Materi Bahan Ajar Mata Diklat Pilar2 Kebangsaan (Diklat Pim IV)
PANCASILA MATI SURI Oleh: Wardjito Soeharso
Ideologi
tanpa
lawan
akan
mati.
Begitu
kira-kira
logika
yang
ingin
disampaikan Jacques Ellul dalam bukunya yang sangat terkenal: Propaganda (1972). Ya, ideologi memperoleh energi untuk terus eksis justru dari serangan lawan.
Ideologi
akan
terus
bertahan
ketika
ada
lawan
menghadang.
Sebaliknya, ideologi akan kehilangan daya bila tak ada ancaman yang harus ditentang. Pancasila sebagai ideologi negara, dalam dua dasawarsa terakhir, mengalami penurunan popularitas yang sangat tajam. Dari tahun 1965 sampai akhir 1980 an, Pancasila berada pada puncak kejayaannya. Pancasila dikatakan “sakti” karena berhasil menghadang “musuh bebuyutan”nya, yaitu ideologi komunis yang diangkat oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Walau pun PKI sudah dibubarkan dan dianggap telah mati sejak gagalnya usaha kudeta, dengan gerakan G.30.S-nya, namun ideologi komunis masih dianggap sebagai bahaya latent, ancaman serius, terhadap eksistensi Pancasila. Seiring dengan pecahnya Uni Sovyet, komunisme sebagai ideologi pelan-pelan juga ikut mati. Uni Sovyet sendiri, sebagai “bapak” komunisme telah mengubah dirinya menjadi negara yang lebih terbuka, mengikuti arus demokrasi. Begitu pula, negara-negara yang dulunya menjadi blok komunis, satu demi satu meninggalkan komunisme, mencoba mencari bentuk yang lebih sesuai dengan tuntutan dunia yang semakin kuat menerapkan demokrasi. Komunisme sebagai ideologi saat ini sudah tidak lagi dihadapkan vis a vis sebagai musuh demokrasi liberal. Akibatnya, Amerika Serikat yang selama ini mengklaim sebagai lawan komunisme, menjadi kehilangan musuh
bebuyutannya. Sama seperti Indonesia, matinya komunisme membuat ideologi negara kehilangan musuh yang harus dilawan. Amerika Serikat sangat sadar, matinya komunisme berbahaya bagi eksistensi ideologi demokrasi liberalnya. Menurut Ellul, tanpa adanya lawan, mustahil propaganda
ideologi
dapat
dilakukan.
Propaganda
hanya
akan
efektif
manakala ada lawan ideologi yang harus diserang. Oleh karena itu, demi kepentingan propaganda untuk memberikan keyakinan kepada rakyatnya bahwa
ideologinya
adalah
yang
terbaik
di
dunia,
dan
harus
tetap
dipertahankan, Amerika Serikat dengan tangkas segera mengidentifikasi musuh baru ideologinya. Dan dunia mengetahui, sejak komunis mati, Amerika Serikat menyatakan perang melawan musuh barunya, yaitu Islam Militan, yang disebutnya sebagai teroris dengan tokoh sentralnya: Oshama Bin Ladeen. Propaganda Amerika Serikat dalam memerangi Islam Militan juga terasa kuat di Indonesia. Kelompok militan ini di Indonesia ikut berkembang pesat, dengan kepentingan-kepentingan
Amerika
Serikat
pula
yang
menjadi
target
perlawanannya. Dari semua kasus teror yang terungkap, kebencian terhadap Amerika Serikat lah yang melatar-belakangi motif para pelakunya. Sekali lagi, ini membuktikan, Amerika Serikat telah sukses mendesain Islam Militan sebagai musuh baru ideologinya. Nampaknya
Indonesia
sendiri
ingin
meniru
Amerika
Serikat,
dengan
memposisikan Islam Militan juga sebagai musuh Pancasila. Tapi usaha ini gagal karena Islam dan Pancasila pada dasarnya merupakan dua ideologi yang saling melengkapi. Di dalam Pancasila, sila pertama adalah pengakuan negara ini menempatkan agama sebagai landasan utama, sekaligus sumber utama nilai, dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara. Jadi, siapa pun yang berusaha mempertentangkan agama dengan Pancasila, pasti tidak akan pernah memperoleh simpati dan dukungan rakyat, meskipun yang mencoba adalah aparatur negara, pemerintah itu sendiri.
