BAHAN AJAR DAN KETERBACAAN Setiap guru, bidang studi apa pun, tuntutan memilihkan bahan bacaan yang layak untuk siswanya, terlebih-lebih untuk guru bahasa Indonesia. Mengapa? Karena pengajaran membaca secara formal dibebankan kepada guru bidang studi bahasa Indonesia. ►Buku paket atau buku teks sebagai buku pegangan dasar dalam melaksanakan kegiatan belajar dewasa ini sangat banyak jumlahnya, namun tidak berarti guru harus terpaku terhadap bahan ajar yang ada. ►Dalam kehidupan di masyarakat, keragaman bahan bacaan untuk konsumsi baca ini terasa sangat beragam, dapat berupa buku teks, buku ilmiah, surat kabar, majalah, pamplet-pamplet, dan lain-lain. ►Kesemua bahan bacaan tersebut berpeluang untuk dijadikan bahan ajar membaca atau mungkin untuk tugas membaca. ►
Masalahnya, apakah semua bahan bacaan yang tersedia serta mudah didapat tersebut layak untuk konsumsi baca siswa kita? Bagaimana kita dapat menentukan kriteria kelayakan dimaksud? Seberapa jauh peran guru dalam memilihkan bahan bacaanyang layak baca untuk para siswanya ?
Pengertian dan Latar Belakang Keterbacaan merupakan alih bahasa dari readability.Bentukan Readability merupakan kata turunan yang dibentuk oleh bentuk dasar readable, artinya dapat dibaca atau terbaca. Konfiks ke-an pada bentuk keterbacaan mengandung arti hal yang berkenaan dengan apa yang disebut dalam bentuk dasarnya. Oleh karena itu, kita dapat mendefinisikan "keterbacaan" sebagai hal atau ihwal terbaca-tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh pembacanya. Jadi, "keterbacaan" ini mempersoalkan tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu.
Keterbacaan (readability) merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran/kemudahan wacananya. Tingkat keterbacaan biasanya dinyatakan dalam bentuk peringkat kelas. Oleh karena itu, setelah melakukan pengukuran keterbacaan sebuah wacana, orang akan dapat mengetahui kecocokan materi bacaan tersebut untuk peringkat kelas tertentu,
Faktor-faktor yang mempengaruhi keterbacaan ►Faktor-faktor
yang mempengaruhi keterbacaan masih selalu menjadi objek penelitian para ahli. Perhatian terhadap masalah tersebut, dimulai sejak berabad-abad yang lalu. ►Klare (1963) menjelaskan bahwa Lorge (1949) pernah bercerita tentang upaya Talmudists pada tahun 900 berkenaan keterbacaan wacana. Dia menentukan tingkat kesulitan wacana berdasarkan kriteria kekerapan kata-kata yang digunakan. ►Meskipun kajian tentang keterbacaan itu sudah berlangsung berabad-abad, namun kemajuannya baru tampak setelah statistik mulai ramai digunakan. Teknik statistik itu memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi faktor-faktor keterbacaan yang penting-penting untuk menyusun formula yang dapat dipergunakan guna memperkirakan tingkat kesulitan wacana. ►Menurut Klare (1963), kajian-kajian terdahulu menunjukkan adanya keterkaitan dengan keterbacaan. Gray dan Leary mengidentifikasi adanya 289 faktor yang mempengaruhi keterbacaan, 20 faktor di antaranya dinyatakan signifikan.
beberapa formula keterbacaan ►Dewasa
ini sudah ada beberapa formula keterbacaan yang lazim digunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan sebuah wacana. ►Formula-formula keterbacaan yang terdahulu, memang bersifat kompleks dan menuntut pemakainya untuk memiliki kecermatan menghitung berbagai variabel. ►Penelitian yang terakhir membuktikan bahwa ada dua faktor utama yang berpengaruh terhadap keterbacaan, yakni: (a) panjangpendeknya kalimat, dan (b) tingkat kesulitan kata. Pada umumnya, semakin panjang kalimat dan semakin panjang kata-kata, maka bahan bacaan dimaksud semakin sukar. Sebaliknya, jika kalimat dan katanya pendek-pendek, maka wacana dimaksud tergolong wacana yang mudah. ►Formula-formula keterbacaan yang dewasa ini sering digunakan untuk mengukur keterbacaan wacana, tampaknya berkecenderungan kepada dua tolok ukur tadi. ►Formula-formula keterbacaan yang mengacu pada kedua patokan tersebut, misalnya formula keterbacaan yang dibuat Spache, Dale & Chall, Gunning, Fry, Raygor, Flesh, dan lain-lain.
