bahasa sebagai Sarana Berfikir | 330
untuk dianalisis lebih lanjut. Seseorang yang memiliki kemampuan berpikir yang baik (cerdas) biasanya mampu menemukan sangkut paut unsur-unsur yang sama secara cepat dan tepat yang pada kesempatan berikutnya akan mampu menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat pula. Cepat dan tepat sengaja ditekankan dalam hal ini sebab seseorang yang mampu menyelesaikan masalah dengan cepat saja tetapi tidak tepat bukan termasuk orang yang cerdas dalam berpikir. Sebaliknya, seseorang yang mampu menyelesaikan masalah dengan tepat namun memerlukan waktu yang lama juga tidak dapat dikatakan sebagai seseorang yang cerdas berpikir bahkan dapat dikategorikan sebagai orang yang lamban. 4.
Perilaku Kemampuan Berpikir Kemampuan berpikir seseorang tercermin pada perilakunya. Individu yang satu dengan yang lain itu pada dasarnya memiliki perbedaan kemampuan berpikir. Perilaku individu satu dengan yang lain bergantung pada kemampuan berpikirnya. Ada individu yang berkemampuan berpikir tinggi, normal, dan rendah. Oleh karena itu, perilaku masing-masing dengan sendirinya berbeda. individu yang memiliki kemampuan berpikir tinggi lazimnya memperlihatkan ciriciri (1) memiliki kesanggupan untuk memelihara perhatiaannya, (2) mempunyai perbendaharaan kata yang luas dan teliti serta tepat dalam menggunakannya, (3) tajam pengamatan dan cepat dalam memberi sambutan-sambutan, (4) banyak mengajukan pertanyaan, dan (5) mempunyai pikiran rasional. Individu yang memiliki kemampuan berpikir rendah atau anak yang mengalami mental retardasi lazimnya memperlihatkan ciri-ciri (1) sangat mudah dipengaruhi, (2) memilih anak-anak yang lebih muda sebagai kawan bermain, (3) kekurangan kesanggupan untuk mengkonsentrasikan diri pada sesuatu kecuali pada halhal yang mudah, dan (4) mempunyai kakakkakak atau adik-adik yang bermental retardasi (Crow & Crow, 2004:212). Individu yang memiliki kemampuan berpikir sedang tidak memiliki ciri-ciri khusus. Lazimnya mempunyai kehidupan sama dengan manusia pada umumnya.
5.
Peranan Bahasa dalam Berpikir Berpikir adalah suatu aktivitas pribadi untuk menghubungkan pengertian satu dengan yang lain guna mendapatkan pemecahan terhadap persoalan yang dihadapinya (Walgito, 2003:121). Penghubungan pengertian-pengertian tersebut pada hakikatnya merupakan penggunaan bahasa. Oleh karena itu, seseorang yang sedang berpikir pada hakikatnya juga menggunakan bahasa. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Dakir (2006:86) yakni bahwa alat berpikir yang utama itu adalah bahasa. Laibniz juga menerangkan bahwa bahasa merupakan cermin yang terbaik bagi pikiran manusia dan bahwa analisis yang tepat terhadap arti kata-kata dapat memberitahu kita lebih banyak tentang cara kerja pemahaman (Cumnings, 2005:155). Hal ini berarti dapat dikatakan bahwa ada keterkaitan yang saling mempengaruhi antara berpikir dan bahasa seseorang. Sulit tampaknya untuk membicarakan masalah berpikir tanpa membicarakan masalah bahasa. Bahasa dan berpikir itu bagaikan dua sisi mata uang. Apalagi salah satu sisi mata uang itu tidak ada maka mata uang tersebut