BAB V
SIMPULAN
Dari paparan pada bab-bab sebelumnya, dapat kita lihat bahwa Thio Tiong Gie memiliki suatu dinamika cerita kehidupan dalam menjalani kehidupannya sebagai dalang wayang potehi di Semarang maupun dalam melakukan kerja di luar mendalang. Kemampuannya mendalang diawali dari hal-hal yang terasa bukan sebuah kesengajaan yang kemudian dalam sejarah hidupnya telah membawanya menjadi seorang dalang kondang di kemudian hari. M enemukan buku cerita dengan berbahasa Cina di antara tumpukan koran dan bertemu dengan seorang
promotor
pementasan
wayang
potehi
adalah
awal
dari
kerja
mendalangnya. Satu pengalaman mendalang kemudian membawa Thio Tiong Gie pada pengalaman yang lain. Kerja di luar mendalang yang ia lakukan adalah kerja sebagai pemimpin upacara keagamaan baik upac ara keagamaan secara Kong Hu Cu maupun Budha. Kerja mendalang wayang potehi memiliki keterkaitan dengan kerja di luar mendalang, sebagai contoh adalah semenjak ia menjadi dalang wayang potehi maka ia pernah dipilih menjadi seksi keagamaan di Klenteng Tay Kak Sie. Kerja yang dilakukan oleh Thio Tiong Gie merupakan sesuatu yang dinamis,
bukan
sesuatu
yang
ditetapkan
sejak
awal,
namun
memiliki
perjalanannya sendiri.
Dalam perjalanannya melakukan kerja sebagai dalang wayang potehi, Thio Tiong Gie menggunakan m odal-modal yang ia miliki. Beberapa modal yang ia pakai dalam bekerja antara lain adalah modal sosial dan ekonomi, serta modal
127
kultural dan simbolis. M odal sosial yang dimiliki oleh Thio Tiong Gie atas keberadaannya sebagai dalang wayang potehi bukanlah se suatu yang ajeg dan statis melainkan mengalami penambahan dan pengurangan. Secara sosial, atas keberadaannya sebagai dalang wayang potehi, Thio Tiong Gie kemudian memiliki modal sosial dalam kaitan relasinya dengan beberapa pihak. Relasi tersebut antara lain relasi dengan pihak klenteng, relasi dengan media, relasi dengan pemusik beserta wakil dalang, dan relasi dengan kaum akademisi yang menjadikan Thio Tiong G ie sebagai nara sumber. M odal kultural yang digunakan oleh Thio Tiong Gie untuk melakukan kerja m endalang maupun di luar mendalang adalah pengetahuan dia akan cerita wayang potehi maupun pengetahuan keagamaan yang terkait dengan K ong Hu Cu maupun Budha. Adapun modal ekonomi berupa segala perangkat wayang dan panggung yang dimilikinya telah ia gunakan untuk bekerja pula. M odal yang dimiliki oleh Thio Tiong G ie juga sesuatu yang dinamis sesuai dengan dinamika kerja itu sendiri.
Kasus Thio Tiong G ie memberi contoh bagaimana dalam dunia kesenian modal kultural, sosial dan simbolis menjadi hal yang penting untuk digunakan dalam melakukan praktik kerja. M odal-modal tersebut memiliki arti yang lebih penting daripada modal ekonom i. Terdapat suatu pertukaran modal dalam praktik kerja pekerja seni. Berbekal modal kultural, sosial dan simbolis pekerja seni melakukan kerja untuk mendapatkan suatu pertukaran dengan modal ekonomi, selain akumulasi modal-modal lainnya. Arti penting modal kultural, sosial dan simbolis itulah yang kemudian menjadikan nuansa praktik kerja pekerja seni menjadi berbeda dengan nuansa kerja dalam dunia kapitalis.
128
M akna kerja dalam kehidupan pekerja seni tidak dapat ditempatkan dan diukur serta merta dari kacamata ekonomis. Dengan kata lain, cara mengukur kepuasan kerja dalam kehidupan para pekerja seni tidak dapat dilihat dari keuntungan yang diukur dari keuntungan dalam dunia perdagangan -kapitalis. Sekalipun upah kerja dalam bentuk besaran jumlah uang akan tetap menjadi pertimbangan sebagai bagian dari profesionalitas kerja, akan tetapi ada makna makna lain yang melampaui pertim bangan ekonomis. M akna kerja pekerja seni sangat dipengaruhi oleh perjalanan spiritualitas dan filosofi hidup yang dipegang.
Dalam kasus Thio Tiong Gie kita melihat bahwa selain makna ekonomis, makna psikologis dan religius juga memiliki arti yang penting bagi s eorang pekerja seni dalam melakukan kerjanya. Thio Tiong G ie memaknai kerja yang dilakukannya bukan hanya dilihat dari aspek ekonom is semata tetapi juga dikaitkan
dengan
pertimbangan-pertimbangan
yang
terkait
dengan
spiritualitasnya. Kerja sebagai bentuk penghayatan atas nilai-nilai Kong Hu Cu telah membawa dia pada penghayatan yang mendalam atas perannya sebagai pemimpin upacara keagamaan dan membawakan nilai-nilai tersebut melalui pementasan wayang potehi. Penelitian tentang kerja dalang wayang potehi di Semarang telah memberi ruang untuk melihat bagaimana aktivitas kerja sang dalang dan bukan hanya menyoroti pada produk kerjanya.
