BAB VIII PENUTUP
7.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, interpretasi dan analisis data yang diidentifikasi dilapangan maka dapat disimpulkan. 1. Perilaku oportunisme perumus kebijakan anggaran Provinsi Jawa Timur, dalam penyusunan kebijakan APBD tahun 2013 terjadi pada penetapan target pendapatan, belanja daerah maupun pembiayaan daerah. 2. Perilaku oportunisme perumus kebijakan anggaran Provinsi Jawa Timur dalam penyusunan kebijakan APBD tahun 2013 terjadi pada penetapan target
pendapatan,
belanja
daerah
maupun
pembiayaan
daerah.
Oportunisme terjadi dalam penetapan target pendapatan, belanja pegawai dan belanja barang dan jasa. 3. Oportunisme perumus kebijakan juga terjadi dalam belanja hibah, dimana perumus kebijakan memanfaatkan besarnya anggaran belanja hibah sebagai sarana kampanye untuk mendapatkan dukungan pada pelaksanaan Pilgub dan Pemilu legislatif. Selain itu perumus kebijakan juga mengambil keuntungan ekonomi dalam pelaksanaan belanja hibah dengan melakukan pemotongan anggaran, jual beli kouta anggaran serta duplikasi anggaran. 4. Dalam proses penyusunan kebijakan APBD Provinsi Jawa Timur tahun 2013 terjadi bargaining antara eksekutif dengan legislatif. Dalam proses bargaining ini, terjadi negosiasi dengan model soft negotiation, melalui tiga fase berurutan; pembahasan KUA-PPAS, penyampaian nota keuangan dan RAPBD, serta dalam persetujuan bersama terhadap RAPBD. Sedangkan relasi antara perumus kebijakan anggaran dengan aktor dan institusi non pemerintah, baik partai politik maupun organisasi kemasyarakatan pemuda menunjukkan adanya praktek black market dalam penyusunan kebijakan APBD dengan model kontrak.
165
5. Pelaksanaan kebijakan anggaran Provinsi Jawa Timur menunjukkan adanya praktek spoil system, dimana perumus kebijakan anggaran menggunakan kekuasaannya untuk mengalokasikan anggaran kepada para pendukung politiknya. 6. Oportunisme perumus kebijakan anggaran dalam penyusunan kebijakan APBD Provinsi Jawa Timur tahun 2013 tidak dapat dilepaskan dari adanya kepentingan dan keterlibatan aktor kebijakan anggaran selain pemerintah. Kepentingan dan keterlibatan aktor kebijakan anggaran selain pemerintah ditunjunkkan dengan adanya praktek spoil system dalam penyusunan kebijakan APBD, serta dalam proses pelaksanaannya. Dimana aktor kebijakan anggaran selain pemerintah berkepentingan mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dari anggaran belanja daerah APBD Provinsi Jawa Timur. Karena itu untuk memperjuangkan kepentingan tersebut aktor kebijakan anggaran selain pemerintah akan terlibat dalam keseluruhan proses penyusunan kebijakan APBD dengan melakukan intervensi, bargaining maupun negosiasi kepentingan dengan perumus kebijakan anggaran. 7. Relasi antara perumus kebijakan anggaran dengan aktor kebijakan anggaran selain pemerintah yang membentuk praktek black market dan spoil system dalam penyusunan dan pelaksanaan APBD tidak dapat dilepaskan dengan proses suksesi kepemimpinan politik, baik Pemilu Legislatif, maupun Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dimana pada proses tersebut perumus kebijakan anggaran mutlak membutuhkan dukungan aktor kebijakan anggaran selain pemerintah untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. 8. Berdasarkan pilihan rasional para perumus kebijakan anggaran dapat dipetakan kepentingan perumus kebijakan anggaran, adalah mendapatkan dukungan politik yang luas dari aktor kebijakan anggaran selain pemerintah untuk tujuan mencari dan mempertahankan kekuasaaan. Sedangkan kepentingan aktor kebijakan anggaran selain pemerintah adalah mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dari anggaran belanja
