BABI PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Keberadaan lembaga perbankan memiliki kontribusi yang cukup dominan dalam menjaga keberlangsungan roda perekonomian dalam memajukan usaha perbankan peranan nasabah selaku konsumen produk dan jasa bank sangat besar. Dengan semakin banyaknya nasabah yang percaya terhadap sebuah bank maka semakin banyak dana yang dapat dihimpun dari masyarakat. Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, bank berusaha untuk memberikan fasilitas yang baik dalam melayani nasabah, salah satunya dengan menyediakan electronic banking (e-banking). E-banking adalah salah satu pelayanan jasa bank yang memungkinkan nasabah untuk memperoleh informasi, melakukan komunikasi dan melakukan transaksi perbankan melalui jaringan elektronik, dan bukan merupakan bank yang hanya menyelenggarakan layanan perbankan melalui elektronik. E-banking membuka paradigma baru, struktur baru dan strategi yang baru bagi retail bank, dimana bank menghadapi kesempatan dan tantangan yang baru. Perkembangane-banking
membutuhkan
suatu
pengenalan
nilai-nilai
konsumen
untuk
membangun hubungan jangka panjang antara organisasi dengan konsumen di electronic-era. Anjungan Tunai Mandiri selanjutnya disebut ATMmerupakan salah satu produk ebanking.ATM dapat mempermudah nasabah dalam bertransaksi, akan tetapi semakin tingginya perputaranuang lewat ATM tanpa disadari dalam kehidupan sehari-hari muncul berbagai kejahatan.Penggunaan ATM selain memberikan berbagai kemudahan bagi nasabah ternyata dapat menimbulkan masalah bagi pemakainya, misalnya dalam melakukan transaksi penarikan, dan yang diterima nasabah tidak sesuai dengan dana yang didebet dari rekeningnya. Kelemahan 1 ATM yang menjadi targetan kejahatan adalah dengan modus pencurian PIN atau manipulasi
kartu ATM nasabah.1 Pada perkembangannya modus kejahatan yang berkembang sedemikian rupa, kejahatan yang dilakukan pun telah masuk ke dalam sistem perbankan Indonesia. Kejahatan di bidang perbankan, serta dampak dari kejahatan ekonomi di bidang perbankan terhadap perekonomian nasional mengakibatkan timbulnya banyak korban. Korban akibat kejahatan ekonomi di bidang perbankan di antaranya para nasabah penyimpan dana, dan bank yang bersangkutan. Pencurian uang nasabah bank melalui modus penggandaan kartu ATM merupakan salah satu kejahatan teknologi perbankan. Banyaknya fasilitas ATM yang disediakan oleh bank sebagai bentuk kemudahan kepada nasabahnya, disalahgunakan oleh pelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan. Termasuk mencuri data dan mengambil uang yang dimiliki oleh nasabah bank tersebut. Modusnya dengan menempelkan alat yang dinamakan skimmerpada slot untuk memasukan kartu ATM di mesin ATM, alat ini digunakanuntuk mengambil informasi yang terdapat pada magnetik stripe kartu ATM, kartu kredit, ataupun kartu lainnya yang metode penggunaannya sama. Prinsipnya kartu jenis ini menyimpan data di dalam pita magnetik yang kemudian dapat dibaca ulang menggunakan alat yang memiliki perangkat pembaca. Setelah nasabah bank memasukkan kartu ATM-nya ke dalam mesin ATM alat skimmer ini akan melakukan perekaman data yang terdapat pada magnetikkartu ATM, cara kerja teknologi pita magnetik pada kartu pada dasarnya adalah ketika digesek, dikirim, diterjemahkan dan diolah pemroses di sisi pusat untuk memeriksa identitas pemegang kartu, keabsahan dari kartu itu sendiri dan juga keabsahan transaksinya. Pengambilan data yang diperlakukan oleh pelaku kejahatan untuk mencuri uang nasabah melalui ATM pelaku juga menggunakan spy cam atau kamera perekam yang berbentuk kecil yang diselipkan oleh pelaku disekitar ruang dalam
