BAB I PENDAHULUAN
Adat in ot rat naa dunyai : Terhormat atau tidaknya seseorang tergantung pada perilaku dan tutur katanya
1.1. Latar belakang Tom Tad1
merupakan
ungkapan bahasa
Kei
(veve evav)
yang
mengkonfirmasikan tentang asal-usul seseorang atau sekelompok orang, sekaligus sebagai bukti sejarah (cerita sejarah) yang berhubungan dengan siapa memiliki apa (petuanan dan kekuasaan) dan siapa yang diberi kesempatan untuk ikut memiliki. Dengan demikian tom tad merepresentasikan sebuah orientasi yang vital, sebagai dasar pandangan etimologis terhadap manusia dan objek yang ada di dunia. Dalam hubungannya dengan isu-isu kepemilikan (petuanan), tom memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan siapa memiliki apa, dimana dan kapan. Sedangkan Tad merupakan bukti fisik yang berfungsi sebagai pendukung dan pembenaran tom. Salah satu dari isu penting yang dijelaskan dalam tom adalah pembagian masyarakat Kei ke dalam 2 kelompok, yakni: Pertama, kelompok Nuhu Duan, mereka adalah orang-orang yang pertama kali mendiami kepulauan Kei, mereka diyakini muncul dari dalam tanah, laut, binatang dan tumbuhan. Karena itu, orang-orang ini dianggap sebagai pemilik asli wilayah darat dan laut kepulauan Kei. Mereka adalah tuan tanah (tuan tan). Secara ketegorial mereka merupakan kelompok Ren (induk); dan Kedua, adalah kelompok Marvutun/Mardat,
1
Tom secara etimologis berarti “cerita atau bercerita” dan Tad berarti “tanda atau bukti”. Jadi tom tad adalah cerita (sejarah) yang disertai dengan tanda atau bukti sebagai pembenaran cerita tersebut.
1
kelompok diyakini berasal dari Jawa-Sumatra (jau batav), Bali-Sumbawa (bal sumbau), Luang (luang mabes), Jailolo-Ternate (jailo ternat), dan Seran-Wadan (seram-banda). Mereka dikategorikan sebagai mel-mel (pendatang). Dengan berbagai alasan para imigran ini diterima oleh tuan tan, dan bagi mereka yang dianggap
memiliki
kecakapan
diberikan
kesempatan
untuk
ikut
memimpin/mengatur wilayah bersama-sama penduduk asli.2 Para imigran itu kemudian disebut sebagai mel-mel, sedangkan tuan tan disebut sebagai Ren-ren. Dalam perkembangannya kelompok mel-mel berhasil mengembangkan cerita (tom) bahwa proses penerimaan nenek moyangnya, tidak hanya melingkupi pemberian hak untuk mengatur pemerintahan tetapi juga pemindahan otoritas terhadap wilayah (petuanan). Sedangkan kelompok ren-ren masih tetap meyakini bahwa tidak ada penyerahan kekuasaan dari leluhur mereka kepada pendatang (mel) apalagi adanya pemindahan otoritas wilayah. Berdasarkan tom tersebut, maka masyarakat Kei kemudian terdiferensiasi sebagai: mel-mel (pendatang), ren-ren (penduduk asli), dan iri-iri (pembantu)3. Namun dalam perkembangannya, struktur masyarakat ini mengalami perubahan makna menjadi: mel-mel "kelompok bangsawan"4; ren-ren "orang merdeka"; dan
2