166
APBD untuk tujuan individu dan organisasi. Baik perumus kebijakan anggaran maupun aktor kebijakan anggaran selain pemerintah memiliki keyakinan yang sama, bahwa tindakannya tersebut dapat memnuhi kepentingan dan tujuanya dengan menjadikan APBD sebagai satu-satunya sumber daya. 7.2 Saran Berdasarkan
kesimpulan
tersebut
untuk
mengantisipasi
perilaku
oportunisme perumus kebijakan anggaran dalam penyusunan kebijakan APBD, serta keterlibatan aktor kebijakan anggaran selain pemerintah maka penelitian ini mengajukan beberapa saran, diantaranya: a) Beberapa saran terkait aturan perundangan keuangan daerah: 1) Terkait pemberian tambahan penghasilan kepada pegawai negeri sipil (PNS), Permendagri Nomor 59 tahun 2007, pasal 39 ayat 2 yang berbunyi “.....dan/atau pertimbangan objektif lainnya” telah membuka ruang
munculnya
ketidakpastian,
memunculkan
pertimbangan-
pertimbangan yang tidak rasional, bahkan hanya bagian dari kompromi antara perumus kebijakan anggaran. Karena pada ketentuan sebelumnya, ayat 1a, tambahan penghasilan bagi PNS harus mendapatkan persetujuan DPRD dalam pembahasan KUA. Oleh karena itu, ketentuan ini hendaknya dapat direvisi untuk dapat memberikan kepastian bagi perumus kebijakan anggaran. 2) Terkait belanja hibah yang diatur dalam Permendagri Nomor 59 tahun 2007, pasal 42, ayat 4a, pengalokasian belanja hibah hanya berdasarkan keputusan kepala daerah, kemudian dalam Permendagri nomor 32 tahun 2011, pasal 4 ayat (2) belanja hibah dilakukan setelah memprioritaskan pemenuhan belanja urusan wajib, dimana kata memprioritaskan pada ketentuan tersebut masih memberikan peluang pembelanjaan belanja hibah sebelum belanja urusan wajib ditunaikan. Selain itu dalam pelaksanaannya penggunaan pemberian kouta penyaluran yang dilakukan secara tidak tertulis serta pemberian
167
rekomendasi anggota DPRD kepada penerima hibah harus segera dihentikan. 3) Terkait kesesuaian RKA-SKPD dengan dokumen perencanaan dan anggaran lainnya. Pada pasal 100 Permendagri nomor 59 tahun 2007, evaluasi kesesuaian hanya dilakukan oleh TAPD. Kondisi tersebut dapat membuka ruang terjadi kompromi antara TAPD dan SKPD. Karena itu untuk mengantisipasinya, pasal ini hendaknya mengatur pelibatan auditor eksternal yang independen untuk menjamin kesesuaian RKA-SKPD dengan dokumen perencanaan dan anggaran lainnya, seperti pada gambar berikut. Gambar 8.1 Revisi Proses Penyusunan APBD SKPD
PPKD
TAPD
Kepala Daerah
KUA & PPA
KUA & PPA
KUA & PPA
KUA & PPA
SE Kepda
SE Kepda
SE Kepda
SE Kepda
RKA-SKPD
RKA-SKPD
RKA-SKPD
RKA-SKPD
Auditor Eksternal
RKA-SKPD
RKASKPD/PPKD telah ditelaah
RAPBD
● kebijakan umum APBD ● prioritas dan plafon anggaran sementara ● prakiraan maju yang telah disetujui tahun anggaran sebelumnya ● dokumen perencanaan lainnya ● capaian kinerja ● indikator kinerja ● analisis standar belanja ● standar satuan harga ● standar pelayanan minimal
&
Nota Keuangan Sumber: Hasil Analisis
168