1
Ronny Prasetyo, 2004, Pencurian ATM Tinjauan Hukum Perlindungan Nasabah Kejahatan Perbankan, Prestasi Pustaka, Cet I, Jakarta, h.l
ATM, fungsi spy cam ini untuk merekam nomor pin yang ditekan oleh nasabah ketika menggunakan mesin ATM, setelah itu pelaku memindahkan data yang tercatat pada skimmerke komputer, dan memindahkan data yang dimilikinya tersebut pada magnetik stripe kartu yang baru sehingga hasilnya pelaku memiliki duplikasi kartu ATM yang digunakan korbannya tersebut, kejahatan yang dilakukan para pelaku dengan memanfaatkan para nasabah yang mengambil uang di ATM. Dalam kejahatan pencurian dana nasabah bank melalui penggandaan kartu ATM, tindak kejahatan tersebut dilakukan dengan menggunakan saran dan sistem komputer dan terhadap sistem atau jaringan komputer, yaitu dengan mengambil dataelektronik yang terdapat dalam kartu ATM korbannya dan memindahkan data elektronik tersebut pada pita magnetik kartu ATM yang baru, dengan demikian pelaku dapat dengan leluasa menggunakan kartu ATM tersebut dan mengambil uang korbannya melalui mesin ATM. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pencurian dana nasabah bank melalui modus penggandaan kartu ATM (skimmer) dapat diterapkan Pasal 363 ayat (5)KUHP, pasal tersebut memperluas pengertian kunci palsu dan perintah palsu sehingga kartu ATM yang telah digunakan dalam pencurian tersebut termaksud di dalamnya artinya Pasal 363 ayat (5) KUHP dapat diakomodasi menjadi acuan tindak pidana pencurian dana nasabah bank dengan modus penggandaan kartu ATM (skimmer). Kejahatan pencurian dana melalui alat skimmer adalah kejahatan khusus, melihat dari angka kejahatan yang tejadi yang dilaporkan pada masyarakat terutama korban-korban kejahatan skimmer. Kejahatan-kejahatan khususnya pencurian dana nasabah bank melalui alat skimmer telah menimbulkan aspek-aspek yang negatif kepada bank pada umumunya dan juga pada masyarakat, karena keamanan dan kenyamanan para nasabah dan masyarakat yang menjadi
masalah ataupun kendala dalam kejahatan tindak penurian dana nasabah bank melalui alat skimmer. Dengan melakukan banyaknya evaluasi setiap tahunnya, seperti memperbaiki atau meningkatkan sistem keamanan bank guna menciptakan sistem keamanan yang baik dan bagus, pihak kepolisian dapat lebih baik lagi untuk memecahkan setiap kasus pencurian dana melalui alat skimmer. Dan pihak kepolisian pun dapat lebih mudah untuk menyelidiki serta mencari bukti-bukti yang ada.2
Gambar 1.1 Grafik Statistik Angka Kejahatan Skimmer
14 12 10 8 6 4 2 0
Jumlah Statistik Angka Kejahatan Skimmer (Sumber Cybercrime Ditreskrimus Polda MetroJaya) 2008
2009
2010
2011
2012
2013
*Sumber Ditreskrimus Cybercrine Polda Metro Jaya
2
Data statistik pencurian dana (Skimmer) Cybercrime Polda Metro Jaya
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU No. 11 Tahun 2008) pelaku kejahatan yang menyalahgunakan teknologi perbankan dengan melakukan pencurian dana nasabah bank melalui modus skimmerdapat dijerat dengan Pasal 30 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan /atau sistem elektronik dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan. Pasal 32 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 juga merupakan ketentuan yang dapat diakomodasikan dalam pencurian dana nasabah bank melalui skimmer, pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukantransmisi, merusak, menghilangkan,memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik. Kejahatan