BAB VI KESIMPULAN
6.1. Kesimpulan Sesuai dengan pertanyaan penelitian, tujuan, dan manfaat penelitian yang dikaji berdasarkan hasil analisis dari pengumpulan data, maka ditarik beberapa pokok kesimpulan sebagai berikut.
6.1.1. Prosesi dan Transformasi Budaya Pesta Tiwah Tiwah atau disebut juga magah salumpuk liau oloh matei (mengantar jiwa orang mati) merupakan upacara sakral terbesar dalam tradisi masyarakat Dayak Ngaju yang berfungsi untuk mengantarkan jiwa (soul atau hambaruan) dari para kerabat yang telah meninggal menuju ke bentuk roh (spirit atau salumpuk liau) di Lewu Tatau, suatu dimensi keabadian di langit ketujuh. Pentingnya diadakan ritual ini dikarenakan adanya kepercayaan dalam masyarakat Dayak Ngaju bahwa jika belum menyelenggarakan prosesi Tiwah untuk para kerabat yang telah meninggal, maka jiwa mereka tidak dapat memasuki alam roh di Lewu Tatau. Beberapa bangunan sakral, satu balai dan tiang-tiang pengorbanan harus didirikan, berbagai jenis hewan kurban menjadi bagian dari persembahan. Setelah beberapa tahun sejak meninggalnya seorang Dayak Ngaju, tulangbelulang jenazah tersebut digali, dibersihkan dari setiap sisa daging, dicuci, ditaburi bedak dan wewangian, kemudian ditempatkan dalam wadah kubur sekunder (sandong) berbentuk rumah panggung bersama dengan tulangbelulang jenazah kerabat lainnya yang sudah terlebih dahulu di-Tiwah-kan.
175
Pelaksanaan Pesta Tiwah terbagi menjadi beberapa bagian dan harus dilaksanakan sesuai dengan protokol yang benar, karena jika tidak sesuai protokoler, maka jiwa akan gagal sampai ke Lewu Tatau. Prosesi utama dari Pesta Tiwah berdasarkan observasi adalah 1) Membuka wadah kubur primer; 2) Proses mengantarkan jiwa menuju dimensi roh; dan 3) Memasukkan tulang ke wadah kubur sekunder Transformasi bentuk ritual di masa kolonialisme Hindia Belanda menjadi yang paling signifikan dalam mempengaruhi bentuk Pesta Tiwah di masa sekarang. Di samping itu, perubahan pandangan masyarakat karena pengaruh pendidikan dan kemajuan zaman seolah menganggap Pesta Tiwah sudah tidak relevan dengan keadaan sekarang. Contoh transformasi budaya Pesta Tiwah dapat dilihat di tabel berikut ini. Tabel 6.1. Transformasi Budaya Pesta Tiwah No.
Pesta Tiwah Pra Koloni Hindia Belanda
Pesta Tiwah Pasca Koloni Hindia Belanda Hingga Masa Sekarang
1
Jenis korban yang diikat di sapundu berupa hewan dan jipen atau rewar yaitu budak
Masyarakat kasta budak tidak diperbolehkan untuk dipersembahkan dalam Pesta Tiwah, setelah Perjanjian Damai Tumbang Anoi tahun 1894
2
Gelas untuk meminum baram (tuak) berasal dari tanduk kerbau
Gelas berbahan kaca atau plastik
3
Kain yang digunakan memiliki warna tertentu yang dianggap magis, yaitu kuning, merah, hijau, dan putih.
