BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITAS Kata “benteng” secara umum diartikan sebagai sebuah tempat untuk melindungi diri dari serangan musuh. Kata benteng (fortrees) digunakan oleh Schulte Nordholt (2007) untuk menggambarkan situasi dilematis yang dihadapi Bali (pusat) periode 1995-2005, yaitu bagaimana melindungi kebudayaan Bali tanpa menutup diri terhadap dunia luar. Karenanya, Nordholt menggambarkan situasi dilematis Bali tersebut sebagai “benteng terbuka” (open fortress) – bukan benteng yang tertutup karena ketergantungan perekonomian Bali terhadap industri pariwisata yang menuntut adanya kerterbukaan terhadap wisatawan dan arus investasi. Benteng tersebut merupakan upaya pelestarian (perlindungan) terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian. Dalam konteks komunitas Bali Hindu di Balinuraga sebagai komunitas pendatang dan minoritas etnik-agama di Lampung, benteng pelestari identitasnya bukan merupakan benteng terbuka seperti pusat (Bali), melainkan benteng tertutup yang dimanifestasikan dalam bentuk Kampung Bali. Benteng tertutup diartikan sebagai tempat untuk mempertahankan dan melestarikan kebudayaan asal (leluhur) atau identitas kebalian mereka: Kebudayaan Bali atau Kebudayaan Bali Hindu.
Benteng Identitas Kebalian di Luar Bali Sebenarnya apa yang melatarbelakangi komunitas Bali Nusa – dan juga komunitas Bali Hindu di Lampung – membangun komunitasnya secara eksklusif seperti sebuah benteng kebudayaan Bali (identitas kebalian) di luar Bali? Ada dua alasan yang mendasar untuk menjawab pertanyaan (seperti yang telah diuraikan di bab-bab sebelumnya). Pertama, kuatnya ikatan sosial yang melekat (embedded) sampai ke level individu260. Sistem sosial yang menjadi ikatan sosial itu adalah identitas 260
Oliver E. Williamson (2000) menyebutkan bahwa tingkat kelembagaan yang tertinggi (level pertama) berada pada lembaga yang memiliki keterlekatan yang tinggi (embeddedness), seperti lembaga informal, kebiasaan-kebiasaan, tradisi, norma dan agama, di mana kerap sulit untuk dikalkulasikan dan bersifat spontan. Kelembagaan di tingkat ini dalam keterbentukannya berfrekuensi dalam rentang seratus sampai seribu tahun.
397
mereka, dan identitas itu melekat dalam sistem sosial tersebut. Mereka terikat pada: identitas warga yang memiliki status sosial tertentu dengan simbol-simbol identitasnya; adat dan keagamaan Bali Hindu serta ikatan kekerabatan di dalamnya; keanggotaan terhadap organisasi atau perkumpulan tertentu seperti banjar dan seka; tanah kelahiran di Nusa Penida (Bali); tata cara upacara dan upakara dalam sistem (ritual dan upacara) adat, keagamaan, ekonomi dan politik yang memiliki ciri khas Bali Nusa (secara umum menjadi ciri khas Bali); penggunaan bahasa ibu (Bahasa Bali Nusa); dan sebagainya. Kuatnya ikatan sosial tersebut yang menjadi penyebab mengapa masyarakat Bali (termasuk masyarakat Jawa) cukup sulit untuk bertransmigrasi atau meninggalkan kampung halamannya – transmigrasi dalam jumlah yang besar baru terjadi setelah adanya letusan Gunung Agung tahun 1963, sesuatu yang tidak dapat mereka hindari dan menjadi “pemaksa” mereka untuk bertransmigrasi. Mereka khawatir identitas atau jati dirinya melekat pada tanah kelahiran akan hilang setelah mereka bertransmigrasi. Kuatnya ikatan sosial ini yang mendasari transmigran Bali Nusa membangun perkampungan Bali yang khusus untuk Bali dari Nusa Penida lengkap dengan pranata-pranata sosial yang menjadi simbol identitas kebalian mereka. Mereka tidak ingin kehilangan identitasnya sebagai Bali Hindu dari Nusa Penida, dan ingin “serasa dekat” dengan tanah kelahirannya: tetap menjadi Bali (identik) setelah di luar Bali, Lampung. Kampung Bali ini menjadi benteng tertutup yang menjadi “pertahanan terakhir” kebudayaan Bali di luar Bali: bahwa identitas kebalian bisa tetap eksis setelah berada di luar Bali. Identitas kebalian tidak dijadikan sebagai produk komersial bagi industri pariwisata, seperti yang terjadi di beberapa daerah di Bali. Kegiatan adat dan keagamaan – yang turut dimanifestasikan dalam produk-produk kesenian – merupakan sebuah kewajiban atas sistem sosial yang mengikat tersebut. Kedua, alasan pragmatis terkait keberlangsungan identitas kebalian tersebut. Perkampungan Bali menjadi benteng kebudayaan Bali di Lampung. Benteng ini – dan benteng lainnya yang tersebar di wilayah Lampung – berada di tengah-tengah masyarakat Lampung yang mayoritas beretnis Jawa dan beragama Islam: sama seperti Pulau Bali yang menjadi wilayah dan basis masyarakat Hindu di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Bagaimana tidak. Anggota komunitasnya
398
adalah masyarakat Bali Hindu. Infrastruktur adat dan keagamaan Bali Hindu ada di dalam perkampungan tersebut. Semua kegiatan adat dan keagamaan dilangsungkan di dalamnya. Sangat tidak praktis dan ekonomis jika mereka hidup terpencar-pencar – sebuah tindakan yang tidak mungkin mereka lakukan karena adanya ikatan sosial tersebut. Hidup dalam sebuah benteng yang tertutup memudahkan mereka melaksanakan kewajiban adat dan agama yang jumlahnya banyak serta melibatkan massa yang besar. Kegiatan adat dan agama tersebut dapat berlangsung dengan baik dan tidak mengganggu atau menimbulkan ketersinggungan komunitas lain. Di dalam benteng tertutup ini saja di wilayah Lampung masyarakat Lampung (Bali Hindu) bisa memelihara babi secara leluasa. Dengan demikian, proses pelestarian kebudayaan Bali dapat dilaksanakan dengan bebas di dalam benteng tersebut. Mendirikan benteng identitas dalam konteks melestarikan identitas budaya pasti ada tujuannya, yaitu melindungi diri dari serangan musuh. “Musuh” yang dimaksudkan adalah pengaruh-pengaruh dari lingkungan yang lebih luas di mana benteng itu berada. Ini adalah sebuah tantangan yang harus dihadapi oleh individu dan komunitas yang ingin melestarikan identitasya di dalam sebuah benteng tertutup: mempertahankan dan melestarikan identitas – pengajegan – tanpa harus mengorbankan perekonomian anggota komunitas, dan tetap bisa mengikuti dan menjawab tentangan zamannya. Tantangan terus berubah seiring dengan perubahan waktu (masa, zaman), bersifat dinamis, karenanya mereka pun harus dinamis untuk menjawab tantangan tersebut. Dengan kata lain, musuh yang mengancam benteng tersebut adalah musuh yang terus berubah, bukan musuh abadi. Terutama setelah menjadi benteng tertutup. Tantangan ini yang harus dijawab dan diselesaikan dengan strategi kebudayaan versi mereka sebagai upaya pelestarian identitas yang selaras dengan pembangunan.
Tantangan dan Ancaman, Peluang dan Kekuatan Upaya pelestarian identitas kebalian komunitas Bali Nusa di Lampung dilatarbelakangi adanya tantangan dan ancaman. Posisi sebagai pendatang dengan minoritas etnik-agama cum lingkungan dan kondisi sosial baru yang kompleks dan heterogen menjadikan komunitas ini secara
399
alamiah (berdasarkan naluri, insting) melakukan upaya pelestarian identitas. Dengan kata lain, komunitas ini membentengi identitasnya. Adanya tantangan dan ancaman, baik yang terlihat dan tidak terlihat sebagai akibat dari lingkungan dan kondisi sosial yang baru dan berbeda dengan tempat asal, justru memberikan gairah bagi komunitas ini untuk terus melakukan upaya pelestarian identitas dengan beberapa penyesuaian sebagai respon atas tantangan dan ancaman tersebut. Upaya pelestarian identitas ini bersifat kesinambungan, bukan proses yang berhenti pada satu tahap tertentu, dikarenakan tantangan dan ancaman terhadap kelestarian identitas mereka terus berubah seiring dengan perubahan waktu. Di sisi lain, lingkungan dan kondisi sosial yang baru dan berbeda dengan tempat asalnya memberikan peluang dan konsolidasi kekuatan berbasis etnisitaskeagamaan yang lebih terbuka. Peluang ekonomi terbuka dengan luas, dan komunitas ini memiliki kekuatan atau keunggulan di level individu dan komunitas untuk memanfaat peluang ekonomi tersebut. Peluang ekonomi terbuka lebar di bidang pertanian dan industrinya. Di level individu komunitas, orang Bali, memiliki semangat kerja yang tinggi di bidang pertanian, sedangkan di level komunitas mereka memiliki kesolidan kelompok. Di samping itu, ada peluang sosial di dalam komunitas mereka dengan kekuatan ekonominya untuk menjadikan sistem sosial mereka lebih egaliter, dan melalui kekuatan ekonomi tersebut mereka bisa melakukan upaya pelestarian identitas yang lebih kreatif, lain daripada yang lain (dibandingkan secara umum yang ada di Bali), namun unsur kebalian itu tetap ada dan kental.
Tantangan dan Ancaman terhadap Kelestarian Identitas Kebalian261 Tantangan dan ancaman tidak selalu direspons sebagai sesuatu yang negatif. Artinya, dalam konteks ini, tantangan dan ancaman bisa menjadi sebuah peluang dan kekuatan bagi kelestarian identitas mereka. Komunitas ini sudah terbiasa dalam menghadapi tantangan dan ancaman 261
Nama-nama yang digunakan sebagai contoh kasus dalam bagian ini bukan merupakan nama sebenarnya. Tujuannya adalah untuk melindungi privasi para informan. Meskipun demikian, kasus yang diutarakan tetap merupakan sebuah fakta yang terjadi di lapangan.
400
sebagai konsekuensi lingkungan dan kondisi sosial yang baru dan berbeda dengan tempat asal mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan tetap eksisnya komunitas ini dan identitas kebaliannya yang kental setelah empat dasawarsa berada di Lampung. Berikut ini adalah beberapa tantangan dan ancaman yang dihadapi oleh komunitas ini dalam dua dasawarsa terakhir:
Lingkungan Sosial dan Pergaulan yang Heterogen Konsekuensi logis setelah masyarakat Bali Nusa bertransmigrasi ke Lampung adalah mereka harus menghadapi lingkungan sosial dan pergaulan yang baru. Sebuah lingkungan sosial dan pergaulan yang lebih heterogen. Berbeda dengan lingkungan sosial mereka ketika masih berada di Nusa Penida (dan Bali dalam wilayah yang lebih luas) dengan lingkungan sosial yang cenderung lebih homogen, dan posisi etniskeagamaan sebagai mayoritas. Heterogenitas masyarakat Lampung dapat dilihat dari komposisi masyarakatnya yang terdiri dari berbagai macam etnik dan kepercayaan. Khusus di Kecamatan Way Panji dan sekitarnya (dalam Kabupaten Lampung Selatan), terdapat beberapa kelompok etnik, diantaranya: Jawa, Lampung, Sunda, Padang, Batak, Melayu, dan Tionghua. Interaksi dengan lingkungan sosial yang lebih heterogen terjadi ketika mereka berada di luar lingkungan Desa Balinuraga, misalnya di Pasar Kecamatan Sidomulyo262. Lingkungan sosial yang lebih heterogen, termasuk di dalamnya pergaulan atau interaksi sosial yang lebih heterogen, memberikan efek positif dan negatif terhadap kelestarian identitas mereka. Efek positifnya, seperti yang berlaku dalam sebuah masyarakat yang heterogen (pluralis), adalah kebebasan bagi mereka untuk mengaktualisasikan identitasnya, baik dalam bentuk ritual dan upacara adat dan keagamaan maupun penggunaan dan pembangunan simbol-simbol identitas tersebut. Tidak kalah penting adalah bagaimana mereka mereformasi sistem sosialnya (sebagai warisan dan identitas mereka dari tanah leluhur) menjadi lebih egaliter. Efek 262
Meskipun sudah terjadi pemekaran Kecamatan Sidomulyo, Pasar Kecamatan Sidomulyo masih digunakan sebagai pasar utama bagi kecamatan-kecamatan baru hasil pemekaran Kecamatan Sidomulyo. Umumnya masyarakat Balinuraga dan masyarakat desa lainnya menjadikan Pasar Kecamatan Sidomulyo sebagai tempat berinteraksi ekonomi dan sosial.
401
negatifnya, yang dapat dikatakan sebagai ancaman (sekaligus peluang) adalah pengaruh-pengaruh dari lingkungan sosial dan pergaulan sosial yang heterogen tersebut. Misalnya (akan dibahas pada poin berikutnya) seperti: urbanisasi, konsumerisme dan pragmatisme, perkawinan beda etnis dan agama, praktek politik praktis yang merugikan, dan lain-lain. Garis besar dari pengaruh lingkungan dan pergaulan yang heterogen yang menjadi ancaman sekaligus peluang bagi komunitas ini adalah modernisasi. Ini bukan berarti mereka anti-modernisasi atau antiperubahan. Mereka terbuka terhadap modernisasi dan perubahan. Mereka pun menyadari modernisasi banyak mendatangkan manfaat terhadap kegiatan ekonomi, adat dan keagamaan mereka, di mana dapat menunjang eksistensi identitas mereka. Modernisasi dapat menjadi ancaman ketika modernisasi tersebut dapat mengikis identitas kebalian mereka. Dengan kata lain, modernisasi serta perubahan tersebut sudah kelewat batas, di mana dimungkinkan menghancurkan fondasi-fondasi dasar ketradisonalan identitas kebalian mereka. Intinya adalah bagaimana modernisasi dan perubahan itu memberikan sebuah manfaat bagi keberlangsungan identitas mereka.