perbankan dengan menggunakan teknologi komputer ini telah menyebabkan kerugian besar terhadap banyak pihak, kerugian yang ditimbulkan akibat pencurian dana nasabah bank melalui penggandaan kartu ATM melahirkan akibat hukum, karena hal tersebut mengakibatkan kerugian secara materiil maupun immaterial. Dalam hal ini korban dari pencurian melalui modus skimmermengalami kerugian akibat tindakan pelaku kejahatan yang mencuri informasi personal seperti Personal Identification Number (PIN) dan data elektronik dalam kartu ATM untuk keuntungan dirinya. Kemajuan teknologi komputer, teknologi informasi dan teknologi komunikasi menimbulkan suatu tindak pidana baru yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan tindak pidana konvensional. Penyalahgunaan komputer sebagai salah satu dampak dari ketiga perkembangan tersebut tidak terlepas dari sifatnya yang khas sehingga
membawa persoalan baru yang rumit untuk dipecahkan, berkenaan dengan masalah penanggulangannya. Berbagai kejahatan yang terjadi dengan menggunakan fasilitas perkembangan teknologi khususnya pencurian dana nasabah bank bermacam-macam bentuknya, salah satunya dengan menggunakan modus penggandaan kartu ATM. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan skiripsi yang berjudul “Penerapan Sanksi Terhadap Tindak Pidana Pencurian Dana Nasabah dengan Cara Pembobolan ATM di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar”.
1.2 Rumusan Masalah Dari pemaparan latar belakang di atas timbulah berbagai macam pertanyaan sebagai berikut yang akan diteliti: 1. Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya pencurian uang dengan cara pembobolan ATM di wilayah hukum Pengadilan Negeri Denpasar? 2. Bagaimanakah penerapan sanksi terhadap tindak pidana pencurian uang dengan cara pembobolan ATM di wilayah hukum Pengadilan Negeri Denpasar?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Ruang lingkup penelitian merupakan bingkai penelitian, yang menggambarkan batas penelitian: mempersempit permasalahan dan membatasi area-area penelitian. Agar tidak jauh menyimpang dari materi yang akan dibahas dan adanya batasan-batasan yang akan dibahas, maka ruang lingkup masalah dari penelitian ini meliputi faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya tindak pidana pembobolan ATM serta upaya penanggulangan tindak pidana pembobolan ATM yang terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Denpasar.
1.4 Tujuan Penelitian Dengan bertitik tolak terhadap judul dan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1.4.1
Tujuan Umum Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk pengembangan ilmu hukum,
terlebih lagi dalam dunia perbankan mengenai sistem electronic funds transfer atau transfer uang elektronik dimana dapat menguntungkan kepentingan nasabah karena faktor efektif dan efisiensinya namun disisi lain juga merugikan nasabahnya saat terjadi kejahatan pembobolan ATM.
1.4.2 1.
Tujuan Khusus
Untuk mengetahui dan menganalisis faktor yang menjadi penyebab tindak pidana pencuriandengan cara pembobolan ATM.
2.
Untuk mengetahui dan menganalisis upaya penangulangan tindak pidana pencuriandengan cara pembobolan ATM di wilayah hukum Pengadilan Negeri Denpasar.
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah literatur dalam aspek hukum pidana.
1.5.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bacaan atau menambah ilmu bagi mahasiswa lain, dan dapat digunakan sebagai acuan/pedoman oleh nasabah bank khusunya di dalam menggunakan jasa bank transfer uang elektronik.
