BAB VI Sustainable development dan Implikasinya dalam Pembangunan Hutan di Indonesia Pokok Bahasan a. Konsep Sustainable Development Proses kolonialisasi dari negara-negara barat kepada negara-negara dunia ke-3 selama berabad-abad selalu menyebabkan rakyat di negara terjajah kehilangan hak dan kesempatan menikmati sumber daya alam yang mereka miliki. Pada awalnya, penjajahan dilakukan secara fisik dengan menguras kekayaan alam dan tenaga manusia di negara terjajah, namun dalam perkembangannya kolonialisasi berubah bentuknya menjadi adanya penetrasi teknologi dan ilmu pengetahuan yang menyebabkan negara-negara dunia ke-3 tetap terpinggirkan dan dirugikan. Salah satu bentuk dominasi negara barat tersebut adalah keberhasilan mereka menjadikan modernisasi sebagai sebuah ide dasar dalam pembangunan yang harus dilaksanakan oleh negara dunia ke-3 guna memperoleh kemajuan sebagaiaman yang telah diraih oleh negara-negara barat. Industrialisasi sebagai ciri utama dari abad modernisasi telah melahirkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan. Namun demikian, pembangunan dengan label ini masih menyisakan kemiskinan di berbagai negara yang oleh mereka dianggap sebagai negara berkembang. Perbedaan antara si kaya dan si miskin juga semakin tajam serta beberapa masyarakat pinggiran tetap kehilangan hak dan kemerdekaan untuk memperoleh manfaat secara lebih adil dari pembangunan. Jika dilihat dari aspek lingkungan, kemajuan yang berhasil dicapai secara ekonomis dari pembangunan telah melahirkan berbagai dampak lingkungan yang berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia, antara lain adalah : pemanasan global, hilangnya biodiversitas, erosi dan tanah longsor, penipisan lapisan ozon serta polusi udara dan air. Fenomena di atas sebenarnya merupakan konsekuensi dari perubahan pemahaman manusia dalam melihat jagat raya ini, yaitu dari konsep alam semesta (nature) menjadi lingkungan (environment). Dalam konsep alam semesta, manusia akan tunduk pada hukum-hukum alam atau logika-logika ekologi dan manusia hanya participant saja (ekosentris). Namun ketika konsep itu berubah menjadi lingkungan, maka manusia dianggap mampu menjaga jarak dengan alam dan bahkan manusia mampu mengatur dan mengendalikan alam (teknosentris). Dari sinilah kemudian muncul berbagai upaya manusia
1
dalam menciptakan teknologi guna memanfaatkan dan mengelola lingkungan tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka. Konsep sustainable development (pembangunan berkelanjutan) merupakan sebuah perspektif baru dalam melihat apa dan bagaimana pembangunan. Perspektif ini muncul berawal dari adanya kegelisahan terhadap apa yang telah dilakukan manusia terhadap alam guna mencapai kemajuan (progress) sebagai cita-cita pembangunan. Berbagai bentuk eksploitasi manusia terhadap sumber daya alam menunjukkan bahwa adanya fenomena over-exploitation yang menyebabkan alam tidak mampu untuk melakukan recovery agar tetap mampu memberikan kemanfaatan bagi perikehidupan manusia. Ketika alam dimanfaatkan melebihi kemampuannya, maka sistem ekologi beserta ekosistem di dalamnya akan menjadi tidak seimbang lagi dan dapat menyebabkan berbagai macam bencana yang dapat membahayakan umat manusia. Jika kondisi tersebut terus berlanjut, maka dikhawatirkan proses pembangunan itu sendiri akan terancam gagal atau terhenti karena kehilangan salah satu pilar pendukungnya, yaitu sumber daya alam. Degradasi potensi dan kualitas sumber daya alam yang semakin memprihatinkan akan menjadi pemicu berbagai macam bencana alam yang dapat menghambat proses pembangunan. Disamping itu keberlanjutan manfaat dan daya dukung lingkungan terhadap kehidupan manusia di masa yang akan datang juga akan terancam. Beberapa hal inilah yang juga mendorong munculnya konsep sustainable development sebagai sebuah aliran pemikiran baru dalam teori-teori pembangunan Konsep ini mulai mengemuka pada tahun 1980-an sebagai upaya untuk mencari kompromi antara pembangunan dan kelestarian lingkungan. Ada lebih dari 70 definisi dari sustainable development, dan yang paling sering digunakan adalah definisi dari Brundtland (WCED, 1987). The