Urbanisasi Perkotaan tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan muda di Balinuraga, khususnya mereka yang sudah lahir dan besar di Lampung serta pernah bersekolah di kota dan memiliki pergaulan yang luas. Perkotaan dalam pengertian umum yang mereka gunakan adalah “keluar kampung”. Perkotaan yang dijadikan tujuan urbanisasi terutama adalah kota-kota yang ada di wilayah Lampung, khususnya Bandar Lampung sebagai ibukota propinsi. Anak muda Balinuraga yang sudah menjadi urban ini berpendapat bahwa pengalaman akan mereka dapatkan ketika ada di kota, atau setelah berada di luar kampung. Umumnya anak muda ini adalah mereka yang sudah mengeyam pendidikan tinggi (sarjana dan diploma) di ibukota propinsi, kemudian menjadikan kota sebagai tujuan untuk bekerja. Urbanisasi didominasi anak muda Balinuraga lebih disebabkan faktor pendidikan. Ketika sudah memasuki jenjang Sekolah Menengah Umum (SMU), maka mau tidak mau, mereka harus melanjutkan
402
pendidikannya ke ibukota kabupaten (umumnya), dan ke ibukota propinsi jika ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Melalui pergaulan di lingkungan sekolah perkotaan, dengan komposisi pelajar yang heterogen, mereka mendapatkan kesan udik (kampungan) jika mereka tinggal di desa atau kampung, termasuk di dalamnya bertani. Kesan atau stigma udik ini yang memotivasi mereka untuk berurbanisasi ke kota. Mereka yang berhasil di kota memberikan motivasi tersendiri bagi anak muda lain untuk mencari pengalaman di kota. Ada gengsi tersendiri bagi anak muda yang bersekolah dan bekerja di kota: menjadi masyarakat urban atau orang kota. Sektor pertanian bukan profesi yang menjanjikan dan bergengsi (dicap sebagai pekerjaan informal), terutama mereka yang telah berpendidikan tinggi dan terpengaruh oleh pola pikir masyarakat kota. Meskipun beberapa di antara mereka menyadari bahwa penghasilan yang mereka dapatkan dari bekerja di kota dan pengeluarannya, tentu tidak sebanding jika mereka mau bekerja di sektor pertanian. Jika dilihat dari penghasilan yang diperoleh dari sektor pertanian (dikurangi dengan pengeluaran kebutuhan sehari-hari dan belanja modal pertanian) dibandingkan dengan penghasilan anak muda (yang telah dikurangi pengeluaran sehari-hari di perkotaan) yang bekerja di sektor formal dengan upah sedikit dari UMR (Upah Minimum Regional), maka sebenarnya penghasilan bersih yang didapatkan lebih menjanjikan jika mereka bekerja di kampung, sektor pertanian. Namun, keputusan sebagian anak muda untuk berurbanisasi tidak dapat disalahkan. Ada alasan mendasar selain tingkat pendidikan yang berhasil mereka capai dan gengsi bekerja di perkotaan. Pertama, jumlah tanah pertanian di Balinuraga sudah bersifat stagnan, tidak ada lagi penambahan tanah pertanian. Kedua, jumlah penduduk yang terus bertambah, kontras dengan luas tanah pertanian yang sudah stagnan. Ketiga, faktor yang lebih penting adalah masalah pembagian hak waris tanah. Umumnya yang mendapatkan hak waris tanah pertanian terbesar dari orang tua adalah anak laki-laki pertama, atau belakangan ini yang terjadi, tidak harus anak laki-laki pertama, tapi anak laki-laki (umumnya bungsu) yang ada kewajiban untuk menjaga orangtuanya di kampung. Anak laki-laki tersebut mau bertani, entah terpaksa atau kesadaran sendiri. Jika ada anak laki-laki yang sudah bekerja di kota, maka ia akan
403
menyerahkan pengelolaan tanah pertanian kepada saudara kandung lakilakinya yang lain, sekalian bertugas menjaga orangtuanya. Jika tidak ada saudara kandung laki-laki atau saudara kandung laki-lakinya juga telah bekerja di kota, maka lahan pertanian tersebut tetap dikelola oleh orangtuanya (jika masih mampu), dikerjakan oleh orang lain, atau sebagian dijual sebagai modal usaha mereka. Mereka yang tidak mendapatkan jatah tanah warisan atau mendapatkan jatah warisan yang sedikit (karena dipecah) ini yang kemudian mendorong atau memotivasi mereka untuk berurbanisasi. Faktor positif dari sistem pembagian tanah ini adalah kegiatan pertanian di Desa Balinuraga tetap eksis, karena ada regenerasi dari orang tua ke anaknya, meskipun harus ada yang merelakan diri untuk tidak bekerja di sektor pertanian, baik karena tidak tertarik dan gengsi, maupun tidak mendapatkan warisan tanah pertanian yang mencukupi. Ada pula kasus lain, di mana anak muda merantau atau bertansmigrasi ke tempat lain yang tanahnya masih tersedia luas dan murah, serta kegiatan ekonomi di daerah tersebut (sektor industri pertanian, perkebunan) sedang berkembang pesat. Salah satunya di daerah perbatasan antara Lampung Timur dengan Sumatera Selatan. Komang Dodi salah satu pemuda Balinuraga saat ini bekerja di Kota Bandar Jaya (kota perdagangan di Lampung Tengah) sebagai teknisi mesin salah satu dealer resmi sepeda motor. Komang menyelesaikan pendidikan SMU di ibukota Kabupaten Lampung Selatan dan menjadi lulusan teknik mesin dari universitas negeri di Provinsi Lampung. Posisinya sebagai sarjana memungkinkan Komang untuk bekerja di sektor formal dan memutuskan untuk menginggalkan Balinuraga. Meskipun orang tuanya memiliki tanah pertanian seluas dua hektar, Komang tidak berminat untuk mengelola tanah pertanian tersebut. Ada perasaaan malu dan gengsi jika seorang sarjana kembali ke kampung (Desa Balinuraga) untuk bertani. Hal serupa juga dilakukan oleh saudara kandung Komang yang bekerja di sektor formal di Bogor, Jawa Barat. Berbeda dengan Komang, pemuda lainnya seperti Nyoman Surtha bekerja di sektor pertanian dan sebagai pekerja seni di wilayah Tugu Mulya (Sumatera Selatan, perbatasan dengan Lampung Timur). Menurut Nyoman yang merupakan lulusan SMU, ketersediaan tanah di sana masih luas dengan harga yang terjangkau dan kegiatan ekonomi lebih ramai. Di samping itu,
404
Nyoman yang tinggal di perkampungan Bali di Tugu Mulya bisa mengembangkan bakat dan kemampuan seninya. Kemampuan Nyoman ini memberikan penghasilan yang cukup besar di samping usaha pertaniannya. Biasanya Nyoman menerima proyek atau pesanan untuk membuat bade untuk upacara ngaben masyarakat Bali di sana, di mana rata-rata masyarakat Bali di sana perekonomiannya sudah mapan. Untuk pembuatan bade rata-rata menghabiskan biaya dari puluhan juta sampai ratusan juta rupiah. Tergantung dari pihak pemesan. Pada umumnya anak-anak muda di Balinuraga, khususnya lulusan SMU dan perguruan tinggi, memutuskan bekerja di kota (keluar kampung) seperti yang dilakukan Komang dan Nyoman. Tanah pertanian Komang di Balinuraga masih dikerjakan separuh waktu oleh ayahnya yang masih bekerja sebagai seorang guru, sedangkan tanah pertanian Nyoman diserahkan kepada orang lain untuk menggarapnya. Kasus urbanisasi yang terjadi di Balinuraga, sama seperti perkampungan lain (Jawa dan Bali) yang setelah orang tuanya mampu menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi di perkotaan, menyebabkan perkampungan ini sepi di hari-hari biasa. Desa Balinuraga mulai ramai ketika ada hari libur nasional (cuti bersama) – mereka yang di kota pulang ke kampung – dan ketika ada hari raya besar keagamaan dan upacaraupacara penting (khususnya upacara ngaben). Ikatan sosial yang masih kuat, di mana identitas kebalian masih melekat pada mereka yang sudah menjadi masyarakat urban, menyebabkan mereka tidak dapat melepaskan diri dari keterikatan di kampungnya (Balinuraga). Tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak pulang kampung jika ada upacara besar dan penting yang jumlahnya tidak sedikit. Karenanya, tidak mengherankan jika para pengusaha memaklumi jika ada karyawannya yang merupakan Bali Hindu kerap meminta izin untuk mengikuti kegiatan adat dan agama di kampungnya. Sisi positif dari urbanisasi ini adalah adanya transfer kekayaan (uang tunai) dari mereka yang telah berurbanisasi. Sudah menjadi kewajiban bagi mereka untuk membantu secara finansial keluarga dan komunitas adat-keagamaannya, meskipun dalam jumlah yang tidak terlalu besar (kecuali yang mampu), atau paling minimal adalah bisa pulang ke kampung beberapa hari untuk ngayah (menyumbang tenaga) saat
405
diselenggarakan upacara besar dan penting. Sumbangan tanah tersebut biasanya digunakan untuk merenovasi Pura Keluarga dan Pura Kawitan Warga sebagai prioritas utama, kemudian untuk membangun dan merenovasi rumah keluarga mereka.
Konsumerisme dan Pragmatisme Tidak pada tempatnya bagi penulis secara umum untuk menyudutkan faham konsumerisme dan pragmatisme. Realitas yang terjadi di sebagian besar masyarakat di Indonesia untuk saat ini memiliki kecenderungan ke arah konsumerisme dan pragmatisme. Dalam kasus masyarakat di Balinuraga sikap dan tindakan yang konsumerisme dan pragmatisme dianggap menjadi tantangan dan ancaman dalam konteks tertentu. Konsumerisme dianggap sebagai ancaman karena perilaku yang cenderung boros, membelanjakan pendapatan atau uang untuk barangbarang yang bersifat sekunder (bukan sesuatu yang penting, mendesak, dan menjadi kebutuhan). Contoh kasus sederhananya adalah kepemilikan dan pengunaan telepon seluler. Membeli dan menggunakan telepon seluler untuk saat ini, yang dimiliki hampir setiap anggota keluarga, tentu tidak dapat disebut sebagai konsumerisme. Hal ini dikarenakan adanya kebutuhan akan komunikasi dengan anggota keluarga dan relasi, khususnya yang sudah bekerja di perkotaan dan yang ada di Nusa Penida dan Bali. Seperti Bu Komang yang menggunakan telepon seluler untuk berkomunikasi dengan keluarganya yang sebagian masih berada di Nusa Penida dan ketiga anaknya yang sudah bekerja di luar kota. Membeli dan menggunakan telepon seluler dikatakan sebagai tindakan yang boros (konsumerisme) jika melebihi dari yang dibutuhkan secara fungsional dan cenderung untuk gengsi dan status sosial semata. Misalnya, remaja seperti Ketut Raka (dan beberapa teman-temannya) yang memiliki telepon seluler lebih dari dua padahal statusnya belum bekerja dan belum memiliki relasi bisnis. Biasanya untuk gengsi dan kencan. Kemudian, membeli telepon seluler yang mahal dengan fitur dan teknologi baru, padahal jaringan yang mendukung berfungsian fitur dan teknologinya belum ada. Di kalangan anak muda Balinuraga, dan beberapa orang tua yang memiliki relasi bisnis dan teman yang banyak, sudah lumrah jika memiliki dua buah telepon
406
seluler – seperti yang ditunjukkan pengusaha muda Nyoman Dunia. Secara ekonomi mereka mampu membelinya. Namun, jika pola membeli telepon seluler lebih dari yang dibutuhkan oleh generasi muda terus berlangsung, maka lambat laun ini akan menjadi ancaman, karena mereka adalah generasi penerus bagi kelestarian identitas kebalian leluhur mereka. Bisa saja – menjadi kekhawatiran generasi tua – jika pola konsumerisme ini terus berlanjut sampai mereka memasuki tahap dewasa, adalah mereka lebih mementingkan membeli barang-barang yang tidak perlu daripada menggunakannya untuk kepentingan adat dan keagamaan yang menjadi identitas mereka. Dengan kata lain, untuk membeli barang-barang sekunder mampu, tapi untuk memenuhi kebutuhan primer – untuk kebutuhan upacara adat dan kegamaan – mereka tidak mampu. Atau sebaliknya, menghabiskan dana yang besar (cenderung boros, menghambur-hamburkan uang) untuk menyelenggarakan sebuah upacara besar dan penting untuk sebuah status sosial dan gengsi, di mana dapat berujung pada kecemburuan sosial. Sama seperti konsumerisme, tindakan pragmatisme – kadang diidentikan dengan modernisasi – tidak sepenuhnya menjadi ancaman. Di satu sisi, tindakan pragmatis mereka perlukan untuk mengatasi pemborosan uang dalam penyelenggaraan upacara penting dan besar, yaitu dengan menjadikan tata cara upacara dan upakara lebih praktis dan sederhana, tanpa menghilangkan esensi dari upacara tersebut. Pragmatisme dapat dikatakan menjadi ancaman terhadap identitas mereka jika pelaksanaanya kebablasan. Artinya, tindakan memeraktiskan dan penyerhanaan dalam penyelenggaraan upacara telah menghilangkan esensi dan makna dari upacara tersebut. Tradisi Bali Hindu masyarakat Bali Nusa ini dikenal kolot. Pragmatisme adalah cara untuk mengatasi kekolotan tersebut, karena konsekuensi logis dari kekolotan tersebut adalah prosedur upacara yang berbelit-belit dan akhirnya akan menghabiskan dana dan tenaga yang besar. Namun, menjadi permasalahan besar jika pemangkasan prosedur tersebut dilakukan secara besar-besaran, hanya untuk tujuan praktis dan ekonomis: bagian yang penting dihilangkan, tapi bagian yang tidak penting yang harusnya bisa dihilangkan sebaliknya dipertahankan karena bagian ini biasanya lebih praktis. Menurut mereka, jika pragmatisme dilakukan secara berlebihan, maka: “Bali-nya akan hilang”.
407
Hal ini dapat dimaklumi karena di sisi yang lain, kekolotan (melalui prosedur yang rumit dan bertele-tele) menjadi ciri khas dan identitas mereka.
Perkawinan beda Etnik dan Agama Kasus ini adalah kasus yang jarang terjadi, karena ada kebiasaan untuk menikah dengan sesama Bali Hindu, lebih spesifik lagi, menikah dengan sesama Bali Hindu dengan identitas warga yang sama. Perkawinan atau pernikahan beda etnik dan agama sebenarnya tidak masalah, baik bagi laki-laki maupun perempuan, asalkan mereka tidak berpindah agama mengikuti istri atau suami, tapi sebaliknya istri atau suaminya mengikuti keyakinan mereka. Permasalahannya adalah jika pernikahan tersebut menyebabkan mereka meninggalkan keyakinan dan tradisi kebaliannya. Dengan kata lain, “ikut suami” atau “ikut istri” (mengikuti keyakinan suami atau istri). Identitas kebalian mereka akan hilang jika setelah menikah mereka berpindah agama, yang berarti tidak lagi menjadi Hindu dan Bali. Memang kasus yang terjadi relatif kecil dan jarang terjadi, tapi bagi mereka, ini adalah ancaman yang serius terhadap kelestarian identitas kebalian mereka. Ini tetap menjadi kasus yang sensitif. Mereka yang “ikut suami” atau “ikut istri”, baik langsung maupun tidak langsung, akan terkucilkan dengan sendirinya. Mengapa demikian? Karena begitu mereka tidak lagi menjadi Hindu, otomasi kewajiban adat mereka sebagai seorang Bali dan Hindu akan hilang. Artinya, identitas kebalian itu telah pudar seketika. Bagi mereka, ikut suami atau ikut istri dengan alasan cinta apalagi untuk kepentingan politik dan karir adalah alasan yang tidak masuk akal dan tidak dapat diterima. Diibaratkan sebagai orang yang murtad. Bagi pihak keluarga, jika ada anggota keluarganya mengambil keputusan tersebut, akan mendatangkan rasa malu, meskipun tidak mendapatkan pengucilan secara khusus seperti mereka yang ikut suami atau ikut istri tersebut. Sejauh ini permasalahan cinta dan jodoh dalam pernikahan beda etnik dan agama cukup longgar. Tidak ada larang khusus untuk menjalin hubungan asmara (pacaran) dengan etnik lain yang berbeda agama. Tapi, syaratnya yang ketat ketika sampai ke jenjang pernikahan adalah calon
408
pengantin tetap mempertahankan identitas Bali Hindunya, tidak “ikut suami” atau “ikut istri”. Ni Putu Shanti dan I Made Santeri berasal dari dua identitas warga yang berbeda. Shanti berasal dari Warga Pandé, sedangkan Santeri berasal dari Warga Pasek. Meskipun tidak ada permasalahan yang mendasar, karena tidak berpindah kepercayaan, pernikahan keduanya masih dianggap kurang ideal. Ini dikarenakan antara Warga Pandé dan Pasek mempunyai beberapa tata ritual dan upacara adat keagamaan yang berbeda. Pihak perempuan, Ni Putu Shanti, harus menyesuaikan diri dengan tradisi keluarga Santeri yang berasal dari Warga Pasek. Di sisi lain, Shanti dapat dikatakan tidak lagi menjadi Warga Pandé karena sudah menjadi Warga Pasek (mengikui warga suaminya). Pernikahan yang ideal dapat ditunjukan dari pasangan Ni Wayan Bunga dan I Made Gagah. Keduanya berasal dari satu identitas warga yang sama, yaitu Pandé. Karena itu, keduanya bisa mengikuti tradisi yang sama, tanpa harus meninggalkan tradisi leluhurnya, khususnya dari pihak perempuan. Permasalahan yang pelik adalah pernikahan antara Ni Ketut Asti dengan Joko dan I Nyoman Besar dengan Kusumawati. Baik Ni Ketut Asti maupun I Nyoman Besar mengikuti kepercayaan pasangannya. Akibatnya, mereka kehilangan identitas kebaliannya. Meskipun keduanya masih mengadakan silaturahmi, namun secara adat dan kepercayaan, keduanya tidak lagi dianggap sebagai Bali.