Keterbacaan & Penyediaan Bahan Ajar Salah satu penggunaan rumus keterbacaan dapat dilihat pada upaya guru dalam memperkirakan tingkat kesulitan wacana. Perkiraan-perkiraan tentang tingkat kemampuan membaca berguna, terutama bagi guru yang memiliki perhatian terhadap metode pemberian tugas membaca atau bagi pemilihan buku-buku teks atau bahan bacaan lainnya. ► Guru-guru dipandang perlu untuk memiliki kemahiran dalam memperkirakan tingkat kesulitan materi cetak. Sebab, bagaimana pun salah satu faktor pendukung keberhasilan belajar anak adalah tersedianya sumber ilmu yang dapat diperoleh dan dicerna anak dengan mudah. Salah satu cara untuk beroleh ilmu pengetahuan dimaksud melalui kegiatan membaca. Lebih baik jika kegiatan membaca dimaksud adalah kegiatan membaca mandiri yang tidak memerlukan bimbingan pihak lain. ►Sehubungan dengan hal itu, penyediaan sarana baca yang berupa koleksikoleksi bacaan (buku-buku teks, majalah-majalah, kliping-kliping, surat kabar, jurnal, pamflet-pamflet, dan lain-lain) perlu dimiliki, bukan saja oleh pihak sekolah melainkan oleh setiap kelas. Dengan demikian, setiap sekolah di samping harus memiliki perpustakaan sekolah juga harus memiliki perpuatakaan-perpustakaan kelas yang terletak di setiap sudut masingmasing kelas. ►
Koleksi-koleksi bacaan pada perpustakaan kelas hendak-nya koleksi-koleksi bacaan yang memang layak untuk peringkat mereka. Pertimbangan tingkat
►
Keterbatasan2 Formula Keterbacaan Formula-formula keterbacaan yang dipakai sekarang ini mendasarkan pada dua hal yakni panjang-pendeknya kalimat dan tingkat kesulitan kata. Kedua faktor yang menjadi landasan bagi formula-formula keterbacaan ini mengundang pertanyaan pada kita. ► Bagaimana dengan konsep-konsep yang terkandung dalam wacana yang bersangkutan? Bukankah konsep-konsep makna yang terkandung dalam suatu wacana yang tidak terjakau oleh pembacanya akan berdampak pada keterpahaman pembacanya. ►Pertimbangan panjang-pendek kata dan tingkat kesulitan kata dalam pemakaian formula keterbacaan, semata-mata hanya didasarkan pada pertimbangan struktur permukaan teks. Struktur yang secara visual dapat dilihat. Adapun konsep yang terkandung dalam bacaan sebagai struktur dalam dari bacaan tersebut tampaknya tidak terperhatikan. Dengan kata lain, rumusan formula-formula keterbacaan yang sering digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan itu tidak memperhatikan unsur semantis. ►Keterbatasan formula keterbacaan ini semakin terasa manakala dihadapkan pada bahan bacaan dari jenis fiksi, terutama puisi. Meskipun puisi menggunakan kata-kata dan kalimatkalimat yang pendek-pendek, namun tingkat keterbacaan puisi justru malah menjadi rendah atau sulit dibaca. Hal ini semakin memperkuat bukti bahwa unsur semantis tidak dapat terjangkau oleh alat ukur keterbacaan yang ada. ►Selanjutnya, mungkin timbul pertanyaan pada diri kita, bagaimana halnya dengan kriteria kesulitan kata yang disebut-sebut sebagai faktor penentu formula keterbacaan? Bukankah jika kita berbicara tentang tingkat kesulitan kata berarti kita tengah berbicara tentang makna (unsur semantis)? Tolok ukur tingkat kesulitan kata di sini tidak didasarkan atas unsur semantisnya (seperti yang kita duga), melainkan didasarkan atas unsur panjangpendek kata yang bersangkutan. ►Seperti halnya kriteria kesulitan kalimat, kriteria kesulitan kata juga didasarkan atas wujud (struktur) yang tampak. Jika sebuah kalimat atau kata secara visual tampak lebih panjang, artinya kalimat atau kata tersebut tergolong sukar. sebaliknya, jika sebuah kalimat atau ►