Interaksi mula-mula antara kedua kelompok itu terwujud dalam bentuk persaudaraan (kakakberadik). Kakak selanjutnya disebut ren-ren (induk) sedangkan adik disebut mel-mel (pendatang). Lihat F.A.E. van Wouden, Type of Social Structure in Eastern Indonesia, (The Hague-Martinus Nijhoff, 1968), 136. 3 Kelompok terakhir adalah mereka yang melakukan perbuatan pelanggaran adat (asusila). Namun dalam perkembangannya praktek dalam relasi Yanur-Mangohoi dan Koi-Maduan, dan untuk membayar jasa atau hutang sosial itu, mereka mengabdikan dirinya kepada tuan mereka yang kemudian oleh beberapa orang lain dipadang sebagai iri-ri. Lihat uraian Yanur-mangohoi dan koi-maduan pada BAB III 4 Dalam penelusuran literatur kata mel-mel hanya didefinisikan sebagai pendatang, yang dibedakan dengan ren-ren sebagai penduduk asli (tuan tan). Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan Anton Notanubun di desa Ohoiwait tanggal 22 Januari 2011 diungkapkan bahwa Mel-mel = tumbuh atau naik – mulai kelihatan. Hal ini berhubungan dengan sesuatu yang dilihat dari jarak yang jauh (pandangan dari daratan ke laut), yang terlihat kecil, lama-kelamaan membesar dan terlihat bentuk aslinya. Contohnya, perahu, kapal dll. Dengan demikian Mel-mel tidak identik dengan “bangsawan”, “pintar/pandai”, dan “kaya”. Definisi yang mengaitkan mel-mel
2
iri-iri "budak".5 Pembagian ini lalu disebut sebagai kasta yang sering diasosiasikan sama dengan sistem kasta pada masyarakat Bali, hanya karena orang Kei meyakini bahwa beberapa leluhur mereka berasal dari Bali.6 Kasta berasal dari bahasa Latin yakni, Castus yang berarti “utama, suci, tak bernoda, murni dan terhormat”. Kata castus, dalam bahasa Portugis disebut casta yang kemudian diartikan sebagai “keturunan atau ras”. Menurut Reinhard Bendix7, kasta adalah sebuah sistem sosial yang mengatur kehidupan masyarakat India, sehingga masyarakat India tidak dapat dilepas-pisahkan dari sistem kasta. Namun oleh orang-orang Barat, casta dipakai untuk menggolongkan kelompokkelompok sosial yang ada di India. Penggolongan ini diketahui lebih bernuansa politis, dalam rangka mengamankan kepentingan politik Barat.8 Berdasarkan analisis Max Weber ditemukan bahwa masyarakat India menurut kitab Weda, terbagi dalam empat kasta,9 yaitu: (a) Brahmana, kelompok ini merupakan kaum imam dalam agama Hindu. Tugas utamanya adalah memperdalam pengetahuan tentang Weda dan memimpin ritus-ritus keagamaan, mereka adalah golongan elit bangsa India secara politis; (b) Ksatria, tugas utama kelompok ini adalah menjaga ketertiban sosial dalam kehidupa sehari-hari, atau
dengan ciri seperti bangsawan, pandai/pintar dan kaya baru muncul belakangan yang bertujuan mempertahankan status quo dan mengeliminir kelompok ren-ren dari fungsi dan peran adat, bahkan sampai pada birokrasi pemerintahan muncul asumsi bahwa ren-ren tidak pantas menjadi PNS jika yang memimpin adalah mel-mel. 5 Hasil dialog dengan Reinhard Rahaningmas, Pensiunan Dosen UNAIR Surabaya - sesepuh Kerukunan Masyarakat Kei di Surabaya (KMKS), 28 Desember 2010, di Surabaya. Menurutnya, tidak mungkin beberapa orang (pendatang) yang tidak/belum diketahui asal-usulnya kemudian diberi hak untuk mengatur semua aspek kehidupan penduduk asli. 6 T.J.A. Uneputty, dkk, Sistem Kesatuan Hidup Setempat di Daerah Maluku, (Jakarta : Departemen P&K, 1981), 12 7 Reinhard Bendix, Max Weber : An Intellectual Portrait, (New York: Doubleday, 1960), 134 8 Webster’s New International Dictionary of the English Language (Springsfield: G & C Marriam Campany , publisher, 1951), 418 9 Max Weber, The Religion of India: The Sociology of Hinduism and Buddhism, (New York: The Free Press, 1958), 126. Sistem kasta model ini, dapat diamati pada masyarakat Bali yang beragama Hindu.
