BAB V TEMUAN DAN PEMBAHASAN
1.1. Pemetaan Stakeholder Stakeholder dapat diartikan secara harfiah adalah pihak yang bertaruh (stakes : taruhan dan holder : pemegang) , tetapi lebih umum diartikan sebagai pihak-pihak yang terkait, mempunyai perhatian dan kepentingan terhadap suatu program / kegiatan.
Bryson (1999) mengartikan stakeholder yaitu individu,
kelompok atau organisasi apapaun yang memiliki perhatian terhadap sumberdaya atau hasil (output) organisasi atau dipengaruhi oleh hasil itu. Kepedulian stakeholder sangat mempengaruhi proses perencanaan pembangunan ataupun sesuatu yang berhubungan dengan proyek tersebut. Menurut Bryson (1999), berdasarkan tingkat kepentingannya, stakeholder dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu : 1. Stakeholder Primer Pihak yang mempunyai kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program atau proyek. Stakeholder primer merupakan penentu utama dalam proses pengambilan keputusan. 2. Stakeholder Sekunder Pihak yang tidak mempunyai kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program atau proyek tetapi mereka memiliki kepedulian dan keprihatinan sehingga mereka turut mempengaruhi keputusan. 3. Stakeholder kunci Stakeholder kunci adalah stakeholder yang mempunyai wewenang secara legal dalam pengambilan keputusan.
Stakeholder Primer
Stakeholder
1. Petani Padi 2. Pembudidaya ikan 3. Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kab. Sleman 4. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi 5. Dinas Pertanian Provinsi
Stakeholder Sekunder
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Kecamatan Minggir Kecamatan Moyudan BP3K Minggir-Moyudan Forkom Van Der Wijck Forkom Sendang pitu Forkom Sedayu Forkom Rewulu I dan II UGM (Fasilitator) Bappeda Kabupaten Sleman Komisi Irigasi
Stakeholder Kunci
1. 2. 3. 4.
BBWSO Kantor Pengamat Pucang Anom Dinas PUP-ESDM Provinsi DIY P3A dan GP3A
Sumber : Diolah penulis
Gambar 11. Pengelompokan Stakeholder Menurut Bryson (1999)
Stakeholder primer yang paling terdampak adalah petani terutama petani padi yang dalam budidayanya sangat tergantung oleh adanya pasokan air selokan Van Der Wijck. Kebutuhan air sangat penting pada masa pengolahan tanah dan pemeliharaan tanaman. Pengolahan tanah membutuhkan banyak air untuk menggenangi sawah sehingga mudah untuk dibajak / ditraktor. Apabila air kurang mencukupi maka pengolahan tanahnya bisa kurang sempurna. Untuk masa
pemeliharaan cukup dengan air yang menggenang saja, asalkan tanamannya terendam air. sedangkan menjelang masa panen sawah banyak yang dikeringkan untuk mempermudah pemanenan. Pembudidaya ikan juga membutuhkan air untuk membesarkan ikannya, apabila pasokan air selokan Van Der Wijck dimatikan maka usaha mereka tidak dapat berlanjut. Pembudidaya ikan dibagian hulu banyak mengembangkan udang galah dan nila dimana membutuhkan air yang mengalir dan banyak. Karena letaknya dibagian atas, maka ketersediaan air cukup melimpah sehingga mereka tidak merasa kekurangan, bahkan untuk menambah debit air kolam maka mereka mengambil langsung dengan pipa pralon pada saluran irigasi sekunder. Perbuatan ini sering disebut sebagai “free raider” yang artinya orang yang mengambil air melebihi porsinya dan bukan pada tempat yang seharusnya. Selain dua pihak diatas, stakeholder primer yang lain adalah Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Sleman; Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi; dan Dinas Pertanian Provinsi dimana masing-masing dinas yang membawahi pertanian dan perikanan akan terlibat langsung dengan masyarakat yang sesuai bidang kerjanya. Sektor pertanian dan perikanan sebetulnya sama-sama penting dimana keduanya merupakan unsur dalam ketahanan pangan. Pertanian terutama budidaya padi merupakan pokok dalam rangkaian ketahanan pangan karena beras merupakan sumber karbohidrat utama masyarakat Indonesia. Kita tidak akan merasa puas kalau belum makan nasi, walaupun sudah makan roti beberapa potong. Sedangkan ikan sebagai lauk pangan hewani berguna untuk pertumbuhan otak dan badan dimana harganya
masih bisa dijangkau masyarakat menengah kebawah karena harganya murah dibanding daging sapi, kambing dan ayam. Pemerintah dari dinas-dinas tersebut menentukan arah perkembangan dari pertanian dan perikanan dengan programprogram kerjanya, sehingga mereka mempunyai peran yang sangat penting. Dinas yang terkait pertanian akan membina dan memajukan usaha pertanian dengan cara pemberian penyuluhan, bantuan peralatan dan bibit, bantuan teknis pemeliharaan sampai dengan pemasaran. Sedangkan dinas yang terkait dengan perikanan juga akan mengusahakan kemajuan bidang perikanan dengan cara penyuluhan, pelatihan, bantuan peraltan dan benih ikan, memperluas kolam-kolam perikanan, penyaluran hasil panen dan pengolahan pasca panen. Stakeholder sekunder yang berperan karena berada dilokasinya yaitu pihak Kecamatan Minggir dan Moyudan. Pihak kecamatan akan mengarahkan perkembangan perikanan dan pertanian, menyelesaikan masalah yang timbul, memfasilitasi dan mendukung kedua jenis usaha tersebut. Pihak kecamatan juga ikut dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan perikanan dan pertanian, atau setidaknya ikut memberi saran dan gagasan mengenai masalah yang timbul. Balai Penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Wilayah Minggir Moyudan juga punya peran dalam penyelesaian konflik yang timbul karena mereka secara tidak langsung juga bertanggung jawab akan nasib petani padi dan pembudidaya ikan. BP3K biasanya memfasilitasi dan melakukan pendampingan untuk penyelesaian suatu masalah. Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah no 20 tahun 2006 tentang irigasi maka dibentuklah Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) yang
keanggotaannya didasarkan pada daerah oncoran saluran tersier. Beberapa P3A dapat bergabung menjadi Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air (GP3A) dan untuk memudahkan komunikasi dalam satu lingkup jaringan sekunder telah dibentuk Forum Koordinasi Sendang Pitu, Forum Koordinasi Sedayu, dan Forum Koordinasi Rewulu. Ketiga Forum ini juga ikut aktif dalam menyelesaikan konflik air didaerahnya masing-masing. Forum ini juga ikut dalam komisi irigasi tingkat Provinsi karena salurannya lintas Kabupaten. Prof. Ir. Sigit Supadmo Arif, M.Eng., Ph.D. , seorang dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menginisiasi terbentuknya Forum Koordinasi Van Der Wijck untuk menyelesaikan konflik multi dimensional yang terjadi di Minggir, Moyudan dan Sedayu. Forum ini juga sebagai wadah mempersatukan ketiga forum irigasi sekunder Van Der Wijck yaitu Forum Koordinasi Sendang Pitu, Forum Koordinasi Sedayu, dan Forum Koordinasi Rewulu. Forum Koordinasi Van Der Wijck berperan aktif dalam memediasi dan memfasilitasi penyelesaian konflik air antara pembudidaya ikan dan petani padi. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dalam hal ini dosen Fakultas Teknologi Pertanian juga aktif dalam memfasilitasi dan memberikan solusi atas konflik yang terjadi. Kepedulian ini terwujud karena mereka yang membidangi irigasi dan penerapan teknologi pertanian.
Bappeda Kabupaten Sleman juga punya andil dalam pengaturan tata ruang di Kecamatan Minggir dan Moyudan. Penetapan kawasan Minggir dan Moyudan sebagai kawasan hijau untuk produksi pertanian secara umum, tetapi belum sampai detail mengenai jenis pertanian yang diusahakan. Perikanan
memang sangat berbeda dengan pertanian dalam hal kebutuhan air untuk budidayanya, oleh karena itu perlu pengaturan kawasan yang memungkinkan untuk keadilan penggunaan sumber daya air. Pembentukan komisi irigasi merupakan amanat dari Peraturan Pemerintah no 20 tahun 2006 tentang irigasi dimana tujuannya adalah untuk menjalin koordinasi dan komunikasi antara wakil pemerintah kabupaten/kota/provinsi, wakil perkumpulan petani pemakai air tingkat
daerah
irigasi,
kabupaten/kota/provinsi.
dan
wakil
Anggota
pengguna
Komisi
Irigasi
jaringan sesuai
irigasi SK
pada
Gubernur
No249/KEP/2010 adalah Ketua Bappeda DIY; Kepala Dinas PUP-ESDM DIY; Kepala Bidang SDA, Dinas PUP-ESDM DIY; Kepala Bidang Tanaman Pangan, Dinas Pertanian DIY; Kepala Balai PSDA, Dinas PUP-ESDM DIY; Kepala Bidang Sarana dan Prasarana, Bappeda DIY; Kepala Bidang Tata Ruang, Dinas PUP-ESDM DIY; Kasi Pembangungan Sarana dan Prasarana SDA, Dinas PUPESDM DIY; Kasi Operasi dan Pengelolaan Data, Balai PSDA, Dinas PUP-ESDM DIY; Kabid Tanaman Hortikultura, Dinas Pertanian DIY; Kasi Pengelolaan Lahan dan Air Tanaman Pangan pada Dinas Pertanian DIY; Kasi Perencanaan SDA, Dinas PUP-ESDM DIY; Kasub bidang SDA dan Lingkungan Hidup, Bappeda DIY; Unsur GP3A , Unsur Komisi Irigasi Kabupaten Bantul; Unsur Komisi Irigasi Kabupaten Gunungkidul; Unsur Komisi Irigasi Kabupaten Kulon Progo; Unsur Komisi Irigasi Kabupaten Sleman dan Unsur PG Madubaru/Madukismo. Dengan adanya komisi irigasi diharapkan pembagian air bisa merata, adil, tidak ada konflik dan masyarakat dapat sejahtera.
Kategori yang ketiga adalah stakeholder kunci yaitu Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO), Kantor Pengamat Pucang Anom, Dinas PUPESDM Provinsi daerah Istimewa Yogyakarta dan P3A – GP3A. Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO) merupakan Unit Pelaksana Teknis Kementrian Pekerjaan Umum yang berlokasi di Jl. Solo no merupakan penanggungjawab atas Selokan Van Der Wijck karena berdasarkan UU no 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air mengamanatkan untuk saluran irigasi yang mensuplai daerah irigasi lebih dari 3.000 ha merupakan kewenangan pusat. Jadi, pengaturan dan kebijakan mengenai selokan Van Der Wijck ada pada Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO). Dalam operasional sehari-hari BBWSSO mempunyai unit kerja yang berada dilokasi selokan yaitu Kantor Pengamat Pucang Anom yang dipimpin sorang kepala dan beberapa staf untuk mengatur pembagian air, penutupan dan pembukaan pintu air, pengecekan jaringan, monitoring dan evaluasi ketersediaan air, antisipasi banjir dan lain-lain. Stakeholder kunci yang lain adalah Dinas PUP-ESDM Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya Balai Pengelolaan Sumber Daya Air yang menangani operasional dan pemeliharaan selokan Van Der Wijck. Pihak Balai Pengelolaan Sumber Daya Air yang menangani operasional dan pemeliharaan mendapatkan mandat dari BBWSSO berupa Tugas Pembantuan untuk operasional dan pemeliharaan selokan Van Der Wijck. Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) yang keanggotaannya didasarkan pada daerah oncoran saluran tersier dan beberapa P3A dapat bergabung menjadi Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air (GP3A) merupakan stakeholder kunci karena mereka diberi wewenang dan
tanggung jawab irigasi tertier. Apabila terjadi konflik maka diharapkan dapat diselesaikan dengan musyawarah yang dilakukan pada tingkat P3A maupun GP3A. Stakeholder juga dapat dibedakan berdasarkan status formalitasnya menjadi dua kelompok yaitu kelompok pemerintah dan kelompok non pemerintah. Institusi formal adalah institusi atau organisasi yang dibuat oleh negara melalui aturan-aturan formal negara. Institusi non formal yaitu lembaga sosial kemasyarakatan yang hidup dan berkembang dimasyarakat sesuai dengan nilai atau kebiasaan dan kultur setempat. Bagan strukturnya seperti dibawah ini :
1. 2. 3. 4.
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
BBWSO Kantor Pengamat Pucang Anom Dinas PUP-ESDM Provinsi DIY Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kab. Sleman Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DIY Dinas Pertanian Provinsi DIY Kecamatan Minggir Kecamatan Moyudan BP3K Minggir-Moyudan Bappeda Kabupaten Sleman UGM (Fasilitator) Komisi Irigasi
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Petani Padi Pembudidaya ikan P3A dan GP3A Forkom Van Der Wijck Forkom Sendang pitu Forkom Sedayu
5.
