BAB VI. PENUTUP
6.1.
Kesimpulan Upaya penemuan penderita TB di Kabupaten Bantul dilakukan oleh pemerintah dengan membentuk jaringan (network). Pihak-pihak yang terlibat dalam jaringan (network) untuk menemukan kasus di masyarakat
adalah
dilaksanakannya
PPTI,
jejaring
Aisyiyah,
yang
dan
bertujuan
TP
untuk
PKK.
Awal
meningkatkan
penemuan dan kesembuhan pasien TB mampu meningkatkan angka penemuan penderita TB (CDR) dari 30-an% menjadi diatas 40%. Pemerintah membentuk jaringan melalui program Gerdunas TB yang kemudian dilanjutkan dengan memasukkan TB dalam program DB4MK Plus TB. Meskipun demikian angka penemuan kasus TB (CDR) tidak pernah mencapai target yang telah ditetapkan yakni sebesar 70%. Kegiatan dalam jaringan juga mengalami pasang surut, ada beberapa kendala yang mengakibatkan kegiatan dalam jaringan (network) mengalami penurunan. Padahal fakta yang ada, penemuan penderita TB melalui pengamatan wilayah setempat (pws) yang mengandalkan peran aktif kader-kader ataupun tokoh-tokoh di masyarakat mempunyai hasil yang lebih baik daripada yang non pws. Setelah melakukan analisa terhadap temuan di lapangan melalui pengkajian terhadap karakteristik jaringan (network), hal utama yang menyebabkan penurunan adalah komitmen dari para aktor yang berjejaring.
Implementasi
di
lapangan
tidak
sesuai
dengan
pernyataan para aktor bahwa mereka mempunyai komitmen terhadap
131
program ini. Bukti dari mengendurnya komitmen pemerintah sebagai aktor
utama
dalam
jaringan
adalah
dikeluarkannya
program
penemuan TB dari unit analisis program DB4MK di Bantul. Media koordinasi
seperti
Gerdunas
TB
yang
diharapkan
dapat
menjembatani para aktor dalam berjejaring juga tidak aktif dalam beberapa tahun terakhir. Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian Subekti (2011), bahwa dukungan pimpinan dalam kegiatan penanggulangan P2TB di Kabupaten Bantul belum sesuai yang diharapkan. Selain itu sistem jejaring yang disarankan oleh Subekti (2011) dalam penelitiannya juga belum dilaksanakan dengan baik sehingga hasilnya belum optimal. Padahal dalam penelitian Awusi (2008) penjaringan suspek merupakan faktor yang berpengaruh dalam penemuan penderita TB Paru. Keadaan yang terjadi di Bantul dalam pengelolaan jaringan (networking) penangulangan TB juga senada dengan apa yang terjadi di negara Brasil, dimana ketidakpastian jaringan (networking) diantara para mitra dari berbagai sektor (masyarakat,pemerintah, swasta, dam akademisi) menjadi kendala besar dalam memerangi penyakit TB (Filho & Gomes,2007). Kondisi
hubungan
saling
ketergantungan
dalam
program
penanggulangan TB di Kabupaten Bantul dapat ditunjukkan dalam beberapa fakta berikut ini : a. Pemerintah, mempunyai keterbatasan dalam menjangkau penderita TB. Namun pemerintah mempunyai sumber
132
daya berupa jaringan pelayanan kesehatan, selain itu pemerintah juga memliki sumber pendanaan. b. PPTI, mempunyai keterbatasan dalam pendanaan, namun PPTI memiliki sumberdaya lain yakni kader yang memiliki kompetensi khusus dalam penemuan TB. c. Aisyiyah, memiliki sumber daya yang sangat banyak, mulai dari
pendanaan
hingga
kader
untuk
bergerak
di
masyarakat. Aisyiyah membutuhkan kerjasama dengan pemerintah
supaya
mendapatkan
kesempatan
untuk
beramal di masyarakat. d. TP PKK, memiliki keterbatasan dalam pendanaan, namun memiliki jaringan internal yang sangat luas berupa kaderkader PKK, sehingga mampu mencapai akar rumput. Dari beberapa fakta tersebut, dapat disimpulkan bahwa tingkat ketergantungan jaringan (networking) dalam penanggulangan TB di Bantul tidaklah tinggi, karena tingkat subtitutabililty (pengganti) sumberdaya yang dimiliki sangat tinggi. Artinya ada banyak sumberdaya pengganti yang bisa menggantikan posisi para aktor yang berjejaring selain dinas kesehatan tentunya. Sehingga tidak mengherankan apabila kegiatan dalam jaringan juga melemah karena hubungan ketergantungan yang juga tidak kuat.
133
6.2.