menjadi tidak laku. Demikian halnya dengan bahasa dan berpikir, apabila salah satu diantara kedua hal tersebut diabaikan maka hakikat dari berpikir atau berbahasa itu menjadi tidak bermakna. Bahasa adalah alat berpikir yang paling efisien dan efektif. Seseorang tidak mungkin dapat berpikir apabila orang yang bersangkutan itu tidak memiliki bahasa. Dengan kata lain, pikiran (otak) tidak mungkin dapat bekerja apabila tidak menggunakan bahasa. Muller mengatakan bahwa seseorang yang mempunyai penyakit bahasa berarti juga mempunyai penyakit pikiran (Cassirer, 2007:67). Niuwenhuis mengatakan bahwa bahasa itu kadang-kadang berupa bunyi, kadang-kadang berupa tanda, tetapi selalu berupa pikiran (Affandi, 1988:18). Dengan bahasa, kita bukan hanya bercakap-cakap, melainkan juga sekaligus berpikir bersama-sama (Affandi, 1988:218). Berbicara mengenai hubungan bahasa dengan pikiran. Steinberg menyatakan bahwa hubungan bahasa dengan pikiran dapat dilihat dari (1) produksi ujaran yang merupakan dasar pikiran, (2) bahasa yang merupakan basis dasar pikiran, (3) sistem bahasa yang menunjukkan spesifikasi pandangan, dan (4) sistem bahasa
331 | Jurnal Tarbiyah al-Awlad, Volume IV, Edisi 1, hlm. 327-335
yang menunjukkan spesifikasi budaya (Pateda, 2000:33). 6. Desain Kurikulum a. Desain Kurikulum yang Bermartabat dan Berabad Kurikulum dikatakan efektif manakala kurikulum tersebut mampu menyiapkan lulusan sesuai kepentingan masyarakat. Kalau pada saat ini masyarakat sangat berharap agar lulusan suatu jenjang pendidikan semakin beradab dan bermartabat maka sudah semestinya desain kurikulumnya perlu ditata dan dikembangkan untuk memenuhi kehendak masyarakat tersebut. Hal ini penting diupayakan mengingat kurikulum merupakan jantungnya aktivitas pendidikan. Apa yang dilakukan bangsa Indonesia sejak merdeka, sesungguhnya, telah mengembangkan dan menerapkan desain kurikulum yang diarahkan pada penyiapan lulusan yang beradab dan bermartabat. Lantaran ketidakjelasan rumusan tentang masyarakat beradab dan bermartabat maka apa-apa yang terkandung di dalam kurikulum yang berlaku menjadi mandul dan tidak mampu mencapai sasaran. Apalagi ada kebijakan-kebijakan pendidikan yang kadangkala bertentangan dan bahkan mematikan implementasi kurikulum, misalnya; kebijakan pemerataan pendidikan yang memaksakan mutu pendidikan. Desain kurikulum mana lagi yang diasumsikan relevan dan mampu menyiapkan lulusan menjadi anggota warga negara yang beradab dan bermartabat? Salah satu desain yang diasumsikan relevan adalah desain kurikulum berbasis budaya (cultural based curriculum). Mengapa demikian? Kurikulum berbasis budaya mampu menyiapkan lulusan menjadi warga masyarakat yang beradab dan bermartabat. Alaska Native Knowledge Network (1998) mengatakan bahwa : By shifting the focus in the curriculum from teaching/learning about cultural heritage as another subject to teaching/learning through the local culture for all education, it is intended that all forms of knowledge, ways of knowing and world views be recognized as equally valid, adaptable dan complementary to one another in mutually beneficial ways.