Brundtland Comission mendefinisikan konsep sustainable development sebagai sebuah proses perubahan dimana kegiatan eksploitasi sumber daya alam, investasi, penggunaan teknologi dan perubahan institusi yang ada selalu konsisten dalam memperhatikan kebutuhan generasi yang akan datang sebagaimana perhatiannya pada kebutuhan generasi saat ini (WCED, 1987, p.9) dalam (Banerjee, 1999). Dalam upaya melakukan pendefinisian terhadap makna sustainable development, Gladwin et all. (1995) dalam Banerjee (1999) melakukan identifikasi berbagai aspek yang terkandung dalam konsep tersebut, antara lain : inclusiveness (pengkompromian antara kepentingan ekologi, ekonomi, politik, teknologi dan sistem sosial), connectivity
2
(membuat link yang jelas dan saling mendukung antara tujuan sosial politik, ekonomi dan lingkungan, equity (pendistribusian manfaat sember daya alam dan hak kelola kekayaan secara adil), prudence (penjaminan kelangsungan daya dukung dan kapasitas lingkunagan), dan security (upaya mencapai kehidupan yang aman, sehat dan berkualitas). Logika awal yang dibangun dalam konsep sustainable development masih menggunakan logika modernis yaitu bahwa manusia mampu mencapai kemajuan (ekonomi) dengan salah satunya melalui upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang ada. Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah bagaimana lingkungan tersebut dapat selalu memberikan dukungan dan manfaat bagi manusia secara terus menerus. Jadi dalam konteks pembangunan, perspektif ini mengandung konsep intergenerational justice, yang bermakna bahwa setiap kegiatan pembangunan yang dilakukan harus dapat memberikan kemanfaatan secara adil bagi generasi saat ini dan yang akan datang. Selain upaya untuk mendesain ulang pasar dan proses produksi guna disesuaikan dengan logika alam semesta, sustainable development juga menggunakan logika pasar dan akumulasi kapital untuk melakukan prediksi terhadap kondisi alam di masa yang akan datang (Shiva, 1991). Istilah kapital (modal) seringkali muncul dalam wacana sustainable development. Sebagai contoh adalah bahwa Pearce et al., (1989), menyatakan bahwa kestabilan dari jumlah stok kapital dari alam merupakan konsidi yang sangat penting dalam mencapai kelestarian. Lebih lanjut Pearce et al. (1989) menyatakan bahwa perubahan stok dari sumber daya alam tidak boleh menurun dan pemanfaatan manusia terhadap stok alam ini (guna akumulasi modal dalam bentuk lain) tidak boleh mengorbankan stok modal dari alam tersebut. Jadi pertumbuhan dan kesejahteraan harus dicapai tanpa menyebabkan degradasi sumber daya alam (Banerjee, 1999). Dalam beberapa definisi di atas terkandung maksud bahwa dalam pembangunan harus selalu dikompromikan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan serta harus selalu berupaya untuk mencapai keadilan sosial melalui upaya pendistribusian hasil yang merata. Jadi pada intinya konsep ini berusaha untuk mencapai kemajuan melalui proses pembangunan berupa pertumbuhan ekonomi melalui pemanfaatan sumberdaya alam tanpa menimbulkan penurunan potensi sumber daya tersebut dan tetap memperhatikan kebutuhan generasi yang akan datang. Perdebatan yang kemudian muncul adalah dalam menentukan indikator dari sebuah pemanfaatan sumber daya alam dikatakan lestari dan
3
dalam hal bagaimana mempredikasi siapakah generasi mendatang dan apa kebutuhan mereka di masa mendatang. Menurut Rene Dubos (dalam Hettne, 2001), hal yang paling penting dalam pembangunan adalah simbiosis antara manusia dengan alam, sebuah simbiosis yang menghindari pertumbuhan mania dan ekologisme. Mengganggu keseimbangan ekologis tidak selalu mebahayakan karena gangguan semacam ini menjadi bagian perubahan ekologis yang selama ini dan sepenuhnya merupakan proses alam. Akan tetapi perubahan ekologis tertentu bisa mengurangi produktifitas sistem ekologis secara signifikan dan menimbulkan kerusakan ekologis yang tidak dapat diperbaiki. Harus ada kesepakatan untuk menghindari perubahan semacam ini. Intinya adalah harus ada kesadaran yang lebih besar mengenai implikasi ekologis dalam strategi pembangunan alternatif, sebelum terjadi kerusakan.