Politisasi (Massa) Umat untuk Kepentingan Politik Praktis dan Politik Uang Politisasi umat untuk kepentingan politik praktis dan politik uang dari beberapa kalangan elit politik yang mengatasnamakan Bali Hindu bekerja sama dengan elit politik non-Bali merupakan ancaman yang baru muncul pasca jatuhnya Suharto dan mulai diberlakukannya pemilihan langsung. Kompaknya komunitas Bali Hindu di Balinuraga dan perkampungan Bali – massa pemilih lebih mudah untuk dikonsolidasi – lainnya adalah sasaran empuk dari beberapa elit politik Bali dan non-Bali untuk mendulang perolehan suara saat pemilihan langsung. Terutama saat diselenggarakan upacara-upacara penting. Bagi beberapa elit yang mengatasnamakan Bali Hindu (umat Hindu Dharma) kesempatan ini
409
digunakan untuk kepentingan politik praktis dirinya sendiri dan golongannya, serta ada yang mencoba menjualnya kepada calon-calon anggota legislatif atau pun kepala daerah. Politisasi ini dianggap sebagai ancaman serius karena dianggap menjual suara umat Hindu Dharma. Dengan kata lain, jika ini terjadi, maka dapat dikatakan bahwa identitas kebalian mereka dapat ditransaksikan oleh segelintir elit politik, dan dapat merusak citra identitas kebalian. Para tokoh adat dan agama tidak ingin kekompakkan umat ini dijadikan sebagai komoditas politik yang bisa diperjualbelikan atau digunakan untuk kepentingan politik praktis dan politik uang elit-elit tertentu, karena dianggap merendahkan martabat (harga diri) umat. Dalam beberapa kasus pemilihan legislatif dan kepala daerah, elit politik yang justru mendapat kecaman justru berasal dari kalangan mereka sendiri. Mengapa? Karena elit ini dan melaluinya massa bisa dikonsolidasi, baik untuk kepentingan politik praktisnya sendiri maupun kepentingan politik elit lain. Seperti yang dilakukan I Kadek Rasa, tokoh pemuda dari Banjar Pandéarga. Sebagai tokoh pemuda dan salah satu elit desa dan banjar dapat dengan mudah mengetahui waktu dan tempat yang tepat di mana massa (umat) berkumpul saat diberlangsungkan upacara adat dan keagamaan. Menyadari tindakan ini sebagai ancaman, umat dan para tokoh masyarakat (adat dan agama) non-partisan lebih mengambil sikap netral. Artinya, mereka akan memilih berdasarkan pilihan rasionalnya sendiri terhadap calon-calon yang berkampanye dengan pertimbangan atau masukan dari para tokoh yang non-partisan. Ini dikarenakan setiap calon yang berkampanye selalu mengatakan bahwa mereka akan menjadi penyambung lidah komunitas mereka sebagai umat (Hindu Dharma), dan selalu mendonasikan sejumlah dana untuk kepentingan umat. Jadi, mereka tidak persoalkan slogan kampanye mereka untuk kepentingan umat maupun jumlah donasi. Terpenting adalah suara mereka sebagai perwakilan umat (etnis Bali beragama Hindu Dharma) tidak dapat diperjualbelikan oleh segelintir elit.
Sekte atau Aliran Baru dalam Hindu Modern Agama Hindu Dharma di Indonesia, sama seperti Nasrani (Protestan dan Katholik), seiring dengan proses modernisasi atau Hinduisasi yang condong berkiblat ke India sebagai sentral telah
410
memberikan sebuah ruang kosong untuk tumbuh dan berkembanganya aliran-aliran baru (sekte-sekte baru) di mana salah satu karakteristiknya (sebagai aliran non-mainstream) adalah eksklusif dan cenderung radikal (fundamental). Ada dua aliran baru dalam perkembangan agama Hindu di Indonesia yang dimulai di tahun 1980-an, yaitu Sri Sathya “Sai Baba” dan “Hare Krishna”263. Kedua sekte ini, Sai Baba dan Hare Krishna, kurang lebih sama, hanya saja Hare Krishna jumlah anggotanya lebih kecil dan lebih radikal daripada Sai Baba264. Keeksklusifan kedua aliran ini, cenderung radikal dan fundamental, menyebabkan kedua aliran ini mendapatkan tentangan tidak hanya di Bali, dan uniknya, aliran ini juga berkembang di kalangan umat Hindu Dharma di Lampung, dan dalam kasus di Balinuraga, aliran ini – khususnya Hare Krishna – mendapatkan tentangan yang keras dari masyarakat atau umat Hindu Dharma (Bali Hindu). Berkembangnya aliran Hare Krishna di Lampung pada kalangan masyarakat Bali Hindu (umat Hindu Dharma), khususnya (pernah) sampai di Balinuraga, cukup mengejutkan dan unik bagi penulis. Aliran Hare Krishna pernah berkembang di Balinuraga sekitar tahun 1990-an, sampai akhirnya (tidak diketahui kapan persisnya) kelompok aliran ini akhirnya meninggalkan Balinuraga. Pengikutnya tidak banyak, hanya beberapa kepala keluarga saja. Para pengikut aliran ini hidupnya tertutup dan eksklusif. Mereka tidak bergabung dengan berbagai upacara adat dan keagamaan seperti yang biasanya berlaku dalam masyarakat Bali Hindu, dan cenderung menutup diri. Menurut masyarakat, mereka adalah Hindu yang lain, bukan seperti layaknya Hindu Bali, tapi lebih ke Hindu India. Konsekuensinya, aliran ini dianggap oleh masyarakat sebagai aliran atau 263
Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai gerakan kedua aliran ini di Bali,
khususnya gerakan “Sai Baba”, lihat: Howe, Leo. (2005), “Hinduism, Identity, and Social Conflict: the Sai Baba Movement in Bali”, dalam Hinduism in Modern Indonesia: A Minority Religion between Local, National, and Global Interests, Edited by Martin Ramstedt, London & New York: RoutledgeCurzon & NIAS; dan Howe, Leo. (2005: 91-110), „The New Religions of Bali: Agama Hindu dan Sri Sathya Sai Baba (Chapter 5)‟, dalam The Changing World of Bali: Religion, society and tourism, London & New York: Routledge, Taylor and Francis Group. 264 Op.cit (Howe 2005)
411
sekte yang “sesat” karena menyimpang dari Hindu yang selama ini diterapkan oleh masyarakat Balinuraga dan masyarakat Bali pada umumnya. Aliran ini menurut mereka lebih mengutamakan kerohanian Hindu modern (lebih ke-India-an), sangat berbeda dengan Hindu-nya Bali, sehingga adat benar-benar terpisah dari keagamaan. Keberadaan aliran ini dianggap sebagai ancaman, meskipun Hindu dan pengikutnya adalah Bali, karena menurut masyarakat aliran ini tidak ada kebaliannya atau Bali Hindunya. Jika aliran ini terus menyebar di kalangan masyarakat, dikhawatirkan identitas kebalian mereka akan hilang, sebaliknya yang muncul adalah ke-India-an. Oleh karena itu, aliran-aliran modern dalam Hindu atau sekte-sekte dari India ini dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi identitas kebalian mereka setelah berada di Lampung. Menurut mereka, antara Bali dan Hindu itu sulit untuk dipisahkan, keduanya menyatu seperti dua sisi uang logam. Meskipun aliran Hare Krishna untuk saat ini vakum berkembang di kalangan masyarakat Balinuraga, namun berdasarkan informasi yang ada dari beberapa pemuda yang memahami pergerakan organisasi-organisasi Hindu di Lampung, aliran ini mempunyai basis di Bandar Lampung. Pengikutnya (mayoritas) adalah anak-anak muda Bali Lampung yang sedang studi di Bandar Lampung. Aliran ini memang eksklusif. Mereka hidup di sebuah asrama dengan aturan hidup yang disiplin (seperti di biara-biara: bekerja dan berdoa), sembari ada waktu yang disediakan untuk bersosialisasi. Tanpa bermaksud menyudutkan aliran ini, namun bagi sebagian besar masyarakat Balinuraga yang hidup dalam tradisi Hindu Bali, aliran ini dianggap sebagai ancaman bagi identitas mereka lebih dikarenakan tidak adanya unsur kebalian dalam aliran ini meskipun aliran ini berinduk pada Hindu-nya India. Bagi kalangan yang konservatif (kolot) aliran ini tentunya mendapatkan tentangan yang keras. Informasi dari masyarakat dan sejumlah tokoh, masyarakat Balinuraga menolak keberadaan aliran ini di Balinuraga. Mereka khawatir identitas kebalian akan hilang jika aliran ini semakin berkembang luas dan mendapatkan banyak pengikut dari generasi muda, baik yang sudah berkeluarga (keluarga muda) maupun yang belum berkeluarga, dan ada kekhawatiran akan memecah-belah persatuan umat di Balinuraga. Toh, akhirnya aliran ini mendapatkan pengakuan sebagai salah satu sekte atau aliran dalam Hindu, dan sejauh
412
ini, sebagai sekte yang cukup radikal tidak melakukan tindakan kekerasan dan penghinaan terbuka terhadap keyakinan lain. Peran PHDI dalam kasus ini adalah tetap sebagai penengah dan penjaga kerukunan umat agar tidak terjadi perpecahan. Menurut informasi yang diterima, aliran yang sejak mulanya mengucilkan diri dan dikucilkan oleh masyarakat, akhirnya secara sukarela pindah ke tempat lain dengan tetap membangun komunitas yang eksklusif.
Arus Informasi dan Teknologi Informasi Televisi dan telepon seluler adalah media dan teknologi informasi yang hampir dimiliki oleh masyarakat Bali Nusa di Balinuraga. Televisi berwarna (dengan perangkat parabola) dan telepon seluler mulai dari keluaran lama sampai baru bukan sesuatu yang baru bagi masyarakat Balinuraga. Hampir setiap keluarga dan anggota keluarga memilikinya (televisi berwarna dan telepon seluler). Telepon seluler lebih umum digunakan oleh masyarakat daripada jaringan telepon rumahan. Untuk saluran televisi, sebagian menggunakan antena parobala, dan sebagian yang lain menggunakan antena televisi biasa karena untuk saat ini hampir semua saluran televisi swasta nasional sudah dapat diterima di Balinuraga (seperti: MetroTV, ANTV, TV One, Global TV, RCTI, SCTV, Trans TV dan Trans 7). Hadirnya media informasi, televisi, tidak secara mutlak menimbulkan ancaman yang serius. Walaubagaimana pun fungsi televisi sebagai media informasi dan media hiburan memberikan manfaat bagi mereka. Sebagai media informasi mereka dapat mengikuti perkembangan politik yang terjadi di Jakarta secara up-to-date dengan adanya siaran langsung. Kasus yang menarik, yang untuk beberapa saat merubah pola menonton masyarakat, adalah siaran langsung sidang Pansus Century yang dilangsungkan secara terus menerus dalam siaran langsung (live) di beberapa televisi swasta265. Dramatisasi politik yang dilakukan oleh anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) tersebut cukup menarik 265
Sidang Pansus Century mulai marak disiarkan di beberapa stasiun televisi swasta dan menyita perhatian publik pada penghujung tahun 2009 (NovemberDesember).
413
perhatian masyarakat, sehingga akhirnya mereka terangsang untuk mengikutinya secara terus menerus layaknya sebuah sinetron bersambung. Sebuah kesimpulan (berupa analisa politik) yang menarik dari sebagian kalangan masyarakat yang mengikuti sidang Pansus Century terebut, yaitu kebodohan para anggota legislatif pusat, seperti tidak memiliki pekerjaan lain yang lebih penting, menghabiskan waktu dan uang untuk sebuah sidang yang akhrinya tidak memberikan hasil apa-apa bagi rakyat. Sebagai media hiburan, hadirnya televisi memberikan efek positif bagi mereka sebagai sarana hiburan yang murah meriah dengan acara-acara box-office dan sinetron-sinetron kejar tayang. Bagaimana tidak. Tidak ada hiburan di desa, sebagai sarana hiburan untuk melepas kepenatan, kecuali organ tunggal yang diselenggarakan ketika ada hajatan perkawinan (peminatnya pun terbatas pada anak-anak muda, dan orang tua lebih memilih menonton televisi sebagai hiburan). Ancaman yang bisa dianggap serius dari media televisi adalah menonton sebuah siaran secara terus menerus (seperti kecanduan). Misalnya, sinetron yang umumnya diminati kaum perempuan dan ibu rumah tangga, serta film kartun (action) yang dimintai oleh anakanak. Seperti yang sudah banyak dikritisi oleh banyak kalangan, tayangan sinetron di Indonesia umumnya tidak banyak mendidik penontonya (pemirsa). Unsur masyarakat urban yang hedonis dan konsumerisme lebih banyak ditonjolkan, seolah-olah mewakili realitas kebanyakan masyarakat Indonesia – dalam bahasa gaulnya sinetron-sinetron tersebut lebih banyak unsur lebay-nya (terlalu berlebih-lebihan, menghindari realitas atau kenyataan sosial yang ada). Begitu juga halnya film kartun dan terkadang siaran berita yang menonjolkan aksi-aksi kekerasan dan kriminalitas. Efek dari tayangan ini memang tidak muncul seketika. Namun, dalam beberapa kasus kecil ada beberapa tindakan dari anak muda dan keluarga muda yang terinspirasi oleh tanyangan sinetron. Misalnya, mode atau dandanan yang lebih modis ketika sedang ada acara di pura (terlalu menarik untuk menghadiri kegiatan religius) – tetap menggunakan busana adat, tapi lebih modis – menggunakan panggilan “mami” dan “papi” sebagai pengganti panggilan “ibu” dan “ayah / bapak”. Penggunaan telepon seluler efeknya (mungkin) lebih terlihat menonjol daripada efek tayangan televisi. Kasus sederhananya adalah penggunaan telepon seluler ketika sedang berlangsung sebuah upacara
414
tertentu, atau “lupa” mematikan (turn-off atau silent) telepon seluler. Umumnya ini dilakukan oleh anak muda yang lebih akrab yang telepon seluler. Meskipun bukan merupakan ancaman yang serius untuk saat ini, tapi tindakan menerima panggilan telepon atau telepon berbunyi ketika upacara berlangsung, menyebabkan kekhusukan atau kereligiusan sebuah upacara menjadi berkurang. Ada kesan kurang menghargai keluhuran dari upacara tersebut. Jika tidak diantisipasi serius, bukan tidak mungkin, kejadian seperti ini akan terus berlangsung dan akhirnya sikap tersebut menyebabkan keacuhaan akan identitas kebalian mereka yang turut termanifestasikan dalam penyelenggaraan upacara-upaacara dan ritualritual adat dan keagamaan. Terkadang ada semacam pemberitahuan agar telepon seluler dimatikan atau didiamkan sebelum upacara berlangsung agar tidak menggangu jalannya upacara, namun kasus telepon seluler yang berbunyi saat upacara tetap saja ada. Menariknya, nada panggilan telepon seluler ada yang menggunakan Kidung Hindu, tapi sebaliknya ada yang menggunakan lagu-lagu pop (dan beberapa lagu rock) dari dalam dan luar negeri.
Peluang dan Keunggulan terhadap Kelestarian Identitas Kebalian Lingkungan baru dengan kondisi dan situasi alam dan sosial yang berbeda dengan tempat asal menghadirkan berbagai peluang sekaligus ancaman (seperti yang telah dipaparkan di atas). Setidaknya ada dua peluang utama yang mereka manfaatkan dalam lingkungannya yang baru, yaitu peluang ekonomi dan peluang sosial – peluang atau kesempatan untuk memodifikasi atau penyesuaian sistem sosial mereka yang dianggap kurang relevan (khususnya yang bersifat diskriminatif) terhadap lingkungan yang baru. Keunggulan atau yang menjadi kekuatan mereka dalam upaya melestarikan identitas kebalian, sebenarnya adalah sistem sosial mereka sendiri. Sebuah sistem yang secara struktural dan fungsional membentuk karakter anggota dan komunitas, baik untuk mengambil peluang maupun sebagai pelestari identitas kebalian mereka.
415
Peluang Ekonomi untuk Kelestarian Identitas dan Pembangunan Lingkungan yang baru – daerah transmigrasi di Lampung – menawarkan peluang ekonomi yang besar dibandingkan tempat asal mereka di Nusa Penida (Bali), yaitu peluang ekonomi di bidang pertanian. Ketersediaan tanah sebagai modal utama di bidang pertanian masih luas (tahun 1963 saat pertama kali mereka bertransmigrasi) dan murah, kontur tanah datar dan subur, serta didukung oleh kebijakan pemerintah pusat yang mendukung daerah transmigrasi di Lampung sebagai daerah penghasil beras. Dengan kata lain, peluang dan kesempatan ekonomi terbuka lebar di daerah transmigrasi bagi siapa saja yang mau bekerja keras. Jika melihat kondisi perekonomian mereka saat ini dan melihat bagaimana perkembangan eksistensi identitas kebalian, maka menjadi jelas bahwa peluang ekonomi tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat Bali Nusa yang menjadi transmigran. Setelah lebih dari empat dasawarsa mereka bertransmigrasi, komunitas ini berhasil membangun sebuah desa dinas dan desa adat yang mayoritas anggotanya adalah masyarakat Bali Nusa. Tidak mungkin mereka dapat membangun sebuah komunitas Bali Hindu di level desa dan banjar jika mereka tidak berhasil memanfaatkan peluang ekonomi tersebut. Sebuah komunitas adat dan keagamaan yang lengkap dengan sistem sosial dan pranata-pranata sosialnya. Hampir seluruhnya mereka bangun dan kembangkan menggunakan tenaga dan dana sendiri. Dana itu sendiri tidak mungkin datang tiba-tiba jika mereka tidak berhasil memanfaatkan peluang ekonomi tersebut dengan baik. Untuk membangun infrastruktur adat dan keagamaan seperti Pura Kahyangan Tiga (Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem), Pura Kawitan Warga, Pura Keluarga, Bale Banjar, dan lain-lain, membutuhkan biaya dan tenaga serta waktu yang tidak sedikit. Pembangunan dilakukan secara kolektif dengan dana sendiri, tidak ada bantuan dari pemerintah. Ini menunjukkan bahwa peluang ekonomi yang berhasil dimanfaatkan dengan maksimal sangat menunjang eksistensi kelestarian identitas kebalian mereka dan pembangunan – tidak hanya pembangunan fisik infrastruktur adat dan keagamaan, tapi juga pembangunan komunitas tersebut sebagai komunitas Bali Hindu.