Inilah yang sekarang terjadi. Sebagai ideologi, Pancasila sedang mati suri. Mati karena tidak memiliki lawan yang harus ditentang. Propaganda untuk mengangkat Pancasila menjadi sangat berat. Rakyat seolah sudah lupa bila negara memiliki ideologi. Pancasila tidak lagi dianggap sakral, sakti. Pancasila sudah berubah. Ruh Pancasila sudah terbang melayang entah ke mana. Yang tinggal sekarang hanyalah jasadnya yang dipertontonkan sebagai sekedar hafalan yang diucapkan pada setiap upacara bendera. Sebenarnya banyak pihak yang sudah menyadari bahwa Pancasila sedang mati suri. Ada keinginan untuk menggugah agar Pancasila bangkit dan kembali mengisi jiwa bangsa ini. Yang menjadi masalah: bagaimana caranya mengembalikan Pancasila sebagai ideologi yang kuat dan dipercaya rakyat? Sepertinya, logika ideologi tanpa lawan akan mati, sepenuhnya harus disadari dan dipahami sebagai strategi untuk memelihara dan mempertahankan Pancasila. Pancasila sekarang mati suri juga karena telah kehilangan lawan dalam dua dasawarsa terakhir. Pancasila menjadi tidak berdaya karena tidak ada “pesan” yang dipakai alat propaganda untuk menunjukkan kehebatan dan kesaktiannya. Untuk itu, perlu segera diidentifikasi musuh baru, agar Pancasila memperoleh energi baru. George Orwell, sastrawan Inggris justru sangat sadar tentang logika ideologi ini. Dalam novelnya, 1984 yang fenomenal itu, Orwell memberikan pelajaran berharga, bahwa bila perlu, lawan ideologi itu diciptakan, walau dalam bentuk artifisial, bayang-bayang, yang hanya mengisi kepala rakyat. Dengan adanya lawan ini, meskipun artifisial, propaganda untuk mengangkat ideologi selalu memiliki pesan yang jelas arahnya. Masalahnya, siapakah atau ideologi yang manakah yang paling pantas dihadapkan sebagai lawan Pancasila, sekarang ini? Komunis
telah
mati.
Kapitalisme
dan
liberalisme
dalam
banyak
hal
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Namun untuk memposisikan kapitalisme dan liberalisme sebagai lawan Pancasila tidak mungkin, karena
negara secara obyektif, legal formal, memberikan ruang kepada kedua ideologi ini hidup berdampingan dengan Pancasila. Sedang terorisme alias islam militan terbukti tidak laku dijual karena mayoritas bangsa ini beragama Islam dan mereka tidak rela islam dipertentangkan dengan Pancasila. Sebenarnya ada ideologi baru yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Ideologi itu adalah hedonisme, sebuah paham yang mengedepankan kenikmatan dunia, yang sekarang ini sangat digandrungi oleh banyak orang. Hedonisme sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Orientasi orang sekarang ini sudah terpusat pada segala hal yang berbau nafsu duniawi, yang selalu berkait dengan harta, tahta, dan wanita. Orang sangat senang mengejar kekuasaan,
kemewahan,
dan
seksualitas,
sehingga
semakin
jauh
meninggalkan spiritualitas dan religiusitas. Dan menurut saya, hedonisme itulah musuh nyata Pancasila saat ini.