Kain yang umum dijumpai di pasar dan sebagian besar bermotif batik Jawa
4
Sandong dan sapundu diwarnai dengan pewarna alami yang berasal dari hutan
Sandong dan sapundu dicat
5
Letak sandong sejajar atau linier dengan sungai
Letak sandong banyak yang sudah sejajar dengan jalan raya
6
Semua bentuk hiasan memiliki makna religius dan harus dibuat oleh ahlinya
Arti dan nilai sudah bergeser mengikuti perkembangan zaman
7
Malam Pesta Tiwah seharusnya diadakan acara permainan judi besar-besaran
Acara judi dilarang oleh pemerintah Indonesia, sehingga tidak diselenggarakan lagi
176
9
Semua peserta wajib meminum baram atau tuak
Karena kadar alkohol baram yang cukup tinggi, maka bagi yang tidak kuat dapat digantikan dengan bir yang memiliki kadar alkohol lebih rendah. Bagi yang haram untuk meminumnya, dapat menolak dengan halus atau menggantinya dengan air putih
10
Kerbau ditikam sampai mati, dan dipotong oleh perwakilan keluarga peserta Pesta Tiwah
Kerbau tidak ditikam sampai mati, tetapi dipotong oleh seorang tokoh masyarakat beragama Islam, sehingga bisa dimakan oleh semua lapisan berlainan agama, termasuk orang Dayak Ngaju yang beragama Islam
11
Tiwah hanya dilakukan oleh kasta superior dan memiliki kedudukan sosial yang tinggi dalam masyarakat
Tiwah dilakukan oleh hampir semua pemeluk agama Kaharingan
12
Prosesi Tiwah dilaksanakan kurang lebih satu bulan
Prosesi Tiwah hanya dilaksanakan selama tiga hingga tujuh hari untuk memangkas dana
14
Sandong terbuat dari kayu ulin atau Borneo Ironwood (Eusideroxylon zwageri)
Sandong terbuat dari batu bata dan semen
(Sumber: Analisis, 2015)
6.1.2. Identifikasi Elemen-Elemen Sumber Daya Budaya dalam Pesta Tiwah sebagai Daya Tarik Wisata 1) Bahasa Kuno sebagai Alat Komunikasi dengan Leluhur. Bahasa kuno yang digunakan dalam Pesta Tiwah adalah bahasa Sangen, yang dipercaya digunakan oleh para roh yang mendiami tempattempat sakral di bumi dan roh leluhur yang tinggal di dimensi transenden, Lewu Tatau. Fenomena penggunaan ‘bahasa roh’ dalam berkomunikasi dengan leluhur merupakan hal yang langka dalam kehidupan sehari-hari dan dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan yang akan menyaksikan event Pesta Tiwah. 2) Regenerasi Tradisi sebagai Living Heritage. Jika menyaksikan Pesta Tiwah, maka wisatawan akan diajak kembali ke masa lampau, yaitu menyaksikan prosesi penguburan sekunder yang
177
merupakan tradisi masyarakat Proto Austronesia yang berawal di Zaman Megalitikum. Tradisi penguburan sekunder merupakan keberlanjutan dari tradisi masa lampau dan masih dipraktikan oleh masyarakat Dayak Ngaju hingga masa sekarang, sehingga Pesta Tiwah merupakan bentuk living heritage. 3) Bahtera Perjalanan Kosmik Sebagai Souvenir Kerajinan Tangan. Perwujudan bahtera pengangkut jiwa orang mati dalam perjalanan kosmik di dimensi transenden menuju ke dunia roh divisualisasikan oleh penggiat ekonomi kreatif ke dalam bentuk kerajinan tangan. Beberapa produk kerajinan getah nyatu dan anyaman yang terbuat dari dawen kajang memiliki desain berdasarkan representasi dari nyanyian-nyanyian mantera dalam prosesi Pesta Tiwah, yaitu bentuk banama bulau (bahtera emas) dan banama hintan (bahtera intan). 4) Ragam Kuliner dan Sesajian Pemikat Roh Halus. Pesta Tiwah meyakini kewajiban penyajian makanan tertentu yang digunakan sebagai persembahan dari masyarakat kepada para sangiang (roh-roh leluhur) dan kepada taloh (roh-roh halus) sebagai tolak bala, di antaranya yaitu telur ayam kampung, beras/nasi putih, beras/nasi merah, beras ketan, lamang (ketan yang dibakar dalam bambu), kue cucur, ketupat, dan daging kerbau. Panitia Pesta Tiwah menjamu tamu dengan berbagai jenis makanan yang disebut dengan hajamuk hapuar, seperti daging kerbau, daging sapi, daging ayam, dan daging babi. Minuman yang selalu dituangkan adalah teh hangat dan baram, yaitu sejenis minuman tradisional beralkohol yang terbuat dari fermentasi beras. 5) Alunan Musik Tanpa Jeda dan Tarian Sakral.