416
Kelestarian atas eksistensi identitas kebalian tidak cukup pada lengkapnya pembangunan infrastruktur-infrastruktur adat dan keagamaan tersebut, tapi juga pada pembangunan non-fisik yang mencerminkan kebalian mereka. Misalnya, pelaksanaan dan penyelenggaraan upacara dan ritual adatkeagamaan dari yang bersifat harian sampai yang bersifat besar dan penting. Semuanya membutuhkan biaya. Pembangunan komunitas yang bersifat non-fisik ini membutuhkan biaya yang bersifat berkesinambungan, dari biaya yang relatif kecil untuk upacara yang bersifat harian dan berkala, sampai biaya yang relatif besar untuk upacara besar dan penting. Tanpa pemanfaatan peluang ekonomi yang maksimal, pembangunan ini tidak dapat berhasil seperti sekarang, di mana pembangunan itu sendiri merupakan cerminan dari kelestarian atas eksistensi identitas kebalian mereka. Dalam perkembangannya, peluang ekonomi di bidang pertanian selalu terbuka lebar. Artinya, ketika areal pertanian di Balinuraga sudah mencapai taraf stagnan, peluang ekonomi pertanian di tempat lain masih terbuka lebar. Peluang ekonomi yang kemudian dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat Balinuraga untuk melakukan ekspansi pertanian, dari pertanian (padi) ke perkebunan tanaman keras. Mereka yang berhasil memanfaatkan peluang ini akan semakin memantapkan perekonomian keluarganya. Ini bukan berarti peluang ekonomi pertanian di Balinuraga sudah stagnan. Jumlah areal pertanian sudah mencapai taraf stagnan setelah tiga dasawarsa, tapi peluang ekonomi pertanian dari mereka yang memiliki lahan selalu terbuka lebar. Misalnya, menanam palawija di saat musim kemarau, memanfaatkan teknologi baru di bidang pertanian, mulai dari penggunaan mesin sampai pengunaan bibit-bibit varietas baru. Begitu pula peluang lain di luar sektor pertanian yang banyak dimanfaatkan oleh generasi muda di Balinuraga, yaitu dengan bekerja di sektor formal dan informal di perkotaan. Sumbangan terbesar dari kalangan ini terkait dengan kelestarian identitas kebalian adalah transfer dana untuk menunjang segala aktivitas adat dan keagamaan yang menjadi identitas kebalian mereka (seperti donasi untuk kas Pura), dan jika keadaan dan waktu memungkinkan, mereka menyumbangkan tenaga atau ngayah jika ada penyelenggaraan upacara besar dan penting.
417
Sebagai perbandingan, sampai saat ini peluang ekonomi di wilayah Lampung lebih besar daripada di Nusa Penida, Bali, tanah leluhur mereka. Dapat dikatakan keadaan ekonomi kerabat dan saudara mereka di Nusa Penida tidak ada perkembangan yang signifikan, karena kondisi alam di sana yang memang tidak memungkinkan bertumbuhnya perekonomian secara signifikan. Dalam kasus di Balinuraga, mereka yang berhasil adalah mereka yang berhasil memanfaatkan peluang ekonomi ini dengan maksimal. Kemudian, mereka yang berhasil ikut mendonasikan sejumlah dana dan tenaga (pulang kampung) untuk berbagai kegiatan adat dan keagamaan di Nusa Penida. Ini merupakan sebuah kewajiban bagi mereka, dan ini juga ditujukan sebagai kelestarian eksistensi identitas mereka sebagai Bali Nusa. Melepas kewajiban dan tanggungjawab adat dan keagamaan di Nusa Penida sama saja dengan melepas identitas kebalian mereka sebagai Bali Nusa. Seperti kata pepatah: “tidak ada makan siang gratis”. Begitu pula dalam hal pelestarian identitas. Tidak ada yang gratis, semua butuh biaya. Dan biaya tersebut, hanya bisa dipenuhi dengan semaksimal mungkin memanfaatkan peluang ekonomi yang ada, jika perlu, seperti yang dilakukan oleh masyarakat Bali Nusa di Balinuraga, adalah bertransmigrasi atau merantau.
Peluang Sosial: Revisi Sistem Sosial Lingkungan sosial yang baru memberikan peluang sosial bagi komunitas Bali Hindu di Balinuraga untuk melakukan modifikasi sistem sosial. Faktor utama yang menyebabkan peluang ini muncul adalah lokasi lingkungan sosial yang jauh dari lingkungan sosial tempat asal mereka (pusat). Aktor atau agen perubahannya adalah masyarakat itu sendiri yang diwakili oleh patronnya. Ini adalah bagian dari adaptasi komunitas ini terhadap relevansi sistem tradisional mereka atas lingkungan yang baru. Modifikasi ini bukan berarti menghilangkan sistem sosial yang menjadi warisan leluhur dan identitas mereka, tapi melakukan beberapa revisi kontekstual berdasarkan lingkungan yang baru. Garis besarnya yang paling mencolok adalah bagaimana menjadikan sistem sosial yang tradisional ini menjadi lebih egaliter, tidak diskriminatif. Contoh sederhananya (seperti yang dipaparkan pada bab sebelumnya) adalah menggunakan sistem warga daripada sistem wangsa warisan masa kerajaan dan kolonial yang
418
cenderung manipulatif atas sistem varna (warna). Sistem warga ini dinilai lebih egaliter, tidak diskriminatif, dan tidak ada perlakukan istimewa terhadap kalangan atau kelompok tertentu berdasarkan garis keturunan leluhurnya. Kini, status sosial lebih condong ditentukan oleh kemampuan si individu (kepengetahuan dan keterampilannya dalam bidang tertentu, terutama di bidang adat istiadat dan keagamaan) dan tingkat ekonominya. Dengan kata lain, sistem sosial tersebut mulai bergeser dari sistem sosial tradisioanal – yang cenderung menekankan patron-klien (feodal), hak-hak istimewa berbadasarkan garis keturunan (seperti wangsa, kasta) – menjadi sistem sosial yang lebih modern, di mana kedudukan atau status sosial individu lebih ditentukan oleh faktor profesionalitas dan kapabilitas, selain faktor kapitalisme (kekayaan, kepemilikan modal)sebagai pengaruh lingkungan baru yang masyarakatnya (Lampung) mulai masuk ke dalam masyarakat industri (pertanian). Jadi, modifikasi atau revisi sistem sosial tradisional tersebut terbatas pada unsur-unsur yang dianggap tidak relevan dengan lingkungan sosial mereka yang baru, bukan sebuah revolusi radikal atas sistem sosial tradisional tersebut, karena itu adalah identitas mereka. Realitas ini menunjukkan bahwa sistem sosial masyarakat – dalam kasus ini sistem sosial yang masih tradisional – tidak bersifat absolut, kaku, atau ajeg. Revisi dimungkinkan terjadi, dan dilakukan oleh individu atau komunitas yang secara struktural dan fungsional berada di dalam sistem tersebut karena itu adalah identitasnya, atas unsur-unsur yang dianggap sudah tidak relevan lagi di lingkungan baru yang jauh dari tempat asal sistem tersebut. Kemudian, unsur yang direvisikan tersebut adalah cenderung pada unsur-unsur yang bersifat feodal dan diskriminatif. Dapat dikatakan, sistem sosial yang tradisional ini sedang berada di masa antara atau peralihan ke sebuah sistem sosial yang lebih modern – dalam kasus ini sebuah sistem yang lebih rasional dan manusiawi. Perubahan ini bersifat kontinuitas (berkelanjutan) sesuai dengan perkembangan waktu, tantangan, dan perubahan sosial yang lebih besar. Jadi, identitas kebalian di luar Bali tidak bisa dinilai atau dijadikan (harus) sama persis seperti di Bali, karena konteksnya berbeda. Garis besarnya tetap sama, namun ada beberapa unsur yang mengalami revisi sebagai bagian dari proses penyesuaian atas lingkungan yang baru. Perubahan secara radikal, mungkin (untuk saat ini) tidak terjadi, mengingat akibat dari perubahan
419
secara radikal atas sistem sosial yang tradisional tersebut mengakibatkan hilangnya identitas kebalian itu sendiri. Dengan kata lain, revisi tersebut dilakukan atas dasar koridor dan ruang kosong yang sebenarnya telah disediakan oleh sistem itu sendiri sebagai akibat dari adanya kontradiksikontradiksi unsur-unsur di dalam sistem tersebut: ada konsep yang menjunjung tinggi perubahan / penyesuaian, keegaliterian, dan kemanusian (seperti konsep kala dan patra, Tri Hita Karana, menyama braya (menyame braye), dan lain-lain), tapi di sisi lain, ada konsep yang cenderung diskriminatif seperti konsep wangsa (kasta) yang cenderung manipulatif.
Sistem Sosial Masyarakat Bali sebagai Sebuah Keunggulan Keberadaan dan eksistensi identitas kebalian di komunitas Bali Hindu di Balinuraga dan perkampungan Bali lainnya di Lampung tidak dapat dilepaskan dari eksistensi sistem sosial yang berlaku dalam masyarakat Bali. Sebuah sistem sosial yang kompleks, di mana di dalamnya terdapat (sub-) sistem-sistem lain yang saling berkaitan satu dengan yang lain, seperti sistem adat, sistem keagamaan, sistem kekerabatan, sistem politik, sistem ekonomi, dan sebagainya. Setiap (sub-) sistem-sistem tersebut terwadahi oleh berbagai organisasi, perkumpulan atau kelompok tradisional yang disebut seka (di level yang lebih kecil dan spesifik), banjar, dan desa adat. Kompleksnya sistem tersebut terkadang terjadi tumpang tindih secara teknis dan fungsional antara satu seka dengan seka yang lain, dan bagi mereka itu bukan sebuah masalah atau biasa saja. Sistem sosial ini bersifat mengikat setiap anggotanya. Kuatnya ikatan ini pun terwarisi sampai generasi berikutnya (pasca transmigran pertama). Sistem sosial ini sudah melembaga. Sistem sosial ini mengikat individu-individu (anggota komunitas) ke dalam berbagai kesatuan atau kelompok bercorak tradisional di mana setiap kesatuan atau kelompok ini memiliki peran atau fungsi yang hampir sama, yaitu sebagai lembaga adat dan keagamaan. Sistem sosial ini sudah terstruktur, dan menstruktur setiap anggotanya. Inilah yang menjadi keunggulan komunitas Bali Hindu yang ada di Lampung pada umumnya, dan dalam kasus ini komunitas Bali Hindu di Balinuraga, sehingga menjadikan komunitas ini bisa secara berkesinambungan melestarikan dan mengaktualisasikan identitasnya
420
setelah berada di luar Bali. Kompleksnya sistem ini, yang tidak terbatas pada adat dan keagamaan, tapi juga ke bidang ekonomi, politik, kesenian, dan sebagainya, menyebabkan komunitas ini bisa melakukan proses pembangunan fisik dan non-fisik untuk kepentingan komunitasnya. Model kepemimpinan sampai pengorganisasian lembaga-lembaga (semi) tradisional semua sudah tersedia dan terstruktur dalam sistem sosial ini. Misalnya, siapa yang layak menjadi pemimpin (seperti pemimpin adat, agama, seka, banjar, desa adat) dan bagaimana pemilihannya, siapa yang menjadi pembantunya, apa tugasnya (hak dan kewajiban), prosedurprosedur apa yang harus dilakukan untuk upacara dan ritual tertentu, dan lain-lain. Dalam kasus yang sederhana pun, misalnya penentuan hari baik untuk melakukan kegiatan tertentu, semuanya sudah ada dan tersedia dalam sistem ini, dan ini tetap diadaptasi oleh mereka karena ini sudah menjadi bagian dari dalam diri mereka seperti sistem itu sendiri. Untuk membangun sebuah rumah atau pun pura, semua memiliki prosedur yang sudah tersedia dalam sistem ini. Mereka tidak bisa membangunnya tanpa mempertimbangkan dan menerapkan berbagai prosedur tersebut. Begitu pula dalam hal prosedur tata upakara (penyajian bantenan atau sesajen), semua memiliki prosedur, dan setiap prosedur memiliki makna serta ada semacam sanksi jika melanggar prosedur-prosedur tersebut. Sistem sosial ini menjadikan kehidupan mereka lebih tertata rapi secara organisasional, meskipun masih berada di masa peralihan dari sistem sosial yang tradisional ke modern. Apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan sudah ditentukan dalam sistem sosial ini. Jika sistem ini tidak terlembaga sampai ke level individu, dan sistem tersebut akhirnya menjadi identitas individu tersebut, maka sangat sulit menciptakan tatanan sosial seperti ini. Ini yang menyebabkan mengapa masyarakat Bali Nusa, meskipun tidak mendapatkan sponsor dari pemerintah, mereka bisa membangun komunitasnya dengan mandiri. Sistem yang telah terstruktur pada setiap anggota komunitasnya menyebabkan mereka tahu apa yang harus mereka lakukan untuk membangun sebuah komunitas Bali Hindu setelah berada di Lampung. Sebuah kesadaran yang bersumber dari alam bawah sadar mereka untuk melakukan tindakan tersebut. Tanpa harus diberitahu atau pun diperintahkan, mereka sudah tahu secara otomatis, bahwa ketika mereka
421
sudah berada di Lampung mereka harus membangun Pura Kahyangan Tiga dan Rong Telu di level keluarga (meskipun masih sangat sederhana di masa awal transmigrasi). Begitu pula dengan pembangunan infrastruktur adat dan keagamaan lainnya, termasuk pemimpin yang menjadi patron bagi anggota komunitas. Dengan kata lain, sistem sosial dalam masyarakat Bali yang sudah melembaga ini memiliki sebuah mekanisme kerja yang otomatis, seperti sebuah mesin. Mekanisme ini yang kemudian mengerakkan sumber daya yang ada (anggota komunitas) untuk menata komunitasnya berdasarkan tatatan yang sudah tersedia di dalam sistem tersebut. Kerja nyata dari mesin sosial ini (sistem sosial masyarakat Bali) dapat dilihat saat ini dari eksistensi identitas kebalian mereka setelah berada di luar Bali. Jika mesin sosial ini tidak bekerja, tentu berbagai komunitas Bali Hindu yang ada di Lampung, termasuk di Balinuraga, sudah hancur – dalam arti kebaliannya hilang karena membaur dengan komunitas lain, seperti yang terjadi dengan komunitas Jawa – dan tidak bisa membangun sebuah perkampungan Bali yang lengkap dengan institusi-institusi adat-keagamaan dengan berbagai macam pranata dan infrastruktur fisik dan non-fisik sebagai penunjang keberlangsungan sistem sosial tersebut. Ini yang menyebabkan mengapa komunitas Bali yang di Bali tersebar ke dalam berbagai desa adat, dan mungkin lebih nyata terlihat setelah mereka berada di luar Bali (seperti kasus Balinuraga), dapat disebut sebagai sebuah desa atau komunitas yang otonom, seperti sebuah negara. Ini adalah keunggulan dan kekuatan mereka ketika sudah berada di luar tempat asalnya dan berada di dalam sebuah lingkungan baru yang heterogen.
Ketekunan dan Kerja Keras Karakteristik umum dari masyarakat Bali di Balinuraga, yang menjadi keunggulan atau kekuatan mereka, adalah ketekunan dan kerja keras. Karena ini adalah karakteristik umum, berarti ada beberapa di antara mereka yang tidak memiliki ketekunan dan kerja keras seperti yang lainnya. Di samping ada beberapa karakteristik umum lainnya yang kurang baik seperti miliki jiwa militan (punya keberanian untuk bertarung atau bentrok fisik, terutama jika dilakukan secara berkelompok), dan gemar berjudi (meskipun tidak harus menggunakan uang, misalnya hanya
422
bermain kartu gaplek, remi atau ceki). Karakteristik umum lainnya yang menjadi ciri khas masyarakat Bali di Bali, termasuk di Balinuraga adalah bakat atau jiwa seni. Ini dapat dilihat dari berbagai macam karya seni yang mereka hasilkan, termasuk dalam hal yang kecil adalah bagaimana mereka berkreasi menghias pura keluarga ketika ada hari raya besar dan membuat bantenan. Terlepas dari karakteristik lain yang bersifat umum, baik yang bersifat baik maupun kurang baik, ketekunan dan kerja keras adalah keunggulan atau kekuatan mereka sebagai modal untuk meningkatkan perekonomiannya, di mana hasil dari kerja keras tersebut nantinya akan digunakan untuk melestarikan identitas kebalian mereka yang sebenarnya costly (membutuhkan biaya yang tidak sedikit, relatif mahal).
