BAB VII KESIMPULAN Sepanjang tahun 1950-an sampai dengan dekade pertama abad ke21, ketika usaha batik nasional berada dalam kondisi fluktuatif dan di daerah lain mengalami kemunduran, usaha batik di Kota Pekalongan dapat bertahan secara terus-menerus di tengah krisis
sebagai kegiatan
ekonomi utama masyarakat. Daya tahan usaha batik di Kota Pekalongan karena adanya dua hal penting. Pertama, adanya kebijakan
ekonomi
pemerintah yang kondusif bagi penduduk pribumi. Kedua, adanya modal sosio kultural yang produktif di dalam masyarakat yang mampu melakukan inovasi ekonomis, teknologis, dan artistik ketika terjadi keadaan yang tidak mendukung perkembangan usaha batik untuk terus menjadikan batik sebagai sumber ekonomi utama masyarakat. Kebijakan
pribuminisasi
yang
diterapkan
pemerintah
Presiden
Soekarno dari tahun 1950-an hingga akhir tahun 1960-an sangat kondusif bagi usaha batik. Pada awal tahun 1950-an, ketika kondisi ekonomi batik tidak menggembirakan
karena
sulit memperoleh bahan baku mori,
kebijakan distribusi mori melalui koperasi GKBI dan PPIP
mampu
mendorong batik Pekalongan menjadi komoditas perdagangan paling besar dalam pasar batik nasional. Kebijakan itu telah membawa kemakmuran di lingkungan pengusaha pribumi. Ketika kebijakan pemerintah Orde Baru pada periode tahun 1970-an hingga 1980-an kurang mendukung pengembangan usaha batik karena
312
lebih berpihak kepada pengusaha besar nasional, pengusaha batik dan pembatik Sejak
merespon dengan meningkatkan inovasi dan kreativitasnya.
tahun 1980-an, batik sutera dikembangkan sebagai respon atas
mundurnya batik tulis, sementara itu maraknya produk tekstil motif batik dimanfaatkan untuk mengembangkan industri konveksi.
Sebagai respon
atas menurunnya minat masyarakat untuk menekuni usaha batik, pada awal tahun 1980-an masyarakat Kota Pekalongan menggiatkan usaha revitalisasi. Kelompok masyarakat yang aktif dalam usaha revitalisasi itu adalah
para
pembatik,
pengusaha
batik,
pencinta
batik,
instansi
pemerintah terkait, dan lembaga swasta. Pembuat canthing dan cap juga berperan dalam revitalisasi pembuatan alat batik. Revitalisasi telah berhasil menggairahkan
kembali
usaha
batik.
Dengan
demikian,
kebijakan
pemerintah yang kurang menggembirakan itu justru melahirkan potensi ekonomi untuk memperkuat daya tahan usaha batik. Modal sosio kultural menjadi faktor pendukung penting bagi daya tahan usaha batik di Kota Pekalongan. Kreativitas dan inovasi yang dimiliki masyarakat
Kota
Pekalongan
untuk
mengembangkan
usaha
batik,
melahirkan produk-produk baru yang memperkaya motif dan jenis batik Pekalongan. Kreativitas dan inovasi masyarakat batik di Kota Pekalongan memiliki ciri lebih sebagai kreativitas ekonomi dari pada kreativitas budaya. Pengembangan produk yang artistik sebagai bentuk kreativitas budaya dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan potensi ekonomi batik. Kreativitas ekonomi juga tampil dalam pengembangan sistem dan strategi pemasaran yang menggunakan cara-cara yang lebih efektif dan efisien
313
untuk memperluas penguasaan pasar. Upaya ini dilakukan oleh pedagangpedagang batik dan perantara dalam perdagangan batik. Hasilnya, pasar batik Pekalongan meluas di kota-kota besar dan kecil di seluruh Indonesia serta
lahirnya
Pekalongan.
pasar-pasar
grosir
dan
sentra-sentra
batik
di
Kota
Kreativitas dan inovasi itu telah menghasilkan batik sebagai
pusat atau sumber kegiatan ekonomi, sehingga melahirkan potensi-potensi yang semakin memperkuat ekonomi masyarakat. Adapun kreativitas teknologi tampak pada pengembangan proses produksi dan sistem pemasaran. Kreativitas teknologi pada proses produksi batik adalah ditemukannya teknik printing yang menghasilkan tekstil motif batik yang dapat dibuat menyamai kualitas batik tulis dan berbau malam seperti halnya
batik asli.
