Bagian Kesatu Budaya Maritim, Geo-Politik dan Tantangan Keamanan Indonesia Oleh: Dra. Adirini Pujayanti, M.Si
Bab 1 Pendahuluan
I. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan dengan kekayaan sumber daya kelautan yang besar. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia yang memiliki ± 17.480 pulau dengan luas lautnya mencapai 5,8 juta km² dan garis pantai sepanjang ± 95,181 km².1. Sebagaimana diatur dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS, 1982), Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan satu kesatuan wilayah yurisdiksi, yang berdaulat serta mempunyai hak dan wewenang penuh yang diakui dunia internasional, untuk mengatur, mengelola dan memanfaatkan kekayaan laut yang dimilikinya bagi kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Indonesia juga memiliki hak berdaulat atas sumber kekayaan alam dan berbagai kepentingan yang berada di atas, di bawah permukaan dan di lapisan bawah dasar laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 juta km² .yang mengelilingi laut kedaulatan selebar 200 mil laut. Wilayah laut teritorial Indonesia berbatasan langsung dengan wilayah laut Malaysia, Singapura, Philipina, Palau, India, Thailand, Vietnam dan Australia. Sedangkan terkait ZEE, Indonesia berbatasan dengan Philipina, Palau, India, Thailand dan Australia. Kehidupan di negara kepulauan berciri maritim, yaitu perikehidupan yang memanfaatkan laut sebagai sumber hidupnya. Sumber daya laut dari sudut ekonomi mempunyai keunggulan komparatif, sedangkan posisinya dapat menjadi keunggulan positif.2 Posisi Indonesia strategis dalam jalur perdagangan internasional sehingga Indonesia berpotensi dapat lebih memainkan peranan politisnya dalam percaturan politik Internasional. Letak geografis yang 1 FGD P3DI dengan Prof.Dr.Rizald Max Rompas pada tanggal 3 Agustus 2011. 2 Wahyono S.K., Indonesia Negara Maritim, dalam Masalah Perbatasan Wilayah laut Indonesia Di Laut Arafuru dan laut Timor: 169-170.
3
Budaya Maritim, Geo-Politik dan Tantangan Keamanan Indonesia
strategis dan kekayaan alam melimpah sebagai tersebut merupakan aset bagi kesinambungan pembangunan nasional, namun sekaligus memancing pihakpihak tertentu untuk memanfaatkannya secara illegal. Secara geografis posisi Indonesia sangat penting artinya bagi lalu lintas pelayaran internasional. Indonesia berada pada posisi strategis diantara dua benua Asia dan Australia yang memiliki karakteristik masing-masing. Selain itu, Indonesia pun berada di antara dua samudera yang menjadi jalur perhubungan berbagai bangsa, yaitu Samudera Pasifik dan Hindia. Kondisi geografis tersebut menyebabkan Indonesia berperan menjadi Bufferzone, atau daerah penyangga, bagi kedua benua. Dalam wilayah Indonesia terdapat tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang dapat digunakan sebagai lalu lintas pelayaran internasional. ALKI I terdiri dari alur Selat Sunda, Karimata, Natuna dan Laut China Selatan. ALKI II melalui Selat Lombok, Makassar dan Laut Sulawesi. ALKI III berkaitan dengan alur laut yang ada di Laut Timor dan Laut Arafuru yang dikelompokkan dalam ALKI III-A melalui laut Sawu-Ombai, Laut Banda (bagian Barat P. Buru), Laut Seram, Laut Maluku dan Samudra Pasifik. ALKI III-B melalui Laut Timor, Selat Leti, Laut Banda bagian Barat P. Buru), laut Seram, Laut Maluku, Samudra Pasifik. ALKI III-C yaitu Laut Arafuru, Laut Banda (bagian barat P.Buru), Laut Seram, Laut Maluku dan Samudra Pasifik. Dalam negara kepulauan Indonesia kedudukan laut yang khas sebagai salah satu matra wilayah nasional mempunyai fungsi integrasi wilayah nasional, perhubungan laut nasional dan internasional, deposit sumber daya alam, pertahanan keamanan dan fungsi jasa, penelitian, dan kelestarian lingkungan. Meningkatnya tuntutan terhadap kesejahteraan dan pemenuhan kepentingan ekonomi manusia, telah pula mengantarkan negara-negara yang mempunyai kepentingan sama untuk menjalin kerjasama di bidang politik dan perdagangan. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan, bahwa demi kepentingan kesejahteraan dan ekonomi, negara-negara tersebut akan saling berhadapan untuk memperebutkan sumber kekayaan alam dari laut. Seluruh bangsa Indonesia memiliki kepentingan yang sama terhadap laut, yaitu terwujudnya kondisi laut yang aman dan terkendali dalam rangka menjamin integritas wilayah guna menjamin kepentingan nasional. Guna mewujudkan kondisi keamanan di laut, diperlukan adanya upaya penegakan kedaulatan dan penegakan hukum. Masalah penegakan hukum di laut menjadi satu isu nasional yang penting, mengingat kerugian yang dialami negara sangat besar akibat berbagai pelanggaran hukum yang terjadi di laut. Pelanggaran 4
Adirini Pujayanti
hukum tersebut meliputi perompakan (armed robbery), penyelundupan manusia (imigran gelap), penyelundupan barang (seperti kayu, gula, beras, BBM, senjata api, narkotika, psikotropika), illegal fishing, pencemaran laut, eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam secara illegal, serta pelanggaran lain di wilayah laut. Di era globalisasi saat ini, kemajuan telekomunikasi kelautan telah mengubah dunia, memudahkan dan membuka jalur perdagangan antar bangsa semakin cepat. Interaksi antar bangsa melalui sarana transportasi tersebut manusia dimudahkan untuk saling mengenal sehingga terjadi proses interaksi dan pertukaran tata nilai.dengan demikian arus globalisasi mudah menyebar ke seluruh dunia. Namun,kemajuan teknologi dan konsekuensi politis dari globalisasi juga memungkinkan kemudahan akses informasi dan mobilitas tak terbatas yang kemudian membuka jalan bagi tantangan keamanan baru berdimensi transnasional, termasuk juga aktor-aktor baru. Perihal keamanan yang secara tradisional merupakan domain negara, sekarang menarik perhatian aktor-aktor lain di luar negara, karena pemerintah dan organisasi internasional tidak mampu lagi mempertahankan fungsi pengawasan.3 Indonesia sebagai negara kepulauan tidak mungkin menutup diri dari arus perubahan globalisasi tersebut. Dengan memanfaatkan posisinya yang strategis di jalur transportasi dunia, Indonesia dapat berperan aktif dalam percaturan politik internasional. Dictum yang menyatakan negara penguasa Samudera Hindia akan mampu mendominasi Asia menyebabkan banyak negara bersaing dan ingin intervensi langsung untuk mengamankan Asia Tenggara, khususnya Selat Malaka, yang merupakan alur laut penting di abad 21.4 Dengan demikian besar peran Selat Malaka sebagai jalur pelayaran dan perdagangan dunia, International Maritime Organization (IMO) yang merupakan badan dunia untuk keselamatan pelayaran memberi perhatian khusus pada keamanan pelayaran di Selat Malaka.5 Ancaman terorisme di Asia Tenggara dan penilaian terhadap lemahnya pengawasan pengamanan Indonesia terhadap masalah ini juga menyebabkan AS berkeinginan untuk turun tangan mengamankan Selat 3 Yasmin Sungkar, “Pergeseran Isu Keamanan Tradisional ke Non-Tradisional:Sebuah Pendahuluan”, dalam Isu-Isu Keamanan Strategis dalam Kawasan ASEAN (Yasmin Sungkar ed.) Jakarta; LIPI, 2008: 9-10. 4 Chasing ghosts The notion that geography is power is making an unwelcome comeback in Asia http:// www. economist. com/node/13825154?story_id=13825154 Jun 11th 2009. 5 Caroline E. Foster, “Counter-Terrorism and the Security of Shipping in South East Asia”, dalam Maritim security – International Law and Policy Perspective from Australia and New Zaland, Natalie Klein etc. (ed),London; Routledge, 2010: 145.
5
Budaya Maritim, Geo-Politik dan Tantangan Keamanan Indonesia
Malaka.6 China juga mempunyai kepentingan yang sama terhadap pengamanan wilayah perairan Asia Tenggara, sehingga kehadirnya militer AS secara langsung di kawasan ini akan mengundang pula masuknya kekuatan militer China di wilayah yang sama.7 Kehadiran negara-negara besar yang walaupun bukan negara kepulauan, namun memiliki visi dan kebijakan maritim yang kuat akan selalu membayangi negara pemilik pertahanan terlemah di Asia Tenggara. Meningkatnya ancaman keamanan tradisional maupun non tradisional di era globalisasi saat ini mengharuskan Indonesia untuk selalu waspada menjaga keamanan wilayah lautnya, bila tidak ingin kelemahan Indonesia tersebut dimanfaatkan pihak lain. II. Permasalahan Sebagai negara kepulauan, bukan hal yang mudah Indonesia untuk mengamankan seluruh wilayah lautnya. Dengan melihat latar belakang di atas menjadi penting diteliti disini Indonesia sebagai negara kepulauan menghadapi tantangan di era globalisasi. Adapun pertanyaan penelitian adalah: 1. Bagaimana budaya maritim Indonesia sebagai negara kepulauan ? 2. Apa kendala yang dihadapi Indonesia dalam upaya menjaga dan mengamankan wilayah lautnya ? III. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini akan membantu DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah dalam mengelola masalah-masalah kelautan, serta menyiapkan berbagai undang-undang terkait. Laporan penelitian ini juga akan sangat berguna dalam membantu anggota DPR dalam mengkritisi kebijakan pemerintah di sektor kelautan dan perikanan, serta dalam menyusun legislasi yang relevan seperti RUU tentang Kelautan, RUU tentang perubahan undangundang tentang Perjanjian Internasional, RUU tentang Perubahan Undangundang tentang Perikanan, RUU tentang Provinsi Kepulauan dan rencana pembentukan UU tentang Daerah Perbatasan.
6 K.S. Nathan, “The Dynamic Growth Order in East and Southeast Asia: Strategic Challenges and prospects in Post-9/11 Era”, dalam Continent, Coast, Ocean (Ooi Kee Beng and Ding Choo Ming ed.), Singapore; ISEAS, 2007: 203-204. 7 Evelyn Goh, “Singapore’s Reaction to a Rising China:Deep Engagement and Strategic Adjustment” dalam China and Southeast Asia – Global Changes and Regional Challenges, Ho Khai Leong and Samuel C.Y. Ku (ed.), Singapore; ISEAS, 2005: 310-324.
6
Adirini Pujayanti
Dengan demikian, laporan penelitian tim atau kelompok yang komprehensif ini dapat dimanfaatkan untuk anggota Komisi I, Komisi IV dan Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) yang membidangi masalah-masalah antar negara dan pertahanan dan keamanan nasional. Secara khusus, laporan penelitian dapat dikontribusikan bagi Badan Legislasi dalam peran menyusun legislasi, dan Panitia Khusus RUU yang terkait masalah-masalah kelautan dan kejahatan transnasional.
7
Bab 2 Kerangka Pemikiran
Melihat dari kajian studi keamanan dengan meminjam kerangka analisis Barry Buzan dkk (1998), konsep keamanan maritim berada diantara dua interaksi pemikiran yaitu kerangka tradisional tentang keamanan yang cenderung membatasi konsep keamanan (de-securitization) dengan kecenderungan kompetisi atau masalah keamanan antar negara. Sedangkan kelompok nontradisional yang memiliki kecenderungan untuk memperluas konsep keamanan (securitization). Bentangan keamanan (security landscape) menurut mazhab nontradisional tersebut harus memasukan masalah keamanan intranegara dan masalah keamanan lintas nasional. Yang dimaksud dengan masalah keamanan intra-negara misalnya munculnya kekacauan (disorder) dalam negara dan masyarakat karena etnik, ras, agama, linguistik atau strata ekonomi. Sedangkan masalah keamanan lintas nasional misalnya ancaman keamanan yang berasal dari isu kependudukan seperti migrasi, lingkungan hidup dan sumber daya yang ruangnya tidak dibatasi pada skala nasional. Ancaman keamanan ini juga terkait dengan konsep keamanan manusia. (human security).8 Pandangan tradisional cenderung mengaitkan keamanan dengan integritas territorial suatu negara. Pengertian ini mengutamakan negara sebagai entitas yang perlu diamankan. Namun formulasi ini tidak memadai ketika batas-batas negara terjamin integritasnya tetapi masyarakatnya terganggu akibat berbagai gangguan keamanan yang menyerang rasa kemanusiaan. Sekedar mengamankan batasbatas negara dari ancaman internal dan eksternal tidak menjamin keamanan suatu negara bila terjadi gejolak ekonomi dan ketidakstabilan politik.9 Oleh karena itu untuk selanjutnya penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran non-tradisional. Hal ini sejalan dengan era globalisasi saat ini banyak faktor lain yang harus diperhitungkan dalam upaya menjaga keamanan wilayah laut 8 Makmur Keliat,”Keamanan Maritim dan Implikasi Kebijakannya Bagi Indonesia”, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Politik,Vol 13, No.1 Juli 2009: 113. 9 Yasmin Sungkar, op.cit: 1-2.
9
Budaya Maritim, Geo-Politik dan Tantangan Keamanan Indonesia
sebuah negara. Saat ini tidak lagi terbatas pada membangun armada angkatan laut yang kuat semata, tetapi perlu memperhatikan faktor lain diantaranya politik internasional, perdagangan internasional, hukum laut internasional, lingkungan hidup dan SDA kelautan, jalur pelayaran laut dan politik luar negeri. 10 Barry Buzan dalam teori national security di awal dasawarsa 1990 telah memperkenalkan keterkaitan antara keamanan individual, masyarakat, nasional (negara), dan internasional, dengan menganalisis berbagai tipe ancaman yang muncul dan sumber-sumbernya, serta anarki internasional yang dihasilkannya. Obyek keamanan yang dapat terancam keamanannya dan karenanya perlu dilindungi adalah negara, kedaulatan nasional, ekonomi nasional, identitas kolektif dan lingkungan hidup.11 Secara spesifik, Buzan mengangkat keamanan ekonomi (economic security) sebagai isu baru yang harus diperhatikan dan ditanggapi.12 Di sini, Buzan juga melihat hubungannya dengan faktor kerusakan lingkungan hidup dan relevansinya dengan masa depan ekonomi politik di tingkat nasional, kawasan dan internasional.13 Pemikirannya ini kemudian dikembangkan lebih lanjut dengan memasukkan isu ekonomi dan lingkungan hidup sebagai bagian dari agenda keamanan dengan kerangka kerja baru dalam analisisnya.
10 Gan Zhen, Australian Sea Power Issues and International Relations in Asia--Pacific Region, http:// www.library.uq.edu.au/ ojs/index. php/ asc /article/ view Article/630 diakses 24 November 2010. 11 Barry Buzan, Ole Waever dan Jaap de Wilde, Security: A New framework for Analysis, (London: Lynne Rienner Publisher, 1998): 22-23. 12 Barry Buzan, People, States, and Fear: An Agenda for International Security Sudies in the Post-Cold War Era, (New York: Harvester Wheatsheaf, 1991): 230-269. 13 Ibid: 256-261.
10
Bab 3 Metodologi Penelitian
I. Waktu dan Tempat Penelitian lapangan dilakukan dua kali, yakni pada bulan Mei dan Juli 2011. Untuk penelitan pertama, 22 – 28 Mei 2011, kegiatan penelitian lapangan akan berlangsung di Provinsi Sumatera Utara, khususnya di Medan dan Belawan, sementara, penelitian kedua, Juli 2011, berlangsung di Provinsi Sulawesi Utara, khususnya di Menado dan Bitung pada tanggal 3 – 9 Juli 2011. Pemilihan Sumatera Utara karena wilayah ini merupakan salah satu wilayah penting dalam pengamanan Selat Malaka. Pentingnya pengamanan Selat Malaka dibuktikan dengan berdirinya Pangkalan Utama Angkatan Laut (Lantamal) I di Belawan, sedangkan pelabuhan Belawan sendiri merupakan pelabuhan internasional yang penting bagi arus perdagangan internasional. Perairan Sumatera Utara juga merupakan salah satu lokasi terjadinya ilegal fishing terbesar di wilayah Indonesia bagian Barat. Dalam masalah sumber daya ikan laut wilayah perairan Sumatera Utara termasuk wilayah pengelolaan sumber daya perikanan, khususnya di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) I yang terletak di Selat Malaka dan WPP II di Laut Cina Selatan. Pemilihan Sulawesi Utara karena wilayah yang berbatasan dengan Filipina ini rawan terhadap aktivitas transnational crimes, kawasan laut ini juga merupakan salah satu lokasi illegal fishing terbesar di Indonesia bagian Timur mengingat lautnya yang kaya dengan keanekaragaman hayati. Laut Sulawesi Utara merupakan wilayah pengelolaan sumber daya perikanan, khususnya di WPP VI di Laut Seram dan Teluk Tomini, dan WPP VII yang berada di Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik. Belakangan ini, Sulawesi Utara semakin menjadi perhatian internasional, karena telah terpilih sebagai tempat pelaksanaan berbagai kegiatan internasional terkait kelautan.
11
Budaya Maritim, Geo-Politik dan Tantangan Keamanan Indonesia
Serangkaian kegiatan wawancara yang diperlukan juga akan dilakukan di Jakarta dan Bogor terkait dengan instansi-instansi dan narasumber terkait (relevan), sebagai bagian dari kegiatan penelitian di atas. II. Bahan dan Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder terkait dengan masalah kelautan yang hendak dibahas dalam penelitian ini. Setelah memperoleh data yang diperlukan, penelitian dilanjutkan dengan penelitian lapangan untuk memperoleh data primer melalui wawancara secara mendalam dengan pihak-pihak terkait. Adapun pihak-pihak yang diwawancarai adalah sebagai berikut: 1. Peneliti LIPI bidang Kemasyarakat dan Kebudayaan (PMB), ibu Jaleswari Pramowardani 2. Bapak Abdul Halim, Program Koordinator LSM Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) 3. Bapak Drs.A.J. Benny Mokalu, S.H, Kepala Pusat Penyiapan Kebijakan Keamanan Laut Bakorkamla RI 4. Prof. Dr. Ir.TrihandoyoKusumastanto,MS, Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, 5. Bapak Tommy Hermawan, Direktorat Kelautan dan Perikanan Bappenas. 6. Komandan Lantamal I Sumatera Utara Laksamana TNI Amri Husaini beserta jajarannya 7. Peneliti LIPI Bidang Hubungan Internasional, Bapak Riefki Muna 8. Komandan Lantamal VIII Sulawesi Utara Laksmana TNI Sugianto,SE. M.A.P beserta jajarannya 9. Ibu Ir. Ida Kusuma W, Sekretaris Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP 10. Bapak Hafrisal, Ketua Serikat Nelayan Tradisional Sumatera Utara 11. LSM Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Langkat dan LSM Jala Medan (Sumatera Utara), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Medan, LSM Kelola Manado 12. Ibu Ir. Sri Atmini, Sesditjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil KKP beserta jajarannya.
12
Adirini Pujayanti
III. Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menjelaskan tantangan yang dihadapi Indonesia sebagai negara kepulauan di era globalisasi. Data primer merupakan hasil-hasil pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara mendalam terhadap nara sumber yang dipilih secara sengaja. Sedangkan data sekunder adalah bahan-bahan tertulis yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Sifat penelitian ini deskriptif karena menggambarkan jawaban atas permasalahan diatas.
13
Bab 4 Budaya Maritim dan Geo-Politik Indonesia
I. Pudarnya Budaya Maritim Negara kepulauan Indonesia memiliki wilayah perairan laut lebih luas dari pada wilayah daratannya, sehingga peranan wilayah laut menjadi sangat penting bagi kehidupan bangsa dan negara. sebagai negara kepulauan sepatutnya memiliki budaya maritim yang kuat, baik dalam cara hidup masyarakat maupun kebijakan pembangunan nasionalnya. Bila kita kembali melihat kepada sejarah, kerajaan Sriwijaya (Nusantara I) dan kerajaan Majapahit (Nusantara II) merupakan contoh kejayaan pemerintahan maritim di Nusantara. Kejayaan Indonesia sebagai negara kepulauan di masa lalu tersebut karena paradigma masyarakatnya yang mampu menciptakan visi Maritim sebagai bagian utama dari kemajuan budaya, ekonomi, politik dan sosial dan pertahanan. Mereka mempunyai ketajaman visi maritim serta kesadaran yang tinggi terhadap keunggulan strategis letak geografi wilayah bahari Nusantara. Kemampuan tersebut dilakukan dengan segenap political will dari seluruh pemimpin dan rakyatnya. Sriwijaya mendasarkan politik kerajaannya pada penguasaan alur pelayaran dan jalur perdagangan serta menguasai wilayah-wilayah strategis yang digunakan sebagai pangkalan lautnya. Sedangkan kerajaan Majapahit mempunyai strategi politik menyatukan kepulauan Nusantara sehingga memprioritaskan pembangunan armada laut yang tangguh.14 Wilayah laut Indonesia telah lama menjadi kancah aktivitas bangsabangsa lain baik dalam bentuk perdagangan maupun perebutan pengaruh atau kekuasaan. Interaksi penduduk Nusantara dengan bangsa asing telah berlangsung lama. Berdasarkan sejarah, masuknya bangsa asing melalui jalur pelayaran laut ke wilayah Nusantara telah lama terjadi di sekitar abad II, dengan masuknya pelaut dari China, India dan Arab. Armada pelaut Nusantara sendiri diduga telah mampu menguasai wilayah lautan Nusantara bahkan ke kerajaan 14 Joko Pramono, Budaya Bahari, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2005: 4-7.
15
Budaya Maritim, Geo-Politik dan Tantangan Keamanan Indonesia
China dan India.15 Selanjutnya pelaut-pelaut dari Eropa datang ke Nusantara di sekitar pertengahan abad ke 13 dengan tujuan berdagang rempah-rempah. Namun, berlimpahnya rempah-rempah di Nusantara yang merupakan komoditi mahal di Eropa, mengubah keinginan berdagang Bangsa Eropa untuk menjajah Nusantara. Kejayaan maritim Nusantara mulai terhapus dengan masuknya penjajajahan Barat yang tidak menghendaki Indonesia tumbuh sebagai negara kepulauan yang kuat. Laut, bagi kebanyakan suku di Indonesia merupakan ajang untuk mencari kehidupan. Fenomena ini pada akhirnya membentuk karakter bangsa pelaut, seperti lahirnya Kadatuan Sriwijaya, Kerajaan Malayu, Kerajaan Majapahit, hingga ketangguhan para pelaut Sulawesi. Sejak awal tarikh Masehi, laut Nusantara telah diramaikan oleh kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia. Jaringan pelayaran di Nusantara terbentuk karena perdagangan rempah-rempah yang mempunyai daerah pemasaran luas seluruh dunia. Namun hal ini tidak menjamin terbentuknya budaya maritim secara berkelanjutan dalam masyarakat Indonesia. Hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh kolonialisme di Indonesia yang tidak menghendaki sektor kelautan Indonesia tumbuh kuat. Sejak awal penjajahan Belanda, dalam rangka penguasaan Nusantara diterapkan strategi memaksa masyarakat untuk berpaling ke darat. Para raja dan sultan ditaklukan tetapi boleh menduduki tahtanya dengan syarat, urusan laut harus diserahkan kepada Belanda. Indonesia lebih diperkenalkan sebagai negara agraris daripada negara maritim, akibatnya budaya maritim secara perlahan memudar dan hingga kini Indonesia masih berorientasi ke darat. Pembangunan kembali budaya maritim perlu segera dilaksanakan dan harus didukung semua pihak guna mewujudkan kejayaan kelautan. Banyak hal yang mempengaruhi implementasi visi dan kebijakan maritim namun akar masalahnya berada dalam budaya agraris tradisional yang kita warisi. 16 Komunitas pesisir menjadi lemah di masa lampau karena tidak adanya persepsi bersama menghadapi merkantilisme Eropa sehingga kerajaan-kerajaan pesisir hancur ditaklukkan, menghadapi tekanan dari kolonialisme dan juga serangan dari pedalaman. Dengan demikian budaya yang dominan adalah budaya agraris tradisional, yang antara lain ditandai sampai sekarang oleh kebiasaan mayoritas anak-anak menggambar gunung, sawah dan matahari dan nyaris tidak penah menggambar pemandangan pantai dan laut. Indonesia harus menuntaskan 15 Ibid: 27-28. 16 Mantan KSAL TNI AL Laksamana (Purn) Slamet Soebiyanto, “Pembangunan Kembali Budaya Maritim Segera Dilaksanakan”, Suara Pembaruan, 18 November 2010: 14.
16
Adirini Pujayanti
jati diri bangsa sebagai penghuni negara kepulauan, dan perlu mempunyai visi dan strategi yang cerdas dan kreatif untuk keluar dari paradigma agraris tradisional ke arah paradigma maritim yang rasional dan berwawasan global demi kesejahteraan rakyat. Upaya Indonesia untuk kembali membangkitkan kejayaan Indonesia sebagai negara kepulauan melalui tiga pilar utama yakni Sumpah Pemuda 28 Oktober, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Deklarasi Djoeanda 1957 tidak mudah untuk dilakukan. Di masa pemerintahan Sukarno, Indonesia telah mendeklarasikan Wawasan Nusantara. Wawasan Nusantara memandang wilayah laut merupakan satu keutuhan dengan wilayah darat, udara, dasar laut dan tanah yang ada di bawahnya, serta seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Di era Pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia berupaya memperoleh pengakuan internasional tentang Negara Nusantara, yang kemudian berhasil mendapat pengakuan internasional dalam forum konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 (UNCLOS 82) serta berlaku efektif sebagai hukum internasional positif sejak 16 November 1984. Di masa Pemerintahan B.J Habibie kembali Indonesia mendeklarasikan visi pembangunan kelautan dalam ‘Deklarasi Bunaken”. Inti deklarasi tersebut adalah pemahaman bahwa laut merupakan peluang, tantangan dan harapan untuk masa depan persatuan bangsa Indonesia. Dilanjutkan oleh Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid melalui komitmen Pembangunan Kelautan dengan dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan dan dikembangkannya Dewan Maritim Indonesia yang kemudian menjadi Dewan Kelautan Indonesia. Di era Reformasi saat ini, dalam PJPN 2005-2025 Pemerintah telah membuat kebijakan untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat dan berbasis kepentingan nasional. Diantaranya dengan kembali memantapkan budaya bahari dalam RPJMN 2004-2009.17 Namun telah tumbuh kerancuan identitas, sebab meski mempunyai persepsi kewilayahan maritim namun kultur yang kemudian terbangun adalah sebagai bangsa agraris. Paradigma masyarakat Indonesia tentang laut cenderung berbeda dengan realitas, sehingga arah kebijakan pembangunan selanjutnya menjadi kurang tepat karena lebih condong ke pembangunan berbasis daratan, sektor kelautan manjadi sektor pinggiran (pheripheral sector). 18 17 FGD dengan Bapak Tommy Hermawan, Direktorat Kelautan dan Perikanan Bappenas, tanggal 15 Agustus 2011. 18 Sarwono Kusumaatmadja, Visi Maritim Indonesia: Apa Masalahnya? BUNYU ONLINE, http:// www. bunyu-online. com/2009/09/indonesia-dan-visi-negara-maritim.html, 28 September 2009.
17
Budaya Maritim, Geo-Politik dan Tantangan Keamanan Indonesia
II. Wawasan Nusantara sebagai Konsep Geopolitik Indonesia Pengakuan sebagai negara kepulauan mengharuskan Indonesia untuk segera membenahi kemampuannya dalam menjaga keamanan dan stabilitas nasional dengan sumberdaya yang terbatas, berbagi kepentingan dengan banyak pihak yang ingin memanfaatkan fasilitas laut yang dimiliki negara kepulauan serta tetap berupaya menjaga dan melestarikan lingkungan laut dengan segala ekosistemnya.19 Negara kepulauan Indonesia dipandang rapuh dan mudah terpecah. Laut yang memisahkan pulau-pulau di Indonesia dianggap sebagai pemisah dan menimbulkan hambatan pembangunan nasional di berbagai bidang, terutama komunikasi, koordinasi dan identitas bagi rakyat Indonesia.20 Posisi Indonesia yang terletak di antara dua benua Asia dan Australia, dua samudera Hindia dan Pasifik, serta kondisi Indonesia yang harus berbagi Pulau Kalimantan, Timor dan Papua dengan negara tetangga, juga dianggap menjadikan pertahanan Indonesia lemah. Laut terbuka yang mengelilingi Indonesia juga merupakan pintu masuk bagi musuh maupun berbagai kegiatan kejahatan antar negara. Dengan mengacu pada kondisi Indonesia saat ini diperlukan strategi besar (grand strategy) maritim sejalan dengan doktrin pertahanan defensif aktif dan fakta bahwa bagian terluar wilayah yang harus dipertahankan adalah laut. Pemerintah Indonesia berusaha mengatasi keterpisahan wilayah ini dengan doktrin nasional yang disebut Wawasan Nusantara dan politik luar negeri bebas aktif. sedangkan geostrategi Indonesia diwujudkan melalui konsep Ketahanan Nasional yang bertumbuh pada perwujudan kesatuan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Berdasarkan Wawasan Nusantara, sebagai konsep geopolitik, Indonesia dapat mempertahankan wilayahnya. Sebagai negara kepulauan yang luas, bangsa Indonesia beranggapan bahwa laut yang dimilikinya merupakan sarana “penghubung” pulau, bukan “pemisah”. Pulau-pulau yang tersebar secara terpisah di negara kepulauan Indonesia tetap merupakan satu kesatuan unit. Sehingga, walaupun terpisah-pisah, bangsa Indonesia tetap menganggap negaranya sebagai satu kesatuan utuh yang terdiri dari “tanah” dan “air”, sehingga lazim disebut sebagai “tanah air”. 21 Perwujudan tanah air sebagai satu kesatuan, dianggap sudah sesuai dengan aspirasi dari falsafah Pancasila. 19 P. Joko Subagyo,S.H,Hukum Laut Indonesia, Jakarta; Rhineka Cipta, 2005: 35. 20 Robert Cribb dan Michele Ford,”Indonesia as an archipelago:managing islands, managing the seas”, dalam Indonesia Beyond Water’s Edge, Ropbert and Michele Ford (ed), Singapore;ISEAS, 2009: 1-3. 21 Ibid: 11.
18
Adirini Pujayanti
Indonesia sebagai negara kepulauan seharusnya melaksanakan cara hidup yang mencerminkan budaya maritim dan memprioritaskan kebijakan pembangunan yang terkait dengan masalah kelautan. Namun sejauh ini hal tersebut belum tampak, sehingga seringkali dikatakan Indonesia hanyalah negara kepulauan yang bercita-cita ingin menjadi negara maritim. Hal ini dapat dipahami mengingat upaya membangun kepulauan bukan merupakan sebuah masalah mudah, terlebih lagi Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Laut sebagai pemisah antar pulau menyebabkan biaya besar besar, teknologi, bahaya serta hambatan waktu dalam membangun Indonesia. Sebagai negara yang terdiri dari banyak pulau, kemampuan Indonesia di bidang teknologi kelautan masih sangat terbatas sehingga kesulitan untuk mengelola sumber daya laut yang dimilikinya. Indonesia belum menjadi negara maritim sepenuhnya karena belum dapat memanfaatkan dan mengelola potensi kelautan secara optimal.22 Meskipun bidang kelautan amat menjanjikan kemakmuran bagi Indonesia. Kendala terbesar yang menjadi hambatan di bidang kelautan di Indonesia adalah bidang kelautan belum menjadi mainstream dalam pembangunan Indonesia. Hal ini patut disayangkan mengingat laut Indonesia merupakan sektor yang dapat memberikan keuntungan besar bagi pembangunan nasional. Sektor kelautan tersebut yaitu: perikanan, pariwisata bahari, pertambangan, industri maritim, transportasi laut, bangunan kelautan dan jasa kelautan.Masih banyak problem yang harus diselesaikan, misalnya industri maritim belum berjalan, bidang pelayaran masih tertinggal dari negara lain, rendahnya penguasaan iptek kelautan, rendahnya kualitas dan kuantitas SDM kelautan yang dimiliki. Indonesia pun masih memiliki batas wilayah laut yang belum diselesaikan. Hilangnya Sipadan dan Ligitan, serta munculnya masalah Ambalat, adalah ketidakpahaman kita soal mana batas wilayah maritim dan territorial, serta pengelolaan laut yang tidak tepat. Pengamanan maritim yang kurang, ketidakmampuan melakukan pemeliharaan dan pemanfaatan sumber daya laut laut, dan tidak adanya peningkatan peranan nelayan di Indonesia, merupakan beberapa problem yang belum terselesaikan dan merugikan Indonesia.
22 Wawancara dengan Prof. Dr. Ir.TrihandoyoKusumastanto,MS, Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, tanggal 9 Agustus 2011.
19
Bab 5 Ancaman Keamanan Non-Tradisional
Indonesia adalah negara kepulauan, kondisi tersebut mengharuskan upaya pertahanan Indonesia harus kuat di sektor laut dan udara. Hal ini penting karena dari sudut keamanan tradisional musuh negara akan datang dari laut dan udara. Namun, ancaman terhadap keamanan suatu negara tidak lagi selalu berwujud dalam bentuk yang tradisional berupa invasi militer dari negara asing. Ancaman non tradisional berupa penguasaan sumber daya-sumber daya alam kelautan Indonesia adalah bentuk lain dari masuknya hegemoni dan dominasi negara atau kekuatan lain yang mengancam kedaulatan negara. I. Perompakan Dalam perkembangan politik internasional berbagai persoalan di bidang maritim menyebabkan meningkatnya tuntutan akan jaminan rasa aman dan keamanan bagi para pengguna laut. Saat ini transportasi laut merupakan alternatif angkutan termurah bagi pemindahan barang dan orang dibandingkan moda angkutan lainnya. Kondisi yang ada sekarang, limapuluh persen lebih alur transportasi minyak dunia dan ekspor barang mentah lainnya dilakukan melalui alur Samudera Hindia dan Selat Malaka menjadikan Indonesia sebagai nadi perdagangan dunia. Diperkirakan 40 persen perdagangan dunia melintasi wilayah perairan Indonesia. Sebanyak 50.000 kapal niaga melintasi Selat Malaka per tahunnya, sekitar 80 persen merupakan tanker bahan bakar dari Timur Tengah menuju Asia Timur. Menjelang akhir tahun 2008 kasus perompakan di perairan Asia Tenggara mulai berkurang. Berakhirnya konflik Gerakan Aceh Merdeka diduga berpengaruh pada menurunnya aksi kekerasan di laut tersebut, terutama di Selat Malaka. Namun demikian, hingga saat ini perompakan di Selat Malaka masih tetap ada. Kawanan perompak yang seringkali beraksi membajak kapal
21
Budaya Maritim, Geo-Politik dan Tantangan Keamanan Indonesia
di Selat Malaka ditengarai berasal dari Peurlak Aceh Timur.23 Koordinasi antar institusi yang terkait penegakan hukum dan pengamanan di laut yang belum berjalan baik menuntut untuk segera diperbaiki, bila tidak ingin hal ini dijadikan alasan pihak asing untuk intervensi dalam pengamanan Selat Malaka. Perairan Indonesia memang rentan terhadap ancaman dan gangguan keamanan, termasuk terhadap aksi perompakan. Ketidakmampuan Indonesia untuk menjaga wilayah keamanan lautnya selalu menjadi alasan bagi pihak asing untuk intervensi dalam upaya pengamanan wilayah laut nasional. Mereka berkeyakinan upaya untuk mengatasi perompakan tidak dapat dilakukan hanya oleh satu negara, tetapi melalui kerjasama yang erat antar negara dengan melibatkan berbagai organisasi internasional. Asia Tenggara, khususnya Selat Malaka memiliki sejarah perompakan yang diterima masyarakat setempat sebagai bagian dari kebiasaan lama.24 Berbeda dengan bajak laut di Somalia yang beroperasi secara professional dan memiliki jaringan internasional (professional piracy), gangguan alur pelayaran yang terjadi di Selat Malaka adalah perompakan dengan alasan kemiskinan. Setelah konflik GAM di Aceh berakhir yang terjadi adalah perompakan laut (subsistence piracy/ sea arm robbery) dengan pelaku nelayan miskin yang terpaksa melakukan tindak kejahatan untuk bertahan hidup.25 Pelaku perompakan laut di Selat Malaka menggunakan perahu kecil dan senjata ringan, sehingga umumnya korban yang mereka pilih adalah kapal tanker kecil dan kapal ikan yang berlayar pelan tanpa pengamanan dan tidak jauh dari pantai, bukan kapal dagang besar atau tanker transbenua yang berlayar di jalur pelayaran internasional.26 Modus operandi yang dilakukan adalah pemalakan kepada pengusaha perikanan, masalah ini belum teratasi karena para pengusaha memilih tidak melapor kepada pihak berwajib dan bersedia memberikan ‘uang lewat’ kepada para perompak.27 Perompak tidak mengganggu nelayan tradisional sehingga masyarakat pesisir tidak mempedulikannya.
23 “Waspadai Perompakan dan Penjarahan,” Kompas, 27 September 2011: 22. 24 Eric Frecon (2005), “Piracy in the Malacca Straits: notes from the field”, IIAS Newsletter 36. 25 Wawancara dengan bapak Drs.A.J. Benny Mokalu, SH, Kepala Pusat Penyiapan Kebijakan Keamanan Laut Bakorkamla Pusat tanggal 21 April 2011. 26 Jane Chan dan Joshua Ho,”Trends in Piracy and Armed Sea Robbery in Southeast Asia” dalam Strategic Currents – Emerging Trends in Southeast Asia, Yang Razali Kassim (ed.), Singapura; S.Rajaratnam School of International Studies: 119 -121. 27 Wawancara dengan Komandan Lantamal I Sumatera Utara Laksamana I Amri Husaini beserta jajarannya tanggal 26 Mei 2011 dan pihak Polisi Air Belawan tanggal 25 Mei 2011.
22
Adirini Pujayanti
II. Illegal Fishing Kondisi geografis Indonesia di perlintasan dunia menyebabkan ZEE Indonesia menjadi tempat lalu lintas internasional. Berbagai jenis moda transportasi laut dengan berbagai macam kepentingan dan tujuan melintasi wilayah ZEE kita. Dengan adanya kepentingan internasional untuk dapat secara leluasa melintasi wilayah Indonesia, maka besarnya potensi sumber daya ikan yang ada di ZEE Indonesia juga sangat menarik minat bagi negara tetangga maupun negara-negara penangkap ikan jarak jauh untuk turut mengeksploitasi kekayaan alam tersebut. Konsep ZEE memberikan alternatif open access yaitu memberikan kewenangan bagi negara untuk mengelola sumber daya di ZEE-nya, namun konsep ini tidak selalu menjadi keuntungan bagi Indonesia.28 Bila Indonesia sebagai negara pemilik ZEE tidak memiliki kapasitas untuk menangkap ikan di ZEE-nya, pihak asing merasa berhak untuk memanfaatkanya maka pencurian ikan di wilayah Indonesia oleh nelayan asing terus berlangsung. Pengambilan ikan di wilayah ZEE Indonesia secara illegal oleh kapal asing seringkali dilakukan dengan cara-cara merusak lingkungan dengan menggunakan kapal trawl. Manfaat optimal dari konsep ZEE tidak akan tercapai tanpa pengelolaan yang bijaksana dan berdasarkan pada prinsip-prinsip keberlanjutan. Kerusakan lingkungan laut sebagai akibat dari tindakan penangkapan ikan yang dilakukan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan mulai dirasakan nelayan-nelayan di Sumatera Utara. Beroperasinya kapal trawl dan modifikasinya (pukat harimau, pukat grandong, pukat setan) menyebabkan tangkapan nelayan semakin berkurang.29 Kawasan perairan Natuna dan Laut China Selatan merupakan kawasan rawan pencurian ikan. Pencurian ikan didominasi nelayan asal Vietnam, Thailand. dan China. Kerugian negara akibat pencurian ikan diperkirakan mencapai 80 triliun rupiah, sekitar 50 triliun adalah kerugian pajak, sisanya merupakan kerugian yang timbul dari potensi ikan yang hilang. Demi menanggulangi illegal fishing di wilayah Indonesia, mulai 2011 ditetapkan prioritas untuk operasi di laut, yaitu di Perairan Natuna, khususnya di laut China Selatan, Sulawesi bagian utara, Laut Sulawesi dan utara Halmahera dan Laut Arafuru, yang terkenal banyak ikannya dan menjadi incaran illegal fishing. Dinas PSDKP Kementerian Kelautan berkoordinasi dan bersinergi dengan 28 Luky Adrianto,”Implementasi Code of Conduct For Responsible Fisheries dalam Perspektif negara Berkembang”, Jurnal Hukum Internasional,Vol.2 No.3 April 2005, Jakarta; Lembaga Pengkajian Hukum Internasional FH UI. 29 Wawancara dengan LSM JALA di Sumatera Utara dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI). tanggal 27 Mei 2011.
23
Budaya Maritim, Geo-Politik dan Tantangan Keamanan Indonesia
sarana dan prasarana Bakorkamla, TNI AL, Polri, LIPI, Bakosurtanal, TNI AU dan Kelompok Pengawasan Masyarakat, terdiri dari 1.500 perkumpulan nelayan di seluruh Indonesia. Agar patroli pengawasan semakin efektifitas dan efisiensi, sejak 2010 telah dirintis integrated surveillance system, sehingga kehadiran pelaku illegal fishing dapat diketahui dan segera disergap dengan pola pencegatan. Selain itu akan dibangun crisis center sebagai wadah pelaksanaan tanggap darurat setiap permasalahan di kawasan Minapolitan. Namun karena luasnya wilayah laut Indonesia terjadinya illegal fishing oleh nelayan asing masih belum efektif tertanggulangi. Upaya pengamanan laut dari pencurian ikan selama ini juga terkendala oleh keterbatasan kapal dan bahan bakar, serta kurangnya personel untuk pengawasan dan pengamanan laut Indonesia. Latar belakang terjadinya illegal fishing tersebut bermacam-macam. Diantaranya industri perikanan Thailand tanpa pasokan ikan yang cukup akan berhenti, sehingga upaya mencukupi kebutuhan tersebut seringkali dilakukan dengan cara mencuri ikan Indonesia. Menurunnya kuantitas ikan di laut China menyebabkan negara tersebut menerapkan sistem open and closed sea bagi nelayannya sehingga mereka mencari ikan ke wilayah negara lain termasuk Indonesia,30 Sementara, batas wilayah kelautan antara Indonesia dan Malaysia yang belum juga usai menyebabkan seringnya terjadi sengketa perbatasan dan pencurian ikan di wilayah Indonesia. Tantangan yang dihadapi nelayan di perbatasan Indonesia dan Malaysia kini tidak lagi terbatas pada cuaca ekstrim, namun juga kriminalisasi oleh pihak keamanan asing, akibat batas-batas teritorial yang belum jelas.31 Masalah batas negara antara RI dan Malaysia seringkali menimbulkan ketegangan di laut antara kedua negara. Seperti yang terjadi dalam penangkapan nelayan Malaysia bulan April 2011 nyaris menimbulkan kontak senjata antara militer kedua negara, maupun penangkapan PNS KKP oleh Tentara Diraja Malaysia beberapa waktu sebelumnya. Sedangkan penangkapan ikan illegal oleh nelayan Vietnam karena perbedaan persepsi antara kedua negara, oleh karena itu dilakukan persamaan persepsi dengan penandatanganan nota kesepahaman antara Kadin dengan Vietnam Chamber of Commerce and Industry untuk memahami hukum yang berlaku di kedua negara.
30 FGD dengan Ir. Ida Kusuma W, Sekretaris Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP, tanggal 21 Juli 2011. 31 Wawancara dengan LSM Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Langkat Sumatera Utara tanggal 24 Mei 2011.
24
Adirini Pujayanti
III. Penyelundupan Manusia Posisi negara kepulauan Indonesia di poros persimpangan dunia menjadikan Indonesia sebagai negara pihak pada berbagai tindak kejahatan lintas negara.32 Misalnya, dalam kasus penyelundupan manusia yang merupakan salah satu bentuk kejahatan transnasional yang marak terjadi akhir-akhir ini. Dalam hubungan internasional penyelundupan manusia merupakan bagian dari ancaman keamanan non tradisional yang melanda dunia setelah Perang Dingin berakhir. Ancaman ini meningkat seiring dengan meningkatnya arus perjalanan, komunikasi dan perpindahan tenaga kerja yang disebabkan globalisasi. Saat ini penyelundupan manusia melalui perairan kawasan Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara cenderung meningkat. Konflik politik berkepanjangan yang terjadi di Afghanistan, Irak, Srilanka menyebabkan terjadinya aliran pengungsi ke luar negeri, dimana Australia yang berada di bagian selatan kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu negara tujuan. Jumlah kasus penyelundupan manusia ke Australia terus meningkat dan mengharuskan negara ini bersikap tegas. Meski merupakan penandatangan Konvensi Pengungsi 1951, Australia melakukan seleksi ketat terhadap migran pencari suaka yang secara illegal masuk ke negaranya. Indonesia merupakan negara transit yang harus dilalui para migran illegal tersebut menuju Australia, sehingga Pemerintah Australia berharap Indonesia dapat berperan sebagai buferzone pencegah masuknya imigran illegal ke negaranya. Indonesia merupakan negara transit penting bagi migran illegal yang ingin masuk ke negara Australia.33 Namun melimpahnya migran illegal di Indonesia bukan saja karena secara geografis Indonesia merupakan negara terdekat Australia, tetapi juga disebabkan Pemerintah Indonesia lemah dalam pengawasan kawasan perbatasannya sehingga mudah untuk dimasuki dan dilalui migran ilegal. Penyelundupan manusia melalui Indonesia ini pada akhirnya juga menjadi beban untuk Indonesia. Migran illegal yang tertangkap tersebut diinapkan di rumah-rumah detensi imigrasi atau dititipkan di lapas, menunggu nasib mereka diurus lembaga internasional seperti UNHCR dan IOM. Wilayah Indonesia rawan dimasuki migran gelap karena sebagai negara kepulauan pintu masuk ke Indonesia cukup banyak. Selain itu jumlah petugas imigrasi dan pos pemeriksaan keimigrasian kita juga terbatas. Banyak pelabuhan tidak resmi alias pelabuhan tikus menjadi pintu masuk migran gelap maupun 32 FGD dengan Riefki Muna peneliti LIPI tanggal 17 Maret 2011. 33 Bertil Lintner, PEOPLE SMUGGLING The Crime of Flight, http://www. Asia pacificms. com/ articles/ people_smuggling/.