Dengan demikian, kurikulum berbasis budaya memungkinkan peserta didik mampu mengadaptasikan berbagai pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam konteks budaya masyarakat setempat. Peserta didik disiapkan untuk mampu berpikir secara global dan bertindak secara lokal (think globally, act locally). b. Masyarakat beradab dan bermartabat Beradab dan bermartabat merupakan dua kata kunci yang perlu terlebih dahulu dibahas dan dicari kesepakatan makna. Hal ini perlu dilakukan karena perbedaan makna dari kedua kata tersebut berpengaruh terhadap pengembangan masyarakat beradab dan bermartabat, sebagaimana yang dicita-citakan dalam UU No. 20 tahun 2004. Kata beradab dan bermartabat seringkali digunakan secara terpisah-pisah, namun ada kalanya disatupadukan. Beradab dan bermartabat yang memiliki kata dasar "adab" dan "martabat" merupakan dua kata yang saling berkaitan. Orang beradab biasanya menjunjung tinggi martabat kemanusiaan sesamanya. Di dalam kamus besar bahasa Indonesia (2001) dinyatakan bahwa "adab" menunjuk pada kehalusan dan kebaikan budi pekerti, kesopanan, atau akhlak. Beradab berarti mempunyai adab, mempunyai budi bahasa yang baik, berlaku sopan, atau telah maju tingkat kehidupan lahir batinnya. Sedangkan "martabat" menunjuk pada tingkat harkat kemanusiaan, harga diri. Bermartabat berarti mempunyai martabat. Berdasarkan kedua makna kata di atas maka masyarakat beradab dan bermartabat adalah suatu bentuk kehidupan masyarakat maju yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Dengan demikian, ciri-ciri masyarakat beradab dan bermartabat, antara lain; adanya penghargaan martabat manusia, berbudi bahasa yang baik, berlaku sopan, dan menekankan harga diri. c. Pendidikan berbasis budaya Penggunaan pendekatan budaya untuk memecahkan masalah kemanusiaan telah dilakukan sejak zaman Aristoletes (Djohar, 1999). Dalam konteks pemecahan masalah mutu pendidikan, pendekatan budaya dipandang relevan untuk digunakan karena pendekatan struktural disinyalir mengalami banyak kegagalan. Dengan pende-
Zulfahmi: Bahasa sebagai Sarana Berfikir | 332
katan budaya diharapkan peningkatan mutu pendidikan menjadi sebuah budaya yang berkembang di kalangan warga sekolah. Pendidikan, sesungguhnya, merupakan juga proses budaya. Djohar (1999) mengatakan pendidikan sebagai proses budaya bertujuan menyiapkan masyarakat mampu memasuki kehidupan pada zamannya. Peserta didik disosialisasikan dengan nilai-nilai budaya yang berlaku dalam tatanan kehidupan pada zamannya itu. Oleh karena itu, pendidikan berlaku bagi semua orang dan terjadi sepanjang masa. Apa implikasi atas pernyataan tersebut, terutama dalam konteks pengembangan kurikulumnya? Mengacu pada pandangan bahwa kurikulum merupakan jantungnya kegiatan pendidikan maka semestinya kurikulumnya perlu dikembangkan atas dasar-dasar nilai-nilai budaya yang berkembang di masyarakatnya. Visualisasinya dapat disajikan sebagai berikut.
(Sumber: Nana Syaodih Sukmadinata, 2011) d. Kurikulum berbasis budaya Desain kurikulum berbasis budaya merupakan sebuah desain kurikulum yang berorientasi pada penyiapan lulusan berbudaya. Berbudaya berarti setiap individu mampu menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilainilai kemanusiaan yang berkembang di masyarakat. Nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku dan diakui masyarakat dijadikan acuan untuk menentukan materi, proses, dan sistem evaluasnya. Alaska Native Knowledge Network (2004) menyatakan; ….. scope and sequence of the curriculum will be extended to include the interaction between content, process and context, and thus go beyond the usual culture-bound