b. Praktek dan Implikasi Sustainable Development Agenda utama dari pemikiran sustainable development antara lain adalah usaha agar pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan bisa dicapai secara bersamaan tanpa saling meniadakan. Namun apa yang ada dalam Perjanjian Internasional Rio dan Kyoto menunjukan bahwa pertimbangan aspek lingkungan bukan sesuatu yang diutamakan ketika terjadi kontradiksi dengan kepentingan negara dalam melaksanakan pembangunan. Dengan kata lain jika ada kontradiksi antara kepentingan ekonomi dan lingkungan, maka aspek ekonomi lebih diutamakan. Oleh karena itu wacana sustainable development berusaha untuk memberikan perhatian lebih pada dampak kerusakan lingkungan akibat usaha peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut. Konsep ini sebenarnya tidak menolak indikator-indikator kemajuan ekonomi seperti GNP dan GDP, namun ia memasukkan tambahan variabel berupa pencegahan polusi, pengelolaan lingkungan, pengawasan dan pengaturan produk dalam menentukan kebijakan pembangunan yang dipilih. Dalam beberapa literatur politik lingkungan, kita sering mendengar istilah internalisasi eksternalitas dalam setiap pemanfaatan sumberdaya alam. Misalnya dalam proses industri di pabrik, nilai kerugian akibat limbah yang dihasilkan harus dimasukkan dalam agenda perubahan dalam setiap tahapan proses produksi, agar resiko yang ditimbulkan dapat diminimalisir atau dicegah sejak dini.
4
Dalam prakteknya memang tidak mudah untuk mengkompromikan kepentingan ekonomi dan lingkungan. Mesti ada satu sisi yang harus dipentingkan, karena dalam banyak kasus keduanya selalu dalam posisi konfrontasi atau kontradiksi. Yang kemudian terjadi adalah beberapa indikator kelestarian lingkungan yang dibuat cenderung dikemas semata-mata untuk memenuhi kepentingan ekonomi. Misalnya dalam menghitung stok sumber daya alam dan prediksi stok dimasa yang akan datang. Secara ekonomis dan matematis ini sangat mudah dilakukan. Namun perhitungan mengenai penurunan daya dukung alam atau lingkungan terhadap kehidupan manusia dan hilangnya kemanfaatan lain akibat pemanfaatan sumber daya tersebut sangat sulit dihitung dan sering dilupakan. Misalnya di kehutanan, untuk menghitung stok kayu yang ada di hutan dan memprediksi hasil kayu yang bisa dijual di masa yang akan datang sangat mudah dilakukan dengan perhitungan matematis, namun untuk memprediksi nilai atau angka manfaat hutan dalam menjaga kebersihan udara, mencegah erosi dan banjir, serta sebagai habitat berbagai flora dan fauna sangat sulit dan jarang dilakukan. Sehingga penurunan kemanfatan lain tersebut akan selalu terjadi dan tidak pernah diantisipasi. Kemudian jika ditelaah lebih lanjut, dalam berbagai kasus perspektif ini masih menggunakan alur pemikiran dari negara-negara maju, yang sarat dengan kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri. Ketika mereka menetapkan indikator mengenai pertumbuhan ekonomi, kerusakan lingkungan dan lainnya, pertimbangan-pertimbangan ini belum bisa menyentuh persoalan lingkungan yang muncul di berbagai negara berkembang. Selain itu keberadaan budaya dan pengetahuan lokal tetap tidak mendapatkan tempat dalam konsep ini. Pahan environmentalism yang mereka usung selalu memberikan dampak negatif terutama bagi petani dan rakyat kecil sebagaimana kegiatan pembangunan lainnya dalam bingkai modernisasi. Gerakan penyelamatan lingkungan yang mereka bawa masih membawa tradisi memarjinalkan budaya atau tata aturan masyarakat lokal. Dampak lingkungan yang berusaha dicegah adalah dampak global yang langsung mereka (negara maju) rasakan, namun mereka tidak memperhatikan dampak lingkungan lokal yang diderita oleh setiap negara berkembang. Industrialisasi di negara berekmbang digenjot dalam rangka memenuhi standar ekonomi dari bank dunia dan dibalik itu juga untuk mendukung kemajuan dan keuntungan negara maju. Namun kerusakan lingkungan akibat industrialisasi tersebut harus ditanggung oleh negara berkembang.
