BAB VIII KESIMPULAN
Eskalasi dan siklus banjir yang semakin pendek di Kota Surabaya selama paruh kedua abad ke-20, terjadi karena perubahan dan degradasi lingkungan perkotaan yang masif selama lima puluh tahun terakhir. Dua penyebab ini dikarenakan oleh faktor antropogenik yakni perpaduan antara masalahmasalah sosial, yakni kegagalan pemerintah dalam mengelola lingkungan
perkotaan,
tekanan
penduduk,
dan
tindakan
vandalisme lingkungan oleh sekelompok masyarakat. Kondisi ini semakin diperparah oleh kondisi topografi, dan posisi kota yang berada di pesisir Jawa, serta iklim dan curah hujan. Selama paruh kedua abad ke-20, eskalasi dan siklus banjir yang semakin pendek di Kota Surabaya dapat dibagi dalam dua periode. Pertama, tahun 1951-1976 saat wilayah yang dilanda banjir mulai bertambah, durasi yang lama, tingginya air, serta frekuensi
banjir
yang
menunjukkan
peningkatan
dibanding
dengan tahun-tahun sebelumnya. Kedua, tahun 1977-2000, ketika banjir berubah menjadi “hantu”, seperti ekspresi banyak surat kabar yang terbit dalam periode itu. Berbeda dengan banjir periode pertama yang cenderung masih sporadis, maka dalam 25 tahun terakhir abad ke-20, banjir menjadi ancaman rutin, dan
507
508
lebih merata. Jika dalam periode pertama, jumlah genangan hanya 105 titik, maka dalam periode kedua meningkat menjadi 325 titik atau naik lebih dari 200 persen. Demikian pula dengan ketinggian air, pada periode pertama rata-rata hanya 1 meter meningkat menjadi 1,5 meter dalam periode kedua. Lama genangan dalam periode pertama rata-rata hanya 24 jam, dalam periode kedua mencapai 72 jam, bahkan di beberapa tempat mencapai 1 minggu hingga 4 bulan. Dalam hal frekuensi banjir, dalam periode pertama hanya 1-2 kali dalam setahun, maka dalam periode kedua meningkat menjadi 1-4 kali. Kegagalan pemerintah dalam mengelola lingkungan perkotaan pada awalnya disebabkan oleh kesulitan ekonomi dan tidak stabilnya situasi politik pasca revolusi kemerdekaan. Kesulitan ekonomi dan terjadinya pertentangan politik dalam masyarakat terus berlangsung pada periode berikutnya. Kondisi ini semakin diperparah oleh tindakan kolutif sepanjang Orde Baru antara pemerintah dan pemilik modal yang menggerogoti banyak wilayah yang seharusnya berfungsi sebagai penyeimbang ekologis lahan. Kesulitan ekonomi pada tahun 1950an-1960an berdampak pada terjadinya perubahan struktur demografi di Kota Surabaya. Perubahan itu tidak hanya disebabkan oleh arus balik pengungsi yang sebelumnya mengungsi ke beberapa daerah akibat situasi keamanan yang tidak kondusif pada saat revolusi, tetapi juga oleh
509
para migran yang hendak mencari penghidupan baru di kota. Akibat ketidakmampuan pemerintah dalam mengendalikannya, maka
pertambahan
jumlah
penduduk
ini
menimbulkan berbagai masalah sosial, tetapi penyebab
penting
terjadinya
tekanan
tidak
hanya
juga menjadi
terhadap
kualitas
lingkungan perkotaan. Penurunan kualitas lingkungan ini terjadi karena orang-orang yang tidak mampu, bermukim di wilayah yang tidak
diperuntukkan
sebagai
kawasan
pemukiman.
Mereka
menduduki lahan-lahan drainase kota seperti bantaran sungai, mendirikan rumah di atas saluran dan di kolong jembatan. Keberadaan mereka tidak hanya mempersempit dan merusak bantaran kali, tetapi juga menyebabkan peningkatan produksi sampah.