Pemerintah
Stakeholder
Non Pemerintah
Sumber : Diolah penulis
Gambar 12. Pengelompokan stakeholder status formalitasnya
Untuk memperjelas kedudukan dan status para aktor, maka dapat digambarkan sebuah lingkaran yang terbagi tiga yaitu sektor pemerintah, sektor publik dan privat. Lingkaran dibuat beberapa lapisan dimana lapisan paling inti adalah stakeholder kunci, kemudian stakeholder primer dan yang terluar adalah stakeholder sekunder. Gambaran pengelompokan stakeholder dalam lingkaran dapat dilihat pada gamber dibawah ini :
Sumber : Diolah penulis
Gambar 13. Pengelompokan stakeholder bentuk lingkaran
Tabel 7. Stakeholder Mapping Berdasarkan Kepentingan dan Potensi Kekuatannya
No.
Stakeholder
Kepentingan Pengguna air mayoritas untuk budidaya padi, mendong dan palawija Pengguna air minoritas untuk budidaya gurami, udang, lele, nila
1
Petani padi
2
Pembudidaya ikan
3
Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kab. Sleman
4
Dinas Kelautan dan Membina dan memajukan usaha Perikanan Provinsi perikanan sesuai dengan DI Yogyakarta kewenangannya.
5
Dinas Pertanian Provinsi DI Yogyakarta
6
P3A dan GP3A
7
Forkom Van Der Wijck
8
Forkom Sendang pitu
9
Forkom Sedayu
10
BBWSSO
11
Kantor Pengamat Pucang Anom
12
Dinas PUP-ESDM Provinsi DIY
Membina dan memajukan usaha pertanian dan perikanan sesuai dengan kewenangannya.
Membina dan memajukan usaha pertanian sesuai dengan kewenangannya. Mengelola dan memanfaatkan air irigasi tertier agar sesuai dengan peruntukannya Memperjuangkan hak petani untuk mendapatkan air irigasi sesuai dengan porsinya. Memperjuangkan hak petani untuk mendapatkan air irigasi sesuai dengan porsinya. Memperjuangkan hak petani untuk mendapatkan air irigasi sesuai dengan porsinya. Mengatur pembagian air sesuai dengan keputusan gubernur dan komisi irigasi Mengatur pembagian air sesuai dengan keputusan gubernur dan komisi irigasi Memfasilitasi semua pemakai air
Potensi Kekuatan
Usaha Mendorong Resolusi Konflik
Tenaga, massa
Kuat
Tenaga, modal
Sedang
Kewenangan pertanian dan perikanan tingkat Kabupaten, Tenaga, modal Kewenangan perikanan Tk.Prov, Tenaga, modal Kewenangan pertanian tingkat Provinsi, Tenaga, modal
Sedang
Sedang
Sedang
Tenaga, massa
Kuat
Tenaga, massa
Kuat
Tenaga, massa
Kuat
Tenaga, massa
Kuat
Kewenangan, Tenaga, modal
Kuat
Kewenangan, Tenaga, modal
Kuat
Kewenangan, Tenaga, modal
Kuat Bersambung
Lanjutan Tabel 7 No.
Stakeholder
13
Fak. TP UGM
14
Komisi Irigasi
15
Kecamatan Minggir
16
Kecamatan Moyudan
17
BP3K MinggirMoyudan
18
Bappeda Kabupaten Sleman
Kepentingan Memperjuangkan hak petani untuk mendapatkan air irigasi sesuai dengan porsinya. Memperjuangkan hak petani untuk mendapatkan air irigasi sesuai dengan porsinya. Memajukan semua usaha yang ada diwilayahnya secara adil dan merata Memajukan semua usaha yang ada diwilayahnya secara adil dan merata Memajukan semua usaha yang ada diwilayahnya secara adil dan merata Memajukan semua usaha yang ada diwilayahnya secara adil dan merata
Potensi Kekuatan
Usaha Mendorong Resolusi Konflik
Tenaga, pengaruh
Kuat
Tenaga, pengaruh
Lemah
Tenaga, Modal, Kewenangan
Sedang
Tenaga, Modal, Kewenangan
Sedang
Tenaga, Modal, Kewenangan
Sedang
Tenaga, Modal, Kewenangan
Lemah
Sumber : Diolah penulis
Berdasarkan tabel diatas, Stakeholder yang dikategorikan kuat dalam usaha mendorong kearah resolusi konflik adalah petani padi, P3A dan GP3A, Forkom Van Der Wijck, Forkom Sendang pitu, Forkom Sedayu, BBWSSO, Kantor Pengamat Pucang Anom, Dinas PUP-ESDM Provinsi DIY, dan Dosen Fak. TP UGM. Stakeholder ini bisa dikatakan kuat karena mereka adalah pihak yang dirugikan oleh adanya konflik perebutan air. Pihak yang paling menderita adalah petani sehingga usahanya paling kuat untuk menyelesaikan konflik ini.
Stakeholder yang termasuk dalam kategori sedang adalah pembudidaya ikan; Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kab. Sleman; Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DI Yogyakarta; Dinas Pertanian Provinsi DI Yogyakarta; Kecamatan Minggir; Kecamatan Moyudan; BP3K Minggir-Moyudan. Pihakpihak ini tidak mengalami kerugian secara langsung ataupun penderitaan sehingga mereka tidak berusaha sekuat tenaga untuk segera mengakhiri. justru perikanan diuntungkan jika konflik ini terus berlarut-larut selama mereka masih bisa mengambil air selokan. Fisher dkk (2001) menyatakan bahwa untuk menggambarkan konflik secara lebih jelas maka perlu dibuat pemetaan stakeholder dengan cara membuat simbol-simbol tertentu seperti garis lurus, garis dengan tanda panah tunggal, garis dengan tanda panah ganda, garis putus-putus, kotak-kotak. simbol-smbol tersebut kemudian diberi arti dan definisi sesuai dengan kebutuhan. Diharapkan dengan pemetaan ini dapat mengetahui isu-isu pokok yang terjadi dan mengungkapkan akar permasalahan yang ada.
1. Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan kab. Sleman 2. BP3K Wilayah Minggir Moyudan Dinas Pertanian Prov DIY
Petani Padi 1. Forkom Van Der Wijck 2. Forkom Sendang Pitu 3. Forkom Sedayu
Warga Pengguna Air Selokan untuk air Minum
Pembudidaya Ikan
Gubug makan Mang Engking
1. Dinas PUP-ESDM Provinsi 2. Dinas ESDAM Sleman 1. Kecamatan Minggir dan Moyudan 2. BBWSSO 3. Pucang Anom 4. Komisi Irigasi
Dinas Kelautan dan Perikanan Prov DIY
Keterangan : Jalur Konflik Jalur Kerjasama
Jalur Pembinaan Jalur Fasilitasi
Sumber : Diolah penulis
Gambar 14. Peta Hubungan Antar Stakeholder
5.2 Tahapan Konflik Suatu konflik atau persoalan di masyarakat biasanya digambarkan berupa lingkaran konflik yang kejadiannya dapat berulang dengan penyebab yang sama ataupun berbeda. Untuk menghindari atau mencegah terulangnya konflik perlu adanya suatu manajemen konflik yang menjaga agar para pihak konsisten dalam
mentaati kesepakatan yang ada. Wirawan (2010) membagi proses konflik menjadi 7 tahapan secara berurutan yaitu penyebab konflik, fase laten, fase pemicu, fase eskalasi, fase krisis, fase resolusi konflik dan terakhir fase pasca konflik. Dalam kasus konflik penggunaan air selokan Van Der Wijck antara petani padi dan pembudidaya ikan dapat digambarkan sebagai berikut : 1. Penyebab Konflik Penyebab konflik adalah berbagai situasi dan kondisi yang menyebabkan sistem distribusinya kehilangan legitimasi dan intensitas tekanan dari kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Setiap konflik pasti ada unsur pemicu awalnya baik itu kecil maupun besar. Selokan Van Der Wijck merupakan saluran irigasi pertanian yang desain dan peruntukan awalnya sebagai pengairan tanaman padi dan tebu. Bapak TW dari Balai Pelestarian Sumber Daya Air Provinsi DI Yogyakarta menuturkan bahwa : “Pada prinsipnya pertanian secara luas (petani padi, perikanan, peternakan) dilayani semua tapi sistem awalnya untuk sistem tanaman pangan sehingga ikan itu mengganggu karena sistemnya belum buat perikanan. Petani ikan itu semestinya lewat saluran tersier tetapi kadang langsung dari sekunder”. (wawancara 12-092014)
Pada awal berdirinya kolam-kolam perikanan di Minggir sudah diadakan kesepakatan tentang penggunaan air selokan Van Der Wijck. Pihak kelompok perikanan berjanji untuk menggunakan air dengan bijak dan mengembalikan lagi air tersebut keselokan semula, sehingga diistilahkan oleh Bapak SPR sebagai “pinjam air”. “Gabungan P3A pernah dikumpulkan untuk membuat persetujuan membuat kolam raksasa, boleh membuat kolam raksasa tapi air itu
cuma sekedar mampir untuk hidup ikan, tapi air limbahnya kembali ke lagi saluran Van Der Wijck. Pemerintah setempat juga harus tidak seenaknya untuk mengijinkan pembuatan kolam.” (wawancara 23-09-2014)
Perhitungan awalnya, jumlah debit selokan Van Der Wijck akan cukup
apabila
perikanan
mengembalikan
air
keselokan.
Namun,
kenyataannya banyak kolam-kolam perikanan yang membuang air sisanya ke sawah dibawahnya dan saluran yang menuju ke sungai sehingga mengakibatkan debit air dibagian hilir berkurang. Hal ini diperparah oleh adanya sadap liar yang menggunakan pipa pralon langsung ke saluran sekunder. Menurut Bapak KHR dari Forum Koordinasi Sendang Pitu, kolam-kolam perikanan banyak yang mengambil airnya dengan pipa langsung dari saluran sekunder : “Seharusnya kolam-kolam perikanan mengebor sendiri atau mengambil langsung dari sungai dan tidak mengambil air selokan. Sering “nutup saluran, air buat petani dibuat kelompok ikan. Dari dulu kelompok ikan sering menjegal kelompok pertanian.” (wawancara 09-10-2014)
2. Fase Laten Fase laten merupakan tahap awal adanya konflik atau perselisihan sehingga tidak terlihat oleh pihak luar. Konflik laten bersifat tertutup sehingga para pihak tidak menyadari adanya potensi konflik. Konflik laten juga dapat terjadi saat kebutuhan masyarakat diabaikan, tetapi mereka belum menyadari atau belum meminta perhatian mengenai persoalan kebutuhan ini. Petani di daerah Minggir dan Moyudan masih menerapkan pola tanam berupa
padi-padi-padi. Sepanjang tahun menanam padi tanpa diselingi dengan polowijo karena airnya cukup melimpah dan tidak ada penghentian pasokan air pada musim kemarau. Petani di Minggir dan Moyudan yang mayoritas sudah berumur diatas 50 tahun masih menerapkan pertanian secara tradisional dan tidak mantap kalau air yang menggenangi tanamannya tidak banyak. Bapak MJR dari Balai Penyuluh Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Wilayah Minggir-Moyudan mengungkapkan bahwa : “Petani masih menerapkan pola padi-padi-pantun tanpa diselingi palawija. Fungsi pola tanam antara lain : memutus siklus hama, memperbaiki struktur tanah dan mengurangi dampak sistemik bahan kimia. Petani tidak marem kalau tanamannya tidak hijau dan terendam air yang dalam.” (wawancara 19-09-2014) Petani di Minggir dan Moyudan merasa debit air selokan Van Der Wijck menurun sehingga mengganggu budidaya padi terutama pada musim kemarau. Debit air yang semula cukup untuk mengairi sawah, tetapi petani harus mencari air dengan cara menelusuri air sampai daerah hulu irigasi. Fase ini biasanya tidak lama, apalagi kalau ada pemicunya yang cukup mengganggu para pihak.
3. Fase Pemicu Pemicu konflik penggunaan air selokan Van Der Wijck adalah perasaan iri melihat melimpahnya pasokan air kolam di Minggir sedangkan petani di Moyudan dan Sedayu kekurangan air. Petani yang berada di hulu daerah Minggir juga menggunakan air secara tidak efisien, petani tidak merasa puas kalau airnya tidak merendam tanaman padinya. Air selokan juga
digunakan warga Moyudan sebagai sumber air minum dan kebutuhan rumah tangga. Air selokan dialirkan ke kolam dekat sumur agar airnya dapat meresap kedalam sumur dan air tersebut digunakan untuk mandi, cuci dan minum. Khusus untuk minum warga harus mengendapkannya lagi semalam agar endapannya dapat terpisah dan lebih jernih. Sewaktu sumur habis airnya, warga yang rumahnya relatif dekat dengan sungai Progo terpaksa mencari air di tepi sungai Progo. Dibantaran sungai Progo warga membuat cekungan yang dibatasi dengan batu-batu kerikil agar airnya dapat tersaring sehingga air yang terkumpul lebih jernih. Bahkan warga yang jauh dari sungai progo terpaksa membeli air tangki untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari.