perhatikan contoh-contoh kalimat berikut. A. Ini Budi. Ini ibu Budi. Ibu Budi sedang memasak. Ini Wati. Wati kakak Budi. Wati sedang menyiram bunga. Pak Ahmad ayah Budi. Beliau sedang membaca koran. Mereka berempat tinggal di kampung Cimanggu. tempat tinggalnya tidak jauh dari pasar. B. Ini Budi yang dilahirkan dari pasangan ibu dan bapak Ahmad dan berkakakkan seorang perempuan bernama Wati. Jika ibu Budi memasak, kakaknya melakukan pekerjaan lain, yakni menyiram bunga; sedangkan ayahnya membaca koran. Mereka berempat tinggal di kampung Cimanggu yang letaknya tidak jauh dari pasar yang berada di kampungnya. Bandingkan kalimat-kalimat yang tertulis pada contoh A dan kalimat-kalimat yang tertulis pada contoh B! ►Ditinjau dari segi informasi/maksud kalimat, kedua contoh penyajian kalimatkalimat tersebut tidaklah berbeda secara berarti. Kedua bentuk penyajian kalimat tersebut mengandung informasi dan maksud yang sama. Namun dilihat dari segi penuangan ide ke dalam wujud-wujud kalimat, seperti tampak pada contoh penyajian kalimat bentuk A dan bentuk B, terdapat perbedaan yang sangat mencolok. Contoh penyajian A menggunakan kalimat-kalimat yang relatif pendek-pendek; sementara contoh penyajian B menggunakan kalimat-kalimat kompleks yang relatif panjang-panjang.
Penggunaan Formula Keterbacaan ►Untuk
mengukur bahan bacaan di kelas-kelas rendah, formula yang lazim dipakai ialah formula keterbacaan dari Spache. Formula tersebut dibuat pada tahun 1953. Dua faktor utama yang menjadi dasar dari penggunaan formula tersebut ialah panjang rata-rata kalimat dan persentase kata-kata sulit. Melalui berbagai pengkajian, formula-formula itu telah dibuktikan keabsahan dan keterpercayaannya untuk memperkirakan tingkat keterbacaan wacana. Akan tetapi, formula spache itu kompleks dan penggunaannya memakan banyak waktu. ►Rumus yang sering digunakan di kelas-kelas empat sampai kelas enam belas ialah rumus yang dibuat oleh Dale & Chall. Rumus ini mula-mula diperkenalkan pada tahun 1947. Sama halnya dengan rumus Spache, rumus Dale-Chall pun menggunakan panjang kalimat dan kata-kata sulit sebagai faktor-faktor penentu tingkat kesulitan bacaan. Rumus ini pun cukup kompleks dan memakan banyak waktu. ►Grafik Fry merupakan hasil upaya untuk menyederhanakan dan mengefisienkan teknik penentuan tingkat keterbacaan wacana. Faktor-faktor tradisional: panjang-pendek kalimat dan kata-kata sulit masih tetap digunakan. Namun, kesukaran kata diperkirakan dengan cara melihat jumlah suku katanya. Dijelaskan oleh Fry bahwa formula keterbacaan yang dikembangkannya itu (Grafik Fry) dan formula Spache berkorelasi 0.90, sedangkan dengan formula Dale-Chall berkorelasi 0.94. Korelasi yang tinggi itu menunjukkan adanya keajegan rumus-rumus dan ketepercayaan penggunaan alat ukur yang diciptakannya.
Formula Keterbacaan Fry: Grafik Fry Keterbacaan dari Edward Fry yang kemudian kita kenal dengan sebutan "Grafik Fry". Grafik keterbacaan yang diperkenalkan Fry ini merupakan formula yang dianggap relatif baru dan mulai dipublikasikan pada tahun 1977 dalam majalah "Journal of Reading". Grafik yang asli dibuat pada tahun 1968.