5
Sebagai contoh kasus adalah ketika terjadi kerusakan lingkungan misalnya polusi air dan tanah akibat penggunaan bahan kimia sebagai pupuk ataupun pembasmi hama, dalam hal ini selalu petani lokal yang disalahkan. Dunia tidak pernah menyalahkan pembuat pupuk kimia tersebut yang ternyata dapat mencemari lingkungan apabila dimanfaatkan. Mereka tetap mendapat keuntungan dari penjualan produk kimia tersebut, namun tidak menderita polusi akibat penggunaan produk tersebut. Kemudian kasus di sektor kehutanan misalnya, negara maju selalu mengkampanyekan untuk membangun hutan monokultur dengan jenis-jenis tanaman industri agar mereka mendapat pasokan bahan baku industri dalam jumlah yang cukup (Hutan Tanaman Industri). Padahal hutan model ini (dengan tingkat biodiversitas rendah) sangat rentan terhadap bencana lingkungan, seperti serangan hama dan wabah penyakit, erosi dan tanah longsor. Jika bencana itu benar-benar terjadi, maka yang harus menanggung akibatnya adalah masyarakat di negara berkembang. Dalam perkembangan dan aplikasi dari pemikiran ini, ada banyak perdebatan dan perbedaan dalam mengartikan dan mempraktekkan konsep ini tergantung pada sisi mana yang lebih ditonjolkan, apakah pertimbangan ekonomi atau lingkungan. Dalam kenyataannya kedua aspek ini sulit untuk dikompromikan, sehingga pemikiran ini masih meninggalkan permasalahan pelik yang sulit untuk dipecahkan. Yang menjadi kekhawatiran dari umat manusia adalah jika ada sebuah skema pembangunan yang sebenarnya lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi, namun dibungkus oleh skemaskema kegiatan yang seolah-olah pro-lingkungan, yang hal ini akan menyebabkan banyak manusia yang tertipu, sehingga ketika kegiatan tersebut dilaksanakan hanya akan menambah kerusakan alam semesta ini. Inilah yang perlu diwaspadai dan bisa jadi hal-hal seperti ini kelak akan menjadi wajah baru kolonialisasi dari negara maju untuk tetap memenuhi ambisi mereka menguasai negara dunia ketiga. Kedepan, konsep sustainable development harus lebih komprehensif dalam melihat siapa yang harus diuntungkan dalam pembangunan dan dampak negatif apa yang harus dicegah dari padanya. Konsep ini tidak boleh bersifat teknosentris, namun harus bersifat ekosentris dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan budaya lokal. Kalau memang dia mengusung aspek partisipasi, maka skema pemberdayaan masyarakat lokal harus ada. Beberapa gerakan sosial dan lingkungan dari masyarakat lokal harus diperhatikan dan didukung untuk melawan domonasi-dominasi negara maju dalam bingkai
6
modernisasi. Kebijakan lokal yang muncul nantinya harus didukung sepenuhnya dari aspek ekonomi dan politik negara yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan permasalahan ekonomi dan lingkungan yang dirasakan oleh setiap negara tidak sama, dan indikatorindikator global yang dibuat oleh negara-negara maju harus diganti dengan indikator lokal yang lebih mengakomodir kepentingan masyarakat lokal. Lebih lanjut Hettne (2001) menjelaskan bahwa dalam banyak hal, pendekatan ini merupakan tantangan terhadap paradigma modernisasi yang jauh lebih radikal dibandingkan perspektif