Walapun inovasi teknologi pada satu sisi
menimbulkan kemunduran batik tulis, tetapi tetap tidak mati bahkan mampu mengalami peningkatan lagi. Kehadiran teknik printing pada tahun 1970-an
justru
menyemarakkan
ekonomi
masyarakat,
karena
batik
tradisional maupun tekstil motif batik memiliki pangsa pasar sendirisendiri. Pemasaran produk-produk batik itu juga didukung oleh kreativitas teknologi
pada
sistem
pemasaran
melalui
pemanfaatan
teknologi
komunikasi. Masyarakat
batik
di
Kota
Pekalongan
selalu
dinamis
dalam
menghadapi perubahan-perubahan politik, ekonomi, dan selera pasar. Krisis akibat perubahan-perubahan itu direspon secara kritis dan kreatif dengan mencari peluang agar menjadi
semakin memperkuat usaha batik. Batik
sumber ide untuk melakukan kegiatan ekonomi. Munculnya
314
berbagai macam krisis dan tantangan,
justru berdampak positif bagi
eksistensi batik. Tantangan yang muncul ditanggapi sebagai peluang untuk lebih mengembangkan usaha. Krisis pada tahun 1970-an hingga 1980-an telah menyebabkan berkembangnya batik sutera dan industri konveksi, sedangkan krisis tahun 1997/1998 melahirkan diversifikasi penggunaan bahan untuk membatik. Masyarakat Kota Pekalongan memiliki sifat terbuka dan adaptif yang mendorong masyarakat mudah mengadopsi pengaruh-pengaruh dari luar sebagai kesempatan dan peluang untuk mengembangkan usaha batik. Para pembatik,
perancang
batik,
dan
pengusaha
batik
berperan
dalam
pembuatan motif batik yang memadukan antara budaya lokal dan budaya asing sehingga menghasilkan ciri khas batik Pekalongan yang merupakan perpaduan dari berbagai budaya. Oleh karena itu, batik Pekalongan dapat diterima oleh masyarakat luas, baik dari dalam maupun luar negeri. Sifat adaptif melapangkan usaha-usaha untuk mengembangkan kerjasama dan pemasaran
dengan
berbagai
bangsa
dan
suku
bangsa,
sehingga
mengantarkan batik Pekalongan mendunia. Dengan demikian, usaha batik di
Kota
Pekalongan
tidak
hanya
mampu
bertahan,
tetapi
mampu
berkembang semakin maju. Ketika
terjadi
kemerosotan
usaha
batik,
daerah-daerah
pusat
produksi batik menghadapi kesulitan dalam mempertahankan usahanya, sehingga usaha batik tidak berlanjut. Usaha batik sebagai usaha keluarga berada dalam kondisi labil dan cenderung hancur, sehingga banyak ditinggalkan. Keadaan ini tidak terjadi di Kota Pekalongan, karena
proses
315
sosialisasi dan regenerasi usaha batik berlangsung cukup efektif dalam lingkungan keluarga untuk mempertahankan usaha batik sebagai usaha keluarga. Keluarga merupakan unit sosial dan ekonomi untuk melakukan transformasi keahlian teknis dan ketrampilan mengelola sebuah usaha guna memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Anak-anak sejak dini telah dibentuk dalam lingkungan organisasi bisnis batik dan ketrampilan membatik yang berkembang di lingkungan keluarga pengusaha batik, pedagang batik, dan pembatik. Bertahannya unit usaha batik sampai pada generasi berikutnya karena terdapat pola pewarisan usaha kepada salah seorang anak atau beberapa anak. Proses transformasi dan regenerasi
ketrampilan teknis dan managemen itu
membentuk pola kegiatan sehari-hari, sehingga menjadi kebudayaan masyarakat Pekalongan. Keberhasilan regenerasi tradisi membatik di Kota Pekalongan juga didukung oleh faktor lingkungan keluarga dan lingkungan sosial. Jadi, transformasi dan regenerasi ini menjadi salah satu faktor modal sosial yang penting dalam mempertahankan usaha batik. Perkembangan usaha batik sejak tahun 1950-an hingga dekade pertama abad ke-21 dapat dibagi dalam tiga periode besar. Pertama, periode pribuminisasi usaha batik dari tahun 1950-an hingga 1970-an yang ditandai dengan menguatnya ekonomi pengusaha pribumi dan munculnya orang kaya baru di kalangan pengusaha batik. Kedua, periode tahun 1970an hingga 1980-an yang ditandai dengan munculnya batik sutera dan produk konveksi batik di tengah kemerosotan usaha batik sebagai akibat dari maraknya produk tekstil motif batik dan keterpurukan usaha batik