3
menjaga keamanan. Mereka adalah tentara-tentara (dalam India kuno) yang berperag mempertahankan kedaulatan bangsa; (c) Weisya, kelompok ini menguasai bidang ekonomi dan perdagangan. Fungsinya adalah mensuplai kebutuhan hidup masyarakat melalui kegiatan perdagangan; dan (d) Sudra, mereka ini adalah kelas rendah, para pekerja baik petani maupun pekerja kasar. Namun perlu disadari bahwa fungsi mereka adalah sebagai “ujung tombak” berlangsungnya kegiatan perekonomian. Dengan memahami uraian di atas, dapat dirumuskan perbedaan antara sistem kasta yang ada di Kei dengan sistem kasta yang ada di Bali, yakni: 1) Masyarakat Kei hanya mengenal tiga srata atau tingkatan (kasta?), yakni mel-mel, ren-ren, dan iri-ri; 2) Pembagian fungsi dan peran didasarkan pada marga, tetapi tidak semua anggota marga berhak atas fungsi dan peran tersebut; 3) Roda pemerintahan selalu dijalakan secara bersama oleh mel-mel dan ren-ren atau marvutun dan nuhu duan; dan 4) Sistem kasta pada masyarakat Kei tidak berhubungan dengan pembagian kerja secara ekonomis, namun lebih kepada fungsi dan peran marga secara adat. Bahkan hubungan hirarkis antar kelompok kasta di Kei masih dipertanyakan,10 tetapi jelas bahwa setiap kelompok berkarakter eksklusif karena misalnya, perkawinan campur merupakan hal yang dilarang.
10
Khusus untuk point 3, lihat uraian lengkapnya dalam, P M. Laksono, Wuut Ainmehe Nifun, Manut Ainmehe Tilut (Eggs from One Fish and One Bird: A Study of the Maintenance of Social Boundaries in the Kei Islands) A Dissertation, The Faculty of the Graduate School of Cornell University, 1990. Menurutnya struktur asli dari hubungan antara dua kelompok ini bukan bukanlah hubungan vertikal, mel diatas ren. Namun perbedaan mendasar di antara mereka adalah antara ‘penduduk asli’ dan ‘pendatang’.
4
1.1.1. Beberapa Penelitian yang Menyinggung Kasta di Kei Berdasarkan penelusuran literatur ditemukan beberapa penelitian yang berhubungan dengan sistem kasta pada masyarakat Kei: Pertama, buku Drs. J.A. Pattikayhatu, yang berjudul “Sejarah Pemerintahan Adat Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara”. Dalam BAB IV diuraikan bahwa stratifikasi masyarakat Kei terbagi dalam tiga tingkatan, yang lebih dikenal dengan sebutan kasta. Wujud dari sistem kasta ini adalah: 1) golongan Mel-mel, terdiri dari penduduk asli disebut Mel – Nuhu Duan, dan para pendatang, disebut Mel-Kasil Tahit.11 Dengan demikian golongan mel-mel adalah bangsawan nuhu duan dan para pendatang yang cerdik, berani; 2) golongan Ren-ren. Golongan ini dijuluki sebagai Ren Karbauw Wuar, dijelaskan bahwa tidak ada sub-kasta pada kelompok ini. Disebut Karbauw-Wuar karena berdiam dan berkuasa di gunung. Golongan ini adalah peduduk asli. Penduduk asli dianggap pemilik atau penguasa di daerah, dan mereka dapat dikatakan sebagai induk (ren) dari suatu masyarakat. Biasanya berkedudukan sebagai Tuan Tanah, serta bersama-sama dengan Mel menjalankan roda pemerintahan; dan 3) golongan Iri-ri, mereka adalah pembantu (budak?). Status itu diberikan karena individu-individu ini ditebus/dibayar hutangnya oleh orang lain, atau bahkan dibeli oleh orang lain yang kemudian jadikan hamba.12 Kedua, skripsi (tidak diterbitkan), yang ditulis oleh Triko Beruatwarin, dengan judul “Cicak dan Kerbau: Tinjauan Teologis Terhadap Sistem Kasta di
11
Kasil Tahit, secara harfiah berarti “cicak pantai atau cicak yang hidup di pantai” yang maknanya sama dengan para pendatang. Pantai adalah tempat pertemuan antara air laut dan daratan, yang dalam bahasa Kei disebut tahit. 12 Uraian lebih lengkap dapat dilihat dalam J. A. Pattikayhatu, Sejarah Pemerintahan Adat Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, (Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1998),92-97
5
Kei”13 secara ringkas, hasil penelitiannya dapat tergambarkan pada table dibawah ini:
Mel-Mel Mel Un/mel Akaran, mulia/asli Mel Yamasdangar, hartawan Mel Yam a, Sedang/ menengah Mel Kab, mel biasa Mel Kaakwaan, mencuri/menipu Mel Muurbong, suka memfitnah dan membuat kerusuhan Mel Ahilkenew, mel yang tidak ber-ayah
Tabel 1. Penggolongan Kasta Di Kei Ren-Ren Iri-Iri Ren Berdik, muliah, Ri Tuar Tom/Ri Rahan hartawan Duan, Budak pusaka Ren Vuar Tel, Kelomok ini bermukin di gunung Dab dan Ngensilar meiputi desa Bombai, Reamru dan Ohoilim
Ren Enlur Duar, Ren yang menjadi budak karena utangnya dibayar lunas oleh seorang Mel
Ri Mas Enan, yang ditebus dengan emas oleh seorang Mel, karena tuannya mau membuang karena tidak setia Ri Tiwtiwut, ditebus akibat akan ditenggelamkan ke laut Ri Madaan Tel, Penghubug antara Mel dan Ren Ri Nisyav Kovyai/Ri Tal Taha, Tawanan perang
Beruatwarin menggambarkan bahwa, mel pertama sampai keempat adalah mel asli yang tersusun sejak terbentuknya sistem kasta di Kei, sedangkan ketiga mel terakhir14 adalah orang-orang yang melarikan diri dari desa asli mereka ke desa lain dan dengan kecerdikannya menipu penduduk desa yang didatangi kemudian mereka menjadi mel-mel – yang sudah terlanjur dimaknai sebagai “bangsawan”.
