Babrongko Kebudayaan material, di suatu desa di Danau Sentani,
Papua
Øystein L. And ersen
UNIVERSITAS CENDERAWASIH Jayapura, Papua Indonesia Maret 2006
Pernyataan Tanda Terima Kasih
Saya menerima pelatihan dalam bidang Antropologi di Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua, Indonesia. Saya ingin mengucapkan terima kasih pada para staf dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik berikut ini; Dr. Johsz Mansoben, Naffi Sangenaffa, Mientje Rumbiak dan Ivone Poli. Dan saya ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada Barkis Suraatmadja dan Fredrik Sokoy yang telah selalu membesarkan hati saya dan memberikan saya nasehatnasehat praktis sejak hari pertama saya menjadi mahasiswa di Universitas. Di lapangan (Babrongko) banyak orang yang telah membantu saya dalam hal praktis seperti mengumpulkan informasi. Mereka sepatutnya saya sebutkan yaitu; Ondoafi dari Babrongko (Yeheskiel wally), Zadrak Wamebu, Gerados Wally, Benjamin Melangsena, Ronny Wally, Jo’ko’lo Melangsena, Sapira Wally, Andy Wally, Espek Wally, Davo Wally, Yosina Wally dan Wei Wally. Penelitian saya di lapangan telah selesai pada periode 5-24 Februari 2006 dan merupakan penelitian yang terorganisir dari Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik, Universitas Cenderawasih.
Øystein Lund Andersen Jayapura, Papua Maret 2006
Daftar Isi Foto-foto …..………….………………………………………..............
vi
Kata Pengantar .………………………………………………………..
vii
Peta …………………………………………………………….………..
viii
1.
Tempat Tinggal…………………………………………………..
1
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5
Rumah di Babrongko …………………………………...……….. Balai Adat………………...…………………..……………………. Pondok ...………………………………..………………………… Lokasi penting lain-nya.…………………………...……………… Konstruksi lain-nya………………………………………………..
1 2 3 4 5
2.
Kendaraan di danau………………………...……………………
10
2.1 2.2 2.3 2.4 2.5
Perahu perempuan………………………………….…………….. Perahu laki-laki ………………………………….………………. Dayung Perahu ……………………………………...…………… Membuat sebuah ‘perahu’ ……………….……………………….. Perahu bermotor…………………………...………………………
10 11 12 12 14
3.
Pencarian Makanan……………………..……………………….
17
3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9
Makanan tradisional ……………………………………...…….. Ladang dan perkebunan………………….……………………… Penyimpanan dan penyajian…………………………………….. Pengawetan makanan …………………………………………… Peralatan untuk memancing…………………………………….. Peralatan untuk memelihara binatang…………………………… Peralatan berburu dan perangkap…….. …………………………… Peralatan lain-nya ……………………….………………………. Stimulan ……………………………………………………….
18 20 20 21 22 23 24 25 26
4.
Kebiasaan akan kebersihan...………………………………....
33
4.1 4.2
Sampah……………………………………………………….…. Ilmu kesehatan dan perawatan personal………………………....
33 35
5.
Bebatuan dan manik-manik……………………………………
36
5.1 5.2 5.3
Batu……… ……………………………………………………… Manik-manik ……………………………………………………. Gelang……… …………………………………………………...
37 38 39
Bibliografi…… .........................................................................................
42
Foto-foto Pembuatan kayu ukiran oleh Ondoafi Babrongko..….……………… Bangku tanpa sandaran dari pohon palem.………………………….. Pagar … ……………………………………………………….…... Rumah tradisional Sentani ………………………………………….. Rumah Sentani modern ……...……………………………………… Dapur ……………………………………………………………….. Kamar kecil …………………………………………………………. Lukisan Gua…………………………………………………………. Dayung perahu ……………………………………………………... Perahu laki-laki …………………………………………………….. Perahu perempuan ………………………………………………….. Membuat perahu....………………...………………….…………….. Acara Tarik perahu….……………………………………………… Perahu bermotor di Danau Sentani …………………………….…... Tombak ………………………………………………….……….…. Noken ………………………………………………….….……….. Buah Pinang …………………………………………………….….. Penyimpan kapur ……………………………………………….…. Batang pohon palem sagu yang digiling……………………….…… Biji sagu yang digiling………………………………………….…... Tepung sagu dalam periuk tanah liat………………………………… Papeda ………………………………………………………………. Sarang ayam betina………………………………………………….. Perangkap babi liar ………..……………………………………………. Anak laki-laki dengan tikus tanah…………… ……………………… Batu ‘Höfa yaha’.. …………………………………………………… Manik-manik ………………………………………………………… Gelang ‘Ebha Hawa’ ……….………………………………………… Koleksi barang-barang berharga …….………………………………..
Sampul 5 6 7 7 8 8 9 12 14 15 15 16 16 22 25 26 28 29 29 30 30 31 31 32 37 38 39 41
Kata Pengantar Babrongko terletak di pantai selatan di Danau Sentani, di distrik Ebungfauw. Wilayah Sentani yang lebih luas terletak di sebelah timur laut Indonesia Propinsi Papua . Danau Sentani membentang dari barat ke timur sekitar 30km dan lebar 10km1. Geografi di sekitar danau adalah lereng perbukitan di sebelah selatan, dan jajaran pegunungan Cyclops (Dafonsero) di sebelah utara, yang memisahkan danau dari Samudra Pasifik. Ibukota Propinsi, Jayapura terletak kira-kira 50km di sebelah timur Danau Sentani.
Jumlah total penduduk asli Sentani kira-kira sedikitnya 30.000 orang penduduk, yang tersebar pada lebih dari 30 desa2. Bahasa Sentani digolongkan menjadi 3 dialek yang sedikit berbeda, dialek barat, dialek timur dan dialek central. Hubungan bahasanya adalah ‘Trans-New Guinea phylum’ 3 Masyarakat Sentani dikelilingi oleh: masyarakat Nimboran yang hidup di sebelah bagian barat daya, masyarakat pantai Tanah Merah di barat laut, dan masyarakat Tobati dan Nafri di sebelah timur. Kelima suku ini (termasuk suku Sentani) masing-masing memiliki bahasa sendiri. Fakta bahwa suku-suku ini hidup sangat dekat antara satu dengan yang lain memiliki bahasa sendiri bisa dijelaskan oleh isolasi yang mereka megalami. Wilayah geografi yang terdiri atas bidang hutan tropis yang lebih luas lagi, lebih dari yang ada saat ini, pasti memberikan pengaruh yang besar pada hubungan komunitas-komunitas berskala kecil. Sebagaimana masyarakat yang hidup terpisah dengan kontak yang terbatas, pasti timbul perbedaan dalam bahasa maupun adat. Bila sudah timbul perbedaan, lambat laun komunikasi akan terpengaruh, meski dengan kecurigaan sudah bisa menyebabkan konflik dan perang antar suku sering terjadi pada masa lalu.
Suku Sentani yang tinggal di wilayah Danau Sentani mempunyai adat-istiadat yang telag disesuaikan dalam mengeksploitasi danau dan bahan-bahan disekitar mereka.
1 The way of the objects p.43, Anna Karina Hermkens 2 Pada saat ini jumlah penduduk lebih besar, yang disebabkan oleh transmigrasi dari propinsi2 lain. 3 SIL (Summer Institute of Linguistics) 1996
Akan tetapi kebudayaan lahiriah masyarakat lambat laun akan terpengaruh oleh gaya hidup modern dan bahkan perubahan sudah mulai terjadi, kepercayaan asli pada aspekaspek gaib sudah hampir hilang total, juga termasuk hal-hal yang berhubungan dengan itu. Perubahan-perubahan yang lain juga dapat diamati dimana adat-istiadat tua (dalam penggunaan-nya) tidak lagi berfungsi dan secara lambat laun berangsur hilang atau tergeser oleh penemuan-penemuan baru.