Gambar 64. Kartu Ceki (Kartu Ceki ini mudah ditemukan di jalan. Biasanya dibuang begitu saja setelah selesai bermain) (Sumber: Yulianto, 2010)
Kerja keras dan ketekunan petani Balinuraga dapat dilihat bagaimana mereka menggarap tanah pertaniannya. Tanah seluas dua hektar umumnya dikelola oleh keluarga inti, tidak menyewa jasa buruh tani. Menurut mereka memiliki tanah seluas dua hektar belum layak disebut memiliki tanah pertanian, karena masih bisa dikerjakan sendiri dan hasilnya hanya mencukupi kebutuhan pokok serta upacara harian. Fenomena kampung kosong dapat menjadi bukti kerja keras dan ketekunan mereka. Jika memasuki musim tanam (dan tidak ada upacara penting), Desa Balinuraga menjadi sepi, karena sebagian besar masyarakatnya yang
423
berprofesi sebagai petani bekerja di lahan pertanian. Awal musim tanam ini ditandai dengan datangnya musim penghujan. Jika hujan pertama datang – yang menandakan musim penghujan – para petani langsung bergegas ke sawah untuk membajak tanah sebagai persiapan pembenihan dan masa tanam. Hal ini harus segera dilakukan karena model persawahan mereka adalah sawah tadah hujan, di mana selama musim kemarau lahan pertaniannya tidak digunakan untuk menanam padi. Ketekunan dan kerja keras petani Balinuraga masih didukung dengan adanya organisasi atau perkumpulan tradisional yang bergerak ke bidang ekonomi atau pertanian, yaitu seka tani (krama subak). Ketekunan dan kerja keras ini dimanifestasikan dalam kerja berkelompok berdasarkan komunitas banjarnya. Ini yang menonjol dari masyarakat Bali di Balinuraga, dan masyarakat Bali lainnya di Lampung (secara umum). Karenanya, tidak mengherankan jika petani Bali di Lampung dikenal sebagai petani yang agresif dalam bekerja. Sampai akhirnya mereka (petani Bali) beserta petani Jawa dengan kedudukan keduanya sebagai pendatang berhasil menggeser peran dan perekonomian masyarakat lokal (penduduk asli Lampung) di bidang pertanian.
Pelestarian Identitas Cara yang umum digunakan oleh sebuah komunitas untuk melestarikan identitasnya atau pun mempertahankan eksistensi identitasnya dengan berbagai macam simbol-simbolnya adalah dengan membentengi komunitasnya berdasarkan ikatan atau persamaan identitas yang mempersatukan komunitas tersebut. Identitas tersebut tidak mungkin lestari atau pun eksis jika tidak dilindungi layaknya sebuah benteng. Dibuat seperti benteng atau membentengi diri dikarenakan adanya ancaman dan pengaruh eksternal yang semakin menguat, di mana ada kekhawatiran akan hilang atau terkikisnya identitas tersebut. Fenomena umum yang terjadi di Indonesia sebagai sebuah negara yang multikultur dengan identitas yang beragam adalah benteng identitas semakin menguat ketika ancaman eksternal (dirasakan, diprediksi) semakin menguat juga. Dengan kata lain, bonding komunitas itu untuk melindungi atau sebagai upaca pelestarian identitas akan semakin menguat seiring dengan menguatnya ancaman dan pengaruh eksternal.
424
Dalam kasus masyarakat Bali di Balinuraga (yang juga terjadi di perkampungan Bali lainnya di Lampung), sama seperti halnya masyarakat Bali di Bali, mereka menghadapi sebuah dilema. Di satu sisi mereka ingin mempertahankan dan melestarikan identitas kebalian mereka, sedangkan di sisi yang lain, mereka harus tetap terbuka terhadap lingkungan luar sebagai salah satu upaya mempertahnakan dan melestarikan identitas kebalian mereka. Di Bali mereka harus berhadapan dengan pengaruh globalisasi, yaitu dengan maraknya sektor industri pariwisata yang sebenarnya menjadi sumber perekonomian makro di Bali. Keterbukaan terhadap sektor industri pariwisata mutlak dibutuhkan demi keberlangsungan perekonomian Bali yang (sampai saat ini) masih bertumpu di sektor pariwisata. Kontrasnya, keterbukaan tersebut lambat-laun mulai mengikis kebalian mereka. Solusinya adalah bagaimana menjadikan Bali sebagai sebuah benteng untuk mempertahankan dan melestarikan kebalian mereka yang sebenarnya adalah modal utama bagi sektor pariwisata, tapi tetap menjadikan Bali sebagai sebuah benteng yang terbuka: Bali tetap menjadi daerah yang terbuka bagi sektor industri pariwisata dan globalisasi sebagai penopang perekonomian lokal, tanpa mengikis identitas kebalian yang menjadi warisan leluhur masyarakat Bali sebagai akibat dari pengaruh keterbukaan tersebut yang datang dari sektor industri pariwisata dan industri pendukung lainnya. Hal serupa juga terjadi pada masyarakat Bali di luar Bali dengan konteks yang berbeda, dalam kasus ini masyarakat Bali di Balinuraga, mereka ingin mempertahankan dan melestarikan identitas kebaliannya – konsekuensinya mereka harus membangun sebuah komunitas yang eksklusif dalam sebuah benteng tertutup yang disebut Kampung Bali – sekaligus terbuka dengan lingkungan sosial yang lebih luas dan heterogen, di mana keberlangsungan perekonomian mereka – dan juga identitas kebaliannya – bergantung pada sebuah interaksi dan relasi sosial dan ekonomi dengan masyarakat yang heterogen. Posisi masyarakat Bali di Lampung adalah minoritas, yang komunitas eksklusifnya tersebar di berbagai wilayah di Lampung, di tengah lingkungan masyarakat heterogen dengan mayoritas agama Islam. Di dalam komunitasnya sendiri, mereka masih harus berhadapan dengan berbagai dinamika identitas yang bersifat spesifik tapi sangat berarti bagi mereka sebagai sebuah status sosial, yaitu identitas warga, atau lebih luas lagi, identitas mereka sebagai
425
golongan jaba – sebuah golongan yang menjadi mayoritas di Bali, tapi memiliki status sosial yang dianggap bawah oleh sebagian kalangan. Berikut ini adalah beberapa upaya pelestarian identitas yang dilakukan komunitas Bali Hindu di Balinuraga – sebuah upaya yang dilakukan berdasarkan konteks yang terjadi dalam komunitas tersebut dan lingkungannya:
Adaptasi Adaptasi – proses penyesuaian diri dengan lingkungan yang baru – merupakan salah satu strategi komunitas Bali Nusa untuk melestarikan identitas dan eksistensi anggota komunitasnya. Proses adaptasi yang terkait kebertahanan hidup sebenarnya terjadi pada transmigran pertama yang datang pertama kali di tahun 1963. Proses adaptasi ini terkait dengan kondisi alam yang baru dan sama sekali berbeda dengan kondisi alam di Nusa Penida, dan kondisi perekonomian transmigran yang persediaan uangnya sudah menipis (banyak dihabiskan selama perjalanan dari Nusa Penida, Bali ke Lampung). Kondisi alam di Lampung saat itu masih dipenuhi dengan hutan dan binatang liar khas Sumatera seperti gajah dan harimau sumatera. Kondisi hutan tropis Sumatera ini masih diperparah dengan serangan nyamuk malaria. Sebuah kondisi alam yang jauh berbeda bila dibandingkan dengan Nusa Penida, di mana kondisi alamnya gersang, tidak memiliki hutan tropis seperti Sumatera. Masalah kritis yang harus dihadapi transmigran pertama waktu itu adalah kekurangan kebutuhan pokok, khususnya sembako, sebagai akibat persediaan uang yang menipis dan lahan pertanian masih dalam proses pembukaan. Cara yang mereka tempuh untuk mengatasi perubahan kondisi alam ini dengan keterbatasan ekonomi adalah (1) bekerja sebagai buruh tani di perkebunan penduduk lokal untuk mendapatkan sejumlah kecil penghasilan yang dapat digunakan membeli kebutuhan pokok – sekadar untuk bertahan hidup; (2) mengkonsumsi kijung, sejenis umbi-umbian beracun, harus direndam selama beberapa hari agar bisa dikonsumsi sebagai karbohidrat; (3) mengonsumsi daging babi celeng (babi hutan) untuk memenuhi kebutuhan protein, di mana celeng ini menjadi hama bagi perkebunan penduduk, dan karena mayoritas masyarakat adalah muslim – tidak mengonsumsi daging celeng – maka ketersediaan daging celeng sebagai sumber protein
426
melimpah. Dalam kasus ini, transmigran menjadi penolong masyarakat setempat yang terganggu dengan populasi babi hutan yang waktu itu cukup mengganggu. Adaptasi lain yang harus mereka lakukan terkait dengan kondisi alam yang berbeda adalah masalah pengelolaan tanah pertanian. Ada dua kendala yang mengharuskan mereka beradaptasi dengan kondisi alam ini untuk bercocok tanam: (1) mereka harus mulai terbiasa untuk menggarap sawah yang mengandalkan air hujan sebagai sumber air utama untuk mengairi padi; dan (2) bercocok tanam di tanah datar. Untuk kendala ini mereka tidak mengalami masalah yang berarti untuk beradaptasi. Adaptasi dapat dilakukan dengan cepat. Di Nusa Penida mereka menghadapi tanah garapan yang terjal dengan sumber air yang sangat terbatas, sama-sama mengandalkan air hujan seperti di Lampung, tapi dengan debit air hujan yang lebih sedikit. Kendala utamanya terletak saat mereka membuka lahan pertanian. Mereka harus nebang alas. Sebuah pekerjaan yang cukup beresiko, tidak hanya dari ancaman binatang lihar, tapi yang tidak kalah berbahayanya adalah serangan nyamuk malaria. Selain beradaptasi dengan lingkungan alam (kondisi alam) di Lampung, mereka juga harus beradaptasi dengan lingkungan sosial yang baru. Transmigran ini berasal dari sebuah desa yang berada diujung pulau Nusa Penida, dengan lokasi yang terjal, penuh tanjakan tajam, dan terletak di pegunungan. Akibatnya para transmigran ini selama masih tinggal di Nusa Penida mempunyai pergaulan dengan lingkungan sosial yang terbatas pada komunitasnya sendiri, dan lingkungan sosialnya bersifat homogen. Setelah berada di Lampung, mereka harus berhadapan dengan sebuah lingkungan sosial yang lebih heterogen, dan mereka menjadi minoritas. Salah satu cara yang paling signifikan untuk adaptasi dengan lingkungan sosial yang baru adalah bahasa. Transmigran Bali Nusa umumnya hanya fasih dengan bahasa ibunya sendiri. Untuk bergaul dengan sesama etnis Bali yang berasal dari Bali pun mereka masih terkendala oleh bahasa. Bahasa Bali dari Nusa Penida berbeda dengan Bahasa Bali dari Bali. Realitas yang berkembang di Lampung adalah penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan antar etnis yang berbeda untuk mempermudah interaksi sosial, selain sebagai bahasa “persatuan”. Dapat dikatakan selama tahun-tahun pertama interaksi sosial transmigran Bali
427
Nusa sangat terbatas pada komunitasnya sendiri, dan transmigran Bali dan Bali Nusa yang sudah ada Lampung Selatan yang kedatangannya ke Lampung jarak waktunya tidak terlalu lama. Syarat mutlak untuk berinteraksi dengan komunitas lain adalah penggunaan Bahasa Indonesia. Agar bisa berbahasa Indonesia dibutuhkan waktu beberapa tahun, karena ini tergantung seberapa sering transmigran ini berinteraksi dengan komunitas lain yang menggunakan Bahasa Indonesia. Selain Bahasa Indonesia, mereka harus beradaptasi juga dengan penggunaan Bahasa Jawa (ngoko). Komunitas transmigran Jawa adalah mayoritas. Sama seperti mereka, transmigran Jawa lebih senang menggunakan bahasa ibunya dalam pergaulan sehari-hari, daripada menggunakan Bahasa Indonesia. Mengingat jumlah mereka adalah mayoritas, mau tidak mau, mereka juga harus beradaptasi dengan bahasa ini. Untuk mengerti Bahasa Jawa mereka tidak begitu mengalami kesulitan, karena ada beberapa persamaan kosakata – ini tidak terlepas dari keberhasilan Jawa (Majapahit) menguasai Bali di bawah pimpinan Gajah Mada. Bahasa Lampung sendiri adalah bahasa yang jarang digunakan dan dijumpai, kecuali di kalangan masyarakat Lampung asli. Para pendatang jarang yang bisa atau pun tertarik untuk memahami serta menggunakan bahasa ini sebagai bahasa pergaulan. Hal ini cukup unik karena di wilayah lain di luar Lampung, seperti Palembang, Bengkulu, Jambi, Padang, dan lain-lain, bahasa daerah (bahasa melayu) sering digunakan sebagai bahasa pergaulan, dan pendatang umumnya memahami dan bisa menggunakan bahasa tersebut. Adaptasi yang bersifat teknis adalah dalam proses pembangunan pura. Di Lampung mereka mengalami kesulitan mendapatkan batu seperti model batu kapur (berwarna putih) atau batu gunung sebagai bahan dasar pembangunan pura seperti yang biasa digunakan di Nusa Penida dan Bali. Pura harus tetap dibangun, meskipun bahan-bahan seperti yang ada di Bali sulit ditemukan di Lampung. Di masa-masa awal pembangunan pura bersifat semi permanen, “seadanya dulu” karena kondisi perekonomian belum mapan. Lambat laun, setelah perekonomian mulai mapan, mereka mulai membangun pura yang permanen dengan menggunakan bahan dasar semen (adukan semen pasir) sebagai fondasi. Begitu pula ketika mereka membuat ukiran-ukiran di pura. Bahan dasarnya adalah semen, bukan batu.
428
Adaptasi yang tidak kalah penting adalah bagaimana sistem sosial mereka bisa diadapatsikan – sebagai proses penyesuaian dengan lingkungan yang baru – agar identitas kebalian mereka bisa tetap lestari (seperti yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya). Proses penadaptasian ini disesuaikan dengan kondisi kala dan patra. Konsekuensinya adalah ada beberapa hal yang dikurangi atau pun ditambahi. Pengurangan atau penambahan sifatnya sebagai penyesuain, perubahan atas sistem sosial itu tetap ada dan tidak dapat dielakkan karena lingkungan dan konteksnya berbeda, hanya ada koridor atau batasanbatasan tertentu – yang penting tidak melanggar ketentuan yang umum. Salah satu contoh sederhananya “subak”, krama subak tetap ada dan fungsinya tetap dijalankan sebagai lembaga adat dan keagamaan, meskipun tidak ada sistem irigasi atau pembagian air. Kemudian, menggunakan sumur bor sebagai sumber air untuk kebutuhan pertanian. Begitu pula dengan contoh kasus penyelenggaraan upacara pitra yadnya (ngaben pribadi). Ada beberapa pengurangan dan penambahan seperti pembangunan bade maupun teknis pelaksanaan upacara. Berbagai modifikasi sistem yang dilakukan – pengurangan dan penambahan – agar sistem ini tetap relevan dengan lingkungan yang baru, dan akhirnya kelestarian identitas yang tercermin dari sistem tersebut tetap terjaga.