178
Selama berlangsungnya Pesta Tiwah, perkusi gandang garantung dimainkan hampir non-stop dengan hanya sedikit waktu jeda, baik itu siang maupun malam. Para pemain musik selalu bergantian secara reguler, jika ada yang lelah maka orang lain akan menggantikannya. Memainkan alat musik ini sangat mudah, hampir semua peserta maupun tamu diperbolehkan untuk memukul perkusi tersebut. Selain musik, beberapa tarian sakral juga dipertunjukkan dalam Pesta Tiwah, salah satunya yaitu tari kanjan atau disebut dengan manganjan. Tari kanjan merupakan tarian sakral untuk mengantarkan jiwa orang yang meninggal ke alam roh, gandang garantung menjadi alat musik yang mengiringi tarian tersebut. 6) Aksesoris Fashion sebagai Jimat. Dalam Pesta Tiwah, ornamen busana yang wajib digunakan peserta adalah lawung bahandang (ikat kepala berwarna merah) dan ikat pinggang bahalai (kain selendang), sedangkan pakaian untuk para pendeta tukang hanteran dan basir biasanya lebih kompleks. Setiap ornamen busana yang dipakai oleh para pendeta merupakan jimat yang memiliki kekuatan khusus. Beberapa jimat yang digunakan adalah Penyang Gawing Haramaung, Barun Rakawan, Salingkat Sangkurat Benang Ranggam Malahoi, Ewah Bumbun, dan Lawung Sansulai Dare Nucung Dandang Tingang. 7) Pola Kehidupan Masyarakat Sebagai Aktivitas Leisure. Selain merasakan pengalaman unik selama mengikuti Pesta Tiwah, wisatawan dapat berpartisipasi dengan masyarakat dengan melakukan aktivitas seperti berburu dan menangkap ikan dengan metode tradisional (berburu babi hutan, memasang jerat, memancing dan menjala), berladang (menanam dan memanen padi, menyadap karet), membuat kerajinan
179
(menganyam rotan, memahat patung, merangkai manik-manik), trekking menyusuri hutan dan sungai (menjelajah hutan dan berenang di sungai), mengamati flora dan fauna eksotik (berinteraksi dengan orangutan, mengumpulkan tanaman obat dari hutan), berbelanja (membeli produk di pasar terapung), dan lain sebagainya. 8) Konsepsi Bangunan dan Ruang Sakral Pesta Tiwah Konsepsi ruang sakral dalam religi masyarakat Dayak Ngaju memandang bagian daratan yang lebih dekat dengan sungai dan sungai itu sendiri memiliki tingkat sakral yang lebih tinggi jika dibandingkan bagian daratan yang jauh dari sungai dan di ruang sakral inilah Pesta Tiwah diselenggarakan. Masyarakat Dayak Ngaju percaya bahwa arah hulu (ngaju) dan matahari terbit (kabeloman andau) adalah arah yang lebih baik dari arah hilir (ngawa) ataupun arah matahari terbenam (kabelepan andau). Namun demikian lingkungan fisik suatu wilayah juga ikut menentukan arah hadap suatu bangunan. Arah sungai menjadi prioritas utama dalam menentukan arah hadap bangunan, karena sungai memiliki multifungsi bagi kehidupan. Dataran yang lebih rendah yang dekat dengan sungai dan sungai itu sendiri dianggap memiliki tingkat kesakralan yang tinggi oleh masyarakat Dayak Ngaju, hal ini berbeda dengan konsepsi masyarakat derah lain, seperti di Jawa yang menganggap dataran yang lebih tinggi, seperti puncak bukit dan gunung memiliki tingkat kesakralan yang lebih tinggi dibandingkan dengan dataran yang lebih rendah. 9) Arsitektur Religi Pesta Tiwah Arsitektur religi dalam Pesta Tiwah merupakan pencampuran antara aspek-aspek
yang
berasal
dari
ruang
transenden
Upperworld
dan
