123
BAB VI Penutup
Kesimpulan Dalam penelitian ini terungkap bahwa PDI Perjuangan telah melakukan rekrutmen sebagaimana didefinisikan oleh Ramlan Surbakti, yakni pemilihan atau pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya (Surbakti 2010, h. 150). Secara empirik, PDI Perjuangan sebagai partai yang berasas Pancasila, partai ini terbuka kepada semua elemen masyarakat yang ingin bergabung. Tidak ada pengecualian selama memenuhi ketentuan AD ART. PDI Perjuangan juga mengenal 3 metode rekrutmen, yaitu: rekrutmen terbuka, rekrutmen khusus dan rekrutmen berdasarkan rekomendasi. Rekrutmen terbuka dilakukan dengan metode mengajak orang-orang yang dianggap satu visi dengan PDI Perjuangan untuk bergabung. Metodenya antara lain dengan membuka stand penerimaan di ruang publik dan mengisi form pendaftaran sebagai anggota, khitanan massal, kawinan massal atau pintu ke pintu dengan membawa serta juru foto. Bagi yang memenuhi syarat langsung difoto dan dibuatkan KTA. Selain rekrutmen anggota yang dilakukan dengan inisiatif struktur PDI Perjuangan, ada juga calon anggota yang datang langsung ke sekretariat untuk mendaftarkan diri menjadi anggota. Setelah meregistrasi diri calon anggota diikutsertakan dalam program pendidikan kepartaian yang berisi
124
muatan mengenai ideologi partai, aturan-aturan partai dan lain sebagainya. Rekrutmen dengan metode ini sangat bergantung pada keaktifan seorang calon. Saat penelitian ini dilakukan, PDI Perjuangan tidak memiliki tools baku dalam rekrutmen menjadi anggota partai. Dalam wawancara dengan Idham Samawi selaku Ketua Bidang Keanggotaan, Rekrutmen dan Kaderisasi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan menyebutkan anggota PDI Perjuangan terbagi dalam 4 (empat) tipe: a. Soekarnois b. Citra Wong Cilik (Marhaen); c. Nasionalis; dan d. Kelompok pencari kekuasaan semata (Penunggang). Terungkap pula bahwa iuran anggota tidak berjalan di PDI Perjuangan. Meski demikian, keorganisasian PDI Perjuangan memperoleh pembiayaan yang bersumber dari sumbangan anggota dan subsidi negara. Bagi PDI Perjuangan, saat seseorang berkenan menjadi anggota PDI Perjuangan hal ini sudah patut diapresiasi. Oleh karena itu, iuran anggota tidak kaku diterapkan di PDI Perjuangan dengan alasan tidak ingin membebani anggota. Sedangkan dalam rekrutmen struktural PDI Perjuangan memiliki mekanisme rigid dengan memperhitungkan lamanya masa aktif di tingkat tertentu dan rekam jejak kaderisasi yang telah diikuti. Namun mengenai struktural tersebut PDI Perjuangan juga menyimpan sejumlah potensi konflik. Menjelang pemilihan umum, terjadi beberapa kasus pemecatan struktural PDI Perjuangan. Hal ini disebabkan benturan kepentingan dalam penentuan calon kepala daerah atau calon anggota legislatif. Di sisi lain struktural partai juga dianggap tidak mampu menjalankan roda organisasi, sehingga terjadi pemecatan di beberapa wilayah.