Memperkuat Benteng Identitas Jika komunitas Bali Nusa membentuk sebuah perkampungan Bali yang eksklusif seperti kasus Desa Balinuraga, maka ini tidak dapat diartikan sebagai “tindakan atas dasar kesadaran” atau “tindakan sosial yang rasional”. Kesadaran tersebut sebenarnya digerakan oleh alam bawah sadar mereka melalui sistem sosial yang sudah terlembagakan pada setiap individu anggota komunitas ini. Membentuk perkampungan Bali dengan karakteristik Nusa Penida merupakan naluri mereka sebagai salah satu upaya melestarikan identitasnya setelah berada di luar Bali. Mereka diikat oleh ikatan sosial dari tanah leluhur. Tanpa perlu dikomandoi pun, benteng ini akan diperkuat oleh anggota komunitasnya (memperkuat bonding komunitas) ketika ancaman dari luar terhadap eksistensi identitas mereka semakin menguat. Kekuatan dari benteng atau Kampung Bali terletak dari kesolidan anggota komunitasnya. Rohnya adalah sistem sosial mereka
429
yang berasal dari tanah leluhur. Identitas kebalian sudah menjadi bagian dari setiap individu, karenanya ketika identitas tersebut terancam naluri menuntun mereka untuk memperkuat identitasnya. Membangun desa adat, banjar, seka-seka, krama subak, pura kahyangan tiga, pura kawitan warga, pura keluarga, bale banjar, (dan pranata-pranata sosial lainnya) serta pelaksanakan kewajiban adat dan agama, dilakukan atas sebuah dorongan dari dalam diri setiap anggota komunitas. Dorongan ini akan menjadi sebuah tindakan kolektif (massa) ketika ada seorang patron yang dipercayai dan mendapat kepercayaan dari kliennya (anggota komunitas, massa). Basis massa terdapat di level banjar, sekaligus menjadi basis adat, keagamaan, kekerabatan, kesenian, politik, dan ekonomi yang diwadahi oleh seka-seka. Identitas kebalian – kebudayaan Bali Hindu – dilestarikan melalui lembaga-lembaga tradisional ini. Sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat Bali Nusa di Balinuraga untuk melaksanaan berbagai kegiatan di dalam lembaga-lembaga tradisional ini dengan dengan melibatkan jumlah anggota yang besar atau berkelompok. Seperti yang diutarakan oleh Geertz (1977: 89) dalam studinya di Tabanan yang menyebutkan bahwa orang Bali melakukan segala sesuatu secara berkelompok, bahkan untuk mengerjakan tugas yang paling sederhana sekali pun, dan, seperti yang telah ditunjukkan oleh Gregory Bateson dan Magaret Mead, hampir senantiasa melibatkan jumlah tenaga yang jauh melebihi yang secara teknis diperlukan266. Terlepas dari banyaknya jumlah anggota yang terlibat dalam berbagai kegiatan di dalam lembaga-lembaga tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Balinuraga. Poin penting yang dapat diambil adalah rasa kepemilikkan yang kuat atas identitas tersebut dan kelestariannya. Ini adalah kebiasaan yang mereka adaptasi dari kebiasaan yang ada di Nusa Penida (Bali), dan ini pun adalah sebuah tradisi. Terlebih setelah berada di Lampung, kerja berkelompok ini dapat menunjukkan kesolidan komunitas mereka dalam upaya mempertahankan identitas Balinya. Massa selalu ada di setiap upacara besar dan penting. Ada partisipasi aktif di dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, meskipun secara 266
G. Bateson dan M. Mead, “Balinese Character” (New York: New York Academy of Science, 1942) dalam Geertz (1977: 89), Penjaja dan Raja.
430
teknis jumlahnya melebihi dan ada pertentangan identitas di dalamnya. Keterlibatan massa dalam setiap upacara besar dan penting – meminjam istilah Geertz (1980) – sebagai negara teater267. Kontes negara teater seperti ini dengan keterlibatan massa yang besar dalam perhelatan upacara besar dan penting tetap ada setelah keberadaan mereka di Lampung, dan ini menjadi identitas orang Bali di Lampung (seperti kasus Balinuraga). Hanya saja, konteksnya berbeda, suasana lebih egaliter, tidak menonjolkan kekuasaan raja atau triwangsa. Dengan kata lain, ini adalah negara teater atau pentas-nya jabawangsa yang ada di luar Bali. Kontes ini tentunya tidak dapat terlaksana – dalam upaya pelestarian identitas – jika tidak ada benteng yang kuat, di mana massa terkonsolidasi di dalamnya. Fungsi utama memperkuat benteng identitas – melalui lembagalembaga tradisional sebagai basis massa – adalah sebagai wadah pelestarian identitas. Massa yang berkumpul di dalam lembaga-lembaga tradisional ini menjalankan berbagai aktivitas dan kegiatan yang mencerminkan kebalian mereka. Misalnya, seka gong yang dimiliki beberapa banjar. Seka gong ini menjadi wadah kesenian Bali masyarakat Balinuraga. Tidak hanya sebagai lembaga kesenian, seka gong pun turun memainkan peran ekonominya untuk tetap melestarikan eksistensi lembaga tradisional ini, sekaligus menjadi lembaga untuk kepentingan adat dan keagamaan. Setiap ada upacara besar dan penting, seka gong terlibat dalam proses upacara tersebut. Musik gamelan dan tarian Bali adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan adat dan keagamaan dalam tradisi Bali. Sebuah sistem sosial tradisional yang kompleks dengan berbagai lembaga-lembaga tradisional, tapi ini adalah kebalian mereka setelah berada di Lampung. Melaluinya proses pelestarian identitas kebalian ini dilangsungkan dan kokoh. Meskipun pembangunan benteng identitas ini merupakan sebuah tindakan sadar yang didasarkan atas dorongan alam bawah sadar mereka sebagai individu maupun sebagai komunitas.
267
Geertz, C. (1980), Negara; The Theatre State in Nineteenth Century Bali, Princenton: Princenton University Press.
431
Masyarakat sebagai Agen Pelestari Identitas sekaligus Agen Yang Terstruktur Identitas kebalian tercermin dari sistem sosialnya, begitu juga sebaliknya. Keduanya saling melekat erat dan tidak dapat dilepaskan. Identitas dan sistem sosial ini sudah melembaga di setiap anggotanya. Dalam kasus ini anggota merupakan subjek atau agen yang mencerminkan identitas dan sistem sosial di dalamnya, dan juga sebagai subjek (agen) yang sebenarnya sudah terstruktur oleh identitas dan sistem tersebut. Dalam kasus masyarakat Bali Nusa di Balinuraga, terdapat dualitas peran masyarakat sebagai subjek (agen) yang bertanggungjawab sebagai pelestari identitas. Di satu sisi, mereka menjadi agen aktif di mana mereka berpartisipasi aktif dalam melestarikan identitas dengan melakukan berbagai perubahan. Di sisi lain, mereka menjadi agen pasif dikarenakan diri mereka sebagai individu sebenarnya sudah terstruktur atau distrukturkan oleh sistem sosial tersebut dengan identitas kebaliannya. Terlepas dari peran mereka sebagai agen aktif maupun agen pasif dalam melestarikan identitas kebaliannya, keberadaan mereka sebagai subjek atau agen sebenarnya sudah mencerminkan identitas kebalian mereka. Identitas kebalian dan sistem sosial di dalamnya sudah melembaga di dalam diri mereka. Seandainya pun mereka setia menjadi agen pasif dengan merelakan dirinya terstruktur oleh sistem sosial tersebut, identitas kebalian itu pun tetap lestari. Hanya saja identitas tersebut nantinya akan menjadi relatif lebih kaku dan cenderung semakin mempertahankan atau meng-ajeg-an ketradisionalannya. Kasus masyarakat Bali di Balinuraga, peran mereka sebagai agen yang aktif sama kuatnya dengan peran mereka sebagai agen yang pasif. Realitas atau bukti nyata peran mereka sebagai agen yang aktif adalah adanya perubahan terhadap beberapa unsur dari sistem tradisional yang menjadi identitas kebalian mereka menjadi lebih modern. Sebagai agen yang aktif, ada dorongan dari dalam diri mereka untuk melakukan perubahan atau penyesuaian. Perubahan tersebut didasari atas realitas sosial dari lingkungan yang baru, di mana mengharuskan mereka untuk melakukan perubahan demi lestarinya identitas tersebut. Sebagai agen yang pasif, mereka menjadi seperti bagian atau komponen dari mesin sosial atau sistem yang tradisional tersebut. Mereka merelakan dirinya menjadi bagian terstruktur dari sistem tersebut sehingga sistem
432
tersebut tetap berjalan dengan ciri khas ketradisionalannya. Artinya ada sebuah aturan atau hukum di dalam sistem tersebut yang sudah melembaga di dalam diri mereka sebagai individu yang menjadikan diri mereka sebagai agen yang pasif. Dalam kasus upacara pitra yadnya (ngaben pribadi) masyarakat bisa menjadi agen yang aktif dalam melestarikan identitas kebaliannya dengan melakukan inovasi dan kreasi baru dalam pembangunan bade, patulangan, tata upacara dan upakara, dan lain-lain. Namun, di sisi lain, mereka tidak bisa – takut dan tidak berani – untuk melakukan upacara pembakaran jenasah seperti layaknya di India. Hal ini dikarenakan kebalian mereka akan hilang. Jika diperhatikan dengan seksama, sebenarnya peran struktur dalam sistem sosial masyarakat Bali, seperti kasus di Balinuraga, masih kuat, tapi tidak mutlak. Lingkungan yang baru dengan kala dan patra yang berbeda memberikan ruang bagi masyarakat untuk menjadi agen aktif untuk melestarikan identitas kebalian mereka. Jadi poin penting yang ingin disampaikan adalah bahwa dengan menjadi agen yang aktif maupun agen yang pasif, masyarakat Bali di Balinuraga sebenarnya sudah melestarikan identitas kebalian mereka. Ada batasan dan aturan yang memungkinkan mereka menjadi agen pelestari identitas kebalian yang aktif maupun yang pasif. Proporsi kedua peran agen ini dapat dikatakan seimbang. Jika tidak seimbang, semisal mereka menjadi agen yang lebih aktif, maka bukan tidak mungkin pelestarian identitas dilakukan dengan cara melakukan perubahan yang radikal. Begitu pula sebaliknya, ketika mereka menjadi agen yang lebih pasif, maka mereka akan menjadi sebuah komunitas yang sangat tradisional (sangat kolot), menjadi semakin tertutup dalam sebuah benteng yang kuat, dan akhirnya menyebabkan mereka tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dan “mati dalam sebuah benteng identitas mereka sendiri” di luar tempat asalnya. Menjadi agen yang lebih pasif berarti menutup diri dalam sebuah benteng identitas yang kuat. Menjadi agen yang lebih aktif berarti secara radikal melakukan perubahan terhadap sistem sosial yang menjadi identitasnya, menjadi lebih terbuka, dan akhirnya identitas tidak menjadi lestari dan eksis, tapi sebaliknya menjadi hilang. Proporsi yang seimbang, menjadi agen yang aktif dan pasif, menjadikan mereka hidup dalam sebuah benteng tertutup yang harmonis
433
dengan lingkungan sosial yang heterogen (sesuai dengan filosofi Tri Hita Karana).
Kreativitas Tujuan utama kekreatifan masyarakat Balinuraga adalah sebagai salah satu cara untuk melestarikan identitas kebaliannya. Kekreatifan ini bisa terjadi karena adanya ruang dalam sistem sosial mereka yang memungkinkan mereka menjadi agen yang aktif. Proses kreatif ini, yang didalamnya ada proses perubahan, merupakan kegeniusan masyarakat sebagai agen yang aktif dalam melestarikan identitasnya. Mereka menggunakan akal sehatnya (imajinasi, ide, pemikiran dan perenungan, dan aksi) agar bisa memodifikasi identitasnya – baik dalam bentuk simbolsimbol atau pun elemen-elemen pendukung dalam sistem sosial tersebut – agar bisa tetap menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, tanpa harus melanggar aturan yang ada di dalam sistem tersebut. Proses ini yang menjadikan Bali di Lampung – dalam kasus ini di Balinuraga – berbeda dengan Bali di Nusa Penida dan Bali, meskipun secara umum masih identik sekali kebaliannya. Letak perbedaan tersebut justru terletak pada proses kreativitas agen yang genius, tanpa menghilangkan kebaliannya dan melanggar aturan umum yang berlaku dalam sistem sosial tersebut. Hasil kreativitas masyarakat Balinuraga sebagai agen yang aktif – masih menggunakan contoh yang sama – adalah bagaimana mereka membangun bade untuk upacara pitra yadnya. Sebuah bangunan bade, yang di dalamnya memiliki makna filosofis mendalam, yang desainya lain daripada yang lain, sebuah desain yang mencerminkan anti-kemapanan. Ada sebuah proses imajinasi, perenuangan, pemahaman yang mendalam atas makna dan filosofi dari apa yang akan diciptakan sampai akhirnya bangunan bade tersebut bisa direalisasikan menjadi wujud fisik yang menarik, indah dan sarat makna. Kreativitas ini menunjukkan bahwa masyarakat Balinuraga mampu melestarikan identitas kebaliannya melalui karya-karya yang kreatif dalam proses pelestarian tersebut, tidak ada makna filosifis yang hilang dalam proses penciptaan karya kreatif tersebut, dan sebagai salah satu cara menunjukkan eksistensi identitas kebaliannya setelah berada di Lampung bahwa mereka adalah tetap menjadi Bali, tapi Bali yang berbeda – Bali Lampung. Menariknya, setiap kali ada sebuah
434
karya kreatif yang lain daripada yang lain, tentu setelah ada yang memeloporinya, maka karya kreatif tersebut akan ditiru oleh anggota komunitas yang lain di dalam Desa Balinuraga dan komunitas Bali Hindu di perkampungan Bali lainnya (yang tertarik dan menaruh minat yang mendalam atas hasil karya kreatif tersebut). Hasil dari proses kreatif ini, yang dapat dilihat dalam hasil kerja kreatif pengaryaan bangunan simbol atau ornamen yang menjadi elemen inti dari identitas, yang menjadikan identitas sebagai sesuatu yang dinamis, terus mengalami proses perubahan, dan tidak secara absolut ajeg. Dengan demikian, kreativitas dapat mendukung proses pelestarian identitas, menjadikan identitas itu semakin relevan dengan lingkungan yang baru.
Perkawinan Perkawinan merupakan strategi klasik yang dilakukan oleh hampir semua etnis (suku bangsa) di dunia untuk melestarikan identitasnya, khususnya terkait identitas etnis, keagamaan dan kebudayaan. Meskipun pluralisme menjadi sebuah tren dan wacana yang menarik dalam membina sebuah hubungan sosial yang harmonis di berbagai tempat, namun tetap saja seorang Yahudi akan memprioritaskan seorang Yahudi untuk menjadi pasangannya, begitu pula dengan seorang Tionghua, India, Batak, Jawa, dan lain-lain – perkawinan endogami. Tanpa harus mengingkari realitas yang ada – meskipun tidak dalam jumlah besar – bahwa ada seseorang dari etnis A menikah dengan etnis B, C, D, dan seterusnya. Sebuah kasus yang relatif jarang terjadi, karena tetap saja prioritas utama adalah menikah dari kalangan etnis dengan identitas keagamaan dan kebudayaan yang sama. Lalu, bagaimana dengan masyarakat Bali Hindu di Balinuraga? Perkawinan tetap dijadikan salah satu strategi klasik untuk mempertahankan dan melestarikan identitas kebalian mereka. Perkawinan (pernikahan) beda etnis dan agama mungkin tidak menjadi masalah besar bagi mereka, asalkan pihak bersangkutan tetap menjadi “Bali Hindu” – dalam kasus ini pasangannya mau mengikuti tradisi dan kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat Bali Hindu. Ini menjadi sangat penting karena dalam masyarakat Bali, identitas kebalian sangat melekat antara Bali dan Hindu. Kasus seperti ini ada di Balinuraga, tapi jumlahnya relatif sangat jarang terjadi, begitu juga sebaliknya pernikahan beda etnis dan keyakinan
435
yang menyebabkan pihak yang bersangkutan meninggalkan identitasnya sebagai Bali Hindu dengan mengikuti tradisi dan kepercayaan pasangannya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, mereka yang setelah menikah meninggalkan identitasnya sebagai Bali Hindu, maka baik langsung atau tidak langsung, pihak bersangkutan maupun lingkungan sosialnya akan melakukan pengucilan. Model perkawinan yang berlaku di Balinuraga – secara umum berlaku sama dengan masyarakat Bali pada umumnya – adalah menikah dengan sesama orang Bali. Tujuannya sudah jelas, agar identitas kebalian mereka tidak hilang dan tetap lestari. Meskipun pasangan yang bersangkutan menjadi Bali Hindu, namun tetap saja ada kendala internal di dalam komunitas tersebut, baik salam proses adaptasi menjadi Bali Hindu maupun cibiran. Model ideal yang umum adalah menikah dengan sesama Bali Hindu. Model ideal yang spesifik adalah menikah dengan sesama Bali Hindu yang berasal dari golongan yang sama, dan yang lebih spesifik adalah menikah dengan sesama Bali Hindu dengan identitas warga yang sama. Menikah dengan sesama Bali yang berasal dari golongan yang sama, seperti golongan jaba menikah dengan sesama Bali Hindu yang berasal dari golongan jaba; sedangkan contoh yang lebih spesifik adalah seorang Warga A menikah dengan seseorang yang juga berasal dari Warga A – model perkawinan dengan klan (warga) yang sama. Misalnya, seperti yang telah diuraikan di muka, pernikahan Ni Wayan Bunga dan I Made Gagah yang keduanya berasal dari Warga Pandé. Terkait dengan kelestarian identitas kebalian pertanyaan yang (pasti) muncul adalah mengapa Warga A idealnya menikah dengan Warga A? Terkait dengan kelestarian identitas, ada konsekuensi logis yang terjadi mengapa harus menikah dengan sesama anggota warga-nya (berasal dari satu klan yang sama). Pertama, seorang wanita Warga A yang menikah dengan pria Warga B, maka setelah menikah pihak wanita identitasnya akan mengikuti identitas suaminya menjadi Warga B. Ini bisa menjadi permasalahan dikarenakan terjadi perpindahan keanggotaan warga. Jika terjadi dalam jumlah yang besar, tentu saja, populasi Warga B akan semakin besar jumlahnya. Kedua, setiap warga atau klan sebenarnya mempunyai karakteristik atau tradisi yang khas. Mereka mempunyai identitas yang berbeda dengan warga lainnya, meskipun sama-sama Bali
436
Hindu. Tradisi mereka, yang tercermin dalam kegiatan adat dan keagamaan, memiliki perbedaan, di mana perbedaaan itu menjadi identitas warga tersebut. Karena modelnya sangat patrilineal, tentu yang menjadi “korban” adalah pihak wanita. Jika ia menikah dengan warga yang berbeda, tentu ia akan kesulitan untuk beradaptasi dengan tradisi yang berlaku dalam warga suaminya. Belum lagi dari pihak keluarga, yang setelah pernikahannya dengan warga yang berbeda kemudian ia mengikuti warga suaminya, pihak wanita seolah-olah telah menjadi orang luar dari keluarga besarnya, yaitu warga atau klan. Karenanya, baik dari keluarga pihak wanita maupun dari pihak pria, selalu menganjurkan agar menikah dengan sesama warga-nya sendiri. Meskipun demikian, perkawinan beda warga masih dinilai lebih baik daripada terjadi perkawinan beda golongan (wangsa), atau pun yang lebih khusus, perkawinan beda etnis dan agama. Tujuan besar dari model ideal secara umum mengapa sebaiknya menikah dengan sesama Bali Hindu – terutama dengan golongan yang sama dengan identitas warga yang sama – adalah agar identitas kebalian mereka tetap lestari. Sebuah model ideal yang sebenarnya sangat manusiawi, karena adanya ketakutan (merasa terancam) identitasnya (etni, keagamaan dan kebudayaan) tidak bisa lestari (terwariskan) sampai generasi berikutnya. Sebuah ketakutan yang mungkin dirasakan oleh kelompok etnis yang ada di tempat lain, di mana etnisitas dan agama menjadi identitas mereka. Walaubagaimana pun identitas bisa lestari jika ada proses regenerasi atau pewarisan identitas dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pewarisnya adalah para keturunan, yaitu anak, cucu, cicit, dan seterusnya, yang tercipta melalui proses perkawinan. Karenanya, keadaan yang ideal adalah identitas tersebut diwariskan kepada keturunannya yang “murni”, dari hasil perkawinan dengan sesama anggota komunitasnya yang memiliki persamaan identitas.