►
►Sebelum
sampai pada penggunaan grafik dimaksud untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana, sebaiknya kita kenali dulu grafik dimaksud dengan sebaik-baiknya. Jangan lupa, bahwa formula ini mendasarkan formula keterbacaannya pada dua faktor utama, yakni panjang-pendeknya kata dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah (banyak-sedikitnya) suku kata yang membentuk setiap kata dalam wacana tersebut. Silakan anda perhatikan formula (Grafik Fry) dimaksud, seperti tertera di bawah ini. Hal ini penting anda camkan agar pada saat mengenali grafik Fry, anda sudah paham cara menggunakannya. Hal ini akan menjadi dasar pertimbangan kita pada saat melakukan penafsiran terhadapnya.
Apa yang bisa anda jelaskan mengenai grafik tersebut? Di bagian atas grafik kita dapati deretan angka-angka seperti berikut: 108, 112, 116, 120, dan seterusnya. Angka-angka dimaksud menunjukkan data jumlah suku kata per seratus perkataan, yakni jumlah kata dari wacana sampel yang dijadikan sampel pengukuran keterbacaan wacana. Pertimbangan penghitungan suku kata pada grafik ini merupakan cerminan dari pertimbangan faktor kata sulit, yang dalam formula ini merupakan salah satu dari dua faktor utama yang menjadi landasan bagi terbentuknya formula keterbacaan dimaksud. Angka-angka yang tertera di bagian samping kiri grafik, seperti angka 25.0, 20, 18.7, 14.3 dan seterusnya menunjukkan data rata-rata jumlah kalimat per seratus perkataan. Hal ini merupakan perwujudan dari landasan lain dari faktor penentu formula keterbacaan ini, yakni faktor panjangpendek kalimat. Angka-angka yang berderet di bagian tengah grafik dan berada di antara garis-garis penyekat dari grafik tersebut menunjukkan perkiraan peringkat keterbacaan wacana yang diukur. Angka 1 menunjukkan peringkat 1, artinya wacana tersebut cocok untuk pembaca dengan level peringkat baca 1; angka 2 untuk peringkat baca 2, angka 3 untuk peringkat baca 3, dan seterusnya hingga pada peringkat universitas. Daerah yang diarsir pada grafik yang terletak di sudut kanan atas dan di sudut kiri bawah grafik merupakan wilayah invalid. Maksudnya, jika hasil pengukuran keterbacaan wacana jatuh pada wilayah gelap tersebut, maka wacana tersebut kurang baik karena tidak memiliki peringkat baca untuk peringkat mana pun. Oleh karena itu, wacana yang demikian sebaiknya tidak digunakan dan diganti dengah wacana lain. Mengapa harus "seratus" perkataan? Angka tersebut merupakan jumlah kata yang dianggap sebagai jumlah yang representatif untuk mewakili sebuah wacana. Meskipun yang akan diukur keterbacaannya itu berupa buku yang tebalnya lebih kurang 500 halaman, pada saat dilakukan pengukuran keterbacaan, kita tidak perlu mengukur seluruh buku tersebut sejak halaman pertama hingga halaman terakhir buku itu. Kita cukup mengambil sampel dari bacaan tersebut sebanyak 100 perkataan. Memang, terdapat ketentuan khusus untuk pengukuran keterbacaan bahan-bahan bacaan yang relatif tebal seperti halnya buku; yakni pengukuran keterbacaan wacana itu harus dilakukan sebanyak tiga kali dengan sampel wacana yang berbeda-beda. Sampel pertama mungkin diambil dari halamanhalaman awal sebuah buku; sampel kedua dari bagian tengah buku; dan sampel terakhir dari halaman-halaman akhir buku itu. Apakah pengukuran keterbacaan wacana yang dilakukan terhadap sampel wacana sebanyak 100 perkataan itu hasilnya benar-benar dapat mencerminkan tingkat keterbacaan wacana secara keseluruhan? Mari kita bandingan proses pengukuran keterbacaan dimaksud dengan proses pengukuran suhu tubuh oleh para dokter terhadap pasienya dengan stetoskop: dia hanya akan memilih bagian-bagian tubuh tertentu dari tubuh si pasien sebagai sampel.