125
Penelitian ini menemukan rekrutmen anggota PDI Perjuangan menyimpan kelemahan. Pertama, mengandalkan basis massa konvensional. Kedua, belum memiliki format baku. Hal ini karena rekrutmen terbuka lebih mengandalkan kehendak bebas seseorang untuk melibatkan diri pada sebuah partai. Seiring dengan buruknya kepercayaan publik pada partai politik, metode rekrutmen ini mulai sulit diharapkan. Rekrutmen
khusus,
cenderung
mengandalkan
keaktifan
struktural
partai
mengidentifikasi potensi masyarakat yang mungkin diajak menjadi anggota partai. Jika struktural partai gagal mengidentifikasi, kemungkinan mendapatkan calon kader potensial menjadi berkurang. Proses ini juga sangat mengandalkan pendekatan personal. Metode ini memiliki kelemahan yakni berpeluang terjadinya transaksi antara struktural partai dengan seseorang yang bisa jadi memiliki kepentingan pribadi yang sifatnya pragmatis. Politik transaksional dengan memanfaatkan popularitas dan materi seseorang sangat mungkin terjadi. Kaderisasi didefinisikan Sigit Pamungkas sebagai proses pelatihan dan pembekalan terhadap elit politik yang prospektif untuk mengisi jabatan-jabatan politik (Pamungkas 2011, h. 17). Hal senada berkembang di PDI Perjuangan. Proses ini dilakukan melalui program pendidikan kader pendidik. Terungkap bahwa pendidikan kader pendidik didesain untuk membekali kader PDI Perjuangan dalam membedah persoalan yang dihadapi bangsa dan pilihan kebijakan strategis yang sesuai dengan visi misi partai tersebut. Secara normatif PDI Perjuangan memiliki desain kaderisasi dan sistem penjenjangan kader. Akan tetapi secara empirik, diakui bahwa kaderisasi tersebut tidak berjalan. PDI Perjuangan berupaya memperbaiki kaderisasi melalui
126
pembentukan Sekolah Partai. Latar belakang lahirnya Sekolah Partai disebabkan adanya 3 tantangan yang dihadapi PDI Perjuangan. Pertama, tantangan untuk hadir secara nyata di masyarakat. Tidak hanya saat pemilihan umum berlangsung. Kedua, tantangan untuk meningkatkan kualitas kader partai khususnya dalam menjaga kualitas pejabat publik. Ketiga, mendokumentasikan pengetahuan yang bersumber dari proses kepartaian sehingga partai bisa menjadi pusat pembelajaran. Diakui bahwa pembentukan Sekolah Partai tidak mudah. Oleh karena itu, PDI Perjuangan memulai dengan penyelenggaraan Pendidikan Kader Pendidik. Secara normatif, penjenjangan kader di PDIP terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu : Kader Pratama, Kader Madya dan Kader Utama (Ketetapan PDI Perjuangan 2010, h. 34). Secara empirik, penjenjangan kader ini belum terlaksana dengan baik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh AAGN Ari Dwipayana berikut ini : “PDI Perjuangan mengembangkan jenjang kader pratama, madya dan utama. Implementasinya belum jalan. Demikian pula dengan Sekolah Partai kemarin, partai belum jelas apakah itu untuk kader pratama atau madya” (AAGN Ari Dwipayana).
Penulis juga melihat soal penjenjang kader belum diterapkan secara konsisten. Dalam konteks pencalonan legislatif misalnya, penjenjangan kader belum menjadi bagian utama yang terintegrasi dengan baik dalam seleksi kriteria. Penurunan perolehan suara partai membuat PDI Perjuangan melakukan refleksi internal dan berusaha kembali pada visi perjuangannya. Sebagai sebuah partai yang memiliki basis massa yang cukup loyal, PDI Perjuangan ingin membuktikan
127
pada masyarakat pada umumnya dan pada basis PDI Perjuangan pada khususnya bahwa kadernya mampu menerjemahkan ideologi tersebut. Dengan konsep memadukan tradisi keilmuan dan tradisi kepartaian, terlihat bahwa dalam proses kandidasi legislatif 2014, PDI Perjuangan berada pada titik membawa kembali kesadaran ideologis melalui upaya-upaya internalisasi ideologi dan visi misi partai dalam proses kandidasi legislatif. Sedangkan dalam proses pengisian jabatan publik anggota legislatif DPR RI periode 2014-2019, PDI Perjuangan telah memiliki mekanisme untuk menentukan siapa yang layak dicalonkan. Hal ini tertuang dalam Peraturan Partai Nomor 061 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penjaringan, Penyaringan, Penetapan dan Pendaftaran Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, Dan DPRD Kabupaten/Kota Pada Pemilihan Umum Tahun 2014. Sebagaimana Pippa Noris yang menyebutkan rekrutmen terdiri dari 3 (tiga) tahapan, yakni : Pertama, siapa yang layak ?. Kedua, siapa yang melakukan seleksi ?. Ketiga, siapa yang layak dicalonkan ?. PDI Perjuangan juga melakukan ketiga tahapan tersebut. Untuk menentukan siapa yang layak, identifikasi dilakukan melalui penjaringan, penyaringan, penugasan, hingga penetapan bakal calon anggota DPR RI. Seleksi calon anggota DPR RI dilakukan oleh DPP PDI Perjuangan mulai dari proses penjaringan, penyaringan bakal calon, menyusun hingga menetapkan daftar calon sementara (DCS) DPR RI. Sedangkan mengenai siapa yang layak dicalonkan, PDI Perjuangan menentukan berdasarkan penilaian atas hasil seleksi dengan mempertimbangkan Lima Mantap Partai, yakni : Mantap Ideologi, Mantap Organisasi, Mantap Kader, Mantap Program dan Mantap Sumber Daya.