Selanjutnya, bagian akhir dari sim pulan ini akan saya pungkasi dengan refleksi metodologis. Dikatakan oleh Simatupang (2013: 9 3, 94) bahwa dalam penelitian etnografi, instrumen utama penelitian adalah pribadi peneliti seutuhnya dan proses penelitian berjalan secara dialogis antara peneliti dan informan.
129
Berdasarkan pengertian tersebut, saya akan melihat seluruh keberadaan saya untuk merefleksikan metodologi penelitian yang telah saya uraikan di awal tulisan ini.
Dalam melakukan penelitian dengan menggunakan metode observasi partisipasi, ada peluang maupun pembatas yang saya hadapi. Keberadaan saya sebagai orang lain di luar garis kekerabatan Thio Tiong Gie adalah sebuah peluang sekaligus pembatas bagi saya dalam memasuki kehidupan kerja maupun sehari-hari Thio Tiong Gie. Sebagai orang lain, saya memiliki peluang untuk melihat kehidupan kerja Thio Tiong Gie secara lebih
detil. Aka n tetapi,
keberadaan sebagai orang lain juga merupakan pembatas bagi saya untuk terlibat penuh di dalam kehidupan sehari-hari Thio Tiong Gie. Dalam melakukan penelitian, ada batas yang saya tentukan sendiri dengan mengukur kapasitas kemampuan saya dan situasi kondisi informan. Sebagai contoh, saya tidak memiliki daya tahan untuk mengikuti kerja Thio Tiong G ie yang dilakukan pada pukul 00.00 WIB ketika ia memimpin upacara sembahyang di Klenteng Ling H ok Bio. M aka untuk menyiasati hal itu, saya hanya mengikuti kerjanya yang dilakukan pada petang ketika memimpin upacara sembahyang di klenteng yang sama dan dalam acara yang sama. Kondisi informan yang kadangkala terlihat sedang sakit atau lelah juga merupakan sebuah pembatas bagi saya untuk menghentikan proses penelitian. Ketika informan berada dalam kondisi lelah atau sakit, informasi biasanya akan saya tanyakan melalui kerabatnya.
Dalam melakukan partisipasi, identitas sebagai peneliti kadangkala menjadi lebur di hadapan orang lain. Hal demikian memiliki implikasi sesekali
130
saya dianggap sebagai anak Pak Thio, cucu Pak Thio, atau bahkan pernah dianggap sebagai mama dari cucu Pak Thio. M eski identitas sebagai peneliti bisa lebur, namun pada titik tertentu identitas tersebut justru tampak menonjol. Sebagai orang yang menganut kepercayaan yang berbeda dengan informan, saya tidak bisa terlibat penuh dalam melakukan ritual keagamaan yang dilakukan oleh Thio Tiong Gie. Hal demikian saya siasati dengan saya tetap berada dalam lingkup upacara keagamaan yang dipimpin oleh Thio Tiong Gie dengan memegang kamera di tangan, supaya saya sibuk mendokumentasikan tanpa harus mengikuti ritual. Sibuk dengan kamera merupakan pertanda yang saya gunakan untuk menunjukkan jarak antara saya dan mereka.
Dalam melakukan penelitian dengan menggunakan metode wawancara mendalam terhadap informan utama, saya seringkali mengalami kesulitan untuk menggiring informan menuju pertanyaan-pertanyaan yang telah saya siapkan sebelumnya. Hal demikian terjadi karena informan yang sudah lanjut usia memiliki kecenderungan ingin bercerita sesuka hatinya. Dengan kata lain, ia ingin lebih banyak didengarkan. Data yang terkumpul melalui metode wawancara ini akhirnya saya peroleh dengan cara lebih banyak mendengarkan apa saja terlebih dahulu. Diperlukan kesabaran untuk mendengarkan cerita orang yang sudah lanjut usia karena pengulangan cerita selalu dilakukan lagi dan lagi. M eskipun kadangkala terasa membosankan, melalui ketelatenan mendengarkan, saya dapat memasukkan sedikit demi sedikit umpan balik yang saya k aitkan dengan topik penelitian. Data yang berupa angka tahun yang didapat melalui wawancara tidak akurat seratus persen mengingat daya ingat informan yang sudah mulai menurun.
131
Untuk itu perlu dilakukan kroscek dengan pihak-pihak yang lain. M enurunnya daya ingat informan juga membuat saya harus memperkenalkan diri secara berulang setiap kali datang untuk melakukan wawancara.
Demikianlah refleksi metodologis yang saya buat atas penelitian yang telah saya lakukan. Hal-hal tersebut memungkinkan tercapainya dan membatasi data yang kemudian saya olah menjadi tulisan yang tersaji dalam sistematika penulisan tertentu.
132