1.6 Landasan Teoritis 1.6.1 Teori Penanggulangan Kejahatan Kejahatan yang ada saat ini berkembang mengikuti jamannya, namun tetap saja memiliki modus yang dinilai sama. Untuk itu maka perlu dilakukan penanggulangan dengan cara yang terkini pula mengikuti perkembangan kejahatan tersebut. Dalam pelaksanaannya ada dua upaya yang dilakukan untuk menanggulangi kejahatan, yaitu : 1) Teori Pencegahan (preventif) Teori ini ialah bagaimana mencegah terjadinya atau timbulnya kejahatan yang pertama kali. Sangat beralasan bila upaya preventif diutamakan karena upaya preventif dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa suatu keahlian khusus dan ekonomis 3. Terdapat beberapa cara untuk menanggulangi kejahatan yaitu4 : a) Menyadari bahwa akan adanya kebutuhan untuk mengembangkan dorongan dorongan sosial atau tekanan tekanan sosial dan tekanan ekonomi yang dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang kearah perbuatan jahat. b) Memusatkan perhatian kepada individu-individu yang menunjukkan potensialitas kriminal atau sosial, sekalipun potensialitas tersebut disebabkan gangguan gangguan
3 4
Adam Chazawi, 2011, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT. Raja Grafindo, Jakarta, hal.158. Ninik Waskita, 2012, Kejahatan Dalam Mapenulisrakat, Citra Aditya, Bandung, hal.46.
biologis dan psikologis atau kurang mendapat kesempatan sosial ekonomis yang cukup baik sehingga dapat merupakan suatu kesatuan yang harmonis. Dalam upaya preventif adalah melakukan suatu yang positif dan menciptakan keadaan ekonomi, lingkungan, dan kultur masyarakat yang menjadi suatu daya yang baik ditengah masyarakat. 2) Teori Penanggulangan (represif) Dalam upaya represif ini ialah penanggulangan kejahatan secara konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan dengan maksud menindak pelaku kejahatan serta memperbaiki diri pelaku kejahatan tersebut supaya tidak mengulangi kembali kejahatan yang sudah pernah dilakukan. Teori penanggulangan ini juga dilakukan supaya tidak ada lagi yang mencontoh perbuatan kejahatan karena akan dikenakan sanksi apabila melakukannya.
1.6.2 Teori Penegakan Hukum Pada hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau kaedah – kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas para penegak hukum yang sudah dikenal secara konvensional tetapi menjaditugas dari setiap orang. Meskipun demikian pemerintahlah yang aktif melaksanakannya. J.B.J.M Ten Berge menyebutkan beberapa aspek yang harus diperhatikan atau dipertimbangkan dalam rangka penegakan hukum, yaitu : 1. Suatu peraturan harus sedikit mungkin membiarkan ruang bagi perbedaan interprestasi. 2. Ketentuan perkecualian harus dibatasi secara minimal. 3. Peraturan harus sebanyak mungkin diarahkan pada kenyataan yang secara obyektif dapat ditentukan.
4. Peraturan harus dapat dilaksanakan oleh mereka yang terkena peraturan itu dan mereka yang dibebani dengan tugas penegakan hukum5. Dalam proses penegakan hukum terdapat beberapa unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum, diantaranya : 1. Kepastian Hukum Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenangwenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertantu. Masyarakat mengharap adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. 2. Kemanfaatan Hukum adalah untuk manusia, maka hukum atau penegak hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat, jangan sampai timbul keresahan didalam masyarakat karena pelaksanaan atau penegak hukum. 3. Keadilan Hukum itu tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap anak, bersifat menyamaratakan. Sebaliknya keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan.6
1.6.3 Teori Pemidanaan
5
Abdulrahman, 2009, Perkembangan Peraturan Tentang Pemidanaan Hukum Nasional, Akademika Presindo, hal. 271. 6 Soerjono Sokanto, 2007, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja GrafindoPrasada, Jakarta, hal.8