Mengembalikan Jatidiri Bangsa, Mungkinkah? Perjalanan hidup sebuah bangsa dan negara tergantung bagaimana bangsa itu bertahan dari berbagai tantangan yang dihadapinya, baik tantangan internal maupun eksternal. Bangsa-bangsa Eropa adalah bangsa-bangsa yang telah terbukti mampu bertahan dalam hitungan ratusan tahun. Eksistensi mereka, sebagai contoh bangsa Inggris dan Perancis, diakui dunia sejak berabad-abad lalu, dan sampai sekarang masih tetap mampu menunjukkan diri sebagai bangsa yang besar, punya identitas dan karakteristik yang dibanggakan dalam kancah pergaulan antar bangsa di dunia. Di asia kita mengenal Cina dan Jepang. Dua bangsa asia ini juga telah eksis sejak berabad-abad lalu, dan sampai sekarang keberadaan mereka cukup disegani.
Di
manapun
mereka
berada,
dalam
lingkaran
pergaulan
internasional, mereka mampu menampilkan diri mereka dengan karakteristik yang khas, setiap orang dengan cepat mengenali mereka sebagai bangsa Cina dan Jepang. Lalu di era informasi ini, kita mengenal bangsa Amerika. Bangsa yang terbentuk dari gabungan berbagai suku, agama, ras, dan kelompok, dengan paham liberalisme independennya, mampu membius dunia dengan ideologi barunya. Mereka menyebut dirinya pelopor demokrasi dan pemuja hak azasi manusia, dan dengan penuh semangat mengkampanyekan ideologi dan budaya globalnya (Toffler & Naisbitt: 1980 & 1982)) ke seluruh penjuru dunia. Mereka sangat bangga dengan dirinya, ”we are proud to be americans”, mereka sangat percaya diri, sangat yakin dengan eksistensinya. Ilustrasi ini sekedar memperlihatkan bahwa bangsa yang besar, bangsa yang kuat
karakteristiknya
adalah
bangsa
yang
mampu
mempertahankan
"kekhasan" jati dirinya. Kekhasan yang mencirikan suatu bangsa berasal dari nilai-nilai yang dipercayainya, dan nilai-nilai itu nampak dalam manifestasi pola pikir, pola sikap, dan perilaku, yang secara utuh dapat disimpulkan sebagai "budaya" dari sebuah bangsa. Bagaimana dengan bangsa Indonesia? Sudahkah bangsa kita mampu menampilkan jati diri sesuai nilai-nilai dan budaya Indonesia, terutama bila dilihat dari sudut tata pergaulan antar bangsa? Cukup sulit menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Mochtar Lubis (1977) pernah membuat daftar panjang 12 ciri manusia Indonesia. Hipokrit (munafik), tidak bertanggungjawab, feodal, percaya takhayul, boros (suka pesta), arogan, adalah beberapa ciri yang cukup dominan. Dari 12 ciri yang dilihat Mochtar Lubis, ternyata hampir semuanya bernuansa negatif, kecuali dua hal, yaitu artistik dan suka meniru. Memang, penilaian Mochtar Lubis boleh dianggap sangat subyektif, berupa persepsi dan opini yang berangkat dari
penglihatan
dia
dengan
memakai
kacamata
perkembangan dan perjalanan budaya bangsa Indonesia.
"kecewa"
terhadap
Nurdien HK (1983) melihat memang telah terjadi perubahan nilai-nilai di Indonesia. Menurutnya, Indonesia sejak era 70'an dan saya kira sampai sekarang, berada dalam kondisi "anomali", tidak pasti, serba kacau, karena begitu kuatnya penetrasi nilai-nilai dan budaya asing yang masuk ke Indonesia. Ibaratnya, kaki kiri kita masih berpijak pada nilai-nilai tradisi, tetapi kaki kanan kita sudah melangkah di dunia modern, dunia dengan sentuhan teknologi yang notabene adalah dunia milik bangsa-bangsa maju dari belahan bumi sebelah barat sana. Begitulah jadinya. Walaupun sudah setengah abad lebih merdeka, kita bangsa Indonesia masih belum selesai dengan pergulatan mencari identitas yang jelas. Seperti apa sebenarnya "wajah" bangsa kita ini. Yang jelas wajah kita sekarang ini adalah wajah yang belang-belang, sebagian masih berbentuk wajah tradisi, yang ditampilkan melalui pola pikir dan pola sikap lokal, tetapi sebagian wajah kita sudah berbentuk wajah modern, yang ditampilkan melalui gaya hidup yang cenderung materialistik dan hedonistik.