25
Budaya Maritim, Geo-Politik dan Tantangan Keamanan Indonesia
kegiatan penyelundupan lainnya ke Indonesia. Tanpa adanya pengawasan yang ketat di perbatasan, negara kepulauan Indonesia bagaikan halaman tanpa pagar yang mudah dimasuki siapa saja. Globalisasi menihilkan perbatasan negara, namun sesungguhnya kawasan perbatasan tetap berperan penting dalam mencerminkan keamanan nasional dan kedaulatan suatu negara, bahkan perbatasan negara mempunyai peran penting dalam interaksi antar negara di kawasan. Kebanyakan masalah negara berkembang adalah lemahnya manajemen kawasan perbatasan, sehingga seringkali menjadi indikator bahwa negara tersebut lemah atau menuju kehancuran sebab dianggap tidak mampu mangatur perbatasannya teritorialnya.34 Kelemahan negara dalam menjaga perbatasannya dapat berdampak pada meningkatnya kriminalitas, konflik bahkan perang dengan negara tetangganya. Kawasan perbatasan satu negara merupakan pencerminan dari kedaulatan, dan memainkan peran penting dalam menunjukan eksistensi sebuah negara. 35 Pengawasan perbatasan yang lemah hanya akan mengundang datangnya bahaya dari luar untuk masuk dan mengganggu keamanan nasional. IV. Penyelundupan Barang dan Senjata Di wilayah perbatasan laut Indonesia dengan negara tetangga penyelundupan barang dan senjata masih terjadi. Kegiatan illegal penyelundupan senjata memiliki aspek politik, ekonomi dan keamanan antar negara, dan lebih-lebih di negara tujuan karena akan mengancam stabilitas negara tujuan. Senjata, amunisi dan bahan peledak masih masuk ke Indonesia melalui laut, meskipun kian jarang ditemukan setelah konflik GAM berakhir. Sebaliknya penyelundupan barang kebutuhan sehari-hari melalui laut terus berlangsung meskipun jumlahnya tidak signifikan untuk mengganggu stabilitas perekonomian nasional. Hal ini terjadi karena masyarakat di perbatasan lebih mudah dan murah mendapatkan barang keperluan sehari-hari dari negara tetangga. Penyelundupan narkoba dari Malaysia juga masih ada, bahkan terkesan ada upaya pembiaran dari pihak aparat Malaysia dengan menggunakan kurir Indonesia. Transaksi penjualan ilegal bahan bakar minyak ke negara tetangga juga seringkali terjadi di perbatasan Oleh sebab itu, sebagai negara kepulauan kehadiran aparat keamanan di wilayah perbatasan laut yang begitu 34 Stewart Patrick (2006), Weak States and Global Threats: Fact or Fiction, The Washington Quarterly, Vol.29, No.2: 27-53. 35 Daniel Philpott (2001), Revolutions in Sovereignty: How Ideas Shaped Modern International Relations, New Jersey: Princeton University Press: 5-10.
26
Adirini Pujayanti
luas merupakan suatu hal yang mutlak. Namun hal ini tidak mudah dilakukan, karena sebagai negara berkembang sarana dan pra sarana yang dimiliki pihak keamanan Indonesia masih terbatas. Misalnya, dalam hal pengadaan kapal yang sesuai dengan kondisi dilapangan maupun kesulitan bahan bakar untuk pengoperasian kapal-kapal tersebut.36
36 Wawancara dengan pihak Lantamal I Sumatera Utara tanggal dan Lantamal VIII Sulawesi Utara tanggal 7 Juli 2011.
27
Bab 6 Kendala Pengamanan
I. Ego Sektoral Antar-Instansi Masalah pengamanan di laut menjadi perhatian banyak pihak, sehingga instansi yang terlibat dalam kelautan di Indonesia ini cukup banyak, sekitar 11 instansi pemerintah. Ego sektoral dari masing-masing institusi menjadi kendala utama dalam koordinasi keamanan laut. Ego sektoral tersebut muncul karena setiap institusi yang terlibat memiliki kewenangan dengan dasar hukumnya. Hal ini dikeluhkan masyarakat, karena inefisiensi dan membingungkan untuk pengguna jasa kemaritiman, termasuk juga nelayan. Oleh sebab, itu kebutuhan akan sebuah lembaga khusus untuk mengoordinasi keamanan laut Indonesia dianggap mendesak. Perlu dibentuk penjaga laut dan pantai yang integral, satu institusi single agency dengan multitask. Berdasarkan UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Indonesia harus memiliki sea and cost guard (penjaga laut dan pantai). Dengan adanya badan ini diharapkan kepastian pergerakan aparat di laut pun akan terjamin. Pemerintah yang menyadari hal ini sehingga sejak tahun 1972 membentuk Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla). Namun baru tahun 2005 Bakorkamla berdaya seiring dengan penguatan kelembagaannya melalui Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005. Secara operasional Bakorkamla yang diresmikan Menko Polhukam selaku ketua Bakorkamla tanggal 29 Desember 2006, berkomitmen untuk penyelenggaraan keamanan dan penegakan hukum di laut. Bakorkamla ditujukan menjadi satuan penjaga laut dan pantai Indonesia atau Sea and Coast Guard. Dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi sebagai penjaga lautan nusantara, Bakorkamla mengedepankan koordinasi di setiap kegiatannya bersama stakeholder dengan berazazkan “one for all” dengan kewenangan stakeholder untuk saling melengkapi dalam “filing the gap” sehingga tidak terjadi kekosongan pemerintahan di laut.37 Tidak mudah membentuk 37 Booklet Badan Koordinasi Keamanan Laut Republik Indonesia 2011.
29
Budaya Maritim, Geo-Politik dan Tantangan Keamanan Indonesia
satu agensi tunggal dengan banyak fungsi untuk mengamankan wilayah laut Indonesia, sebab masih ada ego sektoral dalam koordinasi pengamanan laut di Indonesia. Bakorkamla sendiri sebagai institusi terdiri atas 11 stakeholder yang memiliki fungsi dan kewenangan dalam pengamanan laut, antara lain TNI AL,Polri, Kejaksaan dan kementerian terkait. Padahal tahun 2011 pemerintah ditargetkan membentuk satu satuan tugas khusus dengan fungsi utama pengamanan pantai dan perairan laut Indonesia. Satuan khusus tersebut akan mengemban tugas multifungsi (multi-task single agency) pengamanan pantai dan perairan laut seperti sea and coast guard di negara lain. Setiap instansi terkait yang selama ini berwenang dilaut akan diintegrasikan. Instansi tersebut tetap punya kewenangan, karena karena di lapangan perkara yang ditemukan tidak bisa diselesaikan tanpa undang-undang tanpa ada penyidiknya, sehingga akan diserahkan kepada instansi yang terkait.38 Dalam pelaksanaannya, peran Bakorkamla di masyarakat nelayan tradisional Indonesia belum populer. Belum banyak yang mengetahui badan ini, terlebih lagi program-program kerja yang dilakukan seperti adanya call center sebagai sarana penghubung untuk kepentingan masyarakat.39 II. Anggaran, Sarana, dan Prasarana Sedemikian luasnya kawasan laut Indonesia tidak diikuti dengan anggaran yang memadai untuk pengawasannya terhadap infiltrasi asing maupun berbagai tindak kejahatan transnasional. Dalam menanggulangi kekurangan Indonesia dalam hard power pertahanan negara karena keterbatasan anggaran, TNI AL telah melakukan upaya pertahanan melalui cara soft power (diplomasi) dan confidence building measures dengan negara-negara yang berkepentingan dengan wilayah laut Indonesia. Dalam upaya pertahanan negara, masyarakat nelayan dan pesisir dapat diarahkan sebagai telik sandi negara oleh karena itu pembinaan dan pemberdayaan mereka sebagai penjaga terdepan negara kepulauan Indonesia lebih ditingkatkan. Upaya menjaga kedaulatan di pulaupulau terluar perbatasan Indonesia perlu didukung dengan pembangunan ekonomi kawasan perbatasan. Upaya pembinaan masyarakat pesisir dan nelayan tersebut tidak hanya sebatas bantuan kesehatan, perbaikan sarana infrastruktur atau kunjungan aparat pemerintah sesekali ke wilayah mereka, tetapi harus diikuti dengan program kebijakan nasional untuk meningkatkan 38 Pengamanan Nusantara – Menanti Penjaga Lautan, Kompas, 9 Maret 2011: 4. 39 Wawancara dengan LSM Jala Medan tanggal 27 Mei 2011 dan LSM Kelola Manado tanggal 4 Juli 2011.
30
Adirini Pujayanti
kesejahteraan. Nelayan lemah sangat membutuhkan bantuan tekonologi dan modal dengan teknologi yang sesuai dengan lokasi penangkapan ikan dimana mereka bertempat tinggal dan melaut, serta jaringan pemasaran yang baik.40 Upaya menjaga dan memperkuat klaim kepemilikan di pulau-pulau terluar dengan menempatkan tentara pada pulau-pulau terluar membutuhkan sarana dan prasarana yang besar. Upaya pelestarian lingkungan dapat digunakan sebagai bargaining position Indonesia dapat menunjukan bukti kehadiran tetap (continuos presence), kependudukan efektif (effective occupation) dan pemeliharaan ekologi (ecology preservation) dengan menjadikan pulau terluar maupun kawasan perbatasan tersebut sebagai kawasan konservasi. Pembuatan kawasan konservasi laut harus diikuti dengan proses edukasi yang baik terhadap nelayan setempat agar maksud dan tujuan pelestarian lingkungan hidup tersebut tercapai dan tidak menimbulkan konflik perebutan pemanfaatan ruang dengan nelayan tradisional.41 Hal ini menjadi upaya alternatif bagi pengamanan perbatasan rawan konflik dengan kondisi keuangan Indonesia saat ini.42 kekalahan Indonesia dalam kasus Sipadan Ligitan menjadi pelajaran mahal yang tidak tidak boleh terjadi lagi. Upaya diplomasi untuk melanjutkan perundingan batas wilayah laut dengan negara-negara tetangga harus terus ditingkatkan. III. Batas Wilayah Laut Malaysia dan Indonesia memiliki beberapa batas wilayah laut yang belum terselesaikan, diantaranya di Blok Ambalat Timur, Selat Malaka dan sejumlah pulau di utara kepulauan Karimun dan Pulau Bintan. Patut kita sadari pengakuan UNCLOS terhadap konsep negara kepulauan Indonesia tidak saja menguntungkan kita, tetapi juga memberikan kita pekerjaan rumah untuk segera menyelesaikan persoalan perbatasan dengan beberapa negara tetangga. Hal ini harus menjadi prioritas tertinggi dibandingkan dengan kerjasama keamanan maritim. Kerjasama keamanan regional akan kehilangan makna jika perbatasan antar negara tidak jelas.43 Perbatasan Indonesia merupakan wilayah rawan karena persoalan batas wilayah antara Indonesia dengan beberapa negara tetangga belum terselesaikan. Konsentrasi pembangunan selama ini masih 40 Leonardo Marbun dan Ika N. Krishnayanti (ed.), Masyarakat Pinggiran yang Kian Terlupakan,medan; Era Grafia, 2002: 31-33. 41 Wawancara dengan bapak Rignaldo Jamaluddin, direktur LSM Kelola Manado, tanggal 4 juli 2011. 42 Wawancara dengan pihak Sesditjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil KKP tanggal 25 April 2011. 43 Makmur Keliat, op.cit: 123.
31
Budaya Maritim, Geo-Politik dan Tantangan Keamanan Indonesia
pada beberapa pulau besar, sementara ribuan pulau kecil kurang mendapat perhatian. Pemerintah menyatakan setiap pulau terluar merupakan tonggak yang menjadi pagar keliling NKRI. Meski demikian banyak pulau-pulau kecil yang berperan penting sebagai pulau terluar atau terdepan yang menjadi penentu batas kedaulatan wilayah NKRI, kondisinya kurang terperhatikan.44 Di Sumatra Utara berkurangnya ikan di laut dangkal memaksa nelayan untuk melaut lebih jauh mendekati perbatasan Malaysia, sehingga seringkali ditangkap pihak aparat Malaysia dengan alasan pelanggaran perbatasan. Tanpa tapal batas yang jelas, tindakan main hakim sendiri dapat terus dilakukan aparat keamanan Malaysia terhadap nelayan Indonesia dengan alasan pelanggaran batas wilayah. Pemerintah Malaysia akan cenderung kurang menanggapi dan berbalik menuding nelayan Indonesia mencuri ikan di wilayahnya. Perlindungan sangat kurang dirasakan nelayan yang tengah melaut mendekati kawasan ‘abuabu’ perbatasan Indonesia-Malaysia. Mereka seringkali ditangkap oleh aparat keamanan Malaysia dan dipaksa mengaku telah melakukan pelanggaran batas negara. Selanjutnya nelayan hanya dapat pasrah menerima penganiayaan, perusakan kapal dan menunggu pihak Indonesia menjemput mereka.45 Dalam upaya pembebasan nelayan yang tertangkap aparat Malaysia pihak kementerian luar negeri dinggap lambat dan kurang tanggap terhadap laporan yang masuk.46 Sedangkan nelayan Malaysia dan Filipina yang memiliki kapal penangkap ikan lebih modern seringkali melakukan penangkapan ikan di laut Indonesia tanpa dikatahui aparat keamanan Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa insiden penangkapan dan penganiayaan nelayan Indonesia oleh aparat keamanan Malaysia dapat memperburuk hubungan antar-masyarakat (people to people) kedua negara, seperti mencuatnya kembali sentiment anti-Malaysia di kalangan sebagian rakyat Indonesia.
44 Japanton Sitohang (ed.), Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia di laut Arafura dan Laut Timor, Jakarta, LIPI, 2009: 25-26. 45 Wawancara dengan bapak Hafrisal, Ketua Serikat Nelayan Tradisional Sumatera Utara tanggal 27 Mei 2011. 46 Wawancara dengan Bapak M. Iqbal dan Trajuddin Hasibuan dari LSM Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Langkat tanggal 24 Mei 2011.
32
Bab 7 Kesimpulan dan Rekomendasi
I. Kesimpulan Memudarnya budaya maritim dalam masyarakat Indonesia mempengaruhi kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan. Rawannya wilayah laut Indonesia dari berbagai tindak kriminal dan pelanggaran kedaulatan, tidak terlepas dari belum dijadikannya pembangunan kelautan sebagai mainstream dalam pembangunan nasional. Oleh sebab itu Pemerintah Indonesia harus mempunyai kebijakan kelautan yang jelas, bervisi ke depan dan berwawasan global. Keunggulan komparatif sebagai negara kepulauan harus dibangun dan dimanfaatkan sesuai dengan kompetensi dan produk unggulan di setiap daerah dan kepentingan nasional. Laut menyediakan sumber pangan dan kehidupan bagi jutaan rakyat Indonesia. Namun Laut juga merupakan sumber konflik karena masih adanya perbatasan laut yang belum jelas antar negara. Masalah keamanan non-tradisional yang bersifat positive sum game yang mendorong negara-negara untuk bekerja, dalam kenyataannya dapat mendorong terjadinya masalah keamanan tradisional yang bersifat zero sum game, yaitu keuntungan bagi satu pihak merupakan kerugian bagi pihak lainnya, sehingga kompromi relatif sulit dicapai. Ketegangan bilateral dapat bermula dari sengketa bilateral yang pada dasarnya masuk dalam kategori isu keamanan non-tradisional, misalnya illegal fishing. Oleh sebab itu prosedur dalam pengurusan sempadan bersama, baik batas maritim maupun darat antara Indonesia dengan negara-negara tetangga perlu segera diwujudkan guna menghindari kemungkinan perselisihan antar negara di masa mendatang. Indonesia sebagai negara kepulauan masih rentan terhadap berbagai ancaman keamanan. Hal ini disebabkan tidak semua pulau terluar terjamin keamanan, kedaulatan dan keutuhannya, serta banyaknya penduduk miskin (terutama nelayan) yang tinggal di wilayah pesisir, perbatasan dan pulau terluar 33
Budaya Maritim, Geo-Politik dan Tantangan Keamanan Indonesia
jauh dari kontrol pemerintah dan sarana prasarana ekonomi. Negara harus mampu memberi kepastian dan masa depan yang layak pada warga di kawasan perbatasan. Perbaikan kesejahteraan masyarakat di kawasan perbatasan, terutama kesejahteraan kaum nelayan harus menjadi prioritas. Pelanggaran kedaulatan dan penganiayaan oleh aparat keamanan negara tetangga kepada nelayan Indonesia yang seringkali terjadi di wilayah perbatasan laut tidak boleh terjadi lagi Di era globalisasi saat ini, perkembangan batas wilayah laut yang sekaligus merupakan perluasan wilayah negara pantai tidak lagi dilakukan dengan cara perang atau kekerasan dan tidak melanggar hukum internasional. Berbagai peraturan tentang kelautan untuk mengukur jarak laut dari wilayah darat telah diberlakukan secara universal, secara yuridis juga telah memberikan kepastian hukum. Oleh sebab, itu perundingan batas wilayah laut dengan negara-negara tetangga yang belum terselesaikan harus diprioritaskan demi kedaulatan negara dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. II. Rekomendasi Untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional, maka terdapat beberapa strategi pokok yang dapat dilakukan, yaitu: 1) mengubah orientasi pembangunan dari land-based orientation menjadi archipelagic-based orientation, 2) segera menyelesaikan perundingan dan menetapkan batas-batas maritim NKRI 3) mengoptimalkan pembangunan sarana dan prasarana perhubungan di wilayah NKRI, 4) mengoptimalkan kelembagaan yang efektif yang dapat menangani seluruh permasalahan kelautan, 5) meningkatkan peran serta nelayan dan pelaut nusantara dalam rangka sistem pertahanan rakyat semesta, 6) melakukan prioritas pengelolaan pada kawasan andalan laut, kawasan perbatasan antar negara, dan pulau-pulau kecil. Kesadaran bahwa Indonesia adalah negara kepulauan harus kembali dibangkitkan dengan menghidupkan budaya maritim dalam masyarakat. Perlu dibuat ‘branding’ baru untuk terus mengingatkan masyarakat bahwa Indonesia negara kepulauan yang mudah diingat dan mengena di masyarakat. Peningkatan sarana air surveylance untuk pengawasan wilayah laut Indonesia harus ditingkatkan terutama untuk kawasan perbatasan laut, karena metode ini efektif dilakukan di negara kepulauan yan terbuka seperti Indonesia.
34
BIBLIOGRAFI
Adrianto, Adrianto ”Implementasi Code of Conduct For Responsible Fisheries dalam Perspektif Negara Berkembang”, Jurnal Hukum Internasional,Vol.2 No.3 April 2005, Jakarta; Lembaga Pengkajian Hukum Internasional FH UI. 2005 Booklet Badan Koordinasi Keamanan Laut Republik Indonesia 2011 Buzan, Barry, Ole Waever dan Jaap de Wilde, Security: A New framework for Analysis, (London: Lynne Rienner Publisher, 1998) Buzan, Barry, People, States, and Fear: An Agenda for International Security Sudies in the Post-Cold War Era, (New York: Harvester Wheatsheaf, 1991) Cribb, Robert dan Michele Ford, Indonesia Beyond Water’s Edge, Ropbert and Michele Ford (ed), Singapore;ISEAS, 2009, Frecon, Eric “Piracy in the Malacca Straits: notes from the field”, IIAS Newsletter 36, 2005 Ho Khai Leong and Samuel C.Y. Ku (ed.), China and Southeast Asia – Global Changes and Regional Challenges), Singapore; ISEAS, 2005 Keliat, Makmur, ”Keamanan Maritim dan Implikasi Kebijakannya Bagi Indonesia”, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Politik,Vol 13, No.1 Juli 2009 Klein, Natalie., Maritim security – International Law and Policy Perspective from Australia and New Zaland, etc. (ed),London; Routledge, 2010, Marbun,Leonardo dan Ika N. Krishnayanti (ed.), Masyarakat Pinggiran yang Kian Terlupakan,medan; Era Grafia, 2002 Ooi Kee Beng and Ding Choo Ming (ed.), Continent, Coast, Ocean, Singapore; ISEAS, 2007. Patrick, Stewart. ”Weak States and Global Threats: Fact or Fiction”, The Washington Quarterly, Vol.29, No.2, 2006 35
Budaya Maritim, Geo-Politik dan Tantangan Keamanan Indonesia
Philpott, Daniel. (2001), Revolutions in Sovereignty: How Ideas Shaped Modern International Relations, New Jersey: Princeton University Press, 2001 Pramono, Joko, Budaya Bahari, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2005 Yang Razali Kassim (ed.), Strategic Currents – Emerging Trends in Southeast Asia, Singapura; S.Rajaratnam School of International Studies. Sitohang, Japanton (ed.), Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia di laut Arafura dan Laut Timor, Jakarta, LIPI, 2009 Subagyo, P. Joko.Hukum Laut Indonesia, Jakarta; Rhineka Cipta, 2005 Sungkar, Yasmin. (ed.) Isu-Isu Keamanan Strategis dalam Kawasan ASEAN Jakarta; LIPI, 2008. Internet ”Chasing ghosts The notion that geography is power is making an unwelcome comeback in Asia”. http:// www.economist com/node/ 13825154? story_ id=13825154 Jun 11th 2009 Gan, Zhen, ”Australian Sea Power Issues and International Relations in Asia— Pacific Region”, http://www.library.uq.edu.au/ ojs/index. php/ asc / article/ view Article/630 diakses 24 November 2010 Kusumaatmadja, Sarwono. ”Visi Maritim Indonesia: Apa Masalahnya?” BUNYU ONLINE, http://www. bunyu-online. com/2009/09/indonesiadan-visi-negara-maritim.html, 28 September 2009 Lintner, Bertil. ”PEOPLE SMUGGLING The Crime of Flight”, http://www. Asia pacificms. com/articles/ people_smuggling/ Suratkabar “Pengamanan Nusantara – Menanti Penjaga Lautan,” Kompas, 9 Maret 2011 Soebiyanto,Slamet.“PembangunanKembaliBudayaMaritimSegeraDilaksanakan”, Suara Pembaruan, 18 November 2010. “Waspadai Perompakan dan Penjarahan,” Kompas, 27 September 2011.
36
Buku Kedua Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Oleh: Lisnawati, SSi, M.Si1
1 Penulis merupakan calon peneliti ekonomi dan kebijakan publik pada Pusat Pengkajian Pengolahan Da-ta dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI. Alamat email:
[email protected].
Bab 1 Pendahuluan
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai 17.508 pulau. Indonesia terbentang antara 6 derajat garis lintang utara dampai 11 derajat lintang selatan, dan dari 97 derajat sampai 141 derajat garis bujur timur serta terletak antara dua benua yaitu benua Asia dan Australia. Banyak potensi yang terdapat di sepanjang garis pantai yang belum termanfaatkan bagi kehidupan masyarakat. Menurut Mulyadi (2005), potensi yang terdapat di wilayah pesisir dan laut Indonesia dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: 1. Sumberdaya pulih seperti hutan magrove, terumbu karang, padang lamun, rumput laut dan sumberdaya perikanan laut. 2. Sumberdaya tidak dapat pulih seperti seluruh mineral dan geologi. 3. Jasa lingkungan, seperti fungsi kawasan pesisir dan lauttan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, pengatur iklim, kawasan perlindungan, dll. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi laut yang sangat besar. Namun, selama ini potensi laut tersebut belum termanfaatkan dengan baik dalam meningkatkan kesejahteraan bangsa pada umumnya, dan pemasukan devisa negara khususnya. Bahkan, selama ini kekayaan laut Indonesia dikuasai oleh nelayan asing secara ilegal, dimana kemampuan menangkap ikan mereka lebih modern dan peralatan yang lebih canggih. Menurut Dahuri (2001), pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut di Indonesia dari sudut pandang pembangunan berkelanjutan dihadapkan pada kondisi yang berada dipersimpangan jalan. Di satu pihak, ada banyak kawasan yang belum sama sekali tersentuh oleh aktivitas pembangunan, namun di sisi lain terdapat banyak kawasan yang telah dimanfaatkan dengan intensif.
39
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Dalam mengelola wilayah pesisir dan laut Indonesia diperlukan suatu kerjasama dalam pengelolaan tersebut sehingga pemanfaatan laut dapat dinikmati seluas-luasnya oleh masyarakat. Dalam tulisan ini akan dikaji permasalahan, bagaimana sebaiknya pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut agar dapat memberikan manfaat dan merata kepada seluruh masyarakat. Bagaimana peranan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut?
40
Bab 2 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut pada Era Otonomi Daerah
Pergeseran pembangunan dari sentralistik menjadi desentralistik merupakan amanat dari UU No. 22 Tahun 1999 mengenai Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004. Aturan mengenai kewenangan pengeloaan sumberdaya kelautan dan perikanan di tingkat daerah telah diatur dalam UU tersebut. Provinsi memiliki wewenang mengelola sejauh 12 mil laut, sementara kabupaten/kota diberi wewenang 1/3 dari wilayah kewewenangan provinsi. Pengelolaan pesisir dan sumberdaya alam lainnya telah berganti dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pembuat kebijakan kelembagaan eksekutif pemerintahan di laut selama ini antara lain: No Nama Instansi
Tugas dan Fungsi
Dasar Hukum
1.
Kementerian Pertahanan dan Menegakkan kedaulatan di UU No 3 Tahun 2002 Tentang TNI AL laut Pertahanan Negara
2.
Kementerian Kelautan dan Menjalankan sebagian fungsi UU No 6 Tahun 1996 Tentang Perikanan pemerintahan di laut Perairan, UU No 1 Tahun 1962 Tentang Karantina Laut, UU No 5 Tahun 1985 Tentang ZEE, UU No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
3.
Kementerian Perhubungan
Dalam bidang pemerintahan UU No 21 Tahun 1992 Tentang dan perhubungan serta Pelayaran dan Beberapa Konvensi telekomunikasi Internasional.
4.
Kepolisian Negara RI
Menjaga keamanan di laut UU No 2 Tahun 2002 Tentang (dilakukan oleh polisi air) Kepolisian Negara RI
5.
Dewan Kelautan Indonesia
Merumuskan kebijakan bidang kelautan
6.
Bakorkamla
Koordinator keamanan di laut Perpres No 81 Tahun 2005
di Keppres No 21 Tahun 2007
Sesuai pasal 10 UU No.22 Tahun 1999 menyatakan bahwa kewenangan daerah di laut, meliputi kewenangan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, 41
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
pengelolaan sumberdaya laut dan kekayaan laut, penataan ruang, administratif, penegakan hukum dan keamanan. Namun kenyataannya kapasitas pemerintah daerah masih relatif terbatas, khususnya pembangunan kelautan non-perikanan. Disisi lain sumberdaya kelautan tersebut dimanfaatkan berbagai pihak secara tidak bertanggung jawab seperti destructive fishing, pencurian ikan di laut, serta banyaknya reklamasi pantai contohnya di sepanjang pantai Sulawesi Utara yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan. Pelaksanaan otonomi daerah cenderung mengeksploitasi sumberdayanya. Peraturan daerah yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi sumberdaya pesisir tanpa memperhatikan kelestarian sumberdaya dan regulasi lain sehingga menimbulkan kerusakan fisik. Sementara kesadaran nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Selain itu, hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan sumberdaya laut seperti sasi, seke, panglima laot juga masih kurang dihargai sehingga ruang untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir pun masih terbatas. Terdapat beberapa hal yang harus ditingkatkan dalam pelaksanaan otonomi daerah khususnya dalam rangka pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut, antara lain: 1. Diperlukan suatu Peraturan Pemerintah yang mengakomodasi kepentingan daerah agar pengelolaan sumberdaya daerah dapat optimal. 2. Daerah dengan potensi sumberdaya alam melimpah, perlu membuat prioritas pembangunan sumberdaya daerahnya. 3. Perlunya pengembangan ekonomi lokal dengan basis kemitraan lintas aktor-aktor pembangunan, agar pertumbuhan ekonomi lebih merata antar kawasan. 4. Memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam secara proporsional, agar kekayaan (resources endowment) tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari (green economic paradigm). 5. Mendorong desentralisasi pembangunan daerah dan mendayagunakan kelembagaan di daerah untuk memiliki wewenang dan kemandirian dalam membuat produk hukum pembangunan di daerahnya. 6. Untuk memperkuat basis keuangan daerah, Pemda tidak harus selalu dan melulu menambah jenis pungutan, karena tidak sepantasnya dilakukan. Karena kemandirian ekonomi daerah tidaklah secara otomatis dapat melegitimasi Pemda (dan DPRD) untuk membuat aturan yang pada akhirnya justru menambah beban masyarakat. 42
Lisnawati
7. Dalam era otonomi daerah ini, birokrat Pemda harus mampu bertindak layaknya seorang entreprenuer dan pemerintah daerah sebagai institusi harus juga mampu bertindak layaknya sebagai enterprise. Pengelolaan sumberdaya pesisir harus bersandar pada kepentingan publik dan kelestarian lingkungan. Terdapat empat aspek dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara terpadu, yaitu: Keterpaduan antara berbagai sektor dan swasta yang berasosiasi, Keterpaduan antara berbagai level pemerintahan, mulai dari pusat, kabupaten/kota, kecamatan dan desa, Integrasi antara pemanfaatan ekosistem darat dan laut, Integrasi antara sain/ teknologi dan manajemen. Pembangunan wilayah pesisir dan kelautan harus menyadari bahwa kondisi sumberdaya pesisir dan laut bersifat common property (milik bersama) dengan akses yang bersifat quasi open access. Hal ini berarti kepemilikan yang berada di bawah kontrol pemerintah atau lebih mengarah pada sifat sumberdaya yang merupakan public domain, sehingga sifat sumberdaya tersebut bukanlah tidak ada pemiliknya. Hal ini dapat menimbulkan ketidakefisienan ekonomi karena semua pihak akan berusaha mengeksploitasi sumberdaya sebesarbesarnya, jika tidak maka pihak lain yang akan mendapat keuntungan. Hal ini yang terjadi disebagian daerah yang mempunyai sumberdaya alam melimpah, sehingga pihak-pihak yang memiliki teknologi tinggi mampu mengeksploitasi sumberdaya secara berlebih. Selain hal itu perlu disadari bahwa saat ini telah terjadi degradasi lingkungan pesisir dan laut. Kebijakan pembangunan bersumber pada peningkatan pertumbuhan ekonomi menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan. Peningkatan produksi perikanan tangkap dengan peralatan yang semakin modern telah merusak sebagian wilayah pesisir dan laut di Indonesia, tidak ditemui lagi jenis ikan tertentu juga akibat dari degradasi lingkungan. Hal ini harus diperhatikan karena degradasi merupakan ancaman bagi kehidupan masyarakat pesiisr dan laut selanjutnya. Pembangunan wilayah pesisir dan laut harus memperhatikan masalah kemiskinan dan kesejahteraan nelayan. Perikanan di Indonesia melibatkan banyak stakeholders. Yang paling banyak jumlahnya adalah nelayan kecil. Banyak hal yang menyebabkan kemiskinan di wilayah pesisir dan laut yaitu faktor alamiah dan non alamiah. Faktor alamiah berkaitan dengan fluktuasi musim dan struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa. Sedangkan faktor non alamiah berhubungan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi, ketimpangan dalam 43
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
sistem bagi hasil, tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya jaringan pemasaran, tidak berfungsinya koperasi nelayan yang ada, susahnya bahan bakar solar bagi nelayan serta dampak negatif kebijakan modernisasi perikanan yang ada. Pembangunan wilayah pesisir dan kelautan selama ini juga terkendala akses teknologi. Semakin tingginya persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir, menuntut masyarakat untuk memaksimalkan produksi mereka. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan penggunaan teknologi. Keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dalam penggunaan teknologi ini menjadi salah satu kendala dan pemicu adanya eksploitasi sumberdaya yang merusak potensi lestari dan berdampak negatif bagi lingkungan. Salah satu contohnya adalah penggunaan bom ikan dan potasium sianida untuk menangkap jenis-jenis ikan dengan nilai ekonomis tinggi di habitat terumbu karang telah merusak dan menimbulkan pencemaran lingkungan yang parah. Contoh lain adalah adanya kesenjangan penggunaan teknologi antara nelayan besar dan tradisional yang berakibat pada makin terdesaknya nelayan tradisional dalam persaingan pemanfaatan sumberdaya laut, sehingga banyak yang beralih profesi menjadi buruh nelayan atau buruh bangunan. Peraturan pemerintah baik pusat maupun daerah belum kondusif. Hak kepemilikan sumberdaya pada tingkat lokal, secara tidak langsung akan memberikan hak kepemilikan (property rights) kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah dapat mengelola sumberdaya pesisir dan laut secara lebih rasional mengingat ketersediaan sumberdaya serta terdegradasinya sumberdaya akan menentukan tingkat kemakmuran masyarakat di daerah yang bersangkutan. Kebijakan pembangunan perikanan yang dijalankan seharusnya tidak hanya mengejar kepentingan ekonomi (khususnya peningkatan devisa negara dari ekspor hasil laut), tetapi juga diimbangi secara proporsional dengan komitmen menjaga kelestarian sumberdaya perikanan yang ada. Disamping itu, harus pula ada komitmen yang tinggi dan konsisten dalam menegakkan peraturan hukum yang berlaku agar dapat menghindari terjadinya konflikkonflik sosial dan ekonomi. Kearifan lokal harus dapat diakomodir sebagai salah satu pranata hukum yang dapat memperkecil terjadinya konflik antar nelayan. Salah satu bentuk akomodasi kearifan lokal ini adalah melalui penyusunan tata ruang wilayah pesisir. Hingga saat ini masih belum banyak daerah dan kawasan pesisir yang memilikinya sehingga belum memiliki kesamaan misi dari berbagai pengaturan dan kebijakan yang dibuat untuk pengelolaan sumberdaya tersebut. 44
Bab 3 Kerja Sama Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut
Penataan ruang di wilayah pesisir masih terjadi tumpang tindih kepentingan, keterbatasan sumberdaya manusia, sarana dan prasarana sering menimbulkan potensi konflik antara pemerintah, masyarakat (nelayan) maupun pengusaha daerah sekitar. Integrasi beberapa pihak diperlukan terkait pengelolaan laut diantaranya antara daerah, antara pemerintah terutama antara negara. Dari sisi penegakan hukum di laut, keamanan perairan Indonesia juga masih lemah. Kerugian di perairan Indonesia terus meningkat akibat pencurian kekayaan laut, penyelundupan, perampokan dan pembajakan. Menurut pihak TNI AL, pemerintah di daerah telah melakukan usaha dalam mengatasi hal tersebut secara maksimal, namun keterbatasan sarana dan prasarana menjadi hambatan utama dalam penegakan hukum di laut. Fasilitas kapal patroli merupakan hal yang krusial dibutuhkan dalam pengamanan laut. Belum optimalnya penegakan hukum di laut juga disebabkan sering terjadinya tumpang tindih penegakan hukum di laut. Permasalahan tersebut terjadi pada saat penyidikan pelanggaran sampai proses peradilan. Hal ini disebabkan adanya ketidakpastian dan ketidakjelasan hukum, kewenangan dan peran institusi, penafsiran peraturan, manajemen sektoral dan penegakan hukum sendiri seperti sanksi, denda, dan pengawasan. Permasalahan dalam hal perijinan pengelolaan kekayaan laut, pelaku usaha mengeluhkan mengenai dibutuhkannya perijinan yang berlapis, yang menyebabkan biaya usaha tinggi, mengakibatkan biaya produksi meningkat pada akhirnya harga di masyarakat menjadi tinggi. Permasalahan perijinan ini juga menyebabkan kurangnya ketertarikan investor untuk investasi di Indonesia.
45
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Pelanggaran di wilayah perairan kewenangan daerah, batas wilayah negara merupakan konflik yang sering terjadi. Pengkavlingan wilayah laut dan pelarangan nelayan dari provinsi/kabupaten lain untuk menangkap ikan, hal ini tidak sejalan dengan pemahaman para nelayan-nelayan lokal. Nelayan kecil mengganggap bahwa seluruh laut Indonesia merupakan milik bangsa sendiri sehingga sering terjadi konflik antar nelayan terkait batas wilayah. Proses hukum bagi pelanggar ikan dirasakan juga lambat. Banyaknya kapal asing terbengkalai akibat proses yang berlarut-larut. Salah satu faktor yang menyebabkan maraknya kapal penangkap ilegal serta hambatan untuk mengatasinya karena terlalu banyak ijin yang dikeluarkan instansi. Dalam hal penangkapan ikan, surat ijin yang diperlukan adalah sebagai berikut: 1. Surat tanda pendaftaran didasari surat ukur dan Gross Akte yang dikeluarkan perhubungan laut. 2. Sertifikat kelaikan dan pengawakan kapal (Perhubungan laut) 3. Paspor bagi ABK WNA (Imigrasi) 4. Ijin kerja tenaga asing (Kenakertrans) 5. Surat Ijin Operasional Perusahaan Non Pelayaran (Kementerian Perhubungan Laut) 6. Surat Penangkapan Ikan (SPI) (Ditjen Perikanan Tangkap, KKP) 7. Ijin Usaha Perikanan (IUP) (Ditjen Perikanan Tangkap, KKP) 8. Surat Ijin Berlayar (SIB) (Ditjen Perhubungan Laut) Semestinya beberapa ijin dapat diintegrasikan ke satu instansi sehingga lebih mudah mengontrolnya. Hal ini sulit diimplementasikan misalnya untuk mengeluarkan sertifikat kelaikan dan pengawakan kapal harus mendapatkan sertifikat dari International Maritime Organization, saat ini sertifikat ini hanya dimiliki oleh Kementerian Perhubungan, agar Kementerian Kelautan Perikanan mengambil alih perijinan, diperlukan kemampuan teknis yang disertifikasi internasional. Terjadinya multi-instansi dalam penegakan hukum di laut merupakan latar belakang hadirnya suatu badan yang tugasnya mengkoordinasikan satuan patroli laut dan beberapa instansi yang berperan dalam penegakan hukum di laut. Badan yang dinamakan Bakorkamla, diharapkan dapat menjadi badan yang mengkoordinasikan segala hal menyangkut keamanan laut. Terdapat kendala besar dalam mengkoordinasikan program dan kegiatan yang berlokasi di wilayah laut dan pesisir, baik antar sektor maupun koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Semua pihak terpaku pada tujuan masing46
Lisnawati
masing tanpa memperdulikan pentingnya keterpaduan dalam pengelolaan wilayah laut dan pesisir. Di era otonomi daerah seperti saat ini, dimana provinsi dengan kabupaten melakukan perencanaan sendiri-sendiri. Tata ruang di wilayah laut belum memadai sehingga pemanfaatan wilayah pesisir dan laut belum optimal. UU No 32 Tahun 2004 mengenai otonomi daerah, diinterpretasikan dengan sikap ‘mengkavlingkan’ laut. Hal ini memicu konflik antara nelayan lintas kabupaten. Padahal inti kewenangan pemerintah daerah hanyalah pengelolaan dan bukan kepemilikan wilayah. Pembenahan kebijakan tata pemerintahan di laut, hakekatnya adalah pembenahan sistem dan politik hukum yang ada dan tumpang tindih dan banyak disharmonisasi. Dalam pengaturan perencanaan pemanfaatan ruang harus didasarkan pada satu kesatuan wilayah yang memiliki satu persamaan fungsi geografis dan wawasan sehingga pemanfaatan tidak dapat dipisah menurut daerah administrasi. Tata laksana pemerintahan yang berkaitan dengan kewenangan pengelolaan laut yang berhubungan dengan lintas kabupaten, kota dan provinsi harus diatur dengan jelas, sehingga potensi konflik dapat dikurangi. Untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut ini, dibutuhkan suatu model pengelolaan yang kolaboratif yang memadukan antara unsur masyarakat pengguna (kelompok nelayan, pengusaha perikanan, dll) dan pemerintah. Melalui model ini, pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dilaksanakan dengan menyatukan lembaga-lembaga terkait terutama masyarakat dan pemerintah serta stakeholder lainnya dalam setiap proses pengelolaan sumberdaya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan. Pembagian tanggung jawab dan wewenang antar stakeholder dapat terjadi dalam berbagai pola, tergantung kemampuan dan kesiapan sumberdaya manusia dan institusi yang ada di masing-masing daerah. Susunan dalam model pengelolaan ini bukanlah sebuah struktur legal yang statis terhadap hak dan aturan, melainkan sebuah proses yang dinamis dalam menciptakan sebuah struktur lembaga yang baru. Hubungan kerjasama yang dilakukan dapat mencakup kerjasama antar sektor, antar wilayah, serta antar aktor yang terlibat.
47
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
I. Kerja sama Lintas-Sektor Sektor perikanan bukan satu-satunya yang berperan dalam perekonomian masyarakat pesisir. Kontribusi sektor industri berperan besar dalam pengembangan usaha produktif masyarakat. Keterlibatan sektor industri biasanya mempunyai limbah industri yang dibuang ke perairan. Infrastruktur pendukung juga menjadi hal penting untuk dapat mengembangkan wilayah dan menjaga kelestarian lingkungan. Kerjasama lintas sektor sangat perlu diperhatikan karena masing-masing sektor memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. Masing-masing sektor harus saling mendukung. Peran pemerintah daerah dalam hal ini sangat besar agar terjadi sinergi yang baik dalam pengembangan setiap sektor, sehingga tidak ada yang saling merugikan. II. Kerja sama Antar-Wilayah Kawasan pesisir pada dasarnya tidak dapat dibatasi secara administratif. Berkaitan dengan hal ini, maka wilayah yang termasuk dalam suatu kawasan (adanya homogenitas baik secara ekologis maupun ekonomis) haruslah saling bekerjasama untuk meminimalisir konflik kepentingan. Kerjasama antar wilayah dapat digalang melalui pembentukan forum kerjasama atau forum komunikasi antar pemerintah daerah yang memiliki kawasan pesisir dan laut untuk mengantisipasi sejak dini timbulnya perkembangan terburuk seperti konflik antar nelayan. Kesepakatan dan penetapan norma-norma kolektif tentang pemanfaatan sumberdaya lokal sesuai dengan semangat otonomi daerah harus disosialisasikan secara luas dan benar kepada masyarakat nelayan agar mereka memiliki cara pandang yang sama. III. Kerja sama Antar-Aktor (Stakeholders) Upaya pengurangan kesenjangan sektoral dan daerah jelas memerlukan strategi khusus bagi penanganan secara komprehensif dan berkesinambungan. Untuk itu, diperlukan adanya kebijakan dari Pemerintah Pusat untuk menjembatani persoalan kemiskinan dan kesenjangan sektoral dan daerah tersebut, melalui mekanisme kerjasama antar aktor (stakehokders) yang melibatkan unsur-unsur masyarakat (kelompok nelayan), pihak swasta / pengusaha perikanan (Private Sector), dan pemerintah (Government). 48
Lisnawati
Pengelolaan kawasan pesisir dan laut yang belum memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya perlu diberi perhatian yang serius berupa terobosan pemikiran bagi upaya percepatan pembangunan dan pengembangan ekonomi lokal yang melibatkan partispasi masyarakat dalam proses dan pelaksanaan pengelolaannya. Upaya penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan sektoral dan daerah tersebut yang berintikan suatu paradigma baru, dimana inisiatif pembangunan daerah tidak lagi digulirkan dari pusat, namun merupakan inisiatif lokal (daerah) untuk memutuskan langkah-langkah yang terbaik dalam mengimplementasikan rencana pengelolaan kawasan dan rencana aksi yang sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas yang dimiliki.
49
Bab 4 Kesimpulan
Dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang ditujukan untuk memberdayakan sosial ekonomi masyarakat maka masyarakat seharusnya memiliki kekuatan besar untuk mengatur dirinya sendiri dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di era otonomi ini. Proses peralihan kewenangan dari pemerintah ke masyarakat harus dapat diwujudkan. Namun ada beberapa hal yang masih menjadi tanggung jawab pemerintah seperti soal kebijakan fiskal sumberdaya, pembangunan sarana dan prasarana, penyusunan tata ruang pesisir, serta perangkat hukum pengelolaan sumberdaya. Meski hal tersebut menjadi bagian dari kewenangan pemerintah, namun tidak berarti masyarakat tidak memiliki kontribusi dan partisipasi dalam setiap formulasi kebijakan. Dengan adanya kontribusi dan partisipasi masyarakat maka kebijakan yang diformulasikan tersebut akan lebih menyentuh persoalan yang sebenarnya dan tidak merugikan kepentingan publik.