Konflik Identitas Potensi konflik identitas biasanya (dimungkinkan) terjadi jika di dalam sebuah lingkungan sosial (cenderung) heterogen terdapat beberapa kelompok yang memiliki basis identitas yang kuat. Kelompok berbasis identitas ini menjadikan identitasnya – suku, agama, ras dan antara golongan (SARA) – sebagai pengikat komunitasnya menjadi sebuah
437
kelompok yang eksklusif, cenderung tertutup, “sensitif” dan “angkuh” (muncul karena adanya kepercayaan diri yang tinggi atas identitasnya dengan massa yang solid). Potensi konflik muncul – dan bisa berakhir dengan konflik – dalam kondisi di mana kelompok-kelompok ini berusaha mengaktualisasikan identitas kelompoknya dalam sebuah ruang publik terbuka dalam sebuah lingkungan sosial yang heterogen – ada kebebasan untuk mengaktualisasikan identitas kelompoknya. Persoalan kecil pun jika dipolitisir oleh pihak tertentu yang menginginkan terjadi kekacauan (biasa disebut provokator), maka konflik terbuka (konflik fisik) sangat dimungkinkan terjadi. Kejadian ini menjadi sebuah fenomena umum yang terjadi di Indonesia pasca Suharto, di mana ada kebebasan dari berbagai kalangan untuk mengapresiasikan identitas kelompoknya dalam sebuah lingkungan sosial yang terbuka. Akibatnya terjadi berbagai jenis konflik, mulai dari skala kecil sampai besar, di mana konflik tersebut sangat kental dengan politik identitas yang bersifat kedaerahan (lokal)268. Umumnya terjadi antara kelompok pendatang dengan kelompok asli (penduduk lokal atau penduduk asli setempat). Keinginan sebuah kelompok untuk mengapresiasiakan dan mengaktualisasikan identitasnya merupakan tindakan yang manusiawi. Ada keinginan agar identitasnya mendapatkan pengakuan dari lingkungan sosialnya. Tujuan utamanya adalah pelestarian identitas, di mana identitas tersebut merupakan jati dirinya sebagai individu dan kelompok. Dalam masyarakat Indonesia yang pluralis dengan beragam identitas etnis, ras, keyakinan dan kepercayaan (agama), golongan politik, dan lain-lain, konflik sangat dimungkinkan terjadi jika “ego” antar kelompok yang menguatkan kelompoknya berdasarkan identitas tertentu tidak bisa ditekan. Dengan kata lain, setiap kelompok secara kukuh mempertahankan “ego” identitas kelompoknya secara berlebihan – cenderung “angkuh”, di mana 268
Untuk melihat lebih lanjut bagaimana etnisitas di Indonesia dan konflik atau benturan (identitas) etnis di Indonesia yang mulai marak pasca jatuhnya Suharto dalam dinamika politik lokal, lihat: Van Klinken, Gerry. (2004), „Ethnicity in Indonesia‟, dalam Ethnicity in Asia, Edited by Colin Mackerras, Taylor and Francis e-Library; Van Klinken, Gerry. (2007), Communal Violence and Democratization in Indonesia: Small Town Wars, London and New York: Roudledge; Schulte Nordholt, Henk & Van Klinken, Gerry. (2007), Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: Buku Obor & KITLV-Jakarta.
438
keangkuhan ini menyebabkan kesensitifan yang kuat pada kelompok dan anggotanya, sehingga mudah tersinggung dan tersulut amarah untuk melakuakn tindakan fisik (bentrokan fisik). Poin penting dari adanya sebuah konflik identitas adalah bahwa ini terjadi karena adanya keinginan kuat dari setiap kelompok untuk melestarikan identitasnya, di mana dalam prosesnya mereka melakukan “aksi” aktualisasi. Ikatan yang kuat atas identitas tertentu adalah perekat komunitas yang kuat, dapat mempersatukan berbagai individu yang memiliki persamaan identitas. Karenanya, potensi konflik setiap kelompok berbasis identitas selalu ada. Dalam kasus masyarakat Bali Nusa di Balinuraga, ada dua jenis konflik identitas yang terjadi: konflik identitas eksternal dan konflik identitas internal. Konflik identitas eksternal terjadi ketika masyarakat Bali di Balinuraga bersama-sama dengan masyarakat Bali di tempat lain terlibat dalam konflik fisik dengan komunitas etnis lain, yaitu penduduk lokal. Seperti yang terjadi di tahun 1990-an ketika terjadi perang kampung antara Kampung Bali di Balinuraga beserta Kampung Bali tetangga dengan penduduk lokal (Lampung) di daerah Jabung. Konflik ini bermula ketika ada anggota masyarakat Balinuraga mengalami pembegalan sepeda motor saat melintasi wilayah Jabung. Sebagai sebuah kelompok pendatang dengan ikatan sosial yang kuat di Lampung, emosi kelompok menjadi sangat kuat ketika beberapa anggota komunitasnya diganggu oleh komunitas lain. Ketika gangguan tersebut tidak dapat ditoleransi lagi, karena dianggap telah merendahkan harga diri komunitas tersebut (identitas kebalian mereka), maka konflik (perang kampung) pun akhirnya terjadi. Penulis mencoba melihat konflik identitas eksternal ini dari sudut pandang lain, bahwa konflik identitas eksternal ini merupakan wujud dari aktualisasi identitas kebalian setelah berada di luar Bali, yaitu keinginan yang kuat dari segenap anggota komunitasnya untuk mempertahankan dan melestarikan identitas kebaliannya. Konflik ini – perang kampung – sepertinya harus terjadi agar identitas mereka diakui, tidak dianggap enteng oleh komunitas lain, dan ini didukung oleh persatuan yang kuat dari masyarakat Bali dengan identitas kebaliannya. Menurut penulis, konflik ini merupakan salah satu jalur atau upaya dari pelestarian identitas yang bersifat primitif – karena menggunakan kekerasan sebagai “shock therapy”
439
bagi “lawannya” agar mengakui identitas kelompoknya – dan ini sepertinya menjadi sebuah fenomena umum yang sampai saat ini masih berpotensi terjadi di Indonesia sebagai negara multikultur di mana ikatan primordial masih kuat (bahkan cenderung menguat di masa reformasi). Konflik identitas internal di dalam komunitas Balinuraga merupakan konflik identitas antar identitas warga yang berbeda. Konflik ini paling menonjol dan menjadi rahasia umum dalam komunitas Balinuraga, yaitu antara Warga Pasek dan Warga Pandé. Sebuah konflik yang sebenarnya sudah lama terjadi sejak masa kerajaan di Bali. Konflik ini dimungkinkan akan terus terjadi selama komunitas ini masih ada. Konflik identitas warga ini terjadi antar klan yang “digolongkan” sebagai jaba. Kondisi ini memang bisa terjadi karena secara keseluruhan masyarakat Balinuraga merupakan golongan jaba (bukan berasal dari golongan puri, kerajaan, atau triwangsa), di mana di dalam golongan ini terdapat berbagai macam kelompok besar berdasarkan silsilah keturunan tertentu yang biasa disebut warga atau klan. Seandainya ada golongan triwangsa di dalam komunitas ini, bisa saja terjadi konflik antara golongan jaba dengan triwangsa. Sumber konflik ini sebenarnya berakar pada sistem sosial dalam masyarakat itu sendiri. Memang mereka menerapkan sistem warga, bukan sistem wangsa yang bersifat diskriminatif. Sistem ini lebih egaliter, tidak ada yang bisa memantapkan klan lebih superior daripada yang lain, seperti triwangsa versus jabawangsa. Karenanya konflik yang terjadi bersifat horisontal, yaitu antara sesama kelompok warga di dalam golongan jaba. Lalu mengapa bisa terjadi konflik identitas antar warga? Setiap warga pada dasarnya memiliki status sosial tersendiri. Begitu pula dengan beberapa tata upacara dan upakara, serta simbol-simbol identitasnya, meskipun sama-sama berasal dari golongan jaba dan samasama Bali Hindu. Ini merupakan salah satu identitas individu dan kelompok mereka sebagai Bali Hindu. Status sosial ini bersifat mengikat, sudah melembaga, menjadi satu dengan identitas kebalian mereka. Dalam lingkungan sosial di dalam komunitas mereka yang lebih egaliter, aktualisasi identitas warga lebih terbuka. Ada keinginan yang kuat untuk menunjukkan siapa memiliki status sosial lebih tinggi. Dasar dari status sosialnya adalah status sosial leluhur mereka yang menjadi pendiri dari klan atau warga tersebut. Manifestasinya – karena pengaruh lingkungan
440
sosial dari masyarakat Lampung yang memasuki masyarakat industri (pertanian) – adalah melalui pencapaian ekonomi. Wujudnya adalah Pura Kawitan Warga – mana yang lebih besar, indah dan artistik – dan wujud lainnya, seperti pentas kesenian seka gong dan sulinggih warga mana yang lebih populer. Wujud yang sederhana terbatas pada gosip-gosip atau cibiran yang bersifat mensiniskan salah satu warga. Dengan kata lain, persaingan identitas status sosial warga sudah lebih modern, seperti yang dilakukan dalam masyarakat industri, bukan seperti yang terjadi dalam sebuah masyarakat yang masih didominasi oleh sistem feodal, di mana status sosial lebih ditentukan oleh garis keturunan, status sosial diwariskan dan bersifat absolut. Realitas ini menunjukkan bawah konflik identitas warga merupakan salah satu upaya dari komunitas ini – yang sebenarnya plural di dalam komunitasnya sendiri – untuk melestarikan identitas kebaliannya yang salah satunya diwujudkan melalui identitas warga. Mapannya sistem sosial kebalian yang mereka terapkan di Lampung – ada nilai dan norma yang mengharuskan mereka harus menjaga keharmonisan – dan adanya ancaman eksternal menyebabkan konflik ini terisolisir pada perang dingin bukan konflik terbuka (fisik). Ekonomi adalah alatnya. Kebebasan mengekspresikan dan mengaktulisasikan identitas warga sebagai upaya pelestarian identitas kebalian yang lebih besar – kebebasan yang disediakan oleh sistem itu sendiri – menyebabkan konflik identitas antar warga ini akan terus berlangsung terbatas pada perang dingin. Jadi, tidak bisa dinilai bahwa konflik identitas warga ini sebagai sebuah faktor pemecah belah komunitas Bali Hindu di Balinuraga. Ini adalah dinamika dalam komunitas mereka dalam melestarikan identitas. Konflik identitas warga adalah bagian utama dari dinamika tersebut dengan berbagai manifestasinya. Mereka pun menganggapnya sebagai hal yang positif: “Memotivasi kami untuk bekerja lebih keras” – yang berarti: memotivasi untuk memantapkan perekonomian keluarga mereka sehingga bisa terus melestarikan identitas kebaliannya.
Menjadi Bali Lampung Proses asimilasi, asosiasi, dan akulturasi merupakan upaya pelestarian identitas kebalian sebagai respons atas lingkungan sosial makro yang lebih luas, yaitu lingkungan sosial masyarakat Lampung (eksternal).