Dalam laporan terulis ini saya akan coba menggambarkan kebudayaan material masayarakat yang tinggal di desa Babrongko. Dengan berfokus kepada obyek-obyek, penemuan, dan kebiasaan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.
Bab 1
Tempat Tinggal 1.1
Rumah di Babrongko.(khogo)
Masyarakat Sentani punya kebiasaan membangun rumah mereka di tepi danau, walaupun demikian, hari ini telah ada masyarakat Sentani yang juga hidup lebih jauh di darat. Ada beberapa sebab mengapa masyarakat Sentani lebih memilih untuk menetap di sepanjang tepi danau. Bagi masyarakat Sentani danau adalah sumber makanan dan minuman. Juga setelah ditemukannya Perahu bila melihat kembali sejarah pasti telah terjadi suatu terobosan di bidang transportasi, perdagangan dan komunikasi. Bahkan sampai hari ini danau masih mempunyai arti penting dengan alasan yang sama.
Babrongko terletak di sebelah selatan Danau Sentani. Rumah berdiri di atas jangkungan yang tertancap di danau; bagian depan rumah berada ditepi danau sedangkan bagian belakang rumah berada diatas air. Jangkungan ditempatkan pada lubang yang telah digali oleh kaum pria, dan lantai, tembok dan atap dibangun diatas jangkungan tersebut. Lantai terbuat dari kayu yang diambil dari ‘Pohon Matoa’ dan tangkai sagu yang telah dikeringkan digunakan sebagai tembok. Untuk atap, baik itu seng atau atap tradisional yang terbuat dari daun sagu masih tetap dipergunakan. Hari ini di Babrongko hanya tersisa 5 rumah tangga yang menggunakan daun sagu sebagai atap rumah mereka.
Rumah biasanya terdiri atas 2-5 kamar, tergantung kepada jumlah anggota keluarga. Anak laki-laki dan perempuan mempuanyai kamar sendiri-sendiri. “Kamar anak perempuan” biasanya terletak paling dekat dengan kamar orang tua. Bila ada tamu berkunjung dan memerlukan akomodasi, anak laki-laki biasa-nya diminta oleh orang tua untuk menginap di rumah teman atau saudara yang ada di desa agar kamar mereka bisa digunakan oleh tamu.
Dapur lebih sering dibangun terpisah, atau diruang bangian belakang rumah. Kamar kecil merupakan struktur yang sangat sederhana meksipun tidak semua rumah memiliki-nya. Bila seseorang tidak memiliki-nya, orang akan pergi ke semak-semak bila perlu. Kamar kecil dibuat baik itu terpisah atau merupakan bagian dari bangunan utama. Bukanlah fasilitas kamar kecil yang sesungguhnya, tapi hanya lubang di lantai.
Rumah bisa dibangun dalam waktu seminggu bila bahan bangunan dan pekerja telah siap sebelumnya, sebagaimana biasa-nya, hubungan timbal-balik (resiprositas) sampai hari ini menjamin akan pertolongan dalam proses membangun rumah
1.2
Balai adat
Balai adat merupakan bangunan paling penting di Babrongko dan terletak di dekat pelabuhan desa. Merupakan bangunan terbuka dengan atap tapi tanpa tembok. Terdapat 12 tiang yang dihubungkan dengan atap dengan corak ukiran yang berbeda-beda.. Rumah dari Ondoafi (orang dengan kedudukan paling tinggi di desa) terletak di belakang ‘balai adat’
‘Balai adat’ dipakai oleh orang desa secara teratur. Seperti pertemuan warga desa atau rapat, biasanya diselenggarakan disana. Juga digunakan sebagai tempat untuk penyelesaian berbagai persetujuan, pembayaran pengantin wanita, ‘pembayaran kepala’, dan penyelesaian berbagai perselisihan. Hari ini rumah adat tidak hanya digunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan adatistiadat saja, tapi juga memberikan tempat bagi tim medis yang secara teratur mengunjungi desa, dan juga sebagai tempat untuk melancarkan doa yang terorganisasi oleh satu dari empat gereja yang ada di Babrongko.4
4
Di Babrongko terdapat 3 orginasi Gerjea yaitu; GKI, Advent, Gereja Bethel
1.3
Pondok
Pondok biasanya didirikan di kebun, perkebunan, maupun hutan. Terdapat bermacam gaya dari pondok-pondok yang dibangun oleh masyarakat Babrongko yang sesuaikan dengan keperluan mereka.
Pondok Sederhana
Pondok ini mudah untuk dibangun dan tidak memerlukan perencanaan untuk membuatnya. Dirikan empat tangkai pohon kecil, mungkin 1,5-2.0 meter diatas tanah. Di bagian atap, tangkai pohon kecil juga digunakan sebagai konstruksi untuk membuat atap dan banyak daun lebar dapat dengan mudah ditemukan untuk kemudian disusun menjadi atap. Pondok sederhana dapat dibangun dalam waktu 20 menit untuk menampung orang desa sebagai tempat bernaung darurat..
Pondok Besar Pembuatan pondok yang lebih besar lebih sering direncakan terlebih dahulu. Pondok ini memiliki daya tampung lebih banyak dibanding pondok sederhana dan dibangun dengan tujuan bisa dipakai dalam jangka waktu yang lama. Bisa dibuat dengan satu atau dua lantai dan menggunakan tembok maupun tidak. Papan biasanya digunakan sebagai bahan untuk membuat lantai (dan tembok), dan untuk atap digunakan daun pohon kelapa/palem sagu atau seng
Pondok dibangun oleh warga desa yang bekerja di ladang maupun perkebunan, dan juga oleh para pemburu untu melewatkan hari-hari mereka selama berburu di hutan. Pondok dapat diakomodasi oleh orang-orang yang mendadak menghadapi cuaca buruk, sebagai tempat makan, santai dan menyimpan barang-barang mereka. Masyarakat juga
sering melewatkan malam-malam mereka di pondok, terutama saat mereka berada jauh dari desa dan/atau sedang mempunyai banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
1.4
Lokasi Penting lain-nya
Gua
Diperbukitan sebelah selatan dekat Babrongko, dapat dijumpai beberapa gua dengan nilai sejarahnya masing-masing. Saya tidak menemukan kepercayaan yang istimewa dalam memandang mereka kecuali sejarah pentingnya. Selama perang dunia kedua, Amerika dan Jepang sering menyerang di wilayah tersebut, dan para orang tua di desa memberitahukan kalau mereka dulu pergi kedalam gua bila merasa terancam. Biasanya digunakan sebagai tempat bernaung. Satu dari gua-gua yang saya kunjungi cukup besar untuk menampung setidaknya 30 orang atau lebih. Didalam gua ini saya menemukan beberapa lukisan didinding-nya. Dua diantara lukisan yang ada menyerupai tentara dengan senapan. Beberapa orang desa mengklaim bahwa lukisan-lukisan tersebut dibuat oleh anak-anak beberapa tahun belakangan ini, meski itu mungkin, walaupun ada juga yang menegaskan lukisan tersebut dibuat selama perang.