13
Triko Beruatwarin, Cicak dan Kerbau: Tinjauan Teologis Terhadap Sistem Kasta di Kei, (Makasar: STT INTIM, 2004. Tidak diterbitkan), 21-25 14 Ketiga mel terakhir menurut hasil penelitian Beruawarin inilah yang saat ini juga berada di desa Ohoiwait. Dikisahkan bahwa para imigran (yang kemudian menjadi mel-mel) ini berasal dari desa Haar dan Watlaar, kedua desa tersebut terletak di Kei Besar Utara.
6
Ketiga, tesis (tidak diterbitkan) yang ditulis oleh Martinus Ngabalin,15 berjudul “Studi Perbandingan Terhadap Konsep Tuhan Menurut Orang Kei di Kepulauan Kei dan Paulus : Studi Kasus di Desa Ohoiwait” tesis ini secara khusus menguraikan tentang pandangan masyarakat desa Ohoiwait tentang Tuhan (Duad dalam bahasa Kei). Ngabalin juga menyinggung tentang sistem kasta di desa ini, namun tidak ada alasan yang cukup kuat untuk mendukung argumentasinya tentang “keturunan penduduk asli, pendiri dan pemilik kampung (raja Kanar El) yang telah punah”. Tidak kuatnya argumentasi tersebut karena Ngabalin hanya mendasarkan diri pada informasi yang diterimanya dari Eli Rahayaan (tuan tanah – yang diangkat). Karena itu, argumentasi Ngabalin perlu dipertanyakan sebab realitasnya masih ada orang-orang (khususnya yang berMarga Rahaningmas dan Notanubun) yang mengklaim diri sebagai keturunan raja pertama – Ngabalin tidak mengajukan alasan metodologis yang cukup kuat ketika kelompok ini tidak diwawancarai dalam peneitiannya. Kempat, skripsi (tidak diterbitkan) ditulis oleh Maria Afia Rahayaan16 berjudul “Perempuan Dan Adat: Tinjauan Terhadap Kedudukan dan Peran Perempuan Dalam Hukum Larvul Ngabal di Masyarakat Kei” penelitian ini mengambil tempat di desa Ohoiwait. Hasi penelitian Rahayaan juga menyinggung tentang praktek kasta di desa ini, yang pada pokoknya mengatakan bahwa pembagian kasta di desa Ohoiwait dapat diamati dalam bentuk posisi rumah penduduk. Diuraikan bahwa, kasta mel-mel (kelas bangsawan), ren-ren (kelas
15
Martinus Ngabalin, Studi Perbandingan Terhadap Konsep Tuhan Menurut Orang Kei, , (Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama, UKSW, Salatiga: 2006. Tesis: tidak diterbitkan) 16 Maria Afia Rahayaan, Perempuan Dan Adat: Tinjauan Terhadap Kedudukan dan Peran Perempuan Dalam Hukum Larvul Ngabal di Masyarakat Kei, (Salatiga:Fakultas Toelogi UKSW, 2008).