Teori-teori pemidanaan berhubungan langsung dengan pengertian hukum pidana subjektif. Yakni menerangkan tentang dasar dari hak negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana kepada orang yang melanggar larangan dalam hukum pidana atau hukum pidana objektif. Dalam pelaksanaan hukum pidana subjektif itu berakibat diserangnya hak dan kepentingan hukum pribadi manusia tadi yang justru dilindungi oleh hukum pidana itu sendiri. Misalnya penjahat dijatuhi pidana penjara atau kurungan dan dijalankan, maka hak atau kemerdekaan bergeraknya dirampas. Atau dijatuhi pidana mati kemudian dijalankan, artinya dengan sengaja membunuhnya. Oleh karena itulah hukum pidana objektif dapat disebut hukum sanksi istimewa. Pidana yang diancamkan seperti yang tertera dalam pasal 10 KUHP itu apabila diterapkan akan menyerang kepentingan hukum dan hak pribadi manusia yang sebenarnya dilindungi oleh hukum. Hak menjalankan hukum pidana subjektif ini sangat besar sehingga hanya boleh dimiliki oleh negara. Negara merupakan organisasi sosial tertinggi yang berkewajiban menyelenggarakan dan mempertahankan tata tertib masyarakat. Dalam rangka melaksanakan kewajiban itu, maka wajar bila negara melalui alat-alatnya diberi hak dan kewenangan untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana. Mengenai kepentingan pidana ini perlu dijatuhkan, terdapat berbagai pendapat. Bagi hakim yang bijak, ketika ia akan menarik atau menetapkan amar putusan, ia akan terlebih dahulu mempertimbangkan benar tentang manfaat apa yang akan dicapai dari penjatuhan pidana (jenis dan berat ringannya), baik bagi terdakwa, maupun masyarakat dan negara. Dalam keadaan demikian, teori hukum pidana dapat membantunya. Ketika jaksa hendak membuat tuntutan dan hakim hendak menjatuhkan pidana, seringkali bergantung pada pendirian mereka mengenai teori-teori pemidanaan yang dianut.
Ada berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan ini, namun secara umum dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan, yaitu: 1. Teori Absolut Dasar pijakan teori ini adalah pembalasan. Inilah dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat. Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum yang dilindungi. Maka, ia harus diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan (berupa kejahatan) yang dilakukannya. Setiap kejahatan tidak boleh tidak harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnya, tidak dilihat akibat-akibat yang timbul dari penjatuhan pidana itu, tidak memerhatihan masa depan, baik terhadap penjahat maupun masyarakat. Menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis, tetapi bermaksud satusatunya penderitaan bagi penjahat. Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah, yaitu: 1) Ditujukan pada penjahatnya (sudut subjektif dari pembalasan) 2) Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan masyarakat (sudut objektif dari pembalasan). Ada beberapa macam dasar atau alasan pertimbangan tentang adanya keharusan untuk diadakannya pembalasan itu, yaitu sebagai berikut. 1) Pertimbangan dari sudut Ketuhanan Adanya pandangan dari sudut keagamaan bahwa hukum adalah suatu aturan yang bersumber pada aturan Tuhan yang diturunkan melalui pemerintahan negara sebagai wakil Tuhan di dunia. Oleh karena itu, negara wajib memelihara dan melaksanakan hukum dengan cara setiap pelanggaran terhadap hukum wajib dibalas setimpal dengan
pidana bagi pelanggarnya. Keadilan ketuhanan yang dicantumkan dalam undang-undang duniawi harus dihormati dan barang siapa yang melanggar harus dipidana oleh negara selaku wakil Tuhan dengan sekeras-kerasnya. Pandangan ini dianut oleh Thomas van Aquino, Stahl, dan Rambonet. 2) Pandangan dari sudut etika Pandangan ini berasal dari Immanuel Kant. Menurut rasio, tiap kejahatan itu haruslah diikuti oleh suatu pidana. Menjatuhkan pidana yang sebagai sesuatu yang dituntut oleh keadilan etis merupakan syarat etika. Pemerintahan negara mempunyai hak untuk menjatuhkan pidana dalam rangka memenuhi keharusan yang dituntut oleh etika tersebut. Penjatuhan pidana ini harus dilakukan meskipun tidak ada manfaat bagi masyarakat maupun yang bersangkutan. Teori ini dikenal dengan deethischevergeldings theorie.