Lokasi kematian yang tidak wajar Lokasi yang dikenal masyarakat sebagai tempat kematian yang tidak biasa, seperti lokasi kecelakaan atau tempat dimana pernah terjadi pembunuhan amat ditakuti. Di malam hari orang-orang melalui tempat-tempat ini dengan tenang, katanya jika anda bebicara di tempat tersebut, anda akan dikejar-kejar oleh hantu dari orang yang meninggal di tempat tersebut.Di Babrongko setidaknya saya mendapati dua tempat, tapi mungkin masih lebih banyak lagi. Salah satu tempat adalah lokasi dimana pernah terjadi
pembunuhan terhadap seorang pria. Dan yang satunya adalah lokasi kecelakaan mobil fatal5
Konstruksi lain-nya
1.5
Perabotan
Perabotan seperti kursi, bangku dan meja kebanyakakn dibuat oleh orang kampung. Bisa dibuat dari kayu utuh, dari rotan, atau dari gabungan kedua bahan tersebut. Kedua bahan (kayu dan rotan) sudah tersedia di hutan. Rotan memerlukan perhatian dan perlakuan lebih sebelum bisa digunakan sebagai bahan bangunan. Orang kampung membersihkan duri-duri dan mengeringkannya dengan api terbuka sampai benar-benar kering. Kemudian digosok dengan minyak tanah sampai berwarna putih.
Setelah
ini
rotan
siap
digunakan.
Bangku sederhana bisa dibuat dari batang pohon kelapa, atau pohon yang lain.. Batang
pohon
dipotong
sesuai
ukuran yang diinginkan dan jadilah sebuah “bangku”. Bangku ini bisa dibuat untuk dipakai misalnya di: kebun. Batang pohon kelapa digunakan sebagai bangku
Pagar
Masyarakat Babrongko membuat setidaknya dua macam pagar. Pagar batu digunakan untuk menandai properti dan sering bisa dilihat di depan rumah atau ladang/perkebunan.
Jenis pagar yang lain terbuat dari rotan, bambu maupun papan. Bisa dibuat disekeliling tanaman, pohon maupun kebun kecil untuk mencegah babi dan binatang yang lain merusaknya.
Pagar dibuat untuk melindungi dari binatang pemakan bangkai, misalnya babi jinak
Sebuah rumah tradisional Danau Sentani.
Model mutakhir. Satu dari beberapa rumah modern di tepi danau Sentani.
Didapur, kayu bakar masih digunakan sebagai bahan bakar.
Kamar kecil di Babrongko kebanyakan dibuat terpisah dari rumah..
Lukisan di gua dekat Babrongko. Menyerupai seorang tentara dengan senapan
Bab 2
Kendaraan di Danau Masyarakat Babrongko benar-benar mengandalkan perahu dan perahu motor mereka sebagai sarana transportasi. Sebagaimana diketahui bahwa lokasi desa yang terletak di sebelah selatan Danau Sentani, tidak ada jalan yang dibangun untuk menghubungkan desa dengan Kota Jayapura maupun Sentani. Pelabuhan terdekat yang terhubung dengan jalan ke Sentani/Jayapura adalah Yahim, terletak disebelah utara danau, kira-kira 20 menit dari Babrongko. Transportasi dari/keYahim terjadwal 3-4 kali setiap hari. Beberapa dasawarsa yang lampau perahu tradisional merupakan satu-satunya transportasi di danau, dan benar-benar diandalkan sebagai sarana transportasi dan komunikasi. Secara perlahan kini situasi telah berubah, setelah diperkenalkannya sarana transportasi danau yang baru, meski bagaimanapun juga, perahu masih merupakan sarana transportasi danau yang paling penting.
Dari dulu hingga sekarang, masyarakat Sentani membuat perahu berdasarkan jenis kelamin, masing-masing yaitu Perahu Perempuan dan Perahu Laki-laki.
2.1
Perahu Perempuan (‘Kaji’)
Perahu perempuan secara tradisional hanya digunakan oleh wanita diantara masyarakat Sentani. Perahu itu sendiri biasanya berukuran 4-10meter dan dibuat dari pohon besi ataupun pohon matoa.
Perahu perempuan pada umumnya sedikit lebih besar dibanding perahu laki-laki dan mampu melabuhkan 1-10 orang penumpang, dan pada waktu yang sama memungkinkan kaum perempuan untuk membawa perlengkapan memancing, wadah air, dan bendabenda berat lain-nya.
Wanita menggunakan perahu ini dalam kehidupan sehari-hari, bahkan bisa dianggap sebagai perlengkapan kerja mereka yang paling penting.
Mereka menggunakannya saat mereka menebar/mengangkat jala ikan, mencari kerang, mengambil air bersih dari tengah danau, mengangkut barang, atau kerja ditempat lain. Perahu perempuan dimiliki oleh setiap keluarga di desa, bahkan bisa lebih dari satu tergantung pada tuntutan kerja para wanita di keluarga tersebut. Tiap perahu memiliki motif yang berbeda-beda (ikan, ombak dll), nama, terkadang tanggal pembuatan, diukir diatasnya. Contah nama-nama perahu perempuan antara lain: ‘Nakoro Ya’ yang berarti ‘biarkan aku sendiri’. Satunya lagi adalah ‘Mal Nip’ yang berarti ‘Cara mencapai tempat”
Kini laki-laki juga menggunakan perahu perempuan bila perlu, meski seharusnya wanitalah yang melakukan sebagian besar perjalanan dengan perahu tersebut.
2.2
Perahu laki-laki (ifa)
Perahu laki-laki secara tradisonal sangatlah kecil, hanya bisa memuat satu orang, dan tidak stabil di atas air. Terlalu sempit dimana pemakai tidak duduk diantara sisi-sisi kapal melainkan duduk diatasnya. Terkadang satu kaki dijuntaikan ke air untuk dengan maksud membantu menjaga keseimbangan (kooijman 1959:13)
Sekarang ini di Babrongko saya hanya mendapati 3 perahu laki-laki, itupun hanya satu perahu yang dalam kondisi baik dan layak digunakan untuk melakukan perjalanan di danau. Sebab hilangnya perahu laki-laki adalah berubahnya tren transportasi, terlebih fungsi dan nilai-nya. Kini kaum pria lebih aktif bekerja di daratan daripada di danau, apabila memerlukan sarana transportasi, telah tersedia banyak perahu motor/perahu.
Dahulu, setiap pria memiliki ifa pribadi [perahu laki-laki] dan dibuatkan perahu yang pantas sampai anak laki-laki bisa membuat perahu sendiri (kooijman 1959:13)
2.3
Dayung perahu
Masyarakat Sentani dikenal membuat dua jenis dayung berbeda, dayung untuk wanita (mie reng) dan dayung untuk pria(roh reng). Dayung seringkali dihiasi dengan motif yang berbeda-beda.
2.4
Membuat perahu
Di Babrongko, bila akan dibuat sebuah perahu, yang pertama menjadi pertimbangan adalah ukuran yang diinginkan. Pertimbangan yang mengacu akan kebutuhan keluarga untuk menentukan ukuran dan ketersediaan kayu yang pantas. Lokasi pembuatan perahu tergantung tempat dimana pohon yang cocok akan ditebang. Sejak pohon-pohon besar tidak lagi ada di hutan yang dekat danau, warga desa biasanya menempatkan kayu di hutan besar, 1-4km sebelah selatan Babrongko.
Bila pohon telah ditebang, panjang perahu juga akan dipotong. Pengerjaan pada batang pohon itu sendiri tidak akan dimulai sebelum warga desa percaya bahwa kayu telah siap, dikatakan bahwa kayu membutuhkan “istirahat” 2-4 minggu untuk mencapai kondisi yang tepat agar kayu bisa dibentuk. Pada saat penggalian lubang duduk untuk perahu telah selesai, perahu akan diturunkan dari hutan. Tim pembuat perahu telah diatur sebelumnya oleh pemilik pada hari dimana perahu telah disiapkan untuk diturunkan.