Drainase
yang
seharusnya
digunakan
untuk
menyalurkan air hujan, justru berubah menjadi bak sampah raksasa. Sampah yang menumpuk di sungai, selokan, dan tersangkut di tiang jembatan mengakibatkan arus air tidak berjalan dengan lancar. Dengan demikian, jika hujan turun, sungai meluap menggenangi perkampungan dan rumah-rumah penduduk yang berada di sekitarnya. Keadaan itu diperparah lagi oleh kontestasi politik yang menyebabkan lemahnya kontrol pemerintah terhadap kawasan drainase kota. Tensi politik yang memanas di tingkat pusat dan pertentangan politik antara kelompok masyarakat yang satu
510
dengan lainnya sepanjang tahun 1950an-1960an, juga menjalar ke Kota Surabaya. Kondisi ini ikut memperparah terjadinya degradasi lingkungan perkotaan. Konflik antara partai politik dan pendukungnya pada tahun 1960an misalnya, mengakibatkan berbagai upaya pembebasan bantaran kali dan kolong jembatan dari bangunan liar tidak berjalan dengan maksimal. Pembentukan Badan Pencegah Bangunan Liar (BPBL) pada tahun 1956, tidak mampu membersihkan bantaran sungai dan kolong jembatan dari bangunan liar. Sebaliknya, pembongkaran bangunan liar pada era walikota
Murachman
(1964-1965)
justru
menjadi
“komoditi
politik”. Akibatnya, jumlah bangunan liar di bantaran kali dan kolong
jembatan
tidak
berkurang,
tetapi
justru
semakin
bertambah. Tindakan kolutif antara pemerintah dan pemilik modal yang menggerus banyak ruang terbuka hijau untuk kepentingan bisnis mengakibatkan perubahan dan degradasi lingkungan semakin masif. Tidak adanya dukungan politik yang serius dan konsisten dari pemerintah ikut memperparah perubahan dan degradasi lingkungan
itu.
Master
Plan
kota
yang
mestinya
menjadi
instrumen untuk menyelesaikan akar persoalan banjir, tidak mampu digunakan secara maksimal oleh pemerintah. Master Plan justru menjadi sarana untuk memutihkan penyimpangan yang terjadi.
Berbagai
kepentingan
tarik-menarik
menggerogoti
511
peruntukan lahan yang telah diatur dalam master plan itu. Ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai area resapan air hujan merupakan kawasan yang paling parah mengalami distorsi. Kenyataan banyaknya ruang terbuka hijau yang berubah menjadi perumahan elit dan pusat industri dan bisnis memperlihatkan ketidakberdayaan pemerintah saat berhadapan dengan kekuatan modal. Bahkan dalam beberapa kasus, pemerintah justru menjadi bagian dari tindakan kolutif itu. Selain karena persoalan politik, masalah ekonomi juga memberi kontribusi penting pada terjadinya perubahan dan degradasi lingkungan yang kemudian mengakibatkan eskalasi banjir di Kota Surabaya. Faktor ekonomi menjadi elemen penting terjadinya banjir, baik dalam tiga dasawarsa pertama maupun dalam dua dasawarsa terakhir pada abad ke-20. Jika pada tahun 1950an-1960an, penyebab ekonomi terjadinya banjir adalah karena kemiskinan, maka pada tahun 1970an-2000 justru karena bangkitnya kembali ekonomi. Dengan kata lain, kebangkitan ekonomi ini justru menjadi monster yang ditandai oleh eskalasi dan siklus banjir yang semakin pendek. Selama masa kebangkitan ekonomi inilah banyak wilayah yang sebelumnya menjadi area resapan air hujan, diubah menjadi kawasan terbangun. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika menjelang akhir abad ke20 semakin banyak kawasan yang dilanda banjir. Fakta ini
512
sekaligus
menunjukkan
bahwa
perubahan
dan
degradasi
lingkungan yang semakin parah tidak hanya disebabkan oleh orang-orang yang tidak mampu bermukim di kawasan pemukiman resmi, tetapi justru oleh mereka yang memiliki uang dan kuasa. Penanganan terhadap degradasi lingkungan semakin sulit dikendalikan
akibat
terbatasnya
anggaran
dan
kemampuan
teknologi. Hal ini tampak dari ketidakmampuan pemerintah dalam merawat, pengendali
menambah, banjir
dan
meningkatkan
peninggalan
Belanda.