4. Fase Eskalasi/Peningkatan Situasi mulai memanas ketika mulai bermunculan usaha budidaya ikan di Minggir secara besar-besaran terutama budidaya udang galah yang banyak membutuhkan air. Pihak pembudidaya ikan merasa berhak untuk mengambil air karena perikanan juga termasuk dalam pertanian secara umum. Petani padi sudah mulai menyeruakan kekurangan air pada pertemuan GP3A, pertemuan di Kecamatan dan pertemuan yang rutin diadakan oleh Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak. Untuk permasalahan yang tingkatnya satu P3A atau saluran sekunder telah bisa di selesaikan secara musyawarah pada tingkat GP3A maupun tingkat Kecamatan. Forum Koordinasi Sendang Pitu sudah beberapa kali menyelesaikan permasalahan antar petani dan kolam ikan yang levelnya tingkat. Forum Koordinasi Sendang Pitu melaksanakan proses mediasi untuk
mempertemukan kepentingan antara petani padi dan pembudidaya ikan. Apabila ada petani yang mau pengolahan sawah atau sawahnya mulai kekeringan petani ikan harus mengalah alirannya dikurangi atau menutup air selokan sementara untuk mengaliri sawah. Pada intinya dilakukan pembagian air secara adil sehingga mencukupi semuanya. Berdasarkan kesepakatan bersama, anggelan dan sadap liar ditutup agar air dapat merata. Konflik yang melibatkan antar saluran sekunder tetap belum terpecahkan terutama protes dari petani padi di Moyudan dan Sedayu baik itu lewat surat ke Kabupaten dan Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak. Kabupaten Sleman melalui Dinas Sumber Daya Air Energi dan Mineral menanggapi keluhan tersebut dengan melimpahkannya ke Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak karena selokan Van Der Wijck yang mempunyai luas oncoran 4.724 Ha merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. Bapak AD Kasie Operasional dan Pemeliharaan Dinas Sumber Daya Air Energi dan Mineral Kabupaten Sleman menuturkan bahwa : “Peraturan itu berlaku sesuai dengan kewenangannya, sehingga kewenangan Van Der Wijck ada pada pemerintah pusat (BBWSO). talang buk renteng dari baja yang masuk purbakala tidak mampu menampung lagi bila kapasitasnya dinaikkan. Solusinya membuat saluran baru disampingnya karena tidak boleh dirubah buk rentengnya. Desain awalnya untuk keperluan pertanian karena irigasi permukaan, jadi kalau ditambah untuk perikanan perlu dikaji ulang.” (wawancara 15-09-2014)
Forum Koordinasi Van Der Wijck menyarankan untuk membuat surat yang ditujukan ke DPRD Provinsi dan Gubernur. Hal ini sudah
dilaksanakan oleh GP3A tetapi tidak ada tanggapan dan hasilnya tetap sama. Pak SPR mengatakan bahwa : “ Supaya membuat semacam aduan, permasalah saluran air. Sampun gawe, ora meng pisan pindho nganti kulo niki wegah. Pamong yo kudhu ngerti apa sing diusulke ndak eneng opo-opo. kok yo tekan seprene, njuk saben dino sing rapat ki ngo opo?” (wawancara 2309-2014) 5. Fase Krisis Fase krisis adalah fase dimana para pihak mencapai puncak konfliknya, bisa berupa konfrontasi fisik, peperangan ataupun tindakan kekerasan lainnya. Fase krisis dalam kasus perebutan air selokan di saluran Van der Wijck ini berupa : a. Demo ke DPRD dan Gubernur Petani padi di Moyudan, Sedayu dan sebagian Minggir bagian bawah pernah demo ke DPRD Provinsi dan Gubernur DI Yogyakarta untuk menyampaikan keluhan akan kurangnya air untuk pertanian mereka. Hal ini bertolak belakang dengan keadaan kolam-kolam perikanan di Sendang rejo, Minggir yang melimpah airnya. Petani padi merasa berhak atas air yang mengalir di selokan Van Der Wijck karena saluran itu awalnya memang untuk pertanian. Petani padi juga mengeluhkan banyaknya sadap liar yang dilakukan perikanan dan air yang digunakan untuk budidaya ikan tidak kembali kesaluran Van Der Wijck. Menindaklanjuti demo ini komisi C DPRD Provinsi mengadakan kunjungan lapangan ke selokan Van Der Wijck untuk melihat langsung keadaan yang sebenarnya. Komisi C ikut menelusuri jaringan irigasi dan
mengecek sadap liar yang dilakukan oleh ME untuk kolam-kolam perikanannya.Pada waktu yang sama DPRD Provinsi sedang menyusun raperda Irigasi sehingga dapat sekaligus menyerap aspirasi yang diinginkan petani, pembudidaya ikan dan pengguna irigasi yang lain. Anggota komisi C yang ikut kunjungan, Bapak SHW menuturkan : “Peran DPRD Provinsi lebih cenderung memediasi dan menampung apa yang mereka maui. Ada konflik kepentingan penggunaan air tapi airnya terbatas, awalnya untuk pertanian dan ditambah perikanan. Kuncinya adalah air yang terbatas dan pengaturan/koordinasi airnya. Pengguna air selain petani juga harus masuk P3A sehingga koordinasinya bisa satu atap. Ada pihak-pihak yang mengutamakan kepentingan pribadi. Bidang Sumber Daya Air (Dinas PUP-ESDM Provinsi DI Yogyakarta) kita dorong untuk melakukan sesuatu.” (wawancara 16-09-2014) b. Demo ke Gubug Makan ME Pada saat kekeringan panjang yang melanda Moyudan dan Sedayu, maka terjadilah demo besar-besaran yang mengerahkan banyak massa. Petani padi yang berjumlah 250 orang menggunakan 5 buah truk beserta peralatan tani, batu dan jerigen yang berisi bahan bakar menuju Gubug Makan ME. Menurut penuturan Bapak PRN : “Demonstrasi keruk waled, Saya mengeluarkan 4-5 truk yang berisi 250 dan mengambil batu dinaikkan truk dari gedongan keselatan untuk demo keatas, tetapi terus dienggokkan untuk kerok walet. Sini masih setia dengan kraton, nanti kalau jogja sampai rame, banyak barometernya. Janjane ya mung banyu tapi ya penting, sumber kehidupan.” (wawancara 23-09-2014) Untungnya aksi ini tidak berlanjut kearah tindakan anarkhis karena berhasil diredam oleh tokoh masyarakat, ketua forum koordinasi sedayu dan forum koordinasi Van Der Wijck dan pihak Pucang Anom.
Ini erat kaitannya dengan social capital (modal sosial) yang dipunyai warga Minggir, Moyudan dan Sedayu. Modal sosial adalah kapasitas masyarakat dalam bentuk nilai, institusi dan mekanisme untuk membangun kolektifitas rasa percaya (trust) dan pertukaran nilai antar warga. Modal sosial secara umum dapat diartikan sebagai sejumlah nilainilai informal seperti : kepercayaan (rasa percaya), serangkaian norma yang ditaati bersama, jaringan/relasi sosial. Modal sosial bisa berperan penting dalam memelihara integritas sosial dan mengatasi konflik dimasyarakat terutama trust dan norma. Akhirnya mereka hanya membersihkan selokan dan menutup sadap liar dan dijanjikan oleh pihak Pucang Anom untuk diadakan droping air. Droping air adalah usaha mengalirkan air kesuatu saluran / petak sawah tertentu dengan cara menutup saluran yang lian sehingga air tersebut dapat sampai ketujuan. Pak SHT dari PPK OP I BBWSSO menyatakan bahwa : “Droping air dengan dikasihkan full untuk daerah tujuan selama sesuai kesepakatan bersama, petani ikan juga harus legowo. Sedayu kekeringan 330 Ha kemudian dikomunikasikan petani ikan dengan forum dan dilakukan droping air selama 10-12 hari sehingga bisa tertolong tanamannya.” (wawancara 22-09-2014)
c. Demo ke DPRD Kabupaten dan Bupati Sleman Petani padi di Minggir dan Moyudan membawa poster dan spanduk yang isinya memprotes penggunaan air secara besar-besaran oleh kelompok perikanan di Minggir terutama ME. Kolam udang galah
yang arealnya luas memerlukan air yang mengalir sehingga banyak menyedot pasokan air selokan Van Der Wijck. Berdasarkan SNI 017244-2006 tahun 2006, untuk usaha pembesaran udang galah sampai ukuran tokolan membutuhkan kolam dengan luas 300-500 m2 dengan ketinggian air 50-80 cm dan debit air 0,3 – 0,5 liter/detik. Sedangkan untuk pembesaran udang galah memerlukan luas dan debit yang lebih tinggi yaitu luas kolam 300-1.000 m2 dengan ketinggian air 50-100 cm dan debit air 0,5 – 1 liter/detik. Debit air yang mengalir di saluran sekunder sendang pitu hampir 40% dari total volume selokan Van Der Wijck, dan itu sudah dicegat dan sadap oleh ME lebih dari 50%. Air sisa kolam perikanan mengalir kesawah dibawahnya dan saluran yang menuju kesungai. Bapak SPR ketua forum koordinasi sedayu mengungkapkan bahwa : “Hampir 85% bulak itu buat kolam (Kelurahan Sendang Rejo), airnya terbuang sak nggon-nggon, jatuh ke kali yang ke barat : kali ngijon dan kepu. Curamnya tinggi tidak mungkin dibendung lagi. Yang diambil ME hampir separoh lebih.” (wawancara 23-09-2014) 6. Fase Resolusi Konflik Fase resolusi konflik merupakan fase dimana para pihak bersepakat untuk tidak mempermasalahkan perkara lagi. Resolusi bisa didapatkan dari komunikasi antar mereka ataupun lewat perantara (mediator dan arbitrator). Pada kasus konflik air di selokan Van Der Wijck ini banyak pihak yang terlibat antara lain dosen-dosen Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak dan Pengamat Pucang Anom, Forum
Komunikasi Van Der Wijck, Pihak Kecamatan, dll. Proses resolusi konflik air di Minggir dan Moyudan ini termasuk sangat lama karena kompleksnya permasalahan yang ada dan kemauan untuk mengakhiri konflik yang kurang dari salah satu pihak. Proses mediasi telah dilakukan berkali-kali untuk menyelesaikan masalah yang kecil-kecil antar petani di level saluran sekunder. Selain itu juga telah dilakukan arbitrasi oleh forum koordinasi sendang pitu untuk penentuan pembagian air dan penjadwalan air secara bergiliran. Berbagai pihak telah membantu untuk menyelesaikan konflik ini sesuai dengan kewenangan dan kemampuannya masing-masing. Kecamatan Minggir dan Moyudan telah memfasilitasi dan memediasi pertemuan antara petani padi dan pembudidaya ikan untuk duduk bersama dan membahas permasalahan air ini. Pertemuan ini bisa diadakan di Kecamatan dengan menghadirkan kedua belah pihak yang berkonflik, dengan mengundang pihak yang berwenang seperti Balai PSDA, Kantor Pengamat Pucang Anom, BBWSSO, Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Sleman dan Balai penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kehutanan wilayah MoyudanMinggir. Hasil pertemuan ini berupa kesepakatan pembagian air dan penutupan sadap liar. Dosen –dosen Fakultas Teknologi Pertanian UGM seperti Prof. Ir. Sigit Supadmo Arif, M.Eng., Ph.D dan Murtiningrum, S.TP M.Eng yang telah mengadakan penelitian di Minggir dan Moyudan mengenai irigasi dan pola tanam padi hemat air, hemat benih dan hemat waktu (SRI : System of
Rice Intensification), merasa tergerak untuk ikut menyelesaikan konflik yang terjadi. Untuk mempermudah penyelesaian maka dibentuklah suatu Forum Koordinasi Selokan Van Der Wijck pada tanggal 23 April 2008 di Desa Sendang Agung Kecamatan Minggir. Forum Koordinasi Selokan Van Der Wijck membawahi 3 saluran sekunder dibawahnya yaitu Forum Koordinasi Sendang Pitu (daerah Minggir), Forum Koordinasi Sedayu (daerah Moyudan dan Sedayu), dan Forum Koordinasi Rewulu (daerah Rewulu dan Godean). Resolusi konflik yang telah dilakukan antara lain negosiasi antar pihak yang berkonflik untuk dapat saling toleransi dalam penggunaan air dan penutupan sadap liar. Selain itu juga melakukan mediasi antar kedua aktor yang berkonflik, termasuk juga mengakomodir keperluan air selokan Van Der Wijck sebagai sumber air bersih bagi warga Moyudan. Warga Moyudan yang menggunakan air selokan untuk mengisi sumur-sumur warga pada musim kemarau sangat bergantung keandalan debit selokan. Pertanian dan Perikanan harus mengalah memberikan airnya untuk mengisi kolam-kolam yang berada dekat sumur warga sehingga kebutuhan air minum, mandi dan cuci dapat terpenuhi. Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak dan Kantor Pengamat Pucang Anom yang mempunyai kewenangan atas selokan Van Der Wijck juga telah melakukan berbagai upaya dalam penyelesaian konflik. BBWSSO telah mengadakan mediasi dan pertemuan untuk mensinkronkan kebutuhan air karena air merupakan hak semua pengguna termasuk perikanan dan peternakan. Selain itu Kantor Pengamat Pucang Anom dan BBWSSO juga
telah melakukan resolusi konflik berupa arbitrasi yaitu dengan memutuskan adanya droping air ke daerah yang kekurangan air. Arbitrasi yaitu proses resolusi konflik yang melibatkan pihak ketiga dengan cara mendengarkan keluhan kedua pihak dan arbitrator berfungsi sebagai “hakim” yang mencari pemecahan masalah yang bersifat mengikat. Cara ini mungkin tidak menguntungkan kedua pihak secara sama, tetapi dianggap lebih baik daripada terjadi muncul perilaku saling agresi atau tindakan kekerasan. Selain itu Kantor Pengamat Pucang Anom dan BBWSSO juga berhak untuk mengatur pembagian air sesuai dengan rekomendasi Komisi Irigasi Provinsi yang disahkan oleh Gubernur berupa SK. Perkumpulan
Petani
Pemakai
Air
(P3A)
dan
Gabungan
Perkumpulan Petani Pemakai Air (GP3A) telah berupaya untuk meredam dan menyelesaikan konflik. Pada saat demo besar-besaran yang melibatkan 5 truk yang membawa batu dan jerigen berisi bahan bakar untuk menggeruduk ME telah berhasil diredam oleh tokoh-tokoh P3A sehingga aksi itu dibelokkan untuk keruk waled sepanjang selokan Van Der Wijck. Selain itu berkat adanya saling kenal dan seringnya berinteraksi antara P3A Moyudan dan P3A Sedayu, maka akhirnya timbul rasa toleransi untuk penggunaan air irigasi. Sewaktu P3A Sedayu yang berada pada bagian hilir sedang masa pengolahan tanah yang membutuhkan banyak air, maka petani di moyudan mengurangi volume air yang digunakan dengan cara menutup inlet dari saluran sekunder Van Der Wijck sehingga air dapat terus mengalir sampai bagian hilir. Bapak PRN menuturkan bahwa :
“Sudah ada kerja sama yang baik antara Sedayu dan Moyudan terutama Gamplong dalam hal penanganan air selokan. Ada teposeliro antara mereka, air dibiarkan mengalir sampai sedayu apabila sedayu sedang olah tanah.” (wawancara, 23-09-2014). 7. Fase Pasca Konflik Fase pasca konflik merupakan dimana para pihak yang berkonflik sudah tidak mempermasalahkan atau menerima keadaan yang ada, sudah tidak ada lagi konfrontasi dan kekerasan, ketegangan sudah berkurang dan hubungan mengarah ke arah lebih normal. Menurut beberapa narasumber yang sudah diwawancarai, rata-rata sudah menyatakan kalau konflik yang terjadi di Minggir dan Moyudan selesai, hal ini ditandai dengan tidak adanya gejolak dan demo yang terjadi dimasyarakat. Untuk selengkapnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 8. Tanggapan Stakeholder Terhadap Keadaan Saat Ini No.