51
Bibliografi
Asri, 2000. “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Perikanan Laut”. Thesis. Padang: Unand. Dahuri, Rokhmin, 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Kelautan Seacra Terpadu. Jakarta: PT Pradnya Paramitha. Dahuri, Rokhmin, 2004. “ Kebijakan Pemerintah Dalam Pembiayaan Usaha Mikro Kecil Bidang Kelautan dan Perikanan”. Paper. Jakarta: Usakti, 23 Juli 2004. Darus, Bahauddin. 2001. “ Manajemen Sumberdaya Alam Perairan, Mensukseskan Pembangunan Desa Pantai, Penyegaran Strategi”. Paper. Mulyadi. 2005. Ekonomi Kelautan. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Rudyanto, Arifin. “Kerangka Kerjasama Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Laut”. Sosialisasi Nasional Program MFCDP, 22 September 2004.
53
Bagian Ketiga Studi Perbandingan Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir: PEMP dan PNPM M-KP1 Oleh: Yuni Sudarwati, S.IP, M.Si2
1 PEMP adalah Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) dan PNPM M-KP adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan Perikanan. 2 Penulis adalah Calon Peneliti bidang ekonomi dan kebijakan publik, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI. Penulis dapat dihubungi pada
[email protected].
Bab 1 Pendahuluan
I. Latar Belakang Sedikitnya terdapat sepuluh sektor ekonomi kelautan yang memiliki prospek bisnis yang dapat dikembangkan untuk memajukan dan memakmurkan Indonesia. Kesepuluh sektor itu adalah perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi, pertambangan dan energi, pariwisata bahari, transportasi laut, industri dan jasa maritim, pembangunan pulau-pulau kecil dan sumber daya nonkonvensional3. Jika melihat potensi yang sangat bagus dari sektor kelautan ini, seharusnya Indonesia dan masyarakat pesisir kaya dan makmur. Ternyata kenyataannya sangat berbeda. Kondisi masyarakat pesisir dan nelayan masih sangat kurang dan bisa dikatakan sebagai kelompok yang termarjinalkan. Bahkan untuk nelayan, marginalisasi hak-hak nelayan tradisional dapat dilihat dalam beberapa hal seperti struktur pengelolaan pembangunan pesisir dan laut yang masih bersifat top down, nelayan tradisional masih menjadi objek pembangunan bukan subjek, dan dalam perangkat aturan hak-hak nelayan tradisional tidak banyak dibicarakan4. Kemiskinan masih menjadi kondisi yang melekat di masyarakat pesisir khususnya nelayan. Berbagai program pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir dan nelayan sudah banyak dan sering dilakukan, namun program-program ini seperti tidak berbekas dan berdampak. Oleh karena itu kemudian muncul paradigma baru yang disebut sebagai program pemberdayaan. Secara definisi program pemberdayaan adalah program pelibatan dan peningkatan partisipasi masyarakat, program yang berdasarkan pada kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Melalui program 3 Ivan Razali, Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Laut, http://repository.usu.ac.id/ bitstream/123456789/15655/1/pkm-mei2004-%20%281%29.pdf, diakses 13 Januari 2011. 4 Yuswar Zainul Basri & Mahendro Nugrohoa, Pemberdayaan Nelayan Kecil, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2010: 42-45.
57
Studi Perbandingan Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir: PEMP dan PNPM M-KP
ini, masyarakat mempunyai hak untuk mengusulkan kebutuhan dan aspirasi. Sedangkan orang luar hanya sebatas pengamat dan pendamping. Pergeseran paradigma dari pembinaan menjadi pemberdayaan telah menjadi mainstream baru dalam upaya peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan. Pergeseran ini terjadi karena terdapat bukti-bukti empiris di banyak negara bahwa kekurangan yang terjadi dalam proses pembangunan selama ini adalah karena kurangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan diri mereka sendiri.5 Pendapat senada juga dikemukakan Nikijuluw6 yang menyatakan bahwa kegagalan program-program tersebut terjadi karena selama ini kurang dilibatkannya masyarakat pesisir dalam pembangunan. Perubahan paradigma ini juga diserap oleh Kementerian Kelautan Perikanan dengan meluncurkan program untuk masyarakat pesisir yang memiliki konsep pemberdayaan melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) pada tahun 2001 dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan (PNPM M-KP) pada tahun 2009. Kedua program ini sama-sama mengadaptasi konsep-konsep pemberdayaan seperti pendekatan bottom-up bukan lagi top-down ataupun sentralisasi menjadi desentralisasi. II. Permasalahan Berbagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir telah banyak dilakukan, namun sepertinya masih belum berhasil secara maksimal. Banyak program yang tidak berbekas dan tidak memiliki dampak yang berarti. Idealnya, jika sebuah program pemberdayaan telah dilaksanakan, maka ada beberapa hal yang terjadi di masyarakat pesisir dan nelayan yang meliputi, terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, tersedianya sarana produksi lokal, peningkatan peran kelembagaan masyarakat, dan munculnya kegiatan-kegiatan ekonomi produktif berbasis sumber daya lokal. Program PEMP yang diluncurkan 2001 dan PNPM M-KP tahun 2009 merupakan program yang memakai konsep pemberdayaan, namun apakah benar bahwa program ini telah dilaksanakan sesuai konsep pemberdayaan. Jikalau memang benar bahwa konsep pemberdayaan sudah dilaksanakan dalam program PEMP, mengapa harus ada program PNPM M-KP yang 5 Victor P.H. Nikijuluw, Populasi dan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir serta Strategi Pemberdayaan Mereka Dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Secara Terpadu, http://resources.un-pad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/1B%20populasi%20masyarakat%20pesisir.pdf, diak-ses 13 Januari 2011. 6 Ibid.
58
Yuni Sudarwati
berkonsep pemberdayaan juga. Bagaimana juga dengan pelaksanaan program PNPM M-KP saat ini apakah sudah sesuai dengan konsep pemberdayaan. Oleh karena itu, tulisan ini ingin melihat apakah program PEMP ataupun PNPM MKP memang merupakan sebuah program yang dilaksanakan sesuai konsep pemberdayaan dalam pelaksanaanya? Tujuan pelaksanaan penelitian ini adalah ingin mengetahui bahwa baik program PEMP maupun PNPM M-KP merupakan program yang dilaksanakan sesuai dengan konsep pemberdayaan. Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan kontribusi terhadap kajian dan wacana mengenai pemberdayaan masyarakat, terutama pemberdayaan masyarakat pesisir.
59
Bab 2 Metodologi
I. Kerangka Pemikiran Pada akhir tahun 1990-an, program pemberdayaan masyarakat seakan-akan menjadi new mainstream dalam pembangunan, dikembangkan dan dipromosikan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM). Program pemberdayaan masyarakat adalah program pelibatan dan peningkatan partisipasi masyarakat, program yang berpangkal dan berbasis masyarakat karena sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka, program yang berasal dari bawah yang berarti bahwa masyarakatlah yang mengusulkannya, serta program yang bersifat advokasi karena peran orang luar hanya sebatas mendampingi dan memberikan alternatif pemecahan masalah kepada masyarakat. Pendekatan ini muncul untuk menggantikan pendekatan pembangunan sebelumnya yang tidak memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Oleh karena itu jika sebelumnya pembangunan bersifat sentralistik, top down, uniformity, komando, ketergantungan dan social exclusion, maka pada proses pemberdayaan berubah menjadi bersifat desentralisasi, bottom up, variasi lokal, proses belajar, keberlanjutan dan social inclusion. (Lihat Bagan. 1) Bagan 1: Perubahan Mainstream Pembangunan Masyarakat Pembangunan Sentralistik Top Down Uniformity Komando Ketergantungan Social Exclusion
PERUBAHAN PARADIGMA
Pemberdayaan Desentralistik Bottom Up Variasi lokal Proses belajar Keberlanjutan Social Inclusion
Sumber: diolah dari Soetomo (2011)7 7 Soetomo, Pemberdayaan Masyarakat Mungkinkah Muncul Antitesisnya?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
61
Studi Perbandingan Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir: PEMP dan PNPM M-KP
Proses pemberdayaan masyarakat mempunyai pendekatan yang cenderung berkebalikan dengan pendekatan yang digunakan dari perspektif pembangunan. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah: 1. Desentralisasi Proses pemberdayaan masyarakat mengutamakan desentralisasi yang diwujudkan dalam bentuk kewenangan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap pengambilan keputusan dan sumberdaya. Oleh karena itu pendekatan ini memberikan kewenangan kepada masyarakat sampai tingkat terbawah dari pengambilan keputusan termasuk didalamnya pengelolaan pembangunan sejak identifikasi masalah dan kebutuhan, perencanaan juga pelaksanaan. Namun dalam pelaksanaannya, perlu dilakukan antisipasi agar dalam pendekatan ini tidak terjadi marginalisasi lapisan terbawah akibat munculnya aktor lokal yang tidak mewakili kepentingan seluruh lapisan yang ada. Akhirnya keputusan-keputusan yang diambil tidak tidak mengakomodasi kepentingan masyarakat terbawah. Sebenarnya kehadiran tokoh masyarakat ini juga bisa memudahkan dalam proses pemberdayaan karena kemampuan dalam mempengaruhi masyarakat. Oleh karena itu harus dipastikan bahwa tokoh masyarakat ini benar-benar berorientasi pada kepentingan bersama dan berdasarkan pada kearifan lokal. 2. Bottom-Up Mekanisme perumusan program pemberdayaan masyarakat cenderung mengutamakan alur dari bawah ke atas. Dalam pelaksanaannya, masyarakat melakukan sendiri identifikasi masalah dan kebutuhan dari dan oleh masyarakat sendiri melalui salah satu dari mekanisme perumusan program pemberdayaan. Pertama, identifikasi masalah dan kebutuhan dari masyarakat tersebut kemudian direspon oleh masyarakat yang bersangkutan dalam bentuk program pembangunan yang direncanakan dan dilaksanakan oleh masyarakat sendiri. Kedua, identifikasi masalah dan kebutuhan dari bawah ini kemudian diakomodasi oleh pemerintah baik pemerintah daerah maupun pusat, dalam hal ini dinas terkait, untuk dimasukkan sebagai program dalam perencanaan pembangunan8. Model yang kedua sering disebut sebagai bottom-up yang kadang disebut juga model perencanaan partisipatif. Oleh karena adanya partisipasi dari masyarakat, maka masyarakat dianggap tahu tentang kebutuhan, permasalahan 8 Ibid: 75-76.
62
Yuni Sudarwati
dan potensi yang dimiliki. Oleh karena itu seharusnya program yang dirumuskan dari masyarakat ini akan lebih tepat sasaran dan memiliki relevansi yang tinggi dengan permasalahan, kebutuhan dan kondisi nyata di lapangan. Keterlibatan masyarakat juga akan meningkatkan rasa memiliki masyarakat terhadap program dan akhirnya diharapkan akan muncul tanggung jawab dalam mewujudkan keberhasilan program. Melalui model partisipatif ini masyarakat juga dapat belajar untuk menentukan masa depannya sendiri. 3. Variasi Lokal Pendekatan ini muncul karena kesadaran akan kenyataan bahwa setiap masyarakat memiliki karakteristik dan kondisi yang berbeda-beda, sehingga secara tidak langsung perlu pendekatan yang berbeda-beda pula. Pendekatan ini sangat memberikan toleransi bagi potensi dan variasi lokal baik dalam perumusan masalah maupun dalam pelaksanaan kegiatan. Pendekatan ini juga memberikan tangung jawab akan keberhasilan pembangunan sesuai dengan kondisi lokal. Penggunaan kearifan lokal juga merupakan salah satu kekuatan pendekatan ini. Kearifan lokal dianggap sebagai sarana untuk memecahkan masalah yang lebih sesuai dengan kondisi lingkungan baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialnya. Pemikiran ini didasarkan pada pendapat bahwa setiap masyarakat memiliki kondisi lingkungan alam dan sosial yang berbeda dan tentu saja dengan cara memecahkan masalah yang berbeda pula. Sehingga pemecahan masalah menggunakan kearifan lokal merupakan pendekatan yang dipilih dalam proses pemberdayaan masyarakat. 4. Proses Belajar Pendekatan ini terkait dengan pendekatan desentralisasi yang memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk mengambil keputusan atas masalah yang mereka hadapi. Sehingga otomatis sudah tidak ada lagi sistem instruktif dan komando melainkan lebih mengedepankan kepada partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan secara tidak langsung akan mendorong masyarakat untuk belajar dan berkembang. Jika sebelumya masyarakat hanya menerima komando dan kemudian melaksanakan sesuai instruksi, maka dalam pendekatan ini masyarakat mempunyai kewenangan dari perumusan masalah dan kebutuhan hingga pelaksanaan dan tanggung jawab keberhasilan.
63
Studi Perbandingan Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir: PEMP dan PNPM M-KP
5. Keberlanjutan Pendekatan ini melihat bahwa ketika masyarakat sudah terbiasa untuk mengelola semua proses pembangunan dan bahkan sudah masuk dalam pranata sosial maka proses dan mekanisme tersebut akan tetap berlangsung dalam kehidupan masyarakat, terlepas dari atau tidak adanya stimuli dari luar. Sehingga yang ada adalah keberlanjutan bukan lagi ketergantungan pada stimuli dari luar. 6. Social Inclusion Pendekatan ini diambil karena pendekatan sentralistis ternyata telah membuat masyarakat lokal tidak memiliki akses dalam pengambilan keputusan, akses terhadap sumberdaya karena semua keputusan diambil dari pusat. Oleh karena itu, pendekatan ini berusaha untuk merubah perlakuan terhadap masyarakat lokal dan juga perubahan pola relasi sosial dalam struktur masyarakat. Bahkan jika diperlukan dilakukan transformasi struktural dan perubahan institusional. Oleh karena itu, diharapkan seluruh lapisan masyarakat dapat berpartisipasi pada semua proses kehidupan, dalam mengakses semua pelayanan, serta dalam mengakses informasi dan sumberdaya. 7. Transformation Pendekatan ini melihat bahwa pembangunan masyarakat sebuah sebuah upaya pemecahan masalah dilakukan melalui perubahan pada level sistem dan struktur sosialnya. Transformasi ini dapat dilakukan baik oleh negara maupun masyarakat sendiri. Transformasi yang diinisiasi oleh negara dilakukan melalui kebijakan pemerintah. Sedangkan transformasi oleh masyarakat dilakukan melalui gerakan sosial. II. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ke daerah dilakukan di Provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Utara. Penelitian di Sumatera Utara dilakukan pada tanggal 22 Juni sampai dengan 29 Juni 2011. Sedangkan penelitian di Sulawesi Utara dilakukan pada tanggal 3 Juli sampai dengan 9 Juli 2011. Namun selain di Provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Utara, penelitian juga dilakukan di Jakarta. III. Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data pertama kali dilakukan melalui studi pustaka untuk mendapatkan data sekunder terkait dengan masalah yang akan diteliti. Setelah 64
Yuni Sudarwati
memperoleh data yang diperlukan, penelitian dilanjutkan dengan penelitian lapangan untuk memperoleh data primer melalui wawancara secara mendalam. Wawancara dilakukan dengan pihak-pihak yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat pesisir baik di Sumatera Utara maupun di Sulawesi Utara. Sedangkan data sekunder sebagai bahan untuk analisa didapatkan melalui studi literatur. IV. Metode Analisis Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data primer dari hasil wawancara dan data sekunder dengan studi literatur dan dokumen-dokumen yang ada. Sumber data tersebut dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif dengan membandingkan antara konsep pemberdayaan secara teori, konsep program baik PEMP maupun PNPM M-KP dan pelaksanaan di lapangan baik di Provinsi Sumatera Utara maupun di Provinsi Sulawesi Utara. Analisis dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai program PEMP dan PNPM M-KP.
65
Bab 3 Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)
KKP telah mengadopsi pendekatan pemberdayaan dalam program untuk masyarakat pesisir mulai tahun 2001 dengan diluncurkannya program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Program ini merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, pemberdayaan masyarakat mendapatkan perhatian yang sangat besar dan dituangkan dalam bentuk kebijakan nasional. Program ini diharapkan dapat mendorong dan memberikan kebebasan masyarakat pesisir dalam wadah kelompok untuk menentukan, merencanakan dan menetapkan kegiatan ekonomi yang dibutuhkan berdasarkan musyawarah. Program ini didasari pemikiran bahwa di dalam diri masyarakat perlu sekali ditumbuhkan rasa memiliki serta bertanggung jawab atas pelaksanaan, pengawasan dan pengembangannya9. Secara umum, PEMP bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan penguatan kelembagaan sosial ekonomi dengan mendayagunakan sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal dan berkelanjutan.10 Sedangkan secara khusus tujuan program PEMP adalah: 1. Memperkuat kelembagaan ekonomi masyarakat dalam mendukung pembangunan daerah dan penciptaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha 2. Mengembangkan keragaman kegiatan usaha dan memperluas kesempatan kerja agar pendapatannya meningkat 3. Mengoptimalkan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir sesuai kaidah kelestraian lingkungan 9 Yuswar,b op.cit:106-107. 10 Budiarto, Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) di Kabupaten Pati, Tesis tidak diterbitkan, Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Program Studi Magister Manajemen Sumber Daya Pantai, 2004.
67
Studi Perbandingan Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir: PEMP dan PNPM M-KP
4. Meningkatkan kemampuan lembaga masyarakat, aparat Desa/Kelurahan dan Kecamatan dalam memfasilitasi proses pengembangan yang partisipatif dan trampil Kegiatan yang ada dalam program ini meliputi pengembangan partisipasi masyarakat, penguatan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat, fasilitasi kemitraan antara masyarakat, aparat pemerintah dan swasta untuk pengembangan usaha dan akses permodalan, serta pengembangan kemampuan kelembagaan lokal dan masyarakat. Sementara itu, dalam kegiatan penguatan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat terdapat kegiatan-kegiatan pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat, pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir serta pengembangan jaringan dan kelembagaan sosial ekonomi. Sasaran PEMP adalah masyarakat pesisir yang memiliki mata pencaharian atau berusaha dengan memanfaatkan potensi pesisir seperti nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan, pengolah ikan dan usaha jasa/kegiatan yang berkaitan dengan perikanan dan kelautan, yang kurang berdaya dalam peningkatan/penguatan usahanya11. Program ini menggunakan model pengembangan usaha yang bersifat perguliran yang dilakukan setelah ada keuntungan dan usaha kelompok telah kuat. Pinjaman modal melalui dana ekonomi produktif masyarakat yang diterima oleh sasaran wajib untuk dikembalikan agar terjadi perguliran kepada masyarakat pesisir lainnya yang membutuhkan serta terpilih sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan12. Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, program ini memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut13: 1. Acceptable, pilihan kegiatan ekonomi (usaha) berdasarkan potensi sumberdaya, kelayakan usaha serta kebutuhan, keinginan dan kemampuan masyarakat, sehingga memperoleh dukungan masyarakat 2. Transparency, pengelolaan kegiatan dilakukan secara terbuka diinformasikan dan diketahui masyarakat, sehingga masyarakat dapat ikut memantaunya. 3. Accountability, pengelolaan kegiatan harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat 4. Responsiveness, kegiatan dilaksanakan sebagai bentuk kepedulian atas beban penduduk miskin 11 Yuswar,b op.cit: 107. 12 Budiarto, op.cit. 13 Yuswarb, op.cit: 106-107.
68
Yuni Sudarwati
5. Quick disbursement, penyampaian bantuan kepada masyarakat sasaran secara cepat 6. Democracy, proses pemilihan peserta dan pelaksanaan kegiatan dilakukan secara musyawarah 7. Sustainability, pengelolaan kegiatan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat secara berkelanjutan, baik dalam lingkungan internal dan eksternal 8. Equality, pemberian kesempatan kepada kelompok lain yang belum memperoleh kesempatan agar semua masyarakat merasakan manfaat langsung 9. Competitiveness, setiap ketentuan dal;am pemanfaatan dana ekonomi produktif masyarakat diharapkan dapat mendorong terciptanya kompetisi yang sehat dan jujur dalam mengajukan kegiatan yang layak
69
Bab 4 Program Pemberdayaan Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan Perikanan (PNPM M-KP)
Pada tahun 2009, KKP membuat program PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan (PNPM MKP) yang merupakan bagian dari program nasional PNPM Mandiri. Program ini diluncurkan karena KKP merasa bahwa dalam pelaksanaan program-program untuk masyarakat pesisir dan nelayan terdahulu dirasa belum optimal sehingga perlu dilakukan pengintegrasian kembali program dan kegiatan pada masing-masing unit kerja eselon I. Pengintegrasian tersebut dilakukan dalam bentuk penyelarasan lokasi dan program pemberdayaan dalam satu wadah yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan (PNPM Mandiri-KP). Program Nasional Pembedayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan (PNPM Mandiri-KP) adalah program pemberdayaan masyarakat bidang kelautan dan perikanan yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesempatan kerja serta meningkatkan produksi bidang kelautan dan perikanan. Secara khusus PNPM Mandiri-KP bertujuan untuk14: 1. Meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat; 2. Memberdayakan kelembagaan masyarakat untuk pengembangan kegiatan usahanya; 3. Meningkatkan kemampuan usaha kelompok masyarakat; 4. Meningkatkan produksi kelautan dan perikanan; 5. Meningkatkan infrastruktur lingkungan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil; dan 6. Meningkatkan kemitraan kelembagaan masyarakat dengan sumber permodalan, pemasaran, informasi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi. 14 Tentang PNPM Mandiri KP, http://www.kp3k.kkp.go.id/pnpmkp/tentang.php,diakses 15 Mei 2011.
71
Studi Perbandingan Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir: PEMP dan PNPM M-KP
Sebagai sebuah program yang dilaksanakan untuk memperbaiki program terdahulu, program ini tidak serta merta menghilangkan program yang sudah berjalan. Pendekatan yang digunakan adalah bottom up, masyarakat sendiri yang merencanakan program, melaksanakan dan melakukan monitoring dan evaluasi sesuai dengan mekanisme yang ditentukan. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain di bidang penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengolahan dan pemasaran ikan, pengawasan dan pengendalian sumber daya ikan, dan pengelolaan sumber daya kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil. Tahap pemberdayaan yang dikembangkan dalam PNPM M-KP adalah15: 1. Tahap Inisiasi yaitu masyarakat melalui kelompok-kelompok masyarakat dibina, dilatih berbagai ketrampilan dan diberikan pendampingan. Tahap ini biasanya berupa pemberian bantuan stimulan usaha. Pemberian ini ditujukan untuk membantu masyarakat dalam menunjang kegiatan usaha di bidang kelautan dan perikanan. Oleh karena itu diharapkan masyarakat mulai untuk memulai sebuah usaha maupun mengembangkan usaha yang telah dirintis sebelumnya melalui peningkatan kapasitas dan keterampilan berusaha. Periode pelaksanaan tahap pemberdayaan ini dilaksanakan selama satu tahun dengan misi menyadarkan masyarakat akan pentingnya hidup mandiri dan membuka wawasan agar mereka termotivasi dalam upaya keluar dari jerat kemiskinan. 2. Tahap Penguatan, kelompok masyarakat sebagai penerima bantuan yang pada tahap sebelumnya telah terbentuk akan diperkuat kelembagaannya. Penguatan kelembagaan ini dapat dilakukan dengan peningkatan kapasitas kelembagaan, diberlakukannya sistem nilai atau aturan main organisasi, dan peningkatan status badan hukum kelembagaan. Penguatan ini ditujukan agar lembaga masyarakat dapat mandiri dan mempunyai nilai tawar yang tinggi guna menjalin kerjasama dengan lembaga lainnya. Periode pelaksanaan tahap ini adalah tiga tahun dengan misi pengkapasitasan, yaitu masyarakat dilibatkan dalam peningkatan keterampilan usaha, bagi yang sebelumnya berusaha secara individu diajak untuk mampu mengorganisasi diri membentuk sebuah institusi. Setelah terbentuk sebuah institusi perlu dibuat aturan main atau sistem nilai agar masyarakat dalam menjalankan kegiatan usaha terbiasa untuk mematuhi aturan yang telah disepakati bersama. 15 Tahapan Pemberdayaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan Perikanan PNPMMKP, http://www.kmsgroups.com/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=29, diakses 24 Fe-bruari 2011.
72
Yuni Sudarwati
3. Tahap Peningkatan Kemandirian, kegiatan usaha yang telah dilakukan sebelumnya dikembangkan melalui jalinan kemitraan dengan lembagalembaga atau badan usaha yang dianggap berpotensi untuk pengembangan usaha tersebut. Jalinan kemitraan ini antara lain dapat menggunakan model inti-plasma, kerjasama kegiatan simpan pinjam dengan sumber-sumber pembiayaan, kerjasama perdagangan di sektor riil, dan kerjasama usaha dengan pihak swasta maupun BUMN. Pada tahap ini lembaga masyarakat sudah mulai mengarah untuk menekuni sebuah usaha yang dianggap prospektif, seperti kegiatan usaha budidaya, penangkapan, pengolahan maupun pemasaran hasil perikanan, membangun kedai pesisir yang melayani kebutuhan sehari-hari masyarakat, membangun stasiun BBM yang melayani kebutuhan bahan bakar untuk melaut bagi nelayan, dan membentuk Lembaga Keuangan Mikro (LKM) untuk melayani kebutuhan permodalan bagi masyarakat. 4. Tahap ketiga atau yang terakhir ini merupakan tahap kemandirian. Periode pelaksanaan tahap ini adalah satu tahun dengan misi pendayaan. Oleh karena itu diperlukan upaya penyiapan masyarakat agar mampu mengembangkan usahanya melalui jalinan kemitraan, baik menggunakan sistem inti-plasma, akses modal dengan lembaga pembiayaan, kerjasama perdagangan di sektor riil, serta kerjasama usaha dengan pihak swasta maupun BUMN. Pada misi ini, pemerintah berperan sebagai fasilitator bagi terbentuknya jalinan kemitraan, baik dengan pihak swasta, BUMN maupun sumber-sumber pembiayaan. Dalam hal kerjasama dengan sumbersumber pembiayaan, maka masyarakat yang sudah membentuk lembaga diarahkan agar mampu mengelola kegiatan simpan pinjam untuk melayani kebutuhan kredit masyarakat sektor kelautan dan perikanan. Strategi yang ditempuh dalam pelaksanaa PNPM Mandiri-KP adalah sebagai berikut16: 1. Strategi dasar PNPM Mandiri-KP meliputi: a. Mengintegrasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat di lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP); b. Melakukan komunikasi dan koordinasi secara intensif dalam pelaksanaan PNPM Mandiri-KP baik di lingkungan KKP maupun Kementerian/ lembaga lain yang telah melaksanakan PNPM Mandiri; dan 16 Program PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan, http://www.kp3k kkp.go.id/ pnpmkp/organisasi. php,, diakses 15 Mei 2011.
73
Studi Perbandingan Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir: PEMP dan PNPM M-KP
c. Menjalin kemitraan dalam rangka pengembangan PNPM Mandiri-KP dengan berbagai pihak untuk mewujudkan kemandirian masyarakat. 2. Strategi Operasional PNPM Mandiri-KP meliputi: a. Melakukan identifikasi dan kajian seluruh potensi dan/atau permasalahan wilayah dan sumberdaya kelautan dan perikanan; b. Memanfaatkan secara optimal kelembagaan masyarakat kelautan dan perikanan yang telah dibentuk oleh berbagai program sebelumnya atau membentuk kelompok masyarakat baru; c. Mengintegrasikan PNPM Mandiri-KP dengan program penanggulangan pengentasan kemiskinan di pusat dan daerah; d. Melibatkan secara aktif pemangku kepentingan utama yang terkait dengan upaya pemberdayaan baik yang berasal dari pemerintah pusat dan daerah, maupun masyarakat; e. Mengoptimalkan peran tenaga pendamping sebagai fasilitator sekaligus motivator dalam proses perencanaan partisipatif, pelaksanaan dan pelaporan di tingkat desa serta melakukan sosialisasi kepada pihak terkait; dan f. Menerapkan upaya pemberdayaaan secara konsisten dan berkelanjutan dengan pola bottom up sehingga jenis kegiatan yang dilaksanakan merupakan aspirasi kelompok masyarakat di wilayahnya. Adapun komponen PNPM Mandiri-KP meliputi:17 1. Pengembangan Masyarakat Komponen program pengembangan masyarakat mencakup serangkaian kegiatan untuk memberi kesadaran pentingnya hidup mandiri serta membuka wawasan masyarakat agar mereka termotivasi dalam upaya keluar dari jerat kemiskinan. Pada komponen ini masyarakat diarahkan untuk melakukan pemetaan potensi, masalah, kebutuhan masyarakat, perencanaan partisipatif, pengorganisasian, dan pemanfaatan sumber daya. 2. Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) Komponen program BLM ditujukan untuk membantu masyarakat dalam menunjang kegiatan usaha di bidang kelautan dan perikanan. Pada komponen ini masyarakat mulai dibina untuk memulai sebuah usaha maupun 17 Ibid.
74
Yuni Sudarwati
mengembangkan usaha yang telah dirintis sebelumnya melalui peningkatan kapasitas dan keterampilan berusaha. 3. Peningkatan Kapasitas Pemerintahan dan Masyarakat Komponen program peningkatan kapasitas pemerintahan pada dasarnya merupakan kegiatan yang berorientasi pada upaya membangun tata pemerintahan daerah yang baik (local good governance). Peningkatan kapasitas pemerintahan diarahkan untuk melibatkan aparat pemerintah secara aktif dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan dan pasca program. Aparatur pemerintah dalam hal ini adalah aparat tingkat kabupaten/kota, kecamatan, maupun kelurahan/desa. Sedangkan komponen program peningkatan kapasitas masyarakat ditujukan agar kelompok masyarakat dapat menjadi lembaga yang mandiri dan mempunyai nilai tawar yang tinggi guna menjalin kerjasama dengan lembaga lainnya. Peningkatan kapasitas dilakukan dengan cara pemberian pelatihan keterampilan usaha teknis kelautan dan perikanan, manajemen keuangan, manajemen kelompok, organisasi, dan membangun jaringan. 4. Bantuan Pengelolaan dan Pengembangan Program Komponen bantuan pengelolaan dan pengembangan program ditujukan agar kegiatan usaha yang telah dilakukan sebelumnya dikembangkan melalui jalinan kemitraan dengan lembaga-lembaga yang dianggap berpotensi untuk pengembangan usaha dimaksud. Jalinan kemitraan ini antara lain dapat menggunakan sistem inti-plasma, kerjasama kegiatan simpan pinjam dengan sumber-sumber pembiayaan, kerjasama perdagangan sektor riil, dan kerjasama usaha dengan pihak swasta maupun BUMN dan BUMD. Kemitraan ini nantinya dapat dijadikan salah satu tolak ukur dalam kemandirian.
75
Bab 5 Perbandingan antara PEMP dan PNPM M-KP
Secara konsep, program PEMP telah menggunakan pendekatan proses pemberdayaan mulai dari desentralisasi, bottom-up, variasi lokal, proses belajar, keberlanjutan maupun social inclusion. Dari sisi desentralisasi, meskipun PEMP dikatakan sebagai program pemberdayaan, namun dalam pelaksanaan sepertinya belum sesuai. Program yang ada masih dianggap sebagai program dari pusat dan bukan dari daerah, sehingga daerah kurang terlalu peduli. Bahkan, berdasarkan wawancara dengan Kepala PPS Belawan dikatakan bahwa mereka tidak pernah mendapatkan program-program seperti PEMP, PNPM M-KP. Memang pernah mendapatkan dana bergulir, namun juga tidak berjalan18. Kondisi ini sangat bertentangan dengan prinsip pelaksanaan PEMP yaitu prinsip acceptable yang menyatakan bahwa pilihan kegiatan ekonomi (usaha) berdasarkan potensi sumberdaya, kelayakan usaha serta kebutuhan, keinginan dan kemampuan masyarakat, sehingga memperoleh dukungan masyarakat. Jika beranjak dari prinsip ini, maka seharusnya program PEMP berasal dari kebutuhan dan permasalahan yang ada di masyarakat, bukan lagi ditentukan oleh pemerintah pusat. Karena, jika tidak didasarkan kepada kebutuhan dan permasalahan di dalam masyarakat maka yang ada hanyalah sia-sia. Program yang dilaksanakan hampir bisa dipastikan tidak akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang sangat unik dan berbeda di masing-masing daerah dengan karakteristik masing-masing juga. Kepala PPS Belawan juga menjelaskan bahwa sedikit mengalami kesulitan untuk mengumpulkan nelayan dan masyarakat sekitar. Nelayan khususnya lebih memilih untuk melaut daripada hanya sekedar untuk melakukan rapat atau musyawarah. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Ketua Serikat Nelayan Sumatera Utara (SNSU) yang menyebutkan bahwa anggota SNSU
18 Wawancara dengan Kepala PPS Belawan Sumatera Utara, 27 Juni 2011.
77
Studi Perbandingan Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir: PEMP dan PNPM M-KP
lebih memilih untuk melaut dibandingkan untuk rapat atau bermusyawarah19. Meskipun rapat atau musyawarah ini dilakukan untuk kepentingan nelayan dan masyarakat sekitar. Hal ini dikarenakan masyarakat atau nelayan lebih memilih untuk melaut karena memang hanya itu sumber pendapatan mereka. Jika mereka pergi menghadiri rapat maka otomatis mereka tidak mendapat ikan dan akhirnya tidak ada pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi ini secara langsung akan berpengaruh pada keberhasilan program yang dilaksanakan. Ketidakhadiran masyarakat pesisir pada rapat yang diharapkan sebagai wahana untuk mendapatkan informasi terkait masalah yang dihadapi maupun kebutuhan yang diinginkan masyarakat ternyata tidak dihadiri oleh yang berkepentingan dalam hal ini nelayan dan masyarakat pesisir. Sehingga secara tidak langsung informasi yang dikumpulkan tidak menggambarkan kondisi sebenarnya dari masyarakat peisisr. Kondisi ini bertentangan dengan prinsip democracy dan transparency dalam pelaksanaannya. Jika prinsip democracy mengininkan bahwa proses pemilihan peserta dan pelaksanaan kegiatan dilakukan secara musyawarah dan prinsip transparency yang menyatakan bahwa pengelolaan kegiatan dilakukan secara terbuka, dinformasikan dan diketahui masyarakat, sehingga masyarakat dapat ikut memantaunya, maka ketidakhadiran masyarakat dalam musyawarah merupakan kebalikannya. Seharusnya masyarakat hadir dalam musyawarah dan ikut menentukan keputusan dalam kegiatan. Terkait dengan beban masyarakat, PEMP melalui program Kedai Pesisir dan SPDN berupaya untuk mengurangi beban masyarakat pesisir. Kedua program ini memang dilaksanakan karena berawal dari pemikiran bahwa rendahnya pendapatan masyarakat pesisir antara lain karena besarnya pengeluaran yang harus dikeluarkan. Terkait dengan SPDN, Yayasan Kelola menyatakan bahwa bagi nelayan tradisional yang berada di Manado akan sangat sulit untuk bisa mendapatkan akses ke SPDN karena SPDN yang terdekat hanya ada di Bitung20. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika seringkali dari hasil wawancara dengan pihak masyarakat seperti KNTI, JALA, SNSU, Yayasan Kelola, maupun HNSI jawaban mereka hampir sama. Mereka akan menjawab bahwa program yang dilaksanakan oleh pemerintah lebih sering tidak tepat dan salah sasaran. Bahkan kelompok masyarakat ini beranggapan bahwa ada kelompok-kelompok 19 Wawancara dengan Ketua SNSU Medan, 28 Juni 2011. 20 Wawancara dengan Yayasan Kelola Manado, 4 Juli 2011.
78
Yuni Sudarwati
palsu yang memang dibentuk khusus untuk menangkap bantuan program. Padahal kelompokpalsu ini bukanlah nelayan ataupun masyarakat pesisir yang menjadi sasaran dari program.situasi ini sering terjadi, sehingga kelompok yang menerima bantuan tidak pernah berubah yaitu kelompok palsu yang bukan nelayan. Kenyataan di lapangan ini merupakan penyimpangan prisip equality yang menyatakan bahwa seharusnya ada pemberian kesempatan kepada kelompok lain yang belum memperoleh kesempatan agar semua masyarakat merasakan manfaat langsung. Kegagalan ini juga menunjukkan bahwa pemerintah belum melaksankaan variasi lokal. Seyogyanya pemerintah memperhatikan dan melakukan customization terhadap kebutuhan masing-masing nelayan di masing-masing daerah yang tentunya sangat berbeda karakteristiknya. Jika nelayan penangkap udang maka berilah alat tangkap udang. Sehingga antara kebutuhan dan pemenuhan bisa sesuai. Kelanjutan dari masalah ketidakhadiran dan ketidakmampuan pemerintah membaca variasi lokal berdampak pada kegagalan program yang akhirnya juga berdampak pada tidak berhasilnya proses belajar, keberlanjutan dan bahkan social inclusion. Sementara, untuk program PNPM M-KP, dari sisi desentralisasi, secara konsep terdapat hubungan timbal balik antara kelompok masyarakat dan wirausaha baru dengan tenaga pendamping, tim pemberdayaan masyarakat dan tim pendamping. Dari sisi ini ada sebuah kemajuan dari program PEMP ke program PNPM M-KP. Berdasarkan struktur yang ada, maka akan bisa disimpulkan bahwa ada hubungan timbal balik yang memungkinkan masyarakat memberikan masukan terkait masalah dan kebutuhan yang ada di dalam masyarakat. Dan ini sesuai dengan konsep pemberdayaan. Jika secara konsep desentralisasi sudah dilaksanakan maka seharusnya pendekatan bottom up juga terlaksana, namun sepertinya hal itu tidak terlaksana. Berdasarkan wawancara dengan pihak KKP disebutkan bahwa program yang ada diputuskan dari pemerintah21. Sementara dalam strategi operasional PNPM M-KP disebutkan menerapkan upaya pemberdayaan secara konsisten dan berkelanjutan dengan pola bottom up sehingga jenis kegiatan yang dilaksanakan merupakan aspirasi kelompok masyarakat di wilayahnya. Oleh karena itu sebenarnya kondisi yang terjadi tidak jauh beda dengan kondisi pada program PEMP. Bahkan berdasarkan hasil diskusi dengan pihak Bappenas disebutkan bahwa program-program tadi dilaksanakan secara 21 Wawancara dengan Direktorat KP3K, KKP.
79
Studi Perbandingan Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir: PEMP dan PNPM M-KP
sektoral yang kemudian memunculkan ego sektoral. Seperti PNPM M Pedesaan ataupun PNPM M Perkotaan hanya fokus dengan sektor yang menjadi tangung jawabnya22. Kenyataan ini sangat bertentangan dengan strategi dasar maupun strategi operasional PNPM M-KP yang menyebutkan bahwa strategi dasarnya adalah melakukan koordinasi secara intensif dalam pelaksanaan PNPM M-KP baik di lingkungan KKP maupun K/L lain yang telah melaksanakan PNPM Mandiri. Sementara strategi operasional menyebutkan mengintegrasikan PNPM M-KP dengan program penanggulangan pengentasan kemisknan di pusat dan daerah. PNPM MKP memilik kelebihan dibandingkan PEMP dari sisi proses belajar karena kehadiran dari tenaga pendamping yang lebih dominan. Kehadiran tenaga pendamping ini sangat membantu masyarakat dalam belajar mengenai kondisi dan masalah yang mereka hadapi. Kelebihan yang lain adalah bahwa PNPM M-KP memanfaatkan hasil dari progam pemberdayaan sebelumnya yaitu PEMP. Sehingga ada sebuah konsep yang kembali terpenuhi yaitu keberlanjutan. PNPM M-KP juga merupakan bentuk dukungan KKP untuk memberikan mata pencaharian alternatif selain dengan mengembangkan perikanan budidaya menggantikan perikanan tangkap. Sementara dalam prakteknya, sebagai contoh, nelayan tradisional di Bitung diberikan bantuan untuk bisa menjadi nelayan besar. Namun jika ternyata mereka tidak mampu berkembang maka mereka disarankan untuk mencari mata pencaharian alternatif selain nelayan23. Kondisi ini didukung dengan kondisi pelabuhan Bitung yang memiliki banyak perusahaan pengolah ikan yang mampu menyerap tenaga kerja dari masyarakat sekitar. Namun pendekatan ini belum bisa dilaksanakan di daerah Belawan. Ketua Serikat Nelayan Sumatera Utara menyatakan bahwa mereka adalah pelaut dan hidup mereka di laut. Falsafah hidup seperti ini sulit untuk dirubah, sehingga untuk merubah mereka menjadi selain nelayan akan sangat sulit. Kondisi ini juga yang seringkali membuat program pemberdayaan yang seharusnya berakar pada partisipasi masyarakat menjadi gagal. Nelayan yang seharusnya hadir pada acara musyawarah bersama untuk mengambil keputusan memilih untuk tetap melaut karena memang hanya itu sumber pendapatan mereka. Sehingga sering 22 Diskusi dengan Staff Direktorat Kelautan dan Perikanan Bappenas, 15 Agustus 2011. 23 Wawancara dengan Kepala PPS Bitung, 5 Juli 2011.
80
Yuni Sudarwati
dipertanyakan siapa yang sebenarnya hadir dan mengambil keputusan dalam musyawarah bersama untuk kepentingan nelayan24. Terkait dengan kurangnya akses masyarakat pesisir terutama nelayan terhadap modal, KKP memunculkan program Sehati dan Kartu Nelayan yang diharapkan akan memudahkan nelayan dalam mengakses modal dari perbankan. KKP juga berencana untuk membuat Lembaga Mikro Mitra Mina, Mina ventura dan Asuransi Nelayan25. Sementara dalam kaitannya dengan teknologi, permasalahan terjadi karena seringkali terdapat perbedaan antara pemenuhan dan kebutuhan dalam upaya membantu masyarakat pesisir. Nelayan dan kelompok nelayan mengeluhkan bahwa alat dan bantuan yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan. Kelola Sulut menyatakan pemerintah lewat DKP sering memberikan bantuan alat yang salah sasaran. Pemerintah tidak memberikan sesuai kebutuhan26. Hal senada juga diungkapkan HNSI Sumut, Jala Medan, SNSU dan KNTI. Kondisi ini mungkin terjadi karena pendekatan pemberdayaan yang seharusnya adalah bottom-up dan berakar pada partisipasi masyarakat tidak dilaksanakan. Sehingga aspirasi mengenai kebutuhan apa saja yang diperlukan oleh masyarakat pesisir tidak mampu ditangkap oleh pemerintah. Sehingga pemerintah tidak memiliki informasi mengenai kebutuhan masyarakat dan pada akhirnya salah dalam menyalurkan bantuan. Salah sasaran dan tidak tepatnya sebuah bantuan bisa terjadi karena memang masyarakat khususnya nelayan tidak memberikan informasi karena mereka memilih untuk tetap melaut daripada mengikuti kegiatan musyawarah dengan pihak DKP. Ataupun memang pihak pemerintah dalam hal ini DKP yang tidak berupaya untuk menyerap aspirasi masyarakat. Kondisi kritisnya adalah bagaimana fasilitas tersebut dapat berkelanjutan di tingkat kelompok sasaran. Akhirnya pemberian fasilitas tersebut outputnya tidak hanya telah tersalurkannya bantuan di tingkat kelompok sasaran, melainkan sampai pada tingkat manfaatnya bagi kelompok sasaran. Teknologi tepat guna yang diberikan kepada masyarakat pesisir harus dilengkapi dengan proses sosialisasi, penggunaan yang tepat, perawatan apabila rusak agar tidak hilang begitu saja ketika proyek berakhir. Monitoring dan evaluasi juga tetap dilakukan untuk melihat perkembangan baik dari sisi output, manfaat dan dampaknya. Sehingga seharusnya munculnya pendekatan pemberdayaan yang 24 Wawancara dengan Ketua SNSU Medan, 28 Juni 2011. 25 Yuswar, op.cit: 152. 26 Wawancara dengan Yayasan Kelola Sulut, 4 Juli 2011.
81
Studi Perbandingan Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir: PEMP dan PNPM M-KP
menggunakan tenaga pendamping yang lebih dekat ke masyarakat dan memiliki akses ke pemerintah sehingga mampu menjembatani kedua pihak ini. Upaya untuk memberikan akses terhadap pasar dalam prakteknya sudah mulai terjadi di Bitung. Pabrik pengolah ikan yang berorientasi ekspor sudah banyak yang didirikan dan mampu untuk menyerap ikan hasil tangkapan nelayan melalui program kemitraan. Masyarakat pesisir juga terserap sebagai tenaga kerja di perusahaan-perusahaan tadi. Program pemberdayaan juga harus mampu mengembangkan akses kolektif. Saat ini KKP masih memanfaatkan koperasi dan lembaga keuangan hasil dari program PEMP. Namun meskipun telah banyak program baik dari KKP maupun instansi lain kemiskinan masyarakat pesisir masih ada. Kegagalan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui program pemberdayaan terjadi karena prinsip-prinsip pemberdayaan (kode etik pemberdayaan) yang seharusnya dilakukan bersama (secara partisipatif) telah dilanggar, karena ada kepentingankepentingan tertentu dari segelintir orang di luar unsur masyarakat sasaran. Dampaknya menjadi lebih besar terutama untuk kepentingan pemberdayaan dan berkesinambungan. Tantangan proyek yang berorientasi kepada pemberdayaan, bukan hanya dituntut untuk mempertahankan profesionalisme bagi para pelakunya, tetapi harus menjadi komitmen bersama dari seluruh unsur stakeholders yang terlibat dalam proyek. Keterlibatan aktif masing-masing stakeholder akan mempercepat pertumbuhan perekomian masyarakat. Karena masing-masing stakeholder dapat memberikan kontribusi sesuai dengan sumberdaya masing-masing. Keterpaduan dan kesinergisan dapat terjadi apabila ada forum yang memfasilitasi pertemuan rutin untuk saling bertukar informasi. Sehingga menjadi gerakan bersama untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat pesisir.