441
Melalui ketiga proses ini, mereka turut meleburkan dirinya – identitas kebaliannya yang eksklusif dalam benteng tertutup – sebagai bagian dari satu identitas yang lebih besar, yaitu Lampung: bagian dari masyarakat Lampung yang heterogen. Setiap proses asimilasi, asosiasi, dan akulturasi (termasuk adaptasi yang telah diuraikan sebelumnya), mempunyai wujudnya masing-masing yang sebenarnya hampir sama. Tujuan utamanya adalah melestarikan identitas kebalian mereka agar bisa eksis di tengah lingkungan sosial yang lebih luas dalam konteks masyarakat Lampung. Upaya ini dapat dikatakan sebagai bagian dari politik identitas mereka sebagai salah satu etnis pendatang di Lampung yang memiliki keunikkan identitas – kebalian – untuk mendapatkan pengakuan dan apresiasi atas identitasnya dalam lingkungan sosial yang heterogen dan terbuka. Secara umum hasil dari proses-proses ini adalah bagaimana mereka menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan sosial dengan berbagai etnis yang ada di Lampung, bukan menggunakan bahasa kedaerahan seperti Bahasa Lampung, Bahasa Bali, Bahasa Bali Nusa Penida atau pun Bahasa Jawa (ngoko). Ketika mereka menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan sosial, maka identitas-identitas primordial dari berbagai tempat asal mereka (etnis Bali dan etnis-etnis lainnya) menjadi luntur (melebur menjadi satu identitas yang lebih besar), termasuk identitas primordial penduduk lokal yang lebih senang menggunakan Bahasa Indonesia dalam pergaulan sosialnya daripada Bahasa Lokalnya, sehingga mereka (etnis Bali) beserta etnis-etnis lainnya telah menjadi Orang Lampung atau masyarakat Lampung yang majemuk – atau dalam konteks yang lebih luas mereka telah Menjadi Indonesia. Politik identitas yang dimainkan masyarakat Balinuraga dalam melestarikan identitas dengan melakukan peleburan identitas ke dalam sebuah identitas yang lebih besar terbilang unik bila dibandingkan dengan etnis lain. Masyarakat Balinuraga tidak hanya meleburkan identitas kebalian sebagai bagian dari identitas yang lebih luas seperti menjadi Bali Lampung, tapi juga turut meleburkan identitas kebaliannya ke dalam bagian dari identitas kebalian yang lebih luas – menjadi Bali Hindu seperti Bali Hindu yang ada di Bali. Jadi, proses asimilasi, asosiasi, dan akulturasi
442
(serta adaptasi) sebagai upaya pelestarian identitas dimainkan melalui dua jalur: Jalur Bali dan jalur Lampung. Upaya pelestarian identitas menggunakan Jalur Bali merupakan sebuah kewajiban yang harus mereka lakukan. Bagaimana tidak? Identitas kebalian mereka sangat tergantung dengan pusat: Bali. Mereka butuh eksistensinya sebagai Bali Hindu yang telah berada di luar Bali diakui oleh pusat. Ini merupakan bagian dari ikatan sosial yang kuat yang tidak dapat dilepaskan oleh mereka setelah berada di luar Bali: keterikatan terhadap tanah leluhur. Contoh konkretnya adalah bagaimana mereka meleburkan diri dengan melakukan pengasosiasian, pengakulturasian, dan pengasimilasian dengan lembaga-lembaga sosial yang berbasiskan adat, keagamaan, kekerabatan (warga) dan tempat asal yang ada di Bali (dalam ruang yang lebih luas). Tujuan dari proses ini adalah agar identitas mereka lestari, identitas kebalian mereka tetap diakui dan diterima dari pusat. Hal ini bisa dilihat dan dibuktikan dari keanggotaan mereka terhadap lembaga sosial keagamaan seperti PHDI (bagian dari umat Hindu Dharma), lembaga atau pagayuban berbasiskan identitas warga yang pusatnya berada di Bali, lembaga adat dan keagaman di tempat asal seperti banjar dan Pura Kawitan Warga di Nusa Penida. Pola yang hampir sama juga mereka lakukan ketika mengunakan Jalur Lampung. Mereka tetap menjadi Bali sekaligus menjadi Lampung. Hal ini mereka tunjukkan dengan menggunakan (menyertakan) lambang “Siger269” – lambang kebanggaan yang menyimbolkan identitas Lampung 269
Siger adalah mahkota yang menjadi lambang atau simbol kebesaran, keagungan, kejayaan dan kekayaan masyarakat Lampung. Dalam perkembangannya, Siger yang didominasi oleh warna emas ini digunakan sebagai lambang utama yang menyimbolkan Lampung atau menjadi Simbol Masyrakat Lampung. Siger ini selalu digunakan oleh setiap kalangan atau pun golongan dalam masyarakat Lampung, tidak hanya penduduk asli, tapi oleh masyarakat Lampung yang terdiri dari berbagai etnis. Penggunaan lambang Siger secara simbolis menunjukkan identitas ke-Lampung-an masyarakat Lampung yang heterogen. Siger sendiri adalah makhota adat yang biasa digunakan kaum perempuan dalam pakaian adat maupun dalatm prosesi pernikahan. Dengan kata lain, siger adalah mahkotanya kaum perempuan. Sebuah simbol kedaerahan yang feminis, tidak seperti simbol atau lambang kedaerahan lainnya yang biasanya bersifat maskulin dengan menggunakan simbol senjata, seperti (senjata) Kujang di
443
– sebagai bagian dari lambang atau logo organisasi sosial kemasyarakatan (termasuk ada unsur adat dan keagamaan di dalamnya). Misalnya, disertakannya siger dalam seragam pecalang dan dalam lambang organisasi “Pargali” (Paguyuban Bali Peduli Lampung Selatan). Logo adalah simbol identitas. Siger adalah simbol identitas yang lebih besar sebagai simbol Lampung. Ini mereka sertakan dalam lambang organisasiorganisasi bentukan mereka. Dengan kata lain, dengan menyertakan simbol identitas yang lebih besar bersama-sama dengan simbol identitas kebalian mereka, sebenarnya mereka telah meleburkan identitasnya sebagai bagian dari identitas yang lebih besar, yaitu Lampung. Penyertaan lambang siger merupakan hasil dari asosiasi, asimilasi dan akulturasi yang dilakukan oleh komunitas ini melalui organisasi sosial kemasyarakatan bentukannya: sebuah upaya pelestarian identitas dengan melakukan peleburan ke dalam identitas yang lebih besar yang dilakukan secara simbolis. Meskipun simbolis, tapi ini memberikan makna yang mendalam bagi mereka. Mengapa? Identitas kebalian mereka menjadi diakui sebagai bagian dari masyarakat dan kebudayaan Lampung. Ada proses keterbukaan di sini. Realitas ini menunjukkan bahwa untuk melestarikan identitas kebaliannya yang unik mereka tetap melakukannya dengan cara yang tertutup sekaligus terbuka. Cara yang dilakukannya pun sudah maju. Tidak melalui sebuah organisasi tradisional seperti bagaimana mereka mempertahankan dan melestarikan identitas kebalian di dalam komunitasnya, tapi melalui sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang lebih modern. Melalui organisasi ini, identitas kebalian mereka bisa diperjuangkan secara sosial politik dalam konteks yang lebih luas, tidak terbatas di level banjar dan desa adat, tapi di level kabupaten dan provinsi. Organisasi ini adalah daya tawar mereka di bidang sosial, politik, kebudayaan dan ekonomi di tingkat lokal, baik dalam interaksinya (hubungan kerjasama atau asosiasi) dengan instansi pemerintahan maupun instansi sosial-ekonomi lainnya.
Jawa Barat dan (senjata) Mandau di Kalimantan. Feminisme dalam lambang siger ini dapat diartikan sebagai “kelembutan” atau “keterbukaan” masyarakat Lampung terhadap berbagai kelompok etnis dan kepercayaan lain sebagai pendatang.
444
Gambar 65. Lambang Siger di Seragam Pecalang (Lambang “Siger” berada di atas lambang “Swastika” sebagai mahkota, “Pargali Lam-Sel” adalah organisasi yang mewadahi pecalang) (Sumber: Yulianto, 2010)
Untuk melihat proses asimilasi dan akulturasi identitas kebudayaan bahwa mereka telah menjadi Lampung dapat dilihat dalam bentuk yang sederhana, yaitu melalui perilaku sosial. Sekali lagi, penulis menggunakan contoh kasus bahasa. Dalam beberapa kesempatan, anak muda di Balinuraga mengucapkan kalimat sapaan yang kontras, baik dalam ucapan lisan maupun tulisan dalam pesan singkat melalui telepon seluler. Terkadang mereka menggunakan kalimat sapaan dengan: “Om Swastiastu”, dan terkadang dengan sapaan “Halo Bro!” dan “Halo Coi!”. Sapaan atau kalimat pembuka untuk memulai komunikasi atau sekadar menyapa menggunakan “Om Swastiastu” mencerminkan identitas kebalian mereka. Di sisi lain, “Halo Bro!” dan “Halo Coi!” mencerminkan keLampung-an mereka sebagai Bali Hindu. Kedua ucapan ini merupakan ucapan gaul yang biasa digunakan oleh anak muda di perkotaan (khususnya ibu kota propinsi, Bandar Lampung), dan ucapan ini pun sebenarnya “tiruan” dari bahasa gaul yang biasa digunakan di Jakarta (bahasa gaul yang digunakan oleh anak muda di Jakarta dijadikan sebagai trendsetter yang biasanya disosialisasikan melalui sinetron-sinetron). Logat atau dialek bahasa yang biasa digunakan umumnya sudah
445
bercampur dengan dialek Bahasa Indonesia yang umum digunakan masyarakat Lampung. Penggunaaan kata “Gua” dan “Lu” biasa digunakan untuk menunjukkan bahwa dirinya telah “gaul”. Dalam arti tidak menjadi kampungan, khususnya anak muda Balinuraga yang sudah dan pernah tinggal di perkotaan atau mempunyai pergaulan yang luas. Perilaku sosial lainnya yang dapat dilihat sebagai proses asimilasi dan akulturasi adalah bagaimana mereka berbusana dan bertindak berdasarkan busananya yang mengacu masyarakat urban. Busana gaul tanpa tindakan atau aksi yang gaul, tetap saja dianggap sebagai kampungan. Biasanya ini terjadi pada anak-anak muda. Mengenakan busana yang modis (setidak-tidaknya tidak culun, tidak kampungan) disertai dengan gaya rambut masyarakat perkotaan. Para gadis (dan kadang ibu rumah tangga muda) melakukan perawatan rambut. Rebonding rambut merupakan yang paling populer. Para pria (remaja dan dewasa) biasanya dengan mencat rambut dengan warna-warna tertentu, menggunakan jelly untuk mengeringkan rambut agar rambut bisa ditata sesuai keinginan dalam bentuk-bentuk tertentu yang sedang tren. Para pria dewasa kadang melengkapi dirinya dengan tato di bagian badan tertentu. Tato biasanya menjadi ciri khas laki-laki Bali di Lampung, termasuk di Balinuraga. Ada yang memang ditujukan untuk seni, tapi umumnya digunakan sebagai penunjuk status sosial tertentu yang bersifat negatif (supaya ditakuti). Kemodisan ini kemudian mereka tampilkan ketika sedang melakukan kegiatan upacara tertentu. Tetap berbusana adat resmi seperti pada umumnya, tapi modis. Parfum dan telepon seluler seperti menjadi kewajiban untuk selalu disertakan. Begitu pula dengan sepeda motor. Selain menggunakan sepeda motor terbaru, mereka memodifikasinya ke dalam bentuk yang lebih sporty. Sepeda motor yang baru, tetap dianggap sebagai kampungan jika tidak dimodifikasi. Modifikasi ini biasanya menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Terkadang biaya modifikasi bisa melebihi nilai atau harga beli dari motor tersebut. Efek turunan dari kebutuhan untuk modis dan gaul, sebagai pengaruh luar yang mereka adaptasikan adalah konsumerisme dan pragmatisme. Sikap dari para tokoh masyarakat melihat akulturasi dan asimilasi identitas kebudayaan ini adalah menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah dikarenakan perubahan zaman. Biasanya tokoh masyarakat yang bersikap seperti ini dikarenakan mereka sadar bahwa dirinya pernah
446
muda dan senang mengikuti tren di masanya, di mana pernah mendapatka tentangan dari orang tua mereka yang bersikap kolot. Sikap dari tokoh masyarakat lain menganggapnya sebagai sebuah ancaman yang dapat membahayakan identitas kebalian mereka yang sebenarnya akan dilanjutkan oleh generasi muda. Tokoh masyarakat ini merupakan tokoh masyarakat atau sepuh yang kolot (gak gaul). Akulturasi di bidang kesenian dan arsitektur dapat dilihat di Balinuraga melalui karya-karya pekerja seninya. Namun, jumlahnya relatif jarang. Untuk tari-tarian ada beberapa gerakan yang bersifat elementer dari tarian Lampung yang dimasukan dalam tarian Bali. Di bidang arsitektur, ada yang memodifikasi bangunan yang ada di bagian jaba dan jero Pura Kawitan dengan artitektur Tiongkok270 (dibuat seperti model kelenteng; biasanya bagian atap yang menjadi ciri khas akulturasi arsitektur Tiongkok) dan India, dan menempelkan keramik Tiongkok di tembok atas pintu rumah dan dinding rumah. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, dalam pembangunan pura mereka menggunakan bahan-bahan bangunan modern, seperti adukan semen-pasir sebagai bahan utama fondasi bangunan pura dan cat-cat berwarna khusus (warnanya terang dan tahan lama dalam ruang terbuka).
270
Integrasi arsitektur Tiongkok dalam arsitektur (kebudayaan) Bali sudah terjadi cukup lama, yaitu sejak masa kerajaan. Hal ini dapat dilihat kompleks bangunan suci yang ada di Bali. Untuk melihat lebih dan sebagai perbandingan bagaimana integrasi arsitektur (kebudayaan) Tiongkok dalam arsitektur Bali lihat: Sulistyawati, Made. (2008), “Kontribusi Arsitektur Tiongkok ke dalam Arsitektur Tradisional Bali”, dalam Integrasi Budaya Tionghoa ke dalam Budaya Bali (Sebuah Bungan Rampai), Editor: Made Sulistyawati, Denpasar-Bali: Universitas Udayana dan CV. Massa; Sulistyawati, Made. (2008), “Integrasi Arsitektur Tiongkok ke dalam Arsitektur Puri Agung Karangasem”, dalam Integrasi Budaya Tionghoa ke dalam Budaya Bali (Sebuah Bungan Rampai), Editor: Made Sulistyawati, Denpasar-Bali: Universitas Udayana dan CV. Massa.
447
Gambar 66. Bangunan Capura Bercorak India dan Bale Bercorak Tiongkok di bagian Jaba Pura Kawitan Warga (Sebelah kiri depan adalah gapura atau pintu masuk ke Pura Kawitan yang desainnya berorak India; sedangkan sebelah kanan depan sebuah bale yang dibuat seperti gazebo ala Tiongkok. Atap dan desain bale sangat kentara akulturasi arsitektur Tiongkoknya) (Sumber: Yulianto, 2008)
Gambar 67. Model Atap Tiongkok pada Bale di bagian Jero Pura Kawitan (Sumber: Yulianto, 2009)
448
Gambar 68. Bagian Jaba Pura ada Perpaduan India dan Tiongkok (bagian depan terdapat arca/patung dewa-dewi Hindu-India; bagian belakang ada bangunan bercorak Tiongkok dengan keberadaan arca/patung bercorak Bali). (Sumber: Yulianto, 2009)
Gambar 69. Atap Gedong Bercorak Tiongkok di bagian Jero Pura (Sumber: Yulianto, 2009)
449
Gambar 70. Keramik Tiongkok yang Disertakan bersama Simbol-Simbol Hindu (Di bagian tengah tepat di atas pintu ditempelkan sebuah keramik, seperti menyimbolkan tungku api / perapen; dengan diapit di sisi kanan dan kiri lambang swastika sebagai simbol keselamatan / keberuntungan / keseimbangan / pelindung dari pengaruh negatif. biasa disertakan di setiap pintu rumah) (Sumber: Yulianto, 2009)
Kesimpulan Berangkat dari fenomena Ajeg Bali, Schulte Nordholt (2007) melihat bagaimana upaya masyarakat Bali – yang diwakili oleh para elitelit Bali – untuk melindungi kebudayaan Bali tanpa menutup diri terhadap dunia luar. Upaya ini yang diistilahkan oleh Schulte Nordholt (2007) sebagai benteng terbuka atau open Fortress. Fenomena Ajeg Bali juga terjadi pada komunitas masyarakat Bali di Lampung, tetapi dalam konteks yang berbeda, seperti kasus di Balinuraga dan perkampungan Bali lainnya di Lampung. Tujuannya sama, yaitu melindungi kebudayaan Bali. Desa Balinuraga dalam usaha pelestarian identitas kebaliannya menjadi benteng tertutup, bukan menjadi benteng terbuka. Benteng tertutup ini (seperti atau dapat) menjadi pertahanan terakhir identitas kebalian dalam masyarakat dan kebudayaan Bali yang lebih luas. Selain itu lebih bersifat otonom dan mandiri berlandaskan atas kesadaran kolektif dengan tetap melihat fenomena yang terjadi di pusat (Bali). Fungsi utamanya adalah bagaimana melestarikan identitas kebalian atau kebudayaan Bali setelah berada di luar Bali. Sama seperti di Bali, upaya pelestarian identitas ini dilandasi oleh adanya
450
keterancaman dalam konteks yang berbeda. Kalau di Bali keterancaman atas identitas kebalian lebih mencolok setelah adanya aksi terorisme (Bom Bali I dan II) dan arus penanaman modal asing di sektor industri pariwisata, sedangkan di Lampung (kasus Balinuraga) keterancaman atas kebertahanan identitas kebalian lebih disebabkan faktor lingkungan sosial dan jarak antara satelit dan pusat (pusat sebagai acuan dan legitimasi identitas kebalian). Kasus Balinuraga menunjukkan bahwa melalui perkampungannya yang eksklusif benteng tertutup menjadi lebih tampak daripada Bali sebagai benteng terbuka seperti yang digambarkan oleh Schulte Nordholt. Derajat ketertutupannya sebagai benteng identitas atau kebudayaan Bali lebih menonjol pada kasus di Balinuraga. Setelah berada di Lampung, komunitas Balinuraga menjadi minoritas yang harus mempertahankan dan melestarikan eksistensi identitasnya. Mereka bisa membentengi identitas kebaliannya dalam keeksklusifan komunitasnya, di mana dalam benteng identitas tersebut menjadi sebuah teater atau arena pelestarian identitas. Kasus di Bali menunjukkan bahwa membentengi kebudayaan Bali secara tertutup tidak memungkinkan. Bali sudah menjadi terbuka dan plural, terutama dengan kehadiran industri pariwisata. Karena itu, dapat dikatakan bahwa keterbukaan dalam benteng identitas sebuah hal kontradiktif bila melihat kembali bahwa tujuan benteng identitas tersebut sebagai upacara pelestarian identitas. Derajat keterbukaan tergantung dengan lingkungan sekitar yang mempengaruhi benteng tersebut. Semakin kuat ketergantungan atas lingkungan eksternal, mau tidak mau, semakin besar pula derajat keterbukaan benteng tersebut. Misalnya perekonomian Bali yang sudah begitu tergantung dengan sektor industri pariwisata – menjadi tertutup berarti mematikan perekonomian itu sendiri.
451
452