128
PDI Perjuangan juga mengatur secara khusus batasan dalam pencalonan menjadi anggota legislatif. Khususnya bagi anggota DPR RI yang telah menduduki jabatannya selama 3 (tiga) kali berturut-turut, hanya dapat dicalonkan sebagai anggota DPR RI setelah mendapatkan persetujuan dari Ketua Umum DPP Partai. Dalam penelitian ini ditemukan, ada anggota partai yang telah menjabat sebagai anggota legislatif dalam 5 (lima) periode. Pragmatisme mencalonkan sosok magnet elektoral membuat PDI Perjuangan kembali mencalonkan anggota DPR RI periode sebelumnya. Hal ini mempengaruhi penjenjangan kader karena hanya memberi kesempatan bagi segelintir orang dan menutup ruang bagi anggota partai lainnya untuk menguji kemampuan. Meski demikian, PDI Perjuangan juga masih sangat sentralistik dalam menentukan kandidat dalam pemilihan umum. Pada pemilihan umum legislatif 2009 PDI Perjuangan belum menggunakan mekanisme objektif menilai kemampuan seseorang. Namun dalam mempersiapkan calon anggota legislatif pada pemilihan umum 2014, PDI Perjuangan menerapkan aturan dan mekanisme yang berbeda. Dalam pelaksanaannya, bakal calon legislatif harus lulus psikotest, lulus penugasan partai, memiliki rekam jejak pengabdian di partai dan masyarakat, lulus skoring dan lulus test narkoba serta psikotropika. Semula penerapan mekanisme psikotest ini mendapatkan penolakan di internal PDI Perjuangan. Bagi orang-orang yang telah mapan, proses ini dianggap mengganggu kenyamanan. Di sisi lain, masih ada rasa tidak percaya diri di internal atas kaderisasi yang dilakukan. Hal ini terlihat saat PDI Perjuangan membuka pendaftaran calon bagi eksternal dengan argumentasi untuk meraup suara di daerah yang sebelumnya pada pemilihan umum 2009 belum
129
dimenangkan PDI Perjuangan atau daerah pemilihan baru seperti tertuang dalam pasal 24 (dua puluh empat) Peraturan Partai Nomor 061 Tahun 2013. Jika merujuk pada alur pikir yang penulis uraikan di Bab I, realitasnya rekrutmen, kaderisasi dan pencalonan legislatif di PDI Perjuangan tidak terhubung. Ketidaksambungan antara rekrutmen, kaderisasi dan pencalonan legislatif ini disebabkan penyusunan daftar calon anggota legislatif tidak konsisten mengacu pada proses penjenjangan kader dan kaderisasi yang coba dilakukan. Hal ini terbukti dengan adanya ruang bagi calon anggota legislatif yang berasal dari eksternal. Porsi 20 (dua puluh) persen calon anggota legislatif eksternal tentu bukan jumlah yang sedikit. Quota 20 (dua puluh) persen calon anggota legislatif eksternal telah menciderai proses panjang yang ditempuh anggota partai. Pemberian ruang bagi calon anggota legislatif eksternal juga menunjukkan bahwa PDI Perjuangan belum percaya diri dengan proses perbaikan kaderisasi yang dilakukan. Mirisnya, PDI Perjuangan juga seperti belum percaya diri dengan kader internal yang telah bersusah payah membangun wajah partai di masyarakat. Pengelolaan keanggotaan di PDI Perjuangan berbeda dengan alur pikir yang penulis bayangkan sebagaimana tertulis dalam bab pertama. Perbedaan tersebut terlihat jelas, secara empirik PDI Perjuangan tidak mengintegrasikan secara konsisten penjenjangan kader dan kaderisasi dalam pencalonan anggota legislatif DPR RI 2014. Pragmatisme meraup suara, memenuhi quota keterwakilan perempuan dan mengakomodir kepentingan segelintir elit partai untuk masuk ke DPR RI membuat PDI Perjuangan melanggar mekanisme yang telah disusun sendiri. Proses rekrutmen dan kaderisasi coba diperbaiki namun belum terintegrasi dengan proses kandidasi
130
anggota legislatif DPR RI 2014. Tampak dalam gambar 5.1 adanya jarak yang memisahkan proses rekrutmen, kaderisasi dan pencalonan legislatif DPR RI pada PDI Perjuangan. Gambar 5.1. Pengelolaan Keanggotaan Yang Terjadi di PDI Perjuangan
Dengan proses instan masuknya sejumlah nama popular dan dekat dengan elit PDI Perjuangan, penyusunan daftar calon anggota legislatif DPR RI telah mengabaikan kaderisasi yang telah berusaha dilakukan sejak 2010. Dengan proses instan yang terjadi, hubungan koordinasi, komitmen dan tanggung jawab anggota legislatif eksternal yang terpilih juga akan cenderung instan. Jika sebelumnya PDI Perjuangan berasumsi bahwa upaya perbaikan internal melalui upaya kembali ke jalan ideologis dengan hadir nyata di masyarakat maka hal ini menjadi anti-klimaks. Hal ini disebabkan kader yang terpilih menjadi anggota legislatif bukanlah kader partai yang telah berproses bersama dari level bawah. Akan tetapi seseorang yang masuk dengan jalan pintas (shortcut) serta mengabaikan proses membership dan kaderisasi di internal PDI Perjuangan. Ketidaksambungan pada proses rekrutmen, kaderisasi dan pencalonan legislatif pemilihan umum 2014 akan berimplikasi pada pelembagaan PDI Perjuangan.