82
Bab 6 Penutup
I. Kesimpulan Program PEMP dan PNPM M-KP serta berbagai program pemberdayaan yang telah dilakukan oleh banyak instansi atau stakeholders ternyata memang belum berarti secara signifikan karena masih dilakuan secara terpisah dan tidak terpadu. Sehingga sering terjadi overlapping di satu sisi dan tidak saling melengkapi. Dan bahkan sama sekali tidak memenuhi syarat sebuah pemberdayaan. Baik program PEMP maupun PNPM M-KP meskipun sudah mengusung konsep pemberdayaan, namun masih saja lebih banyak bersifat top down dalam kebijakannya. Meskipun kesalahan bukan hanya di pemerintah, karena ada andil dari masyarakat dan nelayan yang sering tidak hadir ketika ada musyawarah atau rapat. Baik PEMP maupun PNPM M-KP ternyata masih juga belum mengadakan korrdinasi dengan instansi lain dalam programprogramnya. Padahal keberhasilan sebuah pemberdayaan masyarakat adalah hasil dari pelaksanaan kegiatan semua instansi atau stakeholder Keberhasilan pemberdayaan masyarakat adalah hasil dari semua upaya pembangunan yang dilaksanakan atau diprogramkan oleh setiap instansi. II. Saran Pemberdayaan masyarakat pesisir bukanlah tanggung jawab Kementerian Kelautan dan Perikanan semata. Namun juga tanggung jawab instansi maupun stakeholder lain yang terkait dengan pengembangan prasarana wilayah, pendidikan, kesehatan, pembangunan pertanian, pembangunan industri jasa, perhubungan, transportasi, komunikasi, serta pembangunan lainnya dalam arti luas yang tidak hanya menjadi tanggung jawab KKP. Oleh karena itu perlu dilakukan koordinasi yang lebih baik terkait penuntasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat pesisir.
83
Bibliografi
Basri, Yuswar Zainul. Bungai Rampai Ekonomi Pesisir, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2007. Basri, Yuswar Zainul dan Mahendro Nugroho, Pemberdayaan Nelayan Kecil, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2010. Budiarto, ”Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) di Kabupaten Pati”, Tesis tidak diterbitkan, Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Program Studi Magister Manajemen Sumber Daya Pantai, 2004. Nikijuluw, Victor P.H. ”Populasi dan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir serta Strategi Pemberdayaan Mereka Dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Secara Terpadu”, http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/ uploads/publikasi_ dosen/1B%20populasi%20masyarakat%20pesisir. pdf, diakses 13 Januari 2011. ”Program PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan”, http://www.kp3k.kkp. go.id/pnpmkp/organisasi.php, diakses 15 Mei 2011. Razali, Ivan. ”Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Laut”, http:// repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15655/1/pkm-mei2004-%20 %281%29.pdf, diakses 13 Januari 2011. Soetomo, Pemberdayaan Masyarakat Mungkinkah Muncul Antitesisnya?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011. ”Tahapan Pemberdayaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan Perikanan PNPM-MKP”, http://www.kmsgroups.com/?pilih =news&mod= yes& aksi=lihat&id=29, diakses 24 Februari 2011. ”Tentang PNPM Mandiri KP”, http://www.kp3k.kkp.go.id/pnpmkp/tentang. php, diakses 15 Mei 2011.
85
Studi Perbandingan Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir: PEMP dan PNPM M-KP
Wawancara: Wawancara dengan Kepala PPS Belawan Sumatera Utara, 27 Juni 2011. Wawancara dengan Ketua SNSU Medan, 28 Juni 2011. Wawancara dengan Yayasan Kelola Manado, 4 Juli 2011. Wawancara dengan Jajaran Direktorat KP3K, KKP. Wawancara dengan Kepala PPS Bitung, 5 Juli 2011. Diskusi dengan Staff Direktorat Kelautan dan Perikanan Bappenas, 15 Agustus 2011.
86
Bagian Keempat Pengelolaan Sumber Daya Ikan Secara Lestari: Lesson Learned dari Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Utara Oleh: Lukman Adam, S.Pi., M.Si1
1 Calon Peneliti di Pusat Pengkajian Pelayanan Data dan Informasi, Setjen DPRRI.
Bab 1 Pendahuluan
I. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki sumber daya perikanan yang sangat besar. Namun, saat ini sumber daya tersebut mulai mengalami degradasi akibat beberapa sebab, salah satu yang utama akibat penangkapan ikan yang berlebihan. Data FAO (2009) menunjukkan bahwa pada tahun 2007 sekitar 28% dari stok ikan dunia sudah berada pada kondisi overexploited maupun depleted. Sekitar 52% stok dunia sudah berada pada kondisi fully exploited yang membuat ruang untuk ekspansi semakin sulit dilakukan. Hanya sekitar 20% stok ikan dunia yang berada pada “zona aman” yakni moderately exploited maupun under exploited.2 Pada tahun 2008, Indonesia menjadi produsen perikanan tangkap ketiga terbesar di dunia dengan produksi mencapai 4,95 juta ton. Indonesia berada di bawah Cina yang produksinya mencapai 14,79 juta ton dan Peru yang produksinya mencapai 7,36 juta ton (FAO, 2010).3 Permasalahan yang terjadi di sektor perikanan, khususnya perikanan tangkap sangat kompleks. Salah satunya adalah maraknya IUU (Illegal, Unreported, and Unregulated) fishing. IUU bukan saja menimbulkan kerugian ekonomi yang masif, namun juga menimbulkan masalah lingkungan dan dampak sosial yang diturunkannya. Perkiraan besaran dan kerugian akibat IUU memang sangat beragam. FAO memperkirakan bahwa IUU bisa mencapai 30% dari total tangkapan beberapa ikan ekonomis penting. Sementara perkiraan kerugian bervariasi antara 2 US$ sampai lebih dari 10 miliar US$. Di Indonesia
2 FAO. 2009. The State of World Fisheries and Aquaculture 2008. Food and Agriculture Organization, Rome. Italy. 3 FAO. 2010. The State of World Fisheries and Aquaculture 2010. Food and Agriculture Organizations, Rome Italy.
89
Pengelolaan Sumber Daya Ikan Secara Lestari: Lesson Learned dari Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Utara
sendiri kerugian akibat IUU ini diprediksi mencapai 300 juta US$4. Angka ini merupakan 25% dari total potensi perikanan Indonesia. Dampak ekologi yang ditimbulkan terhadap IUU fishing, antara lain akan mengganggu komposisi stok dalam proses pendugaan stok ikan. Dari perspektif sosial, IUU fishing banyak memicu konflik antara nelayan, baik yang berbeda alat tangkap maupun nelayan dengan alat tangkap yang sama. Konflik ini menimbulkan biaya sosial yang cukup mahal bagi masyarakat pesisir yang notabene merupakan masyarakat miskin. Selain kedua masalah diatas, sektor perikanan juga mengalami masalah yang cukup serius terkait dengan perubahan iklim dan dampaknya terhadap keberlanjutan usaha perikanan tangkap maupun budidaya. Perubahan gradual peningkatan suhu yang terjadi secara global berakibat pada perubahan aspek biofisik seperti peningkatan perubahan cuaca yang ekstrem, kenaikan paras muka laut, perubahan jejaring makanan, dan perubahan fisiologis reproduksi akan berimplikasi pada aspek sosial ekonomi perikanan. Hasil studi Fauzi, et al (2010)5 menunjukkan perubahan pola cuaca yang ekstrem telah menurunkan produktivitas alat tangkap payang dari 20 ton/alat/tahun pada sekitar awal 2000 menjadi hanya 2 ton/alat/tahun pada tahun 2007. Salah satu masalah terbesar yang dihadapi perikanan tangkap adalah adanya tangkap lebih (overfishing) dan kapasitas lebih (over dan excess capacity). Overfishing sebagian besar disebabkan karena ekspansi penangkapan yang berlebihan akibat adanya open access. Ketiadaan pengendalian menyebabkan penangkapan perikanan mengalami eskalasi dan terjadi ekstraksi yang berlebihan terhadap sumber daya ikan. Meski kemudian beberapa pengaturan dilakukan, substitusi terhadap input berupa teknologi yang lebih canggih menyebabkan upaya efektif terus meningkat. Kombinasi peningkatan jumlah kapal, perbaikan dalam teknologi penangkapan dan ekspansi upaya ini kemudian menyebabkan terjadinya fenomena kapasitas lebih, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Overfishing dan kapasitas lebih merupakan penyakit perikanan yang harus ditangani untuk mencapai pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.6
4 DKP. 2008. Refleksi 2007 dan Outlook 2008 Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 5 Fauzi, A. S. Diposaptono, Z. Anna. 2010. “Socio-economic impacts of climate change on coastal communities: The case of the north coast of Java small-pelagic fisheries.” Proceeding International Symposium on Climate Change Effects on Fish and Fisheries. Sendai, Japan. 25-29 April 2010. 6 Fauzi, A. 2010. Ekonomi Perikanan: Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
90
Lukman Adam
Perikanan tangkap merupakan aktivitas ekonomi yang unik bila dibandingkan dengan aktivitas lain. Hal ini berkaitan dengan kondisi sumber daya ikan dan laut itu sendiri, yang seringkali dianggap sebagai common pool resources. Karakteristik ini sering menimbulkan masalah eksternalitas di antara nelayan sebagai akibat proses produksi yang interdependent dari setiap individu nelayan, dimana hasil tangkapan dari satu nelayan akan sangat tergantung pada tangkapan nelayan lain. Selain itu, tangkapan dari nelayan juga akan sangat tergantung dari kondisi sumber daya ikan yang merupakan fungsi dari eksternalitas berbagai aktifitas non produksi lain, selain aktifitas produksi nelayan, seperti kondisi kualitas perairan itu sendiri. Hal lain yang unik dari perikanan tangkap ini adalah biasanya diatur dalam kondisi quasi open access, yang menyebabkan sulitnya pengendalian faktor input, sehingga akhirnya sulit untuk mengukur seberapa besar kapasitas perikanan yang dialokasikan di suatu wilayah perairan.7 Salah satu hal yang juga cukup signifikan dalam perikanan tangkap adalah adanya discard (ikan-ikan buangan) dan by catch (hasil samping yang bukan merupakan target spesies). Jumlah ikan yang tidak dimanfaatkan ini rata-rata mencapai 27 juta metrik ton per tahun atau sekitar 30% dari total produksi dunia. Angka ini selain cukup besar untuk ukuran produksi ikan, juga akan memiliki konsekuensi pada kesalahan dalam perhitungan pendugaan stok dan gangguan pada rantai makanan. Kebanyakan by catch ini berasal dari penangkapan udang (khususnya dengan trawl) dimana rasio by catch terhadap udang mencapai 5:1.8 Berdasarkan data yang diperoleh dan disajikan pada Tabel 1, nilai produksi perikanan tangkap terus mengalami peningkatan. Sedangkan produksi perikanan tangkap, volumenya berfluktuasi, khususnya terjadi penurunan volume produksi pada tahun 2008 akibat terjadinya La Nina sehingga musim penghujan berkepanjangan.
7 Fauzi, A., dan S. Anna. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 8 Alverson, D. L., M. Freeberg, J. Pope, and S. Murawski. 1994. A Global Assessment of Fisheries by-catch and discards: A summary overview. FAO Fisheries Technical Paper No. 399. Rome.
91
Pengelolaan Sumber Daya Ikan Secara Lestari: Lesson Learned dari Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Utara
Tabel 1. Volume dan Nilai Produksi Perikanan Tangkap Tahun 2005 – 2010 Volume/ Nilai Volume (ton)
Tahun 2005 4.408.499
2006 4.512.191
2007
2008
4.734.280
2009
4.701.933
4.812.235
Nilai (Juta Rupiah) 33.255.308 37.162.918 45.025.651 46.598.553 49.527.136 Keterangan: *) Angka sementara Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010)
2010*) 5.058.260 56.298.430
Komoditas perikanan tangkap yang utama dan bernilai ekonomis tinggi adalah udang, tuna, cakalang, dan tongkol. Besarannya berfluktuasi pada tahun 2008 untuk komoditas udang dan cakalang, sedangkan untuk produksi komoditas tuna dan tongkol besarannya selalu mengalami peningkatan. Produksi perikanan tangkap berdasarkan komoditas utama dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Produksi Perikanan Tangkap di Laut Menurut Komoditas Utama Tahun 2005 – 2009 (Satuan: ton) No.
Jenis Ikan
Tahun 2005
2006
2007
2008
2009
1.
Udang
208.539
227.164
258.976
236.922
236.870
2.
Tuna
183.144
159.404
191.558
194.173
203.269
3.
Cakalang
252.232
277.388
301.531
296.769
338.034
4.
Tongkol
309.794
328.562
395.635
417.939
398.449
3.343.998
3.312.754
3.387.507
5. Ikan Lainnya 3.246.770 3.294.336 Keterangan: *) Angka sementara Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010)
Selain data produksi perikanan, perlu juga diketahui data jumlah kapal perikanan. Jumlah perahu tanpa motor setiap tahunnya mengalami penurunan, sedangkan jumlah motor tempel dan kapal motor selalu meningkat. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.
92
Lukman Adam Tabel 3. Jumlah Perahu/Kapal Perikanan Laut Menurut Kategori dan Ukuran Kapal Tahun 2005 – 2010 (Satuan: unit) No.
Kategori dan Ukuran Kapal/Perahu
Tahun 2005
2006
2007
2008
2009
2010*)
1.
Perahu Tanpa Motor
244.471
249.955
241.889
212.003
193.798
189.630
2.
Motor Tempel
165.314
185.983
185.509
229.335
236.632
238.430
3.
Kapal Motor
145.796
154.379
162.916
154.846
159.922
162.360
< 5 GT
102.456
106.609
114.273
107.934
105.121
106.660
5 – 10 GT
26.841
29.899
30.617
29.936
32.214
32.800
10 – 20 GT
6.968
8.190
8.194
7.728
8.842
9.030
20 – 30 GT
4.553
5.037
5.345
5.200
7.403
7.500
30 – 50 GT
1.092
970
913
747
2.407
2.420
50 – 100 GT
2.160
1.926
1.832
1.665
2.270
2.280
100 – 200 GT
1.403
1.381
1.322
1.230
1.317
1.320
> 200 GT
323
367
420
406
348
350
590.314
596.184
590.352
590.420
Jumlah 555.581 590.317 Keterangan: *) Angka sementara Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010)
Restrukturisasi armada perikanan tangkap diperlukan agar eksploitasi sumber daya perikanan tangkap di perairan Indonesia bisa dilakukan secara optimal, sekaligus meminimalkan kegiatan pencurian ikan yang dilakukan oleh nelayan asing. Menurut Dirjen Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan KKP, Syahrin Abdurrahman, ada tiga wilayah perairan Indonesia yang menjadi primadona pencurian ikan bagi nelayan-nelayan asing karena kaya ikan dan sumber daya kelautan lainnya, yaitu perairan Natuna, Arafura, dan utara Sulawesi. Sampai April 2011 tercatat sebanyak 12 kapal berbendera asing dan 4 kapal ikan berbendera Indonesia yang melanggar atau melakukan illegal fishing. Kapal-kapal tersebut antara lain 2 kapal berbendera Filipina, 2 kapal berbendera Taiwan, dan 6 kapal berbendera Malaysia. Data tersebut merupakan hasil tangkapan yang dilakukan kapal pengawas milik KKP, tidak termasuk hasil tangkapan TNI AL dan Polair.9
9 Lihat Majalah Mina Bahari, Edisi Mei 2011: 49.
93
Pengelolaan Sumber Daya Ikan Secara Lestari: Lesson Learned dari Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Utara
II. Perumusan Masalah Berdasarkan hasil pengkajian stok ikan di sembilan WPP yang dilakukan oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2001, potensi lestari (MSY) sumber daya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan mencapai 5,1 juta ton.10 Dari data Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) diperoleh bahwa tingkat eksploitasi ikan di Selat Malaka sudah sangat mengkhawatirkan, karena eksploitasi terhadap sumber daya ikan demersal11, udang, pelagis kecil12 dan pelagis besar13 sudah berada pada status over exploited. Sedangkan di Laut Sulawesi, status pemanfaatan sumber daya ikan pelagis besar masih berada pada tahap over exploited. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Tingkat Eksploitasi SDI di Setiap WPP No. 1.
2.
3.
4.
WPP Selat Malaka
Samudera Indonesia (Barat Sumatera)
Samudera Indonesia (Selatan Sumatera)
Laut Cina Selatan
Spesies Ikan
Status Pemanfaatan
Demersal
Fully exploited
Udang
Over exploited
Pelagis Kecil
Fully exploited
Pelagis Besar
Moderately exploited
Demersal
Fully exploited
Udang
Over exploited
Pelagis Kecil
Over exploited
Pelagis Besar
Moderately exploited
Demersal
Moderately exploited
Udang
Over exploited
Pelagis Kecil
Fully exploited
Pelagis Besar
Moderately exploited
Demersal
Fully exploited
Udang
Over exploited
Pelagis Kecil
Over exploited
Pelagis Besar
Uncertainty
10 Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2009. Perikanan Tangkap Indonesia dari Masa ke Masa: Untuk Kesejahteraan Bangsa. Jakarta. 11 Ikan demersal adalah jenis ikan yang habitatnya berada di bagian dasar perairan, yang tertangkap dengan alat tangkap ikan dasar seperti trawl dasar, jaring insang dasar, rawai dasar, dan bubu, termasuk didalamnya ikan kurau, ikan manyung, ikan layur, ikan bloso, ikan kakap merah, ikan kerapu, dan ikan kuwe. 12 Ikan pelagis kecil, termasuk didalamnya ikan kembung, ikan terbang, dan ikan lemuru. 13 Ikan pelagis besar, termasuk didalamnya ikan tuna, ikan tongkol, ikan tenggiri, dan ikan layaran.
94
Lukman Adam No. 5.
6.
7.
8.
9.
WPP Laut Jawa
Selat Makassar dan Laut Flores
Laut Banda
Laut Seram dan Teluk Tomini
Laut Sulawesi
10. Samudera Pasifik
11. Laut Arafura-Laut Timor
Spesies Ikan
Status Pemanfaatan
Demersal
Fully exploited
Udang
Over exploited
Pelagis Kecil
Over exploited
Pelagis Besar
Uncertainty
Demersal
Over exploited
Udang
Over exploited
Pelagis Kecil
Over exploited
Pelagis Besar
Moderately exploited
Demersal
Fully exploited
Udang
Uncertainty
Pelagis Kecil
Fully exploited
Pelagis Besar
Moderately exploited
Demersal
Moderately exploited
Udang
Over exploited
Pelagis Kecil
Fully exploited
Pelagis Besar
Moderately exploited
Demersal
Moderately exploited
Udang
Uncertainty
Pelagis Kecil
Moderately exploited
Pelagis Besar
Moderately exploited
Demersal
Moderately exploited
Udang
Over exploited
Pelagis Kecil
Moderately exploited
Pelagis Besar
Moderately exploited
Demersal
Over exploited
Udang
Fully exploited
Pelagis Kecil
Moderately exploited
Pelagis Besar
Uncertainty
Sumber: Komnas Kajiskan (2010)
Pada tahun 2011 ini, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap telah menghentikan izin penangkapan baru untuk pukat ikan dan pukat udang di Laut Arafura (WPP 718) dan pukat ikan di Selat Malaka (WPP 571), purse seine di Laut Jawa (WPP 712), dan pukat ikan di Laut Cina Selatan. Selain itu, upaya yang dilakukan oleh DJPT untuk meningkatkan potensi sumber daya ikan adalah: pengaturan jumlah hari/trip penangkapan di seluruh WPP, pembatasan umur kapal maksimal 20 tahun, dan penerapan kapasitas perikanan.
95
Pengelolaan Sumber Daya Ikan Secara Lestari: Lesson Learned dari Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Utara
Beddington dan Agnew (2007)14 menyebutkan kegagalan pengelolaan yang menyebabkan terjadinya krisis dalam perikanan. Kegagalan ini antara lain berupa kegagalan dalam mengakomodasikan dampak ekosistem dalam pengelolaan perikanan, ketiadaan insentif berbasis hak dalam mengelola sumber daya ikan serta kegagalan dalam mengendalikan input perikanan yang telah mengalami overcapacity. Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari tulisan ini adalah: 1. Mengetahui potensi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Selat Malaka dan Laut Sulawesi. 2. Memberikan masukan dalam penyusunan kebijakan guna pengelolaan sumber daya perikanan tangkap yang lestari di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Utara.
14 Beddington, J. R., and D. J. Agnew, 2007, “Current problems in the Management of Marine Fisheries,” Science 316: Pp. 1713 – 1716.
96
Bab 2 Kerangka Teori
I. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Tangkap Menurut Nikijuluw (2002), di perairan tropis seperti di Indonesia, stok ikan sangat sulit di prediksi sehingga hasil tangkapan ikan sangat berfluktuasi. Dengan keterbatasan pengetahuan, seringkali pengelola perikanan, pemerintah, maupun nelayan, mengalami kesulitan untuk mengetahui interaksi antara jenis ikan yang berbeda serta perubahan stok jenis ikan tertentu karena perubahan intensitas penangkapannya atau kuantitas ikan lain yang tertangkap. Berdasarkan sifat perairan tropis ini, jika saja suatu keputusan diambil dan dilaksanakan secara mutlak dan kaku, pada tahap berikutnya, keputusan tersebut mungkin tidak akan efektif lagi karena berubahnya kondisi biologi dan ekonomi. Penutupan musim penangkapan ikan merupakan pendekatan manajemen yang umumnya dilakukan di negara yang sistem penegakan hukumnya sudah maju. Pelaksanaan pendekatan ini berdasarkan sifat sumber daya ikan yang sangat bergantung pada musim. Pada bulan-bulan tertentu, ikan mungkin saja melimpah di suatu perairan dan sebaliknya tidak ditemukan sama sekali di tempat yang sama pada bulan lain. Musim ikan juga bergantung pada siklus hidup ikan yang lahir, besar, dan mati pada waktu tertentu. Dengan mempertimbangkan musim ikan ini, manajemen sumberdaya perikanan dengan cara penutupan musim penangkapan dapat dilakukan.15 Menutup kegiatan penangkapan ikan dapat dilakukan selama satu musim, beberapa musim, satu tahun, atau beberapa tahun. Penutupan kegiatan penangkapan ikan dalam kurun waktu yang lama dilakukan jika sumber daya ikan dalam kondisi kritis karena sudah sangat tinggi tingkat pemanfaatannya. Tujuannya, supaya sumberdaya ikan memiliki kesempatan untuk memperbarui dirinya kembali pada kondisi yang lebih baik seperti awal. Keputusan untuk 15 Nikijuluw, V. P. H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Penerbit Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R). PT Pustaka Cidesindo, Jakarta.
97
Pengelolaan Sumber Daya Ikan Secara Lestari: Lesson Learned dari Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Utara
melakukan penutupan daerah penangkapan ikan harus berdasarkan pada studi ekobiologi terhadap sumber daya ikan itu. Informasi mengenai pola migrasi dan komposisi umur ikan sangat dibutuhkan untuk menentukan dilaksanakannya kebijakan ini. Jika memang ikan pada kelompok umur tertentu melakukan migrasi dari suatu daerah penangkapan ke daerah penangkapan lain, penutupan salah satu daerah penangkapan tertentu tidak akan banyak pengaruhnya. Menurut Nikijuluw (2002), di Indonesia, kebijakan fishing belt tidak begitu efektif karena banyaknya pelanggaran yang disebabkan kurangnya pengawasan lapangan atau miskinnya penegakan hukum. Menurut ICLARM (1992)16, kelebihan penangkapan ikan (overfishing) dibagi dalam beberapa tipe bergantung pada tingkat keseriusannya. Pertama, recruitment overfishing, yaitu kondisi ikan-ikan muda (juvenile) yang ditangkap secara berlebihan sehingga tidak ada pertumbuhan stok ikan dewasa yang berasal dari ikan dengan kelompok usia yang lebih muda. Dengan kata lain, pertumbuhan stok ikan dewasa hanya terjadi melalui penambahan ukuran berat ikan dewasa yang tersisa. Kedua, biologically overfishing, yaitu kondisi penangkapan ikan yang telah mencapai tahap melebihi hasil tangkapan maksimum lestari (MSY). Hal ini berarti ikan yang ditangkap melebihi kemampuan maksimum stok ikan untuk tumbuh secara alami dan berkelanjutan. Biologically overfishing akan membuat stok sumber daya ikan menurun secara drastis dan akhirnya membuat perikanan berhenti secara total. Ketiga, adanya upaya penangkapan ikan secara berlebihan melalui investasi armada penangkapan secara besarbesaran, namun hasil tangkapan ikan yang diperoleh secara agregat hanya pada tingkat suboptimum (lebih rendah dari tingkat maksimum yang dapat dihasilkan). Kondisi ini berarti, industri penangkapan ikan beroperasi melebihi potensi maksimumnya secara ekonomi. Oleh karena itu, kondisi ini tidak lagi efisien. Jika hal ini terjadi, industri ikan berada pada kondisi economically overfishing. Jika ketiga tipe atau bentuk overfishing itu tetap berlangsung, jenis overfishing yang keempat sangat besar peluangnya untuk terjadi. Malthusian overfishing terjadi ketika pemerintah sebagai manajer sumber daya perikanan tidak mampu dan tidak berhasil menata dan mengelola kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan rakyatnya.
16 ICLARM. 1992. Farmer-Proven Integrated Agriculture-Aquaculture: a Technology Information Kit. International Institute for Rural Reconstruction, Silang, Cavite: International Center for Living Aquatic Resources Management, Manila.
98
Lukman Adam
II. Kerangka Pemikiran
sumber daya Kelautan Sumber Daya Alam • Perikanan Tangkap • Bahan Tambang • Pariwisata Bahari Sumber Daya Buatan • Pelabuhan • Bangunan Kelautan
sumber daya Kelautan • Sumber Daya Alam • Perikanan Tangkap
Permasalahan Sumber Daya Ikan • IUU Fishing • Kelestarian Sumber Daya Manusia • Keamanan • Kemiskinan Nelayan
Permasalahan • Sumber Daya Ikan • Kelestarian
mengatasi Permasalahan Meningkatkan Kelestarian SDI
• • • •
model CyP Produksi Ikan Jumlah Kapal dan Alat Tangkap Jumlah Nelayan Jumlah Trip
strategi meningkatkan Kelestarian sdi
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
III. Metode Analisis Data Metode analisis data berdasarkan model pendekatan yang telah dikemukakan sebelumnya terdiri dari metode untuk pendugaan parameter-parameter yang digunakan dan metode untuk pendugaan nilai optimal pengelolaan sumberdaya ikan demersal, pelagis kecil, dan pelagis besar di perairan Selat Malaka dan Laut Sulawesi pada rezim pengelolaan maximum economic yield. Parameter yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibedakan, yaitu parameter biologi dan parameter ekonomi. Parameter biologi yang diduga adalah parameter 99
Pengelolaan Sumber Daya Ikan Secara Lestari: Lesson Learned dari Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Utara
pertumbuhan intrinsik ikan (r), daya dukung lingkungan (K) dan kemampuan alat tangkap dalam melakukan penangkapan ikan (q). Sedangkan parameter ekonomi, yaitu harga input dalam melakukan penangkapan dan harga output ikan demersal, pelagis kecil, dan pelagis besar. Parameter biologi diduga dengan menggunakan model surplus produksi yang dikemukakan Clark, Yoshimoto and Pooley (1992)17 lebih dikenal dengan metode CYP. Persamaan CYP dalam bentuk matematis dapat ditulis sebagai berikut:
dimana:
Dengan meregresikan hasil tangkap per unit input (effort) yang dilambangkan dengan U pada periode t+1 dan dengan U pada periode t, serta penjumlahan input pada periode t dan t+1, akan diperoleh koefisien r, q dan K secara terpisah. Selanjutnya setelah disederhanakan persamaan diatas dapat diestimasikan dengan OLS melalui:
Sehingga nilai parameter r, q dan K dapat diperoleh melalui persamaan berikut:
17 Clarke, R.P., S.S. Yoshimoto, and S.G. Pooley. 1992. “A Bio-economic Analysis of the North-Western Hawaiian Island Lobster Fishery.” Marine Resource Economics, 7(2):115-40.
100
Lukman Adam
Dalam menentukan jumlah input (upaya penangkapan) yang digunakan terlebih dahulu dilakukan standarisasi terhadap upaya penangkapan. Standarisasi dilakukan untuk memperoleh jumlah alat tangkap yang mempunyai hasil tangkapan per unit upaya penangkapan yang sama. Dalam penelitian ini, standarisasi alat tangkap yang dilakukan mengacu kepada metode yang dikemukakan oleh Tinungki (2005)18. Metode standarisasi alat tangkap harga output ikan demersal, pelagis kecil, dan pelagis besar tersebut adalah:
dimana: Cst Ci Est Ei FPIst FPIi CPUEst CPUEi
= = = = = = = =
Jumlah hasil tangkapan alat standar Jumlah hasil tangkapan alat i Jumlah upaya penangkapan alat standar Jumlah upaya penangkapan alat i Fishing Power Index alat standar Fishing Power Index alat i Hasil tangkapan per upaya penangkapan alat standar Hasil tangkapan per upaya penangkapan alat i
Parameter harga dan biaya diasumsikan konstan. Pendugaan nilai optimal pada pengelolaan sumber daya ikan di perairan Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Utara secara ekonomi terdiri dari pendugaan terhadap jumlah upaya penangkapan optimal, jumlah penangkapan optimal, dan biomassa optimal. Penentuan nilai optimal tersebut diperoleh berdasarkan pendekatan yang digunakan. Nilai optimal untuk masing-masing variabel tersebut adalah: 18 Tinungki, G. M. 2005. “Evaluasi Model Produksi Surplus dalam Menduga Hasil Tangkapan Maksimum Lestari untuk Menunjang Kebijakan Pengelolaan Perikanan Lemuru di Selat Bali.” Disertasi. Institut Pertanian Bogor.
101
Pengelolaan Sumber Daya Ikan Secara Lestari: Lesson Learned dari Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Utara
dimana: c = biaya p = harga dengan mensubstitusikan nilai optimal E ke persamaan h, maka akan diperoleh jumlah hasil tangkapan yang optimal:
dan jumlah biomassa sebagai berikut:
dimana: h* = jumlah hasil tangkapan optimal x* = jumlah biomassa optimal
102
Bab 3 Potensi Sumber Daya Ikan dan Kebijakan
Saat ini, wilayah pengelolaan perikanan telah dibagi menjadi 11 WPP, sehingga wilayah perairan Selat Malaka termasuk dalam WPP 571, sedangkan wilayah perairan Laut Sulawesi termasuk dalam WPP 716. Lokasi penelitian berada di Provinsi Sumatera Utara dengan wilayah penangkapan ikan berada di WPP 571 dan WPP 572, dan di Provinsi Sulawesi Utara dengan wilayah penangkapan ikan utama berada di WPP 716. I. Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Utara Secara umum, potensi sumber daya ikan di WPP Selat Malaka dan WPP Laut Jawa, tingkat pemanfaatannya sudah melebihi potensi lestari yang tersedia. Apabila dilihat dari kelompok sumber daya ikannya, yaitu sumber daya ikan pelagis besar, pelagis kecil, demersal, ikan karang konsumsi, udang penaeid, lobster dan cumi, yang tingkat eksploitasinya telah melebihi JTB adalah ikan karang konsumsi, ikan demersal, lobster, dan cumi.19 Berdasarkan hasil Kajian Stok Sumber daya Ikan dan hasil monitoring terhadap indikator bio-eksploitasi tahun 2002-2003 oleh BRKP, tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di Selat Malaka dan Laut Jawa sudah melebihi potensi lestari. Sedangkan WPP Laut Sulawesi masih memungkinkan untuk pengembangan usaha perikanan pelagis kecil. Namun, untuk stok sumber daya ikan pelagis besar utama seperti spesies Blue Fin Tuna, Yellow Fin Tuna dan Big Eye Tuna di WPP Samudera Indonesia sudah menunjukkan penurunan catch per unit effort dan ukuran ikan semakin mengecil. Untuk sumberdaya ikan pelagis besar di luar ketiga spesies tersebut, seperti skip jack, tenggiri dan tongkol masih mempunyai peluang pengembangan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Merta (2003) menunjukkan bahwa stok perikanan tuna di Samudera Indonesia: hook rate menurun dari 2,2 ikan per 100 mata pancing pada 1977 19 Ibid.
103
Pengelolaan Sumber Daya Ikan Secara Lestari: Lesson Learned dari Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Utara
menjadi 0,60 ikan pada tahun 2000. Berat individu ikan hasil tangkapan menurun dari 37 kg pada tahun 1973 menjadi 27 kg pada tahun 2002; Jumlah usaha meningkat dari 207 unit longliner pada 1971 menjadi 619 pada tahun 2001. Pada tahun 2007, Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) telah melakukan penelitian tentang ketersediaan dan tingkat pemanfaatan stok sumber daya ikan. Hasil kajian tersebut menyebutkan bahwa status sumber daya ikan di hampir seluruh perairan Indonesia cenderung menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tabel 5. Volume dan Nilai Produksi Perikanan Tangkap di Provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Utara Tahun 2005 – 2010 Tahun
Volume/Nilai 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Volume (ton)
326.336
342.378
348.222
354.535
321.703
317.842
Nilai (Juta Rupiah)
1.470.932
1.704.852
1.931.704
2.106.561
1.884.052
1.702.351
164.694
191.256
206.150
214.107
220.760
Provinsi Sumatera Utara
Provinsi Sulawesi Utara Volume (ton)
206.145
Nilai (Juta Rupiah) 1.133.342 1.080.005 1.592.969 1.133.352 1.175.201 1.388.608 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara tahun 2005-2010 dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara tahun 2005-2010
Menurut Bappeda Provinsi Sumatera Utara (2007), kelemahan pengelolaan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Utara adalah pemanfaatannya yang masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan perikanan. Perikanan rakyat skala kecil belum dapat memanfaatkan kemajuan teknologi di bidang penangkapan karena: terbatasnya permodalan yang dimiliki nelayan, dan taraf pendidikan nelayan kecil umumnya masih rendah. Produksi penangkapan ikan Sumatera Utara di Selat Malaka sudah melampaui potensi pemanfaatannya. Sedangkan di Samudera Indonesia, produksinya baru mencapai 11 persen dari potensi pemanfataannya. Untuk Selat Malaka yang sudah melampaui potensi pemanfaatannya, tentu kondisinya akan sangat membahayakan jika digabung dengan produksi tangkapan ikan provinsi lainnya yang memanfaatkan WPP yang sama. Provinsi yang dimaksud adalah Nanggroe Aceh Darussalam, Riau dan Kepulauan Riau. Demikian juga dengan Samudera Indonesia, walaupun produksinya masih dibawah potensi pemanfaatannya, namun jika digabung dengan NAD, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa sampai NTT, tentu kondisinya juga akan berubah. 104
Lukman Adam
Menurut Bappeda Provinsi Sumatera Utara (2007), dalam pengembangan kegiatan perikanan tangkap di Provinsi Sumatera Utara, perlu didasarkan pada 2 prinsip, yaitu: 1. Meningkatkan pemanfaatan perairan yang masih memiliki potensi besar tetapi tingkat pemanfaatannya masih dibawah potensi tersebut. 2. Mempertahankan dan mengelola perairan yang tingkat pemanfaatannya sudah tinggi atau sudah melampaui potensinya dengan pengelolaan yang sustainable based. Atas dasar data dan fakta bahwa potensi pemanfaatan ikan di Selat Malaka sudah dimanfaatkan melampaui potensi lestarinya, maka perlu dilakukan pengelolaan yang sustainable based melalui: penghentian sementara penambahan armada tangkap dan mengoptimalkan armada yang sudah ada; penertiban alat tangkap dan fishing ground; memperbanyak rumpon; penanaman bakau dan reboisasi hutan bakau; dan sosialisasi larangan penangkapan induk ikan dan ikan-ikan anakan. Sedangkan bagi pengembangan perikanan tangkap di Samudera Indonesia, pemanfaatannya dapat dilakukan dengan cara: menambah armada penangkapan samudera; mengatur dan mengoptimalkan armada tangkap yang sudah ada; penertiban alat tangkap dan fishing ground; memperbanyak rumpon; penanaman bakau dan reboisasi hutan bakau; dan sosialisasi larangan penangkapan induk ikan dan ikan-ikan anakan. Sedangkan untuk usaha perikanan pelagis kecil masih dapat dikembangkan di WPP Laut Cina Selatan, Selat Makassar dan Laut Flores, Laut Seram dan Teluk Tomini, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, Laut Arafura dan Samudera Indonesia. II. Pendugaan Parameter Ikan pelagis kecil merupakan jenis ikan yang selalu menarik perhatian nelayan di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Utara, karena nilai ekonomis yang tinggi jika dijual dalam kondisi hidup. Ikan pelagis kecil banyak ditangkap dengan menggunakan alat tangkap bubu dan pancing. Alat tangkap ini dipilih untuk menjaga supaya ikan hasil tangkapan tetap dalam kondisi hidup. Dalam menduga parameter biologi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di Provinsi Sumatera Utara diperlukan adanya data jumlah produksi dan jumlah alat tangkap yang digunakan untuk menangkap jenis ikan tersebut. Karena ada dua jenis alat tangkap yang dominan digunakan untuk 105
Pengelolaan Sumber Daya Ikan Secara Lestari: Lesson Learned dari Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Utara
penangkapan ikan pelagis kecil, maka alat tangkap tersebut perlu distandarisasi untuk keseragaman ukuran. Standarisasi alat tangkap dilakukan dengan mengetahui fishing power index (indeks kemampuan tangkap) dari alat tangkap tersebut. Indeks kemampuan tangkap masing-masing alat tangkap diperoleh dari formula yang dikemukakan oleh Tinungki (2005). Indeks kemampuan tangkap diperoleh dari nilai CPUE (catch per unit effort) suatu alat tangkap dibagi dengan nilai CPUE alat tangkap standar. Indeks kemampuan tangkap untuk alat tangkap standar adalah 1. Alat standar dalam penelitian ini adalah bubu (trapnet) karena hasil tangkapan bubu terhadap ikan pelagis kecil lebih besar dibandingkan alat tangkap pancing. Indeks kemampuan tangkap untuk alat tangkap pancing setiap tahunnya dan jumlah alat tangkap yang dioperasikan untuk menangkap ikan demersal, pelagis kecil, dan pelagis besar di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Utara disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Jumlah Alat Tangkap Standar dan Fishing Power Index untuk Alat Tangkap Ikan Demersal, Pelagis Kecil, dan Pelagis Besar Tahun
CPUE
FPI
Jumlah Alat Tangkap Standar
Ikan Demersal Pancing Ulur
Pukat Pantai
Pukat Pantai
2006
311,9441
23,0765
0,1382
312
2007
314,6251
21,7161
0,3127
351
2008
274,2522
23,5609
0,2910
311
2009
261,7613
22,7143
0,1277
274
2010
242,6440
21,5040
0,3160
253
Ikan Pelagis Kecil Bubu
Pancing
Pancing
2006
217,3217
18,0566
0,0831
267
2007
204,0064
19,3691
0,0949
288
2008
110,2306
11,1979
0,1016
308
2009
446,4257
28,9873
0,0649
248
2010
272,8050
11,0079
0,0404
213
Ikan Pelagis Besar Huhate
Pukat Cincin
Huhate
2006
116,7531
16,2960
0,0031
112
2007
120,6074
17,3010
0,0344
134
2008
161,7310
19,2102
0,0440
177
2009
181,6051
20,7206
0,1930
201
26,8180
0,3277
224
2010 204,2902 Sumber: Data diolah, Tahun 2011
106
Lukman Adam
Jumlah alat tangkap standar setara dengan bubu diperoleh dari dari jumlah alat tangkap pancing dikalikan dengan FPI pancing ditambah dengan jumlah alat tangkap bubu. Alat tangkap standar lebih rendah dibandingkan dengan jumlah alat tangkap bubu dan pancing. Alat tangkap standar ini selanjutnya digunakan untuk menduga nilai parameter biologi r, q, dan K. Pendugaan parameter biologi ikan demersal, pelagis kecil, dan pelagis besar di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Utara dilakukan dengan menggunakan metode Clark, Yoshimoto, dan Pooley yang diacu dari Fauzi (2004).20 Metode tersebut menggunakan menggunakan OLS (ordinary least square) dengan menggunakan data logaritma CPUE pada waktu t+1 sebagai peubah tidak bebas dan logaritma CPUE pada waktu t dan t+1 sebagai peubah bebas. Tabel 7. Data Input untuk Analisis Surplus Produksi Menggunakan Model CYP untuk Ikan Demersal, Ikan Pelagis Kecil, dan Ikan Pelagis Besar Tahun
ln CPUE pada t+1 ln CPUE pada tahun t
Et + Et+1 pada tahun t dan t+1
2006
8,716
6,320
667,796
2007
7,311
6,210
665,766
2008
7,212
6,314
660,751
2009
6,215
6,381
661,988
2010
5,278
4,209
664,091
2006
5,3097
5,4539
554,9669
2007
4,7751
5,3907
595,2040
2008
6,1738
4,7751
555,7720
2009
5,6813
6,1738
460,8681
2010
6,0324
5,6813
430,0187
2006
3,404
4,200
332,209
2007
5,240
4,631
441,255
2008
7,381
5,441
531,290
2009
8,264
7,312
661,310
7,310
770,652
Ikan Demersal
Ikan Pelagis Kecil
Ikan Pelagis Besar
2010 8,746 Sumber: Data diolah, Tahun 2011
20 Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
107
Pengelolaan Sumber Daya Ikan Secara Lestari: Lesson Learned dari Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Utara
Output OLS memberikan nilai intersept (a = 3,3272), koefisien untuk variabel ln Ut (c=0,4735) dan koefisien untuk variabel (Et + Et-1) (c=0,001098), sehingga koefisiennya menjadi: ln (Ut+1) = 3,3272 + 0,475 ln (Ut) – 0,001098 (Et + Et+1) Dari nilai tersebut dapat diduga nilai tingkat pertumbuhan intrinsik (r), koefisien kemampuan tangkap (q) dan daya dukung lingkungan perairan (K). Tabel 8. Parameter Biologi Sumber daya Ikan Demersal, Pelagis Kecil dan Pelagis Besar No. Koefisien
Definisi
Nilai
Ikan Demersal 1.
R
Tingkat pertumbuhan intrinsik
0,715
2.
Q
Kemampuan tangkap
0,00298
3.
K
Daya dukung perairan
186.267,28
Ikan Pelagis Kecil 1.
r
Tingkat pertumbuhan intrinsik
0,12
2.
q
Kemampuan tangkap
0,00441
3.
K
Daya dukung perairan
137.881
Ikan Pelagis Besar 1.
r
Tingkat pertumbuhan intrinsik
0,06
2.
Q
Kemampuan tangkap
0,00228
3. K Daya dukung perairan Sumber: Data diolah, Tahun 2011
112.007
Fungsi pertumbuhan ikan pelagis kecil dengan menggunakan fungsi pertumbuhan logistik dapat ditulis menjadi:
Tingkat eksploitasi ikan pelagis kecil yang optimal diperoleh setelah diketahui parameter biologi dan parameter ekonomi. Dengan menggunakan persamaan diatas, dapat diketahui tingkat biomassa optimal ikan pelagis kecil adalah 122.694,07 kilogram per tahun. Dari jumlah biomassa tersebut, jumlah ikan pelagis kecil yang boleh dimanfaatkan atau ditangkap mencapai 29.940,97 kilogram/tahun. Jumlah alat tangkap optimal yang boleh dioperasikan untuk menangkap ikan pelagis kecil adalah 82 unit per tahun. Berdasarkan data jumlah produksi ikan pelagis kecil di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2010 108
Lukman Adam
yang ditunjukkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara yaitu 63,38 ton, menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan yang dilakukan telah melebihi jumlah ikan pelagis kecil yang boleh dimanfaatkan secara optimal. Dilihat dari jumlah alat tangkap yang beroperasi di perairan Provinsi Sumatera Utara telah menunjukkan adanya kelebihan armada yang dioperasikan dari tingkat optimal jumlah alat tangkap yang diperbolehkan. Tabel 9. Biomassa Optimal, Jumlah Penangkapan dan Effort Optimal dan Aktual Ikan Demersal, Ikan Pelagis Kecil dan Ikan Pelagis Besar Simbol
Definisi
Satuan
Optimal
Aktual
X
Stok ikan
Kg
90.312
46.547
H
Hasil tangkapan
Kg
76.645
37.717
E
Upaya penangkapan
unit
73
84
X
Stok ikan
kg
122.694,07
H
Hasil tangkapan
kg
29.940,97
63.380
E
Upaya penangkapan
unit
82
164
X
Stok ikan
Kg
43.801
27.208
H
Hasil tangkapan
kg
21.809
14.321
unit
67
21
Ikan Demersal
Ikan Pelagis Kecil
Ikan Pelagis Besar
E Upaya penangkapan Sumber: Data diolah, Tahun 2011
Tabel 10. Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan pada WPP 571, WPP 572, dan WPP 716 (Satuan: ribu ton/tahun) No.
Kelompok Sumberdaya Ikan
WPP 571 (Selat Malaka)
WPP 572 (Samudera Indonesia-Pantai Barat Sumatera)
WPP 716 (Laut Sulawesi)
1.
Ikan Demersal
82,4
68,9
24,7
2.
Udang
11,4
4,8
1,1
3.
Ikan Pelagis Kecil
147,3
315,9
230,9
4.