ketergantungan. Menurut pandangan ini, tidak ada model untuk ditiru. Negara terbelakang hendaknya jangan mencari citra masa depannya pada negara maju, tetapi dalam ekologi dan kebudayaannya sendiri. Pembangunan tidak memiliki makna universal. Strategi pembangunan menurut perspektif ini harus secara efisien memanfaatkan sumber daya yang ada dikawasan tersebut dengan cara memelihara sistem ekologis dalam usaha memenuhi kebutuhan pokok penduduknya. Pembangunan berwawasan ekologi memerlukan strategi pembangunan yang sangat berbeda dengan strategi konvensional dengan unsur universal berupa modal, tenaga kerja, investasi, dll. Stategi pembangunan berwawasan lingkungan sebaliknya, terdiri atas unsurunsur yang spesifik kelompok masyarakat tertentu, dengan nilai budaya tertentu yang hidup dalam kawasan tertentu, dengan sumber daya tertentu pula. Oleh karena itu tujuan strategi pembangunan berwawasan ekologi adalah memperbaiki dan mengimbangkan situasi spesifik tersebut, bukan menciptakan pembangunan dalam pengertian GNP atau abstraksi lainnya. Hasil Pembelajaran (1) Mampu memahami dan menjelaskan konsep sustainable development (2)Mampu menjelaskan dan memberikan contoh kasus tentang implikasi konsep dan prinsip sustainable development dalam kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia
Aktifitas (1) Membaca bahan ajar sebelum kuliah, (2) Membaca bahan bacaan/pustaka yang relevan (3) Diskusi dan menjawab kuis
Kuis dan latihan - Jelaskan pengaruh konsep dan pemikiran sustainable development terhadap kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia serta berikan contoh kasusnya ! 7
DAFTAR PUSTAKA
Al Hardallu A. 2003. Environmental Governance. Dept. of Political Science. University of Khartoum. Sudan Aliadi A, Kaswinto, Rusyana N, Suporahardjo, Muslih, Isnaini N & Rosita. 2006. Promoting Good Forest Governance Practice in Indonesia. Lembaga Alam Tropika Indonesia. Amal I. 2002. Pembaruan Tata Pemerintahan Daerah Otonom dalam Pengintegrasian Pilar-pilar Good Governance. Prosumen dan Forkoma MAP. UGM. Yogyakarta. Anderson J. 2000. Four Considerations for Decentralized Forest Management: Subsidiarity, Empowerment, Pluralism and Social Capital. Dalam Enters T, Durst PB & Victor M (eds). 2000. Decentralization and Devolution of Forest Management in Asia and The Pacific. FAO & RECOFTC Report 18 & RAP Publication / I. Bangkok. Thailand. Anonim. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jakarta. Anonim. 2011. Peran Serta Swasta dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi. Prosiding Workshop. Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta Anwar WK. 2002. Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Hutan. BP Arupa. Yogyakarta. Apter D.E. 1996. Pengantar Analisa Politik. PT Pustaka LP3ES Jakarta. Indonesia Awang SA, Widayanti WT, Himmah B, Astuti A, Septiana RM, Solehudin & Novenanto A. 2008. Pemberdayaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan. Pusat Kajian Hutan Rakyat. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta . Banerjee, S.B. 2003. Who Sustains Whose Development? Sustainable Development and the
Reinvention
of
Nature.