Stakeholder
1
Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kab. Sleman
2
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DI Yogyakarta
3
Dinas Pertanian Provinsi DI Yogyakarta
4
P3A dan GP3A
5
Forkom Van Der Wijck
Tanggapan Terhadap Keadaan Saat Ini Sudah tidak ada protes lagi karena Mang engking sudah mengurangi kolam udang galahnya dan banyak masyarakat pembudidaya udang galah yang beralih ke ikan gurami, nila, dan lele Sudah tidak terdengar lagi keluhan konflik air, semenjak ada perda 10 tahun 2006 petani padi bisa menerima pembudidaya ikan Sudah tidak ada demo maupun komplain tentang penggunaan air Masyarakat petani sudah bosan untuk protes, sehingga diam saja dan menerima keadaan Masih ada keluhan kekurangan air di musim kemarau, terutama petani padi Bersambung
Lanjutan Tabel 8 No.
Stakeholder
6
Forkom Sendang pitu
7
Forkom Sedayu
8
BBWSSO
9
Kantor Pengamat Pucang Anom
10
Dinas PUP-ESDM Provinsi DIY
11
Balai PSDA
12
Dinas Sumber Daya Air Energi dan Mineral Kabupaten Sleman
13
UGM (Fasilitator)
14
Kecamatan Minggir
15
Kecamatan Moyudan
16
BP3K Minggir-Moyudan
17
Bappeda Kabupaten Sleman
18
Petani Padi
19
Pembudidaya Ikan
20
Gubug Makan ME
Sumber : Diolah penulis
Tanggapan Terhadap Keadaan Saat Ini Masih ada keluhan kekurangan air di musim kemarau, terutama petani padi Masih ada keluhan kekurangan air di musim kemarau, terutama petani padi Sudah tidak ada demo maupun komplain tentang penggunaan air Sudah tidak ada demo maupun komplain tentang penggunaan air Masih mengeluh kekurangan air pada musim kemarau karena petani menanam padi Kepuasan penggunaan air sudah ada peningkatan dan tidak ada keluhan lagi Setelah ada forum sudah mereda konfliknya krn ada kesepakatan pembagian air Sudah tidak ada demo maupun komplain tentang penggunaan air Sudah tidak ada demo maupun komplain tentang penggunaan air. Pembagian air sudah merata tetapi kurang marem saja bila tanaman padinya tidak terendam air yang tinggi. sekarang sudah tenang , sudah tidak ada letupan tetapi pada pertemuan kecamatan kadang dimunculkan lagi kekurangan air dimusim kemarau Sudah tidak ada demo tentang penggunaan air. Pembagian air sudah merata tetapi kurang marem saja bila tanaman padinya tidak terendam air yang tinggi. Sudah tidak ada letupan lagi Masih kekurangan air, tapi sudah pasrah dengan keadaan. masalah air sudah tidaj begitu parah karena sudah ada suplesi dari krasak Sudah tidak ada konflik lagi, sudah mereda Sudah tidak ada komplain lagi dari masyarakat karena ME sudah hemat air
Konflik yang terjadi di selokan Van Der Wijck dilihat dari aspek keruangan dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu : 1. Konflik Spasial Secara umum menurut tata ruang Kabupaten Sleman, kawasan Minggir dan Moyudan merupakan kawasan budidaya pertanian. Namun, pertanian disini diartikan sebagai pertanian secara umum termasuk perikanan, peternakan dan
perkebunan
sehingga
tidak
salah
jika
ada
masyarakat
yang
membudidayakan selain tanaman padi. Konflik yang terjadi di MinggirMoyudan jika dilihat dari sisi spasialnya maka dapat dikategorikan sebagai konflik pemanfaatan ruang beserta sumber airnya. Pemanfaatan ruang yang semula untuk tanaman padi kemudian berubah menjadi kolam-kolam perikanan. Kolam perikanan membutuhkan sumberdaya air yang banyak dan akhirnya menyerobot air yang semula hanya untuk pertanian. Untuk mendapatkan air, banyak masyarakat yang melakukan pelanggaran berupa penyadapan liar dan membuat anggelan/membendung saluran. Selain itu ada juga pelanggaran lainnya yaitu menanam tanaman disepanjang selokan dan menghilangkan oloran. Oloran adalah suatu saluran bantu untuk irigasi tertier yang dapat mengaliri petak-petak sawah dibawahnya. Konflik pemanfaatan air selokan Van Der Wijck harus diselesaikan secara spasial artinya harus dilihat sebagai saluran yang utuh dari hulu sampai hilir sehingga pemecahannya tidak bisa sepotong-sepotong. Penyelesaian konflik Daerah Aliran Sungai (DAS) seharusnya berdasarkan / mengingat bio-region (ciri-ciri ekologisnya) dengan
koordinasi antar kabupaten/kota. Prinsip bio-region adalah lingkungan tidak bisa dipisahkan berdasarkan daerah administrative atau sektoral. 2. Konflik Non Spasial Konflik di selokan Van Der Wijck lebih dominan berupa konflik non spasial yaitu mengenai konflik kepentingan untuk mendapatkan air untuk usaha budidayanya. Para pihak menuntut haknya untuk mendapatkan air karena sama-sama merasa berhak atas air yang mengalir di selokan Van Der Wijck. Konflik kepentingan ini akan dimenangkan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan ataupun kekuatan yang besar. Dalam hal ini perikanan mempunyai sumberdaya keuangan yang lebih dari pertanian sehingga mereka mendekati stakeholder yang menentukan kebijakan pembagian air. Selain itu, pihak perikanan berada dihulu selokan sehingga dapat dengan mudah menguasai air tersebut. Pemicu konflik di Van Der Wijck jika dikaitkan dengan teori penyebab konflik yang dikemukakan oelh Mitchell dkk (2000) yaitu perbedaan kepentingan / konflik kepentingan dan perbedaan latar belakang personal/sejarah. Konflik kepentingan agak susah diselesaikan dengan negosiasi dan mediasi karena menyangkut dengan sumber penghidupan / penghasilan dari usaha tersebut. Para pihak cenderung untuk mempertahankan haknya sehingga komunikasi menjadi terhalang. Hal inilah yang terjadi di Minggir dan Moyudan dimana petani menuntut haknya untuk mendapatkan air untuk
tanaman
padinya
sedangkan
perikanan
juga
merasa
berhak
memanfaatkan air untuk budidaya ikan. Usaha perikanan juga didukung
perangkat desa sehingga perkembangannya cukup pesat. Pada saat konflik, usaha perikanan sedang trend dan dinilai lebih menguntungkan dari pada padi sehingga banyak petani yang beralih kekolam ikan. Pada saat booming perikanan, kebutuhan air meningkat sehingga bagian hilir tidak kebagian. Sebetulnya apabila air tersebut dikembalikan lagi keselokan semula, maka bagian bawah tidak akan kekurangan. Adapun perhitungan kebutuhan tanaman dan perikanan dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 9. Kebutuhan Air Untuk Masing-Masing Jenis Usaha No.
Usaha Budidaya
1
Padi a. Pengolahan tanah b. Pertumbuhan/pemasakan c. Panen Tebu a. Pengolahan tanah b. Tebu muda c. Tebu tua Palawija yang perlu banyak air Palawija yang perlu sedikit air Pembesaran udang galah (benur sd tokolan) Pembesaran udang galah (tokolan sd dewasa)
2
3 4 5 6 7
Gurami
8
Lele
9 10
Nila Ikan Mas
Debit air Debit
Keterangan
1,250 0,725 0 Tidak butuh air 0,850 0,360 0,125 0,300 0,200 10,000 16,667 Tidak butuh air mengalir, 0 tetapi diganti 2-4 minggu sekali Tidak butuh air mengalir, 0 tetapi diganti 2-4 minggu sekali 8 ,000 8 ,000
Sumber : SNI Perikanan, BPPT dan Modul BBWSSO
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa kebutuhan pertanian lebih sedikit dibandingkan dengan perikanan. Namun, air dari pertanian juga tidak kembali lagi ke selokan tetapi hanya ke sawah yang ada dibawahnya sehingga perlu manajemen air juga untuk pertanian yang ada di bagian atas. Hal ini berkaitan erat dengan kebiasaan petani Minggir dan Moyudan yang belum mantap kalau tanamannya belum terendam banyak air dan keinginan petani untuk mengaliri sawahnya. Perilaku boros air ini juga sedikit banyak mengurangi debit air yang mengalir kebagian hilirnya. Kebutuhan air untuk perikanan yang paling tinggi adalah untuk budidaya udang galah yaitu 10-17 L/det/Ha. Udang memerlukan air yang mengalir karena udang hidup didasar kolam sehingga membutuhkan kadar oksigen terlatut dalam air yang tinggi. Kebutuhan oksigen dapat disiasati dengan penambahan kincir air yang digerakkan oleh listrik atau diesel. Pembudidaya udang galah enggan menggunakan kincir air karena harus mengeluarkan uang ekstra untuk listrik atau solar untuk menggerakkan kincir air. Mereka lebih memilih menggunakan air selokan yang tidak perlu bayar dan mudah didapatkannya. Kebutuhan yang paling rendah adalah untuk budidaya ikan lele dan gurami yaitu tidak memerlukan air yang mengalir sepanjang waktu, tetapi hanya butuh pada pengisian awal, penambahan bila ada susut dari penguapan dan perembesan, dan pergantian air setiap 2-4 minggu tergantung dari besar kecilnya ikan. Ikan lele yang berumur sampai dengan dua bulan cukup dikuras sebulan sekali, sedangkan lele umur 2-4 bulan harus diganti airnya tiap 2
minggu karena ikan semakin besar dan kotorannya makin banyak. Kolam lele yang tidak diganti airnya akan kurang sehat untuk pertumbuhannya. Salah satu solusi yang perlu dilakukan untuk tetap menjaga keadilan dan kemerataan pembagian air, maka perlu dilakukan penghitungan ulang kebutuhan air untuk pertanian dan perikanan. Data mengenai jumlah kolam dan luas lahan pertanian dapat diperoleh dari Kecamatan, Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Sleman, Balai Penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Wilayah Mnggir-Moyudan. Dengan mengetahui jumlah keperluan debit air yang diperlukan maka dapat dibagi air secara adil dan merata baik pada musim penghujan maupun musim kemarau. Pada musim penghujan debit air melimpah sehingga diperkirakan dapat mencukupi untuk pertanian dan perikanan. Pada musim kemarau debit air semakin mengecil sehingga anata pasokan air dengan kebutuhan air tidak sebanding. Hal ini perlu dilakukan penghitungan ulang dengan menggunakan faktor koreksi (faktor k). Selanjunya keperluan untuk masing-masing saluran sedunder dan petak dikalikan dengan faktor k sehingga jumlah yang diterima tidak sebanyak yang ditargetkan.
k
Jumlah yang tersedia di bendung = ------------------------------------------Jumlah yang diperlukan
Mitchell dkk, 2000 menyampaikan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tak terelakkan, yang dapat bersifat positif dan negatif : 1.