Sebelum meninggalkan hutan, kaum pria mengumpulkan kekuatan dengan makan dan menyanyi. Mereka tidak menerima upah untuk membuat perahu, tapi diberi makanan gratis, rokok dan buah pinang, yang telah disiapkan oleh pemilik. Untuk mengangkut perahu biasanya dilakukan pada pagi hari sebelum matahari tinggi di cakrawala dimana suhu belum terlalu panas. Liana tebal digunakan untuk mengikat perahu dan membuat “tali-tarik” bagi para pria. Penarikan perahu dipicu oleh lagu atau perintah.
Sewaktu menarik perahu, pemuda dan anak laki-laki mengumpulkan tangkai pohon yang mereka temukan disepanjang jalan, dan meletakkannya didepan perahu. Hal ini dilakukan manakala pria yang lain menarik perahu disepanjang lereng. Meletakkan tangkai pohon secara berkesinambungan dan membuat perahu lebih mudah digeser, dan meminjamkan beberapa kekuatan bagi kaum pria. Nyanyian dan humor diantara para pria mengilhami kerja berat meski perahu menjadi berat, baik itu karena sulitnya kondisi tanah atau kekurangan makanan/minuman, istirahat akan lebih sering dilakukan. Keberadaan makanan dan minuman menjamin kaum pria untuk bekerja, apalagi bila perahu ditempatkan jauh dari desa. Pada saat kaum pria sampai di desa, warga desa yang penasaran berkumpul untuk menyaksikan. Makin besar jumlah penonton, akan semakin menarik pula situasi di desa. Perahu dibawa ke tepi danau, dimana biasanya di ikat dibawah permukaan air. Perahu diletakkan ditempat tersebut sampai warga desa percaya bahwa kondisi perahu sudah siap untuk dibuat ukiran Saat perahu dibawa ketepian lagi, sorang pemahat kayu akan mengerjakan sisa pekerjaan termasuk memoles perahu, mengukir nama, dan motif lokal Sentani diatasnya. Sang pemahat biasanya tidak menerima pembayaran berupa uang, tetapi ditambah dengan apapun yang dia perlukan untuk bekerja, termasuk peralatan, makanan dan minuman, dan pinang. Pekerjaan ini secara langsung memperkuat kekerabatan dan hubungan timbal-balik (resiprositas) antara individu yang terlibat khusus dalam pekerjaan dengan keluarga yang menerima perahu baru.
2.5
Perahu motor
Perahu bermotor telah diperkenalkan oleh orang Indonesia belakangan ini. Babrongko memiliki sedikit sampel yang telah dibuat di desa. Pemiliknya adalah orang yang mempunyai posisi tinggi di masyarakat (Ondoafi, Koselo dll.) atau pemilik toko.
Ondoafi Babrongko juga memiliki perahu motornya sendiri yang diberi nama Omandrow. Sebagaimana perahu motor tersebut memiliki motif dan nama yang jelas(Omandrow) yang tertulis pada badan perahu, masyarakat desa di danau akan mengenali dan tahu siapa pemilik perahu.
Perahu laki-laki yang semakin usang. Dalam sejarah, dulu tiap laki-laki memiliki perahu masing-masing. Kini yang berfungsi hanya satu yang tersisa di Babrongko .
Perahu perempuan dengan ukuran yang lebih besar dan digunakan sehari-hari.
Afai Wally dan Peremenas Wally mengerjakan sebuah Perahu perempuan.
Sebuah perahu baru diseret melalui hutan.
Sebuah perahu motor dapat dikemudikan dalam berbagai kondisi cuaca, dan merupakan transportasi antar desa disekitar danau yang paling cepat saat ini.
Bab 3
Berburu Makanan
Masyarakat desa memiliki kebiasaan makan 3 kali dalam sehari; Makan pagi, makan siang, dan makan malam. tetapi praktis warga desa makan disaat ada makanan, dan makan makanan seada-nya. Makan pagi bisa berupa teh maupun kopi, pisang atau buah yang lainnya, dan sisa-sisa makan malam. Apa yang dimakan untuk makanan siang biasanya tergantung pada tempat dimana mereka berada. Kerena banyaj pekerjaan dilakukan diluar desa, makanan dikumpulkan di tempat (dihutan atau di perkebunan), Makan malam lebih mudah ditebak. Untuk makan malam, ikan atau hasil buruan disiang hari biasanya dimakan dengan Papeda (sagu).
Komentar warga desa Babrongko mengenai kebiasaan makan masyakarat lokal:
“Bila tersedia banyak makanan, kami akan makan kapanpun ada kesempatan, bila saat itu ada orang lain yang melintas, kami akan mempersilahkannya untuk ikut makan juga, dan bila tidak ada makanan, kami mesti menyesuaikan dan mencari cara yang lain” 6
Gerados Ondy (75)
6
Wavancara, Gerados Ondy 15/2 2006
3.1
Makanan Tradisional
Makanan tradisional yang kaya akan protein termasuk ikan, atau hewan yang ditangkap dengan jebakan maupun panah atau senapan angin(Tikus hutan, Kanguru Pohon, Kelelawar, Burung Kasuari, rusa liar dan babi hutan) Hampir semua keluarga memelihara binatang. Babi adalah binatang yang paling banyak dipelihara, tetapi ayam, kambing, sapi dan bebek juga ada yang memeliharanya. Makanan tradisional masyarakat Sentani yang kaya karbohidrat adalah buah-buahan, kacang-kacangan (kelapa) dari hutan, pisang, kentang dan sayur-sayuran lain dari kebun. Tepung sagu didapat dari pohon sagu.
Sagu pohon palem dan ekstraksi tepung sagu Sagu adalah karbohidrat utama bagi masyarakat Sentani. Sebagaimana beras bagi orang Jawa dan ubi bagi masyarakat yang tinggal di dataran tinggi di palau New Guinea. Tepung sagu diperoleh dari pohon Sago.
Pohon yang telah masak adalah pohon palem yang telah mencapai batas ketinggiannya dan menghasilkan daun mahkota. Pohon itu biasanya dipotong dengan menggunakan gergaji mesin, meskipun beberapa orang masih menggunakan kapak besi. Saat pohon palem sudah terjatuh sepenuhnya di tanah, Untuk mendapatkan biji-bijian sagu dari pokok pohon palem adalah bagian pekerjaan kaum pria. Bisa dilakukan dengan dua cara. Baik itu dengan memukul atau dengan menggunakan mesin untuk membuat potonganpotongan pohon. Tidak mengejutkan bila lebih cepat dikerjakan dengan mesin daripada memukul-mukul secara manual. Kini masayarakat Babrongko telah memiliki satu mesin tersebut dan menggunakannya sebagai kebutuhan sehari-hari. Dengan menggunakan mesin seorang pria bisa mengumpulkan serat kayu dari 3-5 pohon dalam sehari (tergantung ukuran), dibandingkan dengan 1 pohon dibutuhkan waktu 3 hari bila dengan cara memukul.
Proses berikutnya adalah tugas kaum wanita. Ini merupakan proses dimana tepung sagu akan di ekstrak dari serat kayu. Wanita membuat pagar dari tangkai pohon sagu dan mengikat sepotong kain disisi dalam. Yang akan menjadi tempat dimana sagu akan menumpuk. Disatu sisi struktur ini sepotong tangkai sagu berfungsi sebagai pipa terbuka yang bisa dilalui tepung sagu menuju tempatnya. Diletakkan pula sepotong kain yang lain ditengahtengah tangkai sagu yg berfungsi sebagai pipa untuk menyaring biji-bijian yang kosong, dalam proses pembuatan, sebagaimana wanita menggiling biji sagu pada bagian paling atas pipa. Sebagaimana pekerjaan kaum wanita, tepung sagu akan ditumpuk pada kain dan diletakkan di bawah. Dan di penghujung hari, kantung-kantung besar penuh dengan tepung sagu bisa di bawa ke Babrongko.