***
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah titik tolak bangunnya bangsa Indonesia. Mengaku berbangsa satu, bertumpah darah satu, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, telah dicanangkan sebagai komitmen sebuah bangsa yaitu
bangsa
Indonesia.
Komitmen
ini
kemudian
dengan
gamblang
diterjemahkan dalam konstitusi ketika bangsa Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945. Pembukaan UUD 1945, yang berisi visi, misi, dan filosofi bangsa, untuk mengintepretasikan Sumpah Pemuda, adalah bagian dari model pembentukan jati diri bangsa Indonesia yang kita inginkan bersama. Filosofi bangsa yang kita kenal sebagai Pancasila, dengan kelima sila yang ada di dalamnya, merupakan nilai-nilai yang harus kita percayai dan mewarnai budaya kita dalam bentuk pola pikir, pola sikap, dan perilaku
dalam
kehidupan kita sehari-hari. Kita harus percaya, apabila kita memegang kuat nilai-nilai Pancasila, niscaya daya tahan kita akan kuat dan tidak mudah terpengaruh atau tergeser oleh nilai-nilai dan budaya asing yang gencar menerpa. Nilai-nilai Pancasila yang dikatakan "sakti", untuk menekankan betapa pentingnya kita memeliharanya sebagai "komitmen", semestinya dimengerti, dipahami, dijiwai, dan terus digenggam erat sebagai pedoman hidup. Masalah mendasar yang menjadi pertanyaan sekarang adalah: bagaimana kita mampu menjaga, memelihara nilai-nilai Pancasila yang sakti dan mulia itu tetap tumbuh dan berkembang dalam diri kita. Bagaimana kita menjaga nilai-nilai itu tetap utuh sebagai “komitmen” yang menjadi dasar pijakan kita dalam meniti kehidupan? Tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Justru fakta yang kita temui sekarang ini memperlihatkan kondisi yang kontradiktif, berkebalikan, bertabrakan secara frontal. Pancasila seolah-olah sudah kita lupakan. Kita hampir tidak pernah lagi menyebutnya, apalagi mengingatnya. Kita mendengar kata Pancasila hanya pada saat-saat upacara, kita diingatkan pada nilai-nilainya hanya pada saat ikut penataran, diklat, pembekalan, dan sejenisnya. Itupun dengan cara yang sangat
verbal,
normatif,
tanpa
mencoba
mengusik
penalaran
menuju
pemahaman dan pendalaman yang lebih jauh. Mengapa? Semua itu karena kita sekarang kehilangan “musuh” yang harus dihadapkan atau dipertentangkan dengan Pancasila. Pada masa Orde Baru, Pancasila menjadi sakti karena ada musuh yang harus dilibasnya, yaitu paham komunisme. Sudah menjadi hukum alam bahwa propaganda hanya akan berjalan efektif bila ada musuh yang harus dilawan. Amerika Serikat berhasil dengan propaganda demokrasinya hanya karena ada Uni Sovyet dengan paham komunisme sebagai lawannya. Tetapi lihat apa yang dilakukan Amerika Serikat ketika Uni Sovyet runtuh, dan komunisme tidak lagi menjadi
ancaman baginya? Amerika Serikat mencari musuh baru sebagai lawan yang dipertentangkan diciptakan,
dengan
dikondisikan
ideologinya. agar
tepat
Bahkan untuk
musuh
baru
itu
dipertentangkan
harus dengan
ideologinya. Israel dan Afghanistan hanyalah alat bagi Amerika Serikat untuk memancing sentimen kelompok muslim militan. Dengan begitu, kini dunia melihat,
musuh
baru
Amerika
Serikat
adalah:
Islam
Garis
Keras
(Fundamentalisme), yang dilekatkan pada negara muslim militan seperti Iran, Libya, kelompok Al-Qaeda pimpinan Oshama Bin Ladeen, dan dalam beberapa hal, Indonesia, yang sudah dicurigai muncul benih-benih aliran yang sama. Itulah propaganda. Kalau tidak ada musuh, kalau perlu harus dicari musuh itu, walau dalam bentuk “artifisial” sekalipun. Baca buku George Orwell, “1984” yang fenomenal itu. Dalam buku itu Orwell dengan gamblang membuka rahasia bagaimana propaganda harus dilaksanakan, dengan menciptakan musuh artifisial itu. Maka tidak heran apabila saat ini “citra” Islam sebagai “teroris”, “antidemokrasi”, “pelanggar HAM” menjadi sangat populer di dunia, karena memang propaganda seperti itulah yang sengaja diciptakan oleh Amerika Serikat. Amerika Serikat pula yang memperkenalkan dikotomi Islam Garis Keras kepada dunia. Obama, presiden baru Amerika Serikat, sangat sadar dan mengakui adanya opini negatif yang berkembang di dunia. Dia ingin mengubah opini itu melalui dialog
lebih
terbuka
dengan
negara-negara
Islam.