Ikan Pelagis Besar
27,7
164,8
70,1
Total Potensi (1.000 ton/tahun) 276 565,2 Sumber: Komnas Kajiskan (2010), belum dipublikasikan
109
333,6
Pengelolaan Sumber Daya Ikan Secara Lestari: Lesson Learned dari Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Utara
III. Kebijakan Semakin merosotnya sumber daya ikan di Selat Malaka, Samudera Indonesia bagian barat dan di beberapa wilayah pengelolaan perikanan lainnya menyebabkan perlu dirumuskannya kebijakan untuk meningkatkan sumber daya ikan di Indonesia. Kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan penghentian sementara kegiatan penangkapan ikan di beberapa wilayah pengelolaan perikanan dan kebijakan perizinan. Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2010 telah menginisiasi program one man one thousand fries untuk memperkaya stok sumber daya ikan atau fish stock enhancement di perairan umum daratan dan perairan laut melalui penebaran benih ikan.21 Pengkayaan stok melalui kegiatan ini merupakan suatu teknik manipulasi stok untuk meningkatkan populasi ikan sehingga nanti hasil tangkapan bisa meningkat. Sampai April 2011, kegiatan One Man One Thousand Fries telah dilakukan di Kepulauan Seribu, Belitung, Jambi, Selat Lembe, Ambon, Balikpapan, Muara Angke, dan Pelabuhanratu. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap dalam FGD yang dilakukan tanggal 20 April 2011, kegiatan One Man One Thousand Fries belum sepenuhnya didukung oleh anggaran pemulihan stok yang signifikan. Kegiatan pemulihan sumber daya ikan di laut teritorial dan perairan kepulauan dilaksanakan di semua provinsi, kecuali Provinsi Lampung, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat. Sedangkan untuk lokasi pemulihan tergantung kepada hasil identifikasi yang dilaksanakan oleh masing-masing provinsi. LSM Kelola di Provinsi Sulawesi Utara pada wawancara tanggal 4 Juli 2011 menyatakan bahwa program ini tidak terdengar sampai ke bawah. Bahkan menurut mereka, program ini tidak perlu menjadi program yang strategis di tingkat pusat. Kebijakan penghentian kegiatan penangkapan ikan dilakukan dengan membandingkan antara stok ikan yang terdapat pada Tabel 9 dengan estimasi potensi sumber daya ikan yang terdapat pada Tabel 10. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan penangkapan ikan demersal di Wilayah Pengelolaan Perikanan Selat Malaka, Samudera Indonesia bagian barat, dan Laut Sulawesi sudah berada diatas estimasi potensi sumber daya ikan lestari. Sedangkan untuk spesies ikan pelagis, baik pelagis kecil dan besar, masih dapat dieksploitasi dengan cara yang bertanggung jawab.
21 Lihat Majalah Mina Bahari, edisi Mei 2011, “KKP Galakkan One Man One Thousand Fries”.
110
Lukman Adam
Dari Tabel 6 dapat diketahui bahwa jumlah alat tangkap untuk ikan demersal dan ikan pelagis kecil yang ada di Wilayah Pengelolaan Perikanan Selat Malaka, Samudera Indonesia bagian barat, dan Laut Sulawesi sudah berada di atas jumlah alat tangkap yang disarankan, khususnya pada tahun 2010. Sedangkan alat tangkap untuk ikan pelagis besar, masih memungkinkan untuk ditingkatkan jumlah alat tangkapnya. Kementerian Kelautan dan Perikanan, melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap telah memprogramkan kegiatan 1000 kapal. Namun, menurut HNSI Provinsi Sulawesi Utara, kegiatan ini tidak efektif karena seringkali salah sasaran. Kegiatan yang diperlukan bagi nelayan Provinsi Sulawesi Utara adalah penguatan sumber daya manusia, melalui penguatan modal bagi nelayan kecil, melalui koperasi dan lembaga perbankan. Sedangkan dari Model CYP yang diperbandingkan antara Tabel 7 dan parameter biologi dalam Tabel 8 terlihat bahwa kegiatan penangkapan ikan demersal dan pelagis kecil di Wilayah Pengelolaan Perikanan Selat Malaka, Samudera Indonesia bagian barat, dan Laut Sulawesi harus dihentikan sampai 186 bulan (15,5 tahun) dan 137 bulan (11 tahun). Sedangkan untuk spesies ikan pelagis besar, jumlah alat tangkapnya mesti dibatasi agar jumlah alat tangkapnya tidak semakin meningkat. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk meningkat potensi sumber daya ikan, agar pemanfaatannya dilakukan secara lestari adalah melalui pengaturan terhadap perizinan. Perizinan (licensing) menjadi pilihan yang banyak digunakan karena kalau diikuti dengan tepat merupakan instrumen yang cukup efektif dalam pengendalian perikanan. Perizinan menerapkan kaidah user free principles dimana pengguna sumber daya membayar hak atas ekstraksi sumber daya tersebut. Paling tidak dengan adanya perizinan, dua hal fundamental dapat diperoleh. Pertama, menyangkut prinsip keadilan (fairness). Dengan adanya lisensi, perilaku free riders dapat dihindari. Perilaku free riders akan mengarah kepada perilaku rent seeking atau perilaku pemburuan rente yang akan memicu ekstraksi sumber daya ikan secara berlebihan dan akan menguras sumber daya. Dengan adanya perizinan, perilaku ini bisa dikurangi atau dengan MCS (monitoring, control and surveilance) yang baik bisa dihilangkan sama sekali. Kedua, menyangkut prinsip kesetaraan (equity). Perizinan menerapkan prinsip penggunaan dan pembayaran hak secara proporsional, dengan kata lain mereka yang kapasitas ekstraksinya rendah hanya membayar terhadap kapasitas tersebut atau pembayarannya kecil sementara mereka yang memiliki 111
Pengelolaan Sumber Daya Ikan Secara Lestari: Lesson Learned dari Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Utara
kapasitas lebih besar diharuskan membayar lebih besar pula. Berbeda dengan situasi akses terbuka, dimana ekstraksi tanpa batas dapat dilakukan siapa saja tanpa pembayaran atas sumber daya. Dalam konteks perizinan, dengan adanya limited property rights (hak kepemilikan terbatas) hanya mereka yang memiliki izin yang boleh memiliki akses terhadap sumber daya (tragedy of open access) bisa dihindari.22 Berdasarkan FGD yang dilakukan dengan LSM Kiara tanggal 30 Maret 2011, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap tidak secara cermat memberikan izin kepada kapal ikan milik asing, sehingga seringkali yang terjadi kapal ikan tersebut dalam beroperasi tidak menggunakan alat tangkap yang sesuai dengan izin yang diberikan. Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara, Zulkarnaen Lubis, dalam wawancara yang dilakukan tanggal 23 Mei 2011, tantangan yang dihadapi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan adalah mengenai batas wilayah laut. Saat ini selalu terjadi klaim antara wilayah yang satu dengan lainnya. Bahkan di antara sesama provinsi dalam NKRI sering terjadi saling tangkap, seperti aparat petugas di NAD yang menuduh nelayan dari Sumatera Utara mencuri ikan. Selain itu, hal lain yang juga terjadi adalah belum jelasnya batas wilayah antara Indonesia dengan Malaysia. Sehingga sering terjadi nelayan Indonesia dianggap mencuri ikan di wilayah Malaysia, padahal wilayah itu sesungguhnya adalah wilayah Indonesia. Selain perizinan, perlu dipikirkan juga pembatasan pemungutan hasil perikanan tangkap melalui pemberian rente sumber daya. Scherzer dan Sinner (2006)23 menyebutkan alasan pentingnya rente sumber daya perikanan. Pertama, adalah alasan kepemilikan atau ownership. Pengelolaan sumber daya ikan melibatkan kepemilikan publik dimana dalam hal ini pemerintah bertindak atas nama publik dalam mengelola sumber daya ikan. Upaya untuk memperoleh rente sumber daya akan meningkatkan kesejahteraan publik. Dengan demikian pemerintah harus berupaya memperoleh rente tersebut dari sumber daya publik yang akan dikembalikan untuk kepentingan pengelolaan sumber daya itu sendiri. Kedua, rente sumber daya harus diperoleh untuk menghindari alokasi penggunaan sumber daya yang tidak efisien. Ada tiga jenis alokasi yang tidak efisien dalam pengelolaan sumber daya alam. Pertama, alokasi yang berlebihan 22 Fauzi, A. 2010. Ekonomi Perikanan: Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 23 Scherzer, J., and J. Sinner. 2006. “Resource Rent: Have you paid any lately?” Ecologic Research Report, No. 8. New Zealand.
112
Lukman Adam
dari sumber daya yang ditimbulkan oleh eksploitasi yang berlebihan dan dampak kepadatan. Contoh pada perikanan di Pantura Jawa yang sangat padat menyebabkan ekstraksi yang berlebihan karena timbul fenomena too many boats chasing too few fish sehingga terjadi inefisiensi alokasi sumber daya. Kedua, inefisiensi juga terjadi karena misalokasi sumber daya yang bisa ditimbulkan oleh gagalnya pasar dalam mengalokasikan kuota atau izin penangkapan. Misalokasi ini sering terjadi karena favourtisme dimana satu pihak memperoleh privilege lebih daripada pihak lain. Tipe inefisiensi yang ketiga adalah apa yang disebut sebagai inefisiensi dinamis (dynamic inefficiency), yakni terhambatnya insentif untuk melakukan inovasi dalam memanfaatkan sumber daya ikan. Inovasi yang positif dapat mempengaruhi kelanjutan ekstraksi sumber daya dan jika inovasi ini tersumbat yang terjadi adalah inefisiensi.
113
Bab 4 Kesimpulan
Potensi sumber daya ikan di WPP Selat Malaka tingkat pemanfaatannya sudah melebihi potensi lestari yang tersedia. Apabila dilihat dari kelompok sumber daya ikannya, yaitu sumber daya ikan pelagis besar, pelagis kecil, demersal, ikan karang konsumsi, udang penaeid, lobster dan cumi, maka yang tingkat eksploitasinya telah melebihi JTB adalah ikan karang konsumsi, ikan demersal, lobster, dan cumi. Demikian juga dengan WPP Laut Sulawesi, yang masih memungkinkan untuk pengembangan usaha perikanan pelagis kecil. Namun, untuk stok sumber daya ikan pelagis besar utama seperti spesies Blue Fin Tuna, Yellow Fin Tuna dan Big Eye Tuna di WPP Samudera Indonesia sudah menunjukkan penurunan catch per unit effort dan ukuran ikan semakin mengecil. Untuk sumberdaya ikan pelagis besar di luar ketiga spesies tersebut, seperti skip jack, tenggiri dan tongkol masih mempunyai peluang pengembangan. Produksi penangkapan ikan Sumatera Utara di Selat Malaka sudah melampaui potensi pemanfaatannya. Sedangkan di Samudera Indonesia, produksinya baru mencapai 11 persen dari potensi pemanfataannya. Untuk Selat Malaka, dengan produksi tangkapan ikan sudah melampaui potensi pemanfaatannya, tentu kondisinya akan sangat membahayakan jika digabung dengan produksi tangkapan ikan provinsi lainnya yang memanfaatkan WPP yang sama. Atas dasar data dan fakta bahwa potensi pemanfaatan ikan di Selat Malaka sudah dimanfaatkan melampaui potensi lestarinya, maka perlu dilakukan pengelolaan yang sustainable based control I melalui: penghentian sementara penambahan armada tangkap dan mengoptimalkan armada yang sudah ada; penertiban alat tangkap dan fishing ground; memperbanyak rumpon; penanaman bakau dan reboisasi hutan bakau; dan sosialisasi larangan penangkapan induk ikan dan ikan-ikan anakan. Sedangkan bagi pengembangan perikanan tangkap di Samudera Indonesia, pemanfaatannya dapat dilakukan dengan cara: 115
Pengelolaan Sumber Daya Ikan Secara Lestari: Lesson Learned dari Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Utara
menambah armada penangkapan samudera; mengatur dan mengoptimalkan armada tangkap yang sudah ada; penertiban alat tangkap dan fishing ground; memperbanyak rumpon; penanaman bakau dan reboisasi hutan bakau; dan sosialisasi larangan penangkapan induk ikan dan ikan-ikan anakan. Sedangkan untuk usaha perikanan pelagis kecil masih dapat dikembangkan di WPP Laut Cina Selatan, Selat Makassar dan Laut Flores, Laut Seram dan Teluk Tomini, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, Laut Arafura dan Samudera Indonesia. Kegiatan penangkapan ikan demersal di Wilayah Pengelolaan Perikanan Selat Malaka, Samudera Indonesia bagian barat, dan Laut Sulawesi sudah berada di atas estimasi potensi sumber daya ikan lestari. Sedangkan untuk spesies ikan pelagis, baik pelagis kecil dan besar, masih dapat dieksploitasi dengan cara yang bertanggung jawab. Jumlah alat tangkap untuk ikan demersal dan ikan pelagis kecil yang ada di Wilayah Pengelolaan Perikanan Selat Malaka, Samudera Indonesia bagian barat, dan Laut Sulawesi sudah berada di atas jumlah alat tangkap yang disarankan, khususnya pada tahun 2010. Sedangkan alat tangkap untuk ikan pelagis besar, masih memungkinkan untuk ditingkatkan jumlah alat tangkapnya. Kegiatan penangkapan ikan demersal dan pelagis kecil di Wilayah Pengelolaan Perikanan Selat Malaka, Samudera Indonesia bagian barat, dan Laut Sulawesi harus dihentikan sampai 186 bulan (15,5 tahun) dan 137 bulan (11 tahun). Sedangkan untuk spesies ikan pelagis besar, jumlah alat tangkapnya mesti dibatasi agar jumlah alat tangkapnya tidak semakin meningkat. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk meningkat potensi sumber daya ikan, agar pemanfaatannya dilakukan secara lestari adalah melalui pengaturan terhadap perizinan dan pembatasan pemungutan hasil perikanan tangkap melalui pemberian rente sumber daya.
116
Bibliografi
Buku Fauzi, A. S. Diposaptono, Z. Anna. 2010. “Socio-economic impacts of climate change on coastal communities: The case of the north coast of Java smallpelagic fisheries”. Proceeding International Symposium on Climate Change Effects on Fish and Fisheries. Sendai, Japan. 25 - 29 April 2010. Fauzi, A. 2010. Ekonomi Perikanan: Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Fauzi, A., dan S. Anna. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Nikijuluw, V. P. H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Penerbit Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R) dan PT Pustaka Cidesindo, Jakarta. Jurnal Clarke, R.P., S.S. Yoshimoto, and S.G. Pooley. 1992. ”A Bio-economic Analysis of the North-Western Hawaiian Island Lobster Fishery”. Marine Resource Economics, 7(2):115-40. Beddington, J. R., and D. J. Agnew. 2007. ”Current problems in the Management of Marine Fisheries”. Science 316: Pp. 1713 – 1716. Disertasi Tinungki, G. M. 2005. ”Evaluasi Model Produksi Surplus dalam Menduga Hasil Tangkapan Maksimum Lestari untuk Menunjang Kebijakan Pengelolaan Perikanan Lemuru di Selat Bali”. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. 117
Pengelolaan Sumber Daya Ikan Secara Lestari: Lesson Learned dari Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Utara
Dokumen Alverson, D. L., M. Freeberg, J. Pope, and S. Murawski. 1994. “A Global Assessment of Fisheries by-catch and discards: A summary overview”. FAO Fisheries Technical Paper No. 399. Rome. Badan Perencanaan Pembanhunan Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. 2007. Master Plan Agromarinepolitan Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Pulau Terluar Sumatera Utara. Laporan Akhir. Desember 2007. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Refleksi 2007 dan Outlook 2008 Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. Jakarta. FAO. 2009. The State of World Fisheries and Aquaculture 2008. Food and Agriculture Organization, Rome. Italy. FAO. 2010. The State of World Fisheries and Aquaculture 2010. Food and Agriculture Organizations, Rome Italy. ICLARM. 1992. Farmer-Proven Integrated Agriculture-Aquaculture: a Technology Information Kit. International Institute for Rural Reconstruction, Silang, Cavite: International Center for Living Aquatic Resources Management, Manila. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2010. Pusat Data, Statistik dan Informasi. Jakarta. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2009. Perikanan Tangkap Indonesia dari Masa ke Masa: Untuk Kesejahteraan Bangsa. Jakarta. Scherzer, J., and J. Sinner. 2006. Resource Rent: Have you paid any lately? Ecologic Research Report No. 8. New Zealand.
118
Bagian Kelima Pentingnya Peran Pelabuhan Hub Internasional di Indonesia pada Era Globalisasi1 Oleh: Lisbet, S.IP, M.Si2
1 Penelitian yang dilakukan pada tahun 2011. 2 Penulis adalah Calon Peneliti Bidang Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data dan Informasi, Sekertariat Jenderal DPRRI.
Bab 1 Pendahuluan
I. Latar Belakang Menurut Wahyono SK dalam bukunya Indonesia Negara Maritim Tahun 20073, ada empat alasan pentingnya laut, yakni; pertama, letak laut akan sangat menentukan dalam kepentingan nasional apalagi letak kepulauan Indonesia sangat penting untuk kepentingan ekonomi dan militer. Kedua, sebagai media penghubung baik antar pulau di Indonesia maupun dengan pasar internasional. Ketiga, kekayaan alam yang dikandungnya tidak hanya hayati dan nabati tetapi juga ikan dan tumbuh-tumbuhan laut, bahan tambang dan mineral, serta energi listrik yang dapat ditimbulkan oleh tenaga gelombang air laut dan hembusan angin di atas laut. Terakhir, sebagai sosial budaya kehidupan bahari. Sebagai media penghubung dengan pasar internasional, jalur perdagangan yang dilakukan melalui laut merupakan yang paling besar yakni 90 persen dimana 40 persen dari jalur itu melewati wilayah Indonesia.4 Indonesia memiliki letak yang strategis sebagai jalur perdagangan Internasional yakni diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia serta Benua Asia dan Benua Australia. Jalur perdagangan Internasional ini sangat potensial bagi Indonesia karena sering digunakan oleh kapal-kapal asing untuk melintas ataupun untuk berdagang. Sebagai contoh, Pantai Timur Sumatera yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka (Sea Lane of Communications SloC) merupakan lintasan pelayaran yang ramai. Tidak kurang dari 300 kapal per hari melintasi jalur ini, sekitar 50 diantaranya merupakan kapal tanker termasuk VLCC (Very Large Crude Cruiser) yang membawa minyak ke Asia Timur dari Teluk Persia.5 Bahkan, sekitar 90 persen perdagangan luar negeri 3 Dasril Munir, “Cerdas Kelola Laut Mulai Sekarang atau NKRI Terpecah Belah”, Maritim Indonesia, Edisi 13/TH IV/Januari – Maret/ 2009,: 20-21. 4 Bahan tertulis diskusi internal dengan Rizald Max Rompas, Sekretaris Dewan Kelautan Indonesia, tanggal 3 Agustus 2011 di Jakarta. 5 “Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia”; 64.
121
Pentingnya Peran Pelabuhan Hub Internasional di Indonesia Pada Era Globalisasi
Indonesia diangkut melalui laut.6 Selain itu, menurut Rizald Max Rompas, Indonesia memiliki potensi ekonomi yang sangat tinggi dari bidang transportasi laut yakni sebesar 20 miliar dollar AS per tahun.7 Jika berbicara tentang bidang transportasi laut maka didalamnya akan mencakup industri maritim seperti galangan kapal dan mesin kapal, pelayaran maupun bangunan kelautan seperti pelabuhan.8 Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk memaksimalkan peran jalur lautnya bagi perdagangan internasional. Mengetahui akan potensi tersebut, di wilayah barat, pemerintah telah akan melakukan pengembangan di Pelabuhan Belawan yang terletak di jalur selat malaka dan berseberangan dengan Malaysia. Sedangkan di wilayah Timur, adalah Pelabuhan Bitung untuk menjadi menjadi jalur perdagangan Internasional.9 Pengembangan kedua pelabuhan ini merupakan hal yang wajar karena Pelabuhan Belawan mempunyai akses langsung ke Selat Malaka sedangkan Pelabuhan Belitung mempunyai akses langsung ke lautan Pasifik. Dengan demikian, Indonesia dapat menawarkan efisiensi pengiriman barang melalui laut. Terlebih lagi Bitung juga memiliki kedalaman laut yang memenuhi syarat untuk disandari kapal induk barang (mother vessels). 10 Jadi, Indonesia juga memiliki peluang yang sama dengan negara-negara tetangga dalam mengelola potensi kelautannya. Indonesia telah kehilangan daya saing karena ada banyak kapal induk barang yang lebih memilih untuk singgah di pelabuhan di Singapura atau Malaysia ketimbang pelabuhan di Indonesia. Sampai saat ini, Indonesia masih belum memiliki Pelabuhan Hub Internasional yang mampu mengakomodasi kebutuhan kapal-kapal besar antar benua (large trans-oceanic vessels) sehingga terjadi proses yang sangat panjang serta memakan biaya yang tinggi.11 Kendati Bitung memiliki kedalaman laut yang memenuhi standar namun, selama ini semua produk ekspor dari Sulawesi Utara menuju negara tujuan ekspor, harus dibawa ke pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta) dan Tanjung Perak (Surabaya) lebih dahulu karena barang-barang itu harus masuk ke gudang dan dipindahkan 6 “Reformasi Sektor Pelabuhan Indonesia dan UU Pelayaran Tahun 2008”, Laporan David Ray, 2008: 9. 7 Wawancara dengan Rizald Max Rompas, Sekretaris Dewan Kelautan Indonesia, tanggal 3 Agustus 2011 di Jakarta. 8 Wawancara dengan Tridoyo Kusumastanto, Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor, tanggal 11 Agustus 2011 di Bogor. 9 “Kadin Usulkan Pembangunan Tiga Pelabuhan Internasional”, diakses dari http://www. mediaindonesia.com/read/2010/09/20/169524/21/2/Kadin-Usulkan-Pembangunan-TigaPelabuhan-Internasional pada tang-gal 14 Januari 2011. 10 “Akses Lancar, Ekonomi “Moncer”, Suara Pembaruan, 1 Februari 2011: 10. 11 Ibid.
122
Lisbet
ke container milik Main Line Operator agar mendapatkan registrasi ekspor. Setelah itu, barang-barang tersebut dibawa oleh kapal (feeder) lain ke Singapura. Di Singapura, barang-barang ekspor tadi pun harus diturunkan lagi dan selanjutnya dipindahkan ke kapal induk barang lalu dibawa ke negara tujuan ekspor.12 Singapura telah menjadi basis perdagangan internasional sehingga memiliki akses atau jaringan ke seluruh pelabuhan dagang di dunia. II. Permasalahan Indonesia memiliki potensi di bidang perdagangan internasional karena letaknya yang sangat strategis dengan jalur perdagangan internasional. Oleh karena itu sudah sepatutnya Indonesia memiliki pelabuhan bertaraf internasional. Untuk menentukan letak pelabuhan yang bertaraf internasional pun, Indonesia memerlukan kajian khusus terutama untuk di kawasan Timur dan Barat Indonesia sebagaimana yang telah dicantumkan di dalam MP3EI. Hal ini diperlukan agar Indonesia juga memperoleh keuntungan sebagaimana yang telah diperoleh Pelabuhan-pelabuhan di Singapura dan Malaysia sebelumnya. Dengan melihat dari potensi tersebut, penulis ingin menelaah lebih lanjut apa pentingnya peran pelabuhan hub Internasional di Indonesia pada era globalisasi? Penulisan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman agar para anggota DPR RI dapat mengetahui dan memahami mengenai pentingnya peran pelabuhan hub Internasional di Indonesia pada era globalisasi karena sampai saat ini pelabuhan masih belum menjadi prioritas pembahasan dalam rapatrapat anggota. Dengan mengetahui pentingnya peran pelabuhan, diharapkan para anggota DPR RI dapat lebih memprioritaskan bidang pelabuhan bersama dengan isu-isu kelautan lainnya.
12 Feybe Lumanauw dan Fanny Waworundeng, “Meningkatkan Daya Saing Melalui Pelabuhan Biltung”, Suara Pembaruan, 1 Februari 2011: 1.
123
Bab 2 Metodologi Penelitian
I. Kerangka Teori Teori yang hendak digunakan di dalam penelitian ini adalah globalisasi. Istilah globalisasi mulai popular pada tahun 1980 sebagai akibat adanya kecenderungan similaritas dan uniformitas dari para individu, kelompok ataupun sistem sosial yang melewati bahkan telah menghapus batas tradisional negara. Di satu sisi, globalisasi memungkinkan terjadinya citizenship dan kesetiaan dari keterikatan nasional baik secara sosial, politik, maupun ekonomi ke dalam keterikatan global. Namun di sisi lain, globalisasi juga dapat memicu pergeseran identitas nasional ke dalam ikatan identitas yang lebih spesifik seperti budaya, agama, dan etnis. Kecenderungan-kecenderungan ini, pada akhirnya akan memposisikan individu, kelompok, serta negara-negara ke dalam dua bentuk tindakan yang bertolak belakang: fragmentation melalui secession (pemisahan diri) dan unification melalui fusi atau penggabungan.13 Para ekonom dan pebisnis kebanyakan mempercayai bahwa globalisasi telah melepaskan kekuatan-kekuatan ekonomi dunia yang selama ini terkekang. Globalisasi dinilai mampu membawa efisiensi terhadap penggunaan sumber daya yang langka sehingga memungkinkan seluruh masyarakat untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi. 14 Keuntungan yang ditawarkan di dalam globalisasi pun mencakup dalam bidang perdagangan internasional. Kompetisi perdagangan internasional sudah bergeser ke wilayah yang lebih luas. Kompetisi tidak lagi hanya terletak diantara penyedia jasa pelayaran di suatu kota atau negara. Melainkan, kini persaingan sudah terangkat ke tingkat kawasan regional bahkan ke tingkat internasional. Produsen-produsen internasional yang telah melakukan sentralisasi dalam produksi telah membawa 13 Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochammad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, (Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya): 136. 14 Robert Gilpin, Penerjemah Haris Munandar dan Dudy Priatna, Tantangan Kapitalisme Global, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002): 331.
125
Pentingnya Peran Pelabuhan Hub Internasional di Indonesia Pada Era Globalisasi
serta juga penyedia jasa logistik dari tempat asalnya. Para penyedia jasa logistik yang baru tiba langsung akan menduplikasi kesuksesan mereka dibelahan dunia yang lain sehingga memberi kemudahan bagi para produsen untuk dapat langsung beroperasi dengan sangat efisien.15 Disamping itu, transaksi ekonomi yang mencakup barang dan jasa pun sudah tidak terikat dalam suatu ruang tertentu sehingga dapat berpindah-pindah.16 Oleh karena itu, kemampuan suatu negera untuk menarik keuntungan dari peluang yang ditawarkan oleh integrasi ekonomi internasional tersebut sangat tergantung dari kualitas negara �� serta kebijakan yang dianutnya. 17 Pada era Globalisasi, kontribusi sektor perdagangan pada ekonomi nasional diperkirakan akan semakin meningkat sehingga sebagai negara kepulauan, keselamatan, dan keamanan jalur pelayaran (komunikasi laut) menjadi strategis bagi ketahanan perekonomian nasional.18 Bagi perekonomian nasional, cepatnya pergerakan perdagangan pastinya telah memberikan dampak yang luar biasa. Dampak yang timbulkan antara lain terhadap tekanan perdagangan yang semakin kompetitif. Setiap negara akan dipaksa untuk menyediakan jasa yang lebih baik ketimbang negara lainnya.19 Alhasil, perusahaan-perusahaan asing pun pastinya akan memiliih negara-negara yang akan menawarkan keuntungkan dan insentif yang terbesar termasuk di bidang industri pelayaran. Pelayaran merupakan salah satu bagian penting dalam ekonomi internasional. Tanpa pelayaran maka tidak akan ada globalisasi. Ekonomi internasional tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa adanya industri pelayaran.20 Hal ini disebabkan jasa pelayaran merupakan faktor yang penting dalam perdagangan internasional. Biaya angkutan pelayaran telah turut menentukan alur perdagangan internasional yakni impor dan ekspor. Sebagai contoh, para importir di luar negeri yang pada umumnya membeli atas dasar fob (free on board)21 sangat berkepentingan dalam memperhitungkan biaya angkutan 15 “Cetak Biru Penataan dan Pengembangan Sektor Logistik Indonesia”, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, 2008: 18. 16 Martin Wolf, Globalisasi Menuju Kesejahteraan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007): 95. 17 Ibid: 104-105. 18 “Perumusan Kebijakan Strategi Pengamanan Wilayah Nasional”, (Jakarta; Dewan Maritim Indonesia, 2007): 13-14. 19 Budi Winarno, Globalisasi dan Krisi Demokrasi, (Jakarta: PT Buku Kita, 2007): 15-16. 20 Tay Lim heng, “The Important Role of Shipping; Chalenges ahead”, dalam Ed. Kwa Chong Guan dan John K. Skogan, Maritime Security in South East Asia, (New York; Routledge, 2007): 201. 21 Free on board adalah istilah yang digunakan dalam bidang perdagangan di mana si penjual akan meme-nuhi kewajiban untuk pengiriman barang sampai kepada si pembeli setelah barang melewati pelabuhan. Dikutip dari http://www.investopedia.com/terms/f/fob.asp pada tanggal 27 Juli 2011.
126
Lisbet
laut apabila hendak membeli suatu komoditi. Oleh karena itu, mereka akan memilih negara-negara yang menawarkan jasa angkutan laut dengan waktu yang cepat dan biaya yang murah agar tercipta efektifitas dan efisiensi. Sedangkan para importir dalam negeri yang biasanya membeli berdasarkan c&f (cost and freight)22 juga memiliki kepentingan dalam memperhitungkan biaya angkutan laut pada saat melakukan pembelian barang-barangnya untuk diimpor. 23 Dengan kata lain, biaya angkutan laut serta kecepatan tibanya barang di tempat yang hendak dituju, akan sangat berpengaruh terhadap perdagangan Internasional. Semakin tinggi biaya angkutan laut maka harga barang akan semakin mahal. Semakin lama barang diterima di negara yang hendak dituju maka akan semakin mahal pula harga barang tersebut. Apabila kedua kondisi tersebut terjadi maka penerimaan ekspor semakin menurun. Selain biaya dan kecepatan tibanya barang, faktor-faktor lain yang mempengaruhi perdagangan internasional adalah infrastruktur pelabuhan dan sistem pendukungnya, serta kualitas pelayanan pelabuhan. II. Metodologi A. Proses Penelitian Pengumpulan data awal yang dilakukan pada penelitian ini adalah melalui data-data studi literatur yang penulis dapatkan melalui buku-buku dan bahan terbitan kementerian yang telah dikunjungi, buku-buku, jurnal maupun koran nasional dan internasional, serta jaringan internet. B. Jenis dan Sifat Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif karena menjelaskan tentang pentingnya peran pelabuhan internasional di Indonesia pada era globalisasi melalui data primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara mendalam dengan para nara sumber baik yang berada di Jakarta maupun daerah (Pelabuhan Belawan di Medan dan Pelabuhan Bitung di Manado). Sedangkan data sekunder diperoleh melalui buku-buku, jurnal-jurnal, koran nasional dan internasional serta jaringan internet yang terkait dengan isu pelabuhan. Penelitian ini bersifat dekriptif karena penulis lebih menekankan pada jawaban atas permasalahan di atas. 22 Cost and freight memiliki arti bahwa harga yang ditentukan oleh si penjual sudah termasuk kepada seluruh pengeluaran sampai barang tiba di pelabuhan yang telah ditentukan. Dikutip dari http:// www.businessdictionary.com/definition/cost-and-freight-C-F.html pada tanggal 27 Juli 2011. 23 M. Husseyn Umar, Hukum Maritim dan Masalah-masalah Pelayaran di Indonesia (Buku 1), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001): hal 148.
127
Pentingnya Peran Pelabuhan Hub Internasional di Indonesia Pada Era Globalisasi
C. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara mendalam dengan para nara sumber yang terkait dengan isu pelabuhan. Oleh karena itu, penulis harus berhubungan secara langsung dengan nara sumber dari para pemangku kepentingan tersebut guna mendapat gambaran yang komprehensif untuk dijadikan sebagai latar alamiahnya.24 D. Pelaksanaan Penelitian dan Sumber Informasi Penelitian dilakukan di Jakarta, Medan (Pelabuhan Belawan) serta Manado (Pelabuhan Bitung) sejak Bulan April hingga Agustus 2011. Obyek penelitian yang utama meliputi para pemaku kepentingan (stakeholders) di bidang pelabuhan. Nara sumber dipilih secara sengaja (purposive). Para nara sumber didatangi dan diwawancarai secara langsung. Adapun para nara sumber dalam penelitian ini antara lain Kementerian Perhubungan dalam hal ini Otoritas Pelabuhan, Administrator Pelabuhan dan Syahbandar Pelabuhan serta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda), Dewan Kelautan Indonesia dan PT. Pelabuhan Indonesia Persero (Pelindo). Adapun data-data studi literatur yang penulis dapatkan melalui buku-buku dan bahan terbitan kementerian yang telah dikunjungi, buku-buku, jurnal maupun koran nasional dan internasional, serta jaringan internet.
24 John W. Cresswell, Research Design, (Jakarta: KIK Press, 2002): 140.
128
Bab 3 Peran Pelabuhan
Ada banyak pengertian tentang pelabuhan, tapi pada umumnya pelabuhan merupakan suatu tempat dimana terjadi pertukaran kargo dan penumpang baik dari ataupun menuju jalan laut yang tersedia. Pertukaran ini dibuat 25 dari ataupun menuju kapal (container). �� Secara khusus, menurut UU No. 17 tahun 2008 tentang pelayaran, pelabuhan merupakan tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi.26 Pelabuhan memiliki peranan penting sebagai “mesin penggerak” pembangunan ekonomi bagi wilayahnya dengan cara meningkatkan pendapatan, tenaga kerja, dan pajak terhadap daerahnya.27 Hal ini dikarenakan adanya transaksi ekonomi yang mencakup barang dan jasa tidak terikat dalam suatu ruang tertentu sehingga dapat berpindah-pindah.28 Terlebih lagi dengan mulai bergesernya persaingan ke wilayah yang lebih luas. Persaingan saat ini tidak hanya antar penyedia jasa logistik di suatu kota melainkan sudah terangkat ke tingkat kawasan regional bahkan ke tingkat internasional.29 Oleh karena itu, kemampuan suatu negara untuk menarik keuntungan dari peluang yang ditawarkan serta ketersedian infrastruktur akan meningkatkan daya saing bagi produsen di lokasi tersebut. 25 26 27 28 29
Wayne K Talley, Port Economics, (New York; Routledge, 2009): 1. UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Pasal 1 ayat 16. Wayne,op.cit.: 6. Martin, op.cit: 95. “Cetak Biru Penataan dan Pengembangan Sektor Logistik Indonesia”, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, 2008: 18.
129
Pentingnya Peran Pelabuhan Hub Internasional di Indonesia Pada Era Globalisasi
Pelabuhan memiliki empat peran, yakni sebagai simpul dalam jaringan transportasi sesuai dengan hierarkinya, pintu gerbang kegiatan perekonomian (gateway), tempat kegiatan alih moda transportasi, dan penunjang kegiatan industri dan/atau perdagangan.30 Kendati demikian, tulisan ini lebih membahas kepada fungsi pelabuhan sebagai pintu gerbang kegiatan perekonomian. Sebagai pintu gerbang kegiatan perekonomian, citra negara sangat ditentukan oleh baiknya pelayanan, kelancaran serta kebersihan di pelabuhan tersebut. jadi, Indonesia perlu memperhatikan pelayanan dan kebersihan pelabuhanpelabuhannya. Kata pelabuhan seringkali diidentikkan dengan pelabuhan kargo padahal berdasarkan jenisnya, pelabuhan terdiri dari pelabuhan kargo yang menangani perpindahan barang-barang kargo seperti peti kemas, curah cair, dan sebagainya; pelabuhan penumpang yang menangani perpindahan penumpang, ataupun kombinasi dari pelabuhan kargo dan penumpang.31 Sedangkan berdasarkan hierarkinya, pelabuhan terdiri dari tiga bagian, yakni pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul dan pelabuhan pengumpan. Saat ini Indonesia telah memiliki 4 Pelabuhan utama yakni Pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta) yang berada di wilayah Pelindo II, Tanjung Perak (Surabaya) yang berada di wilayah Pelindo III, Belawan (Medan) yang berada di wilayah Pelindo I, dan Makasar yang berada di wilayah Pelindo IV. Pelabuhan utama memiliki fungsi sebagai Pelabuhan Internasional dan Pelabuhan Hub Internasional (International Hub Port). Pelabuhan Internasional adalah pelabuhan utama yang terbuka untuk perdagangan luar negeri. Sedangkan Pelabuhan Hub Internasional adalah pelabuhan utama yang terbuka untuk perdagangan luar negeri dan berfungsi sebagai pelabuhan alih muat (transhipment) barang antar negara.32 Membangun sebuah International Hub Port atau Hub Transhipment Port di Indonesia memang tidak mudah karena dibutuhkan pendekatan logistik (logistic approach) dalam menentukan posisi di mana sebaiknya Hub port atau Hub Transhipment Port tersebut dibangun serta memerlukan anggaran yang sangat besar. Sebelum disahkannya UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, pelabuhan-pelabuhan di Indonesia masih menggunakan model operating port. Maksudnya, semua jenis pelayanan disediakan oleh pemerintah yang kemudian menunjuk perusahaan di bawah Kementerian BUMN, yakni PT. Pelindo sebagai operatornya. Kondisi ini telah menimbulkan adanya kesan monopolistik karena 30 UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran Pasal 68. 31 Wayne, op.cit: 1. 32 UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Pasal 70, Bagian Penjelasan.
130
Lisbet
sebagai pengelola pelabuhan, PT. Pelindo dinilai terlalu dominan berperan sebagai penyedia prasarana dan sarana sekaligus bertindak sebagai pengelola. Sementara, pemilikan dan pengelolaan operasional pelabuhan oleh sektor swasta menjadi sangat terbatas.33 Pada World Port Operator Meeting yang diadakan di London pada bulan Agustus 2002 dan di Rotterdam pada bulan Maret 2005, telah diangkat isu mengenai indikator kinerja pelabuhan di kawasan ASEAN termasuk didalamnya adalah Indonesia. Salah satu hasil dari pertemuan tersebut adalah keinginan pasar agar Indonesia menyesuaikan diri terhadap implementasi sistem multimoda transport (MTO) berikut perangkat single document services yang menjadi kunci kecepatan, keamanan, dan harga murah pada angkutan laut. Implementasi MTO pada suatu negara yang memiliki potensi dalam jasa pelayaran seperti Indonesia sebenarnya sangat menguntungkan. Berdasarkan data lalu lintas barang-barang impor-ekspor, terdapat sekitar 8 juta TEUs peti kemas dan 300 juta ton barang umum (di luar minyak, gas,dan kapal penumpang) yang melewati pelabuhan-pelabuhan Indonesia.34 Sayangnya, keuntungan jusru dinikmati oleh perusahaan asing karena mereka memiliki kapal yang cukup serta memiliki tenaga ahli yang mampu melakukan pengaturan angkutan kargo antar negara/antar benua. Negara-negara yang mampu meningkatkan peran Pelabuhan Hub Internasionalnya pada umumnya telah tergabung dalam jaringan pelayaran dunia. Oleh sebab itu, Indonesia perlu mengatasi tantangantantangan dalam membangun Pelabuhan Hub Internasionalnya terlebih dulu.
33 “Menjadikan Indonesia sebagai Hub Port”, diakses dari http://www.seputar-indonesia.com/ edisicetak/ content/view/373193/ pada tanggal 18 Juli 2011. 34 ibid.
131
Bab 4 Tantangan dalam Membangun Pelabuhan Hub Internasional
Ada beberapa tantangan yang harus dihadapi Indonesia untuk meningkatkan peran Pelabuhan Hub Internasional pada era globalisasi, antara lain, pertama, dari infrastruktur pelabuhan yang tidak memadai. Pelabuhan yang ideal untuk digunakan dalam jalur perdagangan internasional seyogyanya memiliki kedalaman minimum 14 meter dan maximum 30 meter lebih agar dapat dilalui oleh kapal-kapal sejenis tanker yang dapat mengangkut curah cair maupun kapal peti kemas (full container vessel).35 Salah satu pelabuhan yang dapat dilalui oleh kapal tersebut adalah pelabuhan bitung yang memiliki kedalaman 16 meter.36 Kebanyakan pelabuhan yang ada di Indonesia memerlukan pengerukan terus-menerus untuk mempertahankan tingkat kedalaman lautnya salah satunya adalah pelabuhan Belawan. Pelabuhan belawan masih terkendala di bagian pengembangan karena jalur container masih harus diperluas, dermaga diperpanjang agar volume kapal yang datang pun bisa semakin banyak. Oleh karena itu, perlu adanya pengerukan sedimentasi agar kapal besar bisa masuk ke dermaga sehingga kegiatan ekspor-impor dapat berjalan dengan baik.37 Selama ini, pengerukan tidak berjalan efektif karena biaya pengerukan setelah orde Reformasi ditanggung oleh pihak Pelindo selaku operator terminal (sebelumnya masih dibiayai oleh negara dengan menggunakan dana APBN) padahal biayanya sangat besar.38 Selain itu faktor lain yang mempengaruhi seperti kedalaman alur minimum, panjang alur pelayaran, lebar alur pelayaran, luas kolam pelabuhan, 35 Wawancara dengan Noldy Tuerah, Kepala Bapeda Sulawesi Utara, pada tangga 5 Juli 2011 di Manado. 36 Bahan tertulis dari PT Pelabuhan Indonesia IV, “Profil Pelabuhan Bitung”, tanggal 7 Juli 2011. 37 Wawancara dengan Hasmirizal Lubis, Kepala Bidang Perencanaan bidang ekonomi dan keuangan Bapeda Sumatera Utara, pada tanggal 23 mei 2011 di Medan. 38 Wawancara dengan Ir. Saputra Sembiring, General Manager PT Pelabuhan Indonesia Persero I Cabang Belawan, tanggal 25 Mei 2011 di Belawan.
133
Pentingnya Peran Pelabuhan Hub Internasional di Indonesia Pada Era Globalisasi
kedalaman kolam minimum, kecepatan angin, kecepatan arus, tinggi gelombang dan pasang surut serta lokasi daerah pedalaman (inland).39 Di samping itu, sebagian besar pelabuhan utama yang ada di Indonesia saat ini sudah tidak layak lagi karena sudah kelebihan kapasitas (over capacity). Akibatnya, arus barang terhambat, lalu muncul adanya inefisiensi, serta memicu ekonomi biaya tinggi. Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat sekitar satu lusin Mega Ships dengan kapasitas angkut lebih dari 10,000 container yang akan masuk dalam jajaran pelayaran dunia untuk rute Asia dan Eropa. Hal ini berarti bahwa akan ada kapal-kapal yang lebih besar dari kapal yang sebelumnya yang akan memasuki jalur-jalur feeder ke Indonesia. Untuk itu, Pemerintah harus mulai mempersiapkan infrastruktur pelabuhan untuk dapat melayani kapal yang lebih besar.40 Terbatasnya lapangan penumpukan dan gudang penyimpanan pun membuat proses bongkar muat barang menjadi lama. Semakin lama suatu kapal berada di suatu pelabuhan maka biaya yang dikeluarkan akan semakin tinggi sehingga pemilik kapal-kapal besar lebih memilih untuk singgah di pelabuhan-pelabuhan negara tetangga.41 Kedua, masih rendahnya mekanisme kerja di pelabuhan. Rendahnya tingkat okupansi tambatan kapal, lamanya rata-rata waktu persiapan perjalanan pulang (turn-around) dan waktu kerja sebagai persentase waktu turn-around yang masih berada di bawah standar internasional dan mengindikasikan bahwa kapal-kapal terlalu banyak menghabiskan waktu di tempat tambatan kapal atau untuk mengantri di luar pelabuhan.42 Kondisi di Pelabuhan Belawan yang dapat terlihat adalah kapal harus menunggu antrian untuk memasukan barang karena pengaturan dermaganya masih kurang bagus.43 Hal ini dikarenakan minimnya fasilitas yang dimiliki oleh pelabuhan-pelabuhan tersebut (baik dermaga, lapangan penumpukan, gudang, terminal penumpang, lapangan parkir, crane) juga akan mempengaruhi daya saing pelabuhan di Indonesia dengan negara-negara tetangga.
39 Bahan tertulis dari PT Pelabuhan Indonesia IV, “Profil Pelabuhan Bitung”, tanggal 7 Juli 2011. 40 “Cetak Biru Penataan dan Pengembangan Sektor Logistik Indonesia”, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, 2008: 19. 41 “Infrastruktur Pelabuhan Kurang Memadai”, Kompas, 8 Februari 2011: 22. 42 David Ray, “Indonesian Port Sector Reform and the 2008 Shipping Law” dalam Robert Cribb and Michele Ford (Ed.), Indonesia the Beyond Water’s Edge; Mananging an Archipelagic State, (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2009): 94. 43 Wawancara dengan Sugiyono, Kepala Operator Pelabuhan Belawan, pada tanggal 24 mei 2011 di Pelabuhan Belawan.