Petunjuk penggunaan Grafik Langkah (1) Pilihlah penggalan yang representatif dari wacana yang hendak diukur tingkat keterbacaannya tersebut dengan mengambil 100 buah perkataan daripadanya. Yang dimaksud dengan kata dalam hal ini ialah sekelompok lambang yang di kiri dan kanannya berpembatas. Dengan demikian, lambang-lambang berikut, seperti Budi, IKIP, 1999, =, masing-masing dianggap sebagai satu perkataan. Yang dimaksud dengan "representatif" dalam memilih penggalan wacana ialah pemilihan wacana sampel yang benar-benar mencerminkan teks bacaan. Wacana yang diselingi dengan gambar-gambar, kekosongan-kekosongan halaman, tabel-tabel, rumusrumus yang mengandung banyak angka-angka, dan lain-lain dipandang tidak representatif untuk dijadikan sampel wacana. Langkah (2) Hitunglah jumlah kalimat dari seratus buah perkataan tersebut hingga perpuluhan yang terdekat. Maksudnya, jika kata yang termasuk ke dalam hitungan 100 buah perkataan (sampel wacana) tidak jatuh di ujung kalimat, maka penghitungan kalimat tidak akan selalu utuh, melainkan akan ada sisa. Sisanya itu tentu berupa sejumlah kata yang merupakan bagian dari deretan kata-kata yang membentuk kalimat utuh. Karena keharusan pengambilan sampel wacana berpatokan pada angka 100, maka sisa kata yang termasuk ke dalam hitungan seratus itu diperhitungkan dalam bentuk desimal (perpuluhan).
Beberapa Catatan Penting tentang Grafik Fry Pertama, untuk mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku (yang biasanya relatif tebal jumlah halamnnya), pengukuran keterbacaan ini hendaknya sekurang-kurangnya dilakukan sebanyak tiga kali percobaan dengan pemilihan sampel yang berbeda-beda. Si pengukur hendaknya mengambil tiga pilihan sampel wacana, yakni wacana dari bagian awal buku, dari bagian tengah buku, dan dari bagian akhir buku. Untuk artikel dan jurnal, atau surat kabar, pengkuran keterbacaan wacananya cukup dilakukan satu kali, kecuali jika penulisnya berbeda-beda. Dalam mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku, setelah si pengukur menempuh langkahlangkah petunjuk penggunaan Grafik Fry, selanjutnya hitunglah hasil rata-ratanya. Data hasil ratarata inilah yang kemudian akan dijadikan dasar untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana buku tersebut. Kedua, Grafik Fry merupakan hasil penelitian terhadap wacana bahasa Inggris. Seperti kita ketahui, struktur bahasa Inggris sangat berbeda dengan struktur bahasa Indonesia, terutama dalam hal sistem suku katanya. Untuk memperoleh gambaran mengenai hal ini, mari kita perhatikan contoh sederhana berikut. 1) I go to school. 2) Saya pergi ke sekolah. Pada contoh kalimat 1) (bahasa Inggris) kita dapati 4 suku kata; sedangkan dalam kalimat 2) (bahasa Indonesia) kita dapati 8 suku kata. Dalam bahasa Inggris, pada umumnya sering kita jumpai kata-kata yang bersuku tunggal. Coba saja kita periksa kosakata nama diri dalam bahasa Inggris, misalnya: hand, foot, leg, lip, mouth, tooth, head, hair dan seterusnya; kemudian mari kita bandingkan dengan kosakata berikut: tangan, kaki, bibir, mulut, gigi, kepala, rambut. Berdasarkan contoh-contoh berikut, kita berkesimpulan bahwa sistem pola suku kata dalam bahasa Indonesia pada umumnya mempunyai ciri dwisuku atau bahkan lebih. Keadaan ini sangat berbeda dengan sistem persukukataan dalam bahasa Inggris. Dari 100 buah perkataan dalam bahasa Indonesia, pada umumnya akan diperoleh jumlah suku kata di atas 200-an. Berdasarkan kenyataan tersebut, dapatlah dipastikan bahwa berdasarkan Grafik Fry tidak akan pernah didapati wacana bahasa Indonesia yang cocok untuk peringkatperingkat kelas rendah, seperti kelas 1 dan 2, sebab titik pertemuan antara garis yang menunjukkan rata-rata jumlah kalimat dan rata-rata jumlah suku kata akan selalu jatuh pada daerah yang diarsir. Melihat kasus contoh wacana yang kita sajikan di