Produk dari tepung sagu adalah Papeda, dan kue sagu.
Minyak kelapa
Minyak untuk memasak bisa dibuat dari buah kelapa. Hal ini lebih memakan waktu dan praktis sudah jarang dilakukan. Alasan utama mungkin karena minyak untuk memasak bisa diperoleh dengan mudah dan murah dari kios-kios dan juga untuk membuat minyak kelapa yang memakan waktu lama. Tapi beberapa warga desa kadang-kadang masih membuatnya.
Diperlukan 100 buah kelapa untuk membuat 51 minyak murni. Yang diambil adalah daging putih dari buah kelapa. Diletakkan dipanci memasak yang besar dan campur dengan air. Direbus sampai daging putih buah kelapa lenyap dan menjadi minyak. Dinginkan minyak dan kemudian dimasukkan kedalam botol kosong.
3.2
Ladang dan Perkebunan
Pada dasawarsa-dasawarsa terakhir ini masyarakat Sentani lambat laun sudah mulai secara strategis membuat ladang/kebun yang berbeda yang terdiri atas pepaya, ubi, jagung, kubis, kelapa, kacang-kacangan dan biji coklat. Di Babrongko perkebunan terletak di selatan Babrongko, kira-kira1-4 km dari desa itu sendiri.
Banyak warga desa yang hari ini mulai turut ambil bagian dalam pengerjaan perkebunan Kakao, yang semula dimulai sebagai proyek oleh Badan Pertanian. Hasil panen perkebunan kakao untuk dijual, dan masyarakat Babrongko menjualnya baik itu ke toko-toko di Sentani maupun ke orang-orang di daerah Sekori di sebelah selatan.
3.3
Penyimpanan dan Penyajian.
Penyimpanan makanan yang berbeda seperti sagu, ikan, daging, secara tradisional diletakkan pada tembikar. Tetapi dewasa ini ember plastik juga sudah mulai dipergunakan. Barang tembikar yang ada di Babrongko dan desa-desa lainnya di Sentani asal-muasalnya berasal dari Abor. Desa Abor juga terletak di tepi Danau Sentani dan selama ini telah dikenal sebagai penghasil tembikar.
Periuk tanah liat dan mangkuk dari desa Abor (Hele)
-Periuk besar Periuk yang paling besar digunakn untuk menyimpan tepung sagu. Periuk yang saya lihat di Babrongko memiliki garis tengah sekitar 50cm dan tinggi 50cm juga.
-Periuk kecil/sedang Periuk kecil dan sedang digunakan untuk menyimpan ikan maupun daging. Tapi juga digunakan sebagai mangkuk, yang bisa diisi dengan Papeda dan kemudian digunakan untuk makan.
Piring Kayu (Hote)
Piring kayu berukir Sentani secara luas dikenal oleh para pengumpul (kolektor)kesenian dari New Guinea, dan hari ini diproduksi lebih banyak lagi sebagai karya seni daripada fungsi itu sendiri. Dahulu piring kayu digunakan untuk menghidangkan daging atau ikan yang telah siap untuk dimakan. Hari ini piring telah jarang digunakan; hanya pada pertemuan desa atau pesta dengan tujuan tertentu piring tersebut digunakan lagi.
Piring selalu berukirkan motif Sentani, ukiran kepala ikan atau kura-kura dibagian depan dan motif yang lain dibagian belakang piring. Untuk membuat piring terlihat lebih menarik, piring kayu disepuh dengan cara diasapi dengan api sampai menjadi hitam.
3.4
Pengawetan makanan
Masyarakat Babrongko jarang mengawetkan makanan untuk jangka waktu panjang. Sayuran dan buah-buahan bisa disimpian di dapur untuk beberapa hari tetapi biasanya segera dimasak untuk dimakan secepatnya. Hasil kebun biasanya dijual di Pasar Sentani maupun ditempat lain agar tidak perlu membawa pulang terlalu banyak. Ikan dan daging biasanya diawetkan. Daging diasapi dalam sehari, dan kemudian disiapkan untuk disimpan beberapa minggu, jarang terjadi kalau daging tersebut tidak dimakan dalam waktu lama.
Jika berhasil menangkap ikan besar misalnya, kebanyakan akan dijual di pasar Sentani atau diberikan kepada keluarga maupun tetangga, jarang disimpan untuk jangka waktu lama. Cara mengawetkan dengan mengasapi daging juga dilakukan oleh para pemburu bila mendapatkan binatang buruan besar saat berburu di hutan.
3.5
Perlengkapan untuk memancing
Jaring ikan
Masyarakat desa bisa membeli jaring ikan di toko atau membuatnya sendiri. Nylon adalah bahan utama yang digunakan, dan wanita tahu bagaimana cara untuk membuatnya menjadi jaring ikan yang besar. Semua jaring ikan yang rusak karena pemakaian seharihari bisa diperbaiki oleh kaum wanita.
Jaring seret kecil
Jangan samakan jaring ini dengan jaring seret besar yang sering dipakai oleh kapal dilaut. Jaring seret yang digunakan oleh masyarakat Sentani berukuran kecil dan dipasang melingkar pada kayu yang dibengkokkan. Biasanya digunakan oleh kaum wanita untuk menangkap ikan kecil dari perahu mereka, ditepian dan sungai kecil. Ikan kecil (ikan halus) yang tertangkap dalam jaring diambil hidup-hidup untuk ditempatkan di jaring permanen (lihat bawah) atau dimakan.
Tombak untuk mencari ikan (Kosing)
Tombak juga sering digunakan untuk menangkap ikan disepanjang tepian danau Sentani. Ada bermacam ukuran berkisar dari 20cm sampai 200cm dan sebagian besar terbuat dari bambu. Ujung tombak terbuat dari besi maupun kayu.
Tombak kecil bisa diluncurkan dengan menggunakan kumpulan karet dari atas ke permukaan atau bahkan dari dasar ke permukaan. Melempar di bawah permukaan air sulit, tapi bisa dilakukan dengan latihan yang cukup.
Tombak yang lebih besar dan lebih panjang digunakan terutama untuk mencari ikan di rawa-rawa dimana ikan suka bertelur atau bersembunyi. Pria dewasa dan juga anak muda mencari ikan dengan cara ini.
Jaring ikan permanen
Hari ini kebanyakan dari mereka sudah membuat jaring permanen di luar ataupun dibawah rumah mereka. Ikan, selain menangkap dari danau, juga bisa dibeli dari luar, untuk kemudian ditaruh di jaring. Ikan dipelihara sampai dirasa sudah cukup besar untuk dijual, bisa dimakan oleh keluarga bila berada dimasa sulit. Jala ini sering menjadi tempat untuk membuang sisa makanan.
3.6
Perlengkapan untuk memelihara binatang
Kandang babi
Kandang babi dibuat dengan satu tujuan, yaitu sebagai kandang bilamana suatu keluarga menerima babi untuk dipelihara. Babi yang dipelihara sebelum-nya dilepaskan, dan bebas berkeliaran kapan aja mereka suka. Perbedaan antara babi yang baru datang dengan babi yang telah dipelihara sebelum-nya adalah bahwa babi yang telah dipelihara mengenali tuannya dan tahu dimana tempat mereka. Babi yang baru datang ditempatkan di kandang kecil dan diberi makan dalam jangka waktu sekitar satu minggu sampai babi tidak merasa asing dengan keluarga baru yang memelihara-nya dan juga dengan lingkungan sekitar.
