BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan Pertanyaan penelitian dalam disertasi ini adalah “Apakah model kontrol sosial yang terdiri dari faktor-faktor eksternal, kelekatan ayah-anak, kelekatan ibu-anak, komitmen sekolah, keyakinan adanya aturan luar, keterlibatan kegiatan mengisi waktu luang, kelekatan teman sebaya, dan perilaku
merokok
dapat
menjelaskan
perilaku
remaja
berisiko
penyalahgunaan NAPZA?” dan bertujuan untuk menguji model kontrol sosial yang menunjukkan keterkaitan antara kelekatan ayah-anak, kelekatan ibuanak, komitmen sekolah, keyakinan adanya aturan luar, keterlibatan teman sebaya, keterlibatan kegiatan waktu luang, juga perilaku merokok terhadap perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA pada remaja. Setelah data terkumpul dengan metode survei diperoleh model kontrol sosial perilaku remaja berisiko penyalahgunaan NAPZA dengan rincian kesimpulan sebagai berikut: 1.
Model yang diajukan berdasarkan teori, kajian pustaka seperti gambar 16 (halaman 134) dan hasil amatan di lapangan menunjukkan kesamaan antara model teoretik dan empirik. Model kontrol sosial perilaku remaja berisiko penyalahgunaan NAPZA dapat dijelaskan dari faktor-faktor eksternal yang terdiri dari kelekatan ayah-anak, kelekatan ibu-anak, komitmen sekolah, keyakinan adanya aturan luar, keterlibatan kegiatan waktu luang, kelekatan teman sebaya, dan perilaku merokok.
196
197
2. Perilaku remaja berisiko penyalahgunaan NAPZA dapat diprediksi dari keterlibatan kegiatan waktu luang dan perilaku merokok. Pada remaja yang berisiko penyalahgunaan NAPZA kurang mampu memanfaatkan waktu untuk terlibat pada kegiatan yang lebih bermanfaat apabila dibandingkan dengan remaja yang tidak berisiko. Hal ini ditunjukkan oleh perilaku seperti membolos dan keluar kelas pada saat pelajaran dan tidak kembali yang tergolong tinggi. Demikian juga dengan perilaku merokok. 3. Faktor risiko pada kelompok remaja yang berisiko penyalahgunaan NAPZA adalah keterlibatan kegiatan waktu luang. Pada remaja yang sudah terindikasi berisiko menyalahgunakan NAPZA akan diperparah oleh
ketidakmampuannya
di
dalam
memanfaatkan
waktu
luang.
Sedangkan faktor risiko untuk menyalahgunakan NAPZA pada kelompok remaja tidak berisiko adalah keterlibatan kegiatan waktu luang, perilaku merokok, dan kelekatan teman sebaya. 4. Faktor proteksi kelompok remaja berisiko penyalahgunaan NAPZA dan kelompok tidak berisiko menunjukkan kesamaan, yaitu komitmen sekolah, kelekatan ayah, dan kelekatan ibu. Yang membedakan adalah pola proteksi yang muncul pada kedua kelompok tersebut. Pada kelompok remaja berisiko penyalahgunaan NAPZA kelekatan ayah-anak dan kelekatan ibu-anak mempunyai posisi yang sama di dalam kontrol sosial, dimana harus kuat di dalam menjalin kerjasama dengan pihak sekolah. Sedangkan peran kontrol sosial ayah dan ibu pada kelompok remaja tidak berisiko berada pada area sosial yang berbeda. Kelekatan ayah-anak lebih menunjukkan kontrol remaja ketika menjalin relasi pertemanan dan
198
pemanfaatan waktu luang, serta kelekatan ibu-anak lebih mengarah untuk bekerjasama dengan sekolah. 5. Faktor eksternal yang terdiri dari: kelekatan ayah-anak, kelekatan ibuanak, komitmen sekolah, keyakinan adanya aturan luar, kelekatan teman sebaya, keterlibatan kegiatan waktu luang, dan perilaku merokok yang berpengaruh pada perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA hanya muncul pada laki-laki. Sedangkan pada perempuan faktor eksternal tersebut tidak berpengaruh terhadap perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA. Pada perempuan, perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA disebabkan oleh faktor lain di luar faktor eksternal tersebut.