Daftar Konversi untuk Grafik Fry Kadang-kadang guru perlu mengevaluasi bacaan yang terdiri atas kata-kata yang jumlahnya kurang dari seratus buah, seperti pertanyaan-pertanyaan dalam tes, petunjuk untuk melakukan kegiatan tertentu, pengumuman-pengumuman singkat, atau petunjuk-petunjuk penggunaan obata-obatan tertentu. Untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana-wacana yang demikian, yang jumlah katanya kurang dari seratus perkataan, para ahli telah menemukan jalan pemecahan yang cukup sederhana. Mereka telah melakukan penyesuaian terhadap prosedur penggunaan Grafik Fry dengan mengajukan daftar konversi Grafik Fry. Prosedur kerja yang disarankan ialah dengan menempuh langkah-langkah berikut ini: Langkah (1) Hitunglah jumlah kata dalam wacana yang akan diukur tingkat keterbacaannya itu dan bulatkan pada bilangan puluhan yang terdekat. Jika wacana tersebut terdiri atas 54 buah kata, misalnya, maka jumlah tersebut diperhitungkan sebagai 50; jika jumlah wacana itu ada 26 buah, maka bilangan kebulatannya ialah 30. Langkah (2) Hitunglah jumlah suku kata dan kalimat yang ada dalam wacana tersebut. Kegiatan ini dilakukan dengan cara yang sama seperti langkah 2 dan 3 pada petunjuk penggunaan Grafik Fry (seperti telah kita demonstrasikan) pada penjelasan terdahulu. Langkah (3) Selanjutnya, perbanyak jumlah kalimat dan suku kata (hasil perhitungan langkah 2 tersebut) dengan angka-angka yang ada dalam Daftar Konversi seperti yang tampak di bawah ini. Dengan demikian, guru dapat menggunakan lagi Grafik Fry menurut tata tertib seperti yang sudah dijelaskan terdahulu.Dengan kata lain, data yang diplotkan ke dalam grafik adalah data yang telah diperbanyak dengan daftar konversi.
DAFTAR KONVERSI UNTUK GRAFIK FRY jika jumlah kata dalam wacana itu berjumlah:perbanyaklah jumlah suku-kata dan kalimat dengan bilangan berikut:303,3402,5502,0601,67701,43801,25901,1 Mari kita perhatikan contohnya. Dalam contoh di bawah ini, kita umpamakan setiap tanda garis putus menunjukkan suku kata dan kemlompok tanda garis putus-putus tersebut kita umpamakan sebagai kata yang terdapat dalam sebuah wacana. Selanjutnya, coba anda tentukan tingkat keterbacaan wacana tersebut! Cocok untuk kelas berapakah wacana tersebut? Wacana jumlah suku-kata ---- -- -- -- -- --- ---- - --- -, 25 - --- -- -- -- --? -- -- - -- 20 -- --- -- - -- --- --? 15 ______________ Jumlah 60 Jika kita ingin menentukan tingkat keterbacaan wacana (contoh) di atas, maka akan kita dapati data berikut ini. (a) Jumlah kata dalam wacana tersebut ada 34 buah, pada daftar konversi diklasifikasikan ke dalam golongan angka 30 (b) Jumlah kalimatnya ada 2 buah. (c) Jumlah suku katanya ada 60 suku kata. (d) Angka konversi untuk perbanyakan jumlah kalimat dan jumlah suku kata untuk jumlah kata 30 adalah 3.3. Dengan demikian jumlah kalimat dan jumlah suku kata hasil konversi menjadi: * jumlah kalimat : 2 X 3.3 = 6.6 * jumlah suku kata: 60 X 3.3 = 198 (e) Setelah diplotkan ke dalam Grafik Fry, titik temu dari persilangan data kalimat (6.6) dengan data suku kata (198) itu jatuh pada wilayah universitas. Artinya tingkat keterbacaan wacana tersebut, cocok untuk peringkat universitas.