Aspek positif
Aspek positif muncul ketika terjadi konflik adalah membantu mengidentifikasi sebuah pergolakan lingkungan atau sumber daya yang tidak jelas. Mempertanyakan status quo, maka akan muncul ide kreatif. Pada kasus konflik perebutan air ini memunculkan ide kreatif untuk menggunakan lahan yang kekurangan air yaitu dengan tanaman melon dan semangka yang nilai jualnya tinggi. Selain itu penggunaan air sungai sudah banyak berkurang karena sudah dibangunkan instalasi SPAM swadaya yang dikelola masyarakat. Air SPAM kualitasnya jeleas lebih baik dari air selokan/sungai karena lebih jernih, tidak berasa dan tidak berbau, kandungan bakterinya sudah sesuai dengan persyaratan air minum dan harganya terjangkau. Biaya pemasangan sambungan awal Rp. 350.000,- dan tarif airnya Rp. 2.000,-/m3. Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah kabupaten terus berupaya memberikan bantuan untuk pembuatan sumur dalam berikut pompa dan tandon airnya untuk keperluan mandi, cuci dan kakus. 2.
Aspek negatif Konflik dapat bersifat negatif bila diabaikan dan memunculkan kesalahpahaman, ketidak percayaan dan bias. Konflik yang terjadi di selokan Van Der Wijck mempunyai beberapa efek negatif yaitu diakibatkan oleh konflik yang berlarut-larut maka distribusi air terganggu, menghambat proses produksi (masa tanam mundur) dan mengganggu hubungan sosial masyarakat.
Pada musim kemarau distribusi air terganggu karena pasokannya terbatas dan banyak diambil oleh petani maupun pembudidaya ikan bagain hulu sehingga petani di Moyudan dan Sedayu terpaksa menunda masa tanam sampai suplai airnya mencukupi untuk pengolahan tanah. Hal ini mengakibatkan masa tanam padi hanya dua kali dalam satu tahun. Selain itu hubungan antara petani padi dan pembudidaya ikan menjadi terganggu dan kurang nyaman. Mungkin mereka didepan terlihat santun tetapi dibelakang menggerutu. Untuk para pihak yang sampai menggunakan kekerasan akan mengakibatkan kerugian materiil maupun psikologis.
5.3 Proses Resolusi Konflik Saat ini, kondisi di Kecamatan Minggir dan Moyudan sudah tidak nampak adanya konflik yang terjadi. Hal ini dikarenakan sudah tercukupinya pasokan air untuk tanaman padi maupun kolam perikanan. Masalah pokok dalam konflik penggunaan air adalah ketersediaan air untuk masing-masing pihak karena air merupakan elemen penting dalam usaha pertanian dan perikanan. Ini dapat diartikan bahwa usaha untuk menyelesaikan konflik (resolusi konflik) sudah berjalan dengan baik. Proses ini tidak hanya didapatkan dalam satu atau dua kali pertemuan,
tetapi
sudah
puluhan
pertemuan
dan
perundingan
untuk
menyelesaikannya baik melalui mediasi, arbitrasi maupun konsultasi publik. Kesepakatan demi kesepakatan telah dibuat untuk meredakan konflik dan mencari solusi yang terbaik.
Resolusi konflik melalui jalur mediasi telah dilakukan oleh BBWSSO bekerja sama dengan pihak kecamatan dengan mengundang pihak yang terkait seperti BP3K wilayah Minggir dan Moyudan , Dinas Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Sleman sudah dilakukan lebih dari 8 kali, selain itu Dosen FTP UGM beserta Forum Koordinasi Van Der Wijck juga telah memediasi sebanyak 3 kali. Hasil mediasi yang telah dilakukan antara lain : 1. Pengambilan air dari irigasi tersier dan pengembalian air selokan Kolam-kolam perikanan tidak boleh mengambil air dari saluran sekunder, tetapi harus mengambil air dari saluran tersier sehingga tidak mengganggu distribusi air dibawahnya. Selain itu, air yang telah digunakan sebisa mungkin dikembalikan lagi keselokan dibawahnya. Kenyataannya pembudidaya ikan masih ada yang mencuri air dari saluran sekunder dan sisa air selokan belum dikembalikan lagi. Sebenarnya hal ini melanggar Peraturan Pemerintah no 20 tahun 2006 pasal 44 ayat 2 yang berbunyi “Penggunaan air irigasi dilakukan dari saluran tersier atau saluran kuarter pada tempat pengambilan yang telah ditetapkan oleh perkumpulan petani pemakai air”. Ketentuan pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Sumberdaya Air pasal 94 ayat 2 yaitu : “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan penggunaan air yang mengakibatkan kerugian terhadap orang atau pihak lain dan kerusakan fungsi sumber air dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Selama ini pihak yang berwenang yaitu BBWSSO, Kantor Pengamat Pucang Anom dan Balai PSDA belum melakukan
penegakan peraturan tetapi hanya melakukan pembinaan dan usaha preventif. Selain itu, ada kesepakatan lain yang belum dilaksanakan oleh ME dan pembudidaya ikan yaitu menggunakan sumur bor air dalam untuk sumber airnya sehingga tidak mengganggu air selokan. Sebenarnya inti dari konflik di selokan Van Der Wijck adalah penyerobotan air dari kolam-kolam perikanan sehingga apabila tidak diselesaikan maka akan muncul kembali konflik apabila debit air berkurang. Saat ini ketersediaan air masih cukup untuk pertanian walaupun harus mencari air sampai bagian hulu, tetapi apabila nantinya bertambah kolamnya maka ketersediaan air akan jauh berkurang dan terjadi konflik lagi.
2. Pompanisasi Bantuan pompa untuk petani telah diberikan baik dari Kementrian Pertanian, Dinas Pertanian Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta maupun Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Sleman. Petani yang kekurangan air bisa menggunakan pompa dan sumur pantek yang ada disawah untuk menambah air yang ada di petak sawahnya. Perikanan juga mendapatkan bantuan pompa dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta maupun Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Sleman. bantuan ini diberikan kepada kelompok perikanan yang telah terdaftar di Kabupaten dan aktif dalam usahanya. Pompanisasi sangat cocok untuk budidaya perikanan karena airnya lebih steril dan bersih. Penggunaan air selokan sebagai sumber air untuk kolam sesungguhnya sangat riskan karena banyak mengandung hama dan penyakit, polusi dan sampah.
Selain itu, kolam yang menggunakan air selokan riskan untuk diganggu oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Gubug Makan ME pernah mengalami kematian massal ikan-ikannya hampir 4 kwintal yang dugaan awalnya adalah adanya racun/potas disaluran airnya. Hal ini sulit ditelusuri atau dilacak karena airnya berasal dari hulu yang sulit dikontrol kualitas dan keamanannya. Solusi pompanisasi sebenarnya tidak menyelesaikan masalah yang ada tetapi hanya penyelesaian sementara dan bukan pada inti permasalahannya. Inti permasalahan dari konflik di selokan Van Der Wijck adalah penyerobotan air dari kolam-kolam perikanan sehingga apabila tidak diselesaikan maka akan muncul kembali konflik apabila debit air berkurang. 3. Sosialisasi Pola Tanam Petani di Minggir dan Moyudan pada awalnya masih tidak mengindahkan pola tanam berdasarkan ketersediaan air dan sistem pergiliran air. Petani menanam sepanjang tahun tanpa henti walaupun kemarau karena selokan Van Der Wijck tidak pernah dihentikan alirannnya walaupun musim kemarau, hanya pada saat keruk waled saja selama 3-4 hari. Selain itu tidak ada pergiliran penggunaan air sehingga air bebas digunakan setiap saat. Sosialisasi pola tanam yang baik terus digalakkan oleh instansi yang terkait antara lain Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Sleman melalui Petugas Penyuluh Lapangan maupun lewat BP3K wilayah Minggir-Moyudan. Pola tanam yang dianjurkan adalah padi-padi-palawija yang sangat berguna untuk memutus siklus hama, memperbaiki struktur tanah dan mengurangi dampak
sistemik bahan kimia. Pada musim kemarau petani diharapkan menanam polowijo atau padi yang umurnya pendek sehingga tidak terdampak kekeringan yang panjang. Pola tanam padi hemat air, hemat bebih dan hemat waktu juga terus disosialisasikan sehingga petani tidak menggunakan air yang berlebihan. Kemantapan petani yang mengharuskan tanamannya padi terendam air yang dalam terus dikikis. Seperti diungkapkan oleh Bapak MJR dari BP3K bahwa : “Fungsi pola tanam antara lain : memutus siklus hama, memperbaiki struktur tanah dan mengurangi dampak sistemik bahan kimia. Petani tidak marem kalau tanamannya tidak hijau dan terendam air yang dalam.” (wawancara 19-09-2014) Petani di Minggir dan Moyudan tidak mengenal pergiliran penggunaan air sehingga petani bebas menggunakan air. Hal ini sangat riskan terjadi kekurangan air apabila terjadi masa tanam yang serempak, debit air tidak akan mencukupi untuk pengolahan tanah. Saran dari penyuluh adalah tanam serempak pada satu hamparan saja, dengan selisih 15 hari. Hal ini akan memberi kesempatan untuk daerah yang lain untuk memanfaatkan air. Sosialisasi pola tanam belum dapat dikatakan efektif sebagai resolusi konflik karena persoalan pokok dalam konflik ini adalah penyerobotan air oleh perikanan yang mengakibatkan berkurangnya debit air dimusim kemarau. Sosialisasi pola tanam hanya mengurangi dampak dari kurangnya air dan solusi alternatif untuk pemanfaatan air.
4. PLTMH PLTMH merupakan singkatan dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro yang sumber airnya diambilkan dari selokan Van Der Wijck. Air yang ada di selokan dibendung dan sebagian dibelokkan menuju saluran tersendiri yang kemudian diterjunkan dan mengenai baling-baling generator sehingga dapat menggerakkan turbin. Air limpahan dari terjunan kemudian kembali lagi ke selokan Van Der Wijck lagi. Sepanjang selokan Van Der Wijck terdapat 4 buah pembangkit listrik yaitu : a. Pembangkit Bligo (intake Van Der Wijk) b. Pembangkit Talang Krasak c. Pembangkit di Desa Sendangrejo I (belakang Polsek Minggir) d. Pembangkit di Desa Sendangrejo II (utara BP3K Minggir-Moyudan) Diantara keempat PLTMH ini, hanya Pembangkit Bligo (intake Van Der Wijk) yang berfungsi, sedangkan yang lain hanya mankrak. Tujuan dari pembangunan dua buah PLTMH yang ada di Desa Sendangrejo adalah untuk membantu para petambak udang galah dalam usaha budidayanya. Diharapkan dengan adanya listrik yang dihasilkan PLTMH akan dapat menyuplai tenaga penggerak kincir air yang digunakan petambak udang. Pemeliharaan udang membutuhkan kadar oksigen terlarut dalam air yang tinggi, sehingga membutuhkan pergerakan air yang banyak. Untuk mensiasati agar tambak udang tidak banyak menggunakan air selokan maka dibutuhkan kincir air yang dapat menambah oksigen terlarut. Diharapkan apabila sudah menggunakan kincir, air kolam tidak perlu dialiri air sepanjang waktu, cukup sewaktu
mengisi dan mengganti air yang hilang saja. Bapak SPR dari Forum Koordinasi Sedayu mengungkapkan bahwa : “Pembangunan PLTMH atas inisiatif kelompok Moyudan. Diharapkan setelah beroperasi dan bisa menggerakkan kincir, kolam tersebut tidak dialiri air lagi, hanya sewaktu saja.”(wawancara, 23-09-2014) Namun sayangnya proyek PLTMH tidak berjalan mulus karena biaya operasionalnya besar. PLTMH ini bantuan dari dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang pengelolaannya diserahkan ke masyarakat. Sekarang kondisinya masih baik tetapi hanya semacam monumen saja karena tidak dipergunakan. Solusi pembangunan PLTMH tidak dapat menyelesaikan konflik sampai pada akarnya karena tidak menyentuh pada akar masalahnya. Akar masalah di selokan Van Der Wijck adalah penyerobotan air dari kolam-kolam perikanan sehingga selama masih ada sadap liar dan air belum kembali keselokan maka akan muncul kembali konflik apabila debit air berkurang. 5. SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum) Keluhan sebagian masyarakat Moyudan tentang kurangnya air bersih untuk keperluan rumah tangga telah direspon oleh Kenterian Pekerjaan Umum, Dirjen Cipta Karya, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten dengan dibangunnya beberapa sumur bor dalam berserta penampung air dan instalasinya. Sebelum dibangun SPAM ini, masyarakat tiap kemarau harus mengalirkan air selokan ke dalam kolam dekat sumur warga bahkan ada yang langsung dimasukkan ke sumur untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sebagaian masyarakat yang rumahnya dekat sungai membuat cekungan dibantaran sungai untuk menampung air sungai Progo. Cekungan yang dipinggirnya telah diberi batu-batu kecil akan menghasilkan air yang cukup bersih. Air ini digunakan warga untuk mencuci, mandi dan keperluan rumah tangga. Bahkan, masyarakat ada yang membeli air bersih yang didatangkan dengan truk dan dimasukkan kedalam sumur. Ini artinya penggunaan air selokan yang tidak adil akan menyengsarakan orang dibagian hilirnya. Dengan adanya proyek SPAM Swadaya ini sangat membantu perekonomian warga. Sebagai contoh
SPAM Perdesaan Desa Sumber Rahayu untuk
Dusun
Gamplong I – III sudah berjalan dan dapat melayani warga tiga dusun. Biaya penyambungan instalasi langganan baru ditarik sebesar Rp. 350.000,- dan biaya penggunaan air Rp. 2.000,- / m3 . Biaya ini dikelola oleh pihak desa yang dipergunakan untuk operasional dan pemeliharaan jaringan.