B. Keterbatasan Penelitian Beberapa keterbatasan di dalam penelitian ini adalah : 1. Penilaian perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA hanya bersumber pada setting sekolah dan pertemanan. Ciri-ciri perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA yang dimunculkan hanya terukur dalam setting sekolah. Ciri-ciri dalam setting keluarga tidak terungkap di dalam penelitian ini. 2. Rentang usia remaja sebagai subjek penelitian terbatas pada remaja tengah, sehingga berpengaruh terhadap generalisasi hasil penelitian yang terbatas pada rentang usia tersebut. 3. Perbandingan faktor-faktor eksternal dengan internal terhadap perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA tidak dilakukan di dalam penelitian ini. Jadi tidak mampu menjawab “Apakah perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA disebabkan oleh faktor internal perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA
199
pada perempuan? (karena faktor-faktor eksternal tidak memberi pengaruh terhadap perilaku risiko penyalahgunaan NAPZA)”. 4. Tidak
adanya
case
central
studies
dengan
melibatkan
remaja
penyalahgunaan NAPZA.
C. Rekomendasi. 1. Secara konseptual pada penelitian lanjutan, baik bagi peneliti sendiri maupun peneliti lain. a. Ciri-ciri risiko penyalahgunaan NAPZA dimunculkan
dalam
pengukuran,
dalam setting keluarga perlu
dengan
konsekuensi
melibatkan
anggota keluarga sebagai salah satu sumber informasi pada proses pengumpulan data. b. Rentang usia remaja sebagai subjek penelitian diperluas. Perluasan subjek akan diperoleh klasifikasi usia, yaitu: remaja awal, remaja tengah, dan remaja akhir. Hal ini akan mempermudah identifikasi faktor-faktor yang
berpengaruh
pada
perilaku
risiko
penyalahgunaan
NAPZA
berdasarkan rentang usia, sehingga intervensi akan lebih spesifik. c. Faktor-faktor lain perlu dikaji dan ditambahkan, seperti
faktor-faktor
internal yang mempunyai kemungkinan mampu mengetahui faktor-faktor perilaku risiko penyalahgunaan pada remaja putri (karena pada remaja putri faktor eksternal, yang terdiri dari kelekatan ayah-anak, kelekatan ibuanak, komitmen sekolah, kelekatan teman sebaya, keyakinan adanya aturan luar, keterlibatan kegiatan waktu luang dan merokok secara simultan tidak berhubungan dengan perilaku risiko penyalahgunaan
200
NAPZA). Faktor-faktor internal yang belum dilibatkan di dalam penelitian ini seperti: harga diri, kecemasan, kemampuan memecahkan masalah, d.
Menambahkan subjek penelitian case central studies dengan melibatkan remaja penyalahgunaan NAPZA sebagai pembanding berdasarkan tahapan penyalahgunaan NAPZA.
2. Secara praktis, dilakukan oleh stake holder yang dapat berperan pada antisipasi kasus risiko penyalahgunaan NAPZA. Fungsi kontrol sosial kasus perilaku remaja berisiko penyalahgunaan NAPZA perlu ditingkatkan, sehingga membentuk sistem kontrol sosial yang general, sekolah, keluarga, dan komunitas. a. Pihak sekolah. Sekolah memiliki posisi strategis sebagai lembaga kontrol sosial dengan komitmen sekolah yang mampu mengontrol keterlibatan kegiatan waktu luang remaja, sehingga perilaku berisiko penyalahgunaan NAPZA dapat ditekan laju pertumbuhannya. (1) Secara
periodik
dapat
penyalahgunaan NAPZA. remaja
berisiko
melakukan
screening
perilaku
risiko
Screening dapat diindentifikasi apakah
penyalahguna
NAPZA
atau
tidak
berisiko
dari performansi sekolah, performansi pertemanan di sekolah, dan performansi diri. (2) Membangun sekolah ramah anak. Pada kondisi tersebut, remaja akan merasa nyaman berada di sekolah sehingga pemanfaatan waktu luang akan dilakukan dengan keikutsertaaan kegiatan di sekolah, baik mengikuti ekstrakurikuler yang berbentuk minat, bakat, hobi, dan seni atau kegiatan yang sifatnya rekreasional. Remaja yang
merasa
201
nyaman di sekolah tidak akan terlambat, membolos, maupun melanggar peraturan yang sudah ditetapkan di sekolah. (3) Membuat kebijakan sekolah untuk menggalakkan gerakan anti rokok dan bebas asap rokok di lingkungan sekolah dalam radius yang disebut sebagai “lingkungan aman dan nyaman”. Gerakan ini bisa dimulai dari Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dengan mengumpulkan tanda tangan di kain atas dukungan, partisipasi, dan kesiapsiagaan terlibat dalam gerakan anti rokok. Kain akan terpajang di tempat strategis sebagai bukti yang akan selalu mengingatkan pada gerakan yang sudah disepakati. (4) Komitmen sekolah dapat diwujudkan dengan membuat agenda yang terbangun dalam sistem kebijakan yang berbentuk kerjasama dengan orang
tua.