3) Pandangan alam pikiran dialektika Pandangan ini berasal dari Hegel. Menurutnya, pidana harus ada sebagai reaksi dari setiap kejahatan. Hukum atau keadilan merupakan suatu kenyataan. Jika seseorang melakukan kejahatan atau penyerangan terhadap keadilan, berarti ia mengingkari kenyataan adanya hukum. Oleh karena itu, harus diikuti oleh suatu pidana berupa ketidakadilan terhadap pelakunya untuk mengembalikan menjadi suatu keadilan atau kembali tegaknya hukum. Teori ini disebut dengan de dialektische vergeldings theorie. 4) Pandangan Aesthetica
Menurut Herbart, pandangan ini berpangkal pada pikiran bahwa apabila kejahatan tidak dibalas, maka akan menimbulkan rasa tidak puas pada masyarakat. Agar kepuasan masyarakat dapat dicapai, maka harus dibalas dengan penjatuhan pidana yang setimpal pada penjahat pelakunya. Setimpal artinya pidana harus dirasakan sebagai penderitaan yang sama berat atau besar dengan penderitaan korban atau masyarakat. 5) Pandangan dari Heymans Pandangan dalam hal pidana yang berupa pembalasan menurut Heymans didasarkan ada niat pelaku. Ia menyatakan bahwa setiap niat yang tidak bertentangan dengan kesusilaan dapat dan layak diberikan kepuasaan, tetapi niat yang bertentangan dengan kesusilaan tidak perlu diberi kepuasan. Tidak diberi kepuasan ini berupa penderitaan yang adil. Segala sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan tidak boleh dicapai orang. Pandangan ini tidak bersifat membalas apa yang telah terjadi, tetapi penderitaan itu lebih bersifat pencegahan (preventif). 6) Pandangan dari Kranenburg Teori ini didasarkan pada asas keseimbangan. Karena ia mengemukakan mengenai pembagian syarat-syarat untuk mendapatkan keuntungan dan kerugian, maka terhadap hukum tiap-tiap anggota masyarakat mempunyai suatu kedudukan yang sederajat. Tetapi, mereka yang sanggup mengadakan syarat istimewa akan juga mendapatkan keuntungan atau kerugian sesuai dengan syarat-syarat yang terlebih dahulu diadakannya. Berdasarkan hal itu, bila seseorang berbuat kejahatan yang berarti ia membuat suatu penderitaan istimewa bagi orang lain, maka sudahlah seimbang bahwa penjahat itu diberi penderitaan istimewa yang besarnya sama dengan penderitaan yang dilakukannya terhadap orang lain.
2. Teori Relatif Teori ini berpangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana adalah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu mempunyai tiga macam sifat, yaitu: 1. Bersifat menakut-nakuti (afschrikking) 2. Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering) 3. Bersifat membinasakan (onschadelijkmaken)
Sementara itu sifat pencegahannya dari teori ini ada dua macam, yaitu: 1) Teori pencegahan umum Di antara teori pencegahan umum ini, teori pidana yang bersifat menakut-nakuti merupakan teori yang paling lama dianut orang. Menurut teori pencegahan umum ini, pidana yang dijatuhkan pada penjahat ditujukan agar orang-orang (umum) menjadi takut untuk berbuat kejahatan. Penjahat yang dijatuhi pidana ini dijadikan contoh oleh masyarakat agar masyarakat tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat itu. Penganut teori ini misalnya seneca (romawi), berpandangan bahwa supaya khalak ramai menjadi takut untuk melakukan kejahatan maka perlu dibuat pidana yang ganas dengan eksekusinya yang kejam dilakukan di muka umum. Penjahat yang dipidana ini dijadikan tontonan orang banyak agar semua orang takut untuk berbuat serupa.