7
menengah) menempati bagian depan dan tengah kampung, dan iri-ri (kelas rendah) menempati bagian belakang kampung.17 Permasalahanya adalah, bagaimana membedakan bagian depan, tengah dan belakang kampung? Sebab dalam interaksi sehari-hari, masyarakat di desa ini tidak mengenal klasifikasi kampung seperti yang dilakukan oleh Maria Rahayaan. Faktanya masyarakat hanya mengenal ohoi tanan, (kampung bawah) dan ohoi ratan (kampung atas). Ohoi Ratan terbagi lagi menjadi Ohoi Ren dan Ohoi Un. Sehingga, pembagian kasta menurut posisi rumah penduduk dan klasifikasi kampung menjadi depan, tengah, dan belakang, seperti yang diuraikan Rahayaan, perlu diklarifikasi. Penjelasan-penjelasan dalam literatur di atas, masih berupa gambaran umum yang hanya menguraikan keberadan sistem kasta di Kepulauan Kei, namun belum menjelaskan secara mendalam tentang Nuhu Duan yang hak-haknya tidak diakui akibat dominasi Marvutun. Mencermati penjelasan J.A. Pattikayhatu, yang mengintegrasikan sebagian "Nuhu Duan" yang nota bene adalah ren-ren kedalam mel-mel, menurut hemat saya bisa positif dan juga negatif. Karena itu, untuk menyingkap dominasi marvutun, maka perlu dikaji bentuk habitus18 yang ada pada kelompok nuhu duan. Argumentasi ini mengikuti pemikiran Pierre Bourdieu yang mengatakan bahwa dominasi tidak selalu diakibatkan oleh faktor eksternal, tetapi juga akibat faktor internal (terbatinkan) yang disebutnya habitus. Sebab dalam realitasnya habitus kelas (mel dan ren) telah menjadi struktur pendorong sekaligus pembatas tindakan individu maupun sosial, maka penyingkapan mekanisme yang terbatinkan akan memberi dasar argumen untuk menggerakan
17
Maria Afia Rahayaan, Perempuan Dan Adat. Ibid, 41 Habitus merupakan pengandaian suatu bentuk epistemologi sejarah dalam arti mengungkap relevansi praktis suatu suatu wacana. Liahat Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa, (Majalah BASIS, Nomor 11-12 Tahun Ke-52, November-Desember, 2003), 9 18
8
tindakan sosial maupun politik dari kelompok nuhu duan untuk menciptakan perubahan.19 Minimal perubahan pandangan dalam masyarakat Kei. 1.1.2. Rumusan Masalah Penelitian mengambil lokasi di Ohoi20 Ohoiwait,21 dengan masalah utama adalah “strategi ren-ren dalam menghadapi dominasi mel-mel”. Sekalipun fokus penelitian ini merupakan isu sensitif, namun penting, sebab pembagian masyarakat kedalam ren dan mel di ohoi tersebut tidak memperhitungkan fungsi dan peran kelompok ren-ren yang merupakan penduduk asli, malah kedudukannya diwacanakan sebagai iri-ri. Selain itu hasil penelitian Ngabalin (2006), yang menunjukan bahwa keturunan nuhu duan di ohoi ini telah punah belum tentu benar sebab tidak didukung fakta dan argumentasi yang kuat. Diwacanakannya kelompok ren-ren sebagai iri-ri lalu kemudian dikatakan telah punah adalah akibat kekuasaan baik adat maupun formal (pemerintahan) yang saat ini dipegang oleh kelompok mel-mel (pendatang). Pengambil-alihan kekuasaan itu terjadi akibat salah satu leluhur dari ren-ren (Bun Liisa) dibunuh oleh keturunan para pendatang dengan cara-cara licik mereka. Selain itu, munculnya 5 marga (Kudubun, Yahaubun/Rahaningmas, Notanubun, Ingratubun, dan Rahayaan) di Ohoiwait ditengarai sebagai bentuk asimilasi yang dipaksakan oleh keturunan melmel guna menghilangkan eksistensi ren-ren.
19
Bandingkan uraian Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu, (Yogyakarta: Juxtapose, 2007), 81-93. 20 Secara etimologi, Ohoi merupakan satuan pemukiman terkecil seara dengan kampung. Lihat J. P. Rahail, Larvul Ngabal : Hukum Adat Kei Bertahan Menghadapi Arus Perubahan, (Jakarta: Yayasan Sejati. 1983), 9. Istilah Ohoi selanjutnya akan digunakan dalam penulisan ini, dengan pertimbangan bahwa istilah Desa tidak lagi digunakan di Maluku Tenggara sejak dikeluarhannya Peraturan Daerah (Perda) Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara Nomor 03 Tahun 2009 tentang Ratschap dan Ohoi. 21 Ohoi sama dengan “kampung”; Wait dalam bahasa Kei memiliki dua arti yaitu, “Hidup” dan “Baru”. Dengan demikian Ohoiwait bermakana “kampung yang selalu hidup” atau “kampung yang baru”.