Kandang terbuat dari papan kayu dan terletak diluar rumah.
Kandang Ayam
Kandang dibuat untuk ayam betina. Terbuat dari daun kelapa yang dipilin. Ayam betina dapat menukan jalan sendiri ke kandang dan bertelur disana. Pemilik biasanya mengumpulkan telur di pagi hari.
3.7
Peralatan berburu dan membuat perangkap.
Masyarakat Babrongko sering berburu dan membuat perangkap. Peruburuan acapkali dilakukan di hutan belakang desa. Aktifitas ini hanya dilakukan oleh pria, meski tak semua pria melakukannya. Beberapa pria pergi berburu hanya saat ikan susah ditemukan, dan ada juga pria yang sama sekali tidak pernah pergi berburu.
Berburu Perburuan jarang dilakukan dimalam hari, tetapi antara pagi dan sore. Ada kepercayaan diantara pemburu di Babrongko yang pergi untuk berburu sebaiknya tidak makan makanan istri-nya sebelum pergi. Makanan yang mereka konsumsikan sebelum mereka pergi, mereka buat sendiri agar terhindar dari yang berpotensi membahayakan dan menghindari nasib sial selama perjalanan dalam berburu.
Para pemburu membawa serta busur dan senapan angin. Senapan angin lebih diutamakan, tapi busur juga harus selalu dibawa untuk menangkap binatang buruan yang besar. Berikut adalah binatang yang diburu; burung, tikus hutan, kanguru pohon, kelelawar, burung Kasuari, rusa liar dan babi liar.
Busur tradisional terbuat dari pohon dan rotan.. Anak panah terbuat dari bambu dan besi/kayu lancip sebagai ujungnya.
Membuat perangkap Membuat perangkap juga sering dilakukan oleh kaum pria. Tapi anak-anak muda juga sudah tahu cara membuat perangkap sejak masih kecil, dan sering membawa pulang tikus hutan dan dan burung yang ditangkap di hutan dekat desa. Pria dewasa tidak membuat perangkap kecil, tapi membidik ke binatang buruan yang lebih besar. Perangkap yang disiapkan anak laki-laki dan kaum pria hampir sama macamnya, tapi yang dibuat oleh orang dewasa lebih besar lagi. Perangkap sering kali dipasang disepanjang jalan setapak di hutan. Perangkap biasanya tidak diletak secara acak, tapi di jalan yang sering dilalui binatang, kesempatan untuk menangkap binatang buruan bertambah dengan ketrampilan mengetahui dimana anda harus memasang perangkap. Seorang pemburu yang pintar bisa melihat dan membedakan mana jalur yang dilalui oleh babi, rusa dan tikus hutan.
3.8
Perlengkapan lainnya
Noken
Noken ialah tas dari benang yang biasa digunakan oleh masyarakat Babrongko. Dibuat secara tradisional dari serat salak yang dipilin , tapi sekarang juga dibuat dari benang yg lain. Serat kulit kayu terbuat dari pohon yang seratnya cocok. Saat ini hanya wanita yang terampil yang tahu bagaimana untuk memilin serat bark di Babrongko.Hasil menunjukkan bahwa noken yang ada didesa-desa Sekarang terbuat dari benang modern yang dibeli dari kota.
Noken biasanya dipasangkan dikepala dan tas itu sendiri menempel
Dipunggung orang yang membawa tas. Orang dulu membuat dua jenis tas berbeda, yaitu ‘noken wanita’ dan ‘noken laki-laki’.
Perbedaan keduanya adalah pada ukuran dan kegunaannya. Tas kaum pria biasanya lebih kecil dan digunakan untuk membawa tembakau dan buah pinang. Tas kaum wanita lebih besar dari tas kaum pria, dan mencerminkan bahwa wanita membawa beban lebih berat.. Hari ini adalah para wanita yang menggunakan noken. Yang digunakan untuk membawa pulang hasil panen dari ladang maupun perkebunan.
3.9
Stimulan
Buah Pinang (areca nut) (pe) Oleh para ilmuwan dikategorikan sebagai bahan bernarkotik. Pinang ditemukan di Oceania, Asia Tenggara, dan juga di pulau New guinea ini. Kelompok yang mengunyah pinang cenderung lebih beresiko terjangkit kangker mulut7. Kacang-kacangan dipanen dari Palem Pinang(Areca catechu), baik itu yang ditanam oleh warga desa maupun yang tumbuh liar.
Buah pinang dikunyah dengan pinang rambat (afe) dan kapur (au). Pinang dikumpulkan dari pohon pinang. Kapur dibuat dari kerang-kerangan. Terbagi menjadi dua jenis, Kapur yang terbuat dari kerang laut dan kapur dari kerang danau. Kapur yang terbuat dari kerang danau berwarna putih keabu-abuan Dan kekuatannya tidak terlalu keras. Sedangkan jenis yang terbuat dari kerang laut berwarna putih bersih dan mempunyai efek yang lebih kuat. Masyarakat Babrongko lebih mengutamakan kapur lokal.
7
World health Organization (WHO) Control of oral cancer in development countries Bull world health organ 1984 p.817
Saat mengunyah buah pinang, pinang rambat dimasukkan kedalam kapur untuk kemudian dikunyah bersama buah pinang. Bila telah mengunyah kapur dalam jumlah cukup dengan buah pinang, akan menimbulkan warna merah dan orang tersebut kemudian akan merasa “lemas” (merasa panas) Bila terlalu banyak kapur, atau orang tersebut tidak terbiasa mengunyah buah pinang, orang akan berkeringat dan menjadi pusing. Kapur bisa menciptakan sensasi terbakar pada mulut (bibir), sebagaimana kulit bisa menjadi rusak.
Buah pinang dikunyah oleh hampir semua orang di Babrongko, baik muda maupun tua. Setiap harinya dikunyah dalam jumlah banyak. Kadang juga bisa dijumpai anak-anak yang baru berumur 2-3 sedang mengunyah buah pinang pemberian ibu-nya. Dipercaya bahwa mengunyah buah pinang dapat menguatkan gigi8 dan bisa mencegah timbulnya bau mulut. Dulu bila bertemu dengan orang dari desa lain, atau orang yang tidak yakin dengan status kerabat yang mereka jumpai, buah pinang berfungsi sebagai ‘penerjemah’. Bila telah bertukar buah pinang, sukses bertukar buah pinang adalah sebuah simbol dari rasa hormat dan hubungan baik satu dengan yang lainnya. Bila tawaran tidak mudah diterima berarti ada alasan-alasan tertentu yang mendasarinya. Meski sekarang buah pinang disajikan sebagai pemecah kebuntuan dan sebuah cara untuk membina hubungan.
Cara membuat kapur Kerang (keka) dikumpulkan dari danau. Kulit kelapa dikumpulkan dari pohon sagu dan dijemur dibawah sinar matahari. Bila sudah kering kemudian dipotong-potong tipis dan dan disusun menjadi satu lapisan diatas tanah. Kerang paling kecil diletakkan dibagian paling atas. Diatas lapisan tangkai sagu berikutnya. Semakin banyak jumlah kerang yang dibakar maka semakin banyak pula lapisan yang dibuat. Kerang telah siap untuk dibakar setelah diberi lapisan.
8
Walaupun orang tua yang telah konsumsikan pinang seumur hidup sering mempunyai pasangan gigi yang dalam kondisi yang semakin hitam.
