MATA KULIAH CIRI UNIVERSITAS (MKCU)
MATA KULIAH ETIKA BERWARGA NEGARA
BAGIAN 2 PANCASILA DAN IMPLEMENTASINYA
Oleh: DADAN ANUGRAH, M.Si.
UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA 2008
1
BAGIAN 2 PANCASILA DAN IMPLEMENTASINYA
I.
PENGANTAR Jika dilihat dari usianya, Panasila sudah memasuki usia 62 tahun lebih.
Apabila diukur berdasarkan usia manusia dapat disimpulkan tua. Demikian Pancasila yang dikukuhkan tangga 1 Juni 1945 telah menjadi pegangan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia. Pancasila bukanlah “agama”, ia hanya tata aturan atau seperangkat nilai yang memandu bangsa Indonesia dalam konteks kenegaraan. Pancasla digali dari nilai-nilai dan budaya luhur bangsa Indonesia dan dikristalisasikan menjadi lima sila/dasar. Dilihat dari sejarah, Pancasila telah selesai, dalam arti tidak perlu diperdebatkan lagi. Namur dari sisi pengamalan Pancasila maíh memerlukan memerlukan “penafsiran” sesuai dengan konteks zaman yang terus berkembang. Acapkali Pancasila ditafsirkan sesuai dengan kepentingan penguasa. Jargon yang menyebutkan pengamalan Pancasila secara murni dan konsekuen seringkali ditafsirkan untuk kepentingan “nafsu” kekuasaan. Betapa banyak perilaku para petinggi/penguasa negeri ini yang “memelintir” Pancasila demi kepentingan diri dan kroninya. Sejarah Orde Lama dan Orde Baru membuktikan bahwa Pancasila seringkali ditafsirkan berdasarkan versi penguasa. Dengan demikian, yang menjadi persoalan pada bangsa ini mengenai Pancasila bukan berada pada ranah nilai Pancasila, melainkan pada ranah pengamalan yang murni dan konsekuen. Cita-cita bangsa Indonesia yang terpatri dalam batir-butir atau sila-sila Pancasila masíh memerlukan aktualisasi yang konkret. Pancasila tidak sekedar menjadi hiasan dinding (ditempel di dindingdinding kantor, rumah dsb), tetapi perlu dimplementasikan dalam setiap detak jantung bangsa Indonesia. Bukankah kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, penindasan, dan perilaku anti-Pancasila lainya masih bergentayangan di negeri ini. Dengan demikian Pancasila letaknya bukan dibibir, bukan juga ditempel menjadi hiasan baju dalam bentuk burung Garuda, tetapi adanya dalam pikiran kita yang menjunjung tinngi nilai-nilai Pancasila, ada di hati yang menjadi motivasi untuk bertindak, dan ada pada anggota badan kita sebagai guide dalam setiap gerak langkah kehidupan. Kita meyakini sepenuhnya, apabila Pancasila
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR - UMB
Dadan Anugrah S.Sos, MSi Pendidikan Kewarganegaraan
2
telah menjadi bagian dari hidup kita maka tak ada lagi berbagai ketidakadilan, penindasan, penghisapan, dan lain-lain. Ayo jadikan Pancasila sebagai nilai yang mewujud dalam setiap tarikan nafas kita.
II. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI Indonesia telah bersepakat, bahwa dalam konteks berbangsa dan bernegara berideologikan Pancasila. Pancasila sebagai ideologi asional megandung nilai-nilai luhur yang digali dari budaya bangsa Indonesia yang didalamnya meliputi cara berpikir dan cara kerja perjuangan. Memahami Pancasila secara utuh memerlukan pendekatan yang integral, artinya Pancasila tidak bisa dipahami sepotong-sepotong melainkan perlu dipahami dalam rentang sejarah yang panjang serta melewati berbagai liku perjuangan. Sebagai dasar negara, Pancasila perlu dipahami dengan latar belakang konstitusi proklamasi atau hukum asar kehidupan bermasayarakt, berbangsa dan bernegara yang telah di “patekan” dalam Pembukaan, baang Tubuh, serta Penjelasan UUD 1945. Karena Pancasila bersifat integral, maka konsekuensinya nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila harus mejadi acuan dalam setiap gerak lagkah bangsa Indionsia. Hal ini meniscayakan bahwa bahwa Pancasila mernjadi landasan dalam pergaulan, landasan dalam hukum, ekonomi, sosial, politik, pertahanan dan kemanan serta sendis-endi kehidupan lainnya. Namun demiian, Pancasila bukanlah ideologi yang tetutup. Pancasila merupakan ideologi yang terbuka yang siap beradapasi denga pekembangan zaman. Di tegah-tegah era gelombang ketiga, di mana informasi sudah tak terbendung lagi, Pancasila tetap mampu menjadi ideologi yang relevan. Pancasila tidak lapuk dimakan waktu, tak lekang dimakan zaman. Persoalan yang seringkali mengemuka mengenai perdebatan Pancasila pada dasarnya tidak terletak pada nilai-nilainya melainkan pada cara memberi maknanya. Pancasila acapkali dijadika alat legitiiasi bai kepentingan kekuasaan sehingga Pancasila sekan-akan menjadi tameng untuk kepentingan sesaat para penguasa. Oleh karena itu, Pancasila sebagai ideologi sudah final, hanya bagaimana cara kita bangsa Indonesia menjalankan “syari”at” Pancasila secara konsekuen.