180
Underworld atau Celestial Realm, yaitu aspek-aspek yang terkait dengan konsep teologis Kaharingan dan kosmologis Dayak Ngaju, dan aspekaspek yang berasal dari kehidupan manusia di ruang realitas Middleworld atau Terrestrial Realm, yaitu aspek-aspek yang terkait dengan perwujudan fisik bangunan religi tersebut. Konsepsi religi dari Pesta Tiwah kemudian diejawantahkan dalam bentuk materi fisik, masyarakat Dayak Ngaju percaya bahwa kehadiran simbol-simbol dari ruang transenden yang dimunculkan di ruang realitas dengan mediator ritual sakral Pesta Tiwah diharapkan memberi ketentraman bagi kehidupan manusia di bumi dan ‘kehidupan’ roh di Lewu Tatau. Ekpresi material dari ritual penguburan sekunder tersebut berwujud celestial archetype, yaitu sapundu dan sandong.
6.2. Rekomendasi 6.2.1. Pemanfaatan Domain Sakral dan Profan sebagai Atraksi Wisata Industri pariwisata dengan kebudayaan sebagai objeknya telah membawa paradigma baru, di mana sumber daya budaya yang dulunya sebagai konsumsi masyarakat, sekarang telah bergeser menjadi konsumsi bagi pasar wisatawan. Paradigma baru tersebut adalah ‘komersialisasi budaya’ atau ‘budaya yang dijual’. Komersialisasi budaya tersebut menyajikan bentuk sumber daya budaya yang tidak dilakukan dalam praktik yang biasa dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi disesuaikan dengan waktu dan daya beli wisatawan yang menyaksikannya. Bentuk komersialisasi budaya itu tidak hanya terjadi dalam adat istiadat saja, tetapi meliputi semua unsur kebudayaan yang banyak kaitannya dengan kegiatan kepariwisataan, seperti misalnya seni patung, seni
181
lukis, busana, makanan tradisional dan banyak bentuk sumber daya budaya lainnya yang mampu memberikan daya tarik bagi wisatawan. Komersialisasi budaya mengakibatkan suatu bentuk sumber daya budaya yang awalnya berada di ruang privat dan memiliki kesakralan, mulai bergeser ke ruang publik yang profan dan memanfaatkan daya tarik sumber daya budaya tersebut menjadi nilai ekonomis yang dapat dijual. Masyarakat Dayak Ngaju sendiri memandang kehidupan merupakan suatu kesatuan holistik. Mereka mempercayai bahwa kehidupan di dunia ini adalah sesuatu yang fana dan tidak ideal. Hanya melalui Tiwah saja lah mereka akan mencapai bentuk ‘kehidupan’ yang sesungguhnya, suatu keabadian di dimensi lain kosmos yang dianggap lebih ideal. Adanya pembagian sakral dan profan merupakan cara pandang dari masyarakat luar yang menilai cara masyarakat Dayak Ngaju dalam praktik dan interaksi sosio-religi mereka secara vertikal dengan Sang Pencipta maupun secara horizontal, dengan sesama masyarakat. Kesakralan atau suatu bentuk kepercayaan supranatural komunal terhadap suatu objek dipercaya oleh masyarakat Dayak Ngaju ada dalam setiap unsur kehidupan dan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Semua dilakukan di dunia ‘sementara’ ini dipandang suci, kudus, sakral. Mulai dari kelahiran, bercocok tanam, berladang, berburu,
perkawinan, membangun
rumah, dan kematian, semuanya memiliki konsep kesakralan, hanya saja struktur stratifikasinya yang berbeda-beda. Dari semuanya itu, ritual adat Pesta Tiwah merupakan ritual paling sakral yang menempati posisi puncak dari berbagai ritual religi masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah.