Sumber : Dokumentasi Pibadi, 2014
Gambar 15. Pompa Bor SPAM
Solusi SPAM tidak dapat menyelesaikan konflik pemanfaatan air selokan Van Der Wijck sampai pada akarnya tetapi hal ini merupakan alternatif yang sangat baik daripada menggunakan air selokan sebagai sumber air keperluan rumah tangga. Masyarakat mendapat banyak manfaat yang lebih daripada tetap menggunakan air selokan yang kotor dan kemungkinan tercemar bakteri/penyakit.masyarakat mengharapkan terus ada bantuan SPAM untuk daerah-daerah yang kesulitan air bersih.
6. Embung Selokan Van Der Wijck melewati dua buah bendung yang mensuplesi (memberi tambahan air untuk selokan Van Der Wijck) yaitu bendung Kali Putih dan bendung Ponggok, selain itu selokan Van Der Wijck justru memberi suplesi ke dua buah embung yaitu embung Madean dan embung Jering. Revitalisasi kedua embung ini dapat meningkatkan daerah oncoran selokan Van der Wijck sehingga lebih banyak petani yang tertolong. Luas daerah oncoran kedua embung ini sekitar 721,85 Ha di daerah Moyudan bagian timur. Bendung Kali Putih dan bendung Ponggok mampu memberi debit masingmasing sekitar 600 L/det sehingga sangat membantu disaat kekurangan air. Kewenangan embung dan bendung ini adalah Dinas ESDM Kabupaten Sleman. Revitalisasi embung sedikit banyak mengurangi konflik karena ketersediaan air daerah dibawahnya dapat terpenuhi karena yang ada dipikiran petani hanya ketersediaan air yang cukupuntuk budidaya mereka. Sebagian tidak peduli air itu diambil pembudidaya ikan asalkan kebutuhan mereka
tercukupi. Hal ini sesuai dengan teori NIMBY dari Baiquni dan Rijanta (2008) dimana ada sikap individualisme yang berprinsip selama tidak mengganggu dirinya maka tidak masalah. Jika kerusakan lingkungan tidak mengganggu kepentingan dirinya atau tidak ditempatnya berada maka bukan merupakan masalah, tetapi ketika mengganggu kepentingannya/lingkungannya maka baru akan bereaksi. 7. Pengurangan kolam udang galah Salah satu resolusi yang dinilai cukup signifikan adalah pengurangan jumlah kolam udang galah milik Gubug Makan ME hingga tinggal sekitar 2 Ha. Saat ini Gubug makan ME dikelola oleh suatu manajemen, sehingga segala keputusan tidak bisa langsung diambil oleh ME. Kolam-kolam yang dulunya disewa ME sudah dikembalikan ke warga yang kemudian oleh warga digunakan lagi untuk tanaman padi. Kolam yang kepunyaan ME sendiri sudah berubah menjadi kolam budidaya kangkung dan berbagai jenis ikan yang lain. hal ini sesuai dengan penuturan Bapak MRJ : “Petani tambak udang sudah berkurang, beralih ke padi dan ikan yang lain. Karena dulu hanya kelompok dadakan yang Cuma ingin dapat bantuan dari pemerintah, akhirnya bubar saja.” (Wawancara, 19-092014)
Kolam budidaya udang galah sudah tidak seintensif dulu sehingga hanya sebagai pelengkap saja. Saat ini ME lebih fokus mengurusi Gubug makannya dari pada pembesaran udang galah sehingga suplai udang galah untuk warung makannya didatangkan dari luar daerah dan kekurangannya diambilkan dari kolam. Alasan warga dan ME mengurangi kolam udang galah
karena pertumbuhan udang galah yang lambat, butuh 6 bulan untuk mendapatkan size yang diinginkan. Hal ini dikarenakan lahannya sudah kurang subur dan benih udangnya kurang berkualitas. Selain itu juga sejak Balai Benih Udang Galah Samas tempat benih udang berasal terkena wabah penyakit sehingga benihnya jelek dan pertumbuhannyakurang cepat.
Sumber : Dokumentasi pibadi, 2014
Gambar 16. Kolam Kangkung Gubug Makan ME
Kolam-kolam Gubug makan ME saat ini banyak digunakan untuk memelihara gurami dan nila yang tidak banyak memerlukan air. Selain itu ada usaha baru yang dilakukan Gubug makan ME yaitu budidaya kangkung lombok di bekas kolam udang galah. Kangkung lombok ini digunakan sendiri untuk keperluan warung makannya. Strategi lainnya untuk menghemat air
adalah penggunaan terpal khusus yang dipasangkan pada sisi-sisi kolam sehingga kepiting/ketam tidak bisa melubangi dinding kolam. Pada musim kemarau bisa tahan tanpa penambahan air selama 2 bulan. Bapak Ar dari pihak Manajemen Gubug Makan ME menegaskan bahwa : “Semua kolam itu kan dilapisi pinggir-pinggir sama karpet khusus, jadi meskipun gak ada air 2 bulan, air itu tidak bakalan habis. Immage warga itu, kita yang mengambili air, semua kesini padahal dialirkan lagi kesana, kesaluran irigasinya. Banyak kepiting tidak bisa membocorkan kolam karena ada karpet khusus. Air masih murni dari selokan belum bikin sumur. Keseluruhan kolam ada 2 Ha, ada yang sewa punya warga. Sekarang sudah tidak nambah lagi kolam sewanya, dan yang habis tidak diperpanjang. Bisnis utamanya sekarang warung, udang menjadi nomor dua. Misalkan kalu ada kekurangan baru nambah dari kolam, dipilh yang besar. Pemeliharaan udang jauh berkurang karena 6 bulan sekali yang masuk standart sini, kelamaan. Sekarang udang sebagai tambahan saja. Kolam sudah tidak diisi udang semua, ganti kangkung, sayuran. Kangkung lombok disatuin dengan kolam.” (wawancara , 10-102014) Namun, ada kekurangan yang belum dilakukan oleh Gubug makan ME yaitu masih mengambil air langsung dari saluran sekunder dengan cara membuat anggelan liar dan sadap liar dan membuang air sisa kolamnya ke selokan semula. Sebenarnya sebagian kolam Gubug makan ME sudah membuang air sisa kolamnya ke saluran sekunder jamur wetan yang kemudian mengalir keselatan. Yang kedua, dalam kesepakatan dengan petani padi, Gubug makan ME harus mengambil air dari sumur pompa sendiri. Kenyataannya, sampai saat ini belum menggunakan pompa sebagai sumber airnya. Solusi pengurangan kolam udang galah, ME tidak mendapat kompensasi karena ini merupakan kehendak mereka sendiri dan diakibatkan
oleh pemikiran yang berorientasi ekonomi dan perhitungan untung-rugi. Solusi yang lebih mengena adalah penggunaan terpal untuk dinding kolam karena dapat mengurangi kebocoran air dan penghematan air selokan. Hal ini sedikit banyak sudah menyentuh akar permasalahan sehingga patut untuk dijaga keberlanjutannya. Selain mediasi, jalur lain yang telah dilakukan stakeholder adalah arbitrasi dimana stakeholder yang mengambil keputusan. Stakeholder yang melakukan arbitrasi adalah BBWSSO melalui Kantor Pengamat Pucang Anom yang berupa : 1. Penutupan sadap liar dan anggelan Sadap liar adalah tindakan mengambil air dari tempat yang tidak seharusnya, bisa menggunakan pipa PVC maupun langsung melubangi saluran sekunder. Anggelan adalah suatu bangunan bisa berupa semen cor ataupun menggunakan kayu/bambu untuk membendung aliran air sehingga bisa masuk kedalam petak lahannya. Sadap liar dan anggelan merupakan perbuatan yang melanggar hukum yaitu melanggar Perda Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta no 6 tahun 2010 tentang Irigasi pasal 54 tentang larangan : Setiap orang dilarang untuk : (a) menyadap air dari saluran pembawa, selain di tempat yang ditentukan; (b). membuang bendabenda padat, cair, atau gas yang berakibat menghambat aliran, mengubah sifat fisika, kimiawi, dan mekanis air yang menyebabkan rusaknya kualitas air irigasi dan fungsi irigasi; (c) menggembalakan, menambatkan atau menahan hewan atau ternak di daerah sempadan; (d) memandikan hewan selain di tempat yang ditentukan; (e) mencuci kendaraan di jaringan irigasi; (f) mencabut rumput atau tanaman yang ditanam pada daerah sempadan saluran dan daerah sempadan bangunan;; (g) membudidayakan tanaman di tanggul saluran, saluran, bangunan, dan/atau bantaran yang dapat merusak jaringan irigasi; (h). menghalangi atau merintangi kelancaran jalannya air pada jaringan irigasi dengan cara dan
bentuk apapun antara lain : karamba, budidaya tanaman; (i) membuang air irigasi yang dimanfaatkan untuk pertanian, perikanan, peternakan dan perkebunan keluar dari jaringan irigasi; dan; (j) melakukan kegiatan yang dapat mengganggu fungís saluran, bangunan, dan drainase.
Sumber : Dokumentasi pibadi, 2014
Gambar 17. Sadap Liar dan Anggelan Setiap tahun Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak mendanai keruk waled yang diperbantukan ke Balai PSDA Dinas PUP ESDAM Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terutama Operasional dan Pemeliharaan. Kegiatan ini dilakukan bersamaan dengan penutupan selokan yang rutin dilakukan pada bulan Juli atau Agustus. Keruk waled dikerjakan oleh GP3A bersama petani yang mendapat upah dari Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak. Atas dasar keluhan dan demontrasi yang dilakukan para petani maka sadap liar akan ditutup dan anggelan (bendung liar) akan dihilangkan pada waktu keruk waled. Pipa sadap liar dan anggelan akan terlihat jelas saat pengeringan, sehingga GP3A dan petani dapat dengan mudah menutupnya. Selain itu, kekuatan GP3A dan petani lebih kuat karena ada dukungan dari Balai PSDA sebagai otoritas operasional dan pemeliharaan selokan Van Der
Wijck. Apabila tidak didampingi oleh petugas dikhawatirkan terjadi bentrokan antar pengguna selokan Van Der Wijck. Dengan ditutupnya sadap liar dan dihilangkannyaanggelan maka air yang mengalir sampai ujung selokan akan semakin besar dan bisa mencukupi untuk usaha pertanian.
.
.