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR - UMB
Dadan Anugrah S.Sos, MSi Pendidikan Kewarganegaraan
3
III. PANCASILA DAN REFORMASI Pancasila telah mengalami tiga masa ujian, yaitu masa Orde Lama, Orde Baru dan saat ini Orde Reformasi. Ujian terberat Pancasila terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Di mana Pancasila berada “diketiak” penguasa dan dijadikan tameng penguasa untuk melegitimasi apa yang dilakukannya. Reformasi merupaka “fajar baru” yang melepaskan tirani penguasa atas nama Pancasila. Era reformasi menyadarkan bahwa di satu sisi Pancasila telah menyelamatkan bangsa Indonesia dari ancaman disintegrasi selama lebih dari tiga dasawarsa, namun sebaliknya sakralisasi dan penggunaan berlebihan dari ideologi negara dalam format politik Orde Baru juga membuahkan kritik dan protes terhadap Pancasila. Sejarah implementasi Pancasila memang tidak menunjukkan garis lurus, bukan dalam pengertian keabsahan substansialnya, tapi dalam konteks implementasinya. Tantangan terhadap Pancasila sebagai kristalisasi pandangan politik berbangsa dan bernegara bukan hanya berasal dari faktor domestik, tetapi juga internasional. Banyak ideologi-ideologi mancanegara yang turut bertarung di Indonesia. Kini gelombang demokratisasi, hak asasi manusia, neo-liberalisme, serta neo-konservatisme dan globalisme bahkan telah memasuki cara pandang dan cara berpikir masyarakat Indonesia. Hal demikian bisa meminggirkan Pancasila dan bisa menghadirkan sistem nilai dan idealisme baru yang bertentangan dengan kepribadian bangsa. Dalam suasana demikian, bisa saja solidaritas global
menggeser
kesetiaan
nasional.
Internasionalisme
menggeser
nasionalisme. Pada masa Bung Karno, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka.
Pancasila pada saat itu
manjdai sumber kekuatan untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah. Spirit Pancasila dijadikan pemantik semangat “anak bangsa” untuk bangkit melawan penjajah dengan segala keterbatasan. Pada saat itu, bangsa Indonesia tidak
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR - UMB
Dadan Anugrah S.Sos, MSi Pendidikan Kewarganegaraan
4
memiliki peralatan tempur hebat, tetapi memiliki semangat yang membara yang dibalut nilai-nilai anti penjajah. Dalam
mengimplentasikan
Pancasila,
Bung
Karno
melakukan
pemahaman Pancasila dengan paradigma yang disebut USDEK. Untuk memberi arah perjalanan bangsa, beliau menekankan pentingnya memegang teguh UUD 45, sosialisme “ala” Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan kepribadian nasional. Hasil dari ijtihad politik Bung Karno sudah kita ketahui bersama, yakni kudeta PKI dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan, tapi posisi Indonesia tetap dihormati dunia internasional dan integritas wilayah serta semangat kebangsaan dapat ditegakkan. Memang betul pada masa itu bangsa Indonesia berada pada tekanan ekonomi yang hebat, tetapi di lain sisi kita masih tegak berdiri dihormati bangsa lain. Kepemimpinan Sukarno yang kharismatik dan ideologis telah membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain. Pada masa Orde Baru, Jendral Besar Suharto melakukan ijtihad politik dengan melakukan pemahaman Pancasila melalui apa yang disebut dengan P4 (Pedoman
Penghayatan
dan
Pengamalan
Pancasila)
atau
Ekaprasetia
Pancakarsa. Itu tentu saja didasarkan pada pengalaman era sebelumnya dan situasi baru yang dihadapi bangsa. Situasi internasional pada saat itu masih diliputi konflik perang dingin. Situasi politik dan keamanan dalam negeri kacau dan ekonomi hampir bangkrut. Kita dihadapkan pada pilihan yang sulit, memberikan sandang dan pangan kepada rakyat atau mengedepankan kepentingan strategi dan politik di arena internasional seperti yang dilakukan oleh Bung Karno. Dilihat dari konteks zaman, ijtihad politik Suharto tentang Pancasila, diliputi oleh paradigma yang esensinya adalah bagaimana menegakkan stabilitas guna mendukung rehabilitasi dan pembangunan ekonomi. Istilah terkenal pada saat itu adalah stabilitas politik yang dinamis diikuti dengan trilogi pembangunan. Perincian pemahaman Pancasila itu sebagaimana yang kita lihat dalam konsep P4 dengan esensi selaras, serasi dan seimbang. Pada waktu itu, P4 menjadi semacam “resep” untuk memahami Pancasila. Penataran P4 pun seoalh menjadi sesuatu yang “wajib ain” dam diterapkan dari mulai pelajar, mahasiswa, kursuskursus petinggi Negara, calon pegawai negeri sipil (CPNS), dan lain-lain.
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR - UMB
Dadan Anugrah S.Sos, MSi Pendidikan Kewarganegaraan