134
Lisbet
Tantangan ketiga adalah adanya sinergi antara Pemerintah Daerah dan Pusat. Rendahnya infrastruktur penunjang di pelabuhan seperti jalan tol juga menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah daerah. Berdasarkan observasi di lapangan, jalan tol menuju ke pelabuhan belawan memang sudah dibangun dan sudah digunakan oleh para pengusaha dalam mengambil barang di pelabuhan ataupun mengantarkan barang menuju ke pelabuhan. Jalan menuju ke pelabuhan Belawan merupakan jalan lintas nasional yang paling panjang namun infrastrukturnya masih rusak sebesar 40 persen.44 Ditambah lagi dengan biaya tol yang relatif sangat mahal sehingga para supir truk container masih lebih memililih untuk menggunakan rute jalan yang dilalui seperti biasanya kendati memakan waktu lebih lama. Adapun pengembangan infrastruktur yang terkait secara langsung dalam pengembangan pelabuhan merupakan wewenang pusat, dalam hal ini Kementerian Perhubungan. 45 Berbeda dengan Pelabuhan Belawan yang telah memiliki fasilitas jalan tol menuju ke pelabuhan, pelabuhan Bitung hanya memiliki satu akses jalan raya saja. Jalan tersebut menjadi sangat macet dan banyak terdapat lubang sehingga meyebabkan perjalanan menuju ke pelabuhan menjadi lebih lama. Kemacetan yang terjadi di Bitung akibat banyaknya container yang lalu-lalang di ruas jalan Manado sampai ke Pelabuhan Bitung telah membuat khawatir pemerintah Provinsi Sulawesi Utara. Oleh karena itu, mulai tahun 2011 akan dilakukan pembebasan lahan dan proyek pembangunan tol diharapkan akan selesai pada tahun 2015.46 Berdasarkan kriteria tersebut, Manado (dalam hal ini pelabuhan Bitung) telah dianggap oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai lokasi yang cocok untuk menjadi salah satu pintu ekonomi baru tersebut. Ke depan, Pelabuhan Bitung diharapkan akan dapat berfungsi sebagai pelabuhan laut Indonesia.47 Pelabuhan Tanjung Priok yang terletak di Jakarta merupakan pelabuhan benchmark dan flag carrier Indonesia, namun, hanya mampu membongkar sekitar 30 twenty equivalent units48 (TEUs) per jam jika dibandingkan dengan pelabuhan Singapura yang telah mencapai 50 TEUs per jam. Selain itu, kemampuan bongkar muat Pelabuhan Tanjung Priok juga masih kalah dibanding Pelabuhan 44 Wawancara dengan Hasmirizal Lubis, Kepala Bidang Perencanaan bidang ekonomi dan keuangan Bapeda Sumatera Utara, pada tanggal 23 mei 2011 di Medan. 45 Ibid. 46 “Akses Lancar, Ekonomi “Moncer”, Suara Pembaruan, 1 Februari 2011: 10. 47 Feybe Lumanauw dan Fanny Waworundeng, “Menjadi “Gateway” ke Asia Timur dan Pasifik”, Suara Pembaruan, 31 Januari 2011: 1. 48 Jenis container dengan panjang 20 kaki.
135
Pentingnya Peran Pelabuhan Hub Internasional di Indonesia Pada Era Globalisasi
Singapura. Dengan operasional bongkar muat yang telah mencapai 24 jam, Pelabuhan Tanjung Priok hanya mampu membongkar 720 TEUs sehari sedangkan Pelabuhan Singapura sudah mencapai 1200 TEUs dalam sehari. Selain itu, rata-rata harga bahan bakar minyak (BBM) di Pelabuhan Tanjung Priok pun lebih mahal 100 dollar AS per kapal jika dibandingkan dengan pelabuhan Singapura. Hal ini dikarenakan BBM kapal di Indonesia dikenai pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen dan masih terdapat pajakpajak lainnya. Kekurangan Pelabuhan Tanjung Priok lainnya adalah waktu berlabuh kapal yang cenderung lebih lama daripada waktu berlayar karena angkutan truk container hanya bisa satu kali perjalanan (trip) dalam satu hari, dan ditambah lagi dengan adanya monopoli tenaga kerja bongkar muat (TKBM). Padahal semakin lama berlabuh, biaya yang dikeluarkan semakin meningkat. Di pelabuhan Singapura, bongkar muat dapat diselesaikan hanya dalam waktu tiga hari.49 Merespons tantangan ini, pemerintah telah memasukkan reformasi di sektor pelabuhan dalam rangka memperkuat konektivitas global seperti yang dirumuskan dalam visi konektivitas nasional yaitu ‘Terintegrasi secara Lokal, Terhubung secara Global (Locally Integrated, Globally Connected)’.50 Di sini harus dipahami dengan baik apa yang dimaksud dengan ”terhubung suara global”, yaitu: Globally Connected yang dimaksud adalah sistem konektivitas nasional yang efektif dan efisien yang terhubung dan memiliki peran kompetitif dengan sistem konektivitas global melalui jaringan pintu internasional pada pelabuhan dan bandara (international gateway/exchange) termasuk fasilitas custom dan trade/ industry facilitation. Efektivitas dan efisiensi sistem konektivitas nasional dan keterhubungannya dengan konektivitas global akan menjadi tujuan utama untuk mencapai visi tersebut. Untuk mewujudkan visi tersebut diperlukan penguatan konektivitas secara terintegrasi antara pusat-pusat pertumbuhan dalam koridor ekonomi dan juga antar koridor ekonomi, serta keterhubungan secara internasional terutama untuk memperlancar perdagangan internasional maupun sebagai pintu masuk bagi para wisatawan mancanegara. Oleh karena itulah, saat ini pemerintah telah menjadikan pembangunan pelabuhan sebagai salah satu prioritasnya dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Berdasarkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan 49 “Infrastruktur Pelabuhan Kurang Memadai”, Kompas, 8 Februari 2011. 50 “Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia”: 34-37.
136
Lisbet
Ekonomi Indonesia, Pelabuhan Bitung telah ditetapkan menjadi Pelabuhan Hub Internasional (International Hub Port) di gerbang timur Indonesia sedangkan Pelabuhan Belawan akan dikembangkan menjadi Pelabuhan Hub Internasional di gerbang barat Indonesia. Jika Indonesia tidak mau kalah bersaing dari negara-negara tetangga, maka Indonesia harus berhasil mengoptimalkan posisi strategis negaranya menjadi jalur lintas perdagangan Internasional. Lebih jauh lagi, menurut Chris Tanker, Pembina ALFI (Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia), pemerintah perlu mengintegrasikan National Single Window (NSW) sebagai satu jaringan untuk mengatasi inefisiensi pelabuhan. Apabila NSW diberlakukan, maka harus terdapat integrasi penuh, dan tidak parsial. Jaringan (link) nya pun harus menyeluruh dan secara serentak sehingga tidak perlu lagi ada kontak fisik agar arus barang pun bisa lebih lancar dan terjamin.
137
Bab 5 Pentingnya Pelabuhan Hub Internasional pada Era Globalisasi
Globalisasi memungkinkan sejumlah negara berkembang di Asia Pasifik dan Amerika Latin mulai menutup kesenjangan ekonomi dan teknologi mereka dengan negara-negara maju.51 Munculnya konsep globalisasi di angkutan laut Internasional telah semakin memperluas pelayanan operasi keliling dunia (around the world service), 52 sehingga kapal-kapal supercontainer dari perusahaan-perusahaan pelayaran negara-negara maju dituntut untuk semakin efektif dan efisien. Bahkan, diperkirakan, dengan adanya globalisasi, di masa depan, kontribusi sektor perdagangan internasional pada ekonomi nasional akan semakin meningkat, sehingga sebagai negara kepulauan, Indonesia dapat menjaga keselamatan dan keamanan jalur pelayaran yang telah menjadi strategis bagi ketahanan ekonomi nasional. Sayangnya, sampai saat ini, Indonesia masih belum memiliki peranan penting didalamnya akibat keterbatasan armada dan kemampuan pemasaran. Selain itu perusahaan-perusahaan Indonesia sama sekali tidak memiliki bargaining position yang memadai di dalam perdagangan internasional. Dimana, perusahaan-perusahaan Indonesia tidak dapat turut mengendalikan sistem perdagangan (kontrak), termasuk dampaknya terhadap manajemen logistik nasional. Kebanyakan perusahaan pelayaran Indonesia pun sudah semakin terpojok sehingga lebih banyak berperan sebagai pemasok muatan (feeder) bagi kapal-kapal supercontainer negara-negara maju di pelabuhan-pelabuhan transit di negara-negara tetangga. Kondisi ini diperparah dengan adanya syarat-syarat transaksi perdagangan Internasional seperti fob (free on board) untuk ekspor dan cif (cash, insurance and freight) untuk impor. Dengan adanya persyaratan tersebut, perusahaan Indonesia bukan hanya tidak memperoleh 51 Robert Gilpin dan Jean Millis Gilpin Penerjemah Haris Munandar, Dudy Priatna, Tantangan Kapitalisme Global, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002): 339. 52 M. Husseyn, op.cit: 159.
139
Pentingnya Peran Pelabuhan Hub Internasional di Indonesia Pada Era Globalisasi
keuntungan bahkan merugikan devisa negara. Oleh karena itulah Indonesia perlu mendirikan Pelabuhan Hub Internasional yang mampu berfungsi sebagai pusat pengendalian arus barang nasional dan menempatkannya sebagai salah satu prioritas awal sebagaimana yang telah dilakukan oleh Singapura. Saat ini, Singapura telah menjadi basis perdagangan internasional karena memiliki akses atau jaringan ke seluruh pelabuhan dagang di dunia. Port of Singapore Authority (PSA) telah memiliki akses lebih dari 750 pelabuhan yang ada di seluruh dunia seperti Argentina, Panama, Belgia, Italia, Inggris, Turki, Cina, Korea India, hingga Jepang.53 Bahkan, tidak kurang dari 800 shipping lines dilayani di sana. Pada tahun 2006 tercatat lebih dari 24,7 juta teus container throughput dan total lebih dari 448,5 juta ton cargothroughput telah dilayani di sana. Sementara itu, untuk PSA juga melayani handling container secara keseluruhan (termasuk container kosong). Pada tahun yang sama, PSA juga telah mengatasi lebih dari 51.29 juta teus dan dalam hal bunkering industry, PSA telah meraih gelar sebagai worlds top bunkering port dengan mensuplai lebih dari 23,6 juta bahan bakar untuk keperluan kapal di pelabuhan.54 Keuntungan bersih yang telah didapatkan PSA dari jasa pelayaran ini mencapai 1.04 miliar SG$ pada tahun 2009 dan pendapatannya pun naik sebesar 5,8 persen menjadi 4.39 miliar SG$.55 Keberhasilan PSA ini dikarenakan pemerintah Singapura mampu mengoptimalkan posisi strategis negaranya yang dibangun tepat di center of gravity perdagangan dunia. Selat Malaka merupakan Center Gravity dari perdagangan internasional melalui jalur laut. Selat Malaka tidak saja dikenal sebagai Sea Lines of Trade (SLOT) dan Sea Lines of Communication (SLOC) tetapi juga dipandang jalur strategis proyeksi armada laut negara-negara Maritim besar dalam rangka forward presence dan global engangement ke seluruh dunia. Pentingnya Selat Malaka sebagai jalur perdagangan internasional menjadikan selat ini penting bagi banyak negara diantaranya adalah China dan Jepang. China dan Jepang memiliki kepentingan terhadap selat ini dalam hal pengangkutan minyak dari Timur Tengah. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa tingkat pembajakan di wilayah tersebut cukup tinggi. Bahkan, Jepang juga telah menyatakan 53 “Keuntungan Pelabuhan Singapura Turun 46 Persen”, diakses dari http://www.tempointeraktif.com /hg/asia/2009/03/27/brk,20090327-166930,id.html pada tanggal 18 Juli 2011. 54 “Hub Port-Hub Transhipment Port; Suatu Konsep Pengembangan Pelabuhan ke Depan”, diakses dari http://www.bumn.go.id/pelindo1/publikasi/berita/hub-port-hub-transhipment-port-suatu-konseppengembangan-pelabuhan-kedepan/ pada tanggal 20 Juli 2011. 55 “Keuntungan Pelabuhan Singapura Turun 46 Persen”, diakses dari http://www.tempointeraktif.com /hg/asia/2009/03/27/brk,20090327-166930,id.html pada tanggal 18 Juli 2011.
140
Lisbet
komitmennya dengan memberikan beberapa bentuk dukungan riil dalam rangka mengamankan selat Malaka tersebut.56 Oleh karena itu, diplomasi Indonesia dalam pengamanan wilayah ini sangat penting dalam meningkatkan hubungan ekonomi dengan negara-negara lain seperti China dan Jepang mengingat kedua negara tersebut memiliki kepentingan yang sama, yaitu pengamanan jalur energi dan perdagangan. Posisi strategis selat malaka sebagai jalur perdagangan internasional telah memberikan tantangan bagi Indonesia untuk dapat memanfaatkan potensi di wilayah tersebut secara maksimal. Salah satu pelabuhan di Indonesia yang letaknya strategis di selat dan cocok untuk dijadikan Pelabuhan Hub Internasional adalah Pelabuhan Belawan. Pelabuhan Belawan merupakan salah satu pelabuhan yang memiliki cakupan kegiatan ekspor dan impor (perdagangan Internasional). Semakin ramainya kegiatan perdagangan Internasional di Belawan maka pelabuhan Belawan diharapkan akan semakin berkembang. Perkembangan ini pun diharapkan akan memberikan dampak positif terhadap perekonomian masyarakat sekitar. Sayangnya, masih belum terdapat insentif dari Pemerintah Daerah untuk mendorong para pelaku ekonomi nasional untuk menanamkan investasinya di sana.57 Selain Selat Malaka, Indonesia juga dapat memanfaatkan potensi di wilayah Asia Pasifik melalui multi-gate system, yakni membuka pintu-pintu baru atau pusat pertumbuhan ekonomi kawasan. Dalam hal ini, pemerintah telah menjadikan Pelabuhan Samudera Bitung sebagai Pelabuhan Hub Internasional beserta infrastruktur penunjang. Keunggulan yang dimiliki Pelabuhan Bitung diantaranya adalah faktor kedekatan jaraknya dengan kota-kota dagang utama di Asia Pasifik sehingga memungkinkan terjadinya penekanan biaya transportasi dan memungkinkan pengiriman barang bisa lebih cepat. Selain itu, Pelabuhan Bitung juga memiliki pelabuhan alam yang tidak memerlukan pengerukan dan sudah dilengkapi dengan dukungan infrastruktur serta kesiapan sumber daya manusia yang memadai. Berdasarkan analisa yang didasarkan pada kerangka konseptual pemikiran geostrategis dari Sam Ratulangi mengenai Indonesia di Pasifik, optimalisasi dan kemajuan itu akan tercapai melalui beberapa prakondisi, antara lain,58 56 I Wibowo dan Syamsul Hadi (editor), Merangkul Cina, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009): 226. 57 Bachtiar Hassan Miraza, “Medan Belawan Daerah Tertinggal”, diakses dari http://www.waspada. co.id/ index.php?option=com_content&view=art pada tanggal 7 April 2011. 58 Sinyo Harry Sarundajang, “Perlu Kewenangan Khusus Bagi Pengembangan Wilayah Kepulauan”, Suara Pembaruan, 19 Februari 2011: 1.
141
Pentingnya Peran Pelabuhan Hub Internasional di Indonesia Pada Era Globalisasi
pertama, sistem perencanaan pembangunan nasional atau geostrategi nasional harus didasarkan pada fakta geografis dan posisi geopolitik wilayah nasional. Kedua, adanya sinergisitas dan interkonektivitas anatra pembangunan daratan dan kelautan. Ketiga, adanya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru dan membuka pintu gerbang ekonomi kawasan. Keempat, mengembangkan kolaborasi dan kompetisi antar daerah dalam kawasan. Kelima, membangun jaringan secara eksternal, dan terakhir, adanya kewenangan khusus, antara lain untuk membuka hubungan kerja sama dengan negara-negara yang berbatasan langsung.
142
Bab 6 Kesimpulan
Suatu negara kepulauan harus memiliki perhitungan secara komprehensif apabila hendak mengoptimalkan dan mendayagunakan potensi geografis dan geopolitik bagi kemajuan pembangunannya. Oleh karena itu, Indonesia perlu memanfaatkan globalisasi perekonomian bagi kepentingan pembangunan nasional. Konsep pembangunan Pelabuhan Hub Internasional selama ini belum mendapat prioritas utama di Indonesia karena membutuhkan biaya yang sangat besar dan termasuk ke dalam jenis investasi jangka panjang. Terlebih lagi dengan masih terkendalanya sinergi antara Pemerintah Pusat dan Daerah untuk meningkatkan kinerja dan fasilitas pelabuhan itu sendiri. Padahal justru peranan pelabuhan sebagai gerbang utama dalam mengoptimalkan jalur perdagangan internasional adalah penting. Kendati belum menjadi prioritas, pelabuhan sudah mulai diperhatikan dalam program pemerintah. Pemerintah telah memasukkan rencana pembangunan dan pengembangan pelabuhan utama dalam program Masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi nasional (MP3EI). Oleh karena itu, dengan adanya MP3EI, diharapkan peranan pelabuhan di masa yang akan semakin dapat terakomodir dengan jelas. Dengan adanya pelabuhan-pelabuhan hub Internasional maka pendapatan terhadap perekonomian nasional akan semakin meningkat. Seiring dengan itu, kondisi sosial ekonomi (kesejahteraan) masyarakat di sekitar pelabuhan pun akan semakin bagus. Dengan catatan, semua pihak yang berkepentingan mau melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan benar.
143
Bibliografi
Buku Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochammad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, (Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya). Cresswell, John W. Research Design, (Jakarta: KIK Press, 2002). Gilpin, Robert. Tantangan Kapitalisme Global, terj. Haris Munandar dan Dudy Priatna, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002). Ray, David.“Indonesian Port Sector Reform and the 2008 Shipping Law” dalam Robert Cribb and Michele Ford (Ed.), Indonesia the Beyond Water’s Edge; Mananging an Archipelagic State, (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2009). Talley, Wayne K. Port Economics, (New York; Routledge, 2009). Tay Lim heng. “The Important Role of Shipping; Chalenges ahead”, dalam Ed. Kwa Chong Guan dan John K. Skogan, Maritime Security in South East Asia, (New York; Routledge, 2007). Umar, M. Husseyn. Hukum Maritim dan Masalah-masalah Pelayaran di Indonesia (Buku 1), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001). Wibowo, I dan Syamsul Hadi (Editor), Merangkul Cina, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009). Winarno, Budi. Globalisasi dan Krisis Demokrasi, (Jakarta: PT Buku Kita, 2007). Wolf, Martin. Globalisasi Menuju Kesejahteraan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007).
145
Pentingnya Peran Pelabuhan Hub Internasional di Indonesia Pada Era Globalisasi
Jurnal Dasril Munir, “Cerdas kelola Laut Mulai Sekarang atau NKRI Terpecah Belah”, Maritim Indonesia, Edisi 13/TH IV/Januari – Maret/ 2009. Surat Kabar “Akses Lancar, Ekonomi “Moncer”, Suara Pembaruan, 1 Februari 2011. “Infrastruktur Pelabuhan Kurang Memadai”, Kompas, 8 Februari 2011. Lumanauw, Feybe dan Fanny Waworundeng, “Meningkatkan Daya Saing Melalui Pelabuhan Bitung”, Suara Pembaruan, 1 Februari 2011. Sinyo Harry Sarundajang, “Perlu Kewenangan Khusus Bagi Pengembangan Wilayah Kepulauan”, Suara Pembaruan, 19 Februari 2011 Portal “Cost and freight”, dikutip dari http://www.businessdictionary.com/ definition/cost-and-freight-C-F.html pada tanggal 27 Juli 2011. “Free on board”, dikutip dari http://www.investopedia.com/terms/f/fob.asp pada tanggal 27 Juli 2011. “Hub Port-Hub Transhipment Port; Suatu Konsep Pengembangan Pelabuhan ke Depan”, diakses dari http://www.bumn.go.id /pelindo1/publikasi/ berita/hub-port-hub-transhipment-port-suatu-konsep-pengembanganpelabuhan-kedepan/ pada tanggal 20 Juli 2011. “Kadin Usulkan Pembangunan Tiga Pelabuhan Internasional”, diakses dari http://www.mediaindonesia.com/read/2010/09/20/169524/21/2/ Kadin-Usulkan-Pembangunan-Tiga-Pelabuhan-Internasional pada tanggal 14 Januari 2011. “Keuntungan Pelabuhan Singapura Turun 46 Persen”, diakses dari http://www. tempointeraktif.com/hg/asia/2009/03/27/brk,20090327166930,id.html pada tanggal 18 Juli 2011. “Menjadikan Indonesia sebagai Hub Port”, diakses dari http://www.seputarindonesia.com /edisicetak/content/view/373193/ pada tanggal 18 Juli 2011. Miraza, Bachtiar Hassan. “Medan Belawan Daerah Tertinggal”, diakses dari http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=art, pada tanggal 7 April 2011. 146
Lisbet
Sumber Lain Bahan tertulis diskusi internal dengan Prof. Dr. Rizald Max Rompas (Sekertaris Dewan Kelautan Indonesia) di Jakarta tanggal 3 Agustus 2011. Bahan tertulis dari PT Pelabuhan Indonesia IV, “Profil Pelabuhan Bitung”, tanggal 7 Juli 2011. “Cetak Biru Penataan dan Pengembangan Sektor Logistik Indonesia”, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, 2008. “Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia”. “Perumusan Kebijakan Strategi Pengamanan Wilayah Nasional”, (Jakarta; Dewan Maritim Indonesia, 2007). “Reformasi Sektor Pelabuhan Indonesia dan UU Pelayaran Tahun 2008”, Laporan David Ray, 2008. UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Wawancara Wawancara dengan Hasmirizal Lubis, Kepala Bidang Perencanaan bidang ekonomi dan keuangan Bapeda Sumatera Utara, pada tanggal 23 mei 2011 di Medan. Wawancara dengan Sugiyono, Kepala Operator Pelabuhan Belawan, pada tanggal 24 mei 2011 di Pelabuhan Belawan. Wawancara dengan Ir. Saputra Sembiring, General Manager PT Pelabuhan Indonesia I Cabang Belawan, tanggal 25 Mei 2011 di Belawan. Wawancara dengan Noldy Tuerah, Kepala Bapeda Sulawesi Utara, pada tanggal 5 Juli 2011 di Manado. Wawancara dengan Rizald Max Rompas, Sekertaris Dewan Kelautan Indonesia, tanggal 3 Agustus 2011 di Jakarta. Wawancara dengan Tridoyo Kusumastanto, Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor, tanggal 11 Agustus 2011 di Bogor.
147
Bagian Keenam Penyelundupan Senjata ke Wilayah Indonesia1 Oleh: Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, MA2
1 Penelitian yang dilakukan tahun 2011. 2 Peneliti Utama IV/e bidang Masalah-masalah Hubungan Internasional.
Bab 1 Pendahuluan
I. Latar Belakang Sejak transisi demokrasi bergulir di tahun 1998, kondisi keamanan domestik Indonesia belum dapat dikatakan stabil dan aman. Konflik-konflik lokal yang mudah muncul, bukan saja menjadi tolak ukur dari belum amannya kondisi keamanan domestik negara, namun juga banyaknya senjata ilegal yang beredar di masyarakat dan telah digunakan dalam berbagai peristiwa konflik dan juga kejahatan di masyarakat. Konflik separatis di Aceh dan sektarian di Maluku dan Poso memang sudah reda, namun konflik separatis lain seperti di Papua seringkali sering muncul kembali di permukaan. Di luar itu, tindak kejahatan di masyarakat semakin memprihatinkan, karena jenis senjata yang digunakan semakin beragam. Pada dasawarsa-dasawarsa lalu, para pelaku tindak kejahatan baru maksimal menggunakan berbagai jenis senjata api genggam atau laras pendek (pistol) seperti FN, colt, revolver, challenger, browning, Walther, Wesem, Sport Waffen, Armes dan sebagainya tetapi belakangan ini telah memakai berbagai jenis senjata api laras panjang seperti Makarov, remington cal 22, SS-1, SS-2, Uzi, M-16, AK-17, AK-47, M-58, dan AR-15. Ini termasuk yang digunakan dalam tindak kejahatan teroris yang marak belakangan ini, yang melibatkan pelaku jaringan teroris di kawasan Asia Tenggara seperti kelompok Jamaah Islamiyah (JI), Mujahidin Kompak, Laskar Jundullah, Darul Islam wilayah Banten.3 Terbongkarnya pelatihan teroris di Aceh pada Maret 2010 tahun lalu dan rencana penyerangan yang akan dilakukan mereka yang menamakan diri kelompok “Al Qaidah Serambi Mekkah,” di Bukit Jalin, Jantho, Aceh Besar yang ditengarai berencana melakukan serangan ke pemerintah pusat di Jakarta, telah membuka perhatian orang terhadap asal atau sumber senjata yang mereka 3 “Kulakan Senjata ke Mindanao,” Viva News, 24 September 2010, http://sorot.vivanews. com/ news/ read/ 179464-jejak-gerilya-filipina-k...
151
Penyelundupan Senjata Ke Wilayah Indonesia
gunakan, dan juga bagaimana mereka mendapatkannya. Kemudian, beberapa bulan sesudahnya, yakni Agustus 2010, warga kota Medan dikejutkan oleh terjadinya peristiwa perampokan bersenjata terhadap Bank CIMB Niaga yang diduga melibatkan kelompok teroris bersenjata yang telah berhasil mengungkap pelatihan dan rencana aksi mereka sebelumnya.4 Tentu saja, kejadian ini tidak hanya merupakan tantangan bagi kepemimpinan Kapolda yang baru dilantik, Mayjen Pol. Oegroseno, tetapi juga bagi situasi keamanan domestik negara, mengingat kaitan target kelompok bersenjata itu adalah pemerintah nasional yang akan berdampak pada situasi keamanan domestik secara menyeluruh, tidak hanya bermotif ekonomi. Selanjutnya, hanya dalam tempo sebulan setelah itu, pada September 2010, terjadi serangan senjata brutal terhadap Markas Polisi Sektor (Mapolsek) Hamparan Perak Deli Serdang, Sumatera Utara, yang telah menimbulkan pertanyaan tentang dari mana asal senjata-senjata laras panjang yang digunakan kelompok tersebut. Aksi ini diduga erat kaitannya dengan peristiwa sebelumnya, setelah polisi menembak mati tiga orang yang diduga pelaku perampokan bank CIMB Niaga Medan. Masalahnya, bukan hanya kelompok bersenjata yang diduga telah dan akan melancarkan aksi-aksi teroris yang patut diprihatinkan dengan aksi-aksi brutal mereka, tetapi juga bagaimana asal-usul berbagai senjata yang ketahuan digunakan mereka, antara lain AK-47, SS-1, dan M-16. II. Permasalahan dan Pertanyaan Penelitian Dari berbagai studi dan catatan, Indonesia dikatakan letaknya strategis di Asia Tenggara dan dilintasi Samudera Hindia dan Pasifik, dan selat-selat penting, seperti Selat Malaka, serta dibatasi oleh 12 negara di darat, laut dan udara. Indonesia juga memiliki 17.508 pulau menurut catatan Dehidros tahun 1967, atau 17.480 pasca-tsunami Aceh tahun 2004, atau 13.208 berdasarkan hitungan realistis tahun 2007.5 Di samping itu, negeri ini mempunyai 95.181 kilometer (keempat terbesar di dunia setelah Kanada, AS, dan Rusia) garis pantai, dengan terdapat 92 pulau yang mengelilingi perairan yang ada.6 Dengan demikian, baik secara geostrategis, geopolitik, maupun geoekonomi, negara Indonesia posisinya menjadi amat penting bagi banyak negara dan pihak. Wilayah yang 4 Lihat “Perampokan Bank CIMB Niaga Medan: Kapolda: Sumut Rawan Penyelundupan Senjata Api,” VHRmedia.com, 19 Agustus 2010, http://www.Vhrmedia.com/Kapolda-Su-mut-RawanPenyelundupan-Sen... 5 Penjelasan Prof. Dr. Rizald Max Rompas, Sekretaris Dewan Kelautan Indonesia, dalam FGD di Jakarta pada tanggal 4 Agustus 2011. 6 Ibid.
152
Poltak Partogi Nainggolan
luas itu, kekayaan alam (SDA) yang dimilikinya dengan kontribusi sekitar 23,5% dari bidang kelautan,7 dan wujudnya sebagai negara kepulauan memberi daya tarik bagi para pelaku bisnis dan kejahatan transnasional, dan sekaligus menjadikan Indonesia sebagai sasaran yang rawan dari berbagai bentuk tindak penyelundupan sebagai salah satu kejahatan transnasional, termasuk tindak kejahatan penyelundupan senjata. Aksi-aksi bersenjata yang menggunakan senjata laras pendek dibandingkan dengan yang menggunakan senjata laras panjang memiliki perbedaan dalam menimbulkan implikasi yang dihasilkan dan mencapai tujuan yang diinginkan kelompok pelakunya. Dari perpektif kualitas aksi, penggunaan senjata kaliber ringan dan berat memang terdapat perbedaan. Namun, di luar itu terdapat masalah yang lebih serius yang perlu dipertanyakan, yaitu mengapa begitu mudahnya kelompok-kelompok bersenjata melakukan aksinya dengan menggunakan berbagai jenis senjata tersebut? Dari mana mereka memperolehnya? Lalu, mengapa aksi-aksi bersenjata telah berlangsung sebagaimana di kota Medan, yang tidak jauh letaknya dari bekas wilayah konflik bersenjata Aceh? Dalam konteks ini, pertanyaan penelitian yang hendak dijawab di sini adalah dari negara mana saja asal senjata-senjata selundupan tersebut? Bagaimana kaitannya dengan konflik-konflik dan bisnis senjata di negara asal, khususnya tetangga, itu? Lalu, apa motivasi dari para pelaku kejahatan kejahatan transnasional ini?
7 Penjelasan Prof. Dr. Tridoyo Kusstanto,MS, Kepala Pusat Kajian Sumber-daya Pesisir dan Lautan IPB dalam wawancara di Bogor pada 11 Agustus 2011.
153
Bab 2 Kerangka Pemikiran
Penyelundupan senjata sebagai salah satu bentuk kejahatan transnasional memberi ancaman baik terhadap keamanan individu dan masyarakat maupun nasional. Motivasi pemilikan senjata oleh individu warga bermula dari terancamnya keamanan individu yang tidak dapat direspons atau dilindungi pemerintah atau negara, melalui aparat keamanan mereka. Keamanan individu yang menjadi kebutuhan hak asasi warga tidak diberikan dan dijamin negara. Perkembangan globalisasi yang cepat dan kompleks berimplikasi pula pada munculnya kian beragam kejahatan transnasional dan para pelakunya. Hal ini menyebabkan semakin kompleksnya ancaman keamanan dunia di setiap negara, selain semakin sulit pula upaya untuk mengatasinya.8 Studi keamanan dan hubungan internasional pasca-Perang Dingin mengemukakan besarnya peran aktor non-negara, yang akan berkompetisi dengan aktor-aktor formal negara, dan membuat hubungan internasional semakin tidak sederhana dianalisis. Buzan dan kawan-kawan terkait ini membaginya dalam 3 tipe unit yang terlibat, yaitu referent objects, securitizing actors, dan functional actors.9 Referent objects dimaksudkan di sini sebagai segala sesuatu yang tampak terancam dan mempunyai sebuah klaim yang absah untuk mempertahankan diri. Securitizing actors adalah para aktor yang men-sekuritisasi berbagai isu dengan menyatakan sesuatu-- si referent object-- secara eksistensial terancam. Sedangkan functional actors dijelaskan disini sebagai para aktor yang mempengaruhi dinamika dari sebuah sektor. Tanpa menjadi referent object atau aktor yang mendefinisikan keamanan atas nama si referent object, dalam hal ini ia adalah seorang aktor yang secara signifikan mempengaruhi keputusan-keputusan di bidang keamanan.10 8 Robert Harvey, Global Order, Carrol and Graf, 2003. 9 Barry Buzan, Ole Waever, dan Jaap de Wilde, Security: A New Framework for Analysis, London: Lynne Rienner, 1998: 36. 10 Ibid.
155
Penyelundupan Senjata Ke Wilayah Indonesia
Dari perspektif ekonomi politik, penyelundupan senjata dijelaskan hubungannya dengan berbagai motif ekonomi atau bisnis untuk mencari keuntungan finansial individual dan kelompok, di samping terdapat pula kepentingan politik kelompok yang tengah memperjuangkan kemerdekaan, pemisahan diri, dan melakukan berbagai aksi pemberontakan (kerusuhan), atau juga hendak mempertahankan diri dari ancaman lawan. Dalam konteks ini, pasar jual-beli senjata terkait aktifitasnya dengan perkembangan situasi di daerah konflik di sekitarnya, bahkan, yang jauh sama sekali. Kemajuan teknologi yang dipermudah oleh globalisasi telah memungkinkan berlangsungnya berbagai bentuk kegiatan penyelundupan senjata ke wilayah-wilayah yang jauh letaknya, yang justru semakin ideal bagi kegiatan ini, karena kian sulit dicegah dan diatasi, apalagi jika aparat keamanan di negara yang terancam sangat terbatas peralatan dan kemampuannya. Bertemunya kepentingan pensuplai, penjual, perantara dan pembeli senjata ilegal telah memungkinkan terciptanya interaksi mereka. Kondisi anarki dan ketidakamanan11 di daerah tujuan penyelundupan yang meningkat akibat konflik antar-warga, kelompok (sektarian), ataupun berhadap-hadapan dengan elit penguasa (separatis) selalu menjadi incaran para pelaku kegiatan penyelundupan senjata. Kemiskinan, pertentangan, disharmoni antar-kelompok, kekosongan kekuasaan, atau inkapabilitas pemerintah setempat dapat menjelaskan mengapa penyelundupan senjata memberi dampak pada keamanan individu, keamanan masyarakat, keamanan nasional dan keamanan kawasan. Keamanan dalam bentuk yang terbatas, yakni individu dan masyarakat,12 akan terancam oleh kegiatan penyelundupan senjata sekalipun jenis senjata yang diperjualbelikan secara ilegal melalui berbagai aksi penyelundupan termasuk kaliber ringan. Sementara, keamanan nasional dan kawasan menjadi terancam jika pasar penjualan senjata ilegal yang tercipta melalui aksi penyelundupan meluas dan semakin besar dan berbahaya jenis-jenis senjata api yang diperdagangkannya, bahkan di sini termasuk roket, granat, bazoka, peluncur roket, peluncur granat, dan berbagai jenis senjata berat dan amunisinya. Yang patut diperhatikan dalam analisis hubungan di antara keamanan individual, masyarakat, nasional dan internasional adalah (1) bahwa sekalipun keamanan individual merepresentasikan suatu tingkat analisis yang berbeda dan penting, keamanan individual tersubordinasi kepada struktur politik 11 Lihat pula hal 124-126, ibid. 12 LIhat logika dan relevansi keamanan individu dan keamanan masyarakat, Barry Buzan, People, States and Fear: An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War Era, New York, Harvester Wheatsheaf, 1991: 35-39.
156
Poltak Partogi Nainggolan
yang lebih tinggi dari keamanan nasional dan sistem internasional. Karena pemahaman ini pula, keamanan nasional dan internasional direduksi ke kemanan individual; (2) Keamanan individual dipengaruhi secara positif dan negatif oleh negara, dan alasan bagi terciptanya disharmoni antara keamanan individual dan nasional merepresentasikan sebuah kontradiksi yang permanen; (3) Upaya individu dalam memperoleh keamanan mempunyai pengaruh yang beragam pada keamanan nasional. Selanjutnya, dalam kondisi hubungan negara dan warganya sangat terasing, kekacauan domestik akan mengancam koherensi negara dalam cara-caranya memelihara keamanan nasional.13 I. Model Analisis Kejahatan transnasional Penyelundupan senjata ----- Keamanan Domestik Terkait dengan model analisis yang dibuat di atas, dapat diantisipasi di sini bahwa semakin banyak kasus-kasus penyelundupan senjata yang terjadi di lapangan akan berdampak semakin terancamnya keamanan domestik negara.
13 Ibid: 54-55.
157
Bab 3 Metodologi
I. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah merupakan kombinasi dari penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptisanalitis, yang akan mendeskripsikan informasi dan data yang diperoleh, dan menganalisisnya bertitik-tolak dari hubungan antar-variabel yang akan diteliti. II. Teknik Pengumpulan Data Data dikumpulkan melalui studi awal kepustakaan dengan mempelajari berbagai informasi yang tersedia secara tertulis, termasuk berita, laporan liputan, atau hasil investigasi media massa cetak dan elektronik. Kemudian, data akan di cross-check melalui wawancara mendalam dengan berbagai pihak di institusi yang relevan. Data inilah yang kemudian akan dibahas dan dianalisis untuk menilai hipotesis yang dibuat, dan untuk menarik kesimpulan, serta memberikan rekomendasi dalam menyusun kebijakan. III. Narasumaber/Informan Informan yang akan diwawancarai dalam penelitian ini adalah mereka yang bekerja di institusi keamanan negara seperti di kepolisian daerah dan nasional dan militer (Tentara NasIonal Indonesia), terutama pihak-pihak yang pekerjaannya berhubungan dengan pengawasan peredaran dan perijinan dan penggunaan senjata. Secara lebih spesifik, informan dapat disebut di sini antara lain pejabat di Bea Cukai, Badan Penanggulangan Terorisme, Kepolisian Daerah (Polda), Kepolisian Resort (Polres), termasuk Polisi Air, Komando Daerah Militer (Kodam), Komando Resort Militer (Korem), ataupun kalangan individual yang mengetahui tentang masalah konflik, senjata, bisnis dan kasuskasus penyelundupannya.
159
Penyelundupan Senjata Ke Wilayah Indonesia
IV. Penelitian Lapangan Penelitian lapangan (fieldworks) dilakukan di daerah Provinsi Sumatra Utara, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Maluku dan Provinsi Malaku Utara. Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Utara dipilih sebagai tempat kerja lapangan karena letaknya yang strategis, sekaligus merupakan jalur rawan penyelundupan senjata. Yang pertama letaknya berdampaingan dengan Provinsi Daerah istimewa Aceh Darussalam, sedangkan yang kedua bagian terluar provinsinya berbatasan langsung dengan wilayah Filipina Selatan, yang masing-masing dikenal sebagai wilayah panas dan rawan konflik separatisme sejak lama. Provinsi Maluku dipilih karena wilayah ini bekas berlangsungnya selama bertahun-tahun konflik separatisme, yang selama itu pula berbagai jenis senjata mengalir secara ilegal dari berbagai negara, yang kemudian setelah berakhirnya (pasca) konflik, diantisipasi terjadi pengaliran senjata secara ilegal dari provinsi tersebut ke wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Jadi . Provinsi Maluku dipilih karena merupakan wilayah yang rawan menjadi sasaran transit senjata-senjata ilegal yang datang dari wilayah Filipina Selatan, wilayah negara tetangga Indonesia terdekat. Selanjutnya, Provinsi Maluku Utara menjadi pilihan tambahan untuk kerja lapangan karena provinsi ini juga merupakan wilayah yang rawan dari berbagai kegiatan penyelundupan senjata, selain berdekatan dengan batas wilayah negara luar, yakni Filipina, yang masih dilanda konflik separatisme. Selama ini, wilayah kepulauan ini dikenal pula sebagai wilayah yang rawan dari ancaman berbagai bentuk kejahatan transnasional V. Waktu Penelitian Kegiatan penelitian di Provinsi Sumatera Utara dilakukan pada Mei 2011, sedangakan di Provinsi Sulawesi Uatara pada Juli 2011. Kemudian, kegiatan penelitian lapangan di wilayah Provinsi Maluku Utara dilakukan pada akhir bulan Juli 2011. Sementara, untuk penelitian lapangan di Provinsi Maluku dijadwalkan dilakukan pada bulan September 2011.
160
Bab 4 Wilayah Rawan Penyelundupan Senjata
I. Penyelundupan Senjata melalui Provinsi Sumatera Utara Di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara, dari investigasi atas kasus perampokan atas Bank CIMB Niaga Kota Medan yang menewaskan seorang polisi, terdapat kecurigaan berbagai jenis senjata yang digunakan, yakni AK-47 dan SS-1, yang dipakai para perampok yang diduga terkait dengan jaringan terorisme berasal dari bekas daerah konflik separatis Aceh, yang sekarang telah menjadi Provinsi dengan otonomi khusus dan bernama Nangroe Aceh Darussalam, selain jenis senjata M16 yang direbut dari petugas kepolisian setempat.14 Kaitan dengan jaringan terorisme terkuak dari adanya hubungan yang terdeteksi dengan mereka yang menamakan dirinya sebagai “Al-Qaidah Serambi Mekah.” Di samping itu, yang lebih signifikan, adalah kemungkinan senjata yang mereka gunakan masuk secara ilegal dari bekas wilayah konflik tersebut, yang juga bisa berasal dari aksi pembobolan gudang senjata, pembelian di daerah konflik, dan belanja di negeri tetangga.15 Ini artinya, apa yang bisa didefinisikan sebagai penyelundupan, terutama dua yang disebut terakhir, bersumber dari pembelian di daerah konflik dan belanja di negeri tetangga. Selanjutnya, dalam aksi penyerangan kelompok bersenjata ke Mapolsek Hamparan Perak, yang juga telah tercium memiliki hubungan dengan aksi perampokan atas Bank CIMB Niaga di Kota Medan, terdapat korelasi atau merupakan satu rangkaian aksi yang telah diorganisasi oleh kelompok teror yang sama. Aparat Kepolisian Kota Medan yang memburu dan berhasil menembak mati tiga orang dari para pelaku menemukan fakta di lapngan bahwa mereka 14 Fidel Ali Permana, “Perampokan Merajalela,” Media Indonesia, 21 Agustus 2010, Bataviase.co.id, http//batavia.co.id/node/35089; Lihat juga, Nezar Patria, Suryanta Bakti Susila, Iwan Kurniawan, “Membongkar Jejak Senjata Teroris,” VIva News, 24 September 2010, http:/sorot.vivanews.com/ news/ read/179459-melacak-jejak-senjata-haram. 15 Nezar Patria, Suryanta Bakti Susila, dan Iwan Kurniawan,ibid.
161
Penyelundupan Senjata Ke Wilayah Indonesia
para pelaku telah menggunakan jenis senjata yang sama, yang diperkirakan berasal atau diperoleh dari wilayah atau dengan modus penyelundupan.16 Dari penggrebekan atas kamp pelatihan terorisme di Lamkabeu, Aceh, aparat keamanan berhasil menemukan sejumlah senjata yang berasal dari Filipina Selatan.17 Secara spesifik dijelaskan bahwa jalur perairan yang berada di sekitar wilayah Filipina sangat rawan dari berbagai bentuk penyelundupan senjata. Masalahnya, para pelaku yang dapat menggunakan perahu-perahu nelayan lokal yang kecil, dapat membuang senjata ke laut ketika mereka kepergok patrol aparat keamanan Indonesia, Filipina, atau kegiatan patroli bersama. Wilayah perairan yang melintasi Pulau Sumatera diketahui lalulintasnya merupakan yang terpadat di dunia. Sehingga, pembuatan 12 radar di sepanjang pantai Pulau Sumatera tidaklah cukup, apalagi dengan mengandalkan hibah radar dari AS, yang mencapai duapertiganya.18 Kasus penyelundupan lewat darat ada yang tertangkap basah oleh patroli darat kepolisian, seprti yang terjadi di perbatasan Kabupaten Bireuen dan Pidie Jaya, Aceh. Penyelundupan senjata otomatis buatan RRC jenis AK-56 besreta magazen dan pelurunya, peninggalan konflik separatis, berhasil digagalkan pada 15 Maret 2009 oleh Polres Lhokseumawe. Diinformasikan, selama setahun sebelumnya, yaItu tahun 2008, Polres Lhokseumawe telah menyita 7 pucuk senjata api dalam berbagai jenis. Adapun motif yang dijumpai adalah mencari keuntungan pribadi dari selisih harga jual dan komisi yang diperoleh, seperti juga dalam kasus terakhir yang melibatkan petani sebagai pemilik senjata dan buruh bangunan yang bertindak sebagai kurir.19 Kasus penyelundupan senjata ke wilayah Provinsi Sumatera Utara tidak hanya berasal dari Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, namun juga ada yang berasal dari pusat (Jakarta). Dalam hal ini terdapat temuan dari hasil kerja Polres Bandara Soekarno-Hatta, upaya penyelundupan senjata Airsoft Gun M1911 Colt Government Kaliber 45 FMJ beserta beberapa bungkus peluru Gotri berikut Green Gas berukuran 250G/1000 ml di kantor pos cargo bandara pada 18 Oktober 2010. Terungkap dari hasil penyelidikan, senjata yang dikemas 16 “Perampokan Bank CIMB Niaga Medan: Kapolda: Sumut Rawan Penyelundupan Senjata Api,”VHRmedia.com,http://www.vhrmedia.com/Kapolda-Sumut-Rawan-Penyelundupan-Sen 17 “Kolaborasi Indonesia-Filipina demi Eliminasi Penyelundupan Senjata,” Media Indonesia, 22 Maret 2010, http://www.mediaindonesia.com/read/2...ndupan-Senjata 18 Ibid. 19 “Polisi Gagalkan Penyelundupan Senjata Api,” Indo Warta, 18 Maret 2009,http://www. indowarta. com/ index.php?option=com-content&view=art..