Mampukah
Obama
membawa Amerika Serikat menjadi lebih ramah dengan meninggalkan gaya propaganda yang sering menyudutkan dunia Islam? Waktu yang akan menjawabnya nanti. Nah, kalau sudah jelas bahwa propaganda perlu “musuh” untuk berhasil, begitu pula Pancasila, harus dicarikan musuh untuk dipertentangkan apabila ingin tetap hidup dan dipelihara sebagai ideologi. Ketika komunisme di Indonesia mati, secara perlahan tapi pasti, Pancasila menjadi lemah, loyo,
dilupakan. Berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia memasuki abad ke 21, seperti berbagai kasus separatisme di Aceh, Maluku, Papua, ternyata belum mampu mengingatkan kita terhadap saktinya nilai-nilai Pancasila. Masalah SARA (Suku, Agama, Ras, Antar Golongan) ternyata tidak cukup kuat untuk dipertentangkan secara frontal dengan Pancasila. Oleh karenanya, harus dicari musuh yang layak untuk Pancasila, bila perlu mengikuti jejak Orwell, mencari “musuh artifisial”, walau keberadaannya hanya dalam “khayalan” belaka. Apakah kita akan meniru Amerika Serikat dengan menempatkan Islam Garis Keras sebagai musuh Pancasila? Pengalaman menunjukkan, propaganda model Amerika Serikat itu ternyata tidak laku jual di Indonesia. Dengan banyaknya “teroris” yang ditangkap, ternyata tidak menimbulkan gelombang simpati pada publik, justru sebaliknya, banyak pihak mempertanyakan langkah yang dibuat Polri.
***
Kalau kita cermati, nilai-nilai Pancasila yang sakti itu sebenarnya merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang mengandung makna: religiusitas (sila 1), keberadaban (sila 2), kebersamaan (sila 3), musyawarah (sila 4), dan keseimbangan (sila 5). Kelima nilai itu dalam budaya kita menjadi pegangan untuk hidup aman, tenteram, damai, dan sejahtera dalam konteks kehidupan personal maupun sosial. Kelima nilai itulah yang mampu menjaga dan menghadirkan pranata sosial yang sehat dan harmonis dalam masyarakat kita. Kelima nilai itulah yang seharusnya menjadi ciri khas, menjadi identitas budaya bangsa kita, terutama ketika kita berada di tengah-tengah pergaulan antar bangsa.
Namun yang terjadi sekarang ini adalah: kelima nilai Pancasila itu perlahan luntur, menghilang dari diri kita, digantikan dengan nilai lain, nilai asing, yang dibungkus dengan budaya modern, budaya kontemporer, budaya global, budaya internasional, yang kita semua tahu, budaya itu sangat sekuler, sangat permisif terhadap berbagai hal yang menurut kita bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Pornografi,
seks
bebas,
homoseksualitas,
adalah
nilai-nilai
yang
jelas
bertentangan dengan religiusitas. Aborsi, eutanasia, kekerasan fisik dan psikis,
adalah
perilaku
yang
tak
beradab.