SAGE
Publications,
London.
http://www.colby.edu/personal/t/thtieten/susdevgen.html. Agustus 2007. Barr C.M., 1998, Bob Hasan, The Rise of Apkindo, Bahan Bacaan Seminar Ekonomi Politik, Program Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik, UGM, Yogyakarta Berger G. 2003. Reflections on Governance; Power Relations and Policy Making in Regional Sustainable Development. Journal of Environmental Policy & Planning Vol 5, No. 3, ICCR Austria.
8
Bruhl, T. and Simonis, U.E. 2001. World Ecology and Global Environmental Governance. Science Center Berlin D-10785, Jerman. http://skylla.wz-berlin.de/pdf/2001/ii01402.pdf. Juli 2008. Burnham P., dkk., 2004, Research Methods in Politics, Palgrave Macmillan, New York Cohen JM & Uphoff NT. 1980. Participationns Place in Rural Development: Seeking Clarity through Specifity. World Development. Vol. 8. Cunningham F., 2001, Theories of Democracy, Routledge, London & New York Dwiyanto A., dkk., 2006, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Erawan I.K.P., dkk, 2007, Handout Mata Kuliah Teori Perilaku Politik, Sekolah Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik, UGM, Yogyakarta Escobar A., 1995, Encountering Development (Making and Unmaking of Third World), Princetown University Press, Princetown, New Jersey. Fakih M., 2006, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta Fattah A. 2000. Konservasi di Hutan Produksi Bagi Pengelolaan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan. Prosiding Seminar nasional keharusan Konservasi di Hutan Produksi. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Forrester G., 2002, Indonesia Pasca Soeharto, Tajidu Press, Yogyakarta Gaffar A. 2006. Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Gulo, W., 2002, Metodologi Penelitian, PT Gramedia, Jakarta Handadhari, T. 1999. Membenahi Manajemen Pengusahaan Hutan. Di dalam : Prosiding Seminar
Menempatkan
Kembali
Ilmu Kehutanan
dalam Pembangunan
Kehutanan Masa Depan, Reuni Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta, 3-4 Desember 1999. Hlm.75-80. Hettne, B. 2001. Teori Pembangunan dan Tiga Dunia. PT Gramedia, Jakarta. 526hlm. Humphreys, D. 1996. Forest Politics. Earthscan Publication Ltd., London. 299hlm. Jessop B. 1998. The Rise of Governance and The Risk of Failure. Blackwell Publishers. United Kingdom.
9
Jordan A, Wurzel RK & Zito AR. 2003. New Instruments of Environmental Governance; Patterns and Pathways of Change. Economic and Social Research Council’s. UNDP. Khakim A. 2005. Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia dalam Era Otonomi Daerah. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Kooiman J. 1993. Modern Governance. London: Sage. Lay C., dkk., 2007, Handout Mata Kuliah SeminarPolitik Lokal, Program Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik, UGM, Yogyakarta Marsh D. & Stoker G., 1995. Theory and Methods in Political Science. Macmillan Press Ltd. London Maryudi A. 2009. Forest Matters. Germany Mas'oed M., 2003, Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Mas´oed M., 2003, Negara, Kapital dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Morrison
E.
2007.
Governance
Reform
and
Forests.