9
Dalam kehidupan bersama dengan para pendatang dari Haar dan Watlaar (kedua desa ini berada di Kei Besar bagian utara) itu dan setelah terbunuhnya Bun Liisa maka peran fungsi kekuasaan adat mulai berpindah tangan, diantaranya: : (a) peran sebagai Imam yang berfungsi untuk berdoa dan flor Nit (meyampaikan persembahan) kepada Duad (Tuhan) dan leluhur dalam kegiatan-kegiatan adat, sebagai tuan tanah (teran nuhu/nuhu duan), dan Taha Kabil atau Hauk Wat yang fungsinya menjemput mempelai perempuan dari luar kampung dan masuk melalui pintu adat, tugas ini dipegang oleh marga Rahayaan;
(b) peran penjaga dan
pemegang sasi adat (Hawear), fungsinya menjaga dan memutuskan/menetapkan denda dalam pelanggaran sasi adat, pemasangan “tiang raja” rumah yang baru dibangun, dan penutupan atap terakhir (katlab), oleh marga Rahaningmas; (c) sebagai penjaga Pusat Kampung atau ohoi (Woma), oleh marga Kudubun; (d) sebagai Panglima Perang, yang fungsinya memimpin pasukan ketika keluar berperang, oleh marga Notanubun; dan (e) sebagai penanggngjawab dan juru bicara pada kegiatan-kegiatan adat, ini adalah tugas dari marga Ingratubun.22 Sampai dengan penelitian ini dilakukan, semua fungsi dan peran adat itu masih dipegang oleh mel-mel dan tidak ada satupun orang dari kelompok ren-ren yang diberi kesempatan untuk memegang fungsi adat yang sebenarnya adalah milik ren-ren. Argumentasi ini menjadi penting untuk melihat bagaimana strategi ren-ren dalam menghadapi dominasi mel-mel di Ohoiwait saat ini. Untuk mengelaborasi rumusan masalah ini, maka pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut:
22
Wawancara dengan Reinhard Rahaningmas di Surabaya tanggal 16 Desember 2010; Anton Notanubun, Welhelmus Kudubun, Kanar El Rahaningmas, masing-masing di Ohoiwait tanggal 22 Februari 2011
10
1. Bagimana strategi Ren-ren menghadapi dominasi Mel-mel di desa Ohoiwait? 2. Faktor-faktor apakah yang mendorong strategi ren-ren? 1.1.3. Tujuan Penelitian: Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mendiskripsikan strategi-strategi yang digunakan ren-ren menghadapi dominasi mel-mel di desa Ohoiwait. 2. Menjelaskan faktor-faktor pendorong strategi ren-ren.
1.1.4. Manfaat Penelitian Sebagai suatu karya ilmiah maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun empirik/praktis. 1. Manfaat
teoritis,
secara
khusus
diharapkan
pembahasan
tentang
pergolakan nuhu duan dan mervutun akan memberikan kontribusi bagi praktek sistem kasta di masyarakat Kei. Selain itu, diharapkan turut menyumbangkan pemikiran teoritis dalam perkembangan teori habitus, field dan teori diskursus. Secara umum diharapkan dapat memberi sumbangan terhadap perkembangan teori stratifikasi dan diferensiasi masyarakat. 2. Manfaat empiris, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada kegiatan praktis pelaksanaan sistem kasta pada masyarakat Kei, khususnya masyarakat desa ohoiwait, agar praktek sistem kasta dilakukan sesuai dengan fungsi dan perannya tanpa ada tendensi diskriminasi dan kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan dan mempertahankan status 11
quo. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi bagi pengakuan keberadaan nuhu duan di desa Ohoiwait. 1.2. Metode Penelitian 1.2.1. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan konstruktivisme. Menurut Agus Salim, konstruktivisme merupakan paham yang digunakan untuk menggambarkan realitas, karena setiap realitas adalah unik, maka untuk mendapatkan validitasnya lebih banyak tergantung pada kemampuan peneliti dalam mengkonstruk realitas tersebut. Dengan pendekatan seperti ini, maka hasil penelitian (dengan disiplin ilmu apapun) yang dirumuskan mungkin akan bersifat subjetif.23 Pendekatan ini berkonsekwensi logis terhadap metode penelitiannya, karena itu metode yang digunakan adalah kualitatif. Kualitatif merupakan metode alamiah, yang menghendaki gambaran ”apa adanya” terhadap sebuah fonomena yang khusus (spesifik), dan mendeskripsikan secara mendalam kenyataan yang sesungguhnya.24 1.2.2. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif – eksplanatori. Penelitian deskriptif pada dasarnya adalah suatu cara untuk membuat pencandraan sistematis, faktual, akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi pada daerah penelitian.25 Dalam penelitian ini, peneliti akan berusaha mendiskripskan