Sumber : Dokumentasi pibadi, 2014
Gambar 18. Keruk Waled 2. Droping air Droping air adalah usaha mengalirkan air kesuatu saluran/petak sawah tertentu dengan cara menutup saluran yang lain sehingga air tersebut dapat sampai ketujuan. Salah satu cara mengatasi kekurangan air didaerah hilir yaitu dengan mengadakan droping air. Pak SHT dari PPK OP I BBWSSO menyatakan bahwa : “Droping air dengan dikasihkan full untuk daerah tujuan selama sesuai kesepakatan bersama. Sedayu kekeringan 330 Ha kemudian dikomunikasikan petani ikan dengan forum dan dilakukan droping
air selama 10-12 hari sehingga bisa tertolong tanamannya.” (wawancara, 22-09-2012) Hal ini selaras dengan amanat Perda Provinsi Daerah istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2010 tentang Irigasi pada pasal 10 bahwa hak guna pakai air diberikan dengan urutan prioritas kepada : a. pertanian tanaman pangan dan hortikultura; b. perikanan; c. peternakan; d. perkebunan. Pada saat petani kekeringan dan tanamannya hampir mati, mereka melakukan demo ke Kantor pengamatan Pucang Anom untuk mendapatkan air untuk tanamannya. Droping air merupakan tindakan yang bersifat sementara karena hanya meredakan konflik sesaat. Usaha ini dilakukan untuk menyelamatkan tanaman petani yang hampir mati karena kekurangan air. Sumber permasalahan harus tetap diatasi agar debit air yang mengalir sampai daerah ujung selokan tetap sesuai dengan kebutuhan. Bapak KLN dari forum Van Der Wijck menuturkan bahwa : “Argosari Sedayu hampir fuso, kita rundingkan bersama bekerjasama pengamat dan sebagainya, bisa diselamatkan. Dapat diselesaikan dengan droping air. Selesai ya cuma selesai saat itu saja, karena terus diadakan droping. kalau selesai selanjutnya ya belum karena belum ada solusi keluar.”(wawancara, 10-10-2012)
Secara ringkas untuk dapat melihat gambaran secara utuh mengenai Sebab – Akibat - Rresolusi Konflik yang telah dilakukan stakeholder dapat dilihat pada alur konflik dalam gambar dibawah ini :
SEBAB
AKIBAT : KONFLIK
Penyerobotan air oleh perikanan
Tanaman hampir mati akibat kurang air
Petani tidak hemat air dan pola tanam padipadi-padi
RESOLUSI KONFLIK Penutupan sadap liar dan anggelan
Droping air
Bantuan pompa
Sumur warga kering
Sosialisasi pola tanam Konflik petani padi vs Ikan
Berkurangnya debit di musim kemarau
PLTMH dan SPAM
Revitalisasi Embung
Sumber : Diolah Penulis, 2014
Gambar 19. Diagram Alir Sebab-Akibat-Resolusi Konflik
5.4
Perubahan Pemanfaatan Air Perubahan pemanfaatan air erat kaitannya dengan perubahan penggunaan
lahan dari pertanian ke non pertanian seperti perikanan, jasa laundri, pemukiman dan peternakan. Menurut Zulkaidy (1999), perubahan pemanfaatan lahan merupakan proses alamiah atas pertimbangan keuntungan ekonomis lahan tersebut. Keputusan pengalihan fungsi lahan seringkali tidak memikirkan efek samping
yang
akan
diterima
masyarakat
sekitarnya
apakah
merugikan/menguntungkan atau kesesuaian dengan rencana peruntukannya. Perubahan pemanfaatan lahan pertanian menjadi kolam-kolam perikanan di Minggir dan Moyudan merupakan keputusan yang berlandaskan perhitungan ekonomi dimana perikanan lebih menguntungkan. Berdasarkan perhitungan dari BP3K Wilayah Minggir Moyudan dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 10. Perhitungan Nilai Usaha Tani Per Satuan Usaha No. 1 2 3 4 5
Jenis Usaha Padi Mendong Gurami Lele Sengon
B/C Ratio (1 ha/tahun) 2,48 1,65 3,63 7,19 2,79
Keuntungan (Rp./ha/tahun) 39.630.000 25.503.000 380.000.000 340.000.000 40.148.250
Lama Pemeliharaan 3-4 bulan 3-4 bulan 5 bulan 3 bulan 10 tahun
Sumber : BP3K Wilayah I Moyudan Minggir
Perubahan penggunaan lahan dari sawah menjadi kolam perikanan banyak terjadi di Kecamatan Minggir terutama Desa Sendang Rejo dimana Gubuk Makan ME berada. Luas lahan budidaya ikan telah melampaui potensi lahan perikanan yang ada, dimana potensi lahan perikanan sebesar 398.000 m2 dan yang dimanfaatkan sudah mencapai 499,437 m2 sehingga ada penggunahan lahan non perikanan yang dimanfaatkan sebesar 101,437 m2. Konversi lahan sawah menjadi kolam perikanan membawa implikasi yang besar terhadap kebutuhan air dan ketersediaan air dibagian hilir. Menurut staf Kantor Pengamat Pucang Anom, saluran sekunder sendang pitu mendapat oncoran hampir 40% dari total in take Van Der Wijck dan digunakan untuk kolam-kolam ME dan warga sekitarnya yang membudidayakan ikan. Akibatnya debit air dibawah ME dan kolam-kolam
perikanan menjadi berkurang dan terjadi kekeringan disawah petani dibagian hilir selokan. Sejak awal pembangunan selokan Van Der Wijck sampai saat ini belum ada penambahan kapasitas debit airnya tetapi justru luas oncorannya semakin luas dimana diprasasti in take Van Der Wijck tertulis 3.197,90 ha dan saat ini harus mengoncori 4.724 ha. Jadi sangat wajar apabila terjadi kekurangan pada musim kemarau yang berakibat perebutan air. Perubahan guna lahan dari tanaman tebu ke padi dan sebagian lagi untuk kolam perikanan belum dihitung kembali mengenai perubahan kebutuhan air. Selama ini pembagian air oleh Kantor Pengamat Pucang Anom hanya berdasarkan luas oncoran tanaman padi, belum diperhitungkan kalau didaearah itu juga terdapat kolam perikanan yang membutuhkan banyak air. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 11. Perhitungan plancing Pertanian dan Perikanan Awal No
1 2
Kegiatan
Pertanian / padi Perikanan / ikan dan udang JUMLAH
Saat ini
Luas (ha)
Kebutuh an air (m3/det)
Luas (ha)
Kebutuh an air (m3/det)
4.688
4,69
4.724
4,72
-
-
151
1,43
4.688
4,69
4.875
6,15
Ketersedia an air
Keterangan
4,71
Kurang 1,44 (m3/det)
Sumber : Diolah, BBWSSO
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa masih terjadi kekurangan air sebanyak 1,44 m3/det untuk kebutuhan pertanian dan perikanan. Apabila
perikanan dihilangkan, pasokan air tetap juga kurang apabila petani menanam padi secara bersamaan. Solusi yang dapat dilakukan adalah penanaman perhamparan sawah sehingga kebutuhan air dapat bergiliran dan cukup. Menurut perhitungan apabila petani hemat air dan melaksanakan masa tanam sesuai yang dijadwalkan maka kebutuhan air akan mencukupi. Selain itu juga perlu dihitung kebutuhan air perikanan sehingga tidak terjadi penyadapan liar dan pencurian air. Secara spasial, konflik yang terjadi di selokan Van Der Wijck mencakup 3 kecamatan yaitu Kecamatan Minggir, Moyudan dan Sedayu. Daerah hulu selokan Van Der Wijck berada di Kecamatan Minggir dimana kolam-kolam perikanan berada. Didaerah ini konfliknya tidak terasa karena petani tidak merasakan kekurangan air dan pihak perikanan juga dapat dengan mudah mendapatkan air untuk usahanya. Jadi, dibagian atas konflik tersebut kurang terasa. Pada bagian tengah yaitu perbatasan Minggir dan Moyudan intensitas konflik makin besar karena ada sebagian daerah yang merupakan hilir selokan sekunder sendang pitu sehingga airnya terasa kurang untuk usaha budidayanya. Sedangkan pada daerah hilir yaitu kecamatan Moyudan dan sebagian Sedayu mempunyai intensitas konflik yang paling tinggi karena merupakan daerah yang paling menderita. Jadi dapat disimpulkan bahwa mereka yang paling menderita, itu yang paling besar usahanya untuk menyelesaikannya. Petani ikan tidak merasa terganggu sehingga santai saja. Konflik perebutan air di selokan Van Der Wicjk dapat disimpulkan bahwa semakin kebawah, konfliknya kamin besar sesuai dengan ilustrasi gambar dibawah ini :
Sumber : Balai PSDA, diolah penulis
Gambar 20. Pemetaan Besaran Konflik Secara Spasial
5.5
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Resolusi Konflik Untuk dapat berhasil menganalisa suatu konflik, penulis sudah mencari
informasi tentang : latar belakang dan sejarah suatu keadaan dan situasi saat ini, identifikasi kelompok dan pihak –pihak yang terlibat, memahami pandangan semua kelompok dan hubungan antar mereka, dan mengetahui faktor-faktor yang mendasari konflik. Menurut Fisher dkk. (2001), membagi konflik menjadi lima tahapan yaitu : prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat, dan pasca konflik. Fase pasca konflik ditandai dengan hubungan mengarah ke normal, para pihak sudah mengakhiri konfrontasi, kekerasan ataupun ketegangan Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi resolusi konflik antara lain : 1. Ketersediaan air sudah agak mencukupi untuk kebutuhan petani, walaupun petani harus ”nurut banyu” (mencari air) sampai hulu agar air dapat mengalir sampai petak sawahnya. Dimusim kemarau ini kelompok tani Dusun Sembuhan lor sudah menanam lebih awal tetapi harus mencari air pada malam hari yaitu dari jam 19.00 – 24.00 yang dilakukan secara bergilir dalam satu kelompok. Menurut data dari Balai PSDA, debit air pada tahun 2013 mencapai 4,709981 m3/detik dan merupakan debit tertinggi sejak tahun 2005. Dengan ketersediaan air yang ada, walaupun masih disadap secara liar masih cukup untuk mengaliri bagian hilir sehingga konfliknya turut mereda. Petani berprinsip sepanjang ada air untuk mengairi sawahnya maka persoalan selesai. 2. Tingginya rasa toleransi diantara para pihak sehingga musyawarah dan mufakat lebih diutamakan. Para pihak masih mengusung budaya jawa yang
santun, tidak suka keributan dan mengutamakan kebersamaan. Hal ini menunjukkan bahwa modal sosial yang dipunyai masyarakat masih tinggi. Modal sosial adalah kekayaan horisontal dalam masyarakat yang berwujud kearifan lokal, organisasi sosial, kerjasama, solidaritas sosial. Nilai modal sosial yang ada di Moyudan dan Minggir antara lain toleransi, solidaritas, gotong-royong, tolong-menolong. Dengan modal sosial ini maka resolusi konflik lebih mudah tercapai dan dapat menjaga kedamaian untuk jangka waktu yang lama. Jadi, modal sosial sangat efektif untuk melancarkan proses resolusi konflik yang ada. 3. Keaktifan pihak ketiga yang telah melakukan mediasi dan fasilitasi untuk menyelesaikan konflik air di selokan Van Der Wijck. Komunikasi bisa mengatasi perbedaan pendapat, dimusyawarahkan sehingga tercapai suatu kesepakatan. Konflik tidak akan selesai apabila tidak dikomunikasikan antara keduanya dengan perantara pihak ketiga. Kepiawaian mediator maupun arbitrator sangat efektif untuk mencapai resolusi yang diinginkan bersama, para pihak tidak merasa kalah atau dirugikan sehingga tercipta kesepakatan yang langgeng. 4. Berkurangnya pembudidaya udang galah yang kemudian beralih ke ikan gurami dan lele atau sebagian lagi mengkonversi kolam menjadi sawah pertanian. Dengan berkurangnya pembudidaya udang galah yang banyak membutuhkan air (16,7 liter/det/ha) maka debit air selokan Van Der Wijck makin banyak dan mencukupi daerah hilir. Gurami dan lele tidak banyak membutuhkan air untuk budidayanya karena lele dan gurami mempunyai alat
bantu pernafasan yang dapat mengambil oksigen langsung dari udara yang namanya arborecent. Air untuk budidaya kedua macam ikan ini tidak perlu mengalir, cukup ditambah apabila berkurang akibat perembesan dan penguapan serta diganti airnya setiap 2 minggu sekali untuk ukuran benih dan 4 minggu sekali untuk ikan yang besar. Petani berprinsip sepanjang ada air untuk mengairi sawahnya maka persoalan selesai. Tetapi apabila nanti tumbuh perikanan yang lebih besar maka persoalan air ini akan muncul kembali, sehingga solusi ini hanya bersifat sementara saja dan tidak menyentuh akar permasalahannya. 5. Kesadaran petani untuk merubah pola tanam yang hemat air sehingga kekurangan air di musim kemarau dapat diantisipasi. Saat ini sebagian petani di bagian hilir sudah menerapkan pola padi-padi-palawija, sehingga pada musim kemarau petani ada yang menanam jagung, cabai, melon, semangka, kacang tanah, kacang koro. Tanaman tersebut tidak membutuhkan banyak air sehingga apabila air selokan Van Der Wijck tidak sampai daerah hilir, maka petani dapat menggunakan sumur pantek dan pompa untuk menyirami tanamannya. Solusi ini hanya bersifat sementara saja dan tidak menyentuh akar permasalahannya karena petani harus mengeluarkan uang ekstra untuk mengairi tanamannya.