www.IIED.org/
NR/forestry/projects/forest.html.pdf Nurdjana IGM dkk.,2005, Korupsi dan Illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Nugroho R. 2007. Analisis Kebijakan. PT. Elex Media Komputindo. Kelompok Gramedia. Jakarta. Nurrochmat DR. 2005. Strategi Pengelolaan Hutan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Panggabean S.R., 2007, Manajemen Konflik; Handout Mata Kuliah Governance dan Manajemen Konflik Politik, Program Pascasarjana, Jurusan Ilmu Politik, UGM Philipus & Aini N. 2006. Sosiologi dan Politik. Rajawali Press. Jakarta Pierre J & Peter GB. 2000. Governance, Politics and the State. London. Macmillan Press Ltd. Prakosa M., 1996, Renjana Kebijakan Kehutanan, Aditya Media, Yogyakarta Pratikno dkk., 2007, Handout Mata Kuliah Seminar Birokrasi Indonesia, Sekolah Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik, UGM, Yogyakarta Pratikno & Lay C., 2006, Alternatif terhadap perspektif Pluralism; Governability, Handout Mata Kuliah Politik Indonesia Pruit D.G. dan Rubin J.Z., 2004, Teori Konflik Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
10
Putnam R. 1995. Bowling Alone: America’s Declining Social Capital. Journal of Democracy. January. Raditte DS, Suprijadi D & Susanti A. 2006. Laporan Analisa Dampak dan Manfaat Gerhan di Kabupaten Gunung Kidul. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Ritzer G. dan Goodman D.J., 2004, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta Salim A., 2006, Teori & Paradigma Penelitian Sosial, Tiara Wacana, Yogyakarta Santoso H., 1999, Konflik Berkepanjangan Masyarakat Sekitar Hutan vs Pemerintah, Warta FKKM Volume 2, Nomor 2, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta Santoso H., 2001, Perlawanan Masyarakat Desa Hutan; Kasus Randublatung Jawa Tengah, Warta FKKM Volume 4, Nomor 7, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta Santosa P., 2003, Pengelolaan Negara, Mekanisme Pasar dan Dinamika Ekosistem; Tiga Medium Interaksi Pemerintahan, Jurnal Transformasi, Volume 1, Nomor 1 Santosa P., 2006, Handout Mata Kuliah Teori Politik:Demokrasi, Program Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik, UGM, Yogyakarta Santosa P., 2007, Handout Mata Kuliah Politik Ekonomi dan Lingkungan, Program Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik, UGM, Yogyakarta Sedarmayanti. 2004. Good Governance. CV. Mandar Maju. Bandung. Setiahadi R., 2001, Konflik Desa Hutan, Warta FKKM Volume 4, Nomor 12, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta Slamet Y. 1989. Konsep-konsep Dasar Partisipasi Sosial. Pusat Antar Universitas Studi Sosial. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Simon H., 1999, Pengaturan Hasil Hutan, Bagian Penerbitan Fakultas Kehutanan, UGM, Yogyakarta Stoker G. 1998. Governance as Theory : Five Propositions. Blackwell Publishers. 108 Cowley Road Oxford. United Kingdom. Sumarto HS. 2003. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Sukisno, 1999, Kesejahteraan Masyarakat dalam Hubungannya dengan Pencurian Kayu Jati di BKPH Pojok KPH Purwodadi, Skripsi, Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta Sumitro A., 2005, Ekonomi Sumberdaya Hutan, Debut Press, Yogyakarta
11
Suparno. 2006. Perencanaan Lokasi, Tata Organisasi Pelaksanaan dan Pengawasan Program Gerhan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Makalah Seminar Nasional
Arahan Pembentukan Unit Manajemen Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Yogyakarta. Susandi, A. 2007. Emisi Karbon dan Potensi CDM dari Sektor Energi dan Kehutanan Indonesia.
Departemen
Geofisika
dan
Meteorologi.,
ITB,
Bandung.
http://armisusandi.com/index.php?lang=&action=article.detail&kategori=working _paper&IDArtikel.pdf. Maret 2009. Thoha M., 1991, Perspektif Perilaku Birokrasi, CV. Rajawali, Jakarta Utomo W. 2007. Administrasi Publik Baru Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Usman S., 2007, Analisis Konflik Sosial; Handout Matakuliah Sosiologi Politik, Jurusan Sosiologi, Fisipol, UGM, Yogyakarta Varma S.P., 2003, Teori Politik Modern, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Walker M. 1995. Toward a Global Civil Society. Providende RI. Bergham Books. Weidelt H.J., 1995, Silvikultur Hutan Alam Tropika, Bagian Penerbitan Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta Wilenius, M. 1999. Sociology, Modernity and the Globalization of Environmental Change. International
Sociology,
London.
http://www.unites.uqam.ca/aep/devdur_revues.htm. Maret 2009. Yunanto S.E., 2006, Pendalaman Demokrasi Lokal melalui Masyarakat Sipil, Sekolah Pascasarjana UGM, Yogyakarta Zartman W., 1997, Governance and Conflict Management, Brooking Institution Press, Washington D.C.
12