kapasitas Selain
itu,
sarana akibat
terbatasnya anggaran dan kemampuan teknologi, maka konversi saluran irigasi menjadi saluran drainase pada kawasan yang semula diperuntukkan untuk pertanian dan pertambakan menjadi kawasan terbangun tidak dapat dilakukan dengan baik. Padahal, antara saluran irigasi dan drainase memiliki prinsip dan tujuan yang saling bertolak belakang. Jika saluran irigasi memiliki prinsip meninggikan air, maka sebaliknya drainase justru mengurangi air. Kondisi itulah yang menyebabkan beberapa wilayah di Surabaya dengan mudah dapat dijumpai permukaan saluran drainase yang lebih tinggi atau rata dengan jalan. Ketidakmampuan pemerintah dalam mengendalikan banjir, tidak hanya berdampak pada kerugian harta benda penduduk dan rusaknya berbagai fasilitas publik, tetapi juga merusak kohesi sosial
dan
melahirkan
patologi
sosial.
Tindakan
perusakan
513
prasarana pengendali banjir oleh sekelompok masyarakat dengan maksud
melindungi
memperlihatkan
daerahnya
rusaknya
dari
sendi-sendi
terjangan
banjir,
bermasyarakat.
Selain
mengakibatkan banyak kawasan yang dilanda banjir, tindakan sekelompok masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan pemerintah
agar
tidak
melakukan
perusakan,
juga
mengindikasikan sikap tidak percaya bahkan pembangkangan masyarakat terhadap institusi pemerintah terutama di tingkat lokal. Institusi pemerintah yang ada di tengah-tengah masyarakat tidak
mampu
menjadi
katalisator
bagi
perilaku
sebagian
masyarakat yang merugikan masyarakat lainnya. Sementara itu, penjebolan tanggul dengan alasan untuk mengairi sawah mereka, menunjukkan adanya masalah sumberdaya air. Masalah ini berkaitan dengan kondisi irigasi untuk pengairan sawah selama Orde Lama yang sangat memprihatinkan. Berbagai upaya pengendalian banjir telah dilakukan oleh pemerintah, tetapi kebijakan dan tindakan pemerintah itu bersifat paradoks, simtomatis, parsial, dan tidak terkoneksi dengan masalah-masalah lingkungan lainnya. Akibatnya, banjir sebagai salah
satu
bencana
hidrometereologi
yang
paling
banyak
menimbulkan kerugian, dari waktu ke waktu justru semakin meningkat. Pemerintah memang hadir dalam sejumlah upaya mitigasi bencana banjir, tetapi ia gagal hadir atau absen dalam
514
mengendalikan akar persoalannya. Pemerintah sudah saatnya meninggalkan upaya penanganan banjir yang berbasis flood control. Normalisasi sungai dan saluran, pengoperasian pompa banjir, dan berbagai upaya lainnya terbukti tidak mampu membebaskan Surabaya dari banjir. Oleh karena itu, upaya pengendalian banjir harus berbasis management control dengan memperhatikan aspek yang menjadi akar persoalannya, yakni perubahan dan degradasi lingkungan perkotaan. Secara historiografis, studi ini menunjukkan pentingnya dilakukan kajian sejarah lingkungan dengan perspektif perubahan dan permasalahan lingkungan dengan fokus di perkotaan. Studi ini juga memperlihatkan bahwa pengendalian banjir yang tidak memperhatikan berbagai aspek lingkungan perkotaan lainnya, menyebabkan banjir dari waktu ke waktu menjadi ancaman rutin, merata, dan lebih merusak. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika hingga tahun 2016 ini, banjir masih terus terjadi.