Pengembangan
opini
yang
“stigmatik” cenderung stereotipe terhadap agama tertentu (Islam), sama sekali jauh dari sikap kebersamaan. Arogansi atas kekuatan yang menciptakan pertentangan superior-inferior, mayoritas-minoritas, bukanlah musyawarah. Demikian pula, kapitalisme yang menciptakan kesenjangan ekonomi, yang memperjauh jarak si kaya dan si miskin, tidak mencerminkan keseimbangan. Dan Faktanya? Bukankah sermua itu sedang terjadi di Indonesia sekarang? Bangsa Indonesia saai ini sudah mengalami perubahan budaya yang semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila. Dapat dikatakan nilai-nilai “sakti” Pancasila telah dirongrong, digerogoti, oleh “virus” nilai-nilai asing yang dikemas dalam budaya global yang sekuler, permisif, materialistik, dan hedonistik. Kita dengan sukacita, tangan terbuka, menyambut dan menerima nilai-nilai asing itu. Kita dengan kesadaran penuh, memoles wajah kita dengan kosmetika globalisme, membungkus tubuh kita dengan baju internasionalisme, dan mengubah perilaku kita dengan hedonisme. Kalau
situasinya
sudah
sedemikian
jelas,
masih
mungkinkah
kita
mempertahankan nilai-nilai Pancasila yang sakti? Mampukah Pancasila terus bertahan menjawab tantangan jaman ke depan? Menjadi kewajiban kita bersama sebagai bangsa untuk mempertahankan ideologi. Kebanggaan sebagai bangsa harus ditanamkan secara dini kepada anak-anak kita. Melalui pendidikan dan sekolah kita tanamkan kepada anak-
anak kita bahwa nilai-nilai materialistik hedonistik adalah bertentangan dengan nilai-nilai budaya kita. Propaganda untuk menyatakan saktinya nilai-nilai Pancasila semacam itulah yang harus segera dilakukan kembali. Musuh Pancasila harus diidentifikasi. Nilai-nilai asing dalam bungkus budaya global itulah “musuh” sebenarnya Pancasila, karena nilai-nilai asing itu, nilai-nilai Pancasila mulai kita lupakan. Ya, musuh Pancasila yang nyata di depan kita ternyata bukanlah SARA, bukan pula separatisme, tetapi nilai-nilai asing yang telah mulai mengubah budaya kita, mengubah jatidiri kita, mengubah hidup kita. Perubahan itu sudah terjadi dan terus berlangsung. Kalau bangsa Indonesia tidak waspada dan tidak segera mengambil sikap untuk menahan percepatan laju perubahan, terutama perubahan nilai budaya, dikhawatirkan masa depan bangsa Indonesia akan semakin buram, wajah Indonesia semakin tidak jelas bentuknya. Bangsa Indonesia akan kehilangan identitasnya, kehilangan keunikan jatidirinya. Padahal, keunikan jatidiri yang disebut budaya itulah satu-satunya milik kita, kekayaan kita, yang paling berharga hingga saat ini.
Referensi: 1. Toffler, Alvin: (1980), The Third Wave, New York, William Morrow and Co, Inc. 2. Naisbitt, John (1982), Megatrends, New York, Warner Books. 3. Kistanto, Nurdien H (1983), Perubahan Nilai-Nilai di Indonesia, Bandung, Penerbit Alumni. 4. Ellul (1962), Propaganda, Paris, Shellbourne Press,. 5. Damico, A.J. (1986), Liberals on Liberalism, New York, Rowman & Littlefield.
6. Laswell, et.all (1980), Propaganda and Communication in World History. Emergence of Public Opinion in the West, Honolulu, East-West Center Book. 7. Lubis, Mochtar (1977), Manusia Indonesia, Bandung, Penerbit Obor. 8. Orwell, George (1961) 1984, The New American Library of World Literature.