Pihak
sekolah
sebaiknya
menginformasikan
perkembangan belajar, sikap, dan perilaku remaja di sekolah. Agenda tersebut dapat dilakukan dengan cara forum silaturrahmi guru dan wali murid, family gathering sebagai wadah konsolidasi antara remaja, orang tua, dan guru. (5) Bekerjasama dengan Badan Narkotika Kabupaten untuk membuat kegiatan bersama sebagai antisipasi penyalahgunaan NAPZA. Kegiatan tersebut dapat berupa penyuluhan ke sekolah-sekolah atau kegiatan bersama antar sekolah di momen special, misalnya hari sumpah pemuda, hari madat internasional, hari anak atau hari kesetiakawanan sosial nasional.
202
b. Pihak keluarga (1) Meningkatkan
kelekatan
ayah-anak
dengan
membangun
kepercayaan, berkomunikasi, dan bersedia melibatkan diri dengan anak. Ayah perlu lebih aktif di dalam menjalankan perannya sehingga fungsi kontrol sosial lebih optimal. Hal ini bisa dilakukan dengan quality time, seperti makan, “ngobrol”, nonton bioskop, jalan-jalan, atau olah raga. (2) Orang tua menjalin kerjasama dengan pihak sekolah secara efektif. Hal ini dapat terjalin melalui keikutsertaan orang tua dalam forum silaturahmi orang tua murid (atau kegiatan sejenis lainnya) dan komite sekolah. Melalui kegiatan tersebut orang tua dapat memantau proses dan hasil belajar anak di sekolah. (3) Peran ayah pada remaja tidak berisiko mengarah sebagai relasi pertemanan, sehingga akan lebih mudah mengikuti dan mengontrol kuantitas dan kualitas pertemanan. Posisi ayah sebagai teman yang sejajar dengan anak menjadikan anak merasa tidak “sungkan” untuk menyampaikan permasalahan yang muncul. (4) Pada remaja tidak berisiko, peran ayah diharapkan untuk mengontrol pemanfaatan kegiatan waktu luang. Pada posisi ini ayah hendaknya lebih komunikatif dengan remaja. Komunikasi tentang pemanfaatan kegiatan waktu luang misalnya dilakukan, dengan siapa,
menanyakan kegiatan rutin yang
dimana kegiatan berlangsung, dan
memperoleh apa dari kegiatan tersebut. Apabila ayah sudah memposisikan sebagai teman (seperti poin 3 di atas), akan lebih mudah informasi pemanfaatan waktu luang digali dari remaja. Orang
203
tua dapat menyediakan sarana dan prasarana agar remaja terlibat dan mengisi waktu luang dengan kegiatan yang positif dan produktif Sarana dan prasarana disesuaikan dengan dengan modalitas keluarga yang dimiliki, seperti kemampuan finansial, dan modalitas remaja, seperti ketertarikan atau minat dan kebermanfaatan. c. Lembaga kontrol sosial terkait, seperti karang taruna diaktifkan kembali agar menjadi wadah kegiatan mengisi waktu luang remaja di masyarakat, klub olah raga, sanggar kesenian dan kreativitas. Untuk mewujudkannnya diperlukan sistem ekologi sosial yang lebih makro dengan kebijakan yang diberlakukan. Selain itu Badan Narkotika Kabupaten menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan dan atau lembaga sosial lain untuk membentuk aksi nyata dalam program antisipasi.