162
Poltak Partogi Nainggolan
dalam paket pos tersebut akan dikirim ke Tarutung, Tapanuli Utara, dengan menggunakan pesawat Garuda jurusan Jakarta-Medan.20 Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat (Pangkoarmabar), Laksamana Muda TNI Mualimin Santoso, pada 12 Agustus 2010 mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki tiga titik wilayah perairan yang rawan yang sering digunakan sebagai jalur penyelundupan senjata dan bahan peledak untuk mendukung gerakan separatisme dan aksi-aksi terorisme.21 Tiga titik rawan itu adalah Selat Singapura, Selat Malaka, dan Selat Sunda, yang sebagian besar senjata yang diselundupkan telah dipergunakan selama ini untuk mendukung gerakan separatisme di Aceh. Dengan demikian, Pulau Sumatera, khususnya Provinsi Sumatera Utara, merupakan wilayah yang rawan dilintasi penyelundupan senjata karena letaknya dikelilngi oleh ketiga selat tersebut. Selama ini, dari berbagai aksi pemblokiran wilayah perairan Aceh yang telah dilaksanakan oleh kekuatan TNI-AL, aparat keamanan laut itu telah banyak menangkap kapalkapal nelayan asing, terutama di perairan Selat Malaka dan Selat Singapura, yang tertangkap basah membawa sejumlah senjata. Sebagaimana dikemukakan Pangkoarmabar, dari sejumlah barang bukti yang disita, belakangan ini aksi penyelundupan senjata dan sebagian bahan peledak melalui jalur laut dari negara lain ke Indonesia cenderung meningkat Dalam kasus yang berbeda, Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Utara telah membekuk 8 orang pemasok senjata api yang dipimpin Daud Puteh pada 15 Januari 2004.22 Para pemasok ini diduga memperoleh senjata api dari wilayah Thailand Selatan. Daud Puteh dan kelompoknya telah tertangkap basah akan mengirim 9 pucuk senjata api jenis AK-47, M-16, dan pistol kepada Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di daerah Idi Rayeuk, Aceh Selatan. Ia mengaku telah memasok senjata api sejak 2001. Bersama Polda Metro Jaya, Polda Sumatera Utara juga telah menahan Nazariah dan Fauzi di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat, pada 7 Februari 2004.23 Polisi gagal mendapatkan barang bukti senjata dari para tersangka, namun berhasil memperoleh beberapa dokumen terkait dengan transfer dana, buku tabungan BNI dan Mandiri, dan handphone. Di samping itu, polisi juga 20 “Polres Bandara Gagalkan Penyelundupan Senjata Airsoft Gun,” 19 Oktober 2010, http:// www. portalkriminal.com/index.php/index-berita/index.php?opt... 21 “Tiga Titik Perairan Indonesia Rawan Penyelundupan Senjata Api,” Kementerian Pertahanan RI, http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&si... 22 “Senjata Ilegal di Jakarta,” Majalah Trust.com, http://www.majalahtrust.com/verboden/ver-boden/ 503.php. 23 Ibid.
163
Penyelundupan Senjata Ke Wilayah Indonesia
telah menyita satu mobil kijang kapsul baru dan satu angkutan umum, yang diperkirakan dari hasil penjualan senjata api. Dari hasil investigasi, sebanyak 40 pucuk senjata api dari berbagai jenis asal Thailand telah diselundupkan ke Provinsi Sumatera Utara oleh kelompok yang tertangkap itu.24 Dari penelitian ke lapangan (field researches) kalangan aparat pemeritahan Provinsi Sumutra Utara, misalnya Bappeda, yang membuat perencanaan pembangunan dengan menyusun dan menggunakan data-data dasar (database) yang mereka buat, kegiatan ekonomi ilegal, seperti penyelundupan, bukannya tidak ada, namun tidak menjadi kewenangan instansinya untuk mengawasi, sehingga tidak terdapat data resmi.25 Dari laporan patroli bersama DKP dan aparat lainnya, penyelundupan di laut menjadi perhatian, tetapi kasus-kasus aktifitas ilegal yang sering dijumpai berupa illegal fishing, termasuk kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat yang tidak sesuai dengan ketentuan, selain yang melanggar batas wilayah.26 Terkait dengan kasus senjata selundupan eks-GAM yang kemungkinan telah digunakan dalam aksi perampokan oleh jaringan teroris yang berlatih di atau asal Aceh (eks-GAM), Wakil Direktur Polisi Air Provinsi Sumatra Utara, AKBP Tulus J, dan Kepala Bagian Operasi, AKBP RF Siringoringo, membenarkan dengan menjelaskan dukungan aparatnya untuk mencari barang bukti senjata yang dibuang ke sungai.27 Dari pihak Lantamal I yang bertanggung jawab dalam menangani masalah Keamanan yang tugasnya berhubungan langsung dengan pertahanan negara, Komandan Pangkalan, Laksmana Pertama Amri Husaini menjelaskan kasus penyelundupan senjata asal negara lain marak di masa lalu berkaitan dengan aktifitas separatisme GAM. Namun setelah masalah separatisme dapat diselesaikan melalui Perjanjian Helsinki, aktifitas tidak marak lagi, kecuali yang terkait kemungkinan penggunaan senjata-senjata eks-GAM untuk digunakan dalam aktifitas perompakan (armed robbery) di laut.28 Sebab, dalam berbagai 24 Ibid. 25 Wawancara dengan Hasmirizal Lubis, Kepala Bidang Perencanaan Ekonomi dan Keuangan Bappeda Provinsi Sumatra Utara, di Belawan pada 24 Mei 2011. 26 Wawancara dengan Zulkarnain, Kepala Dinas DKP Provinsi Sumatra Utara, di Belawan pada 24 Mei 2011. 27 Wawancara dengan Wakil Direktur Polisi Air Provinsi Sumatra Utara, AKBP Tulus J. di Belawan pada 25 Mei 2011; Wawancara dengan Kepala Bagian Operasional Polisi Air Provinsi Sumatra Utara, AKBP RF Siringoringo di Belawan pada 25 Mei 2011. 28 Wawancara dengan Komandan Lantamal-1, Laksmana Pertama Amri Husaini, di Bela-wan pada 26 Mei 2011; Wawancara dengan Asisten Intel Lantamal-1, Kolonel (L) Agus Irianto, di Belawan pada 26 Mei 2011
164
Poltak Partogi Nainggolan
aksi perompakan, ABK yang melakukan berasal dari perairan sekitar Aceh dan menggunakan senjata standar yang digunakan GAM seperti AK-47 dan juga jenis senjata api.29 Motivasi aksi perompakan mereka pun tidak lebih hanya untuk mencari makan, karena sulitnya memperoleh pekerjaan pascapersetujuan damai.30 II. Penyelundupan Senjata melalui Provinsi Kepulauan Riau Provinsi Kepulauan Riau merupakan salah satu pintu gerbang Indonesia ke mancanegara yang sanagat rawan terhadap kasus-kasus penyelundupan senjata, karena posisi pulau-pulaunya yang tersebar luas dan terpencil, sehingga banyak ‘jalur-jalur tikus’ yang sulit diawasi oleh aparat keamanan. Luas wilayah Kepulauan Riau sebesar 252.601 km persegi, yang terdiri dari 95% lautan,31 yang perbatasannya dikelilingi oleh negara tetangga, seperti Vietnam, Kampuchea, Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam, dan dibatasi oleh laut dan selat, yakni Laut Cina Selatan, Selat Malaka, dan Selat Karimata, dengan sebanyak 40 persen dari 2.408 pulau besar dan kecil belum bernama, amat rawan terhadap ancaman keamanan yang datang dari luar kawasan, termasuk kegiatan penyelundupan senjata. Kepulauan Natuna, adalah salah satu bagian dari wilayah Provinsi Kepulauan Riau, yang kaya sumber daya alam dan laut, selain sangat strategis, sekaligus rawan dari pemanfaatan kegiatan laut yang bertentangan dengan hukum dan kepenitingan nasional. Sama hal kondisinya dengan Pulau Nipah, yang juga merupakan salah satu pulau terluar, yang masih merupakan wilayah Batam dan berbatasan langsung dengan negara Singapura. Karena letaknya tepat di Selat Malaka, yang merupakan urat nadi lalu lintas perdagangan terpadat di dunia, yang menghubungan Asia Barat dan Timur, dengan kepadatan kapal dagang sekitar 50 ribu yang lalu lalang setiap tahunnya,32 rawan dari berbagai bentuk kejahatan transnasional, apalagi dengan kondisi pengamanan operasional Angkatan Laut RI yang terbatas personil dan peralatannya.
29 Ibid. 30 Frekuensi perompakan di wilayah tugas Lantamal I mencapai 125 pada tahun 2009 dan 70 pada tahun 2010. Jadi masuk cukup tinggi. Lihat, Makalah presentasi Danlantamal I, Belawan, pada 2 Mei 2011. 31 Website resmi pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, http://www.kepri.go.id, 1 Januari 2009, diakses pada 21 April 2011. 32 LIhat “Jabatan Pangdam I/BB Diserahterimakan,” website TNI, http://server.tni.mil.id, di-akses 21 April 2011.
165
Penyelundupan Senjata Ke Wilayah Indonesia
Menurut sumber Kementerian Pertahanan, Selat Singapura, Selat Malaka, dan Selat Sunda merupakan titik-titik rawan yang kerap dilaporkan sebagai sumber penyelundupan senjata api dan bahan peledak. Ketika konflik separtisme memuncak di Aceh, pihak TNI AL telah mengawasi penyelundupan senjata oleh kapal-kapal nelayan asing di perairan Selat Singapura dan Selat Malaka, yang diduga akan dibawa ke Serambi Mekah tersebut untuk mendukung gerakan separatis Gerakan Aceh Merdeka.33 Aparat keamanan pemangku kepentingan Bakorkamla, yakni Bea-Cukai, telah 3 kali berhasil menangkap kapal yang menyeundupkan senjata api atau bahan peledak. Dalam kasus pertama, Kapal Fungka Sejahtera tertangkap mengangkut 75 ton bahan peledak ammonium nitrat pada 18 Nopember 2009. Kapal kedua, yaitu KLM Pratama, tertangkap mengangkut 60 ton pada Maret 2010. Sedangkan yang kapal ketiga, yakni KM Salbiana Jaya, ditangkap di perairan Laut Cina Selatan pada 12 Desember 2010 dengan muatan 50 ton ammonium nitrat. Kapal tersebut diketahui berangkat dari Pasir Gudang, Malaysia, dengan tujuan Pulau Selayar Sulawesi Selatan, namun tertangkap setelah dicurigai dan dibongkar muatannya oleh Bea Cukai Kepulauan Riau.34 Kompleksnya kasus-kasus penyelundupan di Provinsi Kepulauan Riau diungkapkan oleh Wakil Direktur Polisi Air Provinsi Sumatra Utara, AKBP Tulus J, dan Kepala Bagian Operasi, AKBP RF Siringoringo.35 Kondisi demikian disebabkan oleh letak Provinsi Kepulauan Riau yang tersebar dan luas sebarannya. Juga, banyak pintu masuk ilegal atau pelabuhan tikus yang sulit dikontrol, apalagi dengan kondisi aparat dan dukungan alat kerja, terutama kapal-kapal patroli sebagai alat utama (alut), yang terbatas, termasuk fasilitas BBM-nya. Wakil Direktur Polisi Air Provinsi Sumatra Utara, Tulus J, yang pernah bertugas di sana membandingkan kondisi Provinsi Kepulauan Riau dengan Provinsi Sumatra Utara jauh lebih rawan dari kasus-kasus penyelundupan senjata. Dengan demikian upaya pengawasan seluruh wilayah kepulauan tersebut dari tindak pidana dimaksud menjadi jauh lebih sulit.36
33 Ismoko Widjaya,”Titik Panas Indonesia-Malaysia,” Vivanews, http:/wap.vivanews.com/ news/ read/171252, 16 Agustus 2010, diakses pada 21 April 2011. 34 “Bakorkamla akan Bahas Penyelundupan Bahan Peledak,” Antara, 24 Desember 2010. 35 Wawancara dengan Wakil Direktur Polisi Air Provinsi Sumatra Utara, Tulus J, dan Kepa-la Bagian Operasi, RF Siringoringo, di Belawan pada 25 Mei 2011. 36 Ibid.
166
Poltak Partogi Nainggolan
Senada dengan itu, berdasarkan presentasi dan keterangan Komandan Lantamal I, Laksmana Pertama Amri Husaini, terungkap bahwa tantangan dan ancaman keamanan di wilayah perairan Provinsi Kepulauan Riau jauh lebih besar daripada yang dihadapi di sekitar wilayah perairan Provinsi Aceh Nanggroe Darussalam. Hal ini dapat dilihat dari lebih banyaknya kasus-kasus yang terjadi dan besarnya gelar kekuatan Lantamal I di sana, yakni dengan 14 Patroli Keamanan Laut (Patkamla) di Lanal Tanjung Balai dan 7 Patkamla dan 2 kapal di Lanal Dumai, atau jauh lebih banyak dibandingkan dengan di Lanal Sabang, Lhoksemawe, dan Simeulue, yang masing-masing memiliki 6 Patkamla dan 2 kapal, 7 Patkamla dan 1 Patkamla.37 Maraknya kasus penyelundupan, terutama pasca-penetapan Batam sebagai kawasan perdagangan bebas, dan luasnya wilayah pulau-pulau di sepanjang pantai yang sulit diawasi, namun mudah didarati kapal-kapal dari luar, membuat wilayah perairan Provinsi Kepulauan Riau sangat rawan atas kegiatan ekonomi ilegal ataupun kejahatan penyelundupan. Yang menjadi sasaran untuk diselundupkan tidak hanya narkoba dan pakaian bekas, namun juga bukan tidak mungkin senjata api dan material (pupuk dan bahan-bahan kimia lain) yang dapat dibuat sebagai bahan peledak, yang dapat diperdagangkan ataupun untuk tujuan lebih buruk lagi, yakni aktifitas terorisme oleh aktor-aktor non-negara. Dalam hal ini, bisa lolosnya selama ini barang-barang selundupan seperti shabu-shabu dari pengawasan di negara tetangga menjadi pertanyaan.38 Padahal diketahui, baik untuk memasukkan atau mengeluarkan barang-barang secara ilegal ke dan dari Malaysia, tidaklah mudah karena sangat ketatnya sekali kontrol bea-cukai dan pabean di sana, di samping juga imigrasinya. III. Penyelundupan Senjata melalui Bandara Soekarno-Hatta Bandara internasional Soekarno-Hatta juga merupakan wilayah yang menjadi sasaran dan transit penyelundupan senjata api dan bahan ledak. Letak bandara di tengah wilayah Kepulauan Indonesia membuatnya menarik bagi para penyelundup senjata api dan bahan peledak, karena memudahkan akses bagi penyebarannya kemudian ke wilayah-wilayah di mana konsumen akhir tinggal. Selama tahun 2010, misalnya, menurtu Kapolres Bandara, Kombes T. 37 Bahan presentasi di Lantamal I, Belawan, pada 26 Mei 2011. 38 Wawancara dengan Komandan Lantamal-1, Laksmana Pertama Amri Husaini, di Bela-wan pada 26 Mei 2011; wawancara dengan Wakil Komandan Lantamal-1, Kolonel Marinir Suprayogi, di Belawan pada 26 Mei 2011; wawancara dengan Asisten Intel Lantamal-1, Kolonel (L) Agus Irianto, di Belawan pada 26 Mei 2011; wawancara dengan Kepala Dinas Hukum Lantamal-1, Letkol (Laut) Leonard Marpaung, di Belawan pada 26 Mei 2011.
167
Penyelundupan Senjata Ke Wilayah Indonesia
Sihombing, polisi telah menangani 17 perkara berkaitan dengan senjata api, air softgun, dan peluru tajam.39 Dari kasus itu, termasuk di antaranya perkara 105 butir peluru tajam ukuran 9 mm jenis luger liier dan belot dengan tersangka yang tertangkap seorang warga Malaysia. Juga ada temuan penyelundupan senjata api jenis pietro bareta orisinil buatan AS kaliber 45 mm. Kedua jenis temuan itu adalah hasil penggeledahan aparat keamanan bandara dari penumpang yang tiba di bandara Soekarno-Hatta. Selain itu, terdapat temuan hasil penggeledahan kargo yang dikirimkan masuk ke Indonesia. Dilaporkan, ratusan senjata api telah dikirimkan melalui paket, yang terdiri dari 100 pucuk senjata merek Black Guard SS, 300 pucuk senjata listrik kejut merek Raysun XI, 1.000 butir amunisi epluru senjata gas (gas gun bullet), dan 7.300 electrode cartridge probe. Sebelumnya, barang selundupan paket senjata api jenis Bareta CZ 83 kaliber 9 mm P.A. Rubber, dengan nomer seri A049936 keluaran Czech Republic pernah dicegah aparat keamanan bandara. Senjata api itu berhasil digagalkan diterbangkan lewat fasilitas kargo pesawat Sriwijaya Air, dengan dikemas dalam kotak handphone ukuran 25 x 15 cm. IV. Kasus Penyelundupan Senjata melalui Jalur Filipina Selatan Jalur perairan Filipina Selatan-Sulawesi Utara dikenal sebagai jalur lama penyelundupan senjata api. Ketika beberapa wilayah Indonesia di Barat, Tengah dan Timur sedang bergolak pada awal era reformasi, jalur perairan ini banyak dimanfaatkan untuk memasukkan senjata api. Delapan tersangka penyelundup senjata api, yang seluruhnya warga Sulawesi Utara, telah ditangkap oleh Polres Sangihe Talaud. Mereka berusaha memasukkan senjata api dari General Santos City, Filipina Selatan, ke Sulawesi Utara. Dari mereka, disita 2 pucuk pistil FN, 3 pistol model S&W kaliber 38 mm, 11 senjata laras panjang, dan 170 butir peluru. Empat tersangka ditangkap di atas kapal motor Daya Sakti sewaktu akan memasuki pelabuhan Bitung pada 22 Pebruari 2000. Sedangkan 4 lainnya ditangkap dalam perjalanan antara Pulau Buang dan Tinakareng, Sangihe Talaud pasda 24 Peruari 2000. Penyelundupan senjata api ini dapat segera dilakukan berkat laporan masyarakat di Pelabuhan Bitung dan Sangihe Talaud. Berdasarkan pengakuan tersangka, senjata-senjata api itu akan dikirim ke Maluku karena ada pesanan pihak tertentu.40 39 Ayu Cipta,”Polres Bandara Soekarno-Hatta Tangani 17 Penyelundupan Senjata Api di 2010,” Tempo Interaktif, http://www.tempointeraktif.com/hg/kriminal/2010/12/31, 31 Desem-ber 2010, diakses 21 April 2011. 40 Landy Wowor, “Senjata Selundupan: Senjata Leawat jalur Lama,” Gatra, No. 18/VI, 18 Maret 2000: http://www.gatra.com/VI/18/NAS2-18.html.
168
Poltak Partogi Nainggolan
Sebelum keberhasilan penangkapan ini, dikabarkan sudah ada senjata yang dikirim secara ilegal.41 Jalur Mindano (Filipina Selatan)-Sulawesi Utara dikenal rawan untuk tindak kejahatan penyelundupan senjata. Diketahui, sejak abad 15-16, jalur perairan ini telah digunakan untuk kegiatan perniagaan tradisional dan regional. Barang-barang kelontong, tekstil, dan hasil bumi banyak diperniagakan di sana oleh penduduk asal berbagai negara, terutama asal Sulawesi dan Filipina sejak dulu, dan elektronik pada masa sekarang. Ketika konflik marak di wilayah Filipina Selatan dan Indonesia, senjata api menjadi komoditi yang menarik diperdagangkan secara gelap. Karena konflik di daerah asalnya di, banyak warga yang menetap sementara di Mindano Selatan, di Pulau Balud dan Saranggane, lalu kembali ke Halmahera membawa senjata api. Langkah membawa senjata api terkait pula dengan upaya melindungi diri ketika mereka ingin kembali ke daerah asal yang masih dilanda konflik. Sejak lama di wilayah Filipina Selatan senjata api bebas diperdagangkan namun, sejak pertengahan tahun 1980-an, Pemerintah Filipna menertibkannya.42 Di luar itu, yang berlangsung adalah perdagangan gelap senjata api. Untuk menghentikan kegiatan jaringan penyelundup senjata api, Polda Sulawesi Utara melakukan kerja sama dengan Pemerintah Filipina melalui Konjen-nya yang ada di kota Manado. Konjen Filipina yang mantan polisi telah memudahkan dilakukannya kerja sama untuk menghentikan aksi penyelundupan yang terjadi melalui wilayah perairan perbatasan kedua negara.Ketegasan Polda Sulawesi Utara, yang didorong oleh upaya untuk meredam konflik di Maluku, telah membantu secara signifikan upaya memberantas aksi penyelundupan senjata api. Dewasa ini, setelah konflik komunal berakhir di Aceh, Maluku dan Poso, kegiatan penyelundupan senjata menurun. Masih adanya aksi-aksi terorisme yang dilakukan aktor non-negara, seperti di Poso, wilayah Sulawesi Tengah, menyebabkan senjata api sebagai barang yang tetap dibutuhkan untuk diselundupkan. Penangkapan secara sporadis selama ini telah berhasil dilakukan, lewat operasi, penggeledahan dan penyitaan, sekalipun tidak dalam frekuensi yang sering. Tetap rawannya jalur perairan Filipina Selatan-Sulawesi Utara dari aksi kemungkinan penyelundupan senjata api diakui kalangan aparat keamanan, yakni Polisi Air dan AL (Lantamal), dan juga kalangan awam, seperti nelayan.43 Karena itulah pihak Lantamal telah merencanakan 41 Ibid. 42 Ibid. 43 Rangkain wawancara dengan kalangan nelayan Antra, Polisi Air, dan Lantamal masing-masing di Manado, Bitung, dan Manado pada 4, 6 dan 7 Juli 2011, .
169
Penyelundupan Senjata Ke Wilayah Indonesia
membangun pangkalan angkatan laut (lanal) di perairan perbatasan (dengan Filipina) terluar, yakni di Melonguane, di Kabupaten Kepulauan Talaud. Langkah ini dinilai penting untuk mendekatkan pengawasan perbatasan. Selama ini Lantamal VIII kesulitan untuk melakukan kordinasi pengawasan untuk perairan perbatasan terluar melalui Kota Manado, khususnya untuk pengamanan wilayah Laut Talaud yang berbatasan dengan Filipina Selatan.44 Senjata-senjata selundupan asal Filipina Selatan mengalir masuk ke wilayah Kepulauan Maluku, menjangkau hingga Provinsi Maluku, yang kemudian dimekarkan dengan provinsi baru, yaitu Maluku Utara. Senjata-senjata selundupan itu masuk melewati pulau-pulau kecil di Provinsi Sulawesi Utara sebelum masuk jauh ke wilayah perairan kedua provinsi di Kepulauan Maluku.45 Konflik primordial yang melebar dari Ambon hingga ke kawasan Tobello, Galela, Lolada, Wasela, Halmahera (Utara, Timur dan Selatan), Ternate, Tidore dan sebagainya telah membuat lalu lintas senjata gelap marak menuju ke berbagai wilayah tersebut.46 Banyaknya pulau-pulau kecil tersebar di sekitar kedua provinsi di bagian terluar Indonesia Timur yang dekat dengan Samudera Pasifik itu membuat aparat keamanan, terutama AL, sulit mengawasi, apalagi mencegahnya di laut dalam perjalanan ketika senjata-senjata gelap dikirim.47 Begitu pula dengan terbatasnya kapasitas yang dimiliki aparat keamanan laut Indonesia yang bertanggung jawab atas wilayah perairan itu.48 Dengan masih lemahnya mentalitas oknum aparat negara yang menjaga keamanan di kawasan perairan tersebut, karena masih dijumpainya oknum-oknum yang melanggar disiplin, kawasan jalur perairan di perbatasan Filipina Selatan hingga Provinsi Maluku Utara ini tetap rawan dari kegiatan lalu-lintas senjata api gelap.49 Itulah sebabnya tindakan razia dan pemusnahan senjata api ilegal, termasuk 44 ”TNI AL Bangun Pangkalan di Melonguane,” Kompas, 19 Juli 2011: 2. 45 Wawancara dengan Sekda Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara, di Ternate pada tanggal 16 Juli 2011. 46 Wawancara dengan Muhamad Sadri, Redaksi Pelaksana Maluku Post, di Ternate, Provinsi Maluku Utara, pada 17 Juli 2011; Wawancara dengan Faisal Jalaluddin, Redaksi Pelaksana Maluku Post, di Ternate, Provinsi Maluku Utara, pada 17 Juli 2011. 47 Wawancara dengan Dr. Marwan, SE, Msi, Dosen FE Universitas Khairun, Ternate, Provinsi Maluku Utara, di Ternate pada tanggal 16 Juli 2011; Wawancara Abdul Kadir Bubu, Dosen FH Universitas Khairun, Ternate, Provinsi Maluku Utara, di Ternate pada tanggal 16 Juli 2011;Wawancara dengan Mahmud Haji Umar, Dosen FH, Universitas Khairun, Ternate, Provinsi Maluku Utara, di Ternate pada tanggal 16 Juli 2011;Wawancara dengan Salmid Janidi, Dosen FH, Universitas Khairun, Ternate, Provinsi Maluku Utara, di Ternate pada tanggal 16 Juli 2011. 48 Wawancara dengan para perwira Lantamal di Manado, Sulawesi Utara, pada 7 Juli 2011. 49 Wawancara dengan Muhamad Sadri, Redaksi Pelaksana Maluku Post, di Ternate, Provinsi Maluku Utara, pada 17 Juli 2011; Wawancara dengan Faisal Jalaluddin, Redaksi Pelaksana Maluku Post, di Ternate, Provinsi Maluku Utara, pada 17 Juli 2011.
170
Poltak Partogi Nainggolan
yang rakitan, tetap diperlukan diteruskan, agar kondisi keamanan domestik (lokal) tetap terkendali. Pihak kepolisian Provinsi Maluku Utara, yang wilayah perairannya juga rawan dari kasus penyelundupan senjata api, mengakui kondisi ini. Dari keterangan yang diperoleh langsung dari mereka melalui wawancara diinformasikan pihak kepolisian sekitar 6 bulan belakangan di awal tahun 2011 ini berhasil menyita 6 senjata api ilegal yang dibawa nelayan Filipina dengan menggunakan perahu tradisional mereka.50 Di luar itu yang sering dijumpai adalah kasus-kasus pencurian ikan (illegal fishing) dan penyelundupan miras, minuman keras tradisional asal Manado,51 yang mudah menyulut munculnya tawuran antar-warga kampung/kota dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Keterbatasan alat kerja, terutama kapal-kapal cepat yang memadai kapasitasnya, dan personil dikatakan sebagai penyebab sulitnya mendapatkan temuan lebih banyak atas berbagai kasus penyelundupan yang terjadi. Pihak TNI, Korem 152 Baabullah, dalam hal ini juga mengatakan turut mendengar informasi mengenai senjata-api selundupan tersebut, walaupun belum melihat secara langsung hasil temuan atau sitaan itu, mengingat tugas mereka hanya menyangkut (ancaman) di matra darat.52 Ketika konlik horizontal (primordial) tengah berkecamuk, misalnya pada 30 Mei 2000, satuan marinir berhasil menggagalkan senjata api, pistol, dan amunisi dari berbagai jenis ke Maluku Utara, yang berupaya dimasukkan melalui dermaga ferry Bastiong, Ternate. Jumlah yang berusaha diselundupkan terdiri dari 2 pucuk M-16, 11 pucuk pistol FN-45, 10 magazine M-16, 532 butir peluru pistol, dan 296 butir peluru M-16.53 Pemasokan senjata api secara ilegal itu kian meresahkan masyarakat yang tengah dilanda konflik. Dua bulan kemudian, tepatnya, 26 Juli 2000, di perairan Teluk Ambon, aparat Darurat Sipil di Maluku berhasil menggagalkan penyelundupan senjata yang dilakukan orang-orang RMS, dengan menumpang Kapal Pelni, KM Dobonsolo. Dari penggeledahan, berhasil disita 15 pucuk senjata organik, 200 granat tangan, 50 Wawancara dengan Wakapolda Provinsi Maluku Utara, Kombes Drs. Krido S, MM, di Ternate, Provinsi Maluku Utara, pada 20 Juli 2011. 51 Wawancara dengan Dirkrimum Polda Provinsi Maluku Utara Kombes Rivai Sinambela, di Ternate, Provinsi Maluku Utara, pada 20 Juli 2011. 52 Wawancara dengan Danrem 152 Baabullah, Kol. (Inf), Widhagdo SW, di Ternate, Provinsi Maluku Utara, pada 19 Juli 2011; Wawancara dengan Kasrem 152 Baabullah, Letkol (Kav), Ade Wihanto, di Ternate, Provinsi Maluku Utara, pada 19 Juli 2011; Wawan-cara dengan Kasie Intel Korem 152 Baabullah, Mayor (Kav), Donova di Ternate, Provinsi Maluku Utara, pada 19 Juli 2011. 53 “Korban Meninggal Akibat Pertikaian di Galela Diperkirakan Ratusan Jiwa,” Antara, 31 Mei 2000, Muslims News World Online.
171
Penyelundupan Senjata Ke Wilayah Indonesia
dan ribuan peluru.54 Aparat sebelumnya telah mencurigai nakhoda kapal yang tidak mau merapatkan kapalnya di pelabuhan AL Halong, namun hanya mau berhenti di tengah pelabuhan dekat Hative Besar, dalam 1 bulan terakhir. Menurut aparat keamanan upaya, penyelundupan ini telah dilakukan berulang kali, dengan jumlah senjata selundupan yang lebih banyak berhasil disita kali ini.55 Senjata jenis M-16 dari Ambon diduga pula ada yang berasal dari gudang senjata Brimob yang dibobol di Ambon dalam konflik tahun pasca1998. Sedangkan senjata jenis AK-47 sudah dapat dipastikan asal selundupan dari wilayah perbatasan perairan Indonesia-Filipina Selatan, masuk melalui Miangas.56 Pada tahun 1999, telah berkembang rumor adanya kapal dari Jakarta yang membawa 12 peti kemas yang membawa senjata api dan amunisi, yang dikabarkan disimpan di Pulau Hutumury dan Pulau Seram. Senjata-senjata tersebut diperkirakan asal Israel, Belgia dan Belanda, di antaranya senjata laras panjang kenis PNC-1.57 Dalam peristiwa konflik komunal yang pecah lagi antara kelompok masyarakat Muslim dan Kristen di Ambon pada 11 September 2011 (satu dasawarsa sesudahnya), belum dijumpai kasus-kasus senjata api yang masuk dari luar wilayah Kepulauan Maluku, termasuk yang diselundupkan lewat jalur laut yang banyak pintu masuknya di Ambon.58 Namun, aparat keamanan tetap mewaspadai penggunaan senjata api dalam konflik, termasuk senjata standar militer, mengingat senjata-senjata standar yang diperoleh dari serbuan salah satu pihak yang berkonflik ke markas Brimob pada konflik sebelumnya (periode pertama), tidak seluruhnya kembali.59 Kerusuhan dapat segera dihentikan, dan situasi keamanan dapat segera dikendalikan, sehingga pasca-konflik periode kedua ini belum ditemukan senjata api yang diselundupkan seperti di periode berlangsungnya gelombang kerusuhan pertama. Juga, sekalipun ada kelompok masyarakat luar yang dicegah masuk, namun mereka hanya berusaha memasukkan senjata tajam, seperti parang dan golok, yang dibungkus 54 “RMS Menyelundupkan Amunisi,” 27 Juli 2000, MHI, http://jannah.itgo.com/ambon/22-30%20 juli 2000htm. 55 Ibid. 56 Aldi Gultom, “Senjata Api Perampok Bersal dari Sisa Konflik Ambon dan Aceh,” Rakyat Merdeka Online, 20 Agustus 2010, http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id= 1701. 57 “Ada Senjata di antara Huru-hara,” Tajuk.com, 7 Oktober 1999, http://www.tajuk.com/edi-si16 th2/ fokus/fokus04/fokus content.html. 58 Wawancara dengan Kol. (Mar) Bambang H., Wadan Lantamal IX Ambon pada 22 September 2011 di Ambon. 59 Wawancara dengan Kol. Nazaruddin, Danrem 151/Binaiya, Provinsi Maluku pada 23 September 2011 di Ambon.
172
Poltak Partogi Nainggolan
seperti alat-alat pertanian. Pembawanya calon milisi salah satu kelompok, asal Tulungagung, yang berusaha masuk menggunakan pelabuhan yang sama di masa lalu seperti Surabaya.60 Razia yang dilakukan aparat kepolisian di berbagai daerah yang beredar pesan SMS yang berupaya menghasut untuk melakukan jihad dan terutama terhadap para calon penumpang di berbagai pelabuhan ke wilayah tujuan Ambon, secara dini berhasil menggagalkan pengiriman milisi secara massal dan barang-barang selundupan jenis senjata tajam,61 Tidak hanya di jaman perang kemerdekaan (Perang Dunia II) dan sesudahnya, bahkan di masa sekarang, para pahlawan dan pejuang kemerdekaan Indonesia serta aparat keamanan laut Indonesia memiliki keterbatasan untuk mengontrol wilayah perairan dan jajaran pulau-pulau yang tersebar di Utara Provinsi Sulawesi Utara dan Maluku. Tidak heran dalam masa Perang Dunia II dan upaya mempertahankan kemerdekaan RI, pelaku gerakan separatis dan penjajah dan negara asing, sulit dicegah masuk ke wilayah ini untuk menguasainya. Para pengikut Permesta, angkatan laut pemerintah kolonial Belanda dan sekutu di bawah pimpinan AS dan Australia, sebagaimana pasukan Jepang berusaha masuk ke wilayah RI melalui pulau terluar di Provindi Maluku Utara, yakni Morotai, sebagai batu loncatan (stepping stone) mereka untuk masuk ke dan menguasai Indonesia, serta negara-negara Asia Pasifik dan Asia Timur, seperti Jepang, Korea, Taiwan, dan Hong Kong, serta Australia dan negaranegara Pasifik Selatan, seperti PNG, Vanuatu, Fiji, Kiribati dan lain-lain.62
60 Siaran TVRI pada 15 September 2011. 61 Wawancara dengan Kombes Nasan Hutahaen, Direktur Intelkam, Harianto Kabag Analisa Direktorat Intelkam, dan perwira intel Direktorat Intelkam Polda Maluku pada 20 September 2011 di Ambon. 62 Wawancara dengan Sultan Ternate, Mudaffar Sjah di Ternate, Provinsi Maluku Utara, pa-da 18 Juli 2011.
173
Bab 5 Negara Asal Penyelundupan Senjata
Mabes Polri telah berupaya melakukan penyelidikan awal negara asal penyelundup. Seperti dikatakan Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Soenarko D. Ardanto, dari kasus yang pernah ditangani Mabes Polri, diketahui asal senjata selundupan dari Thailand. Para pembeli yang membawa senjata api ilegal ke Indonesia biasanya melakukan transaksi di Perairan Pulau Adang, Thailand.63 Menurut data Biro Analisis di Badan Inteljen Keamanan Mabes Polri, selama tahun 2003, dari 8 Polda di Indonesia, terdapat 247 kasus senjata api ilegal, namun hanya 39 kasus yang merupakan selundupan. Ini artinya, banyak kasus yang lolos dari pengawasan aparat kepolisian dan bea-cukai. Dari 247 kasus itu, telah berhasil disita sebanyak 365 pucuk senjata api, yang sebagian besarnya adalah senjata api laras pendek dan panjang buatan Eropa, seperti Walther, Wesem, Sport Waffen, Armes, Remington, Browing AK-47, AK-17 dan Makarov.64 Thailand Selatan telah diindentifikasi sebagai sumber senjata selundupan, mengingat letaknya yang dekat dengan perbatasan perairan pulau-pulau terluar Indonesia. Bagi pemerintah Thailand sendiri wilayah tersebut masih sulit dikontrol oleh aparat keamanannya sampai sekarang ini karena merupakan basis gerakan separatis, yang belum sepenuhnya dikuasai mereka. Selain itu, Thailand Selatan juga berdekatan dengan negara Kampuchea, negara yang baru menyelesaikan perang saudara dan konflik berkepanjangan, sehingga banyak senjata-senjata eks-konflik yang luput dari kontrol pemerintah domestik dan diperjualbelikan.
63 Ibid. 64 Ibid.
175
Penyelundupan Senjata Ke Wilayah Indonesia
Baik di bekas wilayah konflik separatisme Aceh ataupun bekas konflikkonflik sektarian Maluku dan Poso, senjata-senjata yang beredar dan digunakan pihak-pihak yang bertikai, termasuk yang telah digunakan dalam melawan aparat keamanan selama ini, sumbernya tetap sama, yaitu dari Thailand Selatan, Filipina Selatan, dan Kampuchea. Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Iskandar Hasan, yang pernah ke wilayah Thailand Selatan, menengarai besarnya kemungkinan senjata-senjata asal wilayah itu yang dimanfaatkan oleh bekas pihak-pihak yang bertikai untuk diperdagangkan demi meraih keuntungan finansial.65 Selain Thailand Selatan, sumber pasokan senjata selundupan adalah Filipina Selatan, yang juga tengah mengalami konflik separatis dan sektarian. Bahkan, lebih luas lagi kawasan itu telah berkembang menjadi tempat atau safe haven bagi para aktor non-negara atau kelompok teroris lintas-kawasan, di luar MNLF, MILF, yaitu merka yang diidentifikasi sebagai Kelompok Al-Qaeda Asia Tenggara. Wilayah yang berbentuk kepulauan dan menjorok ke dalam telah menyulitkan aparat keamanan domestik dan negara lain sulit menjangkau dan mengontrol mereka, namun sebaliknya sangat ideal bagi para penyelundup karena letaknya saling terhubung dengan wilayah-wilayah terluar kepulauan Indonesia dan langka dari patroli keamanan lintas negara. Untuk senjata-senjata ilegal yang masuk melalui Filipina Selatan, kasusnya terus terjadi pasca-konflik separatis dan komunal (primordial) di Aceh, Poso dan Ambon. Pada 5 Juli 2011 diberitakan, polisi anti-teror telah menangkap 7 orang yang diduga terlibat jaringan penyelundupan dan perdagangan senjata api yang dipasok melalui jalur pelayaran Tawau (Malaysia), Nunukan, Kalimantan Timur, Palu dan Surabaya.66 Pelakunya selama ini terlibat tindak pidana terorisme di Surabaya dan Jakarta. Di Surabaya berhasil ditangkap 2 orang, sedangkan di Jakarta 5 orang. Terdapat 1 pucuk M-16, 5 pucuk FN, dan 1 mitraliur sebagai barang bukti senjata api yang disita di Surabaya, dan 2 pucuk M-16 yang berhasil disita di Jakarta.67 Banyaknya tersedia senjata dari berbagai jenis yang dapat dibeli secara bebas di wilayah Filipina Selatan yang berbatasan langsung dengan perairan di pulau-pulau utara Sulawesi dijelaskan baik oleh pihak Polisi Air, terutama Lantamal VIII, yang rentang kendali tugasnya mencakup wilayah tersebut, bahkan sampai ke Nunukan 65 Ismoko Widjaya dan Eko Huda S, “1000 Pucuk Senjata Eks GAM Masih Beredar,” Viva-news, 25 September 2010, http://nasional.vivanews.com/news/read/179511-30-persen-sen-jata-ek... 66 “Dibongkar Jaringan Pemasok Senjata,”Kompas, 6 Juli 2011: 2. 67 Keterangan Kabag Penerangan Umum Polri, Kombes Boy Rafli Amar, ibid.
176
Poltak Partogi Nainggolan
dan Tarakan.68 Di wilayah perairan utara Kepulauan Sulawesi, penyelundupan senjata lebih rawan terjadi (masuk) melalui pelabuhan-pelabuhan Kelas IV di sekitar pulau terluar, seperti Marore, yang berbatasan langsung dengan Filipina Selatan, wilayah pemasoknya.69 Jalur lintas Filipina Selatan ke pulau-pulau di bagian terluar di utara Kepulauan Sulawesi amat rawan untuk dipakai sebagai jalur lintas penyelundupan senjata dan transit para anggota kelompok radikal di Indonesia dalam aktifitas terorisme mereka dengan jaringan mereka yang sudah terbentuk dan tersebar di kawasan Asia Tenggara.70 . Sampai pada tahun 2003, terlacak 2 tempat pemasokan senjata api ilegal yang mencolok, yaitu di daerah Solo (Jawa Tengah) dan di Pulogadung (Jakarta). Namun, berbeda dengan senjata api yang biasa disuplai ke beberapa daerah konflik, yang biasanya diperoleh dari Kampuchea melalui Thailand dan Filipina, senjata api di 2 tempat itu diduga berasal dari negara bekas Yugoslavia dan Israel.71 Di daerah Solo sempat dilaporkan bahwa terdapat sekitar 400 pucuk senjata api laras panjang, walaupun polisi gagal menemukannya. Di Pulogadung, polisi telah menemukan 8 peti berisi 50 pucuk senjata api laras panjang jenis AK-47 dan Uzi, serta 57 pucuk pistol.72 Senjata api tersebut bisa masuk ke Indonesia melalui pelabuhan Tanjung Priok.
68 Penjelasan dan wawancara dengan Polisi Air dan Lantamal VIII masing-masing di Bitung dan Manado pada tanggal 5 dan 7 Juli 2011. Di Nunukan/Tarakan terdapat Lanal yang berada di bawah pengendalian dan tanggung jawab Lantamal VIII. 69 Wawancara dengan pihak Adpel dan Pelindo Bitung di Bitung pada 6 Juli 2011. 70 Penjelasan dan wawancara dengan pihak Lantamal VIII di Manado pada tanggal 7 Juli 2011. 71 Riza Sofyat dan Budi Supriyantoro,”Senjata Ilegal di Jakarta,” Majalah Trust,.com, http:// www. majalahtrust.com/verboden/verboden/503.php. 72 Ibid.
177
Bab 6 Penyebab/Motivasi Penyelundupan Senjata
Lemahnya penegakan hukum diperparah oleh lemahnya kordinasi antaraparat yang berwenang dalam mencegah dan menangani kasus-kasus yang merupakan tantangan bagi negara kepulauan seperti Indonesia, sebagaimana diakui oleh Jaleswari Pramowardhani dari LIPI dan Abdul Hamid dari LSM Kiara, yang keduanya banyak mengamati persoalan-persoalan negara maritim.73 Kondisi seperti ini dihadapi oleh Indonesia pula dalam merespons masalah penyelundupan senjata. Kekurangpekaan terhadap ancaman yang datang matra laut dan pengembangan sektor kelautan telah membuka peluang bagi terjadinya berbagai bentuk kejahatan transnasional. Karena cara pandang seperti ini yang belum berubah dalam Orde Reformasi, yang masih berorientasi ke matra darat dan belum memperlihatkan prioritas atau berganti ke paradigma laut sekalipun Panglima TNI pernah dijabat oleh 2 orang perwira tinggi AL, selain Indonesia telah memiliki seorang Menteri Kelautan asal TNI-AL,74 para pelaku kejahatan penyelundupan senjata melihat peluang yang besar untuk terus melakukan kegiatannya dengan pelaku dan modus lama ataupun baru. Maraknya konflik-konflik di berbagai daerah, terutama separatis dan sektarianisme sejak reformasi politik bergulir tahun 1998, telah memarakkan pula bisnis jual-beli senjata api gelap, termasuk yang berasal dari kegiatan penyelundupan. Berkembangnya rasa tidak aman di masyarakat pasca-krisis moneter, meningkatnya permintaan senjata api oleh pihak-pihak yang berkonflik di wilayah-wilayah yang dilanda kerusuhan atau konflik, adanya perbedaan yang mencolok antara harga senjata resmi dan ilegal, lemahnya kontrol atau pengawasan atas peredaran dan pemakaian senjata api selundupan, dan lemahnya kontrol pemilikan senjata aparat kian menambah faktor penyebab 73 Tanya jawab dalam diskusi dengan keduanya dalam FGD di P3DI pada 31 Maret 2011. 74 Ini marupakan warisan sejarah politik selama berabad-abad lamanya setelah runtuhnya pusat-pusat kerajaan maritim di Indonesia, yang kemudian digantikan dengan kerajaan-kerajaan agraris yang berpusat di pedalaman, yang sangat inward looking.
179
Penyelundupan Senjata Ke Wilayah Indonesia
atau motivasi aksi-aksi penyelundupan senjata. Maraknya penyelundupan senjata api dari kawasan Selatan Filipina dan Thailand ke wilayah Aceh ketika konflik separatisme tengah memanas di sana dibenarkan oleh Abriadi dari Badan Kordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla).75 Dari bekas wilayah konflik separatisme di Aceh, harga senjata api dulunya diperjuabelikan dengan harga yang tinggi, yaitu sekitar Rp. 30-40 juta setiap pucuknya.76 Sehingga, ketika konflik usai, mereka yang telah kehilangan uang untuk membeli senjata, akan berupaya menjual senjatanya kembali kepada siapa saja agar kembali modal. Luputnya hal ini dari perhatian peace makers di Aceh, telah menyulitkan upaya mengembalikan keamanan Aceh dan menjaga keamanan wilayah Indonesia dari dampak peredaran senjata-senjata api hasil selundupan dari bekas wilayah konflik. Dari Aceh saja, diperkirakan terdapat sekitar 1000-1500 pucuk senjata yang masih beredar. Ini belum termasuk yang belum di data dari bekas wilayah konflik di Maluku dan Poso.77 Kesenjangan harga antara senjata selundupan dan lokal pada waktu konflik muncul di banyak daerah, telah mendorong maraknya kasus-kasus penyelundupan senjata. Ketika konflik Aceh sedang memanas, sebagai contoh, harga sepucuk senjata laras panjang AK-47 ilegal mencapai Rp. 40 juta. Padahal, di pasar gelap Mindanao, Filipina Selatan, harganya hanya sekitar Rp. 5 juta.78 Memasukkannya pun tidak sulit, karena lemah dan bobroknya birokrasi keimigrasian di wilayah negeri tetangga Filipina yang letaknya berdekatan dengan wilayah Sulawesi Utara, Indonesia, itu. Dengan modal rokok dan sejumlah uang Peso, mudah memasukkan senjata keluar dari wilayah Filipina Selatan itu. Selanjutnya, senjata diangkut dengan kapal laut dan diselundupkan lewat jalur General Santos-Sangir Talaud-Bitung, Sulawesi Utara. Dari rute ini, senjata diselundupkan dan disebar ke seluruh wilayah konflik di Indonesia yang membutuhkannya. Ketika konflik sektarian dan separatis memanas di Ambon dan Poso, jalur selundupan itu begitu hidup, sehingga Mindanao menjadi surga bagi peredaran dan suplai senjata ilegal bagi kedua kelompok yang bertikai, dari kalangan Muslim dan Kristen. Sebagaimana diungkap sumber seorang anggota Mujahidin Kompak, kelompok jihad seperti Jamaah Islamiyah (JI), Mujahidin Kompak, Laskar Jundulah, dan Darul Islam wilayah 75 76 77 78
Wawancara dengan Abriadi di Kantor Bakorkamla pada 21 April 2011 di Jakarta. Widjaya dan Huda S, 2010, loc.cit. Ibid. Nugroho dan Patria, loc.cit.