determinations that are associated with an emphasis on content alone. Ciri-ciri kurikulum berbasis budaya: pertama, berorientasi pada pembentukan manusia berbudaya dan bermartabat; kedua, materi pembelajarannya dikembangkan dari berbagai sumber; ketiga, menekankan pada pembudayaan segenap potensi peserta didik; keempat, sistem penilaiannya menekankan dimensi proses dan hasil. Kurikulum berbasis budaya dapat juga dipahami sebagai suatu bentuk inovasi kurikulum yang ingin mengedepankan pengembangan segenap potensi peserta didik secara beradab dan bermartabat. Kurikulum perlu dikaitkan dengan tatanan nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku di masyarakat. Banyaknya materi pelajaran bukan lagi merupakan prioritas utama pengembangannya, namun, yang lebih penting adalah "bagaimana mengembangkan dimensi-dimensi kurikulum yang mampu membuka pengekanganpengekangan yang menghalangi perkembangan potensi peserta didik" (Tilaar, 1999). Berdasarkan uraian di atas, sesungguhnya, kurikulum berbasis budaya dipandang relevan diterapkan dalam sisdiknas kita. Ditinjau dari sisi filosofi, kurikulum berbasis budaya sesuai dengan hakikat proses pendidikan yang pemanusiaan peserta didik. Proses pendidikan merupakan proses pembudayaan peserta didik. Dari sisi sosiologi, kurikulum berbasis budaya, sesungguhnya, merupakan suatu desain kurikulum yang menyiapkan warga masyarakat yang menghargai nilai-nilai budaya yang berkembang di masyarakat. Lulusan suatu jenjang pendidikan diharapkan tidak terasing dengan lingkungannya. Sedangkan ditinjau dari sisi psikologis, kurikulum berbasis budaya mengutamakan pengembangan potensi peserta didik yang manusiawi. Bagaimana implementasinya dengan desain kurikulum yang sedang berjalan? Apabila kita sepakat bahwa desain kurikulum berbasis budaya sebagai alternatifnya, hal ini bukan berarti bahwa desain kurikulum yang ada dianggap tidak berlaku sama sekali. Di sini, diperlukan adanya berbagai modifikasi atas berbagai komponen kurikulum, terutama yang berkaitan dengan implementasi kurikulum. Pola pengembangannya bersifat integrated.
333 | Jurnal Tarbiyah al-Awlad, Volume IV, Edisi 1, hlm. 327-335
Dua pola penerapan desain kurikulum berbasis budaya. Pertama, mengembangkan desain kurikulum (GBPP, Silabus, atau satuan pelajaran) dengan berwawasan budaya. Artinya, aspek-aspek kurikulum yang terkait dalam desain kurikulum dikembangkan dengan mengacu pada wawasan budaya bangsa, misalnya; pengembangan materi pembelajaran dikaitkan dengan nilai-nilai luhur yang berlaku di masyarakat. Konsekuensinya, dalam implementasinya tentu menggunakan model-model pembelajaran berbasis budaya. Kedua, menggunakan desain kurikulum berbasis budaya dalam implementasi kurikulum yang sedang berjalan. Di sini, yang perlu ditekankan adalah penggunaan modelmodel pembelajaran berbasis budaya dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari. Model-model pembelajaran berbasis budaya yang bisa digunakan adalah model pembelajaran pemecahan masalah, model pembelajaran inkuiri, model pembelajaran kontektual, dan lain-lain. e. Peranan Bahasa dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2013 Pembelajaran Bahasa Indonesia yang berbasis kurikulum 2013 banyak menggunakan teks dan atau wacana. Teks digunakan dalam kaitannya dengan keterampilan menulis dan membaca. Wacana digunakan dalam kaitannya dengan keterampilan menyimak dan berbicara. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, siswa sudah dikenalkan lagi dengan berbagai teori kebahasaan seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Siswa langsung dikenalkan dengan berbagai bentuk wacana komunikasi dalam masyarakat misalnya, menyapa, bertanya, menerangkan, negoisasi, diskusi, menguraikan (analisis), dan atau menyimpulkan (sintesis). Fungsi bahasa yang digunakan dalam pembelajaran bahasa Indonesia tidak lagi menggunakan fungsi metalingual melainkan sudah fungsi referensial, kognitif, emotif, puitik, dan atau fungsi fatik. Dalam kaitannya dengan fungsi referensial anak diajari bagaimana membicarakan sebuah topik dengan bahasa yang benar dan baik, misalnya siswa diminta menjelaskan bagaimana cara menanam bunga pada sebuah pot, bagaimana cara menyampaikan hasil rapat kepada orang lain. Keterampilan menjelaskan suatu topik ini perlu diajarkan sebab dalam ke-
hidupan sehari-hari banyak kegiatan yang mengharuskan kita untuk menjelaskan sebuah topik. Fungsi kognitif bahasa Indonesia perlu diajarkan kepada siswa agar dalam berbahasa kelak siswa dapat menghargai perasaan orang lain dan memiliki daya empati yang tinggi. Kenyataan sekarang menujukkan bahwa banyak orang yang sudah meninggalkan unggah-ungguh (sopan santun). Orang tidak lagi memikirkan apakah orang lain tersinggung dengan katakatanya atau bukan. Hal ini lebih tampak jika seseorang itu menyampaikan sebuah kritik dan atau usul dalam sebuah diskusi. Fungsi emotif bahasa misalnya apabila kita mengungkapkan rasa gembira, kesal, sedih, dan sebagainya. Mengungkapkan rasa gembira tampaknya sederhana dan mudah tetapi jika tidak hati-hati orang akan terjebak pada sikap ria dan sombong. Seseorang perlu memperhatikan konteks dalam hal itu. Kesalahan pemilihan konteks dapat menyebabkan seseorang dijauhi orang-orang sekitarnya. Seseorang yang baru saja lulus ujian misalnya, untuk mengungkapkan rasa bahagianya ia melakukan corat-coret baju dan naik sepeda motor secara bergerombol keliling kota. Hal demikian merupakan contoh pengungkapan rasa senang yang tidak baik. Seorang pendidik pada pembelajaran bahasa Indonesia hendaknya dapat menyampaikan hal demikian ini kepada para siswanya. Demikian pula untuk mengungkapkan rasa sedih dan kesal, seseorang harus memilih kata-kata yang baik dan konteks yang sesuai. Jika tidak, orang lain akan merasa tersinggung dan tersakiti oleh kata-kata kita. Yang dimaksud konteks dalam hal ini adalah kepada siapa kita bicara, kapan bicaranya, dimana pembicaraannya, dan apa masalah yang kita bicarakan. Fungsi puitik merupakan fungsi bahasa yang dianggap sederhana dan kurang begitu bermanfaat. Padahal fungsi ini sebenarnya merupakan bukti peranan bahasa yang tidak kalah pentingnya dalam bersosialisasi. Fungsi puitik adalah penggunaan bahasa untuk menyampaikan amanat tertentu. Amanat adalah pesan yang harus dilaksanakan oleh menerima amanat. Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang sering menerima amanat dari orang lain. Sebenarnya, orang itu tidak sanggup melaksanakan amanat yang
Zulfahmi: Bahasa sebagai Sarana Berfikir | 334
diterimanya namun karena ada rasa rikuh untuk menolak atau tidak memiliki kemampuan berbahasa untuk menolaknya, akhirnya amanat itu diterimanya dengan terpaksa. Konskuensinya, ada kemungkinan amanat itu tidak dilaksanakan. Hal demikian ini berarti penerima amanat telah berbuat zalim kepada pemberi amanat. Siswa perlu kita ajari bagaimana cara menerima dan atau menolak amanat dengan cara yang baik. Fungsi fatik bahasa Indonesia merupakan suatu fungsi bahasa yang tidak kalah pentingnya dengan fungsi-fungsi yang lain. Banyak anak muda sekarang ini yang cenderung diam jika bertemu dengn orang lain yang tidak begitu dikenalnya, walaupun itu tetangganya sendiri. Hal demikian ini terjadi sebab fungsi fatik bahasa belum begitu dikenakan kepada siswa. Dalam hidup bermasyarakat, fungsi fatik ini sangat diperlukan agar kita tidak