Dibakar dari lapisan yang paling atas yang lambat laun akan menjalar ke lapisan terakhir. Dibakar dari atas dan bukannya dari bawah dikarenakan, karena menurut kaum wanita yang biasa melakukannya, kerang bisa berubah menjadi hitam dan tidak dapat digunakan. Kerang sekali lagi dikumpulkan setelah lapisan berubah menjadi abu dan api telah padam.
Kerang yang telah dibakar kemudian diletakkan didalam panci masak dan kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk. Serbuk dimasak dengan air sampai mendidih dan sampai air habis menguap Jadilah serbuk kapur yang siap digunakan.
Alat menyimpan kapur tradisional Pada masa lalu setiap pengunyah buah pinang memiliki tempat untuk menyimpan kapur. Tempat penyimpanan tradisional sampai saat ini masih digunakan tapi orang-orang sekarang lebih banyak menggunakan kotak atau penyimpanan dari plastik. Media penyimpanan kapur tradisional yang dikenal selama ini terbuat dari batok kelapa (media penyimpan dengan ukuran besar) atau dari kulit buah lain yang lebih kecil. Pada bagian atas tempurung dibuat lubang dan kemudian dikosongkan. Tempurung yang telah dikosongkan kemudian dijemur dibawah sinar matahari sampai benar-benar kering. Sesudah itu biasanya dihiasi dengan ukiran-ukiran atau bahkan lukisan.
Penyimpan kapur dari batok kelapa
Tempat menyimpan kapur. Tongkat
digunakan
untuk
mengambil
kapur
dalam
tempurung
dari
Dari pohon palem menjadi tepung
Potongan dari batang pohon sagu yang sedang digiling.
Tepung sagu dicampur dengan air dan digiling.
Tepung sagu adalah karbohidrat utama bagi masyaraaaakat Sentani.
Papeda adalah produk utama dari tepung sagu.
Kandang ayam diletakkan dibawah atap.
Perangkap tampak sederhana, tapi mampu menangkap babi seberat 20kg.
Seorang bocah bangga dengan tangkapannya, seekor tikus hutan yang tertangkap dengan jebakan .
Bab 4
Perilaku akan kebersihan
Perilaku dalam hal kebersihan amat tergantung dengan bagaimana cara memperoleh air yang bersih. Bila air bersih tersedia, masyarakat akan mendapatkan dasar yang kuat tentang ilmu kesehatan pribadi dan budaya bersih. Babrongko dikelilingi oleh air dan penduduk memiliki persediaan air bersih sepanjang tahun. Masyarakat Sentani memiliki dasar yang bagus, dari dari yang saya ketahui, mereka tidak pernah menjadi korban dari penyakit epidemik. Rendahnya tingkatan populasi dan sedikit pencemaran pasti mendukung kebersihan lingkungan mereka. Tetapi masa kini sedikit banyak orang yang mulai tinggal di tepi danau, ataupun di sekeliling danau, dan sudah mulai terlihat dampaknya.
Di propinsi Papua (terutama diperkotaan) banyak orang membuang sampah sesuka mereka. Di jalan, di hutan, dan di sungai. Tidak ada Sistem pengolahan sampah yang cukup fungsional untuk menanggulangi sampah dalam jumlah besar, kebanyakan dibakar atau dibuang bebas Hal serupa juga sudah mulai bisa ditemui di wilayah Danau Sentani.
4.1
Sampah
Sampah Organik Kotoran organik baik itu dari hewan maupun manusia kini sedang meningkat sebab jumlah populasi juga meningkat. Khususnya babi yang berkeliaran dengan bebas itu yang malah membantu membuang kotoran organik ke danau. Makanan yang dibuang oleh manusia akan dimakan oleh babi, bebek dan ayam sehingga masih masuk akal apabila penduduk membuang makanan sembarangan.
Mayoritas kamar kecil di Babrongko dibangun diatas danau, dan kotoran langsung dibuang ke danau.
Kotoran dan bahan kimia organik Sampah plastik-plastik dan kaleng-kaleng sekarang sudah mulai tampak di tepian danau (dan bahkan mungkin juga sudah berada di dasar danau). Petugas administrasi warga desa Babrongko sendiri juga tidak memiliki cara tegas untuk menangani masalah sampah seperti ini. Terkadang sampah langsung dikumpulkan untuk kemudian dibakar bila sudah mencapai jumlah tertentu. Tapi kebanyakan sampah hanya dibuang dari rumah (kedalam danau) Warga desa mengeluhkan bila ada angin yang berhembus dan menciptakan arus di danau, yang membuat sampah muncul kembali ke tepian. Hal ini kadang membuat warga desa mulai mengumpulkan sampah-sampah tersebut dan kemudian membakarnya
Pembuangan zat kimia mungkin merupakan ancaman terbesar bagi kondisi/kualitas air danau itu sendiri. Pertumbuhan populasi di wilayah Sentani (Kota Sentani) lebih sering membuang sampah ke sungai. Pada beberapa sungai, mobil dibersihkan oleh ‘petugas pembersih mobil’ yang menyebabkan kimia-kimia tumpah ke danau. Juga ada rumor tentang rumah sakit yang baru dibangun didekat danau dan mereka membuang limbah mereka ke sungai.
4.2
Ilmu kesehatan dan perawatan pribadi
Masyaralat Babrongko biasanya mandi dan membersihkan diri mereka di bagian belakang rumah. Sampo dan sabun modern sudah digunakan secara teratur, tapi santan kelapa bisa juga dipakai sebagai pembersih. Warga desa menegaskan bahwa santan kelapa baik untuk kesehatan rambut dan meninggalkan aroma yang lembut.
Untuk membuat “Santan Kelapa”, daging kelapa digiling sampai lembut dan berair dan cara menggunakannya cukup seperti menggunakan sampo biasa.
Air Minum
Air yang dimaksud disini adalah air yang biasa digunakan untuk minum maupun memasak, yang setiap hari diambil di danau oleh masyarakat desa dipedalaman. Ember dibawa serta dengan perahu untuk kemudian dibawa ke dapur. Air di perumahan masyarakat desa saat ini tidak cukup bersih untuk memasak. Kecuali air yang diambil dari tengah danau yang dianggap lebih bersih daripadaair yang berada di tepian, air akan dimasak terlebih dahulu sebelum diminum olah orang desa.
Bab 5
Batu, manik-manik dan gelang
Batu, gelang dan manik-manik yang dibicarakan pada bab ini dianggap mempunyai nilai penting bagi masyarakat Sentani, sebagaimana diperuntukkan masyarakat Babrongko. Dewasa ini batu-batu tersebut tetap berharga, tapi saya menduga bahwa sebagian besar batu-batu tersebut telah dijual kepada para kolektor, museum, dan kadang-kadang dijual ke wisatawan. Karena uang hari ini telah menjadi alat pembayaran yang biasa, fungsi dan nilai batu jadi diragukan. Pada periode penelitian yang saya lakukan, saya sempat mengikuti sedikit kasus yang melibatkan penggunaan bebatuan, manik-manik, dan gelang. Dewasa ini, barang-barang berharga tersebut ditempatkan pada semacam kain9 (kaos kaki sering digunakan untuk menyimpan batu) dan sesudah itu disimpan di peti atau disembunyikan entah mana dikamar tidur sang pemilik. Anak kecil sebaiknya jangan sampai melihat apalagi menyentuh apapun jenis barangbarang yang berharga ini. Bahkan orang dewasa diwajibkan mencuci tangan mereka setelah memegang batu-batu ini. Sebab dipercaya bila orang tidak mencuci tangan mereka setelah memegang batubatu tersebut bisa menjadi sakit (influenza, radang tenggorokan)
Secara tradisional bebatuan tersebut dianggap memiliki kekuatan tertentu yang berhubungan dengan sejarah masing-masing batu. Batu yang telah digunakan untuk penyelesaian pembayaran pembunuhan bisa memiliki kekuatan yang teramat kuat, dan warga desa yang memiliki batu tersebut mengklaim bahwa batu tersebut kadang-kadang mengeluarkan suara.. Barang-barang berharga kuno/sudah tua yang sudah lama berada dalam suatu keluarga dipercaya memiliki kekuatan yang menarik, yang berfungsi memelihara kesejahteraan keluarga. 9
Di masa lalu orang Sentani membungkuskan benda-benda seperti ini dalam daun kelapa kering.