Dalam perkembangannya, teori pencegahan umum dengan eksekusi kejam ini banyak ditentang. Menurut Beccaria, hukum pidana harus diatur dalam suatu kodifikasi dan sistematis agar semua orang bisa tahu perbuatan apa yang diancam pidana. Ia juga meminta pidana mati dan penyiksaan yang kejam diganti dengan pidana yang memerhatikan perikemanusiaan, pidana yang dijatuhkan ini jangan sampai melebihi penderitaan yang diakibatkan oleh perbuatan penjahat itu. Von Feuerbach, yang memperkenalkan teori pencegahan umum yang disebut dengan psychologischezwang, menyatakan bahwa sifat menakut-nakuti dari pidana itu bukan ada penjatuhan pidana inkonkrito, tetapi pada ancaman yang ditulis dalam UU. Ancaman ini harus diketahui khalayak umum dan membuat setiap orang takut melakukan kejahatan. Karena ancaman pidana ini dapat menimbulkan tekanan kejiwaan bagi setiap orang. Namun teori yang paling maju pada masa itu ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain: a. Penjahat yang pernah atau beberapa kali melakukan kejahatan dan menjalani pidana, perasaan takut terhadap ancaman pidana itu menjadi tipis bahkan hilang. b. Ancaman pidana yang ditetapkan terlebih dahulu itu dapat tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. c. Orang-orang atau penjahat yang picik (bodoh) atau juga yang tidak mengetahui perihal ancaman pidana itu, sifat menakut-nakutinya menjadi lemah atau tidak ada sama sekali. Karena kelemahan itulah muncul teori pencegahan umum yang menitikberatkan sifat menakut-nakuti itu tidak pada ancaman pidana dalam UU maupun pada eksekusi yang
kejam, melainkan pada penjatuhan pidana secara konkret oleh hakim pada penjahat. Menurut Muller, dengan tujuan memberi rasa takut pada penjahat tertentu, hakim diperkenankan menjatuhkan pidana yang beratnya melebihi ancaman pidananya agar para penjahat serupa lainnya menjadi terkejut dan menyadari perbuatannya dapat dijatuhi pidana berat dan takut melakukan perbuatan serupa. 2) Teori pencegahan khusus Menurut teori ini, tujuan pidana adalah mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana agar tidak mengulangi perbuatannya dan mencegah orang yang berniat buruk untuk tidak mewujudkan niatnya itu ke dalam bentuk perbuatan nyata. Tujuan itu dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana, yang sifatnya ada tiga macam, yaitu: a. Menakut-nakutinya b. Memperbaikinya c. Membuatnya menjadi tidak berdaya Maksud menakut-nakuti adalah pidana harus dapat memberi rasa takut bagi orang-orang tertentu yang masih ada rasa takut agar ia tidak lagi mengulangi kejahatan yang dilakukannya. Akan tetapi, ada juga orang-orang tertentu yang tidak lagi merasa takut untuk mengulangi kejahatan yang dilakukannya. Pidana yang dijatuhkan terhadap orang-orang seperti ini haruslah bersifat memperbaikinya. Sementara itu, orang-orang yang ternyata tidak dapat lagi diperbaiki, pidana yang dijatuhkan terhadapnya haruslah bersifat membuatnya menjadi tidak berdaya atau bersifat membinasakan. Van Hamel berpandangan bahwa pencegahan umum dan pembalasan tidak boleh dijadikan tujuan dan alasan penjatuhan pidana, tetapi pembalasan itu akan timbul dengan sendirinya sebagai akibat dari pidana dan bukan sebab dari adanya pidana.