23
Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006),
88-91 24
Ibid. 8 Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Rajawali Press, 1983), 19; lihat juga S Sairin, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Pusat Pendidikan Kependudukan UGM, 1995), 1; dan 25
12
strategi nuhu duan dalam menghadapi dominasi marvutun. Sedangkan jenis penelitian eksplanatori digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi strategi nuhu duan. Harapannya dengan dua jenis penelitian ini, peneliti dapat menemukan serta mengembangkan teori, dari hasil deskripsi dan eksplanatori yang dilakukan terhadap unit analisa. 1.2.3. Unit Analisa, Unit Amatan dan Sumber Informasi Unit analisis adalah suatu unit yang tentangnya peneliti menghimpun atau mencari informasi dan membuat kesimpulan terhadapnya. Sedangkan unit amatan adalah suatu unit yang darinya informasi diperoleh guna menggambarkan atau menjelaskan tentang satuan analisis.26 Berdasarkan penjelsan ini, maka unit analisa dalam penelitian ini adalah strategi nuhu duan dan faktor-faktor yang mempengaruhi strategi nuhu duan dalam menhadapi dominasi marvutun. Sedangkan unit amatannya adalah masyarakat Kei, khususnya masyarakat desa Ohoiwait, yang terdiri dari kelompok mel-mel, ren-ren, dan iri-iri, kegiatankegiatan adat yang dilakukan, maupun relasi sosial dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa tersebut. Konsekwensi logis dari unit analisis dan unit amatan adalah penentuan informan kunci. Karena itu, informan kunci yang akan diwawancarai dalam penelitian ini adalah anggota marga Rahaningmas dan Notanubun khususnya yang mengkalim diri sebagai keturunan Raja Kanar El; kepala desa; kepala-kepala
Talizidulu Ndraha, Desain Riset dan Tehnik Penyusunan Karya Ilmiah, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), 37 26 John J.O.I Ihallauw, Bangunan Teori. (Salatiga : Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana, 2003), 174-178; lihat juga Jacob Vredenbregt, Metode Penelitian dan Tehnik Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT Gramedia, 1981), 31; dan Soehartono, Metode Penilitian Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada, University Press, 1999), 29
13
marga; dan juga beberapa tokoh dari kelompok ren-ren yang memahami sejarah desa Ohoiwait. 1.2.4. Cara Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan 2 jenis data yaitu, (i) data primer, diambil melalui wawancara mendalam, dengan informan kunci; (ii) data sekunder, sebagai data pelengkap berupa dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, untuk menjawab tujuan penelitian. Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah berupa data primer (hasil wawancara dan observasi) dan tindakan-tindakan, selebihnya adalah data tambahan, seperti dokumendokumen tertulis.27 Untuk itu teknik pengambilan data yang digunakan adalah wawancara, obsevasi dan dokumentasi. Observasi akan dilakukan terhadap bentuk-bentuk interaksi, prosesi ritual (jika dilakukan bertepatan dengan waktu penelitian), dan tempat-tempat yang dianggap bersejarah.28 Dengan demikian, maka proses penggalian data dengan model triangulasi dianggap lebih tepat, yakni melalui tiga tahap, dengan saling membandingkan data hasil wawancara dengan observasi, dan dokumentasi. 1.2.5. Teknik Analisa Data Untuk menjawab masalah penelitian seperti yang telah dipaparkan, dan dengan mempertimbangkan teknik triangulasi, yakni membandingkan data hasil observasi dengan data hasil wawancara; perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang yang memiliki latar belakang yang berlainan, membandingkan hasil wawancara dan observasi dengan isi suatu dokumen-