Memiliki bebatuan dalama jumlah banyak merupakan prestise tersendiri. Saat seorang ayah meninggal, nilai dari batu-batu tersebut akan diwariskan ke anak lakilaki tertua.
5.1
Bebatuan (höfa) (Dari kapak batu beliung)
Bebatuan umumnya berwarna hitam kelabu atau hitam kehijau-hijauan denga berbagai ukuran yang berbeda. Mereka dipeercaya berasal dari Ormo, sebuah desa di timur laut Teluk Tanah Merah. Mungkin dikarenakan batu-batu tersebut diperdagangkan di wilayah Tanah Merah semenjak batu-batu tersebut menjadi suatu hal yang biasa disana.
Höfa yaha
Höfa yaha berwarna hitam kehijau-hijauan, dan sample yang saya amati di Babrongko mempunyai panjang 20-40cm. Bebatuan tersebut senilai dengan batu yaha dan digunakan sebagai pembayaran pengantin wanita. Batu tersebut hanya digunakan sebagai alat pembayaran pengantin wanita bila pengantin wanita berasal dari keluarga penting/terpandang. Sebuah tarian istimewa dipersembahkan sebagai bagian dari upacara penerimaan batu. Bila batu ini diajukan sebagai harga pengantin wanita, adat melarang keluarga tersebut menerimanya, dikarenakan kekuatan dari batu-batu pelabuhan.
Höfa Riahahi Riahahi dalam Bahasa Sentani berarti gadis langsung (Ria=gadis, hahi= langsung) , yang menekankan akan nilai batu tersebut. Karakteristik batu ini sama persis dengan höfa yaha tapi keliahatnnya seperti batu höfa riahahi dengan warna yang lebih keabu-abuan.
Höfa Moefoli
Höfa yaha mempunyai warna hitam kehijau-hijauan, sample yang saya amati di Babrongko mempunyai panjang 15-30cm. Batu-batu tersebut secara tetap digunakan sebagai pembayaran pengantin wanita dan penyelesaian pembayaran kepala (sebagai contoh bila ada wanita yang meninggal, keluarga dari suami harus membayar kepada keluarga wanita yang meninggal) Jumlah batu yang dibayarkan dalam ‘harga pengantin wanita’ dan ‘pembayaran kepala’ penyelesaiannya tergantung kepada permintaan keluarga gadis.
5.2
Manik-manik (homboni)
Terdapat manik-manik dengan 3 warna berbeda dan nilai yang berbeda. Biru (nokhom), hijau (hawah) dan kuning (haje). Ukuran manik-manik yang saya amati di Babrongko dengan varian diameter 0.5cm-1cm.
Manik-manik diklaim (kooijman 1959:15) aslinya dari daratan utama Asia. Banyak sesepuh Babrongko menegaskan bahwa manik-manik ini dulunya tumbuh di pohon-pohon istimewa, tapi pohon-pohon ini sudah tidak ditemukan lagi, menurut orang tua di desa. Manik-manik sering ditemukan satu set-nya ada 3, berturut-turut yaitu hijau, biru, dan kuning (hawah, nokhom, haje) Manik-manik ini dimiliki oleh banyak orang dan digunakan untuk pembayaran yang berbeda-beda. Haje malo adalah nama dari jenis manik-manik berwarna kuning yang lebih besar yang biasanya digunakan untuk menyelesaikan berbagai perselisihan10.
10 Not yet observed
5.3
Gelang (ebha)
Warna gelang berkisar dari hijau, biru, dan merah11. Mereka berbentuk bulat dan terbuat dari batu. Sampel yang saya amati di Babrongko (Februari 2006) diameternya berkisar dari 2-6cm.
Ebha Nokhom Gelang ebha nokhom berwarna biru, berkisar dari biru muda sampai biru gelap. Ebha nokhom berarti ‘gelang biru’. Sampel yang saya amati di Babrongko, memiliki diameter 4cm. Saya hanya mengamati tiga dari jenis-jenis batu ini. Gelang digunakan sebagai pembayaran pengantin wanita, sebagaimana pembayaran dari daratan.
Ebha Hawa
Ebha hawa berarti ‘gelang hijau’. Sampel yang saya amati di Babrongko, memiliki diameter 4cm Batu ini sering digunakan sebagai alat pembayaran pengantin wanita. Saat gelang digunakan sebagai sarana pembayaran pengantin wanita, gelang akan mengambil nama gadis yang mengenakannya sebelumnya. Tetapi bila digunakan untuk pembayaran yang lainnya, nama gelang akan dirubah lagi.
Contoh dari Ebha Hawa nama-namanya adalah: Ebha saphira dan Ebha siva
Roh Halau
Roh Halau berarti ‘manusia putih’ Gelang berwarna hijau muda, dan berdiameter 4cm. 11
Though I haven’t observed any red bracelets myself.
Batu-batu ini juga dikenal sebagai alat pembayaran pengantin wanita. Saya hanya bisa menemukan salah satu batu ini di Babrongko (feb 2006)
Höfa Royung
Rohyung dalam Bahasa Sentani berarti ‘kepala manusia’ (roh=manusia, yung= kepala) Batu-batu ini digunakan pada penyelesaian pembunuhan. Satu-satunya gelang höfa royung di Babrongko dimiliki oleh Ondoafi Babrongko, dan batu-batu seperti ini sebaiknya berada di tangan Ondoafi atau Koselo-nya masyarakat Sentani, dikarenakan oleh kekuatan potensial yang dimiliki oleh batu-batu tersebut.
Jika terjadi pembunuhan diantara orang Babrongko, Ondoafi cukup menunjukkan gelang ini di depan umum, dan jenis batu lain-nya dibayarkan oleh keluarga dari orang yang melakukan pembunuhan kepada keluarga korban pembunuhan. Bila terjadi pembunuhan yang melibatkan dua desa, Ondoafi yang mewakili orang yang melakukan pembunuhan harus membayar Ondoafi dari korban di desa satunya, sebuah höfa royung.
Ini adalah koleksi barang-barang berharga Ondoafi Babrongko (feb 06) Kain tampak rapat pada gelang digunakan sebagai pengkungkus untuk menjaga agar barang berharga tidak rusak.
Daftar barang berharga:
1. Höfa Riahahi 2. Ebha Hawa 3. Ebha Hawa 4. Ebha Hawa 5. Roh Halau 6. Höfa Royung 7. Ebha Nokhom 8. Höfa Kimani 9. Höfa Kimani
Bibliografi
Echols, M John 1989 Indonesian-English Dictionary Godchalk, Jan A 1993 Sela Walley, An Etnography of a Mek Society in the Eastern Highlands, Irian Jaya, Indonesia. Goodale, Jane C 1996 The Two-Party line, Conversations in the field Hammersley, 1983 Martyn Ethnography, Principles in Practice Haviland, A William1985 Antropologi Jilid 1&2 Hermkens, Anna Karina The way of the objects. Hoogerbrugge, Jac 1967, Mythe en Ornamen, Sentani. Wamebu, zadrak 2005 Dokumen draft final, rencana pembangunan jangka Menengah kampong Babrongko 2007-2001.