3. Teori Gabungan Teori ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat. Dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu: a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan Teori ini didukung oleh Pompe, yang berpandangan bahwa pidana tiada lain adalah pembalasan pada penjahat, tetapi juga bertujuan untuk mempertahankan tata tertib hukum agar kepentingan umum dapat diselamatkan dan terjamin dari kejahatan. Pidana yang besifat pembalasan itu dapat dibenarkan apabila bermanfaat bagi pertahanan tata tertib (hukum) masyarakat. Zevenbergen berpandangan bahwa makna setiap pidana adalah suatu pembalasan, tetapi mempunyai maksud melindungi tata tertib hukum sebab pidana itu adalah mengembalikan dan mempertahankan ketaatan ada hukum dan pemerintahan. Pidana baru dijatuhkan jika memang tidak ada jalan lain untuk mempertahankan tata tertib hukum itu. b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat Menurut Simons, dasar primer pidana adalah pencegahan umum, dasar sekundernya adalah pencegahan khusus. Pidana terutama ditujukan pada pencegahan umum yang terletak pada ancaman pidananya dalam UU. Apabila hal ini tidak cukup kuat dan tidak efektif dalam hal pencegahan umum itu, maka barulah diadakan pencegahan khusus yang terletak dalam hal menakut-nakuti, memperbaiki, dan membuat
tidak berdayanya penjahat. Dalam hal ini perlu diingat bahwa pidana yang dijatuhkan harus sesuai dengan hukum dari masyarakat. Menurut Thomas Aquino, dasar pidana ialah kesejahteraan umum. Untuk adanya pidana, harus ada kesalahan pada pelaku perbuatan, dan kesalahan itu hanya terdapat pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sukarela. Pidana yang dijatuhkan pada orang yang melakukan dengan sukarela inilah bersifat pembalasan. Sifat membalas pidana adalah sifat umum pidana, tetapi bukan tujuan dari pidana sebab tujuan pidana pada hakikatnya adalah perlindungan tata tertib masyarakat.
1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah Empiris. Metode penelitian hukum empiris adalah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam
artian
nyata
dan
meneliti
bagaimana
bekerjanya
hukum
di
lingkungan
masyarakat.Dikarenakan dalam penelitian ini meneliti orang dalam hubungan hidup di masyarakat maka metode penelitian hukum empiris dapat dikatakan sebagai penelitian hukum sosiologis.Dapat dikatakan bahwa penelitian hukum yang diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum atau badan pemerintah.
1.7.2 Sifat Penelitian Penelitian dalam kaitannya dengan penulisan skripsi ini bersifat deskriptif yang akan menggambarkan secara lengkap dan sistematis atas suatu fenomena hukum. Berdasarkan
Pendapat Abdulkadir Muhammad bahwa uraian yang bersifat deskriptif bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu.7
1.7.3 Data dan Sumber Data Sumber data diperoleh melalui: a. Dataprimer, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1988 tentang Perbankan, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana b. Datasekunder, yaitu data yang diperoleh melalui penelitian kepustaanyang berupa buku-buku literatur, pendapat pakar hukum sesuai dengan permasalahan yang dibahas, antar lain bukubuku tentang teknologi elektronika, buku tentang hukum perbankan, buku tentang hukum pidana, buku tentang pedoman penulisan ilmiah hukum. c. Datatersier, yaitu kamus hukum dan kamus besar bahasa Indonesia.
1.7.4 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penulisan skirpsi ini menggunakan studi dokumen yaitu membaca dan mencatat infomasi serta keterangan yang diperoleh dari literaturliteratur yang ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas. Sedangkanuntuk sumber lapangan digunakan teknik wawancara dengan berdasarkan atas pedoman wawancara yang dilakukan dengan pihak bank.
1.7.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian
7
Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandun, h.50
Teknik pengambilan sampel penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah teknik
non-probabilitas
atau
non-probability
sampling
dengan
bentuk
purposive
sampling.Penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu merupakan ciri utama dari populasinya.8
1.7.6 Pengolahan Dan Analisis Data Bahan hukum yang diperoleh dan dikumpulkan tersebut, baik bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang merupakan hasil dari studi kepustakaan dan wawancara. Data tersebut kemudian diolah secara kualitatif. Kemudian mengkualifikasikannya dan mengumpulkan data kerangka penulisan skripsi secara menyeluruh. Selanjutnya data yang dikualifikasikan tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif yaitu dengan cara menggambarkan secara jelas dan sistematis yang kemudian dapat diperoleh suatu kesimpulan dan permasalahan yang dibahas.
8
Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, h.87.