182
6.2.2. Formulasi Kebijakan Daya tarik Pesta Tiwah dalam memberikan pengalaman kepada wisatawan tentang tradisi masyarakat dan kearifan budayanya yang merupakan warisan budaya yang hidup, karena di banyak tempat, khususnya di negara lain, suatu destinasi wisata harus menghidupkan kembali dan mengkreasi ulang suatu budaya yang sudah punah untuk ‘dijual’ sebagai produk wisata. Berikut ini rangkuman poin arah kebijakan yang dapat menjadi acuan dalam pengembangan Pesta Tiwah sebagai produk wisata. 1)
Memberikan perlindungan terhadap Pesta Tiwah sebagai warisan budaya: Adanya registrasi serta perlindungan HAKI (Hak Atas Karya Intelektual) terhadap unsur-unsur sumber daya budaya Pesta Tiwah masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah yang terpetakan dan terdokumentasikan; melakukan inventarisasi rangkaian Pesta Tiwah di Kalimantan Tengah dalam satu tahun agar tercatat di calender of event.
2)
Mempromosikan produk wisata budaya Dayak Ngaju ke sasaran segmentasi pasar: Memperkenalkan kekayaan sumber daya budaya yang dimiliki Pesta Tiwah kepada dunia luar. Promosi dilakukan melalui travel fair; mengadakan event festival budaya berskala internasional dengan mengundang duta kebudayaan negara-negara sahabat serta media massa nasional dan internasional
3)
Stakeholder
partnership
dalam
mengembangakn
Pesta
Tiwah
sebagai produk wisata: Penguatan sistem sosial dengan membangun kemitraan antara masyarakat dengan sektor privat untuk lebih memperkokoh pengembangan Pesta Tiwah sebagi produk wisata
183
dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya budayanya sebagai bagian dari ekonomi kreatif. Untuk melengkapi penjelasan arah kebijakan di atas, disusun formulasi kebijakan yang dapat diterapkan untuk mengembangkan Pesta Tiwah sebagai produk wisata budaya di Kalimantan Tengah. Model tersebut terdiri dari arahan kebijakan, strategi, dan program-program yang akan dikerjakan.
Tabel 6.2. Formulasi Pengembangan Pesta Tiwah sebagai Produk Wisata No
Kebijakan
Strategi Inventarisasi rangkaian Pesta Tiwah di Kalimantan Tengah dalam satu tahun
1
Perlindungan (Memberikan perlindungan Pesta Tiwah sebagai warisan budaya)
Perlindungan HAKI (Hak Atas Karya Intelektual)
Menentukan segmentasi pasar
2
Promosi (Mempromosikan produk wisata budaya Dayak Ngaju ke sasaran segmentasi pasar)
Memperkenalkan Pesta Tiwah ke dunia internasional
Penguatan sistem sosial antara masyarakat dengan
Program - Mencatat agenda Pesta Tiwah di setiap Kabupaten - Membuat siklus penyelenggaraan Pesta Tiwah di Provinsi Kalimantan Tengah - Membuat calender of event Pesta Tiwah - Melakukan registrasi Pesta Tiwah sebagai living heritage dan warisan budaya tidak berwujud - Mencatat dan membukukan mantramantra suci yang digunakan untuk mengantar jiwa dimensi keabadian - Mendaftarkan kreasi kuliner dan handycraft sebagai HAKI - Mengevaluasi demografi wisatawan yang datang selama lima tahun terakhir - Mengevaluasi psikografi wisatawan yang datang selama lima tahun terakhir - Melakukan survei dan penelitian kuantitatif tentang persepsi wisatawan - Memperkenalkan budaya Dayak Ngaju di international travel fair - Bekerjasama dengan media massa nasional dan internasional untuk membuat buku dan film dokumenter tentang Pesta Tiwah - Mengadakan festival budaya tahunan berskala internasional di Kalimantan Tengah - Rutin mengundang dan melakukan pertukaran duta dan misi kebudayaan dengan negara lain - Menggunakan unsur-unsur kebudayaan di tempat akomodasi wisata - Pelatihan mengkonsep rumah