Rekomendasi Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, agar proses berjejaring dalam penanggulangan TB di Bantul dapat optimal maka dapat direkomendasikan perbaikan terhadap jaringan (networking) yang mengacu pada strategi manajemen jaringan yang dikemukakan oleh Klijn dan Teisman (1999) berikut ini : 1. Melakukan konsolidasi persepsi (covenanting) Perlu adanya upaya mengeksplorasi tujuan bersama dalam berjejaring, strategi ini berupaya merefresh komitmen para pihak
yang
berjejaring
dengan
cara
mendalami
atau
memperkuat persamaan tujuan diantara para pihak. 2. Melibatkan aktor baru (network de activation) Strategi melibatkan aktor baru dalam berjejaring dapat menyegarkan kondisi jaringan yang lesu. Aktor baru yang dapat dilibatkan adalah kelompok-kelompok masyarakat yang mempunyai jaringan luas, seperti nahdatul ulama misalnya atau organisasi kemasyarakatan lainnya. Selain itu aktor baru juga dapat diimplementasikan dengan merekrut tokoh yang mempunyai pengaruh kuat di masyarakat dan juga di birokrasi seperti tokoh dari legislatif. Pelibatan tokoh sebenarnya sudah cukup familier bagi masyarakat Bantul, terutama dalam penanggulangan demam berdarah dengan adanya “Bapak Asuh”, hal tersebut seyogyanya dapat diterapkan pada penanggulangan TB.
134
3. Aktivasi
jaringan
(network
activation)
dengan
selective
activation. Aktivasi jaringan dapat dilakukan dengan memfokuskan tujuan berjejaring, misalnya adalah dengan memfokuskan jejaring pada penyebaran informasi yang benar ke masyarakat secara kontinyu. Informasi yang benar dan dilakukan secara kontinyu diharapkan dapat mendorong masyarakat beresiko TB untuk memeriksakan dirinya ke layanan kesehatan terdekat. 4. Mengubah kebijakan bersama (reconstitutionalism) Tujuan dalam berjejaring perlu ditegaskan kembali dengan merumuskan
tujuan
bersama.
Sebaiknya
dilakukan
penandatanganan MoU diantara para pihak yang berjejaring, sehingga masing-masing dapat saling mengingatkan akan perannya
dalam
jaringan.
Mou
tersebut
dapat
juga
dipergunakan sebagai media untuk mengingatkan apabila diantara
para
pihak
ada
yang
mengalami
penurunan
komitmen. 5. Mengaktifkan komunikasi dalam jaringan dengan menggiatkan kembali gerdunas TB di level Kabupaten maupun Kecamatan. Komunikasi oleh beberapa pihak yang berjejaring dirasakan menjadi faktor yang menentukan dalam berjejaring (network), pasang surutnya program diduga karena kuantitas dan kualitas komunikasi yang kurang baik. Sehingga perlu adanya media
komunikasi
atau
mengaktifkan
kembali
media
komunikasi yang sudah ada diantara para pihak yang
135
berjejaring. Media tersebut adalah Gerdunas TB. Pemerintah perlu menggalakkan kembali Gerdunas TB yang dulu pernah terbentuk dari tingkat kabupaten sampai dengan kecamatan sebagai wadah komunikasi bagi para aktor atau pihak yang berjejaring.
6.3.
Implikasi Teoritis Implikasi teoritis dari penelitian ini terkait dengan pengembangan instrumen networking dalam pelayanan publik. Dalam berbagai referensi yang ada (misal dalam Klinj dan Koppenjan,1999)) isu-isu hanya diarahkan pada keputusan dalam bentuk forum atau pembentukan jaringan. Isu-isu yang dipahami hanya berproses pada saat formulasi. Namun dalam penelitian ini, poin utama yang ditemukan bahwa isu-isu dalam networking tidak hanya dinamis pada proses pembentukan jaringan tetapi pada proses implementasi di lapangan. Isu tersebut akan selalu berproses dan selalu melekat pada pihak yang berjejaring. Isu juga mempunyai keterkaitan dengan keberlangsungan networking. Dinamika dalam berjejaring sangat beragam karena dipengaruhi oleh aktifitas organisasi atau para pihak yang berjejaring hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan oleh Klinj dan Koppenjan (1999). Semakin banyak pihak yang terlibat maka akan semakin dinamis isu-isu yang muncul dalam jaringan (networking). Terlebih lagi pihak yang berjejaring mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Kepentingan yang beragam dari setiap pihak yang berjejaring juga melahirkan dinamika yang bervariasi
136
dalam jaringan (networking). Penggunaan sumberdaya dari masingmasing pihak
juga dapat mempengaruhi ketergantungan dalam
jaringan. Semakin besar ketergantungan diantara pihak yang berjejaring maka semakin kuat ikatan jaringan (networking).
137