131
Pelembagaan tersebut menjadi tidak terbangun karena pragmatisme meraih kemenangan pada pemilihan umum. Voluntarisme menjadi luntur karena jalan pintas (shortcut) yang terjadi. Proses panjang membangun wajah partai di masyarakat yang dipilih dengan menghadirkan diri secara nyata di masyarakat melalui proses mempertemukan tradisi keilmuan dan tradisi kepartaian menjadi tidak sebangun. Para anggota dan anggota kader yang berkeringat membangun kerja nyata terabaikan dengan masuknya tokoh-tokoh magnet elektoral yang direkrut menjelang pemilihan umum. Dengan popularitas, basis massa atau representasi “perempuan”, nama-nama yang
masuk dalam DCS tentu ada kader-kader sesungguhnya yang tersisihkan.
Semestinya, PDI Perjuangan memberikan ruang terbaiknya bagi anggota kader yang telah bekerja keras menjaga kantung-kantung suara di masyarakat. Apabila setiap menjelang pemilihan umum terjadi “penyisihan” seperti ini, akan terjadi penurunan voluntarisme atau semangat mengidentifikasi diri sebagai bagian dari PDI Perjuangan. PDI Perjuangan akan menjadi ruang “duduk” sementara bagi sebagian orang yang ingin berkuasa dan tidak lagi menjadi ruang “kepemilikan” bagi anggota yang selama ini militan menghidupi PDI Perjuangan. Penelitian ini menunjukkan bahwa PDI Perjuangan telah berupaya membawa kembali ideologisasi dalam proses kandidasi anggota legislatif. Sebuah langkah konkrit yang layak diapresiasi meski masih memiliki serangkaian catatan bagi perbaikan proses kandidasi tersebut. Langkah perbaikan kelembagaan PDI Perjuangan telah dilakukan dan menjanjikan sebuah perubahan yang layak diapresiasi. Upaya ini menjadi titik balik PDI Perjuangan menata kembali rekrutmen, kaderisasi hingga kandidasi berbasis ideologi. Jika konsisten dilakukan tentu akan menjadi
132
modal menyongsong pemilu 2014. Hal ini akan membantu PDI Perjuangan untuk mengembalikan kejayaan telah sempat surut. Sebagaimana 5 (lima) nilai penting rekrutmen anggota yang disebutkan Susan Scarrow (Scarrow 2005, h. 13-14). Pada PDI Perjuangan anggota juga merupakan basis legitimasi partai. Anggota juga menjadi penghubung partai dengan masyarakat khususnya mengenai nilai-nilai yang diperjuangkan PDI Perjuangan. Dalam konteks pembiayaan PDI Perjuangan, anggota juga menjadi sumber pembiayaan dalam setiap agenda partai. Demikian pula dalam setiap agenda berkala dan sehari-hari, anggota partai juga menjadi tenaga sukarela yang bertugas mengelola organisasi kepartaian. Sedangkan dalam proses pengisian jabatan publik, anggota menjadi sumber daya berpengalaman yang dapat dicalonkan dalam kompetisi kekuasaan antar partai. Ibarat bandul, transformasi partai tengah berlangsung. Semoga kondisi partai yang kesulitan memperoleh kepercayaan publik segera terkoreksi dengan bergulirnya upaya perbaikan kaderisasi partai. Agar perbaikan ini tak terhenti pasca pemilihan umum 2014, Misalnya strategi canvassing membangun hubungan dan menjaring aspirasi dengan konstituen. Jika hal ini konsisten dilakukan, menjelang pemilihan umum 2019 PDI Perjuangan tidak perlu lagi menyediakan quota 20 (dua puluh) persen bagi calon anggota legislatif dari eksternal partai karena telah tersedia kader yang siap berkompetisi memenangkan pemilihan umum. Oleh karena itu, PDI Perjuangan perlu terus mengembangkan konten kaderisasi, menyusun tools untuk menerjemahkan ideologi dan visi misi partai, dan melembagakan proses kaderisasi yang telah digagas secara konsisten dan berkesinambungan.