Bahan Ajar Anti Korupsi
KORUPSI, PEJABAT, DAN MEGALOMANIA Oleh: Wardjito Soeharso
Korupsi adalah tematik berita paling panas sepanjang tahun 2009 lalu. Hampir semua media massa menyoroti secara khusus berita-berita tentang korupsi. Dan memang korupsi melibatkan penguasa negara dari level atas sampai yang terbawah. Puncak berita tentang korupsi tahun lalu adalah kasus Anggodo Widjoyo, yang melatar belakangi “cicak lawan buaya”, konflik KPK versus Polri, dan skandal Bank Century, yang sampai hari-hari terakhir ini masih tetap menjadi topik utama berita media massa.
Korupsi memang tidak lepas dari penguasa. Kekuasaan itu cenderung korup, power tends to corrupt. Kita di Indonesia sudah punya banyak contoh. Presiden korupsi, ada, walau sudah almarhum (Soeharto). Menteri korupsi, banyak yang sudah diadili dan masuk bui. Gubernur korupsi, banyak yang sudah terbukti dan yang
masih
antri.
Bupati/walikota
korupsi,
menurut
survey
40%
dari
bupati/walikota di Indonesia terindikasi korupsi. Begitu juga dengan para wakil rakyat, penegak hukum, birokrasi, semua seolah berlomba ikut terlibat dengan korupsi.
Sejujurnya, nampaknya sangat sulit mencari pejabat yang tidak korupsi di negeri ini. Gaya hidup sebagian besar mereka memperlihatkan kemewahan yang secara kasat mata tidak sebanding dengan penghasilan resmi mereka. Meskipun demikian, mereka berani tampil secara terbuka. Semua itu karena masyarakat melihat korupsi bukan suatu hal yang aneh lagi. Tata nilai masyarakat tentang makna keberhasilan seseorang telah jauh berubah. Keberhasilan sekarang ini dilihat dari sudut pandang materialistik. Orang disebut sukses apabila punya rumah mewah, mobil mewah, gaya hidup mewah. Sedang orang yang hidup sederhana, apalagi miskin, selalu saja disebut sebagai orang yang gagal.
Bisa dimengerti apabila kemudian orang cenderung berusaha sekuat tenaga untuk dapat memperlihatkan kesuksesan itu dengan segala bentuk kemewahan. Di mana-mana yang namanya pejabat cenderung berusaha tampil mewah. Celakanya, masyarakat sudah salah kaprah. Pejabat yang tampil mewah disebut sebagai pejabat yang sukses. Padahal, masyarakat tahu persis gaji pejabat tidak mungkin dapat dipakai untuk hidup mewah. Apologi yang berlaku kemudian adalah, pejabat dapat hidup mewah karena banyak “pat gulipatnya”. Dan pat gulipat pejabat ini dipercaya masyarakat justru jauh lebih besar dari gaji bulanannya. Dari sini, jelas kiranya, persepsi masyarakat tentang pejabat korupsi. Masyarakat tahu belaka kemewahan itu diperoleh dari perilaku pat gulipat yang nota bene adalah korupsi, namun masyarakat tidak peduli. Karena masyarakat tidak peduli, para pejabat pun tidak lagi punya perasaan risih, tidak takut dicurigai kemewahannya diperoleh dari korupsi. Semakin mewah penampilan seorang pejabat, semakin tinggi wibawanya dan semakin banyak dihormati.Sebaliknya, bila ada pejabat yang tampil seadanya, sederhana, tidak punya apa-apa, malah dilecehkan, diejek sebagai pejabat goblok yang tidak mampu memanfaatkan kesempatan.
Pejabat itu manja.
Persepsi salah kaprah itu tentu tidak muncul begitu saja. Mengapa pejabat selalu ingin tampil serba mewah, sepertinya karena memang pemerintah sendiri cenderung memanjakan pejabatnya. Pejabat banyak diberi fasilitas yang serba mewah untuk menaikkan pamor wibawanya , sehingga secara psikis seorang pejabat memang seperti sengaja dibentuk menjadi sosok yang harus tampil mewah agar berwibawa.
Lihat saja, ruang kerja pejabat selalu luas dengan kelengkapan furniture berselera. Meja kerjanya pun kebanyakan meja biro besar, lebar, dengan kursi duduk empuk bersandaran tinggi. Papan nama dan jabatan dari kayu berukir
bertengger di atas meja kerja, yang akan selalu dibaca oleh siapa saja yang menghadap kepadanya. Semua keperluannya dilayani dengan baik oleh stafnya, dari yang sangat pribadi seperti makan minum sampai urusan dinas seperti surat menyurat. Ditambah bila pergi ke mana saja disediakan mobil yang juga mewah. Dapat dibayangkan, suasana psikis seperti apa yang muncul dalam diri para pejabat itu. Semua kemewahan itu begitu enak dan menyenangkan, malah melenakan. Sudah tertanam dalam mindset mereka, jabatan identik dengan kemewahan, dan kemewahan itu sendiri selalu melekat uang bersamanya. Maka, wajar saja bila mereka kemudian saling berlomba untuk meraih jabatan yang lebih tinggi karena mereka sangat paham, semakin tinggi jabatan akan memberikan fasilitas kemewahan semakin tinggi juga.