27
Bandingkan Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), 112 28 Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), 25
14
dokumen pendukung, maka proses analisa dilakukan berdasarkan alur penelitian kualitatif, dengan mengikuti tiga tahapan analisa yang dikemukakan oleh Miles and Huberman (1994)29 yakni: Pertama, reduksi data, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari teknik triangulasi diatas, dengan cara mengelompokan atau mengklasifikasikan data yang benar-benar dibutuhkan dan yang tidak, sesuai dengan tujuan penelitian atau unit analisanya; kedua, penyajian data, merupakan bagian penting dari deskripsi tentang masalah yang diteliti. Melakukan analisis deskriptif dan eksplanatiri dengan lebih focus dan mendalam terhadap data yang telah diklasifikasi dalam rangka menjawab tujuan penelitian; dan ketiga, adalah interpretasi sekaligus kesimpulan terhadap unit analisis. Ketiga tahap ini dilakukan secara bersama-sama pada saat penelitian berlangsung. 1.2.6. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2011 – awal Maret 2011 di Desa Ohoiwait, Kecamatan Kei Besar Tengah, Kabupaten Maluku Tenggara.30 Terdapat dua pertimbangan dalam penentuan lokasi penelitian ini, yakni: a. Pertimbangan Metodologis, bahwa realitas masyarakat desa tersebut masih tetap mempraktekkan sistem kasta, dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan adat, maupun “pertarungan” dalam ruang publik, cotohnya pemilihan kepala Desa. Selain itu, diduga bahwa sistem
29
Dalam Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif : Aktualisasi Motodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2003), 98-99 30 Peneliti tiba Kabupaten Maluku Tenggara pada tanggal 8 Januari 2011, dan mengurus Surat Izin Penelitian pada kantor Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat tanggal 10 Januari 2011, namun karena Kepala Badan lagi dinas keluar, akhirnya peneliti hanya meninggalkan berkas (surat Keterangan dari kaprogdi MSA UKSW, dan proposal penelitian) dan kemudian berangkat ke desa Ohoiwait tanggal 13 Januari 2011. sedangkan Surat Izin Penelitian bernomor : 070/06 / SK.P/BKBPPM/2011 tertanggal 29 Januari 2011 baru dapat di ambil pada tanggal 2 Ferbuari 2011. Proses Penelitian berakhir pada tanggal 3 Maret 2011, dan kembali ke Salatiga pada 7 Maret 2011.
15
kasta yang ada pada desa tersebut adalah unik, karena hampir semua fungsi dan peran kekuasaan adat, maupun fungsi dan peran dalam ruang publik (formal), dikuasai oleh para pendatang (mel marvutun) sedangkan penduduk asli nuhu duan (ren) secara umum tidak memiliki peranan. Permasalahan yang menarik adalah realitas ini seolah-olah diterima sebagai sebuah kebenaran akibat dominasi dengan pendekatan kekuasaan. b. Pertimbangan praktis, dikarenakan peneliti berasal dari desa tersebut, sehingga dalam proses penelitian tidak akan bermasalah dengan bahasa setempat. Karena itu, kebutuhan akan informasi untuk menjawab tujuan peneltian, akan lebih mudah didapatkan.
1.3. Sistematika Penulisan BAB I
: Pendahuluan, yang berisi tentang gambaran latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
: Tinjauan Teoritis, dalam bab ini akan diuraikan teori yang memberi arah pada penulisan tesis yakni, teori habitus dan field dari Pierre Bourdieu, Teori Hegemoni dari Anthonio Gramsci, dan teori Diskursus dari Habermas.
BAB III
: Potret Masyarakat Kei, terdiri dari keadaan sosial budaya masyarakat
Kei,
termasuk
hukum
adatnya;
kemudian
dilanjutkan dengan deskripsi tentang desa Ohoiwait, sistem pemerintahan, kehadiran para imigran di Ohoiwait dan proses kehidupan bersama, kemudian mendiskripsikan keberadaan mel, ren dan iri di kampung ini. 16
BAB IV
: Strategi Ren-ren Mempengaruhi Dominasi Mel dan faktor yang memperngaruhinya, analisis tentang strategi perjuangan ren-ren dalam
mempengaruhi
dominasi
dan
faktor-faktor
mendukung startegi itu. BAB V
: Penutup, yang berisi kesimpulan dan saran.
17
yang