terkesan sombong. Sapaan kepada orang yang lebih muda, seusia, atau orang yang lebih tua sangat berbeda. para siswa perlu mengetahui hal itu dan mampu menggunakannya sehingga tidak terkesan sombong. C. Penutup Peranan bahasa dalam berpikir adalah sebagai alat dan sebagai sarana. Sebagai alat berarti bahasa itu merupakan perangkat untuk berpikir. Sebagai sarana berarti bahasa itu sebagai fasilitas untuk berpikir. Otak manusia, tidak mungkin dapat digunakan untuk berpikir jika tidak ada alat dan sarananya. Jika alat dan sarana itu rusak, hasil dan sarannya baik, hasil pemikirannya pun juga kurang sempurna. Sebaliknya, jika alat dan sarananya baik, hasil pemikirannya pun juga akan baik dan sempurna. Peranan bahasa dalam pembelajaran bahasa Indonesia kurikulum 2013 adalah untuk mengaplikasikannya lima fungsi bahasa yakni fungsi referensial, emotif, fatik, puitik, dan kognitif. Fungsi bahasa yang metalingual tidak lagi memegang peranan. Pengaplikasian lima fungsi bahasa itu sangat penting agar tujuan pembelajaran bahasa Indonesia pada umumnya yakni siswa terampil berbahasa Indonesia dengan baik dan benar dapat tercapai. Desain kurikulum berbasis budaya dapat dijadikan desain kurikulum alternatif untuk
semakin mempercepat terwujudnya masyarakat dan bermartabat. Dengan desain kurikulum berbasis budaya diharapkan lulusan memiliki wawasan pengetahuan luas, tetapi tetap bermartabat dan beradab sesuai nilai-nilai yang berlaku di Indonesia. Pola pelaksanaannya dapat terjadi sejak pengembangan GBPP, Silabus, atau satuan pembelajaran. Demikian pula, dapat terjadi dalam implementasi kurikulum sedang berjalan (kurikulum yang berlaku). Referensi Abdulhayi, dkk. Penelitian Kemampuan Ekspresi Tulis Siswa SPG Kelas III di Kotamadya Yogyakarta. Yogyakarta: Sub Proyek Normalisasi Kehidupan Kampus IKIP, 1979 Affandi, AM. Pengajaran Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Dalam Harimurti Kridalaksana-Djoko Kencono (ed.) Seminar Bahasa Indonesia (halaman 200-220). Ende-Flores: Nusa Indah, 1988 Assembly of Alaska Native Educators. Guidelines for Cross-cultural Orientation Programs. www.ankn.uaf.edu/standards/ xcop., tanggal 2 Januari 2014, 2003 ______ Alaska Standard for Culturally Respon-
sive Schools. www.ankn. uaf.edu/ standards/xcop., tanggal 2 Januari 2014, 2003 ______Guidelines for preparing culturally res-
ponsive teachers for Alaska’s schools. www.ankn.uaf.edu/standards/xcop, tanggal 2 Januari 2014, 2003 ______Guidelines
for Respecting Cultural Knowledge. www.ankn.uaf.edu/standards/ tanggal 2 Januari 2014, 2003
______Guidelines for Culturally Responsive Schools Boards. www.ankn.uaf.edu/ standards/xcop., tanggal 2 Januari 2014, 2003
335 | Jurnal Tarbiyah al-Awlad, Volume IV, Edisi 1, hlm. 327-335
______Culture, Community, and Curriculum. www.ankn.uaf.edu/standards/xcop.html tanggal 2 Januari 2014, 2003 Cassier, E., Manusia dan Kebudayaan. (Terj. Oleh Alois A. Nugroho). Jakarta: Gramedia, 2007 Crow, L D dan Crow A., Psikologi Pendidikan (Terj. Oleh Z. Kasijan). Surabaya: Bina Ilmu, 2004 Cumnings, Louis, Pragmatics A Multidiciplinary Perspective. Edinburgrh University Press, 2005 Dakir. Dasar-dasar Psikologi. Yogyakarta: Kaliwangi Ofset, 2006 Djohar. Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999 NWT
Teacher Induction. Culture-Based Education. www.newteachersnwt.ca/ culture_based_education2, tanggal 2 Januari 2014, 2004.
Pateda, Mansur. AspekAspek Psikolinguistik. Ende-Flores: Unsa Indah, 2000. Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011 Tilaar. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999 Walgito, B., Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, 2003