Megalomania! Itulah sebenarnya yang sedang terjadi pada diri para pejabat di negeri ini. Sebuah sindroma psikologis bagi seseorang yang selalu ingin kelihatan besar, tinggi, berkuasa, mewah, dan sejenisnya (wikipedia). Pokoknya semua harus serba “wah”. Sindroma megalomania ini bahkan terbawa dalam pola kerja. Yang muncul kemudian adalah berbagai program yang berorientasi pada yang serba “ter”, seperti membangun gedung tertinggi, terbesar, termegah; membuat jembatan terpanjang, terkokoh; membangun pasar atau taman rekreasi terlengkap, termodern; memasang videotrone terbanyak, tercanggih; dan seabreg kerja lain yang semuanya cenderung berkonotasi mega (besar). Para pejabat itu dengan bangganya akan memamerkan ke mana saja karya-karya yang serba ter itu.
Sebaliknya, untuk kerja yang tidak memiliki nilai ter atau mega, mereka menjadi seperti malas mengerjakannya. Lihat saja program bantuan langsung tunai (BLT), bantuan beras untuk si miskin (raskin), jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas), penataan pedagang kaki lima (PKL), dan masih banyak kerja populis lainnya, selalu saja terkesan tidak serius, rumit dan berbelit dengan masalah.
Semua itu artinya cuma satu: kerja bernilai mega memberikan kebanggaan, applaus, kepuasan, dan tentu saja fee atau gratifikasi berupa uang; sementara kerja populis mengurusi rakyat adalah kerja bakti, yang tidak memberikan apaapa kecuali caci maki kalau rakyat tersakiti, atau sekedar simpati dan apresiasi kalau rakyat menyukai. Kondisi fisik dan psikis lingkungan kerja seperti itu tanpa sadar kemudian terbawa ke luar. Kalau di kantor ruang kerjanya luas, meja kerjanya besar, kursi duduknya tinggi, mobilnya mewah, semua itu sepertinya harus pula diikuti dengan apa yang ada di luar kantornya. Inilah jawaban mengapa para pejabat kemudian sangat haus dengan tanah yang luas, rumah yang besar dan megah, mobil mahal dan mewah, dan berbagai status terhormat dalam berbagai organisasi non-dinas lainnya.
Jadi tidak perlu heran apabila dari hari ke hari semakin banyak saja pejabat yang terbukti melakukan korupsi. Sindroma megalomania menuntut pemenuhan kebutuhan yang akan terus bertambah dan bertambah, tidak pernah tahu sampai di mana batas akhirnya. Dan, memang itulah faktanya: korupsi karena dorongan kebutuhan persentasenya mencapai 85% dari total kasus korupsi yang terjadi (KPK: 2005).
Kalau fakta obyektifnya seperti ini, mestinya pemerintah tidak perlu lagi memanjakan pejabatnya. Bisa saja dibuat aturan, spesifikasi gedung sederhana untuk kantor-kantor pemerintah. Seperti apa ruang kerja, kelengkapan mebelair, dan kursi duduk menteri, gubernur, bupati/walikota, pejabat eselon 1, 2, 3, dan seterusnya. Mobil seperti apa yang mencerminkan kesederhanaan untuk menteri, gubernur, bupati/walikota, pejabat eselon, dan seterusnya. Dengan aturan yang jelas, tidak akan ada lagi perlombaan pembangunan gedung kantor yang megah, persaingan pemberian fasilitas mobil yang serba mewah. Demikian pula, pembangunan berbagai mega proyek berkonotasi ter yang hanya memberikan kebanggaan semu, dapat dicegah dan dihindari.
Dengan tidak memanjakan pejabatnya, pemerintah tentu dapat menghemat anggaran cukup signifikan. Anggaran untuk segala kemewahan yang serba mega dan ter itu tentu akan lebih bermanfaat untuk memberdayakan ekonomi rakyat. Yang lebih penting lagi, pejabat pemerintah jadi tampil lebih sederhana, dekat dengan suasana batin rakyat, jauh dari sindroma megalomania, yang membuat mereka selalu haus dengan yang serba besar, hebat, dan wah.
Kiranya itulah sesungguhnya mimpi seluruh rakyat Indonesia.
Penulis adalah Alumnus Fak. Sastra Undip (1983) dan College of Communication, Boston University, AS (1994), dan sekarang bekerja sebagai Widyaiswara pada Badan Diklat Prov. Jateng.