5.6
Jenis Konflik Konflik yang terjadi di selokan Van Der Wijck adalah konflik horisontal
dimana ada dua kelompok masyarakat yang terlibat yaitu kelompok petani padi
dan kelompok pembudidaya ikan. Konflik horisontal bisa diselesaikan dengan oleh para pihak sendiri ataupun dengan bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga bisa membantu dalam mediasi dan arbitrasi. Mediasi adalah cara penyelesaian konflik dengan menghadirkan pihak ketiga sebagai penengah. Mediator hanya memfasilitasi para pihak dan sebagai penghubung para pihak, tetapi para pihak yang
memformulasikan
sendiri
solusinya.
Mediator
dapat
membantu
mengumpulkan fakta, menjalin komunikasi yang terputus, menjernihkan dan memperjelas masalah serta melapangkan jalan untuk pemecahan masalah secara terpadu. Efektivitas penengahan tergantung juga pada bakat dan kemampuan komunikasi mediator. Dalam kasus konflik penggunaan air selokan Van Der Wijck ini yang bertindak sebagai mediator antara lain : pihak Kecamatan Minggir dan Moyudan, Dosen FTP UGM, Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Sleman, BBWSSO dan Balai PSDA, Kantor Pengamat Pucang Anom, Forum koordinasi Van Der Wijck dan Sendang Pitu. Cara yang kedua dengan metode arbitrasi : cara penyelesaian konflik yang menghadirkan pihak ketiga sebagai hakim yang keputusannya mengikat. Pihak ketiga mendengarkan argumentasi dari para pihak dan berusaha menemukan solusinya. Cara ini mungkin tidak menguntungkan kedua pihak secara sama, tetapi dianggap lebih baik daripada muncul perilaku saling agresi atau tindakan kekerasan. Dalam kasus konflik penggunaan air selokan Van Der Wijck ini yang bertindak sebagai arbitrator antara lain : Kantor pengamat pucang anom, Forum koordinasi sendang pitu dan BBWSSO.
Sumber : Dokumentasi Pibadi 2014
Gambar 21. Diagram Aktor yang menjadi Mediator dan Arbitrator
Gitosudarmo dan Sudita (2000) menyatakan bahwa berdasarkan pihak yang bertikai, konflik dapat dibedakan menjadi : (1) Konflik dalam diri seseorang, (2) Konflik antar individu, (3) Konflik antar anggota kelompok, (4) Konflik antar kelompok, (5) Konflik intra organisasi dan (6) konflik antar organisasi. Kasus konflik perebutan air di Minggir dan Moyudan ini sebenarnya melibatkan banyak pihak yaitu : 1. Konflik antar kelompok yaitu kelompok petani padi dan kelompok pembudidaya ikan. Konflik antar kelompok ini akan memanas seiring dengan bertambahnya anggota kelompok. Pihak yang dirugikan akan makin bersatu untuk melawan kelompok lain yang menindas karena sama-sama merasakan penderitaaan yang sama. Cara terbaik mengatasi konflik yang melibatkan
antar kelompok yaitu dengan cara mediasi maupun arbitrasi. Peran dari mediator, arbitrator serta tokoh masyarakat dalam kelompok yang bertikai akan mempengaruhi keberhasilan dari resolusi konflik. 2. Konflik antara kelompok dan individu yaitu kelompok petani padi dengan Gubug Makan ME. Petani padi mengeklaim kalau debit air yang berkurang ini dikarenakan disedot oleh Gubug makan ME karena jumlah kolam dan luasnya sangat besar. Pihak Gubug Makan ME juga beranggapan kalau kolamnya hanya menggunakan sedikit air karena telah menggunakan kolam yang dilapisi terpal di dinding kolamnya dan menyalurkan air sisa kolam keselokan dibawahnya. Dalam hal ini telah terjadi perbedaan informasi yang menyebabkan perselisihan. Setelah dilakukan mediasi oleh DPRD Provinsi yang langsung meninjau lokasi bersama-sama dengan pihak yang bertikai maka konflik bisa diredam. 3. Konflik antara warga yang membutuhkan air selokan untuk kebutuhan rumah tangga dengan kelompok pertanian dan perikanan yang banyak menggunakan air. Pada musim kemarau, sumur warga banyak yang kering sehingga perlu tambahan air dari selokan Van Der Wijck untuk mengisi sumur atau kolam dipekarangannya. Warga harus mencari air (“nurut banyu”) sampai ke hulu agar dapat mengalirkan air ke pekarangannya. Sampai suatu ketika dimana warga yang sekaligus petani padi kebingungan untuk mengalokasikan air, apakah untuk mengaliri sumur yang sudah kering atau untuk mengaliri sawahnya yang kekeringan. Permasalahan ini akhirnya diselesaikan oleh Pemerintah dengan adanya bantuan sumur bor dalam beserta instalasinya.
Warga sangat tertolong dengan adanya SPAM yang bisa menjangkau sampai rumah dan harganya yang terjangkau.
5.7
Isu-Isu Konflik Isu-isu konflik yang berhasil penulis kumpulkan dari para narasumber
konflik di selokan Van Der Wijck antara lain : 1. Kekurangan air pada musim kemarau Persoalan inti dari konflik perebutan air selokan Van Der Wijck adalah adanya kekurangan debit air untuk mengaliri usaha budidaya para pihak. Apabila debit air mencukupi seperti pada musim hujan maka tidak akan terjadi konflik perebutan air ini. Hal ini sesuai dengan pendapat Mochran (2003) bahwa konflik cenderung muncul dalam situasi sumberdaya yang langka sehingga terjadi kompetisi antar pihak untuk memperoleh air tersebut. 2. Sampah Persoalan sampah juga masih menjadi ganjalan tersendiri karena masih banyak sampah di selokan irigasi Van Der Wijck ini seperti sampah plastik, sampah rumah tangga, daun ranting tanaman, batang pisang, tusuk sate dan endapan lumpur. Sosialisasi mengenai sampah ini sudah dilakukan pihak Kecamatan dan BP3K secara intensif ketika ada pertemuan dengan warga, petani, dan pembudidaya ikan. 3. Perikanan menggunakan banyak air Para petani menganggap kalau perikanan menggunakan air secara berlebihan dan tidak efisien. Jumlah kolam yang banyak dengan keluasan yang besar
serta dalamnya kolam akan menyedot banyak air selokan, apalagi air sisanya hanya dibuang disaluran yang menuju sungai dan tidak bisa dimanfaatkan lagi. budidaya udang galah membutuhkan air yang mengalir untuk mensuplai kebutuhan oksigen udang galah. Untuk menghemat air bisa menggunakan kincir air ataupun dengan padat tebar yang rendah. 4. Penyadapan liar Fenomena sadap liar baik melalui saluran sekunder maupun primer ini dilakukan oleh pertanian maupun perikanan. Para free raider hanya ingin menempuh jalan pintas dan mudah, tanpa bersusah payah melalui jalur yang benar. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh hilangnya saluran bantu (oloran) yang ada disepanjang saluran sekunder sehingga petani / pembudidaya ikan yang dekat dengan saluran sekunder melubangi dinding selokan Van Der Wijck. Solusi kedepannya yaitu dihidupkannya lagi oloran sepanjang saluran sekunder sehingga petani/pembudidaya ikan dapat mengambil air dari oloran tersebut. 5. Kerusakan jaringan Kerusakan jaringan irigasi sering terjadi karena umur selokan yang sudah tua sehingga ada saluran sekunder yang bocor ataupun ambrol. Hal ini bisa diatasi oleh Balai PSDA Provinsi jika kerusakannya kecil, tetapi bila kerusakannya parah dan membutuhkan banyak biaya maka akan dikerjakan oleh Bidang Pengairan PUP ESDAM Provinsi DI Yogyakarta. Kerusakan ini kalau tidak dibenahi akan mengurangi debit air yang mengalir hingga hilir.
6. Kecemburuan akan air yang melimpah di atas kolam Daerah hilir pada musim kemarau kekurangan air sehingga tanamannya kurang berkembang baik, akan tetapi dibagian hulu yang banyak terdapat kolam-kolam perikanan justru melimpah airnya. Setiap waraga yang melintas didaerah perikanan pasti timbul perasaan kecemburuan kenapa air tidak sampai hilir. 7. Perasaan iri terhadap ME orang luar dan berhasil Awal mulanya ME hanya pembudidaya ikan biasa, kemudian bersama adiknya mengembangkan udang galah atas bimbingan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DI Yogyakarta yang mempunyai Balai Benih Udang Galah di Samas. Seiring perjalanan waktu, usaha budidaya udang galah ME berkembang pesat dan mendirikan Gubug makan khusus ikan. Untuk memenuhi kebutuhan ikan dan udang galah, ME menyewa tanah kas desa dan tanah warga yang lain sehingga jumlah kolam melonjak tajam. Selain itu ME juga mengembangkan kemitraan dengan warga setempat dengan cara ME menyediakan benih, pakan dan sarana prasarana yang lain dengan syarat udang galah hasil penenan dijual ke ME. Keberhasilan ini sedikit banyak membuat iri warga dibagian hilir karena jatah air mereka diserobot ME untuk kepentingannya sendiri.
5.8
Pembelajaran (lesson learned) Konflik yang terjadi di selokan Van Der Wijck sebenarnya hampir sama
dengan konflik yang terjadi pada perebutan sumber daya air di tempat yang lain.
Konflik perebutan air selokan Van Der Wijck terjadinya karena kekurangan air dan pembagian air yang tidak adil. Konflik perebutan air di selokan Van Der Wijck mempunyai keunikan tersendiri dan tidak terjadi di tempat lain yang dapat menjadi pembelajaran bagi tempat yang lainnya, yaitu : 1. Pola tanam sebagian besar petani di Minggir dan Moyudan masih Padi-padipadi sehingga pada musim kemarau tetap menanam padi. Hal ini bisa dilakukan karena selokan Mataram dan Van Der Wijck tidak dimatikan selama musim kemarau. Di daerah Jawa Tengah untuk memaksa petani menanam polowijo dengan cara menutup saluran irigasi pada musim kemarau. Hal inilah yang memicu konflik perebutan air dimusim kemarau antara petani padi dan pembudidaya ikan karena airnya terbatas. Untuk itu perlu adanya pengaturan pola tanam pada pertanian sawah dan budidaya ikan yang hemat air pada musim kemarau. Pada musim kemarau pembudidaya ikan dapat memelihara lele atau gurami yang tidak banyak membutuhkan air mengalir, sedangkan nanti bila sudah mulai musim penghujan bisa memelihara ikan yang memerlukan banyak air seperti nila, ikan mas dan udang galah. Intinya harus ada kebersamaan untuk menjaga keadilan dalam penggunaan air selokan. 2. Kemajuan dan perkembangan perikanan perlu diantisipasi dan direncanakan. Menurut data Perikanan tahun
2013, Kelurahan Sendang Rejo yang
merupakan sentra perikanan di Kecamatan Minggir dan dimana ME berada mempunyai luas lahan budidaya ikan yang telah melampaui potensi lahan perikanan yang ada, dimana potensi lahan perikanan sebesar 398.000 m2 dan yang dimanfaatkan sudah mencapai 499,437 m2 sehingga ada penggunahan
lahan non perikanan yang dimanfaatkan sebesar 101,437 m2. Berkaca dari kasus ME di Minggir, maka perlu perencanaan maupun pengeplotan tata ruang yang lebih detail untuk pertanian karena pertanian dalam arti luas (pertanian, perikanan, peternakan) membutuhkan air yang tidak sama. Sebisa mungkin lokasi perikanan tidak mengganggu suplai air untuk pertanian atau kalau memungkinkan menguntungkan kedua belah pihak. Kolam perikanan berada dibawah sawah yang hanya memanfaatkan sisa air dari pertanian atau apabila memungkinkan menggunakan sumur pantek yang lebih higienis airnya. 3. Penegakan peraturan hukum baik itu Undang-undang maupun Perda belum bisa ditegakkan karena kurangnya sumber daya manusia. Pelanggaran yang sangat mengganggu distribusi air adalah adanya sadap liar dan anggelan liar karena menyedot banyak air yang bukan haknya. Peraturannya sudah ada yaitu Undang-Undang
No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan Perda
Daerah Istimewa Yogyakarta no 6 Tahun 2010 tentang Irigasi. 4. Modal sosial yang dipunyai masyarakat masih tinggi. Modal sosial berupa kepercayaan (rasa percaya), serangkaian norma yang ditaati bersama dan jaringan/relasi sosial masih dipegang teguh masyarakat setempat. Masyarakat masih percaya dengan pemimpinya / tokoh masyarakat sehingga sewaktu demo keruk waled tidak terjadi aksi anarkhisme karena dicegah oleh tokoh masyarakat dan pamong desa. Mereka juga masih memegang teguh norma kebersamaan, asas kerukunan dan sangat menghormati Sri Sultan HB X sebagai raja Yogyakarta sehingga meredam untuk melanjutkan konflik sampai tingkat yang menggunakan kekerasan.
5. Mayoritas petani di Minggir dan Moyudan sudah tua-tua (diatas 50 tahun) sehingga pola pikirnya masih konvensional. Petani tidak mantep kalau tanamannya tidak terendam air, menggunakan pupuk dosis tinggi, dan tetap bertani walaupun merugi karena sudah menjadi “passionnya”.