184
sektor privat
3
Partnership (Stakeholder partnership dalam mengembangkan Pesta Tiwah sebagi produk wisata)
masyarakat sebagai homestay yang higienis bagi wisatawan
- Membentuk Pokdarwis (Kelompok sadar wisata) di setiap desa di Kalimantan tengah - Pelatihan hospitality dan bahasa asing kepada masyarakat - Membuat itinerary dan paket wisata Pesta Tiwah berdasarkan daya tarik yang dimiliki masing-masing desa - Pelatihan promosi di media sosial tentang potensi dan kekayaan budaya dan alam - Memperkenalkan sektor privat penggiat Membuat kreasi ekonomi kreatif Pesta Tiwah handycraft yang - Membuat prototype produk handycraft merepresentasikan baru Pesta Tiwah - Memasukkan produk ke dalam salah satu souvenir khas Kalimantan Tengah - Memperkenalkan sektor privat usaha Membuat kreasi kuliner food and beverage kepada kuliner yang tradisional Pesta Tiwah merepresentasikan - Membuat kreasi menu baru yang ada Pesta Tiwah dalam Pesta Tiwah - Memasukkan produk kuliner baru sebagai salah satu makanan khas Kalimantan Tengah (Sumber: Analisis, 2015) Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya budayanya sebagai bagian dari ekonomi kreatif
Mengakhiri penelitian ini, diharapkan munculnya kebijakan baru di sektor pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah yang mengembangkan Pesta Tiwah sebagai produk wisata dan menjadi bagian dari ekonomi kreatif berbasis seni budaya, yang di dalamnya terdapat seni pertunjukan, musik, kerajinan, fashion, kuliner, dan itu semua terkait dengan kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat adat Dayak Ngaju. Ekonomi kreatif tidak bermaksud untuk ‘memperdagangkan’ budaya tetapi merupakan suatu bentuk usaha mempromosikan dan melestarikan nilai-nilai yang ada dalam Pesta Tiwah. Kemajuan ekonomi dapat berjalan seiring dengan kemajuan budaya. Modernisasi diharapkan dapat memberi inspirasi bagi konservasi budaya. Melalui proses cross-culture dialogue, pariwisata akan memacu kreativitas berkebudayaan, termasuk usaha-usaha pelestarian Pesta Tiwah sebagai
185
warisan budaya masyarakat Dayak Ngaju. Industri pariwisata, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan mendorong terjadinya
hasrat
keagamaan, pendekatan diri kepada Sang Pencipta, dan pencarian identitas. Dampak
pariwisata
terhadap kebudayaan lebih bersifat additif dibanding
substitutif dan pariwisata hanya salah satu agen perubahan sosial budaya, karena masyarakat Dayak Ngaju mampu mengakomodasi budaya asing yang masuk dan mempengaruhinya. Jika sebelumnya Pesta Tiwah hanya digunakan untuk kalangan sendiri dengan
makna
dan
fungsi
khusus,
maka
kehadiran
wisatawan
akan
menambahkan nilai lain terhadap daya tarik budaya sebagai produk wisata. Pariwisata budaya terus berkembang dan tak hanya dilihat sebagai konsepsi diversitas manusia. Proses pariwisata budaya yang besar akan mengakibatkan efek multi ganda di berbagai bidang, dan tentunya akan memperkuat aktivitas ekonomi, khususnya bagi masyarakat Dayak Ngaju sebagai tuan rumah. Kehadiran dan pertumbuhan angka kedatangan wisatawan di Kalimantan Tengah diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap peningkatan sarana akomodasi, amenitas, transportasi, fasilitas, dan sektor jasa lainnya demi kemakmuran masyarakat Kalimantan Tengah.
186