4) Dalam pembahasan RAPBD antara eksekutif dengan legislatif pada pasal 105, baik pada Permendagri nomor 13 tahun 2006 maupun Permendagri nomor 59 tahun 2007, dokumen RKA-SKPD dapat diberikan atau disertakan oleh eksekutif dalam dokumen RAPBD hanya apabila dibutuhkan atau diminta oleh DPRD. Ketentuan ini memjadi problem tersendiri bagi DPRD karena dalam pembahasan RAPBD tidak sedikit SKPD, yang tidak berkenan menyertakan RKASKPD-nya atau menyertakan RKA-SKPD asal-asalan. Sehingga pembahaan RAPBD dan koreksi terhadap rencana kegiatan dan anggaran SKPD oleh DPRD menjadi tidak maksimal. Oleh karena itu aturan ini hendaknya dapat direvisi dengan aturan yang dapat mengikat eksekutif untuk dapat menyertakan RKA-SKPD dalam pembahasan RAPBD bersama DPRD. 5) Terkait partisipasi dan transparansi penyusunan kebijakan APBD. Dalam Permendagri Nomor 13 tahun 2006 terdapat pasal yang mengarah pada akses dokumen anggaran kepada masyarakat namun hal itu masih belum memadai. Pasal 103 yang menegaskan bahwa sebelum diserahkan kepada DPRD, pemerintah daerah melalui sekretaris daerah sebagai ketua TAPD harus terlebih dahulu mensosialisasikan RAPBD kepada masyarakat. Namun dalam ayat 3 terjemahan Sosialisasi RAPBD sebagaimana dimaksud pada ayat 2 bersifat memberikan informasi sebagai hak dan kewajiban pemerintah serta masyarakat dalam pelaksanaan APBD tahun anggaran yang direncanakan. Oleh karena itu untuk menjamin adanya partisipasi yang substansial serta tidak tereduksinya aspirasi masyarakat yang disampaikan melalui forum Musrembang maupun forum-forum reses, maka ketentuan ayat 3 pasal 103 tersebut hendaknya tidak membatasi sosialisasi RAPBD hanya sebagai pemberian informasi kepada masyarakat, namun harus diperluas menjadi forum koreksi masyarakat terhadap dokumen RAPBD.
169
6) Terkait Perubahan APBD. Dalam Permendagri 13/2006 pasal 154 jelas menyebutkan; Perubahan APBD dapat dilakukan apabila terjadi; i) perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA; ii) keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja; iii) keadaan yang menyebabkan saldo anggaran Iebih tahun sebelumnya harus digunakan dalam tahun berjalan; iv) keadaan darurat; dan v) keadaan luar biasa. Namun, dalam realitas pelaksanaan APBD, Perubahan APBD seolah menjadi rutinitas yang selalu dilakukan pemerintah daerah pada awal semester kedua tahun anggaran berjalan. Padahal dalam banyak kasus penyalahgunaaan anggaran seperti praktek spoil system, black market dan penyalahgunaan lainnya terjadi pada Perubahan APBD. Karena itu harus ada revisi peraturan pengelolaan keuangan daerah untuk memperketat aturan dan persyaratan melakukan Perubahan APBD. b) Beberapa saran terkait aturan perundangan Pemilu legislatif dan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah; 1) Pemerintah hendaknya melakukan koreksi dan revisi peraturan Pemilu terutama terkait dana kampanye, mengatur dan memberikan batasan besaran, sumber dan pembelanjaan dana kampanye yang disertai adanya sanksi yang berat atas pelanggaran terhadap peraturanperaturan tersebut, seperti pendiskualifikasian seorang atau pasangan calon. 2) Hendaknya pemerintah mempertimbangkan untuk membiayai Pemilu dari APBN dan APBD, kemudian memfasilitasi kampanye semua calon dalam masa kampanye, melarang seorang dan pasangan calon ataupun tim pemenangannya melakukan kampanye mandiri untuk menghindari pelaksanaan Pemilu berbiaya tinggi.
170