180
Poltak Partogi Nainggolan
Banten berbelanja senjata di wilayah Filipina Selatan tersebut.79 Demikian pula dengan kelompok lawan mereka (merah) dalam konflik di Ambon. General Santos diketahui sebagai kota paling Selatan di Pulau Mindanao, pulau yang berbatasan langsung dengan wilayah Sangir Talaud, Sulawesi Selatan, dengan penduduk sekitar 19 juta jiwa, dengan sebanyak 5 juta diantaranya Muslim. Perilaku korup aparat keamanan dan birokrasi di wilayah Filipina Selatan dan kebutuhan warga sipil akan uang, telah membuat harga senjata begitu murah di sana. Sepucuk senjata M-16 asal AS bisa dibeli dengan harga 30 ribu Peso atau sekitar Rp. 6 juta sampai 45 ribu Peso atau sekitar Rp. 9 juta, termasuk 8 buah magazin dan rompinya, dengan melihat kondisi senjata tentunya.80 Kasus-kasus penyelundupan senjata di masa lalu yang terjadi melalui perairan Sulawesi Utara yang berbatasan langsung dengan Filipina (Selatan) sulit dilepaskan dari kondisi keterbelakangan (kemiskinan) atau kesulitan hidup yang dihadapi nelayan pada umumnya. Motif ekonomi mendesak mereka untuk membawa apa saja dari wilayah yang tidak stabil di negara tetangga itu ke wilayah yang tangah bergolak di Indonesia. Tokoh nelayan sendiri tidak menutup mata terhadap kemungkinan berlangsungnya kasus-kasus seperti ini di masa lalu.81 Begitu pula dengan aparat keamanan, yang juga melihat motif lain, yakni perjuangan ideologis, dengan dapat dibawanya senjata secara langsung oleh anggota kelompok radikal yang memang telah mempunyai jaringan yang kuat dengan kelompok serupa di wilayah Filipina Selatan. Modus operandi untuk dua motif yang berbeda ini sama, yaitu menggunakan kapal-kapal kecil dengan singgah atau memanfaatkan jalur pelayaran melalui banyak pulau kecil yang tersebar di utara perairan Sulawesi Utara di antara Kabupaten Sangir, Talaud, Marore dan Miangas.82 Dari sini para pelaku berupaya lolos dari pengawasan dan pengejaran aparat keamanan, terutama patroli AL, yang kapasitas alatnya terbatas, dan membawa senjata ke arah Tawau, perbatasan Malaysia-Indonesia, Sebatik, Nunukan, dan masuk ke Kalimantan melalui Tarakan dan pulaupulau kecil di sekitarnya.83 Belakangan telah tertangkap, pada 5 Juli 2011, jaringan terorisme yang berencana menyerang langsung kantor-kantor adan 79 Ibid. 80 Ibid. 81 Wawancara dengan Dr. Rignolda Djamaluddin, Ketua Antra (Asosiasi Nelayan Tradisio-nal Sulut), di Manado pada tanggal 4 Juli 2011. 82 Penjelasan dan wawancara dengan Polisi Air di Bitung dan Lantamal VIII di Manado, masing-masing pada tanggal 5 dan 7 Juli 2011. 83 “Dibongkar Jaringan Pemasok Senjata,”Kompas, 6 Juli 2011, loc.cit.
181
Penyelundupan Senjata Ke Wilayah Indonesia
aparat kepolisian. Mereka yang tertangkap itu diduga berhubungan dengan kelompok pejuang/pemberontak radikal di Filipina untuk memasok senjata, termasuk senjata berperadam suara untuk melaksanakan rencana rangkaian pembunuhan (assassination) terhadap aparat kepolisian yang mereka anggap sebagai penguasa jahat (thogut). Para pelaku telah ditangkap di Jakarta dan Surabaya. Dari mereka telah disita 1 pucuk senjata api jenis M-16, 5 pucuk senjata api jenis FN, dan 1 mitraliur.84 Selanjutnya ada yang membawanya terus ke Aceh melalui perbatasan laut Malaysia-Indonesia di sekitar Pulau Sumatra dan Kepulauan Riau. Begitu pula, dari perairan di Sulawesi Utara ada yang membawa senjata masuk ke pedalaman, melalui pulau-pulau kecil hingga ke pedalaman Sulawesi, sampai ke wilayah konflik primordial, di Poso. Jika tidak, dari perairan di utara Sulawesi, senjata gelap yang dibeli dari wilayah Filipina Selatan, atau eks-MNLF dan MILF, dibawa oleh pengikut kelompok radikal ke Kepulauan Maluku dan Maluku Utara, masuk dan melewati Halmahera, Ternate, Tidore dan seterusnya. Di luar senjata, diketahui selama ini bahan-bahan kimia untuk pupuk dan bom ikan rawan untuk dibawa masuk secara ilegal. Tentu saja bahan-bahan berbahaya tersebut dapat diracik dan dipergunakan sebagai bahan peledak untuk tujuan terorisme dan aksi-aksi kekerasan (konflik) komunal.85 Kasus-kasus penyelundupan senjata gelap yang marak masuk dari Filipina Selatan ke Provinsi Maluku --yang kemudian juga berkembang menjadi Provinsi Maluku Utara-- ketika konflik horizontal pecah di wilayah Indonesia Timur tersebut, dimotivasi untuk kepentingan berperang atau mempertahankan diri kedua belah pihak yang bertikai atau berhadap-hadapan, yakni Kelompok Merah (Kristen) dan Putih (Muslim). Di luar itu, pihak ketiga menggunakannya untuk kepentingan meraih keuntungan dari senjata-senjata yang tersedia dan diperdagangkan bebas di banyak pasar gelap di Filipina Selatan. Pembeli bisa datang langsung ke negara tetangga yang berbatasan letaknya dan tidak jauh posisinya dari wilayah konflik. Sedangkan pihak ketiga bisa menggunakan perantara nelayan-nelayan tradisional yang sangat menguasai wilayah perairan dimaksud, yang menggunakan perahu-perahu kecil mereka. Kondisi geografis wilayah perairan di dekat perbatasan Provinsi Sulawesi Utara dan Maluku (Utara) dengan Filipina (Selatan) yang tersembunyi dan dikelilingi banyak pulau kecil, 84 “Kelompok yang Ditangkap Terkait Filipina,” Kompas, 7 Juli 2011: 4. 85 Antara lain, penjelasan dan wawancara dengan Dr. Rignolda Djamaluddin, Ketua Antra (Asosiasi Nelayan Tradisional Sulut), di Manado pada tanggal 4 Juli 2011.
182
Poltak Partogi Nainggolan
keterbatasan fasilitas aparat keamanan laut Indonesia, dan sikap ambivalensi mereka ketika itu dalam mengatasi konflik primordial atau perang saudara yang tengah berlangsung, sangat membantu mereka yang berkepentingan dengan bisnis senjata-senjata ilegal ini, yang berupaya memasukkan senjata-senjata itu ke daerah konflik di wilayah timur Indonesia tersebut. Tidak heran ketika itu granat, selain senjata api laras pendek dan panjang, juga yang dimasukkan ke sana.86 Provinsi Maluku Utara yang mewarisi kondisi masyarakat yang terfragmentasi dalam kelompok agama, etnik dan stigmatisasi golongan dan lokasi tempat tinggal (di pulau yang berbeda, misalnya, antara Ternate dan Tidore), dan rasa saling curiga yang diwarisi sejak jaman penjajahan Belanda dengan politik pecah-belahnya (devide et impera), sangat rawan atau memiliki potensi konflik yang tinggi, yang bisa dipicu banyak hal, yakni ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat dan lokal, hasil pemilukada, peredaran miras, dan masalah yang sepele sekalipun, seperti tawuran individual antar-warga.87 Semua kejadian konflik kecil dapat bermuara menjadi konflik komunal, horizontal, dan vertikal. Karena itu, kondisi masyarakat lokal yang rawan konflik --konflik sudah menjadi “bahaya laten”-- ini tetap menjadi pasar yang potensial bagi perdagangan senjata api di masa pasca-konflik besar di antara kurun waktu 1999-2001, dan khususnya, mereka yang berkepentingan dengan bisnis ini.88 Lokasi pasar pensuplai senjata di Filipina Selatan yang bebas menyediakan berbagai jenis senjata api, yang masih tidak stabil dan dapat dikontrol otoritas keamanan (pemerintah) Filipina Selatan, yang tidak jauh dari perairan laut bebas di Provinsi Maluku Utara yang juga berhadapan langsung dengan 86 Juga tersingkap dari wawancara dengan Abdul Kadir Bubu, Dosen FH Universitas Khairun, di Ternate, Provinsi Maluku Utra, pada 16 Juli 2011; Wawancara dengan Mahmud Haji Umar, Dosen FH, Universitas Khairun, Ternate, Provinsi Maluku Utara, di Ternate pada tanggal 16 Juli 2011. 87 Wawancara dengan Sekda Kota Ternate, Isnain Ibrahim, di Ternate, pada 15 Juli 2011. Rapuhnya kondisi keamanan di masyarakat dapat dilihat dari tawuran antar-warga (Mangga Dua melawan Uboubo) yang muncul lagi di Kota Ternate, yang bermula dari masalah pribadi, pada 9 Juli 2011, yang telah menyebabkan 2 orang tewas dan situasi sempat memanas karena adanya aksi tuntut balas dari kelompok warga yang menjadi korban. Sementara itu, ketika peneliti sedang melakukan penelitian lapangan (field research), di pusat kota Ternate pada 18 Juli 2011 terjadi rangkaian aksi penyerbuan dan penyitaan kantor-kantor kerja pemerintah provinsi oleh aparat pemerintah kota. Walaupun kemudian aparat pemerintah kota berhasil mengusir aparat pemerintah provinsi dari ruang kerja yang mereka tempati, aparat pemerintah provinsi tidak dapat menerima dan melakukan aksi penuntutan, agar keputusan yang telah disetujui DPRD, itu dianulir. Lihat juga, misalnya, Mimbar Malut, 16 Juli 2011 dan Malut Post, 19 Juli 2011. 88 Wawancara dengan Abdul Kadir Bubu, Dosen FH Universitas Khairun, di Ternate, Provinsi Maluku Utra, pada 16 Juli 2011; Wawancara dengan Mahmud Haji Umar, Dosen FH, Universitas Khairun, Ternate, Provinsi Maluku Utara, di Ternate pada tanggal 16 Juli 2011.
183
Penyelundupan Senjata Ke Wilayah Indonesia
Samudera Pasifik, membuat kawasan kepulauan di provinsi ini, tempat yang potensial untuk pemasaran senjata api gelap (selundupan).89 Dalam kasus Kapal Fungka Sejahtera, kapal patroli Bea Cukai 20003 milik Kanwil Dirjen Bea Cukai Khusus Kepulauan Riau telah menangkap kapal itu, dengan 16 awak kapalnya, di perairan Pulau Mapor dengan muatan sekitar 3.000 karung @ 25 kg ammonium nitrat, yang menurut nakhoda kapal akan dijual sebagai pupuk tanaman.90 Modus operandinya adalah mengangkut barang yang di-declare sebagai pupuk, tanpa dilengkapi dokumen pelindung seperti manifest, serta dengan pengemasan ulang dengan tujuan menyamarkan kemasan dengan kemasan untuk komoditi pupuk, sehingga jenis kemasan aslinya berbeda dengan kemasan luar. Adapun merek komoditi dan pemasok barang dalam kemasan luar bermerek Grande-paroisse-SAATO dengan kandungan ammonium nitrat 34,5%, sedangkan kemasan dalam bermerek GPN Mining France dengan kandungan ammonium nitrat 25 kg net dengan kode labelling “Oxidizier grade 5-1”.91 Untuk mengelabuhi petugas dan menghindari patrol laut petugas Bea-Cukai, kapal berlayar melalui jalur laut lepas dengan kondisi laut yang ekstrim. Dalam wawancara, dengan pihak Bakorkamla, kejadian penangkapan ini dibenarkan dan diungkapkan kembali. Itulah sebabnya, pihak Bakorkamla menekankan pentingnya dilakukan operasi khusus -- Operasi Gurita yang telah dilakukan 11 kali hingga saat ini -- dan rutin sepanjang tahun dengan Satgasnya di Batam, Menado, dan Ambon, yang meliputi wilayah kerja ALKI 1,2, dan 3.92
89 Wawancara dengan Dr. Marwan, SE, Msi, Dosen FE Universitas Khairun, Ternate, Provinsi Maluku Utara, di Ternate pada tanggal 16 Juli 2011; Wawancara dengan Salmid Janidi, Dosen FH, Universitas Khairun, Ternate, Provinsi Maluku Utara, di Ternate pada tanggal 16 Juli 2011. 90 “Pencegahan Penyelundupan Ammoninum Nitrate dari Malaysia,” 20 Nopember 2009, Tamlet.net, http://www.tandef.net/news-penyelundupan-ammonium-nitrate 2010. 91 Ibid. 92 Wawancara dengan AJ Benny Mokalu, Kepala Pusat Penyiapan Kebijakan Keamanan Laut, Bakorkamla, pada 21 April 2011 di Jakarta.
184
Bab 7 Kesimpulan dan Rekomendasi
Untuk mencegah aksi-aksi dan dapat menangkap para pelaku penyelundupan senjata yang berupaya masuk ke Indonesia yang memiliki garis pantai yang begitu panjang, perlu dilakukan peningkatan patroli keamanan, terutama di sepanjang perairan pulau-pulau terluar, oleh TNI-AL, Kepolisian Udara dan Air, TNI-AU dan aparat keamanan lain terkait. Hal ini berarti perlu peningkatan kapabilitas mereka dan peralatan pendukungnya. Dengan kata lain, perlu ditingkatkan pelaksanaan kebijakan security belt, termasuk lewat peningkatan peran lembaga perbatasan yang sudah terbentuk.93 Sedangkan di ALKI dan wilayah perairan internasional perlu ditingkatkan kerja sama antarnegara, tidak hanya bilateral tetapi juga melibatkan lebih dari dua negara, terutama negara tetangga yang wilayah perairannya berbatasan langsung dengan Indonesia. Dalam konteks ini, berbagai bentuk latihan pengamanan bersama perlu ditingkatkan, baik kualitas maupun kuantitasnya, seperti yang dilakukan dengan negara-negara Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand. Secara spesifik, perlu dilakukan lebih banyak lagi pemasangan radar di sepanjang wilayah perairan provinsi yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, seperti Provinsi Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan Maluku Utara untuk dapat memantau secara lebih baik lalu-lintas kapal yang melewati jalur perairan tersebut. Sebagai konsekuensinya, perlu aloksi anggaran unuk kebutuhan pengamanan laut, termasuk untuk pembelian dan pemasangan radar. Hibah radar dari negara lain, seperti AS tidaklah cukup untuk bisa mengamankan seluruh wilayah perairan dan garis pantai Indonesia yang rawan dari kegiatan penyelundupan senjata api. Yang lebih penting lagi dari itu, kehadiran sebuah UU Kelautan yang memadai dalam merespons berbagai tantangan dan masalah di sepanjang garis pantai dan perairan (pulau-pulau) terluar Indonesia dari tindak penyelundupan 93 Ditegaskan oleh Prof. Dr. Rizald Max Rompas, Sekretaris Dewan Kelautan Indonesia, da-lam FGD di Jakarta pada tanggal 4 Agustus 2011.
185
Penyelundupan Senjata Ke Wilayah Indonesia
senjata api, sangat diperlukan.94 Hanya dengan adanya UU ini, berbagai kebijakan kelautan lain dapat ditindaklanjuti dengan baik dan dilindungi pelaksanaannya dalam jangka panjang. Dari solusi legislasi, pembuatan UU Kepulauan yang naskah RUU-nya sudah disusun dan diserahkan ke DPD dan Badan Legislasi (Baleg) DPR, harus ditindaklanjuti Keberadaan undang-undang semacam ini akan membantu provinsi pulau-pulau perbatasan atau terluar untuk dapat mengelola wilayahnya secara lebih baik, terutama terkait dengan pengelolaan keamanan wilayah perairan atau laut. Kontrol pemerintah daerah dapat ditingkatkan, tanpa tergantung terus-menerus pada kemampuan pengamanan yang dilakukan pemerintah pusat melalui institusi TNI dan Kementerian terkait lainnya di Jakarta. Dengan demikian, diharapkan, aksi pengamanan melalui Bakorkamla, Lanal, Lanud, dan kepolisian dapat ditingkatkan dan dikordinasikan secara maksimal, dengan pendirian basis operasi atau pangkalan mereka di pulaupulau terluar. Selanjutnya, perbaikan UU mengenai perbatasan dan wilayah pesisir melalui proses amandemen akan jauh lebih menolong peningkatan pengawasan keamanan atas kedaulatan Indonesia di wilayah perairan terdepan, yang rawan dari segala bentuk tindak pidana kejahatan transnasional, khususnya penyelundupan senjata api. Konsisten dengan ini, Badan Pengelola Wilayah Perbatasan sudah harus dapat dilihat eksistensi dan perannya dengan memberikan perhatian atas masuknya senjata-senjata dari wilayah perbatasan terluar dan jalur-jalur tikus yang banyak tersebar di wilayah Kepulauan Indonesia, yang masih dikontrol aparat keamanan. Lepas dari pentingnya pendekatan keamanan (security approach) perlu diperbaiki, lagi-lagi harus diingatkan kepada pemerintah pusat tentang perlunya memberikan perhatian lebih banyak kepada pembangunan dan peningkatan kesejahteraan penduduk (prosperity approach) di wilayah perbatasan, di pulaupulau terluar. Rendahnya kesejahteraan penduduk di sana akan membuat penduduk mudah tergoda untuk terlibat kegiatan melawan hukum, termasuk terlibat dalam kegiatan memasukkan dan memperdagangkan senjata api secara ilegal dari negara luar. Minimnya pengembangan kapasitas di daerah, di satu sisi, dan tingginya tekanan hidup untuk survival, di lain sisi, tidak hanya telah berperan dalam menyulut konflik-konflik komunal di berbagai daerah, namun juga menyulitkan aparat keamanan untuk dapat menjalankan tugasnya dengan efektif dalam mengawasi masuknya senjata api ilegal dan sekaligus memadamkan konflik. Dengan paradigma baru, menjadikan kawasan 94 Ibid.
186
Poltak Partogi Nainggolan
perbatasan sebagai halaman depan yang harus dijaga lebih dulu secara optimal dengan penempatan aparat keamanan yang andal, diharapkan kebijakan pencegahan dan penangkalan atas ancaman dan gangguan dapat dilakukan sejak awal, dari lini terdepan. Pengembangan wilayah perbatasan pulau-pulau terluar tidak terelakkan, dan jangan ditunda lagi. Paradigma baru dalam mengelola wilayah perbatasan jangan lagi hanya merupakan kampanye atau promosi kebijakan pemerintah pusat untuk kepentingan politik pragmatis. Sebab, jika pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan penduduk perbatasan amat lambat, pengaruh asing dari wilayah perbatasan jauh lebih mudah masuk dan bekerja. Sehingga, pemerintah pusat dan daerah akan semakin sulit mengatasi dampak yang dihasilkan dari konflik-konflik komunal yang muncul kembali, yang telah diperparah oleh maraknya peredaran senjata api gelap.
187
Bibliografi
“Ada Senjata di antara Huru-hara,” Tajuk.com, 7 Oktober 1999, http://www. tajuk.com/edisi16th2/fokus/fokus04/fokus content.html.. Barry Buzan, People, States and Fear: An Agenda fro International Security Studies in the Post-Cold War Era, New York, Harvester Wheatsheaf, 1991. Buzan, Barry. Ole Waever, dan Jaap de Wilde, Security: A New Frame-work for Analysis, London: Lynne Rienner, 1998. Brown, L. David. Practice-Research Engagement and Civil Society: In a Globalizing World. Washington DC and Massachussets: Civicus and the Hauser Center. “Dibongkar Jaringan Pemasok Senjata,” Kompas, 6 Juli 2011. Gultom, Aldi. “Senjata Api Perampok Bersal dari Sisa Konflik Ambon dan Aceh,” Rakyat Merdeka Online, 20 Agustus 2010, http://www. rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=1701. Harvey, Robert. Global Order, Carrol and Graf, 2003. “Jabatan Pangdam I/BB Diserahterimakan,” website TNI, http://www.server. tni.mil.id, diakses 21 “Kelompok yang Ditangkap Terkait Filipina,” Kompas, 7 Juli 2011: 4. “Kolaborasi Indonesia-Filipina demi Eliminasi Penyelundupan Senjata,” Media Indonesia, 22 Maret 2010, http://www.mediaindonesia. com/read/2... ndupan-Senjata “Korban Meninggal Akibat Pertikaian di Galela Diperkirakan Ratusan Jiwa,” Antara, 31 Mei 2000, Muslims News World Online. “Kulakan Senjata ke MIndanao,” Viva News, 24 September 2010, http://sorot. vivanews.com/news/read/179464-jejak-gerilya-filipina-k..
189
Penyelundupan Senjata Ke Wilayah Indonesia
Malut Post, 19 Juli 2011. Mimbar Malut, 16 Juli 2011. Nugroho, Yuniawan Wahyu dan Nezar Patria, “Kulakan Senjata ke Mindano,” VIVAnews, 24 September 2010,http://sorotviva-news.com/news/read/ 179464-jejak-gerilya-filipina-k.. Patria, Nezar, Suryanta Bakti Susila, Iwan Kurniawan, “Membongkar Jejak Senjata Teroris,” Viva News, 24 September 2010, http://sorot.vivanews. com/news/read/179459-melacak-jejak-senjata-haram. “Pencegahan Penyelundupan Ammoninum Nitrate dari Malaysia,” 20 Nopember 2009, Tamlet.net, http://www.tandef.net/news-penyelundupanammonium-nitrate 2010. “Perampokan Bank CIMB Niaga Medan: Kapolda: Sumut Rawan Penyelundupan Senjata Api,” VHRmedia.com, 19 Agustus 2010, http://www.Vhrmedia. com/Kapolda-Sumut-Rawan-Penyelundupan-Sen... Permana, Fidel Ali. “Perampokan Merajalela,” Media Indonesia, 21 Agustus 2010, Bataviase.co.id, http//batavia.co.id/node/35089. “Polisi Gagalkan Penyelundupan Senjata Api,” Indo Warta, 18 Maret 2009,http:// www.indowarta.com/index.php?option=com-content&view=art.. “Polres Bandara Gagalkan Penyelundupan Senjata Airsoft Gun,” 19 Oktober 2010, http://www.portalkriminal.com/index.php/index-berita/index. php?opt... “RMS Menyelundupkan Amunisi,” 27 Juli 2000, MHI, http://jannah.itgo. com/ambon/22-30%20 juli 2000htm. “Senjata Ilegal di Jakarta,” Majalah Trust.com, http://www.majalahtrust.com/ verboden/ verboden/503.php. Sofyat, Riza dan Budi Supriyantoro. “Senjata Ilegal di Jakarta,” Majalah Trust. com,http://www.majalahtrust.com/verboden/verboden/503.php. ”TNI AL Bangun Pangkalan di Melonguane,” Kompas, 19 Juli 2011: 2. Umar, M. Husseyn. Hukum Maritim dan Masalah-masalah Pelayaran di Indonesia (Buku 1,2,dan 3). Jakarta: Sinar Harapan, 2001. Website resmi pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, http://www.kepri.go.id, 1 Januari 2009,diakses pada 21 April 2011. 190
Poltak Partogi Nainggolan
Widjaya, Ismoko.”Titik Panas Indonesia-Malaysia,” Vivanews, http:/wap. vivanews.com/news/read/171252, 16 Agustus 2010, diakses pada 21 April 2011. Widjaya, Ismoko dan Eko Huda S, “1000 Pucuk Senjata Eks GAM Masih Beredar,” Vivanews, 25 September 2010, http://nasional.vivanews.com/ news/read/179511-30-persen-senjata-ek... Wowor, Landy. “Senjata Selundupan: Senjata Leawat jalur Lama,” Gatra, No. 18/VI, 18 Maret 2000, http://www.gatra.com/VI/18/NAS2-18. html.
191
Lampiran Daftar Wawancara
Wawancara dengan Abriadi di Kantor Bakorkamla pada 21 April 2011 di Jakarta. Wawancara dengan AJ. Benny Mokalu, Kepala Pusat Penyiapan Kebijakan Keamanan Laut Bakorkamla, pada 21 April 2011 di Jakarta. Wawancara dengan Hasmirizal Lubis, Kepala Bidang Perencanaan Ekonomi dan Keuangan Bappeda Provinsi Sumatra Utara, di Belawan pada 24 Mei 2011. Wawancara dengan Zulkarnain, Kepala Dinas DKP Provinsi Sumatra Utara di Belawan pada 24 Mei 2011. Wawancara dengan Hari Budiarto, Direktur Utama Pelindo di Belawan pada 24 Mei 2011. Wawancara dengan Sugiyono, Kepala Otoritas Pelabuhan Belawan, di Belawan pada 24 Mei 2011. Wawancara dengan Erwin Pangaribuan, Kepala Bidang Lalu Lintas Angkutan Laut Pelabuhan Belawan, di Belawan pada 24 Mei 2011. Wawancara dengan Syamsul Iqbal dan Tajudin Hasibuan dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) di Belawan pada 24 Mei 2011. Wawancara dengan Wakil Direktur Polisi Air Provinsi Sumatra Utara, AKBP Tulus J. Di Belawan pada 25 Mei 2011. Wawancara dengan Kepala Bagian Operasional Polisi Air Provinsi Sumatra Utara, AKBP RF Siringoringo di Belawan pada 25 Mei 2011. Wawancara dengan Kepala UPT Pelabuhan Perikanan Samudera Provinsi Sumatra Utara, Julius Silaen, di Belawan pada 25 Mei 2011.
193
Lampiran
Wawancara dengan Kepala Bidang Operasional UPT Pelabuhan Perikanan Samudera Provinsi Sumatra Utara, Choliek A, di Belawan pada 25 Mei 2011. Wawancara dengan Komandan Lantamal-1, Laksmana Pertama Amri Husaini, di Belawan pada 26 Mei 2011. Wawancara dengan Wakil Komandan Lantamal-1, Kolonel Marinir Suprayogi, di Belawan pada 26 Mei 2011. Wawancara dengan Asisten Intel Lantamal-1, Kolonel (L) Agus Irianto, di Belawan pada 26 Mei 2011. Wawancara dengan Kepala Dinas Hukum Lantamal-1, Letkol (Laut) Leonard Marpaung, di Belawan pada 26 Mei 2011. Wawancara dengan Asisten Perencanaan dan Anggaran Lantamal-1, Letnan Kolonel (L) Didin, di Belawan pada 26 Mei 2011. Wawancara dengan Asisten Logistik Lantamal-1, Letnan Kolonel Prihantono, di Belawan pada 26 Mei 2011. Wawancara dengan Saputra Sembiring, General Manager Pelindo Pelabuhan Belawan Provinsi Sumatra Utara, di Belawan pada 26 Mei 2011. Wawancara dengan Ambar, Humas Pelindo II di Jakarta pada tanggal 24 Juni 2011. Wawancara dengan Lunggana, Senior Manager Kemitraan Bina Lingkungan Pelindo II di Jakarta pada tanggal 24 Juni 2011. Wawancara dengan Rima Novianti, Corporate Secretary Pelindo II di Jakarta pada tanggal 24 Juni 2011. Wawancara dengan Dr. Rignolda Djamaluddin, Ketua Antra (Asosiasi Nelayan Tradisional Sulut) di Manado pada tanggal 4 Juli 2011. Wawancara dengan Daud Tatumpe, Nelayan anggota Antra (Asosiasi Nelayan Tradisional Sulut) di Manado pada tanggal 4 Juli 2011. Wawancara dengan Mian S. Sitanggang, Kepala Pelabuhan Perikanan Bitung di Bitung pada tanggal 5 Juli 2011. Wawancara Endang Sunaryo, Syahbandar Pelabuhan Bitung, di Bitung pada tanggal 5 Juli 2011.
194
Daftar Wawancara
Wawancara dengan Kombes, Direktur Polisi Air di Bitung pada tanggal 5 Juli 2011. Wawancara dengan AKBP Nelson Wuwungan, Kabid Penegakan Hukum Polisi Air di Bitung pada tanggal 5 Juli 2011. Wawancara dengan AKBP Budi Santoso, Kabid Operasional Polisi Air, di Bitung pada tanggal 5 Juli 2011. Wawancara dengan AKBP Pepen Sumpena, Kabid Penegakan Hukum Polisi Air Bitung, di Bitung pada tanggal 5 Juli 2011. Wawancara dengan Mohamad Marrasabessy, General Manager Pelindo, di Bitung pada tanggal 6 Juli 2011. Wawancara dengan Alex Sitorus, SE, General Manager Pelindo TPB, di Bitung pada tanggal 6 Juli 2011. Wawancara dengan Capt. Mozes I. Karaeng, Kabid KPLP Adpel Bitung, di Bitung pada tanggal 6 Juli 2011. Wawancara dengan Elsje Rangkang, Kabid Lala Adpel Bitung, di Bitung pada tanggal 6 Juli 2011. Wawancara dengan Henk dan R. Wowor, Ketua/Penasehat dan Wakil Ketua/ Penasehat HNSI, di Manado pada tanggal 6 Juli 2011. Wawancara dengan Ben, Wakil Ketua I HNSI, di Manado pada tanggal 6 Juli 2011. Wawancara dengan Christian Moningka, Ketua DPC HNSI Kabupaten Talaud, di Manado pada tanggal 6 Juli 2011. Wawancara dengan Dr. Alfred Luasonay, Dosen Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratulangi, di Manado, Sulawesi Utara, pada tanggal 7 Juli 2011. Wawancara dengan Laksamana Pertama Sugianto SE, MAP, Komandan Lantamal VIII di Manado pada tanggal 7 Juli 2011. Wawancara dengan Kolonel Mohamad Khimaya, Asisten Perencanaan dan Anggaran (Asrena) Lantamal VIII di Manado pada tanggal 7 Juli 2011. Wawancara dengan Mayor Andohar, Dandet Intelejen, Lantamal VIII, di Manado pada tanggal 7 Juli 2011. Wawancara dengan Mayor F.A. Tamara, Dinas Hukum Lantamal VIII, di Manado pada tanggal 7 Juli 2011. 195
Lampiran
Wawancara dengan Lettu Sumpono, Staf Operasi Lantamal VIII di Manado pada tanggal 7 Juli 2011. Wawancara dengan Alwi K. Anton, Kabid Perencanaan Ekonomi Bappeda Sulawesi Utara, di Manado pada tanggal 9 Juli 2011. Wawancara dengan Prof. Dr. Rene Charles Kepel, DEA. Senior Executive Adviser Badan Pengelola Kapet Manado-Bitung, di Manado pada tanggal 7 Juli 2011. Wawancara dengan Dr. Lili Tambayong, Kabid Pengembangan Wilayah Bappeda Provinsi Sulawesi Utara, di Manado pada tanggal 9 Juli 2011. Wawancara dengan Sekda Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara, Isnain Ibrahim, di Ternate pada tanggal 15 Juli 2011. Wawancara dengan Dr. Marwan, SE, Msi, Dosen FE Universitas Khairun, Ternate, Provinsi Maluku Utara, di Ternate pada tanggal 16 Juli 2011. Wawancara dengan Akhmad Zen, Purek IV Universitas Khairun, Ternate, Provinsi Maluku Utara, di Ternate pada tanggal 16 Juli 2011. Wawancara dengan Abdul Kadir Bubu, Dosen FH Universitas Khairun, Ternate, Provinsi Maluku Utara, di Ternate pada tanggal 16 Juli 2011. Wawancara dengan Mahmud Haji Umar, Dosen FH, Universitas Khairun, Ternate, Provinsi Maluku Utara, di Ternate pada tanggal 16 Juli 2011. Wawancara dengan Salmid Janidi, Dosen FH, Universitas Khairun, Ternate, Provinsi Maluku Utara, di Ternate pada tanggal 16 Juli 2011. Wawancara dengan Vonny, Dosen FH, Universitas Khairun, Ternate, Provinsi Maluku Utara, di Ternate pada tanggal 16 Juli 2011. Wawancara dengan Muhamad Sadri, Redaksi Pelaksana Maluku Post, di Ternate, Provinsi Maluku Utara, pada 17 Juli 2011. Wawancara dengan Faisal Jalaluddin, Redaksi Pelaksana Maluku Post, di Ternate, Provinsi Maluku Utara, pada 17 Juli 2011. Wawancara dengan Sultan Ternate, Drs. H. Mudaffar Sjah, MSi di Ternate, Provinsi Maluku Utara, pada 18 Juli 2011. Wawancara dengan Danrem 152 Baabullah, Kol. (Inf), Widhagdo SW, di Ternate, Provinsi Maluku Utara, pada 19 Juli 2011.
196
Daftar Wawancara
Wawancara dengan Kasrem 152 Baabullah, Letkol (Kav), Ade Wihanto, di Ternate, Provinsi Maluku Utara, pada 19 Juli 201. Wawancara dengan Kasie Intel Korem 152 Baabullah, Mayor (Kav), Donova, di Ternate, Provinsi Maluku Utara, pada 19 Juli 2011. Wawancara dengan Wagub Provinsi Maluku Utara, Abdul Ghani Karuba, Lc, di Sofifi, Provinsi Maluku Utara, pada 20 Juli 2011. Wawancara dengan Wakapolda Provinsi Maluku Utara, Kombes Drs. Krido S, MM, di Ternate, Provinsi Maluku Utara, pada 20 Juli 2011. Wawancara dengan Dirkrimum Polda Provinsi Maluku Utara Kombes Rivai Sinambela di Ternate, Provinsi Maluku Utara, pada 20 Juli 2011. FGD dengan FH dan FE Universitas Khairun, Ternate, Provinsi Maluku Utara, di Ternate Pada tanggal 16 Juli 2011. FGD dengan Prof. Dr. Rizald Max Rompas, Sekretaris Dewan Kelautan Indonesia, di Jakarta pada tanggal 4 Agustus 2011.
197
Lampiran Panduan Wawancara
I. BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA) 1. Dapatkah diuraikan mengenai perencanaan pembangunan sektor kelautan di provinsi ini? 2. Masalah apa yang banyak dijumpai dalam pembangunan sektor kelautan di negara kepulauan Indonesia, khususnya di provinsi ini? Bagaimana dengan masalah illegal fishing? 3. Adakah kasus-kasus kejahatan transnasional seperti penyelundupan barang dan manusia, senjata, terorisme dan lain-lain dijumpai di perairan provinsi ini? 4. Bagaimana cara Pemerintah Daerah memberdayakan masyarakat pesisir di provinsi ini? 5. Bagaimana kegiatan konservasi sumber daya ikan di perairan sekitar provinsi ini? II. DINAS DKP 1. Bagaimana pandangan DKP mengenai perencanaan pembangunan sektor kelautan di provinsi ini? 2. Masalah apa yang banyak dijumpai dalam pembangunan sektor kelautan di negara kepulauan Indonesia? 3. Adakah kasus-kasus kejahatan transnasional seperti penyelundupan barang dan manusia, senjata, terorisme dan lain-lain dijumpai di perairan provinsi ini? 4. Apa kebijakan dan program yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan guna mengatasi penangkapan ikan yang berlebihan terhadap produksi ikan utama di provinsi ini dalam 5 tahun terakhir? 5. Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan wilayah perairan Indonesia bebas illegal, unreported & unregulated (IUU) fishing serta kegiatan 199
Lampiran
yang merusak sumberdaya kelautan dan perikanan dari 34 persen pada tahun 2010 menjadi 89 persen pada tahun 2014. Apa target Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi ini guna membantu KKP memenuhi target ini? Apa kegiatan dan program yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi ini guna mencapai target tersebut? 6. Bagaimana kebijakan DKP dalam pemberdayaan masyarakat pesisir di propinsi ini? III. AL LANTAMAL/POLISI AIRUD 1. Bagaimana dengan perencanaan dan pembangunan sektor kelautan menurut pandangan Lantamal? 2. Apakah terdapat kekurangan atau kelemahan yang harus diatasi? Jika ya, masalah atau isu apa saja yang belum mendapat perhatian? 3. Masalah apa yang banyak dijumpai dalam pembangunan sektor kelautan di negara kepulauan Indonesia? 4. Apakah sengketa teritorial yang belum selesai merupakan masalah besar dalam pengelolaan sektor kelautan di provinsi ini? 5. Adakah kasus-kasus kejahatan transnasional seperti penyelundupan barang dan manusia, senjata, terorisme dan lain-lain dijumpai di perairan provinsi ini? VI. OTORITAS PELABUHAN DEPARTEMEN PERHUBUNGAN 1. Bagaimana mekanisme alur perdagangan yang telah dipergunakan selama ini? 2. Apakah terdapat kendala yang harus diatasi oleh Administrator Pelabuhan? 3. Apakah ada peluang bagi Indonesia (dari sisi pelabuhan) untuk menjadi gerbang utama (gateway) bagi pusat perdagangan di Asia Timur dan Pasifik? Jika ada, bagaimana upaya yang akan dilakukan oleh Administrator Pelabuhan dalam memaksimalkan peran Indonesia di jalur perdagangan Internasional? 4. Dalam 10 tahun terakhir, berapa jumlah izin kapal yang di non-aktifkan, baik kapal berbendera Indonesia dan berbendera asing?
200
Panduan Wawancara
V. LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) DAN/ATAU ORGANISASI MASYARAKAT (ORMAS) 1. Masalah apa yang banyak dijumpai dalam pembangunan sektor kelautan di negara kepulauan Indonesia? Bagaimana dengan illegal fishing? 2. Apakah sengketa teritorial yang belum selesai merupakan masalah besar dalam pengelolaan sektor kelautan di provinsi ini? 3. Adakah kasus-kasus kejahatan transnasional seperti penyelundupan barang dan manusia, senjata terorisme dan lain-lain dijumpai di perairan provinsi ini? 4. Adakah inisiatif pribadi dari nelayan dan kelompok nelayan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan memacu stok ikan dalam lima tahun terakhir? 5. Bagaimana menurut anda kebijakan pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat pesisir di propinsi ini?
VI. AKADEMISI 1. Bagaimana dengan perencanaan dan pembangunan sektor kelautan menurut pandangan anda? Apakah terdapat kekurangan atau kelemahan yang harus diatasi? Jika ya, masalah atau isu apa saja yang belum mendapat perhatian? Kritik-kritik atau masukan apa saja yang dapat disampaikan? 2. Masalah apa yang banyak dijumpai dalam pembangunan sektor kelautan di negara kepulauan Indonesia? Bagaimana dengan illegal fishing? 3. Apakah sengketa teritorial yang belum selesai merupakan masalah besar dalam pengelolaan sektor kelautan di provinsi ini? 4. Adakah kasus-kasus kejahatan transnasional seperti penyelundupan barang dan manusia, senjata, terorisme dan lain-lain dijumpai di perairan provinsi ini? 5. Bagaimana sebaiknya program pemberdayaan masyarakat dilakukan? VII. BAKORKAMLA 1. Bagaimana dengan perencanaan dan pembangunan sektor kelautan menurut pandangan BAKORKAMLA? Apakah terdapat kekurangan atau kelemahan yang harus diatasi? Jika ya, masalah atau isu apa saja yang belum mendapat perhatian? 2. Masalah apa yang banyak dijumpai dalam pembangunan sektor kelautan di negara kepulauan Indonesia? 201
Lampiran
3. Apakah illegal fishing merupakan ancaman besar bagi kemajuan dan pembangunan sektor kelautan di provinsi ini? 4. Apakah sengketa teritorial yang belum selesai merupakan masalah besar dalam pengelolaan sektor kelautan di provinsi ini? 5. Adakah kasus-kasus kejahatan transnasional seperti penyelundupan barang dan manusia, senjata, terorisme dan lain-lain dijumpai di perairan provinsi ini? VIII. PELINDO 1. Bagaimana koordinasi Pelindo dengan instansi lain terkait dalam program pemberdayaan masyarakat? 2. Bagaimana mekanisme alur perdagangan yang telah dipergunakan selama ini? 3. Apakah terdapat kendala yang harus diatasi oleh Administrator Pelabuhan? 4. Apakah ada peluang bagi Indonesia (dari sisi pelabuhan) untuk menjadi gerbang utama (gateway) bagi pusat perdagangan di Asia Timur dan Pasifik? Jika ada, bagaimana upaya yang akan dilakukan oleh Administrator Pelabuhan dalam memaksimalkan peran Indonesia di jalur perdagangan Internasional? 5. Dalam 10 tahun terakhir, berapa jumlah ekspor-impor barang yang masuk ke pelabuhan? 6. Apa saja program CSR pelindo?
202
CV SINGKAT PENULIS
Adirini Pujayanti, Dra, MSi, adalah Peneliti Muda bidang Masalah-masalah Hubungan Internasional di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRRI). Menyelesaikan studi S1 di Fisip Universitas Nasional tahun 1999. Selanjutnya menyelesaikan S2 di Kajian Wilayah Amerika di Universitas Indonesia. Anggota tim penulis buku, yaitu Berbagai Perspektif Mengenai Memorandum untuk Presiden Abdurrahman Wahid, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2000; Respons IPU Terhadap Masalah-Masalah Global Pasca-Perang Dingin, Jakarta; Sekretariat Jenderal DPR RI, 2000; Terorisme dan Tata Dunia Baru, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2002; Konflik Dan Perkembangan Kawasan Pasca-Perang Dingin, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2004, Batas Wilayah dan Situasi Perbatasan Indonesia: Ancaman Terhadap Integritas Teritorial, Jakarta: Tiga Putra Utama, 2004; TKI dan Hubungan Indonesia – Malaysia, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2005; Hubungan Bilateral dan Masalah Perbatasan RI–Timor Leste, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2008. Mengikuti program pelayanan informasi dan riset yang dilaksanakan di Australia (1999) dan Amerika Serikat (2008). Lisbet, S.IP, M.Si, adalah calon peneliti bidang Hubungan Internasional di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRRI), sejak tanggal 8 Februari 2010. Menyelesaikan studi S1 di FISIP Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Indonesia pada tahun 2005. Kemudian, menyelesaikan studi S2 di Program Pasca Sarjana FISIP Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Indonesia pada tahun 2008. Penulis dapat dihubungi pada alamat email: lisbet_310183@ yahoo.com/
[email protected]
203
CV Singkat Penulis
Lisnawati, SSi, MSi, memperoleh gelar Sarjana Sains dari Fakultas MIPA Universitas Indonesia (2005), Magister Sains Ekonomi dari program studi Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia (2008). Beberapa tulisan yang dihasilkan ialah ”Analisis faktor fundamental ekonomi yang mempengaruhi risiko pinjaman luar negeri Indonesia”, dan ”Proyeksi implikasi penurunan subsidi pupuk terhadap kesejahteraan petani”. Lukman Adam, S.Pi., M.Si., adalah calon peneliti bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi, (P3DI) Sekretariat Jenderal DPRRI. Menyelesaikan studi sarjana dan magister di Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 2007, aktif terlibat sebagai tim asistensi dalam penyusunan dan pembahasan beberapa Rancangan Undang-Undang. Pada tahun 2006 pernah membawakan makalah pada seminar nasional yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dari tahun 2000 sampai saat ini terlibat dalam berbagai penelitian bidang ekonomi, lingkungan hidup, pertanian, dan perikanan. Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, MA adalah Peneliti Utama/IV/e bidang Masalah-Masalah Hubungan Internasional di Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPRRI. Pada tahun 1986 menyelesaikan studi S-1 di Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Jurusan Hubungan Internasional, Program Studi Perbandingan Politik. Pada tahun 1999 menyelesaikan studi pasca-sarjana (S-2) di Graduate School of Political Science and International Relations di the University of Birmingham, Inggris bidang Security Studies. Pada Pebruari tahun 2011 menuntaskan program doktoral ilmu politik Universitaet Freiburg, Jerman dengan tesis The Indonesian Military Response to Reform during Democratic Transition: A Comparative Analysis of Three Civilian Regimes 1998-2004. Menulis buku antara lain Reformasi Struktur Ekonomi RRC Era Deng Xiao-ping, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1995; Co-penulis dan editor buku Panduan Parlemen Indonesia, Jakarta, Yayasan API, 2001; dan Batas Wilayah dan Situasi Perbatasan Indonesia: Ancaman terhadap Integritas Teritorial, Jakarta: Tiga Putra Utama, 2004. Dapat dihubungi di
[email protected].
204
CV Singkat Penulis
Yuni Sudarwati, S.IP, M.Si, menyelesaikan Program Pasca Sarjana dari Magister Sains Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada jurusan Manajemen pada tahun 2003. Sebelumnya sebagai peneliti Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) pada PT Arah Cipta Guna dan konsultan Good Corporate Governance (GCG) pada Sofyan Djalil and Partners . Terakhir, mengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana. Saat ini, ia adalah calon peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPRRI.
205