316
tradisional. Ketiga, periode proses menuju pada menguatnya usaha batik sejak pertengahan tahun 1980-an hingga dekade pertama abad ke-21 yang ditandai dengan menguatnya sentimen budaya batik. Sepanjang periode tahun 1950-an hingga dekade pertama abad ke21, usaha batik di Kota Pekalongan mengalami perubahan-perubahan secara struktural. Pertama, sebelum periode tahun 1970-an hingga 1980an, di Kota Pekalongan hanya dikenal batik tulis dan batik cap. Kemudian terjadi perkembangan teknologi yang mengakibatkan perubahan proses produksi secara massal dengan menggunakan alat dan teknologi modern. Lahirlah industri modern dan semi modern yang menghasilkan tekstil motif batik.
Tekstil motif batik mendorong tumbuhnya industri konveksi.
Fenomena baru itu menyebabkan terjadinya perubahan secara struktural dalam proses produksi, kepemilikan usaha, ketenagakerjaan, spesialisasi kerja, dan diversifikasi kerja. Tekstil motif batik telah mengubah fungsi batik. Batik tidak hanya digunakan sebagai busana, tetapi untuk juga berfungsi untuk interior dan berbagai alat rumah tangga. Kedua, terdapat perubahan dalam kepemilikan usaha batik. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan UndangUndang Penanaman Modal Dalam Negeri, usaha batik dimiliki oleh sebagian besar masyarakat karena jenis batik yang diusahakan adalah batik tulis dan batik cap. Akan tetapi, sejak tahun 1972 ketika kedua undang-undang itu telah diberlakukan, terdapat pergeseran peranan kelembagaan dan kepemilikan usaha batik. Peranan koperasi batik GKBI dan PPIP dalam penyediaan bahan mori
digantikan oleh pabrik-pabrik
317
tekstil, sedangkan di bidang keuangan digeser oleh
bank. Dalam hal
kepemilikan usaha batik, sebagian besar produsen batik
tetap dipegang
oleh pengusaha pribumi, tetapi dalam skala kecil dan menengah. Sebagian kecil produsen batik skala besar dimiliki oleh pengusaha pribumi. Pengusaha
Cina
menguasai
pabrik-pabrik
batik
skala
besar
dan
pemasarannya. Jadi, kepemilikan usaha batik dipegang oleh sekelompok kecil masyarakat, sedangkan kelompok-kelompok lain sebagai tenaga kerja. Akan tetapi, karena tenaga kerja ini memiliki ketrampilan maka upah yang mereka terima tetap mampu memberikan
kontribusi bagi ekonomi
masyarakat. Ketiga, terdapat perubahan dalam sistem pemasaran. Sebelum terjadi krisis yang mengakibatkan kemerosotan usaha batik pada periode tahun 1970-an hingga 1980-an, pemasaran dilakukan oleh kelompok pedagang batik. Batik diproduksi untuk dijual di pasar tradisional, dibeli oleh pedagang,
dan
diekspor.
Akibat
terjadinya
beberapa
krisis
yang
mempengaruhi pemasaran batik, asosiasi pengusaha batik dan pemerintah daerah memegang peranan sebagai perantara dalam pemasaran batik. Dilakukan pula kerjasama perdagangan dengan berbagai daerah serta pembukaan pasar-pasar batik di luar kota dan di Kota Pekalongan. Dapat disimpulkan, bahwa usaha batik di Kota Pekalongan sepanjang tahun 1950-an hingga dekade pertama abad ke-21 bersifat fluktuatif, namun memiliki daya tahan dalam menghadapi berbagai krisis, dan memberikan kontribusi bagi ekonomi masyarakat.